BAB II LANDASAN TEORI
A. TRUST 1. Pengertian Trust Dalam buku intimate relationship (Miller, Perlman & Brehm, 2007), trust didefinisikan sebagai pengharapan bahwa pasangan akan memperlakukan dengan baik dan secara terhormat (Holmes dalam Miller, Perlman & Brehm, 2007). Giffin (dalam Rakhmat, 1992) mendefinisikan trust sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko. Holmes & Rempel (dalam Hendrik & Hendrik,1992) menyatakan bahwa trust adalah kepercayaan bahwa pasangan tidak hanya akan responsif tetapi akan berkali-kali mengurangi atau bahkan mengorbankan minatnya untuk membantu pasangannya. Menurut Johnson & Johnson (1997), trust merupakan aspek dalam suatu hubungan dan secara terus menerus berubah serta bervariasi yang dibangun melalui rangkaian tindakan trusting dan trustworthy. Trusting adalah kemauan untuk mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk, sedangkan trustworthy adalah perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan orang lain. Dari beberapa pengertian di atas dapat di ambil suatu definisi bahwa trust adalah kepercayaan pada pasangan yang didasarkan pada kemauan untuk
11 Universitas Sumatera Utara
mengambil resiko terhadap akibat baik atau buruk dan menerima kepercayaan dari pasangan.
2. Komponen – Komponen Trust Menurut Johnson & Johnson (1997), komponen trust meliputi trusting dan trustworthy. Trusting mencakup openness dan sharing, dan trustworthy mencakup acceptance, support serta cooperative intentions. a. Trusting Komponen – komponen trusting: 1) Keterbukaan (openness): membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan reaksi terhadap isu-isu yang terjadi. 2) Berbagi (sharing): menawarkan bantuan material dan sumber daya kepada orang lain dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas. Tingkah laku trusting adalah: 1) Kemauan untuk mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk. 2) Perilaku yang melibatkan keterbukaan diri dan kemauan untuk diterima dan didukung secara terbuka oleh orang lain.
b. Trustworthy Komponen – komponen trustworthy: 1) Penerimaan (acceptance): melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan
Universitas Sumatera Utara
2) Dukungan
(support):
hubungan
dengan
orang
lain
yang
diketahui
kemampuannya dan percaya bahwa mereka memiliki kapabilitas yang dibutuhkan 3) Niat untuk bekerjasama (cooperative Intentions): harapan bahwa orang lain dapat di ajak bekerja sama untuk mencapai pemenuhan tujuan. Tingkah laku trustworthy adalah: 1) Kemauan untuk merespon terhadap resiko yang telah diambil orang lain yang menyakinkan bahwa orang tersebut akan menerima akibat yang baik. 2) Perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan orang lain.
Menurut Johnson & Johnson (1997), penerimaan (acceptance) mungkin merupakan perhatian yang pertama dan paling dalam yang muncul dalam sebuah hubungan. Penerimaan terhadap orang lain biasanya disertai penerimaan terhadap diri sendiri. Individu harus dapat menerima diri mereka sendiri sebelum mereka dapat sepenuhnya menerima orang lain. Penerimaan merupakan kunci untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan ketika mendapat kritik. Jika seseorang merasa tidak diterima, maka frekuensi dan partisipasinya berhubungan dengan orang lain akan berkurang. Untuk membangun trust dan memperdalam hubungan dengan orang lain, setiap individu harus bisa untuk mengkomunikasikan acceptance, support dan cooperativeness. Kunci untuk membangun dan mempertahankan trust adalah menjadi trustworthy. Semakin acceptance dan supportive seseorang terhadap orang lain, maka orang lain akan semakin dapat mengemukakan pemikirannya, ide-ide,
Universitas Sumatera Utara
kesimpulan-kesimpulan, perasaan dan reaksinya. Semakin trustworthy individu dalam merespon keterbukaan orang lain, maka semakin dalam dan personal pemikiran yang akan dibagikan orang lain. Jika seseorang ingin meningkatkan trust, maka trustworthiness harus ditingkatkan. Keterampilan utama yang penting dalam mengkomunikasikan acceptance, support dan cooperativeness melibatkan pengekspresian kehangatan, pengertian yang akurat, dan keinginan untuk bekerjasama. Ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa ekspresi semacam itu dapat meningkatkan trust dalam suatu hubungan, bahkan ketika ada konflik yang tidak terselesaikan antara individu yang terlibat (Johnson & Johnson, 1997).
3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Trust Individu mengembangkan harapannya mengenai tingkat bagaimana seseorang dapat trust kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor di bawah ini (Lewicki & Wiethoff, 2000): a. Predisposisi Kepribadian (Personality Predisposition) Penelitian menunjukkan bahwa individu berbeda di dalam predisposisi mereka untuk percaya kepada orang lain (Rotter dalam Lewicki & Wiethoff, 2000). Semakin tinggi tingkat individu dalam predisposisi untuk trust, semakin besar harapan untuk dipercaya oleh orang lain. b. Reputasi dan Stereotip (Reputation and Stereotype) Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang dipelajari dari teman ataupun
Universitas Sumatera Utara
dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya. c. Pengalaman Aktual (Actual Experience) Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam trust, dan sebagian mungkin kuat pada distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefinisikan sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk mengenelarisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya trust atau distrust. d. Orientasi Psikologis (Psychological Orientation) Deutsch (dalam Lewicki & Wiethoff, 2000) menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Hubungan dengan orang lain menentukan emosi seseorang. Jika individu tidak menjaga hubungannya dengan orang lain dengan emosi yang baik, maka emosi tersebut dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan yang akan mencelakakan hubungan yang telah dijalani.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jones & George (dalam Hoy & Moran, 2000), dalam membangun suatu hubungan, seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain berdasarkan informasi yang disediakan oleh emosi dimana emosi sangat berhubungan erat dengan kejadian atau lingkungan khusus yang menghalangi proses kognitif dan perilaku seseorang. Individu yang tidak bisa menangani emosinya dengan baik akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain (Ciarrchi, Chan, Caputi, & Roberts, 2001). Oleh sebab itu, diperlukan keterampilan emosi dalam berhubungan dengan orang lain (Keltner & Heidt, dalam Lopes, Bracket, Nezlek, dkk, 2004). Emosi positif berhubungan dengan kemampuan bergaul. Sedangkan emosi negatif menyebabkan orang saling berjauhan. Jadi, individu perlu untuk memproses informasi yang disediakan oleh emosi dan mengatur emosi dengan kecerdasan dalam menjalani dunia sosial (Lopes, Braket, Nezlek, dkk, 2004).
B. KECERDASAN EMOSI 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Salovey dan Mayer (dalam Clark & Fletcher, 2003) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai salah satu bentuk kecerdasan sosial yang mencakup
Universitas Sumatera Utara
kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, membedakannya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Berbeda dengan pengertian yang dikemukakan Salovey dan Mayer yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi berdasarkan kemampuan seseorang , BarOn (dalam Schulze & Roberts, 2005) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai suatu interrelasi dari kemampuan yang memungkinkan individu untuk mengenal, menggunakan dan mengatur emosi dengan tepat dan produktif sehingga sesuai dengan tuntutan dan tekanan lingkungan. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini menggunakan definisi kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam Schulze & Roberts, 2005) yaitu suatu interrelasi dari kemampuan yang memungkinkan individu untuk mengenal, menggunakan dan mengatur emosi dengan tepat dan produktif sehingga sesuai dengan tuntutan dan tekanan lingkungan.
2. Komponen – Komponen Kecerdasan Emosi Definisi dan konseptual kecerdasan emosi mencakup satu atau beberapa komponen di bawah ini (Bar-On dalam Stein & Book, 2000): a. Kemampuan intrapersonal (Intrapersonal Skill) Kemampuan intrapersonal yaitu kemampuan mengenali, memahami dan mengekspresikan emosi dan perasaan, diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
1) Kesadaran diri emosional (Emotional self awareness): Kemampuan untuk mengenali dan membedakan perasaan yang dirasakan, mengetahui apa yang sedang dirasakan dan mengapa merasakan hal tersebut. 2) Asertivitas (Assertiveness): Kemampuan mengekspresikan perasaan (misalnya menerima dan mengekspresikan kemarahan dan kehangatan), kemampuan mengekspresikan keyakinan dan pemikiran secara terbuka (misalnya mampu menyuarakan pendapat, ketidaksetujuan) dan berani membela hak pribadi (tidak membiarkan orang lain menganggu atau mendapat keuntungan dari indiviu) 3) Kemandirian
(Independence):
Kemampuan
untuk
memimpin
dan
mengendalikan diri dalam berpikir dan berperilaku serta bebas dari ketergantungan emosi, 4) Menghargai diri (Self-regard): Kemampuan untuk menghormati dan menerima diri sendiri, 5) Aktualisasi diri (Self-Actualization): Kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. b. Kemampuan interpersonal (Interpersonal Skill) Kemampuan interpersonal yaitu kemampuan untuk memahami bagaimana yang dirasakan oleh orang lain dan berhubungan dengan mereka, diantaranya: 1) Empati (Emphaty): Kemampuan mengetahui, memahami dan menyadari perasaan dan pikiran orang lain, bagaimana dan mengapa orang lain merasakan dan berpikir dengan cara mereka
Universitas Sumatera Utara
2) Tanggung jawab sosial (Social Responsibility): Kemampuan menunjukkan sebagai anggota yang kooperatif, memberikan kontribusi, dan konstruktif 3) Hubungan
interpersonal
membangun
dan
(Interpersonal
mempertahankan
relationship): kepuasan
Kemampuan
hubungan
yang
dikarakteristikkan dengan adanya kedekatan dan memberi dan menerima kasih sayang. c. Penyesuaian diri (Adaptability) Penyesuaian diri yaitu kemampuan untuk mengatur perubahan, beradaptasi dan memecahkan masalah personal dan interpersonal, diantaranya: 1) Pemecahan Masalah (Problem Solving): Kemampuan mengenali dan menjelaskan masalah serta membuat dan melaksanakan solusi yang efektif 2) Uji realitas (Reality testing): Kemampuan untuk menilai hubungan antara apa yang dialami dengan apa yang ada secara objektif 3) Fleksibilitas (Flexibility): Kemampuan untuk menyesuaikan emosi, pikiran dan perilaku terhadap perubahan situasi dan kondisi. d. Penanganan stres (Stress Management) Penanganan stres yaitu kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan emosi, diantaranya: 1) Ketahanan menanggung stres (Stress Tolerance): Kemampuan untuk melawan kejadian yang buruk dan situasi stres secara aktif dan pasif mengatasi stres 2) Pengendalian impuls (Impulse Control): Kemampuan untuk menahan atau menunda impuls, dorongan atau godaan untuk bertindak.
Universitas Sumatera Utara
e. Suasana hati (General Mood) Suasana hati yaitu kemampuan untuk menghasilkan perasaan positif dan memotivasi diri, diantaranya: 1) Kebahagiaan (Happiness): Kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupan diri sendiri, mengembirakan diri sendiri dan orang lain, dan bersenang-senang 2) Optimisme (Optimism): Kemampuan untuk melihat sisi yang lebih baik dari kehidupan dan mempertahankan sikap positif bahkan dalam menghadapi kesulitan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil subkomponen dari komponen-komponen utama dari kecerdasan emosi sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosi.
C. PACARAN DAN PACARAN JARAK JAUH 1. Pacaran a. Pengertian Pacaran Pacaran adalah aktivitas sosial yang membolehkan dua orang yang berbeda jenis kelaminnya untuk terikat dalam interaksi sosial dengan pasangan yang tidak ada hubungan keluarga (Dacey & Kenny, 1997). Salah satu karakteristik dari pacaran yaitu kedekatan atau keintiman secara fisik (physical intimacy). Keintiman (intimacy) tersebut meliputi berbagai perilaku seksual seperti berpegangan tangan, berciuman dan berbagai interaksi perilaku seksual lainnya (Baron & Byrne, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan jenis). Jadi, pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan orang lain yang tidak ada hubungan keluarga untuk menjajaki kemungkinan untuk dijadikan pasangan hidup yang meliputi aktivitas bersama.
b. Komponen – Komponen Pacaran Menurut Karsner (2001), ada empat komponen penting dalam menjalin hubungan pacaran. Kehadiran komponen-komponen tesebut dalam hubungan akan mempengaruhi kualitas dan kelanggengan hubungan pacaran yang dijalani. Adapun komponen-komponen pacaran tersebut, antara lain: 1) Saling Percaya (Trust each other) Kepercayaan dalam suatu hubungan akan menentukan apakah suatu hubungan akan berlanjut atau akan dihentikan. Kepercayaan ini meliputi pemikiranpemikiran kognitif individu tentang apa yang sedang dilakukan oleh pasangannya. 2) Komunikasi (Communicate your self)
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi merupakan dasar dari terbinanya suatu hubungan yang baik (Johnson dalam Supraktik, 1995). Feldman (1996) menyatakan bahwa komunikasi merupakan situasi dimana seseorang bertukar informasi tentang dirinya terhadap orang lain. 3) Keintiman (Keep the romance alive) Keintiman merupakan perasaan dekat terhadap pasangan (Stenberg dalam Shumway, 2004). Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa kepemilikan terhadap pasangan juga merupakan bagian dari keintiman. Dalam pacaran jarak jauh juga tetap memiliki keintiman, yakni dengan adanya kedekatan emosional melalui katakata mesra dan perhatian yang diberikan melalui sms (short messaging service), surat atau email (electronic mail). 4) Meningkatkan komitmen (Increase Commitment) Menurut Kelly (dalam Stenberg, 1988) komitmen lebih merupakan tahapan dimana seseorang menjadi terikat dengan sesuatu atau seseorang dan terus bersamanya hingga hubungannya berakhir. Individu yang sedang pacaran, tidak dapat melakukan hubungan spesial dengan pria atau wanita lain selama ia masih terikat hubungan pacaran dengan seseorang.
c. Tipe – Tipe Pacaran Berdasarkan jarak, Hampton (2004) membagi pacaran (romantic relationship) menjadi dua tipe yaitu: 1) Pacaran jarak dekat (Proximal Relationship)
Universitas Sumatera Utara
Proximal Relationship dikenal dengan pacaran jarak dekat dimana pasangan tidak dipisahkan oleh jarak fisik yang berarti oleh karena itu kedekatan fisik dimungkinkan (Hampton, 2004). Persepsi hubungan jarak jauh atau dekat tergantung dengan persepsi subjek (Dellman-Jenkins dkk, 1994 dalam Skinner 2005), namun ada beberapa literatur yang membuat standar jarak dekat seperti kurang dari 60 mil (Shumway, 2004) atau 200 mil (Knox, Zusman, Daniels, & Brantley, 2002). 2) Pacaran Jarak Jauh (Long-Distance Relationship) Long-Distance Relationship adalah pacaran yang sering disebut pacaran jarak jauh dimana pasangan dipisahkan oleh jarak fisik yang tidak memungkinkan adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu (Hampton, 2004). Beberapa penelitian menggunakan batas jarak jauh sekitar 60 mil (Shumway, 2004) sampai 200 mil (Knox, Zusman, Daniels, & Brantley, 2002), namun ada pula beberapa penelitian yang menggunakan batas jarak jauh tergantung dari persepsi subjek akan hubungan jarak jauh yang dialaminya (Dellman-Jenkins dalam Skinner 2005).
2. Pacaran Jarak Jauh a. Pengertian Pacaran Jarak Jauh Dalam jurnal Perceptions of College Students in Long Distance Relationships (Skinner, 2005) disebutkan bahwa pengertian pacaran jarak jauh berbeda-beda berdasarkan penelitian yang dilakukan. Mayoritas penelitian menggunakan kriteria “pisah jarak”, bagaimanapun jarak yang digunakan berbeda-beda.
Universitas Sumatera Utara
Contohnya, Schwebel dkk. (1992) menggunakan 50 mil atau lebih dalam penelitiannya, sedangkan Lydon, Pierce, and O’Regan (1997) dan Knox dkk. (2002) menggunakan 200 mil atau lebih untuk mendefinisikan pacaran jarak jauh. Penelitian lainnya menggunakan definisi berdasarkan persepsi partisipan terhadap hubungan tersebut (Dellman-Jenkins dkk, 1994). Definisi yang berbeda-beda ini menandakan bahwa banyak faktor yang berperan dalam menentukan apakah suatu hubungan termasuk hubungan jarak jauh atau bukan dan ada lebih dari satu jenis hubungan jarak jauh (dalam Skinner, 2005). Penelitian
lainnya (Carpenter & Knox, 1986; Stafford & Reske, 1990)
menetapkan jarak minimum untuk pacaran jarak jauh yang berkisar dari 100 mil hingga 421 mil, Helgeson (dalam Kidenda, 2002) menyatakan bahwa pacaran jarak jauh harus diluar area tertentu, sedangkan Stephen (dalam Kidenda, 2002) mendefinisikan pacaran jarak jauh sebagai hubungan dimana pasangan berada di negara lainnya. Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) menggunakan faktor waktu dan jarak untuk mengkategorisasikan pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh. Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian yang menjalani pacaran jarak jauh, didapat tiga kategori waktu berpisah (0, kurang dari 6 bulan, lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu pertemuan (sekali seminggu, seminggu hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga kategori jarak (0-1 mil, 2-294 mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) ini, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat dikategorisasikan berdasarkan ketiga faktor tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini, pacaran jarak jauh didefinisikan sebagai hubungan dimana pasangan berada di kota lainnya, telah menjalani pacaran jarak jauh minimal 6 bulan dan mengadakan pertemuan maksimal 1 kali per bulan.
b. Faktor Penyebab Pacaran Jarak Jauh Kaufmann (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab individu menjalani pacaran jarak jauh diantaranya: 1) Pendidikan Salah satu faktor penyebab pacaran jarak jauh adalah ketika individu berusaha untuk mengejar dan mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga hubungan mereka dengan pasangan harus dipisahkan oleh jarak. Stafford, Daly, & Reske (dalam Kauffman, 2000) menyatakan bahwa sepertiga dari hubungan pacaran di dalam universitas yang dijalani oleh mahasiswa merupakan pacaran jarak jauh. 2) Pekerjaan Pacaran jarak jauh juga berhubungan dengan kecenderungan sosial pada saat ini. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja ke luar negeri (Johnson & Packer dalam Kauffman, 2000) dan juga dengan adanya kondisi mobilitas kerja pada saat ini sehingga dalam usaha pencapaian karir mereka, hubungan percintaan yang terjadi harus dipisahkan oleh jarak.
Universitas Sumatera Utara
D. HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TRUST PADA INDIVIDU YANG MENJALANI PACARAN JARAK JAUH Hubungan pacaran jarak jauh sering dipandang sebagai hubungan yang mustahil, dimana pasangan yang menjalani hubungan ini kerap mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pasangannya. Menurut Salhstein (2004), jarak aktual pasangan dapat memepengaruhi berjalannya suatu hubungan. Keadaan pasangan yang berjauhan dapat menyebabkan ketidakjelasan hubungan yang dikarenakan minimnya interaksi tatap muka. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dainton & Aylon (2001) ditemukan bahwa trust merupakan salah satu strategi dalam mengurangi ketidakpastian bagi individu yang sedang membangun hubungan dan menjadi hal yang penting dalam mengurangi ketidakpastian hubungan. Westefeld & Liddell (dalam Dainton dan Aylon, 2001) juga menyatakan bahwa trust merupakan elemen yang penting dalam mempertahankan hubungan, khususnya yang terlibat dalam pacaran jarak jauh. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kauffman (2000) ditemukan juga bahwa trust dipercaya sebagai syarat dalam keberhasilan pacaran jarak jauh dimana banyak responden meyakini trust sebagai kekuatan hubungan mereka. Adanya orientasi psikologis mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk trust (Lewicki & Wiethoff, 2000). Deutsch (dalam Lewicki & Wiethoff, 2000) menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Hubungan dengan orang lain menentukan emosi seseorang. Dalam membangun suatu
Universitas Sumatera Utara
hubungan, seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain berdasarkan informasi yang disediakan oleh emosi dimana emosi sangat berhubungan erat dengan kejadian atau lingkungan khusus yang menghalangi proses kognitif dan perilaku seseorang (Jones & George, dalam Hoy & Moran, 2000). Individu yang tidak bisa menangani emosinya dengan baik akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain (Ciarrchi, Chan, Caputi, & Roberts, 2001). Oleh sebab itu, diperlukan keterampilan emosi dalam berhubungan dengan orang lain (Keltner & Heidt, dalam Lopes, Bracket, Nezlek, dkk, 2004). Disamping itu, individu juga perlu untuk memproses informasi yang disediakan oleh emosi dan mengatur emosi dengan kecerdasan dalam menjalani dunia sosial (Lopes, Braket, Nezlek, dkk, 2004). Salah satu tantangan paling sulit dalam hubungan percintaan adalah mengatasi perbedaan dan selisih pendapat. Stafford & Reske (2006) mengatakan bahwa pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh seringkali memiliki perbedaan persepsi akibat komukasi yang terbatas, yang pada akhirnya dapat memicu konflik. Salah satu cara yang paling mudah untuk menghindari pertengkaran adalah dengan mengetahui kapan meminta maaf dan tidak menyalahkan pasangan ketika ia berbuat salah (Ogden Nash dalam Fitness, 2001). Untuk mengetahui kapan, mengapa dan bagaimana dan kemampuan untuk melatih mengendalikan diri bahkan di bawah lingkungan penuh cobaan, diperlukan keterampilan emosi misalnya empati, pengendalian diri, dan pemahaman yang mendalam dalam
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dan perasaan manusia. Keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan inilah yang dinamakan kecerdasan emosi. Ketika suatu hubungan sedang berjalan dan kehidupan pasangan saling berkaitan satu sama lain, kemungkinan untuk terjadinya konflik akan meningkat. Dengan hadirnya konflik ini memberikan kesempatan bagi masing-masing pasangan untuk menunjukkan perhatian terhadap hubungan dan kesediaan untuk memperhitungkan kebutuhan pasangan (Levinson, 1995). Jika pasangan mengalami kesuksesan dalam hal keterbukaan dan pemecahan konflik, bukan hanya trust menjadi kuat tetapi juga akan menambah bukti terhadap komitmen pasangan dalam hubungan dan juga kepercayaan yang lebih besar bahwa hubungan akan berjalan (Levinson, 1995).
E. HIPOTESA PENELITIAN Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh”
Universitas Sumatera Utara