11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Enuresis 1. Pengertian Enuresis Mengompol atau enuresis adalah kegagalan untuk mengontrol buang air kecil setelah seseorang mencapai usia normal (lima tahun) untuk mampu melakukan kontrol (Nevid, 2005). Seorang anak mengalami enuresis bila memenuhi semua ciri-ciri yang termaktub dalam DSM-IV-TR (APA, 2000) yaitu: a. Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pada pakaian (baik disengaja maupun tidak disengaja). b. Usia kronologis anak minimal lima tahun (atau berada pada tingkatan perkembangan yang setara). c. Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali selama bulan bulan atau menyebabkan perubahan yang signifikan secara klinis yang menyebabkan kesulitan dalam lingkungan sekolah, akademis (kerja) ataupun penurunan fungsi di bagian area lain yang penting. d. Gangguan ini tidak memiliki dasar organik.
Mengompol pada saat tidur disebut nocturnal enuresis dan mengompol pada saat kondisi sadar atau pada saat terjaga disebut diurnal enuresis (Wenar, 2006). Neild & Kamat (dalam Sumiati, 2007) mengungkapkan bahwa kontrol kandung kemih pada malam hari terjadi relatif lebih lambat dibandingkan buang air besar pada malam hari. Selanjutkan Neild menjelaskan tidak mengompol di
Universitas Sumatera Utara
12
siang hari dicapai terlebih dahulu sebelum tidak mengompol pada malam hari. Dengan demikian anak-anak yang mengompol memang lebih sering ditemukan pada kasus nocturnal enuresis atau mengompol di malam hari. Sejumlah penelitian ditemukan bahwa anak-anak dengan nocturnal enuresis kurang ekspresif, kurang memiliki achievement-oriented, memiliki self-image yang negatif (Sumiati, 2007). Pada penelitian ini yang difokuskan adalah mengompol pada malam hari.
2. Penyebab Enuresis Bernard-Bonnin (2000) menjelaskan bahwa penyebab dari enuresis terbagi menjadi dua yaitu fungsional dan organik. Penyebab fungsional diantaranya micturition deferral (anak tidak kencing hingga sore hari), infeksi saluran kencing ketidakmampuan menahan kencing ketika terlalu bergembira, tekanan emosional, urge syndrome (sindrom tidak dapat menahan kencing ketika dorongan muncul). Penyebab organik yang berkaitan dengan enuresis seperti kelainan pada organ. Anak yang mengalami enuresis bukan karena persoalan organ atau gangguan medis lainnya, maka Herbert (2005) mengklasifikasikan ada tiga penyebab, yaitu penyebab fisik, emosional, dan faktor toilet training yang keliru. Selain itu faktor intrapersonal serta interpersonal dalam diri anak juga akan mempengaruhi perilaku mengompolnya. Faktor-faktor psikologis dapat juga dipandang sebagai penyebab utama pada kasus disorganisasi keluarga atau adanya penolakan yang berdampak pada tidak adanya usaha untuk toilet training pada anak (Fritz dan Rockney, 2004). Beberapa penyebab enuresis lainnya yaitu (1). kelelahan fisik,
Universitas Sumatera Utara
13
apabila anak beraktivitas berlebihan sebelum tidur, maka malam harinya ia akan tertidur lelap, sehingga bila terasa ingin buang air anak menjadi sulit untuk bangun. (2). lingkungan misalnya berada pada ruangan yang ber AC atau udara yang dingin. (3). emosi misalnya punya adik baru, pindah rumah dan lain-lain (http://kolomkesehatan.blogspot.com, posted; 20 Juli 2010). Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa enuresis dapat disebabkan dari berbagai faktor, yaitu faktor fisik termasuk kelelahan, lingkungan, emosi dan latihan toilet training yang keliru.
3. Anak Enuresis Allen dan Marotz (2010) menyebutkan bahwa anak adalah individu sejak pra kelahiran hingga usia 12 tahum. Enuresis atau peristiwa anak mengompol disebut sebagai gangguan setelah usia 5 tahun atau usia yang setara berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000).
Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka
dalam penelitian ini yang disebut anak adalah individu yang berusia 6–12 tahun. Batasan usia ini disebut Hurlock (1980) sebagai late childhood atau anak di fase akhir masa anak-anak. Fase ini disebut juga sebagai fase usia sekolah yaitu anakanak berada pada usia sekolah. Anak-anak di usia sekolah seharusnya tidak berada dalam fase mengompol lagi. Erikson (dalam Santrock, 2003) menyebutkan bahwa anak usia 6 tahun sampai fase pubertas adalah anak yang berada pada fase masa pertengahan dan akhir. Pada fase ini ada dua dikotomi perkembangan yaitu industry versus inferiority. Pada fase ini adalah masa perluasan imajinasi dan anak sangat
Universitas Sumatera Utara
14
antusias. Memasuki usia sekolah, anak mengarahkan energinya dan ketrampilan intelektualnya. Bahaya dalam tahap ini meliputi perasaan tidak kompeten dan tidak produktif. Anak-anak pada usia ini yang mengalami enuresis berjuang mengatasi fase ini lebih berat. Perasaan rendah diri karena enuresis dan juga karena tugas dari tahapan perkembangan yang harus dilaluinya. Herbert (2005) mengungkapkan anak-anak yang enuresis sekitar 30 persen adalah mereka yang hiperaktif, agresif dan berespon negatif terhadap disiplin, memiliki toleransi frustrasi yang rendah, dan resisten terhadap penyesuaian pada lingkungan baru. Selain itu mereka sering menjadi tidak asertif, dependen, dan berprestasi
rendah.
Herbert
(2005)
menyatakan
rasa
cemas
seringkali
berhubungan dengan mengompol di tempat tidur, anak-anak yang mengompol di tempat tidur juga cenderung menjadi anak-anak yang mudah cemas dan gugup. Anak-anak ini seringkali diejek oleh saudara-saudaranya dan mungkin juga oleh orang tuanya. Selain itu mereka cenderung mengalami masalah seperti diejek, digoda, dan mendapatkan kekerasan dari teman (bullying) di sekolah. Keluarga juga akan merasa kebingungan, frustrasi, merasa gagal dan marah. Kondisi demikian merupakan salah satu dari pencetus adanya kekerasan fisik dalam keluarga. Lebih lanjut Bernard-Bonnin (2000) menjelaskan pada kasus tertentu, enuresis memiliki kaitan dengan kejadian-kejadian yang penuh stress tertentu seperti ketakutan yang tiba-tiba, atau enuresis dapat menetap jika tekanan berkelanjutan seperti mengalami pelecehan seksual. Fatmawati dan Mariyam (2013) juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara stres dengan anak
Universitas Sumatera Utara
15
enuresis pada anak usia prasekolah di RA Al Iman Banaran Gunung Pati Semarang. Hjalmas (2002) menemukan bahwa anak-anak enuresis lebih merasa “sendiri” dengan masalahnya, yang menurutnya dan teman-temannya adalah berupa rahasia yang memalukan. Thunis (2001) menemukan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998 juga menunjukkan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang rendah. Unalacak (2004) melakukan penelitian pada anak-anak usia 7-12 tahun yang tinggal di Zonguldak Turki menemukan bahwa anak-anak enuresis mengakibatkan masalah-masalah psikologis, seperti harga diri yang rendah. Ng dan Wong (2004) melakukan penelitian di Hongkong menemukan bahwa anak-anak dengan enuresis memiliki harga diri yang rendah, pencapaian sekolah yang rendah dan kesulitan memiliki teman.
Dursun dkk (2014)
menyebutkan bahwa enuresis mengakibatkan pengaruh psikis pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri.
B. Harga Diri 1.
Pengertian Harga Diri Salah satu aspek kepribadian yang terpenting dalam kehidupan adalah
harga diri atau self- esteem. Harga diri adalah dasar terbetuknya perilaku individu yang bersangkutan (Branden, 1987). Coopersmith (dalam Mruk 2006)
Universitas Sumatera Utara
16
mendefinisikan harga diri atau self-esteem sebagai penilaian yang dibuat oleh individu terhadap dirinya dan biasanya dipertahankan dengan cara menghargai diri sendiri, memperlihatkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukan keyakinan individu tentang kemampuan, makna, keberhasilan dan nilai dari diri. Secara singkat harga diri diartikan sebagai pendapat seseorang mengenai diri atapun nilai dari yang dimiliki yang ditunjukkan melalui sikap individu terhadap dirinya sendiri. Coopersmith (dalam Mruk, 2006) juga menambah bahwa harga diri merupakan pengalaman subjektif yang ditampilkan kepada orang lain melalui verbal maupun melalui tindakan ekspresif yang nyata lainnya. Coopersmith (dalam Burns, 1993) menyebutkan harga diri mengacu pada evaluasi seseorang tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, berhasil dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari. Penilaian tersebut mencerminkan pula sikap penerimaan dan penolakan terhadap diri dan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya berharga. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Santrock (1996) yang mengungkapkan harga diri adalah evaluasi global terhadaap dirinya yaitu apakah secara keseluruhan seseorang merasa dirinya lebih baik atau buruk. Keyakinan individu akan dirinya dipengaruhi oleh penilaian (core belief) individunya yang terkait dengan cara berpikirnya (Froggrat, 2005).
Universitas Sumatera Utara
17
Lebih lanjut Fennel (dalam Sarandria, 2012) menyebutkan bahwa esensi dari harga diri rendah ada pada keyakinan dasar atau core belief individu yang negatif secara global tentang dirinya
(“me as a person”). Perasaan-perasaan
inferioritas merupakan hasil dari tuntutan-tuntutan yang berlebihan (Ellis, 2007). Berdasarkan beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi seseorang tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, berhasil dan berharga yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari. Dalam hal ini esensi dari harga diri rendah ada pada keyakinan dasar individu yang negatif akan keseluruhan dirinya.
2.
Aspek-aspek Harga Diri Mengacu pada Self-Esteem Inventory oleh Coopersmith yang dibuat pada
tahun 1967, Pelish (2006) menyebutkan aspek-aspek harga diri pada anak-anak, sebagai berikut; a. Harga diri secara umum atau general-self: yaitu penilaian individu terhadap kemampuannya secara umum. b. Harga diri dalam lingkungan sosial yaitu penilaian kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. c. Harga diri berkaitan dengan keluarga/rumah yaitu: seberapa besar kedekatan anak dengan orangtua dan penerimaan orangtua terhadap anak.
Universitas Sumatera Utara
18
d. Harga diri
berkaitan dengan akademis/sekolah yaitu berkaitan penilaian
kemampuan dalam belajar dan kepatuhan individu pada setiap kegiatan di sekolah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan harga diri berkaitan dengan penilaian individu terhadap kemampuannya secara umum, seberapa besar kedekatan anak dengan orangtua dan penerimaan orangtua terhadap anak, kemampuan dalam belajar dan kepatuhan individu pada setiap kegiatan di sekolah serta kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.
3.
Karakteristik Individu dengan Harga Diri Tinggi dan Rendah Branden mengungkapkan (2001) bahwa individu yang mempunyai harga diri
rendah sering menunjukkan perilaku yang kurang aktif, tidak percaya diri dan tidak mampu mengekspresikan diri. Sebaliknya individu yang mempunyai harga diri yang tinggi cenderung penuh keyakinan, mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.
4.
Perkembangan Harga Diri pada Anak Enuresis Thunis (2001) menemukan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri
yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998 juga menunjukkan bahwa anak-anak enuresis
memiliki harga diri
yang rendah.
Dursun dkk (2014) menyebutkan bahwa enuresis mengakibatkan pengaruh psikis
Universitas Sumatera Utara
19
pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri.
5.
Hubungan antara Harga Diri dengan Irrational Thinking/Beliefs Burger (dalam Mruk, 2006) menjelaskan salah satu yang mengembangkan
harga diri anak adalah orangtua. Senada dengan pendapat Murk, VanZyl and Dayze (2006) mengungkapkan harga diri dipengaruhi latar belakang keluarga. Santrock (2007) mengungkapkan selain orangtua yang mempengaruhi harga diri adalah teman sebaya. Ia juga mengungkapkan dukungan emosional dan persetujuan sosial
dapat mempengaruhi harga diri anak. Pendapat Santrock
tersebut di atas didukung oleh Papalia (2008) bahwa harga diri anak bukan bawaan sejak lahir, namun terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya. VanZyl dan Dayze (2006) merangkum dari beberapa penelitian menemukan bahwa harga diri yang rendah secara khusus dipengaruhi oleh terutama perilaku pengasuhan orangtua dan hubungan yang negatif antara anak dengan ayah atau dengan ibunya, penilaian yang buruk dari keluarga. VanZil dan Dayzel (2006) memaparkan bahwa keluarga baik dari ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain memberikan label-label yang negatif pada anak, yang akan terinternalisasi ke alam bawah sadar anak. Label-label negatifnya seperti “bodoh”, “malas”, “tidak ada apa-apa”, „tidak berharga” dan sebagainya. Label-label negatif ini yang akhirnya merupakan informasi bagi anak di dalam pikirannya. Proses informasi yang
Universitas Sumatera Utara
20
seperti inilah yang akhirnya mempengaruhi proses berpikir dan menghasilkan irrational thinking/ beliefs (VanZil dan Dayze, 2006). Ellis (dalam Salameh 2011) mengungkapkan bahwa irrational beliefs adalah faktor penyebab utama yang menyebabkan gangguan perilaku dan emosional. Pada masa kanak-kanak individu dipengaruhi oleh orangtua dan other significant yang membentuk thinking dan beliefs-nya (Ellis dalam Salameh, 2011). Anakanak enuresis memiliki irational thought pada dirinya. Hal ini diungkapkan juga oleh Basavanthappa (2007) bahwa anak-anak yang mengalami gangguan seperti phobia, enuresis, enkopresis, dll memiliki seperti kekhawatiran yang tidak realistik tentang peristiwa yang akan terjadi, pada apa yang telah dilakukannya dan juga kemampuan yang dimilikinya. Jongsma dkk (2014) bahkan mengembangkan teknik menggali irratonal thought pada anak enuresis. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan yang signifikan antara harga diri yang rendah dengan irrational beliefs. Seperti penelitian McLennan (1987), penelitian Slavinskiene dan Matulaitiene (2012), penelitian Baugteyfouni dkk (2014), penelitian Esmaeili dkk (2015). Dryden (2006) dan Ellis (dalam Salameh, 2006)
menunjukkan
adanya
kaitan
antara
harga
diri
dan
irational
thought/irational beliefs dapat diatasi dengan REBT.
Universitas Sumatera Utara
21
C. Rational Emotive BehaviorTherapy (REBT) 1. Pengertian Rational Emotive Behavior Therapy REBT merupakan salah satu terapi kognitif dan perilaku yang dikembangkan oleh Albert Ellis. Ellis (dalam Dobson, 2010: Palmer 2011: Komalasari, 2011) mengembangkan pendekatan ini mendapatkan inspirasi dari Epictetus, seorang filsuf Yunani yang mengatakan bahwa “Orang tidak terganggu oleh peristiwa, tetapi oleh pemahaman yang didapatnya dari peristiwa tersebut”. Pada awalnya di tahun 1955 pendekatan ini disebut dengan Rational Therapy (RT), kemudian Ellis mengubah namanya menjadi Rational-Emotive Therapy (RET) pada tahun 1961 dan selanjutnya Ellis mengantinya menjadi Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) (Palmer, 2011; Komalasari dkk 2011). Ellis (dalam Dryden & Neenan 1999) menyebutkan bahwa REBT berasumsi bawa pikiran, emosi dan perilaku
manusia merupakan proses
psikologis yang saling berinteraksi. Selanjutnya Ellis (dalam Wade & Travis, 2007) menyatakan bahwa orang yang berada dalam kondisi emosional yang tidak menyenangkan seringkali melakukan generalisasi secara berlebihan. Mereka juga sering melakukan catastrophize, yaitu individu mengubah masalah kecil menjadi musibah. Lebih jauh Froggrat (2005) mengatakan bahwa pandangan utama yang mendasari REBT berkaitan dengan gangguan emosional yang disebabkan oleh kesalahan berpikir tentang suatu peristiwa dibandingkan peristiwa itu sendiri. Selanjutnya Froggrat (2005) menjelaskan kesalahan berpikir itu merupakan keyakinan-keyakinan yang kaku dan mutlak seperti
“seharusnya” ataupun
Universitas Sumatera Utara
22
“seandainya”. Kesalahan berpikir ini akan berkembang menjadi irrational thinking. Dryden dan Neenan (1999) menyebutkan irrational thinking adalah pikiran-pikiran yang tidak dapat dibuktikan, perlawanan diri, tidak logis, dan lebih menekan pada emosi yang terganggu. Irrational thinking membawa individu pada kesulitan dan hambatan dalam dirinya bahkan menjadi individu yang tidak sehat secara emosi ataupun kepribadiaanya. REBT membantu individu mengganti pemikiran yang irasional menjadi rasional. Untuk membantu pemikiran individu yang irasional menjadi rasional, REBT menggunakan beberapa teknik yang melibatkan pikiran dan juga emosi serta teknik yang berkaitan dengan
perilaku. REBT kemudian mendorong
individu tersebut berperilaku dalam keseharian selanjutnya seperti yang diajarkan kepadanya. Barbara (1995) mengungkapkan REBT dapat digunakan pada klien yang bervariasi, meliputi anak-anak, remaja, orang yang lebih tua, yang kurang berpendidikan, yang mengalami depresi, ataupun yang
memiliki gangguan
kepribadian. Demikian pula individu dengan borderline intelligence atau mild retardation dapat menggunakan REBT. Menurut Barbara (1995) mereka cukup mampu dan memahami proses emosi yang terjadi pada mereka. Sebagai contoh mereka memahami “Saya tidak baik” akan membuat mereka “merasa sedih”. Dengan demikian
anak-anak enuresis dengan intelegensi minimal borderline
dapat menggunakan REBT
Universitas Sumatera Utara
23
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah terapi kognitif dan perilaku yang berasumsi bahwa pikiran, emosi dan perilaku manusia merupakan proses yang saling berinteraksi, sehingga kesalahan berpikir (irrational thinking) akan menyebabkan munculnya gangguan emosi dan perilaku, untuk itu kesalahan berpikir yang irrasional akan diubah menjadi rasional.
2. Konsep Irrational Thinking / Irrational Belief dalam Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT) Konsep yang penting dalam REBT adalah belief system individu. Belief system adalah cara-cara berpikir yang terorganisir yang berkaitan dengan pengalaman dan realita seseorang (Ivey dkk, 2009). Selanjutnya Ivey dkk (2009) mengungkapkan bahwa ucapan seseorang secara konstan menceritakan pandangan dirinya secara personal, mengungkapkan belief system yang dimilikinya. Gunduz (2013) menyebutkan bahwa dasar dari pendekatan REBT bahwa individu terlahir dengan kecenderungan memiliki keyakinan rasional dan keyakinan irasional
yang merupakan sumber dari reaksi-reaksi emosi
individu. Selanjutnya Ellis (dalam Ivey dkk 2009)
mengungkapkan bahwa hal
utama yang berkaitan dengan irrational beliefs adalah keyakinan mutlak yang kuat yang ada pada diri individu membuat individu memiliki gangguan emosi. Irrational beliefs bermula dari irrational thinking (Ivey dkk, 2009). Dengan demikian hal
utama yang perlu dilakukan dalam REBT adalah mengenali
Universitas Sumatera Utara
24
pernyataan-pernyataan irasional individu. Menurut Ellis (dalam Ivey dkk, 2009) ungkapan individu yang berkaitan dengan “seandainya”, “sebaiknya”, “seharusnya”, “tidak sama sekali” merupakan indikator irrational thinking. Jadi
REBT
berusaha
menyadari
pandangan
irrational
tersebut
dan
mengubahnya. Ellis (dalam Corey, 1995) menyebutkan manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. Dengan tegas
Ellis
(dalam Corey, 1995) mengatakan bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu “melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan yang menghambat diri sendiri. Selanjutnya menurut Ellis (2007) keyakinan irasional dapat diubah dengan cara: menilai konsep-konsep utama dalam kehidupan individu, memahami irrational beliefs yang mendasari kehidupannya, merekonstruksi pikiran rasional dan membuat pandangan individu tersebut untuk mengubah perilaku yang baru dan lebih rasional. Seperti yang telah disampaikan Ivey dkk, (2009). Irrational beliefs bermula dari irrational thinking, karena itu perlu memahami proses berpikir manusia. Froggatt (2005) menjelaskan tiga tingkatan berpikir manusia dalam pendekatan REBT menurut yaitu berpikir tentang apa yang terjadi berdasarkan fakta dan bukti-bukti (inferences), mengadakan penilaian terhadap fakta dan bukti (evaluation) dan keyakinan terhadap proses inferences dan evaluasi (core belief). Core belief inilah yang akan mendasari irrational beliefs. Froggatt (2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap hari dalam kehidupan seseorang dihadapkan pada berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
25
membuat tiap orang berpikir apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi berdasarkan kenyataannya inilah proses inferences. Selanjutnya seseorang itu memberikan arti atau makna pada apa yang terjadi. Pada saat evaluation ini seseorang memberikan penilaian berdasarkan apa yang dsadarinya, namun bisa juga di luar kesadarannya. Pada saat seseorang melakukan proses inferences dan evaluation inilah dapat membuat seseorang memiliki irrational thought atau rational thought. Irrational thought selanjutnya
menjadi irrational
beliefs, dan membentuk belief system dalam dirinya (Ivey dkk, 2009). Dobson (2010) mengatakan terapis klinis membantu individu untuk melepaskan core belief yang irasional yang ada dalam diri individu. Selanjutnya Dobson (2010) juga menjelaskan bahwa irrational beliefs yang telah terganti dengan rational beliefs harus diterapkan individu dalam perilakunya sehari-hari agar menjadi konsisten berkembang menjadi perilaku barunya. Ellis (dalam Prout dan Brown (2007) menjelaskan 4 bentuk irrational thinking yang akan menimbulkan masalah emosional individu sebagai berikut: i. Demands adalah tuntutan atau ekspektasi yang tidak realistis dan absolut terhadap kejadian atau individu, yang dapat dikenali dengan kata-kata seperti, “harus”, “sebaiknya” dan “lebih baik”. ii. Awfulising adalah cara melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari suatu situasi sampai pada level yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak mengguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan.
Universitas Sumatera Utara
26
iii. Low frustration tolerance adalah kondisi
nyaman
sehingga
tuntutan untuk selalu berada dalam
menjadi
tidak
toleransi
terhadap
ketidaknyamanan. Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat dan merasa sudah tidak tahan lagi. iv. Global evaluation of human worth, yaitu penilaian terhadap diri sendiri dengan
membuat atribut pada dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak
menyukai dirinya.
3. Langkah-langkah Rational Emotive Behavior Therapy Sebelum melakukan REBT, Ellis (dalam Corey, 1995) memberikan gambaran tentang apa yang akan dilakukan terapis dalam REBT: a) Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irrasional yang telah mendorong banyaknya gangguan tingkah laku. b) Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya. c) Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya. d) Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasionalnya. e) Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan itu akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan perilaku di masa mendatang. f) Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irrasionalitas pikiran klien.
Universitas Sumatera Utara
27
g) Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irrasional dapat diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris. h) Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir sehingga klien dapat mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan datang yang telah mengekalkan cara-cara mereka merasakan dan berperilaku yang merusak.
Dryeden (2006) merumuskan panduan untuk untuk melakukan REBT dalam bukunya First Steps in REBT. Dalam panduan tersebut menyebutkan beberapa langkah dalam REBT yang di dalamnya terkandung proses ABCDE yaitu: a) Memilih dan Menilai Masalah. b) Menetapkan masalah dan menentukan tujuan. c) Memahami proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai keyakinan irrasional. d) Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional Proses D-E. e) Membantu klien untuk mempertahankan keyakinannya yang rasional dan menghilangkan keyakinannya irrasional.
4. Teori A-B-C-D-E dalam REBT Ellis (dalam Gladding, 2011; Palmer, 2011) mengungkapkan REBT berasumsi bahwa keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional pada seseorang berhubungan secara langsung dengan gangguan-gangguan emosional dan perilakunya, maka cara yang paling efisien untuk membantu individu adalah
Universitas Sumatera Utara
28
membuat perubahan-perubahan dalam dirinya dengan mengkonfrontasikan pandangan hidup mereka, menerangkan kepada mereka bagaimana gagasangagasan mereka menjadikan mereka terganggu, menyerang gagasan-gagasan irasional mereka di atas dasar-dasar logika dan mengajarkan mereka bagaimana berpikir logis dan mendorong mereka untuk mampu mengubah dan menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya. Ellis (dalam Gladding, 2012: Palmer 2011, Dobson 2010, Ellis dan Dryden, 1997; Corey, 1995) mengatakan salah satu cara untuk
mengubah
dan
menghapus
keyakinan
irasional
adalah
dengan
menggunakan teori A-B-C-D-E dari REBT. Teori ABCDE yang dikembangkan Ellis (dalam Ellis dan Dryden, 1997) adalah sebagai berikut: A = activating event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan seluruh peristiwa yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. B = beliefs, keyakinan yang mendasari pandangan seseorang tentang peristiwa tersebut, mewakili pendapat orang mengenai pengalaman tersebut. Keyakinan seseorang ada dua macam yaitu keyakinan yang rasional dan keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang rasional merupakan cara berpkir atau sistem keyakinan yang tepat dan masuk akal, bijaksana dan menjadikan orang itu produktif. Keyakinan yang tidak rasional adalah keyakinan atau sistem berpikir yang salah, tidak masuk akal, emosional dan membuat orang tidak produktif.
Universitas Sumatera Utara
29
C
=
consequences yaitu berkaitan dengan emotional and behavioral
consequence, konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan keyakinan (belief) yang rasional maupun yang irasional. D = disputing, mendebatkan atau mempertentangkan
keyakinan yang
menyebabkan gangguan. E = effective, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku.
Pada awalnya proses REBT adalah ABC, namun kemudian Ellis menambah DE sehingga menjadi proses ABCDE (Ellis dan Dryden, 1997). Proses ABC ini dilakukan untuk melakukan analisa fungsional dari pikiran-pikiran atau keyakinan-keyakinan individu apakah rasional atau irasional (Dobson 2010). Melalui proses ABCDE, REBT membantu individu belajar bagaimana mengenali dirinya terkait antara pikiran, perasaan dan perilakunya. Secara skematis proses tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1 Proses REBT
.
.
Activating Event
Beliefs
Consequences
Disputing
Effective
(Sumber Ellis dan Dryden 1997)
Universitas Sumatera Utara
30
5. Teknik-teknik Rational Emotive Behavior Therapy REBT menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif dan perilaku (Gladding 2012, Dobson 2010, Froggrat 2005, Corey 1995: Salameh 2004). Proses tersebut akan sangat efektif jika semua bentuk tadi dilakukan (Walen dkk dalam Gladding, 2012). A. Teknik Kognitif Teknik Kognitif meliputi: 1) Pertentangan (disputing) Pertentangan atau disputing ini meliputi cognitive disputation, rational analysis, double-standard dispute, catastrophe scale, rational role reversal (devil’s advocate), reframing. Pertentangan kognitif melibatkan penggunaan pertanyaan langsung, alasan yang masuk akal dan persuasi. 2) Pengajaran Pengajaran melibatkan tindakan meminta individu mempelajari gagasan dasar dari REBT, dan memahami bagaimana pikiran terhubung dengan emosi dan tingkah laku. Prosedur ini bersifat instruktif dan mengarahkan serta umumnya dikenal sebagai rational emotive education (REE). B. Teknik Afektif Teknik Afektif meliputi: 1) Teknik self modeling, merupakan teknik yang digunakan untuk melatih individu agar menghilangkan perasaan negatif yang ada dalam dirinya secara terus-menerus.. Dengan self modeling ini diharapkan individu memiliki perasaan yang positif mengenai dirinya.
Universitas Sumatera Utara
31
2) Humor, digunakan dengan harapan membantu individu dalam melewati proses terapi dan menghilangkan rasa takut. 3) Latihan menghadapi rasa malu. Teknik ini digunakan agar indiviu berani menghadapi situasi yang membuat ia malu dan memberikan tolerasi
dan
menerimanya
sebagai
bagian
situasi
yang
tak
menyenangkan yang pernah terjadi. C. Teknik Perilaku Teknik perilaku meliputi: 1) Teknik Reinforcement (penguatan), digunakan untuk mendorong individu ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan cara memberikan reward ataupun punishment 2) Latihan Asertif, merupakan teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong
dan
membiasakan
klien
agar
secara
terus-menerus
menyesuaikan diri dengan tingkah yang diinginkannya. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri individu 3) Mempertentangkan perilaku (behavioral disputation). Pertentangan tingkah laku melibatkan berperilaku dalam suatu cara yang merupakan kebalikan dari cara yang biasa digunakan individu termasuk bermain peran dan menyelesaikan tugas tugas-tugas, di mana biasanya klien benar-benar melakukan aktivitas yang dahulunya dianggap mustahil untuk dilakukan. Terkadang pertentangan tingkah laku dapat berupa biblioterapi yaitu membaca buku yang dapat membantu individu bangkit. 4) Bermain peran (role playing),
Universitas Sumatera Utara
32
5) Tugas-tugas (homework assignments) Tugas-tugas diberikan terkait dengan proses terapi. 6) Teknik social modelling merupakan teknik untuk membentuk perilakuperilaku baru klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara meniru, mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial. Ellis dan Dryden (dalam Geldard & Geldard, 2013) mengatakan bahwa fungsi ahli terapi adalah sebagai seorang guru, yaitu mengarahkan dan mengajari klien suatu model spesifik untuk mengubah pemahaman.
D. Rational Emotive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Harga Diri Anak Enuresis
Anak enuresis memiliki berbagai macam persoalan yang menyangkut dirinya. Thunis (2001) menemukan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Senada dengan Thunis, Dursun dkk (2014) menyebutkan bahwa enuresis mengakibatkan pengaruh psikis pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri. Anak-anak enuresis memiliki harga diri lebih rendah juga ditemukan pada beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998, penelitian Unalacak (2004) di Turki, penelitian Ng dan Wong (2004) di Hongkong.
Universitas Sumatera Utara
33
Harga diri anak bukan bawaan sejak lahir, namun terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya (Papalia, 2008). Pada masa kanak-kanak individu dipengaruhi oleh orangtua dan other significant yang membentuk thinking dan beliefs-nya (Ellis dalam Salameh, 2011). VanZil dan Dayzel (2006) memaparkan bahwa keluarga baik dari ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain memberikan label-label yang negatif pada anak, yang akan terinternalisasi ke alam bawah sadar anak. Label-label negatifnya seperti “bodoh”, “malas”, “tidak ada apa-apa”, „tidak berharga” dan sebagainya. Label-label negatif ini yang akhirnya merupakan informasi bagi anak di dalam pikirannya. Proses informasi yang seperti inilah yang akhirnya mempengaruhi proses berpikir dan menghasilkan irrational thinking/ beliefs (VanZil dan Dayze, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan yang signifikan antara harga diri yang rendah dengan irrational beliefs. Seperti penelitian McLennan (1987), penelitian Slavinskiene dan Matulaitiene (2012), penelitian Baugteyfouni dkk (2014), penelitian Esmaeili dkk (2015). Dryden (2006) dan Ellis (dalam Salameh, 2006) menunjukkan adanya kaitan antara harga diri dan irational thought/irational beliefs dapat diatasi dengan REBT. Burnet (dalam Tarmidi & Hawadi, 2009) mengungkapkan juga bahwa program cognitive behavior therapy dan rational emotive threapy berpengaruh terhadap peningkatan harga diri (self-esteem) dan konsep diri. Untuk melakukan terapi REBT yang bertujuan meningkatkan harga diri anak enuresis dapat menggunakan panduan yang dirumuskan Dryden (2006). Dalam
Universitas Sumatera Utara
34
bukunya First Steps in REBT, Dryden (2006) menyebutkan beberapa langkah dalam REBT yang di dalamnya terkandung proses ABCDE yaitu: 1. Memilih dan Menilai Masalah. 2. Menetapkan masalah dan menentukan tujuan. 3. Memahami proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai keyakinan irrasional. 4. Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional Proses D-E. 5. Membantu klien untuk mempertahankan keyakinannya yang rasional dan menghilangkan keyakinannya irrasional. Pada langkah pertama yaitu memilih dan menilai masalah, terapis REBT melakukan analisa pikiran irrasional individu untuk mengetahui bentuk irational thought yang dimilikinya. Ellis (dalam Prout dan Brown,2007) menjelaskan 4 bentuk irrational thinking / irrational beliefs yang akan menimbulkan masalah emosional individu sebagai berikut: a. Demands adalah tuntutan atau ekspektasi yang tidak realistis dan absolut terhadap kejadian atau individu, yang dapat dikenali dengan kata-kata seperti, “harus”, “sebaiknya” dan “lebih baik”. b. Awfulising adalah cara melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari suatu situasi sampai pada level yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak mengguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan. c. Low frustration tolerance adalah kondisi
nyaman
sehingga
tuntutan untuk selalu berada dalam
menjadi
tidak
tolerans
terhadap
ketidaknyamanan. Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
35
apa yang diinginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat dan merasa sudah tidak tahan lagi. d. Global evaluation of human worth, yaitu penilaian terhadap diri sendiri dengan
membuat atribut pada dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak
menyukai dirinya.
Ellis (dalam Salameh 2011) mengungkapkan bahwa irrational beliefs adalah faktor penyebab utama yang menyebabkan gangguan perilaku dan emosional. Jadi pada saat melakukan analisis irrational thought maka perlu menganalisis juga perilaku apa saja yang terganggu dari irrational thought tersebut.
Analisis
irational
thought
individu
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan analisis fungsional dengan ABC dari Proses ABCDE Ellis (Dobson, 2010). Pada saat ini individu menceritakan diri dan masalahnya, sedangkan terapis melakukan analisis. Setelah diketahui bentuk irational thoughtnya, maka masuk pada tahapan/langkah kedua yaitu menetapkan masalah sampai tujuan terapi tercapai yaitu terbentuknya rational thoughtnya. Teori ABCDE yang dikembangkan Ellis (dalam Ellis dan Dryden, 1997) adalah sebagai berikut: A = activating event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan seluruh peristiwa yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. B = beliefs, keyakinan yang mendasari pandangan seseorang tentang peristiwa tersebut, mewakili pendapat orang mengenai pengalaman tersebut. Keyakinan
Universitas Sumatera Utara
36
seseorang ada dua macam yaitu keyakinan yang rasional dan keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang rasional merupakan cara berpkir atau sistem keyakinan yang tepat dan masuk akal, bijaksana dan menjadikan orang itu produktif. Keyakinan yang tidak rasional adalah keyakinan atau sistem berpikir yang salah, tidak masuk akal, emosional dan membuat orang tidak produktif. C
=
consequences yaitu berkaitan dengan emotional and behavioral
consequence, konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan keyakinan (belief) yang rasional maupun yang irasional. D = disputing, mendebatkan atau mempertentangkan
keyakinan yang
menyebabkan gangguan. E = effective, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku.
Dalam proses REBT merubah irational though dan perilaku maladaptivenya dengan menggunakan berbagai macam teknik yang bersifat kognitif, afektif dan perilaku (Gladding, 2012; Dobson, 2010, Froggrat, 2005; Corey ,1995; Salameh,(2004). Teknik yang bersifat kognitif meliputi pertentangan (disputing), dan pengajaran./edukasi. Teknik yang bersifat afektif seperti self modeling, yang mana individu diminta untuk menghilangkan perasaan negatif dia pada dirinya, humor yang digunakan dengan harapan membantu individu dalam melewati
Universitas Sumatera Utara
37
proses terapi dan menghilangkan rasa takut. Teknik yang bersifat perilaku meliputi: teknik reinforcement (penguatan) yang digunakan untuk mendorong individu ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan cara memberikan reward ataupun punishment, bermain peran (role playing), dan mengerjakan tugas-tugas (homework assignments).
Universitas Sumatera Utara
38
Berikut alur penelitian: Tabel 2.2
Skema Paradigma Penelitian Anak dengan Enuresis
Harga diri yang rendah (Hagglof, 1998) Thunis 2001, Unalacak, 2004)
Memiliki pikiran irrasional / Irrational Thought (Dryden, 2006) Didasari oleh inferences, evaluation dan core belief
Analisis Fungsional Activating Event
Irrational Thought Bentuknya : Demand/Awfulising/Low of Frustration/ Global of Human Worth
. Consequences
Beliefs: irrational thought
Mal Adaptif Behavior
Disputing dengan Teknik REBT Pengajaran/edukasi Disputing Irrational Thought, Self-Modeling, Activity Behavior, tuga -tugas
Effective Rational Thought
Adaptive behavior
Harga diri anak enuresis meningkat
Universitas Sumatera Utara
39
E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah rational emotive behavior therapy efektif dapat meningkatkan harga diri pada anak enuresis.
Universitas Sumatera Utara