BAB II LANDASAN TEORI
A. Keselamatan Kerja Menurut Tarwaka keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahan, landasan kerja dan lingkungan kerja serta cara-cara melakukan pekerjaan dan proses produksi (Tarwaka, 2008: 4). Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, persyaratan keselamatan kerja adalah sebagai berikut. 1.
Mencegah dan Mengurangi kecelakaan.
2.
Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran.
3.
Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
4.
Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri dalam kejadian kebakaran atau kejadian lain yang berbahaya.
5.
Memberikan pertolongan dalam kecelakaan.
6.
Memberikan alat perlindungan diri bagi pekerja.
7.
Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembapan, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
8.
Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi, dan penularan.
9.
Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai. 7
10.
Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik.
11.
Menyelenggarakan penyegaran udara yang baik.
12.
Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.
13.
Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerja.
14.
Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman, atau barang.
15.
Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
16.
Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan, dan penyimpanan barang.
17.
Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
18.
Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahayanya menjadi bertambah tinggi.
B. Kecelakaan Kerja Kecelakaan merupakan hal yang paling dihindari dari suatu proses produksi pada perusahaan. Terjadinya kecelakaan kerja dapat mempengaruhi produktivitas pada suatu perusahaan. Dengan demikian, peraturan keamaan kerja atau keselamatan kerja merupakan suatu usaha untuk melindungi buruh dari bahaya yang timbul karena pekerjaan dan menciptakan kondisi kerja yang aman bagi buruh. Tujuan peraturan keamanan kerja adalah sebagai berikut: (Budiono, 1999: 228) 1) Melindungi buruh dari resiko kecelakaan pada saat ia melakukan pekerjaan.
8
2) Menjaga supaya orang-orang yang berada disekitar tempat kerja terjamin keselamatannya. 3) Menjaga upaya sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan berdaya guna. Kecelakaan kerja bukan merupakan suatu kebetulan, tetapi kecelakaan pasti ada penyebab yang melatarbelakangi kejadian tersebut. Mengenai sebab terjadinya kecelakaan kerja dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1) Perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan. 2) Keadaan atau lingkungan kerja yang tidak aman. Adapun kerugian yang ditimbulkan dalam kecelakaan kerja tidak hanya menimpa tenaga kerja saja, akan tetapi pengusaha juga mengalami kerugian. Bagi tenaga kerja, kerugian yang dialami berupa non ekonomi, yakni suatu penderitaan berupa luka baik itu berat maupun ringan, cacat hingga kematian. Sedangkan bagi perusahaan tersebut bersifat ekonomi.
C. Kesehatan Kerja Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal (Mannulang, 1990: 87). Tidak jauh dari pengertian diatas terjadinya penyakit kerja merupakan akibat dari tidak dilaksanakannya kesehatan kerja. Pengertian kesehatan kerja sendiri dalam undang-undang tidak diatur. Menurut Soepomo, kesehatan kerja adalah aturan-aturan dan usaha-usaha untuk 9
menjaga buruh dari kejadian atau keadaan perburuhan yang merugikan kesehatan dan kesusilaan dalam diri seseorang itu, karena itu melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja (Soepomo, 1985: 75). Jika disimpulkan, kesehatan kerja adalah usaha untuk menjaga buruh dari kejadian atau keadaan perburuhan yang merugikan kesehatan dan kesusilaan, baik dalam keadaan yang sempurna fisik, mental, maupun sosial, sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Adapun faktor-faktor dari kesehatan kerja adalah: 1.
Lingkungan kerja secara medis Dalam hal ini lingkungan kerja secara medis dapat dilihat dari sikap perusahaan dalam menangani hal-hal sebagai berikut:
2.
a.
Kebersihan lingkungan kerja.
b.
Suhu udara dan ventilasi di tempat kerja.
c.
Sistem pembuangan sampah dan limbah industri.
Sarana kesehatan tenaga kerja Upaya-upaya dari perusahaan untuk meningkatkan kesehatan dari tenaga kerjanya hal ini dapat dilihat dari:
3.
a.
Penyediaan air bersih.
b.
Sarana olah raga dan kesempatan rekreasi.
c.
Sarana kamar mandi dan WC.
Pemeliharaan kesehatan tenaga kerja: a.
Pemberian makanan yang bergizi.
b.
Pelayanan kesehatan tenaga kerja.
c.
Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja. 10
D. Perundang-Undangan K3 1. Undang-Undang Ketenagakerjaan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, merupakan UU. pengganti UU sebelumnya yaitu UU No. 14 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja; UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan maupun UU No. 11 Tahun 1998 tentang
perubahan
berlakunya
UU
No.25
Tahun
1997
tentang
Ketenagakerjaan. UU 13/2003 tersebut mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003. Pada Paragraf 5 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3): a. Pasal 86 dinyatakan bahwa; 1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a) Keselamatan dan kesehatan kerja. b) Moral dan kesusilaan. c) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. 2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya K3. b. Pasal 87 (1) dinyatakan bahwa: setiap perusahaan Wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Kedua pasal tersebut jelas bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan
pekerja/buruh
wajib
memberikan
perlindungan
11
keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku kepada tenaga kerja dan keluarganya. 2. Undang-Undang Pengawasan Ketenagakerjaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang pengesahan konvensi ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan
dimaksudkan
untuk
dapat
melaksanakan
pengawasan
ketenagakerjaan secara efektif sesuai standar yang ditetapkan oleh International Labour Organisation (ILO). Konvensi ILO Nomor 81 terdiri dari 4 bagian dan 39 pasal. Pokokpokok isi dari konvensi ini antara lain memuat hal-hal sebagai berikut: 1) Sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja harus diterapkan di seluruh
tempat
kerja
berdasarkan
peraturan
perundangan
dan
pengawasannya dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. 2) Fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan harus menjamin penegakan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan tenaga kerja serta memberikan informasi efektif tentang masalah teknis kepada pengusaha dan pekerja/buruh. 3) Pengawasan ketenagakerjaan tetap berada di bawah supervisi dan kontrol pemerintah pusat. 4) Hal-hal lain yang berkaitan dengan persyaratan pegawai pengawas, tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengawas ketenagakerjaan.
12
3.
Undang-Undang Keselamatan Kerja UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja terdiri dari 11 bab 18 pasal, adalah merupakan UU pokok yang memuat aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, maupun di udara yang berada di wilayah Negara RI (Pasal 2). Sementara itu perumusan ruang lingkup dalam Undang-undang ini ditentukan atas dasar 3 hal yaitu: 1) Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi sesuatu usaha. 2) Adanya tenaga kerja yang bekerja. 3) Adanya bahaya dan resiko kerja di tempat kerja.
4. Undang-Undang Uap UU Uap 1930 mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 1 Januari 1931. UU Uap berisi 32 pasal yang mengatur tentang pesawat uap. Mengingat pesawat uap adalah suatu peralatan kerja yang bertekanan tinggi, sehingga mempunyai resiko terhadap terjadinya peledakan, maka setiap pengguna pesawat uap haruslah mempunyai ijin dan memenuhi persyaratan tetentu setelah melalui pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 6 s/d 12). 5. Undang-Undang Jaminan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dimaksudkan untuk menggantikan UU. NO. 2 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU Kecelakaan No. 33 Tahun 1947 dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). UU ini mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 17 Februari 1992. Seperti di dalam konsideran UU ini, bahwa dengan semakin 13
meningkatnya peranan tenaga kerja dalam pembangunan nasional dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan industri dapat mengakibatkan semakin tinggi resiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, maka perlu adanya upaya perlindungan tenaga kerja. Pemberian perlindungan tenaga kerja adalah meliputi pada saat tenaga kerja melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja melalui program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dengan mekanisme asuransi. 6. Undang-Undang Kesehatan Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, khususnya pada Pasal 23 dinyatakan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal yang meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja. Dan setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja sesuasi dengan peraturan perundangan yang berlaku. 7. Undang-Undang Higiene Perusahaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1969 tentang persetujuan konvensi ILO No. 120 mengenai higiene dalam perniagaan dan kantor-kantor mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 25 Februari 1961. Konverensi ini berlaku bagi: a. Badan-badan perniagaan. b. Badan, lembaga, kantor pemberi jasa dimana pekerjanya terutama melakukan pekerjaan kantor. c. Setiap bagian dari badan, lembaga atau kantor pemberi jasa dimana pekerjanya terutama melakukan pekerjaan dagang atau kantor, sejauh mereka tidak tunduk pada UU atau peraturan lain yang bersifat nasional 14
tentang higiene dalam industri, pertambangan, pengangkutan dan pertanian.
E. Alat Pelindung Diri Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha tehnis pengamanan tempat, peralatan dan lingkunga kerja adalah perlu diutamakan. Namun, kadang-kadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga perlu digunakan alat-alat perlindungan diri (personal protective). Alat-alat perlindungan diri tersebut harus memenuhi persyaratan : 1) Nyaman dipakai 2) Tidak mengganggu kerja, dan 3) Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya Penyediaan alat perlindungan diri yang cukup akan menghindarkan diri atau dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang mungkin timbul atau terjadi. Hal ini harus diperhatikan perusahaan, apalagi alat perlindungan tersebut merupakan salah satu fasilitas dari perusahaan untuk tenaga kerja, dengan kata lain alat perlindungan diri harus disediakan perusahaan secara cumacuma untuk tenaga kerja tanpa dipungut biaya. Alat perlindungan diri beraneka ragam macamnya. Jika digolonggolongkan menurut bagian-bagian tubuh yang dilindunginya, maka jenis alat perlindungan diri adalah sebagai berikut: 1.
Kepala
: pengikat rambut, topi
2.
Mata
: penutup mata atau kacamata
3.
Muka
: masker 15
4.
Tangan
: sarung tangan
5.
Kaki
: sepatu
6.
Telinga
: sumbat telinga, tutup telinga
7.
Tubuh
: pakaian kerja
Alat perlindungan diri yang disediakan perusahaan satu dengan yang lain tidak sama, hal ini didasarkan pada jenis pekerjaan atau jenis usaha yang dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan.
F. Manajemen K3 Agar penerapan K3 pada suatu perusahaan dapat berjalan dengan baik, maka keselamatan dan kesehatan kerja harus dikelola sebagai mana seperti aspek-aspek lain seperti, produksi, penggudangan, keuangan, pemasaran, logistik dan sumber daya manusia. Dengan begitu kejadian yang tidak di inginkan pada perusahaan yang dapat menimbulkan kerugian dapat di cegah. Menurut Kepmenaker 05 tahun 1996, Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman efisien dan produktif (Soehatman, 2010: 46). Penerapan sistem manajemen K3 bertujuan untuk menciptakan tempat kerja yang aman efisien dan produktif. Kewajiban penerapan sistem manajemen K3 didasarkan pada dua hal yaitu ukuran besarnya perusahaan dan 16
tingkat potensi bahaya yang ditimbulkan. Meskipun perusahaan hanya mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 100 (seratus) orang, tetapi apabila tingkat resiko bahayanya besar juga berkewajiban menerapkan sistem manajemen K3 di perusahaannya.
G. Investigasi Kecelakaan Kerja Setiap perusahaan memang tidak menginginkan kecelakaan kerja terjadi pada karyawannya, karena dapat menimbulkan kerugian biaya maupun jiwa. Namun pada kenyataannya, kecelakaan kerja sangat sulit untuk dihindari. Setiap tahunnya pasti terjadi kecelakaan kerja pada setiap perusahaan baik kecelakaan kerja ringan maupun kecelakaan kerja berat. Setelah terjadi kecelakaan kerja akan diadakan investigasi di tempat kejadian untuk mengetahui penyebab kecelakaan kerja itu sendiri. Investigasi dilakukan dengan kegiatan inspeksi tempat kerja secara khusus, yang dilakukan setelah terjadinya peristiwa kecelakaan atau insiden yang menimbulkan penderitaan kepada manusia serta mengakibatkan kerugian dan kerusakan terhadap properti dan aset perusahaan lainnya. Dengan demikian, investigasi kecelakaan dan insiden merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan sesegera mungkin setelah setiap adanya kejadian kecelakaan. Dan tujuan utama diadakan investigasi adalah untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi dan mendapatkan solusi terbaik guna mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kecelakaan sering terabaikan. Menurut Bird dan Germain (1986) bahwa pelaksanaan investigasi kecelakaan/insiden secara efektif antara lain akan dapat:
17
a. Menjelaskan tentang apa yang terjadi Investigasi secara cermat dapat menyelidiki hal-hal melalui bukti konkrit dan mendapatkan pernyataan sebenarnya tentang apa yang sedang terjadi. b. Menentukan penyebab sebenarnya Fakta kesedihan sering menyita waktu investigasi, sehingga investigasi menjadi dangkal dan kurang berguna. Oleh karena penyebab sebenarnya tidak dapat diidentifikasi, sehingga investigasi waktu yang diluangkan untuk investigasi menjadi sia-sia. c. Menentukan resiko kecelakaan Investigasi yang baik akan dapat memutuskan kemungkinan terulangnya kecelakaan yang sama dan kemungkinan potensi kerugian yang besar. Hal tersebut merupakan dua faktor penting di dalam menentukan jumlah waktu dan biaya yang akan digunakan untuk tindakan perbaikan. d. Mengembangkan sarana pengendalian Sarana
pengendalian
yang
tepat
untuk
mengurangi
atau
menghilangkan resiko, sebagian besar berasal dari hasil investigasi yang
dilakukan
dengan
sebenarnya
dan
nyata-nyata
dapat
memecahkan masalah yang terjadi. e. Mendefinisikan arah kecenderungan Apabila secara signifikan sejumlah laporan dapat dianalisa, maka arah kecenderungan emergensi akan dapat diidentifikasi dan ditangani sesegera mungkin.
18
f. Mendemonstrasikan perhatian Kejadian kecelakaan akan memberikan suatu gambaran tantangan secara gamblang terhadap orang-orang agar selalu berhati-hati. Dengan demikian suatu investigasi harus dilakukan secara cermat dan objektif (Bird dan Germain dalam Tarwaka, 2008: 143).
19