BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Manajemen Operasional Mengacu pada pendapat Dyck dan Neubert (2009:2), manajemen adalah
proses
perencanaan,
pengorganisasian,
memimpin,
dan
mengendalikan sumber daya manusia dan sumber daya organisasi lainya agar dapat secara efektif mencapai tujuan organisasi. Terdapat 4 (empat) fungsi manajemen yaitu: 1. Perencanaan (planning) Perencanaan berarti mengidentifikasi tujuan organisasi dan strategi dan mengalokasikan sumber daya organisasi yang tepat yang diperlukan untuk mencapainya. 2. Mengorganisasi (organizing) Pengorganisasian berarti memastikan tugas – tugas telah ditetapkan dan struktur hubungan organisasi diciptakan untuk memfasilitasi pertemuan dari tujuan – tujuan organisasi. 3. Memimpin (leading) Memimpin berarti berhubungan dengan orang lain sehingga pekerjaan mereka menghasilkan upaya pencapaian tujuan organisasi.
6
4. Mengendalikan (controlling) Mengendalikan adalah melibatkan memastikan bahwa tindakan – tindakan anggota organisasi konsiten dengan nilai – nilai organisasi dan standar organisasi. Menurut Richard L. Daft ( 2006 : 216) pengertian manajemen operasional adalah ”Bidang manajemen yang mengkhususkan pada produksi barang, serta menggunakan alat-alat dan tekhnik-tekhnik khusus untuk memecahkan masalah-masalah produksi.” Sedangkan Menurut Kamus Wikipedia, manajemen operasi adalah area bisnis yang berfokus pada proses produksi barang dan jasa, serta memastikan operasi bisnis berlangsung secara efektif dan efisien. Seorang manajer
operasi
bertanggung
jawab
mengelola
proses
pengubahan input (dalam bentuk material, tenaga kerja, dan energi) menjadi output (dalam bentuk barang dan jasa). Menurut Heizer dan Render yang diterjemahkan oleh Sungkono, C. (2009:4) Manajemen Operasi (Operation Management – OM) adalah serangkaian aktivitas yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi output. Kegiatan yang menghasilkan barang dan dan jasa berlangsung disemua organisasi. Dalam perusahaan manufaktur aktivitas produksi yang menghasilkan barang dapat terlihat jelas. Produk yang dihasilkan adalah produk – produk fisik, seperti televisi, mobil, motor, dan lainya.
7
Dalam organisasi yang tidak menghasilkan produk secara fisik, fungsi produksinya mungkin tidak terlihat jelas, aktivitas ini disebut sebagai jasa. Produknya dapat berbentuk layanan pengiriman barang, proses pendidikan seorang mahasiswa, dan lainya. Terlepas dari produk akhirnya berupa barang atau jasa, aktivitas produksi yang berlangsung dalam organisasi dalam organisasi biasanya disebut
operasi atau
manajemen operasi. 2.2
Pengertian Kapasitas Kapasitas (capacity) adalah hasil produksi atau volume pemrosesan (troughput) atau jumlah unit yang dapat ditangani, diterima, disimpan, atau diproduksi oleh sebuah fasilitas dalam suatu periode waktu tertentu. Heizer dan Render (2006:372) Kapasitas menentukan: a. Persyaratan modal sehingga mempengaruhi sebagian besar biaya tetap. b. Menentukan apakah permintaa dapat dipenuhi atau menentukan apakah aktivitas yang ada berlebihan. Jika kapasitas terlalu besar, sebagian fasilitas akan menganggur dan akan terdapat biaya tambahan yang dibebankan pada produksi yang ada. Kapasitas dapat dihitung berdasarkan = (jumlah dari mesin atau pekerja) x (jumlah waktu kerja) x (waktu penggunaan) x (efisiensi). Dalam produksi dan manajemen operasi terdapat 3 (tiga) tipe kapasitas yaitu:
8
1) Potencial Capacity Kapasitas yang dapat dibentuk untuk membantu pimpinan untuk mengambil keputusan. Ini merupakan inti dari keputusan jangka panjang yang tdak akan terpengaruh oleh manajemen produksi per hari. 2) Immediate Capacity Jumlah dari kapasitas produksi dapat dibentik menjadi tersedia dalam jangka waktu yang singkat. Ini merupakan kapasitas maksimum dari kapasitas potensial (diamsumsikan digunakan secara produktif). 3) Effective Capacity Merupakan suatu konsep penting. Tidak seluruh kapasitas produksi sesungguhnya dapat digunakan atau terbuang. Ini merupakan hal penting untuk seorang manager produksi untuk mengetahui apakah kapasitas sesungguhnya dapat tercapai. Perbedaan antara kapasitas dari sebuah organisasi dan permintaan dari seluruh pelanggan adalah mengenai ketidak efisienan, begitu juga ketika sumber tidak dapat digunakan atau tidak dapat dipenuhi oleh costumer. Permintaan untuk kapasitas sebuah organisasi bervariasi berdasarkan perubahan produk yang tersedia, atau menciptakan produk yang baru. Penggunaan yang terbaik dan kapasitas yang tersedia dapat memenuhi pembaharuan dalam overall equipment effectiveness (OEE). Kapasitas dapat meningkat melalui pengenalan teknik baru, peralatan dan
9
bahan, penambahan jumlah tenaga kerja atau mesin, peningkatan jumlah jam kerja, atau penyediaan fasilitas produksi. 2.2.1 Pengertian Perencanaan Kapasitas Menurut Syamsul Maarif (2003:238) perencanaan kapasitas adalah keputusan strategi jangak panjang untuk membangun sumber daya perusahaan secara keseluruhan. Masih menurut Syamsul Maarif (2003) terdapat 3 (tiga) fungsi perencanaan kapasitas yaitu: a. Membangun sumber daya produksi secara keseluruhan b. Mempengaruhi biaya dan kompetisi c. Menentukan kapan dan bagaimana meningkatkan kapasitas. Sedangkan menurut Wikipedia perencanaan kapasitas merupakan proses untuk memutuskan kebutuhan kapasitas produksi oleh perusahaan untuk
mempertemukan
perubahan
permintaan
setiap
produk.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Capacity_planning) Perencanaan kapasitas merupakan keputusan jangka panjang yang merupakan permulaan dari perussahaan. Ini memperpanjang waktu kerja lebih panjang untuk mendapatkan sumber daya. Efek dari pengambilan keputusan untuk kapasitas akan berpengaruh kepada waktu produksi, respon dari costumer, biaya operasi, dan kemampuan perusahaan untuk berkompetisi. Ketidak mampuan perencanaan kapasitas dapat membuat perusahaan kehilangan pelanggan dan kesempatan bisnis. Yang menjadi
10
keputusan terpenting adalah kapan kapasitas tersebut harus meningkat dan seberapa banyak peningkatanya. 2.2.2 Pengukuran Kapasitas Dasar pengukuran suatu lembaga bermacam – macam, hal in tergantung macam – macam lembaga serta macam kegiatanya (Pangestu S, 2000). Pengukuran kapasitas suatu lembaga dapat didasarkan pada outputnya maupun input-nya. Kapasitas yang diukur berdasarkan output-nya, misalnya: a. Pabrik tekstil diukur dengan kemampuanya menghasilkan tekstilnya. b. Kemampuan rumah sakit didasarkan pada kemampuan rumah sakit dalam menampung pasien. Rata – rata penggunaan kapasitas dapat diukur dengan presentase pemakaian kapasitas untuk berproduksi / bekerja dibagi dengan kapasitas yang tersedia, dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
=
11
Pemakaian kapasitas senyatanya Kapasitas yang terseedia
Sedangkan cadangan kapasitas atau selisih kapasitas dipakai senyatanya dengan kapasitas yang tersedia, disebut capacity chusion. Jadi capacity chusion = 1 – presentase penggunaan kapasitas. Bersar kecilnya capacity chusion tergantung pada beberapa factor yaitu: 1) Keberanian pengusaha untuk menghadapi ketidak pastian 2) Pengaruh penggunaan mesin terhadap kerusakan 3) Sifat fluktuasi permintaan dan resiko kekurangan hasil produksi 4) Kemungkinan subkontrak. Rated capacity adalah ukuran kapasitas dimana fasilitas tertentu sudah digunakan dengan maksimal. Kapasitas yang dijadikan patokan (rated capacity) akan selalu kurang atau samadengan kapasitas riilnya. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Rated capacity = (kapasitas) x (pemanfaatan) x (efisiensi)
2.2.3 Perencanaan Kapasitas Jangka Pendek Perencanaan kapasitas jangka pendek: waktunya kurang dari satu bulan. Ini dikaitkan dengan waktu proses penjadwalan harian atau mingguan
dan
menyangkut
penyesuaian
–
penyesuaian
untuk
menghapuskan “varian” antara keluaran yang direncanakan dan keluaran nyata, (Subagyo, 2007:120). Keputusan perencanaan meliputi alternatif – alternatif, seperti kerja lembur, pemindahan personalia, dan penggantian
12
rounting produksi Untuk menghadapi kondisi permintaan mendadak seperti itu penambahan dan penurunan kapasitas perusahaan dapat dilakukan penambahan dan pengurangan tenaga kerja, melakukan sub kontrak dengan perusahaan lain. Menurut Krajewski dan Ritzman (1989), perusahaan dapat melakukan 5 (lima) cara dalam penanganan kapasitas untuk jangka pendek, yaitu: 1) Meningkatkan jumlah sumber daya melalui: a. Penggunaan kerja lembur b. Penambahan regu kerja c. Memberikan kesempatan kerja secara part time d. Sub kontrak e. Kontrak kerja 2) Memperbaiki penggunaan sumber daya melalui: a. Mengatur regu kerja b. Menentukan schedule 3) Memodifikasi produk, melalui: a. Menentukan standar produk b. Melakukan perubahan jasa operasi c. Melakukan pengawasan kualitas 4) Memperbaiki permintaan, melaui: a. Melakukan perubahan harga b. Melakukan perubahan promosi 13
5) Tidak memenuhi permintaan. 2.2.4 Perencanaan Kapasitas Jangka Panjang Perencanaan kapasitas jangka panjang merupakan strategi operasi dalam menghadapi berbagai kemungkinan dan sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Missal, rencana untuk menurunka nbiaya promosi per unit, dalam jangka pendek sangat sulit untuk dilakukan karena unit produk yang dihasilkan masih dalam skala kecil. Tetapi dalam jangka panjang rencana iini dapat dicapai dengan cara meningkatkan kapasitas produksi. Persoalan yang timbul adalah berapa jumlah produk yang harus dihasilkan agar biaya produksi seminimum mungkin. Dalam kaitanya dengan kapasitas jangka panjang, terdapat 2 (dua) strategi yang dapat ditempuh perusahaan (Yamit, 1996), yaitu: 1) Strategu Melihat dan Menunggu (Wait and See Strategy) Strategi ini sering juga disebut sebagai strategi hati – hati, karena kapasitas produksi dinaikan apabila yakin permintaan konsumen sudah naik. Jika kenaikan permintaan belum banyak, ia menunggu sampai saatnya cukup. Kekurangan barang biasanya dapat diatasi dengan kerja lembur atau melakukan sub kontrak. Strategi ini dilakukan jika: a) Kebutuhan barang oleh konsumen belum dapat dipastikan sehingga resiko tidak lakunya barang besar b) Ada kemungkinan lembur dan kerja sama dengan pihak luar
14
c) Kerugian karena pengangguran kapasitas lebih tinggi daripada penolakan permintaan konsumen. Forecast kebutuhan kapasitas
Kapasitas
Waktu
Gambar 2.1. Perencanaan Kapasitas Jangka Pendek
2) Strategi Ekspansionis Dalam
strategi
ekspansionis,
pengusaha
menambah
kapasitas
pabriknya setelah diketahui bahwa prospek permintaan cukup banyak. Jadi penambahan kapasitas dilakukan sebelum terjadi kenaikan permintaan sehingga pada tahun – tahun awal setelah ekspansi selalu terdapat pengangguran kapasitas mesin. Strategi ini biasanya dilakukan oleh pengusaha yang optimis terhadap kenaikan permintaan dan menganggap kerugian karena penolakan permintaan lebih besar daripada kerugian karena pengangguran kapasitas.
15
Forecast kebutuhan kapasitas
Kapasitas
Waktu
Gambar 2.2. Perencanaan Kapasitas Jangka Panjang
2.2.5 Metode Kuantitatif Perencanaan Kapasitas Produksi Untuk menentukan kapasitas produksi optimum, terdapat berbagai macam faktor yang harus diperhatikan. Faktor tersebut pada umumnya disebut sebagai faktor –faktor produksi (Mitra Bestari, 2004), seperti: a. Kapasitas bahan baku, yaitu jumlah bahan baku yang mampu disediakan dalam waktu tertentu. Jumlah ini dapat diukur dari kemampuan para supplier untuk memasok maupun kemampuan penyediaan bahan baku b. Kapasitas jam kerja mesin, yaitu jumlah jam kerja normal mesin yang mampu disediakan untuk melaksanakan kegiatan produksi
16
c. Kapasitas jam kerja, yaitu jumlah jam kerja normal yang mampu disediakan. Jumlah jam kerja dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan jam kerja yang berlaku apakah satu shift, dua shift dan seterusnya d. Modal kerja, yaitu kemampuan penyediaan dana untuk melaksanakan proses produksi, missal untuk membeli bahan baku, membayar upah dan sebagainya. Dari
berbagai
macam
faktor
tersebut,
diusahakan
untuk
memperoleh kombinasi jumlah dan jenis produksi yang akhirnya dapat menghasilkankeuntungan atau biaya minimum. Metode kuantitatifyang dapat digunakan untuk mengkombinasikan berbagai faktor tersebut adalah: 1) Metode Break Even Point (BEP) BEP dapat diartikan suatu keadaan dimana total pendapatan besarnya sama dengan total biaya (TR=TC) Rumus:
(
)=
Biaya tetap total (Harga/ unit) − Biaya variabel /unit) =
Biaya tetap total biaya variabel 1− penjualan
17
2) Metode Linier Programming (LP) Metode
LP
merupakan
tehknik
matematik
untuk
membantu
manajemen mengambil keputusan. 2.3
Pengertian Manajemen Fasilitas Menurut Wahyuningrum (2004) Manajemen fasilitas adalah proses menata fasilitas secara keseluruhan, sehingga dapat dihindari adanya pemborosan, ditingkatkanya efisien penggunaan barang dan pengawasan fasilitas. Manajemen fasilitas merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh – sungguh serta pembinaan secara kontinu, terhadap benda – benda agar senantiasa siap pakai (ready for use), efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
2.3.1 Perencanaan Fasilitas Menurut Eddy Herjanto (2006:123)
Perencanaan fasilitas
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum perusahaan beroperasi. Perencanaan fasilitas mempunyai subjek yang luas dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya untuk perencanaan produk baru, relokasi perkantoran, penambahan bagian pada suatu rumah sakit, atau perluasan ruang tunggu di suatu pelabuhan udara. Perencanaan fasilitas menentukan bagaimana suatu aset tetap perusahaan digunakan secara baik untuk menunjang tujuan perusahaan. Bagi suatu perusahaan manufaktur, perencanaan fasilitas termasuk 18
menentukan bagaimana fasilitas pabrik digunakan secara efektif dan efisien dalam menunjang produksi. 2.3.2 Tujuan Perencanaan Fasilitas Masih menurut Eddy Herjanto (2006:123) secara umum tujuan dari perencanaan fasilitas dapat disebutkan sebagai berikut: a. Menunjang tujuan organisasi melalui peningkatan penanganan material dan penyimpanan. b. Menggunakan tenaga kerja, peralatan, ruang, dan enerji secara efektif c. Meminimalkan investasi modal d. Mempermudah pemeliharaan e. Meningkatkan keselamatan dan kepuasan kerja Tujuan perencanaan itu tidak dapat dicapai semuanya secara sekaligus, karena tujuan yang satu dengan yang lain dapat berlawanan. Misalnya, untuk mempercepat atau memperlancar kegiatan penanganan material dapaat menggunakan peralatan yang modern, misalnya dengan automatic guided vechile (AGV). Akan tetapi, penggunaan peralatan ini tentu saja akan menambah investasi modal. Penggunaan ruang yang sangat hemat, seperti penempatan mesin – mesin yang sangat rapat, dapat mengakibatkankesulitan dalam pemeliharaan karena ruang gerak yang sangat terbatas. Oleh karena itu, perencanaan perlu menentukan sasaran
19
utama yang hendak dicapai dan secara bijaksana membuat perencanaan yang optimal. 2.3.3 Proses Perencanaan Fasilitas Perencanaan fasilitas memerlukan suatu proses yang dilakukan secara sistematik untuk memperoleh hasil yang baik. Perencanaan fasilitas dapat dilakukan bagi suatu perusahaan yang baru, namun juga dapat dilakukan bagi perusahaan yang sudah ada. Oleh karenanya, menurut Tompkins (1984), proses perencanaan fasilitas merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang dapat digambarkan dalam bentuk daur hidup fasilitas sebagai berikut:
Fase I Tetapkan tujuan fasilitas
Fase III
Fase II
Terapkan rencana fasilitas
Kembangkan rencana fasilitas
Gambar: 2.3. Daur Hidup Fasilitas Proses perencanaan fasilitas dapat diuraikan lebih lanjut dalam tahapan sebagai berikut. 20
Fase I: 1) Tetapkan tujuan dari fasilitas Untuk perencanaan suatu fasilitas baru maupun pengembangan dari fasilitas yang sudah ada, barang yang akan dibuat maupun jasa yang akan dihasilkan harus dapat dinyatakan secara kuantitatip, termasuk volume dan tingkat kegiatanya jika mungkin. Fase II: 2) Tentukan kegiatan utama dan penunjang yang diperlukan dalam mencapai tujuan tersebut. Kegiatan utama maupun penunjang serta persyaratan yang harus dipenuhi harus jelas spesifikasinya, yaitu dalam kaitanya dengan operasi, peralatan, personel, serta aliran proses 3) Tentukan hubungan antar semua kegiatan. Tentukan hubungan dan inertaksi antar kegiatan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 4) Tentukan kebutuhan ruang untuk semua kegiatan. Seluruh peralatan, material, dan personel yang diperlukan harus diperhatikan dalam merencanakan kebutuhan ruangan untuk setiap kegiatan. 5) Susun alternatif – alternatif dari rencana fasilitas. Kembangkan berbagai alternatif lokasi dan desain dari fasilitas yang mungkin.
21
6) Evaluasi alternatif – alternatif itu. Dengan menggunakan criteria yang ditentukan, evaluasi setiap alternatif yang ada. 7) Pilih alternative rencana fasilitas terbaik. Pilih satu alternative yang paling dapat diterima dan memuaskan sesuai dengan tujuan perusahaan. Fase III: 8) Terapkan rencana fasilitas tersebut. Apabila suatu alternative rencana fasilitas telah dipilih, laksanakan perencanaan tersebut melalui persiapan dan pengawasan yang matang. 9) Pelihara dan sesuaikan dengan keadaan. Lakukan penyesuaian jika diperlukan. Misalnya, perubahan disain produk mungkin memerlukan penyesuaian dalam aliran proses atau peralatan pengangkut. 10) Kembali ke langkah 1 untuk mengevaluasi apakah tujuan yang semula masih tetap atau sudah ada perubahan. Evaluasi dilakukan pada selang waktu tertentu agar fasilitas yang ada dapat disesuaikan dengan tujuan perusahaan.
22
2.4
Pengertian Analisa Break Even Point Ada beberapa pendapat mengenai pengertian titik impas atau break event point. Berikut ini beberapa definisi break even point maupun analisanya menurut pakar –pakar ekonomi dalam literaturnya: Menurut Sutrisno (2005:192) definisi break even point adalah: “break event point adalah suatu kondisi dimana pada periode tersebut perusahaan tidak mendapat keuntungan dan juga tidak menderita kerugian”. Menurut Manullang (2005:173) analisa break even point adalah sebagai berikut: “analisa break event point adalah suatu tehknik analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan, dan volume kegiatan”. Menurut Sjahrial (2006:83) analisa titik impas adalah: “ analisa titik impas merupakan suatu teknik analisa yang mempelajari hubungan antara biaya – biaya tetap, biaya – biaya variable, dan laba perusahaan”. Dari beberapa uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa analisa break event point adalah suatu tehknik yang digunakan untuk mengetahui dan mempelajari hubungan antara biaya – biaya, volume kegiatan dan laba perusahaan.
23
2.4.1 Asumsi – asumsi Dalam Break Even Point Menurut Martono, SU dan D. Agus Harjito dalam bukunya “Manajemen Biaya” analisis break even point memerlukan beberapa asumsi yang harus dipenuhi yaitu: a. Biaya didalam perusahaan dapat digolongkan ke dalam biaya tetap dan biaya variabel. Oleh karena itu semua biaya yang dikeluarkan perusahaan harus dapat diukur dengan secara realistic sebagai biaya tetap dan biaya variabel. b. Biaya variabel secara total berubah sebanding dengan volume penjualan / produksi, tetapi biaya variabel per unitnya tetap. c. Biaya tetap secara total jumlahnya tetapm (pada range produksi tertentu) meskipun terdaspat perubahan volume penjualan / produksi. Hal ini berarti biaya tetap per unitnya berubah – ubah karena adanya perubahan volume penjualan / produksi. d. Harga jual per unit tidak berubah selama periode waktu yang dianalisis. Tingkat harga pada umumnya akan stabil dalam jangka pendek. Dengan demikian jika harga berubah, maka break even pun tidak berlaku. e. Perusahaan hanya menjual atau memproduksi satu jenis barang. Artinya hanya terdapat satu jenis produk yang diproduksi atau dijual perusahaan. Apabila perusahaan memproduksi lebih dari satu jenis produk, maka pertimbanhan atau komposisi penggunaan biaya dan penghasilan atas produk yang dijual (sales mix) harus tetap konsstan. 24
f. Kebijakan manajemen tentang operasi perusahaan tidak berubah secara material (perubahan besar) dalam jangka pendek. g. Kebijakan persediaan barang tetap konstan atau tidak ada persediaan sama sekali, baik persediaan awal maupun persediaan akhir. h. Efisiensi dan produktivitas per karyawan tidak berubah dalam jangka pendek. Dari asumsi – asumsi yang ada pada analisis BEP tersebut diatas, maka break even point akan berubah bila asumsi – asumsi tersebut diatas mengalami perubahan: 1) Adanya perubahan harga jual Perubahan harga jual produk akan berubah naik atau turun. Menurut hokum permintaan, apabila harga jual naik maka jumlah barang yang diminta oleh konsumen akan menurun. Hal ini akan berakibat perubahan jumlah pengahasilan totalnya (TR). Demikian pula jika harga jual turun, maka jumlah barang yang diminta oleh konsumen akan naik sehingga total oenghasilanya akan naik. Jika harga jual naik, dengan asumsi jumlah barang yang diminta tetap, maka titik impas (BEP) akan turun. Hal ini karena titi impas akan diperoleh dengan penjualan barang yang lebih sedikit. Sebaliknya, jika harga jual turun, maka titik impas akan naik karena untuk mencapai BEP diperlukan penjualan barang yang lebih banyak.
25
2) Adanya perubahan biaya tetap dan atau biaya variabel Naik turunya biaya (biaya tetap dan juga variabel) juga akan mempengaruhi besarnya BEP. Apabila biaya naik, berarti kita memerlukan barang yang lebih banyak untuk mencapai titik break even point. Sebaliknya apabila biaya turun, maka kita memerlukan jumlah barang yang lebih sedikit untuk mencapai titik break even. Batas penurunan jumlah produk yangdirencanakan untuk dijual yang dianggap aman disebut margin of safety. Besarnya penurunan yang dimaksud adalah penurunan dari penjualan yang direncanakan. 3) Adanya perubahan komposisi penjualan (sales mix) Analisis BEP merupakan analisis keuangan yang cukup lemah karena asumsinya, asumsi BEP bahwa perusahaan hanya menjual satu macam produk hamper tidak mungkin terpenuhi. Hal ini karena sangat jarang perusahaan yang menjual satu jenis produk saja. Oleh karena itu, apabila analisis BEP diberlakukan bagi perusahaan yang menjual barang lebih dari satu macam produk, maka komposisi atau pertimbangan biaya dan produk yang dijual harus tetap. Misalnya perusahaan menjual 2 macam produk A dan B dengan pertimbangan 2 banding 3. Maka, apabila produk A menambah penjualanya 2 bagian, maka produk B juga harus menambah sebanyak 3 bagian. Dengan demikian, maka komposisi penjualan produk A dan B akan tetap sama.
26
2.4.2 Manfaat Break Even Point Menurut Bastian Bustomi dan Nurlela (2006:208) kegunaan break even point yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen adalah sebagai berikut: a. Mengetahui jumlah penjualan minimal yang yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian. b. Mengetahui jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu. c. Mengetahui seberapa jauh berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak menderita kerugian. 2.4.3 Analisa Break Even Point Sebagai Dasar Kebijaksanaan Penetapan Harga yang Tepat Dalam Mengoptimalkan Laba Dengan analisa break even point, perusahaan dapat memperoleh acuan untuk menetapkan harga yang tepat dalam mencapai laba yang diharapkan. Dengan mengetahui tingkat margin konstribusi melalui perhitungan terhadap penjualan, biaya tetap dan biaya variabel, manager dapat menggunakanya untuk membantu menetapkan perencanaan harga, yang dapat menutup biaya yang ada sehingga dapat mencapai tingkat laba yang maksimal. Selain itu, dengan menggunakan analisa break even point, manager juga dapat mempehitungkan sfek dari perubahan harga jual dan biaya variabel terhadap EBIT (Earning Before Interest and Tax). Haga jual produk baru dapat dirancang untuk mencapaitarget tingkat EBIT.
27