12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Shalat Shalat merupakan kewajiban yang dilakukan umat muslim setiap hari minimal lima waktu sehari sebagai wujud rasa syukur dan keimanan kita kepada Allah SWT. Saat melaksanakan shalat, seluruh aspek kesehatan (lahir, mental dan pikir) bersinergi secara harmonis. Motivasi menegakkan shalat bersumber pada kesadaran diri (aspek mental, spritual dan pikir) untuk menghamba kepada Allah SWT sebagai Sang Khalik. Kemudian dilanjutkan dengan rukun atau tata gerakan shalat itu sendiri (Wratsangko, 2006).
1. Definisi Shalat Menurut Rahman (2002) shalat berarti doa, ibadah, memohon dengan khusyuk kepada Tuhan; meminta rahmat Tuhan. Hasan (2000) menjelaskan bahwa shalat menurut bahasa (etimologi) adalah doa, sedangkan shalat menurut istilah (terminologi) adalah semua ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan. Wratsangko (2006) menjelaskan bahwa shalat berarti menyatukan pikir (akal, emosi), mental (spiritual, keikhlasan) dan lahir (fisik, perbuatan) dalam satu titik keseimbangan yang harmonis. Dari penjelasan diatas shalat adalah semua ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
13
2. Shalat lima waktu (Shalat Fardhu) Hasan (2000) mengatakan bahwa shalat Fardhu ‘ain artinya setiap muslim yang sudah baligh dan berakal dituntut menunaikannya, seperti shalat wajib lima waktu sehari semalam. Menurut Sabiq (1990) shalat lima waktu (dalam Karim, 1999) yaitu Shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Magrib, Isya. Wijayakusuma (1996) menguraikan shalat lima waktu berdasarkan sabda dan praktek Rasulullah SAW sebagai berikut: 1. Shalat Subuh.Waktunya mulai terbit fajar sampai terbit matahari, dan dikerjakan sebanyak dua rakaat. 2. Shalat Zhuhur.Waktunya setelah matahari turun dari pertengahan langit sampai matahari dalam pertengahan jalan atau matahari mulai tergelincir ke barat sampai bayang-bayang sesuai panjang bendanya, dan dikerjakan sebanyak empat rakaat. 3. Shalat Ashar.Waktunya mulai bayang-bayang sesuatu sepanjangnya sampai terbenam matahari dan dikerjakan sebanyak empat rakaat. 4. Shalat Maghrib.Waktunya mulai matahari terbenam sampai setelah warna merah (syafaq) di langit hilang, dan dikerjakan sebanyak tiga rakaat. 5. Shalat Isya.Waktunya semenjak hilangnya pantulan sinar matahari (syafaq) sampai terbit fajar dan dikerjakan sebanyak empat rakaat.
3. Hikmah Shalat Rafi’udin & Zainudin (2004) menguraikan ada beberapa rahasia dan hikmah yang dikandung ibadah shalat, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
14
1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT. Shalat merupakan sarana dialog antara manusia dengan Tuhannya, sehingga manusia akan merasa dekat dengan Tuhannya yang terlihat dari aspek-aspek shalat, baik hati, ucapan maupun gerakan . 2. Mencegah dari sifat keji dan munkar. Hal ini akan tampak dari cerminan akhlak atau perilaku sehari-hari, disamping terhindar dari perbuatan keji, dosa dan kemunkaran dengan memelihara shalat, tentulah hatinya juga suci dan bersih jiwanya. Kesucian hati dan jiwa akan membawa keberuntungan dan kebahagian bagi orang tersebut di dunia dan kebahagian kekal di akhirat. Al Ghazali (dalam Rafi’udin & Zainuddin, 2004) memberikan penjelasan tentang makna batin yang dapat mengantarkan kepada kesempurnaan, sehingga diharapkan shalat berfungsi sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar, penangkal dari segala konflik kejiwaan sekaligus mendatangkan rasa aman dan tentram. 3. Shalat menimbulkan jiwa yang tenang. Mengingat Allah SWT hati menjadi tentram dan jiwa menjadi tenang, tidak gelisah, takut atau khawatir, karena orang yang senantiasa mengingat Allah akan melakukan hal-hal yang baik dan ia merasa bahagia dengan kebajikan yang telah diakukan. Mengingat Allah lewat shalat akan membawa keteguhan hati dan sikap optimis serta ketenangan jiwa. Hasan (2000) mengatakan salah satu hikmah shalat yaitu sebagai penenang jiwa orang resah gelisah. Menurut Basyarahil (2001) shalat dapat menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman batin.
Universitas Sumatera Utara
15
4. Mendidik sikap disiplin dan tanggung jawab. Disiplin disini dimaksudkan untuk ketepatan waktu dan kepatuhan seseorang dalam mengerjakan shalat setiap hari, sehari semalam. Panggilan shalat adalah manifestasi dari rasa tanggung jawab manusia sebagai hamba Allah, atas kewajiban yang harus dilaksanakan. Shalat yang telah ditentukan waktu-waktunya oleh Allah akan mengingatkan manusia akan rasa tanggung jawabnya. Sejak dari kita bangun dari fajar pagi sampai kita akan tidur lagi, bahkan disaat kita disibukkan oleh pekerjaan di siang hari, kita di suruh untuk berhenti sejenak melepaskan kesibukan kita untuk mengingat Allah. 5. Memupuk rasa solidaritas, persatuan dan kesatuan. Shalat merupakan bentuk ibadah pertama yang diwajibkan bagi setiap muslim baligh, berakal, sehat dan suci dari haid dan nifas (bagi perempuan). Kewajiban ini tidak dibedakan antara orang yang berpangkat dengan rakyat jelata, orang kaya dan miskin, orang pandai dan bodoh, tetap memilki kewajiban dalam melaksanakan shalat, baik di kala sehat maupun dikala sakit, di tempat maupun di perjalanan, baik dikala aman bahkan dikala terjadi peperangan wajib mendirikan shalat dengan ketentuan ketentuan tertentu. Tidak pula dibedakan shaf (barisan) paling depan, tengah dan belakang, hanya takwalah yang membedakan kita dihadapan Allah. 6. Melatih konsentrasi. Shalat yang dikerjakan dengan cara yang khusyuk akan melatih konsentrasi fikiran, perasaan kemauan dan hatinya dipusatkan (dikonsentrasikan) menjadi satu dengan badan dan hanya dihadapkan kepada Allah. Membaca doa dengan memusatkan fikiran dan pemahaman serta renungan akan isi, makna dan maksud yang terkandung
Universitas Sumatera Utara
16
dalam rangkaian kalimat tersebut. Hal tesebut membiasakan orang terlatih konsentrasi dan memusatkan fikiran, perhatian dan perasaan serta kemauannya dalam segala persoalan. Konsentrasi merupakan faktor yang paling utama untuk mencapai kesuksesan. Cita-cita akan berhasil apabila seluruh perhatian dipusatkan untuk meraihnya. 7. Menjaga kesehatan jasmani. Menurut Thabarah (dalam Rafi’udin & Zainuddin, 2004) yang mengatakan tentang manfaat ruku’ dan sujud sangat penting bagi kesehatan badan, dan menambah kreativitas kerja. Saboe (dalam Haryanto 2005) mengatakan hikmah yang dapat diperoleh dari gerakan-gerakan ibadah shalat tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmaniah, dan dengan sendirinya membawa efek pula kepada kesehatan rohaniah (menssana in corpotre sano) atau kesehatan mental/jiwa seseorang. Selanjutnya dijelaskan bila ditinjau dari sudut ilmu kesehatan, setiap gerakan, setiap sikap, serta setiap perubahan dalam gerak dan sikap tubuh pada waktu melaksanakan shalat, adalah yang paling sempurna dalam memelihara kondisi kesehatan tubuh. Menurut Noer (2006), banyak hikmah bagi kehidupan manusia yang kita peroleh dari shalat, baik itu bagi kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat: a. Shalat sebagai sarana penghubung manusia dengan Allah swt Hubungan manusia dengan Allah SWT adalah hubungan makhluk terhadap pencipta-Nya. Hubungan ini tidak akan terputus selama manusia sadar dan ingat bahwa ia hanyalah ciptaan Allah yang tidak akan hidup dan tujuan penciptaannya adalah hanya untuk beribadah kepada Allah.
Universitas Sumatera Utara
17
b. Shalat sebagai penolong Shalat berfungsi pula sebagai penolong bagi manusia untuk mencapai rahmat Allah. Dengan shalat manusia bisa meminta bantuan atau pertolongan apapun melalui shalat dan bersabar. c. Mempersatukan umat dengan shalat berjama’ah Segala perbedaan baik warna kulit, bahasa, bangsa, negara, dan lainnya tidak berpengaruh ketika umat Islam berjama’ah shalat sesuai dengan tuntutan Rasulullah. Maka dalam hal ini shalat berjama’ah telah mempersatukan umat Islam dengan komitmen bahwa ketika shalat saja kita bisa berjama’ah, maka dalam hal lainpun kita bisa. d. Shalat sebagai kontrol diri dari perbuatan buruk Manusia pada dasarnya suka berkeluh kesah dan bersifat kikir. Namun hal ini tidak terjadi pada orang yang suka menunaikan shalat dengan khusyuk. a. Komitmen terhadap waktu (disiplin diri). b.Menjaga kebersihan diri dll.
4 . Manfaat Gerakan Shalat Menurut Wratsongko (2006), makna rahasia gerakan shalat terkait dengan pencegahan dan perawatan kesehatan tubuh. Pemahaman tentang tata laksana gerakan shalat dimaksud adalah:
Universitas Sumatera Utara
18
1. Berdiri tegak Sikap berdiri dengan tegak dengan sikap kaki menumpu seluruh berat badan. Dalam posisi berdiri tegak seperti ini, maka tubuh berada dalam posisi anatomisnya. Seluruh otot, tulang dan sendi berada dalam posisi pasif sehingga timbulah relaksasi. 2. Takbiratul Ihram Saat kedua tangan atau lengan diangkat disisi kanan-kiri tubuh dalam takbir, maka otot-otot dada akan mengembang secara pasif. Dengan mengembangnya otot-otot ini maka organ paru yang ada didalamnya juga akan mengembang secara pasif mengikuti hukum tekanan negatif sehingga udara (oksigen) bisa masuk secara optimal hingga ke pembuluh paru terkecil (alveoli). Oksigenasi yang optimal juga dirasakan oleh otak, sebagai pusat utama pengatur segala aktifitas tubuh manusia. Ketika organ paru mengambang, maka organ jantung yang ada diantaranya “sedikit” mendapatkan keleluasaan ruang untuk berdenyut. 3. Ruku’ Ketika posisi membungkuk disertai dengan wajah menghadap ke depan, maka ruas tulang belakang segmen leher sampai ekor membentuk posisi sedemikian rupa, dimana kelengkungan tiap-tiap segmen berkurang. Dengan kata lain mendekati posisi “melurus”, dimana keadaan ini menyebabkan serabut saraf tulang belakang mengalami relaksasi, termasuk rangkaian saraf otonom (simpatik dan parasimpatik) yang berupa juluran seperti rantai di sisi luar (kanan-kiri) tulang belakang kita. Saraf otonom ini turut serta berperan dalam mengatur irama kerja organ di dalam tubuh kita (jantung, paru, usus, organ reproduksi, alat kelamin dan-lain-lain) apakah irama kerja tersebut akan meningkat ataukah menurun. Meningkat atau menurunya irama kerja organ ini merupakan
Universitas Sumatera Utara
19
peringatan bagi kita mengenai kondisi tubuh yang terganggu. Saat ruku’ akan menyebabkan peningkatan di dalam saluran tulang belakang yang diteruskan ke rongga kepala. 4. I’tidal Posisi ini membantu metabolisme otak dan jantung bekerja optimal. Oleh karena itu dalam i’tidal aliran darah yang tadinya terfokus di kepala setelah ruku’ akan turun ke badan sesuai garavitasi. Gerakan takbir bersamaan dengan menegakkan badan saat i’tidal, menyebabkan stimulus pada cabang besar saraf di bahu, ketiak yang merupakan cabang saraf yang melayani organ jantung, paru dan sebagain organ pencernaan. 5. Sujud Gerakan sujud akan membuat otot dada dan otot sela iga menjadi kuat sehingga rongga dada bertambah besar dan paru-paru akan berkembang dengan baik dan dapat menghisap udara. Lutut yang membentuk sudut yang tepat memungkinkan otot-otot perut berkembang dan mencegah dibagian tengah. Menambah aliran darah ke bagian atas tubuh terutama kepala (mata, telinga, dan hidung) serta paru-paru, memungkinkan toksin-toksin dibersihkan oleh darah. 6. Duduk diantara dua sujud Pada posisi ini otot-otot pangkal paha di mana di dalamnya terdapat salah satu saraf pangkal paha yang besar berada diatas tumit kaki yang berfungsi sebagi penyangga. Hal ini menyebabkan otot-otot di daerah ini terpijit (refleksi). Pijatan ini bermanfaat untuk melindungi diri dari penyakit saraf pangkal paha (neuralgia) yang terasa sakit, nyeri hingga mengakibatkan kaki tidak dapat digerakkan.
Universitas Sumatera Utara
20
7. Takhiyatul akhir Gerakan dalam posisi ini kaki kiri dilipat dan kaki kanan dalam posisi menekuk kelima jarinya. Pada posisi ini saraf yang terstimulasi kurang lebih sama dengan duduk diantara dua sujud. Sirkulasi energi dihentikan karena tulang punggung dibengkokkan dan pusat energi dibagian bawah diantara dubur dan kemaluan ditutup dengan ujung tumit. Dengan demikian sirkulasi energi yang mengalir dari tulang ekor menjalar ketulang punggung dan terus masuk ke otak dihentikan. Dan diakhiri dengan gerakan salam yaitu, menoleh kekanan kemudian kekiri.
5. Definisi Keteraturan Shalat Menurut Adi (1994) keteraturan shalat ialah setiap hari mengerjakan shalat lima waktu dan tidak satupun yang ditinggalkan yaitu shalat subuh, shalat zhuhur, shalat ashar, shalat maghrib, dan shalat isya.
6. Aspek-Aspek Keteraturan Shalat Menurut Adi (1994) dalam melaksanakan shalat secara teratur perlu adanya usaha dan kesungguhan hati. Aspek–aspek keteraturan shalat meliputi : 1. Faktor ketepatan dan disiplin. Shalat wajib lima waktu harus dilaksanakan dengan disiplin yaitu dengan menepati waktu-waktu shalat yang telah ditentukan. Seseorang dikatakan disiplin bila selalu melakukan shalat tepat waktu secara terus menerus, karena apabila sering terlambat atau bermalas-malas dalam mengerjakan shalat akan dianggap gagal dalam mencapai keteraturan shalat.
Universitas Sumatera Utara
21
2. Faktor kesadaran dan tanggung jawab. Kesadaran dan tanggung jawab sangat penting dalam melaksanakan shalat wajib lima waktu. Kalau tidak diikuti kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk menjalankan shalat, maka akan menjadikan seseorang
merasa sulit dan berat untuk memenuhi
kewajiban tersebut. Seolah-olah hanya terpaksa saja dan kurang ikhlas. Seseorang yang memiiki kesadaran akan pentingnya shalat akan memandang shalat sebagai kebutuhan. 3. Faktor kekuatan kehendak dan dapat mengatasi pengaruh lingkungan. Kekuatan kehendak atau kekuatan niat sangat menentukan perilaku seseorang termasuk shalatnya. Seseorang yang memilki kekuatan niat akan senantiasa melaksanakan shalat dalam keadaan bagaimanapun juga, termasuk sakit atau dalam perjalanan. Kekuatan niat dapat mengatasi pengaruh lingkungan yang bersifat negatif, karena kalau tidak memilki kekuatan niat, tentu akan kurang kuat pula motivasi dan gairahnya untuk menjalankan shalat, sehingga sering gagal dan menyerah saja pada pengaruh lingkungan.
7. Aspek-Aspek Teraupetik Dalam Ibadah Shalat Menurut Ancok & Suroso (2001) ada beberapa aspek terapeutik yang terdapat dalam ibadah shalat, antara lain: aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti, aspek kebersamaaan. Disamping itu shalat juga mengandung unsur relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (Adi, 1994 & Haryanto 2005). 1. Aspek olah raga. Ancok (2001) bila dikaitkan dengan shalat yang banyak rakaatnya (shalat tahajud), maka tidak dapat dipungkiri bahwa shalat pun akan dapat menghilangkan
Universitas Sumatera Utara
22
kecemasan. Kalau kita perhatikan shalat, maka mengandung unsur gerakan-gerakan olah raga; mulai dari takbir, berdiri, ruku’, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk akhir (atahiyat) sampai mengucapkan salam. Shalat yang dilakukan secara khusyuk, terutama shalat pada malam hari (tahajud) akan membantu terciptanya rasa khusyuk tersebut. Al Qayyim (dalam Al-khuli, 2003) mengatakan gerakan-gerakan dalam shalat merupakan latihan (olahraga) yang menjadikan badan ringan dan energik, menciptakan selera makan, memperkokoh persendian dan menguatkan jaringan-jaringan tubuh, sehingga dapat menghindarkan tubuh dari penyakit fisik dan psikis. Marzuq (dalam AlKhuli, 2003) mengatakan diantara manfaat-manfaat shalat bahwa shalat merupakan olahraga yang cocok untuk otot-otot persendian tubuh. Moinuddin ( dalam Haryanto 2005) mengatakan bahwa dalam satu hari paling sedikit kita melaksanakan tujuh belas rakaat yang terdiri atas sembilan belas posisi yang terpisah pada tiap-tiap rakaatnya. Total ada 119 postur per hari atau 3.570 postur per bulan atau 42.840 postur per tahun. Rata-rata umur orang dewasa empat puluh tahun, maka telah melakukan 1.713.600 postur. Siapapun yang melaksanakan akan terlindung dan tercegah dari penyakit ringan dan berat. 2. Aspek meditasi Zuroff (dalam Adi, 1994 & Subandi, 2003) mengatakan bahwa meditasi dapat mengurangi kecemasan telah diselidiki oleh tokoh-tokoh sarjana Barat, seperti pada penyelidikan Zen Meditation dan kemudian pada penyelidikan Trancendental Meditation. Ancok (2001) mengatakan bahwa shalat merupakan proses yang menuntut “konsentrasi” yang dalam. Setiap muslim dituntut untuk melakukan hal tersebut yang di
Universitas Sumatera Utara
23
dalam bahasa Arab adalah ‘khusyuk’. Kekhusyukan di dalam shalat tersebut adalah meditasi. Shalat juga memiliki efek seperti meditasi atau yoga tingkat tinggi bila dijalankan dengan benar dan khusyuk. Dalam kondisi khusyuk seseorang hanya akan mengingat Allah SWT bukan mengingat yang lain (Ancok, 2001). Shalat seperti meditasi mempunyai efek yang mu’jizat terhadap seluruh sistem tubuh kita seperti syaraf, peredaran darah, pernapasan, pencernaan, pengeluaran, otototot, kelenjar, reproduksi dan lain-lain. Shalat juga sebagai meditasi yang dapat melepaskan diri dari kesibukan dunia yang mencemaskan, untuk masuk ke dalam suasana tenang walau sesaat pada waktu-waktu yang telah ditentukan secara teratur, untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dapat mengurangi kecemasan
(Nizami,
1981). 3. Aspek auto-sugesti/self-hipnosis Bacaan-bacaan dalam shalat berisi hal-hal yang baik, berupa pujian, mohon ampun, doa, maupun permohonan yang lain, sesuai dengan arti shalat itu sendiri yaitu doa (Ash-Shiddieqy, 1983). Teori hipnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata itu berisikan suatu proses auto-sugesti. Mengatakan hal-hal yang baik terhadap diri sendiri adalah mensugesti diri sendiri agar memiliki sifat yang baik tersebut. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak berbeda dengan terapi self-hypnosis (Ancok, 2001). 4. Aspek Kebersamaan Mengerjakan shalat sangat disarankan oleh agama untuk melakukannya secara berjamaah (bersama orang lain), ditinjau dari segi psikologi kebersamaan itu sendiri
Universitas Sumatera Utara
24
mengandung aspek terapeutik. Beberapa ahli Psikologi mengatakan bahwa perasaan “keterasingan” dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa, dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu akan hilang. Shalat yang dijalankan secara berjamaah menimbulkan rasa hangat dalam hubungan interpersonal antara sesama manusia yang senasib sederajat. Shalat yang dilakukan berjamaah juga mempunyai efek terapi kelompok (group therapy), sehingga perasaan cemas, terasing, takut menjadi nothing atau nobody akan hilang (Lingren, dalam Haryanto, 2001). 5. Relaksasi otot Shalat adalah proses yang menuntut sesuatu aktivitas fisik. Ibadah shalat juga mempunyai efek seperti relaksasi otot, yaitu kontraksi otot, pijatan dan tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat. Lehrer (dalam Adi, 1994) kontraksi otot dan tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat itu menyerupai proses relaksasi otot yang telah diselidiki oleh sarjana-sarjana Barat dan dapat mengurangi kecemasan, tidak dapat tidur, mengurangi hiperaktivitas pada anak, mengurangi toleransi sakit dan membantu mengurangi merokok bagi para perokok yanbg ingin sembuh atau berhenti merokok. Penelitian yang dilakukan Prawitasari (dalam Haryanto, 2001) dengan menggunakan teknik relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan yoga, hasilnya menunjukkan bahwa teknik-teknik tersebut ternyata efektif untuk mengurangi keluhan berbagai penyakit terutama psikosomatis.
Universitas Sumatera Utara
25
6. Relaksasi kesadaran indera Relaksasi kesadaran indera ini seseorang biasanya diminta untuk membayangkan pada tempat-tempat yang mengenakkan. Saat shalat seseorang seolah-olah terbang ke atas (ruh), menghadap kepada Allah secara langsung tanpa ada perantara. Setiap bacaan dan gerakan senantiasa dihayati dan dimengerti dan ingatannya senantiasa kepada Allah. Arifin (dalam Haryanto, 2001) dalam bukunya Samudera Al-Fatihah, bahwa dalam shalat memang benar-benar terjadi dialog antara hamba dengan Tuhannya. 7. Pengakuan dan penyaluran (katarsis) Adi (1994) mengatakan bahwa dalam shalat, individu bisa langsung berdialog dengan Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui jadi bisa selalu katarsis (catharsis) dan tidak lagi merasa terpencil, karena si individu akan menyadari dia sesungguhnya tidak sendirian, paling sedikit masih ada Allah yang selalu memperhatikan dan menyertainya, dan selalu bersedia memelihara dan menolongnya, dengan rasa kebersamaan ini diharapkan kecemasannyapun bisa berkurang. 8. Terapi air (Hydro Therapy) Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa sebelum melakukan shalat, maka syaratnya adalah terlebih dahulu wudhu dengan air kecuali kalau tidak ada air boleh tayammum dengan debu. Menurut Adi (1985) dan Effendy (dalam Haryanto, 2001) wudhu ternyata memiliki efek penyegaran (refreshing), membersihkan badan dan jiwa, pemulihan tenaga, relaksasi, menghilangkan ketegangan-ketegangan dan kelelahan, mirip benar dengan terapi air.
Universitas Sumatera Utara
26
B. LANJUT USIA (Lansia) 1. Definisi Lanjut Usia (Lansia) Menurut Santrock (2002) lansia disebut sebagai masa dewasa akhir, yang dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar 120 tahun, memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam perkembangan manusia lima puluh tahun sampai enam puluh tahun. Menurut para ilmuan lain ( dalam Papalia, 2001) yang mempelajari tentang lansia dan membaginya kedalam tiga kelompok yaitu: (1) usia tua muda (young old) berusia 6574 tahun, biasanya masih aktif dan fit; (2) usia tua (old old) berkisar antara usia 75-84 tahun dan; (3) usia lanjut (oldest old) berusia 85 tahun keatas telah mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini menggunakan definisi menurut program dunia kesehatan lansia adalah individu yang berusia 55 tahun keatas. Menurut program dunia kesehatan lanjut usia adalah individu yang berusia 55 tahun keatas. Definisi ini berpatokan pada umur harapan hidup tahun 1955 yang berkisar 61-63 tahun dan umur masa pensiun 55 tahun serta UU no. 4 tahun 1965.
2.Tugas Perkembangan Lansia. Menurut Havighurst ( dalam Hurlock, 1999) sebagaian tugas perkembangan lanjut usia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Adapun tugas perkembangan tersebut antara lain:
Universitas Sumatera Utara
27
1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan didalam maupun diluar rumah. Mereka diharapkan untuk mencari kegiatan sebagai pengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagaian besar waktu kala mereka masih muda. 2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga. Pada usia ini, lansia sudah memasuki masa pensiun dan tidak bekerja lagi, sehingga pemasukan yang ada hanya berasal dari dana pensiun maupun dari pemberian anak-anak mereka. 3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup. Sebagaian besar orang lansia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kematian suami atau istri. Kejadian seperti ini lebih menjadi masalah dengan peristiwa kematian suami atau istri. Dimana kematian suami berarti berkurangnya pendapatan dan timbul bahaya karena hidup sendiri dan melakukan perubahan dalam aturan hidup. 4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sesuai. Pada lansia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan anak yang tumbuh besar dan masa pensiun.
Universitas Sumatera Utara
28
5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan. Menyadari bahwa menurunnya kesehatan dan fungsi-fungsi fisik, pada masa lansia mereka berusaha untuk mempertahankan dan mengatur kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan, yakni berolahraga maupun mengatur pola makan. 6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes. Pada lansia, individu mengalami perubahan peran. Dimana, para lansia mempunyai pengalaman lebih daripada orang yang lebih muda, sehingga peran lansia biasanya diminta untuk memberi pendapat, masukan ataupun kritikan, dan partisipasi lansia terhadap kehidupan sosial menurun biasanya disebabkan oleh masalah fisik.
3. Beberapa Masalah Yang Umum Dialami Oleh Para Lansia Berikut ini ada beberapa masalah yang sering dihadapi oleh lansia sehubungan dengan berbagai perubahan dan penurunan yang terjadi pada lanjut usia tersebut: 1. Masalah yang berhubungan dengan keadaan fisik. Keadaan fisik yang lemah dan tak berdaya sehingga menyebabkan harus bergantung pada orang lain (Hurlock, 1999) 2. Masalah status ekonomi, berkaitan dengan hal-hal seperti penghasilan, jaminan sosial, perumahan, kendaraan, jaminan pelayanan medis, dan lain-lain (Monks, 1999). 3. Masalah sosial berkaiatan dengan bagaimana mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal, pindah ke panti dan peran sosial yang baru ( Monks, 1999).
Universitas Sumatera Utara
29
4. Masalah pensiun hal ini terkait dengan keadaan ekonomi, meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua ( Papalia, 2001). 5. Masalah-masalah kesehatan, biasanya ketuaan menjadikan manusia rentan terhadap berbagai penyakit. Pada lansia biasanya penyakit yang dialami berupa penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, TBC paru, darah tinggi, jantung, kanker, gangguan pernafasan, radang sendi, osteoporosis dan alzheimer (Santrock, 2002). 6. Masalah yang berkaitan dengan penurunan fungsi berpikir, seperti dengan menurunnya daya ingat, kemampuan konsentrasi, memecahkan masalah, penurunan Fluid Intellegence, dan lain-lain ( Santrock, 2002). 7. Masalah psikologis terutama muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua. Rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, depresi, dan post power syndrome, the empty nest (Munandar, dkk, 2001). 8. Masalah seksual, bagi lansia yang masih mempunyai pasangan sering terjadi masalah dalam aktivitas seksual. Hal ini disebabkan oleh penyakit yang mungkin diserita salah satu pasangan hidup lansia tersebut atau karena suami mengalami kesulitan dalam mencapai orgasme, sehingga mempengaruhi keinginannya untuk melanjutkan hubungan seksual (Papalia, 2001).
Universitas Sumatera Utara
30
4.Gambaran Emosi pada Lansia Pada umumnya emosi lansia memiliki tingkat sensitifitas emosional yang meningkat, kurang gairah, kurang mampu menghadapi tekanan (stress), merasa rendah diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Keadaan seperti ini tentunya akan membuat kondisi emosi yang dirasakan akan semakin tidak stabil, apalagi diikuti dengan ketidakberhasilan menemukan jalan keluar dari masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua (Achir dalam Munandar, 2001). Satu dari beberapa penelitian yang berdasarkan pengalaman emosi dan usia yang dilakukan oleh Malatesta dan Kalnok (1984) (dalam Robert dkk, 2004). Mereka melakukan survey terhadap 240 orang kulit putih yang berasal dari kelas menengah yang dibagi kedalam 3 kategori usia 17-34, 35-56, dan 57-88. Mereka menemukan bahwasanya tidak ada kecenderungan untuk responden-responden yang lebih tua (usia 66 tahun) untuk lebih memiliki respon-respon yang negatif. Mereka juga menemukan lebih banyak persamaan daripada perbedaan diantara kategori-kategori diatas. Perbedaan gender kecil kebanyakan responden-responden tua tidak merasa bahwa emosi mereka berubah seiring berjalannya usia. Pengalaman emosi sama pentingnya antara orang-orang usia tua dengan usia menengah tetapi tidak terlalu penting bagi orang-orang dewasa usia muda. Kesedihan kebanyakan disebabkan oleh masalah-masalah fisik untuk orang dewasa didalam seluruh kategori seluruh usia. Sebagai contoh 55% dari dewasa muda melaporkan bahwa kesedihan itu berhubungan dengan masalah fisik, dibandingkan dengan 66% pada usia menengah dan 79% pada usia tua. Disisi lain masalah-masalah personal losses menyebabkan kesedihan 45% dewasa muda, 34% usia menengah dan 21% untuk usia dewasa akhir. Penemuan ini menyarankan bahwasanya kesehatan
Universitas Sumatera Utara
31
menjadi sumber yang lebih besar atas kesedihan berdasarkan usia tetapi asumsi bahwasanya personal lossess menjadi masalah yang lebih sering ditemukan terhadap distress dalam kehidupan selanjutnya bisa menjadi tidak akurat. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya masalah kesehatan menjadi masalah utama yang membuat keadaan emosional pada lansia menjadi lebih sering tidak stabil.
C. EMOSI 1. Pengertian Emosi Emosi berasal dari bahasa latin ’movere’ yang artinya menggerakkan, sehingga emosi berarti sesuatu yang mendorong terjadinya perubahan suatu keadaan (Kalat, 2005). Emosi menurut Goleman (2004) ialah pergolakan pikiran dan perasaan, termasuk setiap keadaan mental yang hebat, meluap-luap dan berujung pada timbulnya suatu perasaan yang khas, perubahan fisiologis tertentu serta kecenderungan untuk bergerak. Sementara itu, Preez (dalam Martin, 2003) menjelaskan emosi dalam tiga pengertian. Pertama, emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Kedua, emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi. Ketiga, hasil reaksi kognitif (berpikir) terhadap situasi spesifik. Pengertian emosi lebih lengkap dijelaskan oleh Atkinson dan Hilgard (2003) emosi merupakan suatu keadaan psikologis yang disebabkan oleh peristiwa, objek atau orang yang secara khusus meliputi penilaian secara kognitif (interpretasi individu terhadap suatu peristiwa), pengalaman subjektif (emosi yang dirasakan individu), kecenderungan berpikir dan bertindak (individu berpikir tentang respon emosi apa yang
Universitas Sumatera Utara
32
akan ditampilkannya), perubahan tubuh secara internal (adanya perubahan fisiologis akibat emosi yang muncul seperti detak jantung, pernapasan dan tekanan darah), ekspresi wajah (emosi yang dirasakan dapat ditunjukkan melalui ekspresi wajah, yang terlihat dari mata, bibir, hidung, dll) dan respon terhadap emosi (bagaimana individu menunjukkan emosi yang dirasakannya melalui tingkah laku, atau nada suara). Frijda (dalam Pluutchick, 1994) mengemukakan bahwa emosi timbul ketika suatu peristiwa memiliki makna pribadi bagi individu, atau jika situasi tersebut dapat bermanfaat atau merugikan kepentingannya. Frijda (1986) menggambarkan emosi sebagai perubahan kesiapan tindakan yang ditimbulkan oleh kejadian yang berarti. Ketika individu mengalami suatu kejadian maka ia melakukan apppraisal yang dapat menyebabkan kesiapan tindakan menjadi berubah. Berdasarkan beberapa pendapat diatas disimpulkan bahwa emosi ialah suatu perasaan yang timbul sebagai respon terhadap stimulus tertentu yang melibatkan pengalaman subjektif, respon fisiologis dan ekspresi yang dapat diamati, serta juga melibatkan penilaian secara kognitif, kecenderungan berpikir dan bertindak serta respon terhadap emosi.
2 Jenis-Jenis Emosi Lafreniere (1999) membagi emosi menjadi dua kelompok yaitu : a. Emosi positif yaitu emosi yang dikehendaki seseorang, seperti : 1) Gembira Kegembiraan, keriangan dan kesenangan timbul akibat rangsangan seperti keadaan fisik yang sehat atau keberhasilan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada
Universitas Sumatera Utara
33
berbagai macam ekspresi kegembiraan, dari yang tenang sampai meluap-luap. Seiring dengan bertambahnya usia, lingkungan sosial akan memaksa individu untuk mampu mengendalikan ekspresi kegembiraannya agar dapat dikatakan dewasa atau matang (Lazarus dalam Lafreniere, 1999). 2) Rasa ingin tahu Rangsangan yang menimbulkan emosi ingin tahu sangat banyak. Contohnya sesuatu hal yang aneh dan baru akan menyebabkan seseorang berusaha mencari tahu hal tersebut (Izard dalam Lafreniere, 1999). 3) Cinta Perasaan yang melibatkan rasa kasih sayang baik terhadap benda maupun manusia (Lazarus dalam Lafreniere, 1999). 4) Bangga Suatu perasaan yang dapat meningkatkan identitas ego seseorang misalnya dengan cara berhasil mencapai sesuatu yang bernilai atau dapat mewujudkan keinginan, seperti meraih prestasi (Lewis dalam Lafreniere, 1999). b. Emosi negatif yaitu emosi yang tidak dikehendaki seseorang, seperti : 1) Marah Emosi marah pada umumnya ditimbulkan oleh berbagai macam rintangan terhadap aktivitas dan keinginan yang dapat berasal dari orang lain maupun ketidakmampuan diri sendiri. Selain itu, marah juga dapat muncul karena kejengkelan yang bertumpuk. Reaksi kemarahan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu impulsif dan ditekan. Rasa marah sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya perasaan kita sedang tersinggung.
Universitas Sumatera Utara
34
Rasa marah merupakan emosi yang paling sulit untuk diterima dan diungkapkan (Lazarus dalam Lafreniere, 1999). 2) Sedih dan depresi Sedih adalah bentuk yang lebih ringan dari trauma psikis yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai atau kegagalan mewujudkan keinginan. Bentuk yang lebih berat dari sedih disebut depresi. Perbedaan antara sedih dan depresi adalah sedih biasanya tidak menghalangi individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Depresi dapat dilihat dengan ciri khasnya yaitu cara berpikir yang tidak realistis, sering merasa diri tidak berharga, sering merasa bersalah terhadap sesuatu yang sesungguhnya dia tidak bertanggung jawab dan ada kemungkinan untuk melukai diri sendiri serta mengakhiri hidup (Bowlby dalam Lafreniere, 1999). 3) Takut Emosi takut merupakan reaksi dari rangsangan yang terjadi secara tiba-tiba dan mengancam serta tidak memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Rasa takut juga muncul jika seseorang tidak bisa melakukan sesuatu sebaik yang dia inginkan (Witherington & Campos dalam Lafreniere, 1999). 4) Cemburu Cemburu merupakan emosi yang biasanya dirasakan seseorang saat orang yang dicintai mengalihkan perhatian dan cintanya kepada orang lain (Saarni dalam Lafreniere, 1999). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa emosi terbagi dua yaitu emosi positif (seperti gembira, rasa ingin tahu, cinta dan bangga) dan emosi negatif (seperti marah, sedih, depresi, takut dan cemburu).
Universitas Sumatera Utara
35
3. Pengertian Regulasi Emosi Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan (regulate feeling), reaksi fisiologis (regulate physiology), kognisi yang berhubungan dengan emosi (emotionrelated cognitions), dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (emotion-related behavior) (Shaffer, 2005). Regulasi emosi diartikan sebagai: “....., the process of initiating, maintaining, modulating or changing the occurence, intensity, or duration of internal feeling states and emotion-related physiological processes, often in the service of accomplishing one’s goal” (Eisenberg et al., dalam Garnefski et al.. 2002: 404 dalam Karista, 2005) Defenisi lainnya adalah: “....the process of managing responses taht ariginate within cognitive experiental, behavioral-expressive, and physiological biochemical components (Brenner & Salovey, 1997: 170). Dengan demikian dapat disimpulan bahwa regulasi emosi merupakan proses memulai, mengatur, memodulasi, atau mengubah kejadian, intensitas, atau durasi dari kondisi perasaan internal yang melibatkan aspek kognitif, perilaku dan fisiologis untuk mencapai tujuan. Sementara itu, Gross (1999) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan
Universitas Sumatera Utara
36
perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif. Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi. Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon
Universitas Sumatera Utara
37
fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan (Sukhodolsky, Golub & Cromwell dalam Gratz & Roemer, 2004). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.
4. Ciri-Ciri Regulasi Emosi Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat dilihat dalam lima kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004), yaitu : a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak dengan efektif b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain c. Memiliki sikap hati-hati d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan tantangan e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi f. Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungannya Menurut Martin (2003) ciri-ciri individu yang memiliki regulasi emosi ialah : a. Bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya
Universitas Sumatera Utara
38
b. Mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan untuk berkembang c. Lebih peka terhadap perasaan orang lain d. Melakukan introspeksi dan relaksasi e. Lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif f. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang dapat melakukan regulasi emosi ialah memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, sikap hati-hati, adaptibilitas, toleransi terhadap frustasi, pandangan yang positif, peka terhadap perasaan orang lain, melakukan introspeksi dan relaksasi, lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif serta tidak mudah putus asa.
5. Aspek-aspek Regulasi Emosi Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu : a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan. b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
39
c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat. d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut. Garnefski et al. (2001) (Dalam Karista, 2005) mengemukakan bahwa regulasi emosi melibatkan aspek biologis, sosial, perilaku, dan proses kognitif baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Menarik napas panjang ketika stress merupakan contoh regulasi emosi dalam aspek biologis. Dalam aspek sosial, regulasi emosi dilakukan dengan membangun hubungan interpersonal dengan orang lain dan mencari sumber dukungan. Dalam aspek perilaku, emosi diregulasi dengan melakukan berbagai perilaku yang bertujuan agar kondisi yang dialami seseorang tidak memberikan pengaruh negatif pada dirinya. Terakhir emosi dapat diregulasi melalui proses kognitif tidak sadar (seperti: denial, projection) dan sadar (blamming others, rumination, dsb).
6. Strategi Regulasi Emosi Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (1998) ada dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yaitu : a. Antecedent-focused strategy Antecedent-focused strategy ialah strategi yang dilakukan seseorang saat emosi muncul dan terjadi sebelum seseorang memberi respon terhadap emosi. Antecedent-
Universitas Sumatera Utara
40
focused merupakan strategi dalam regulasi emosi dengan mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau menginterpretasi suatu peristiwa yang menimbulkan emosi. Oleh karena itu, strategi ini disebut juga dengan cognitive reappraisal. Antecedent-focused strategy dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi sehingga respon yang ditampilkan tidak berlebihan. b. Respon-focused strategy Respon-focused strategy ialah bentuk dari pengaturan respon dengan menghambat ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara dan perilaku. Strategi ini disebut juga dengan expressive suppression. Respon-focused strategy hanya efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak membantu mengurangi emosi yang dirasakan. Individu yang sering menggunakan respon-focused strategy membuat seseorang menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa yang mereka rasakan serta akan menimbulkan perasaan negatif, daripada individu yang menggunakan antecedent-focused strategy. Penelitian membuktikan bahwa antecedentfocused strategy lebih efektif sebagai strategi regulasi emosi daripada respon-focused strategy. Menurut Gross (2001) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan banyak cara, yaitu: a. Situation selection Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
41
b. Situation modification Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang dialaminya agar tidak bertambah sedih. c. Attention deployment Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang menonton film lucu, mendengar musik atau berolahraga untuk mengurangi kemarahan atau kesedihannya. d. Cognitive change Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu tantangan daripada suatu ancaman. e. Respon modulation Usaha individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan. Contohnya, seseorang yang tidak memperlihatkan ekspresi kemarahannya pada orang lain. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam
strategi dalam regulasi emosi yaitu antecedent-focused strategy, respon-focused strategy, situation selection, situation modification, attention deployment, cognitive change dan respon modulation.
Universitas Sumatera Utara
42
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi Williams dari Universitas Duke mengatakan bahwa latihan fisik khususnya yang mengandung nilai relaksasi seperti meditasi dan hatha yoga dapat mempengaruhi peningkatan regulasi emosi seseorang karena membantu mengurangi kemarahan, rasa cemas dan depresi (Robbins, Powers & Burgess, 1997). Selain faktor diatas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu : a. Usia Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005). Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa kemampuan anak melakukan regulasi emosi tanpa bantuan orang lain terus meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Selain itu, kemampuan untuk mengevaluasi kontrolabilitas dari suatu stressor dan memilih strategi regulasi juga meningkat sejalan dengan tahapan perkembangan seseorang (Brenner & Salovey, 1997). b. Jenis Kelamin Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan gendernya. Perempuan menunjukkan sifat feminimnya dengan mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas dan menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi dihubungkan dengan
Universitas Sumatera Utara
43
perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas (Fischer dalam Coon, 2005). Menurut Brenner dan Salovey (1997) mengatakan bahwa wanita lebih sering berusaha mencari dukungan social untuk menghadapi distress sedangkan pria lebih memilih melakukan aktivitas fisik untuk mengurangi distress. Selain itu, dibanding pria, wanita lebih sering menggunakan emotion focused regulation yang melibatkan komponen kognitif dan emosi. c. Religiusitas Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005). d. Kepribadian Orang yang memiliki kepribadian ‘neuroticism’ dengan ciri-ciri sensitif, moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen & Armeli dalam Coon, 2005).
Universitas Sumatera Utara
44
e. Pola Asuh Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam Brenner & Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara orang tua mensosialisasikan emosi kepada anaknya diantaranya melalui: pendekatan tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orang tua); teknik teaching dan coaching; dan mencocokkan kesempatan dalam lingkungan. f. Budaya Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara individu menerima, menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi apa yang dianggap sesuai atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi (Lazarus, 1991). g. Individual Dispositional Brenner & Salovey (1997) menjelaskan bahwa karakteristik kepribadian seperti trait kepribadian yang dimiliki seseorang, dapat mempengaruhi cara seseorang meregulasi emosinya. Contohnya, anak yang mengalami depresi cenderung menggunakan strategi menghindar dalam mengatasi kondisi distress dibanding anak yang tidak mengalami depresi. h. Tujuan dilakukannya regulasi emosi (Goals) Merupakan apa yang individu yakini dapat mempengaruhi pengalaman, ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami (Gross, 1999).
Universitas Sumatera Utara
45
i. Frekuensi individu melakukan regulasi emosi (Strategies) Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999). j. Kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi (Capabilities) Jika trait kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat individu lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).
D. Jantung Koroner 1. Definisi Penyakit Jantung Koroner Penyakit akibat dari penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang berfungsi untuk menyuplai jantung dengan darah yang penuh dengan oksigen. Peredaran darah menjadi tersumbat dengan adanya plak. Kondisi ini disebut atherosclerosis (Sarafino, 2006). Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. (Soeharto,2000).
2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner Terdapat beberapa faktor risiko penyakit jantung yaitu faktor risiko alami dan faktor risiko gabungan (Soeharto, 2000). A.
Faktor risiko yang alami terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
46
1. Keturunan. Hasil studi para pakar ilmu kesehatan menunjukkan bahwa berbagai penyakit mempunyai hubungan dengan keturunan. Dalam suatu keluarga, ketahanan atau kerentanan seorang anggota keluarga terhadap penyakit kelihatannya ada keterkaitannya. Keturunan mengambil peranan penting dalam menentukan risiko alamiah dari PJK. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai anggota menderita PJK dibawah umur 55 tahun menunjukkan bahwa ada anggota lain dari keluarga tersebut mempunyai penyakit jantung yang bersifat prematur (Soeharto, 2000). 2. Jenis Kelamin. Penyakit jantung bukan monopoli orang laki-laki. Perempuan pun dapat terkena juga. Memang betul lebih banyak laki-laki yang terkena serangan jantung daripada perempuan dan dalam usia yang lebih muda. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan sebelum fase menopouse memiliki risiko serangan jantung lebih rendah daripada lakilaki. Hal ini disebabkan oleh hormon estrogen yang bersifat ”melindungi” terhadap penyakit tersebut (Soeharto, 2000). Hormon ini mempunyai pengaruh bagaimana tubuh bekerja menghadapi lemak dan kolesterol, sehingga menghasilkan kadar HDL tinggi dan LDL rendah. Karena itu pada pemeriksaan darah umumnya perempuan memiliki kadar HDL lebih tinggi daripada laki-laki. Karena itulah, risiko PJK pada perempuan lebih rendah daripada laki-laki (Soeharto, 2000). 3. Umur. Jelas sekali umur merupakan faktor yang amat berpengaruh terhadap terjadinya pengendapan aterosklerosis pada arteri koroner. Saluran arteri koroner ini dapat
Universitas Sumatera Utara
47
dibandingkan dengan saluran pipa leding, yaitu makin tua umurnya makin besar kemungkinan timbul ”kerak” di dindingnya, yang menyebabkan terganggunya aliran air di dalam pipa (Soeharto, 2000). 4. Riwayat Kesehatan Pribadi. Faktor-faktor tertentu dari riwayat kesehatan pribadi dapat mempengaruhi risiko terkena PJK. Misalnya, pada mereka yang pernah terkena serangan jantung, kemungkinan terkena lagi lebih besar dibandingkan dengan mereka yang belum mengalaminya (Soeharto, 2000). B. Faktor risiko gabungan terdiri dari : 1. Riwayat keluarga Hasil studi para pakar ilmu kesehatan menunjukkan bahwa berbagai penyakit mempunyai hubungan dengan keturunan. Dalam suatu keluarga, ketahanan atau kerentanan seorang anggota keluarga terhadap penyakit kelihatannya ada keterkaitannya. Keturunan mengambil peranan penting dalam menentukan risiko alamiah dari PJK. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai anggota menderita PJK dibawah umur 55 tahun menunjukkan bahwa ada anggota lain dari keluarga tersebut mempunyai penyakit jantung yang bersifat prematur (Soeharto, 2000). Jika orang tua meninggal karena serangan jantung atau stroke, maka risiko akan semakin tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan faktor genetik. Eksperimen menunjukkan sekitar 5 sampai 10 persen bayi yang baru lahir mempunyai kadar kolesterol yang lebih tinggi dari biasa. Banyak diantaranya tidak berbahaya, dan dalam waktu yang cukup lama, dapat juga kembali normal. Tetapi ada beberapa orang yang mempunyai apa yang disebut turunan dari keluarga hypercholesterolaimea, artinya orang tersebut mewarisi
Universitas Sumatera Utara
48
kecenderungan darah berkadar kolesterol yang tinggi. Nasib orang seperti ini memang kurang menguntungkan, karena mempunyai faktor-faktor risiko yang tinggi untuk mendapat penyakit jantung pada usia muda (Knight, 1996). 2. Olahraga Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih peka (sensitif) terhadap insulin. Sebagai hasilnya organ diatas dapat menggunakan atau menyimpan glukose lebih efektif, sehingga dapat membantu menurunkan kadar glukose. Keadaan ini dapat berlangsung untuk beberapa jam setelah melakukan olahraga. Namun demikian, perlu diingat bahwa meningkatnya kepekaan insulin akan hilang setelah beberapa hari melakukan olahraga. Manfaat latihan diatas akan hilang bila berhenti 3-4 hari. Keadaan ini menekankan bagaimana pentingnya melakukan olahraga secara teratur dan berkesinambungan (Soeharto,2000). 3. Umur Jelas sekali umur merupakan faktor yang amat berpengaruh terhadap terjadinya pengendapan aterosklerosis pada arteri koroner. Saluran arteri koroner ini dapat dibandingkan dengan saluran pipa leding, yaitu makin tua umurnya makin besar kemungkinan timbul ”kerak” di dindingnya, yang menyebabkan terganggunya aliran air di dalam pipa (Soeharto, 2000). 4. Merokok Keadaan jantung dan paru-paru mereka yang merokok tidak akan dapat bekerja secara efisien. Mereka mempunyai risiko yang tinggi terhadap PJK, stroke, bronkhitis yang kronis, bahkan kanker (Soeharto, 2000).
Universitas Sumatera Utara
49
Dalam beberapa dekade belakangan ini semakin banyak bukti yang menyatakan bahwa mengisap rokok adalah salah satu penyebab utama seseorang menderita penyakit kardiovaskular (Knight, 1996). 5. Tekanan Darah Tinggi Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan salah satu faktor risiko PJK. Jikalau dibiarkan tanpa perawatan yang tepat, dapat timbul komplikasi yang berbahaya. Penderita sering tidak menyadari selama bertahun-tahun sampai terjadi komplikasi besar seperti stroke, serangan jantung atau kegagalan ginjal (Soeharto, 2000). 6. Kegemukan Obesitas atau kegemukan adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan adanya penumpukan lemak tubuh yang melebihi batas normal (Soeharto, 2000). Hubungan di antara badan yang terlalu gemuk dengan penyakit sudah jelas. Pertambahan berat badan biasanya ditimbulkan oleh karbohidrat dan lemak yang terlalu banyak. Lebih banyak orang yang timbangan badannya terlalu berat menderita penyakit jantung koroner (Knight, 1996). 7. Jenis Kelamin Penyakit jantung bukan monopoli orang laki-laki. Perempuan pun dapat terkena juga. Memang betul lebih banyak laki-laki yang terkena serangan jantung daripada perempuan dan dalam usia yang lebih muda. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan sebelum fase menopouse memiliki resiko serangan jantung lebih rendah daripada lakilaki. Hal ini disebabkan oleh hormon estrogen yang bersifat ”melindungi” terhadap penyakit tersebut (Soeharto, 2000).
Universitas Sumatera Utara
50
8. Kadar kolesterol LDL. LDL (Low Density Lipopprotein Cholesterol) adalah inti dari permasalahan penyakit jantung koroner dan sering dinamakan ”kolesterol jahat”. LDL di dalam darah dapat mengendap di dinding arteri menjadi padat yang terdiri dari campuran kalsium, fibers, dan zat-zat lain yang kesemuanya disebut plak (plaque). Terbentuknya plak tersebut menyebabkan penyakit aterosklerosis. Sebetulnya jantung sendiri biasanya sehat, tetapi saluran darah arterinya sering tersumbat oleh plak tersebut. Ini disebut CHD (Coronary Hearth Disease). Makin besar kadar LDL didalam darah, resiko PJK semakin tinggi (Soeharto, 2000). 9. Stress Stress dianggap merupakan salah satu faktor risiko dari PJK, meskipun belum dapat “diukur” berapa besar pengaruh tersebut memicu timbulnya PJK. Deskripsi yang paling mendekati ialah suatu keadaan mental yang nampak sebagai kegelisahan, kekhawatiran, tensi tinggi, keasyikan yang abnormal dengan suatu dorongan atau sebab dari lingkungan yang tidak menyenangkan. Beberapa studi kepribadian mengungkapkan bahwa kepribadian Tipe A yang ambisius, kemauan keras, mencapai sasaran super dan mereka yang umumnya sulit menjadi puas atau senang ternyata lebih mudah mendapatkan penyakit jantung koroner daripada kepribadian Tipe B, yang dicontohkan sebagai orang-orang yang lebih mudah merasa beruntung, tidak terlalu ambisius, dan mudah puas. Tingkat stress yang tinggi dapat menyebabkan serangan jantung, teristimewa kalau faktor risiko koronber lainnya juga hadir. (Soeharto, 2000).
Universitas Sumatera Utara
51
10. Diabetes Mellitus. Diabetes menyebabkan faktor risiko terhadap PJK yaitu bila kadar glukosa darah naik, terutama bila berlangsung dalam waktu yang cukup lama karena gula darah (glucose) tersebut dapat menjadi racun terhadap tubuh, termasuk sistem kardiovaskular. Pasien dengan diabetes cenderung mengalami serangan jantung pada usia yang masih muda (Soeharto, 2000). Menurut Sarafino (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit jantung koroner, yaitu: a. Gaya hidup dan biologis Yang dapat menyebabkan penyakit jantung antara lain sejarah keluarga tentang penyakit jantung, tekanan darah tinggi, tingginya level kolesterol LDL dan low HDL, fisik yang lemah, diabetes, obesitas, stress. b. Emosi negatif Berdasarkan hasil penelitian, baik pria atau wanita yang memiliki level yang tinggi pada depresi, dan kecemasan cenderung lebih rentan terkena penyakit jantung. Ada dua alasan yang dapat menjelaskan hal ini, yang pertama saat emosi negatif terjadi, maka gaya hidup sehat berkurang. Alasan kedua jika emosi negatif berdampak pada psikologis yang dapat menyebabkan penyakit jantung, Orang-orang dengan tipe kepribadian A juga lebih cenderung terkena penyakit jantung. Sebab mereka adalah orang-orang yang reaktif, serta memiliki tingkat kemarahan dan permusuhan yang tinggi. Menurut Sarafino (2006) beberapa faktor risiko dari penyakit jantung koroner telah diidentifikasi dan beberapa diantaranya digolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat dirubah. Faktor yang tidak dapat diubah
Universitas Sumatera Utara
52
seperti status pendidikan, mobilitas sosial, kelas sosial, usia, gender, sejarah keluarga, ras dan lain-lain, dan faktor yang dapat diubah seperti perilaku merokok, obesitas, gaya hidup yang menetap, stress kerja dan tipe perilaku.
3. Gejala-gejala Utama Serangan Jantung Menurut Knight (1996) Ciri-ciri serangan jantung pada umumnya nyata dan jelas. Itu sebabnya perlu mengenal gejala-gejala terjadinya serangan jantung yaitu: 1. Rasa nyeri di dalam dada Inilah tanda yang paling umum, dan dialami setiap kali terjadinya serangan jantung. Ini sama dengan oklusi koroner. Artinya pembuluh nadi koroner tersumbat akibat adanya pembekuan darah atau throumbus. Variasi sakit tersebut terjadi sangat besar, dan terjadi secara tiba-tiba. Terjadi di sembarang waktu siang atau malam. Biasanya terjadi di bagain depan dada, pada tulangdada lalu menyebar keseluruh dada, khususnya di bagian lengan kiri. 2. Shock Shock adalah satu hal yang biasa terjadi pada orang yang mengalami infark dan terjadi pada setiap tahap. Gejala umum dari shock termasuk rasa lemah dan pusing, atau pingsan. Ada juga yang lebih kentara dan parah. Kulitnya pucat, dingin dan basah. Apabila itu shock kardiak maka keadaan orang itu parah, dan sering membawa maut. 3. Gejala gagal jantung Gejala ini terasa pada setiap kali ada infark, dan muncul dengan tiba-tiba dan sangat berbahaya. Itu terjadi karena jantung tidak mampu melakukan tugasnya pada saat aksi datang secara mendadak, dan gagal melakukan tugasnya secra normal.
Universitas Sumatera Utara
53
4. Denyut jantung tidak teratur Kadang-kadang timbul ketidak teraturan denyut jantung. Kontraksi dini jantung yang bebas dari irama jantung normal, disebut extra systolis, sering terjadi dan kemudian akan terus tidak teratur baik kecepatan maupun kekuatannya, ini disebut atrial fibrillation.
E. Hubungan keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi. Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam Coon, 2005). Saat melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk & Fouts, 2002). Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah. Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) mendefenisikan religiusitas sebagai kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan yang berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan seseorang atau kelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia serta alam sekitarnya. Selanjutnya, Glock dan Stark (dalam Anggarasari, 1997) mengatakan bahwa keberagamaan seseorang menunjuk pada ketaatan dan komitmen seseorang terhadap agamanya. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah suatu penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen seseorang
Universitas Sumatera Utara
54
dalam melaksanakan ajaran agamanya. Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005) religiusitas sendiri memiliki lima dimensi dan salah satunya adalah dimensi praktek agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dalam keberislaman, dimensi peribadatan (praktek ibadah) menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid pada bulan puasa dan sebagainya. Rahayu (2005) menyebutkan bahwa shalat adalah kegiatan yang menggabungkan antara kegiatan fisik, mental, dan spiritual. Tidak hanya itu, shalat mampu memberikan makna tak hanya bagi diri individu, tetapi juga bagi hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan sosial manusia yang satu dengan yang lain. Tegaknya shalat berarti menyatukan pikir (akal, emosi), mental (spiritual, keikhlasan) dan lahir (fisik, perbuatan) dalam satu titik keseimbangan yang harmonis, sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu bentuk penyembuhan spritual adalah shalat. Shalat dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan. Berdasarkan penemuanpenemuan mutakhir yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh dan penyakit sebenarnya berasal dari penyakit jiwa, dan banyak penyakit tubuh sesungguhnya dapat disembuhkan melalui ketenangan jiwa, maka shalat dapat dilihat sebagi sarana kesehatan tubuh juga (Banna dalam Nurdin, 2006). Menurut Sholeh (2006) Shalat jika dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusyuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahanan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-
Universitas Sumatera Utara
55
nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan ndividu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi (coping). Shalat seperti meditasi mempunyai efek yang mu’jizat terhadap seluruh sistem tubuh kita seperti syaraf, peredaran darah, pernapasan, pencernaan, pengeluaran, otototot, kelenjar, reproduksi dan lain-lain. Shalat juga sebagai meditasi yang dapat melepaskan diri dari kesibukan dunia yang mencemaskan, untuk masuk ke dalam suasana tenang walau sesaat pada waktu-waktu yang telah ditentukan secara teratur, untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dapat mengurangi kecemasan (Nizami, 1981). Shalat membuat jiwa menjadi tenang, tidak gelisah, takut atau khawatir, membawa keteguhan hati dan sikap optimis serta ketenangan jiwa (Rafi’udin & Zainudin 2004). Hal ini sejalan dengan pendapat Hasan (2000) mengatakan salah satu hikmah shalat yaitu sebagai penenang jiwa orang resah gelisah. Basyarahil (2001) juga mengatakan bahwasanya shalat dapat menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman batin. Berdasarkan penjelasan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya manfaat shalat yang dirasakan menggambarkan adanya peningkatan proses kemampuan seseorang dalam mengatur atau meregulasi emosinya sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa keteraturan shalat lima waktu memiliki hubungan dengan regulasi emosi.
Universitas Sumatera Utara
56
F. Kerangka Berfikir Lansia
Perubahan/Masalah
Psikologis
Kesehatan
Ekonomi
Sosial Budaya
Gaya Hidup dan Biologis
PJK
Emosi Negatif Karakteristik Lansia
Karakteristik PJK
Sikap Terhadap Penyakit Kronis
Cemas
Emosi Negatif Budaya Cara Mengatasi
Jenis kelamin Usia
Regulasi Emosi
Religiusitas
Praktek Agama
Dll. Shalat Keteraturan Shalat Khusyuk
Gerakan
Universitas Sumatera Utara
57
Keterangan Gambar: Melihat apakah ada hubungan Salah satu dimensinya Faktor yang mempengaruhi Terdiri dari Penyebab
G. Hipotesis Berdasarkan penjelasan secara teoritis yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesa penelitian adalah : Ada Hubungan positif antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner. Semakin teratur shalat lima waktu lansia penderita jantung koroner maka semakin meningkat kemampuan regulasi emosinya.
Universitas Sumatera Utara