BAB II LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori Dalam peristiwa praktek pembagian warisan bagi wanita etnis Tionghoa Surakarta, dapat kita dasarkan pada teori hukum mengenai teori keadilan menurut Aristoteles dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pembagian warisan bagi wanita etis Tionghoa yang mendasarkan pada sistem Pewarisan Patrilineal secara adat dan mendasarkan pada Hukum Perdata Barat dalam pelaksanaan hukumnya perlu dipenuhi dengan sifat keadilan agar tidak muncul pihak yang dirugikan. Menurut Aristoteles, teori keadilan dibagi kedalam 5(lima) jenis, yaitu1: 1. Keadilan Komutatif Keadilan Komutatif
adalah keadilan
yang berhubungan dengan
persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya. Intinya menekankan pada kesamaan bagi tiap orang tanpa membedabedakan antara satu dengan yang lain. 2. Keadilan konvensional Keadilan konvensional adalah keadilan yang mengikat warga negara karena didekritkan melalui kekuasaan khusus. Keadilan ini menekankan pada aturan atau keputusan kebiasaan yang harus dilakukan warga negara
1 http://siswamaster.blogspot.co.id/2016/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles-dan-contoh.html, diunduh pada 30 Maret 2016, pukul 17.29
1
yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan. Intinya seorang warga negara telah dapat menegakkan adil setelah menaati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam sistem pemerintahan. 3. Keadilan Distributif Keadilan distributif adalah keadilan yang diterima seseorang berdasarkan jasa-jasa atau kemampuan yang telah disumbangkannya (sebuah prestasi). Keadilan ini menekankan pada asas keseimbangan, yaitu antara bagian yang diterima dengan jasa yang telah diberikan. 4. Keadilan Kodrat Alam Keadilan kodrat alam adalah keadilan yang bersumber pada hukum alam/hukum kodrat. Hukum alamiah ditentukan oleh akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarnya sebagai makhluk yang berakal dan bagaimana seharusnya kelakuan yang patut di antara sesama manusia. 5. Keadilan Perbaikan Keadilan perbaikan adalah keadilan yang dimaksudkan untuk mengembalikan suatu keadaan atas status kepada kondisi yang seharusnya, dikarenakan kesalahan dalam perlakuan atau tindakan hukum. Melihat pada penjabaran diatas, dalam pelaksanaan pewarisan tentunya diperlukan pelaksanaan keadilan yang benar-benar tegak dan sesuai agar tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan hukum, terutama dalm pelaksanaan pembagian waris bagi wanita etnis Tionghoa di Surakarta. Bagaimana hukum formal berlaku dan bagaimana hukum adat yang mengikat tersebut berlaku harus didasari dengan keadilan, sehingga tidak muncul perbedaan hak.
2
1. Sistem Waris Indonesia Di Indonesia pewarisan ini ada dua jenis, yaitu secara tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis adalah hukum perdata Barat (The Civil Kode), buku II bab 12 dan 16, yang berlaku untuk golongan Eropa, China, dan yang tunduk kepadanya, dan Hukum Islam bagi orang Islam. Hukum tidak tertulis adalah hukum adat, berlaku untuk masyarakat patrilineal, matrilineal, dan komunitas yang menerima putusan Mahkamah Agung sebagai kekuatan hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, putusan Mahkamah Agung tidak mengikat pengadilan yang lebih rendah, tetapi pengadilan yang lebih rendah itu akan berorientasi pada putusan tersebut 2. Pengertian hukum waris sendiri diungkapkan berbeda-beda oleh beberapa para ahli sebagai berikut: 1. R. Santoso Pudjosubroto mengungkapkan yang dimaksud hukum waris adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 2. Ter Haar menyatakan Pengertian Hukum Waris ialah aturan-aturan hukum mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dan dari generasi ke generasi. 3. Soepomo mengatakan bahwa Pengertian Hukum Waris yaitu peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterielle goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.
2 Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum ,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005,hlm.3.
3
Pelaksanaan pewarisan di Indonesia tidak selalu mendasarkan pada undang-undang yang berlaku. Banyak terjadi sengketa-sengketa dalam pelaksanaanya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada 3(tiga) aturan hukum yang mengatur pewarisan di Indonesia, yaitu Hukum Waris Perdata (Burgerlijk Wetboek, BW), Hukum Waris Islam (Kompilasi Hukum Islam), dan Hukum Waris Adat. Untuk penyelesaian sengketa waris yang ada, umunya dapat diselesaikan dengan musyawarah diantara ahli waris atau dalam beberapa kasus dapat dilakukan dengan surat wasiat yang dibuat dihadapan Notaris atau pembagian berdasarkan KUHPerdata. Mengenai hukum yang mengatur tentang pewarisan di Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut 3 : a. Hukum Waris Barat Hukum waris Barat diatur untuk non-islam dan diatur di dalam Buku Kedua tentang Kebendaan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPer). Hukum waris perdata menganut sistem individual dimana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Ada dua cara untuk mewaris dalam Hukum Waris Perdata4: a. Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang: 1) Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya
3 Panduan Bantuan Hukum Indonesia, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2006, hlm.103 4 Dapat dilihat pada https://www.futuready.com/artikel/keuangan/mengenal-hukum-waris-di-indonesia, diakses pada tanggal 6 Desember 2015, jam 18.31
4
2) Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya 3) Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas 4) Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya. b. Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris. Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya. Waris secara umum dapat dilakukan apabila pewaris meninggal dunia. Berdasarkan pasal 830 KUHPerdata dikatakan bahwa proses meneruskan atau mengalihkan harta waris hanya boleh dilakukan ketika pewaris telah meninggal. Bila pewaris belum meninggal dunia namun sudah dilakukan pewarisan, maka hal ini disebut dengan Hibah. Hibah adalah pemberian barang atau sesuatu secara sukarela dari seseorang kepada seseorang lain yang masih hidup untuk dapat dimiliki5. Yang dimaksud dengan hibah
5 F. Satriyo Wicaksono, Hukum Waris: Cara Tepat Dan Mudah Membagi Harta Warisan, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2011, Hal. 8
5
dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dimaksud hibah adalah : “Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.” Tentang cara menghibahkan sesuatu juga telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagaimana dituliskan pada pasal dibawah ini: 1. Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “ Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu ”. 2. Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “ Tiada suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai saat penghibahan itu dengan katakata yang tegas diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya “. Hibah orang tua kepada anaknya dapat disebut dengan pewarisan. Pemberian Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali pemberian Hibah dari orangtua kepada anaknya6. b. Hukum Waris Islam Hukum waris islam diatur pada pasal 171-214 Kompilasi Hukum Islam. Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuik menerima warisan7:
6 Loc.cit 7 Loc.cit
6
a) Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah. b) Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia. c) Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan. Pada Pewarisan Islam juga dikenal beberapa hubungan: 1. Hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, paman, dll. 2. Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. Pernikahan itu harus memenuhi dua syarat: a) Perkawinan sah menurut syariat islam, yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. b) Saat terjadi pewarisan salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan bercerai. Seseorang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan orang yang mewarisi maka hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam) untuk dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam. c. Hukum Waris Adat Hukum waris adat adalah keseluruhan peraturan hukum dan petunjuk-petunjuk adat, yang mengatur tentang peralihan maupun penerusan harta warisan dengan segala
7
akibatnya baik dilakukan semasa pewaris masih hidup maupun sesudah meninggal dunia 8. Hukum waris adat mempunyai keistimewaan tersendiri, keistimewaan itu terletak pada dapat beralihnya harta warisan meskipun pewaris masih hidup dan atau sudah tua dan tidak mampu bekerja lagi. Dalam hukum adat Indonesia, seorang anak perempuan hanya mendapat separo dari bagian anak laki-laki. Di Jawa adat itu disebut “Sepikul Segendong”. Warisan di suku Batak hanya anak laki-laki mempunyai hak atas warisan orang tua nya. Anak perempuan tidak berhak menerima waris tersebut. Dalam praktek, anak laki-laki mempunyai kewajiban untuk membiayai pendidikan saudara perempuannya atau memberikan sebidang tanah yang bukan berasal dari waris orang tuanya. Warisan pada kaum Tionghoa juga mendasarkan pada sistem patrilineal, dimana kedudukan perempuan dipandang lebih rendah dari laki-laki. Penerapan pewarisan pada hukum waris adat juga ada yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku dan dapat dijelaskan secara umum sebagai berikut9: Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad, penerusan, dan peralihan harta kekayaan yang berwujud (materiil) dan tidak berwujud (inmateriil) dari satu generasi kepada generasi berikutnya.10
8 Loc.cit 9 Loc.cit 10 Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan: Pola Penguasaan Tanah Di Jawa Dari Masa Ke Masa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 170.
8
Menurut pendapat Soepomo (1986), hukum adat waris adalah memuat peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan benda yang tidak berwujud (inmateriil goederen) dari satu angkatan manusia (generati) kepada turunannya 11. Sebagian besar dari hukum Adat yang berlaku adalah tidak tertulis, walaupun tidak tertulis tetapi hukum Adat bukan berarti tidak ditaati oleh masyarakat pendukung dari hukum Adat. Dalam hal ini Soerojo Wignjodipoero dalam kutipannya yang diambil dari pendapat Soepomo, memberikan pengertian tentang hukum Adat, yaitu sebagai berikut12: “Pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislatif (unstatutery law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.”
Hukum Waris Adat merupakan bagian dari hukum hindia belanda yang menjadi hukum positif Indonesia. Hukum waris adat masih diberlakukan sampai saat ini, melihat dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang masih sesuai dengan perkembangan zaman masyarakat. Di Indonesia, masih terdapat beberapa daerah yang masih kental dengan hukum adatnya, sehingga hukum waris adatnya pun masih kental di beberapa daerah. Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya. Oleh karena itu, hukum
11 Subekti, Trusto. Hukum Waris Adat , artikel pada jurnal hukum edisi kedua,2013, hlm.15 12 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1985, hlm. 14
9
waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris adat mengenal beberapa macam sistem pewarisan, yaitu13: 1. Berdasarkan sistem kekerabatannya: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua. Sistem ini memunculkan kekhasannya sendiri, misalnya seperti pada sistem patrilineal, hanya garis keturunan laki-laki yang berhak mewaris, pada garis matrilinear hanya pihak wanita yang berhak, dan pada garis bilateral baik pria dan wanita memiliki hak mewaris. 2. Berdasarkan kepemilikan hak waris: dari kepemilikan hak warisnya, hukum waris adat Indonesia dibagi menjadi 3macam yaitu: 1. Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan
atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Kewarisan dengan sistem individual adalah sistem kewarisan dimana setiap ahli waris mendapat bagian menguasai atau memiliki harta peninggalan orang tuanya. Ini berarti, setiap ahli waris mengusahakan, menikmati ataupun kalau terpaksa mengalihkan (menjual) kepada orang lain 14 . Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak. 2. Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan
yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli 13 N. M. Wahyu Kuncoro, WARIS:Permasalahan Dan Solusinya, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2015, hlm.12 14 IGN. Sugangga, Hukum Waris Adat, Semarang, UNDIP, 1995, hal. 11
10
waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah Harta Pusaka dalam sistem ini meliputi dua bagian, yaitu15: a) Harta Pusaka Tinggi, diperoleh dari generasi ke generasi. Tujuan pemberian pusaka tinggi ini adalah untuk menunjukkan kepada anak cucu tentang pusaka yang pernah ada pada nenek moyang mereka. b) Harta Pusaka Rendah, diperoleh dari satu generasi ditasnya, sehingga lama-kelamaan harta pusaka rendah dapat menjadi harta pusaka tinggi. Dalam praktik masyarakat adat, harta pusaka rendah biasa berupa tanah yang dapat dinikmati bersama-sama oleh para ahli warisnya. Bila keberadaan tanah tersebut dapat dipertahankan terus-menerus oleh ahli warisnya, maka lama-kelamaan tanah tersebut akan menjadi harta pusaka tinggi. Dalam hukum adat, tanah yang telah menjadi harta pusaka tinggi dikenal sebagai tanah Ulayat. Tanah ulayat bersifat terus - menerus, turun-temurun, tidak dapat dibagi-bagi, atau dipecah. Pengecualinnya terhadap tanah ini, yaitu apabila terjadi kesepakatan dari anggota masyarakat adat untuk menjual sebagian tanah ulayat untuk kepentingan bersama. 3. Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai
satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau
15 Badriyah Harun, Loc.cit, hlm.9
11
ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua. Pada pelaksanaannya pemberian waris yang dilakukan dengan wasiat akan lebih mudah karena di dalamnya telah dituliskan besarnya hak tiap ahli Waris. Wasiat sendiri adalah akta yang memuat ketentuan tentang harta peninggalan apabila pemilik harta peninggalan tersebut meninggal dunia. Wasiat terdiri atas legaat atau hibah wasiat (surat penunjukan yang menunjuk seseorang akan menerima harta warisan tertentu apabila pewaris meninggal dunia) dan legataris (orang yang ditunjuk)16. Penyelesaian sengketa waris yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dapat diselesaikan sesuai dengan aturan hukum yang dipakai. Bagi yang beragama Islam dapat dimohonkan Fatwa Waris kepada Pengadilan Agama, yang nantinya akan dikeluarkan besarnya bagian masing-masing ahli waris. Fatwa Waris yang dikeluarkan Pengadilan Agama ini akan dapat digunakan mengurus administrasi pada Budel Waris dan atau dapat digunakan sebagi persyaratan Pewarisan Hak. Bisa juga dilakukan kesepakatan yang kemudian dibuatkan dalam Akta oleh Notaris tentang surat keterangan waris. Jika terjadi sengketa antar pihak tentang besarnya bagian waris, maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri17.
2. Unsur- Unsur Dalam Pewarisan
16 N. M. Wahyu Kuncoro, loc.cit, hlm.9 17 Loc.cit
12
Suatu pewarisan harus mempunyai unsur-unsur yang perlu untuk dipenuhi agar dapat disebut sebagai peristiwa waris. Pewarisan harus terdapat yang disebut dengan pewaris, harta warisan, dan ahli waris. Unsur-unsur ini dimaknai secara berbeda-beda menurut hukum pewarisan yang berlaku18. a. Pewaris Menurut sistem hukum adat, pewaris adalah yang meneruskan hartanya baik pada saat hidup maupun setelah wafat. Hukum adat juga memandang pewarisan sebagai proses peralihan harta kekayaan baik materiil maupun imateriil dari satu generasi ke generasi lainnya. Pewaris adalah orang yang memiliki harta untuk diwariskan19. Menurut sistem hukum Perdata, pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia atau diduga telah meninggal dunia yang meninggalkan harta yang dimilikinya semasa hidupnya. Orang yang meninggal dunia dapat dianggap sebagai pewaris dengan syarat (dalam hal pewaris tidak ada ditempat)20: 1. Orang tersebut tidak diketahui keberadaannya selama sekurang-kurangnya lima tahun, telah dilakukan panggilan resmi dari pengadilan sebanyak tiga kali dan pemanggilan dengan surat kabar sebanyak tiga kali.21 2. Apabila sampai sebelum 15 tahun harta warisan digunakan oleh ahli waris, ternyata pewaris hadir, ahli waris wajib mengembalikan ½ harta warisan itu.22 3. Apabila setelah 15 tahun tapi belom genap 30 tahun, ahli waris wajib mengembalikan ¼ harta warisan tersebut.23 18 F. Satriyo Wicaksono, op.cit, Hal. 5 19 ibid 20 Ibid,hlm.6 21 Pasal 476 KUHPerdata 22 Pasal 482 KUHPerdata
13
4. Apabila lebih dari 30 tahun atau 100 tahun umur pewaris, pewaris tidak berhak menuntut pengembalian warisnya.24 5. Apabila dua orang saling mewarisi meninggal secara bersamaan tanpa diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu, mereka dianggap meninggal secara bersamaan dan dianggap tidak terjadi perpindahn harta warisan satu dengan yang lainnya.25 Menurut sistem hukum waris Islam pewaris adalah orang yang memiliki harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang mewaris ataupun yang diwaris harus beragama islam26. Berdasarkan Pasal 171 huruf c Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), pewaris
merupakan orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Di dalam Buku II Hukum Kewarisan Bab 1 Pasal 171 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak, pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan orang yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Harta Warisan
23 ibid 24 Pasal 484 KUHPerdata 25 Pasal 831 KUHPerdata 26 F. Satriyo Wicaksono, op.cit, hlm.6
14
Dalam hukum waris adat harta warisan bisa berupa kebendaan maupun tak berwujud seperti misalnya gelar kebangsawanan. Harta waris dalam hukum adat terdiri dari:27 1. Harta asal atau harta bawaan Harta asal berasal dari warisan orangtua, pencarian sebelum perkawinan berlangsung, maupun pemberian hadiah. 2. Harta Gono Gini Harta yang diperoleh selama masa perkawinan. Harta asal dan harta gono gini akan menjadi satu kesatuan bila dalam perkawinan terdapat anak (keturunan). Dalam beberapa kasus tertentu, harta gono gini dapat dipisahkan bila tidak terdapat keturunan. Tidak selamanya harta peninggalan pewaris dapat langsung dibagikan, pada pewarisan hukum adat ada harta yang sifat pewarisannya harus ditangguhkan, bahkan ada kalanya tidak dibagi. Hal tersebut disebabkan karena harta itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi selamanya.28 Harta warisan menurut hukum waris perdata adalah keseluruhan harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris, baik piutang-piutang maupun utang-utang. Hukum waris perdata tidak mengenal asal harta untuk mrnrntukan harta warisan. Dengan kata lain, harta warisan merupakan satu kesatuan yang dialihkan dari pewaris kepada ahli waris.29
27 Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, Buku Kita, Jakarta, 2009, hlm. 8 28 N. M. Wahyu Kuncoro, loc.cit, hlm.15 29 Pasal 833 ayat 1 KUHPerdata
15
Harta warisan menurut waris Islam seperti dikatakan pada Pasal 171 huruf e Kompilasi Hukum Islam didefinisikan sebagai harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Dalam hal pengurusan harta warisan, tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk wajib mengurus tentang harta warisan tersebut. Apabila seseorang menerima tugas pengurusan, maka wajib untuk dilaksanakan. Upah yang diterima dalam pengurusan tersebut adalah sesuai dengan besarnya kesepakatan yang telah dilakukan dengan pewaris pada masa hidupnya. Apabila tidak ada kesepakatan, maka berdasarkan aturan Hukum Perdata pasal 411 KUHPerdata, ia berhak memperoleh upah sebesar 3% dari seluruh pendapatan, 2% dari pengeluaran, dan 1,5% dari jumlah modal. c. Ahli Waris Menurut hukum waris adat golongan yang diprioritaskan untuk bisa mewaris adalah30:
1. Anak Kandung Dalam hukum adat, yang dimaksud dengan anak kandunga adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Selain anak kandung ahli waris yang diprioritaskan adalah janda atau duda. Apabila tidak terdapat anak kandung, janda atau duda, maka ahli waris jatuh pada golongan dibawahnya, yaitu orangtua. 2. Orangtua Si Pewaris 30 Badriyah Harun, loc.cit, hlm.7
16
Jika orantua tidak ada, termasuk janda atau dua, maka ahli waris jatuh pada golongan dibawahnya, yaitu saudara dari pewaris. 3. Saudara Pewaris Disebut juga pewarisan menyamping. Menurut sistem kekeluargaanya , ahli waris pada hukum adat dibedakan sebagai berikut31: 1. Patrilineal Ahli waris dengan sistem kekerabatan patrilineal menentukan bahwa hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris orangtuanya. Tapi juga tidak dapat ditentang bila orangtua memberikan harta warisan kepada anak perempuan. Ahli waris dalam sistem ini adalah sebagai berikut: a) Anak laki-laki: semua anak laki-laki yang sah yang mempunyai hak untuk mewarisi harta pencaharian dan harta pusaka. b) Anak angkat: anak angkat berkedudukan sama dengan anak kandung, tetapi sebatas harta pencaharian. c) Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung. d) Keluarga terdekat dalam derajat tidak tertentu, ini berlaku bila ahli waris yang disebutkan sebelumnya tidak ada. e) Persekutuan adat, harta warisan akan jatuh pada persekutuan adat bila semua ahli waris yang disebut sebelumnya tidak ada. 2. Matrilineal Sistem kekerabatan matrilineal menentukan, bahwa anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibu, baik harta pencahariaan maupun harta 31 F. Satriyo Wicaksono, loc.cit, hlm.9
17
bawaan (harta pusaka). Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan
yang
didasari
oleh
garis
keturunan
ibu.
Sebagai
konsekuensinya dari sistem kekerabatan ini adalah mengutamakan anakanak perempuan daripada anak-anak laki-laki32. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini pada umumnya berlaku adat perkawinan semenda, yang setelah perkawinan si suami mengikuti isteri. Namun suami tetap menjadi anggota kerabat ibunya. Sistem ini dipakai pada daerah Minangkabau, Enggano dan Timor Timur. Minangkabau yang sifat kekeluargaannya keibuan, bila seorang ayah meninggal dunia maka anak-anaknya tidak mendapat warisan karena antara ayah dan anakanaknya tidak ada hubungan kekeluargaan, yang menjadi ahli warisnya adalah anak-anak dari saudara perempuan ayah yang meninggal33. 3. Parental Ahli waris dalam sistem kekerabatan parental adalah anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki hak yang sama atas harta warisan orangtuanya. Demikian ahli waris dalam kekerabatan parental adalah sebagai berikut: a) Anak laki-laki dan anak perempuan b) Orangtua apabila tidak ada anak c) Saudara-saudara apabila tidak ada orangtua
32 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Ctk.5, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 55 33 Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal. 36
18
d) Apabila tidak ada ahli waris, harta warisan diserahkan ke desa e) Anak angkat hanya berhak mewaris harta pencaharian dari orangtua angkatnya Menurut Hukum Waris Perdata tidak dibedakan ahli waris berdasarkan jenis kelamin. Ahli waris dalam hukum perdata dikarenakan dasar perkawinan dan hubungan darah, baik secara sah maupun tidak. Hubungan darah terdekatlah yang berhak mewaris (pasal 853 KUHPerdata). Pada hukum waris Perdata Barat ini, dibagi beberapa pewaris menurut golongannya34: 1. Golongan I
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian, meliputi: Ayah, Ibu, Pewaris, Saudara, Saudara.
2. Golongan II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara
37
http://www.ajihoesodo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=63:cara-membagi-warismenurut-kuh-perdata&catid=2:hukum&Itemid=6,diakses pada tanggal 31 Maret 2016, Pukul 00.06
19
kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian. 3. Golongan III
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu. 4. Golongan IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya. Suatu asas dari hukum waris perdata adalah apabila ada waris golongan pertama, itu sudah menutup waris-waris yang lain. Para waris dari golongan kedua baru maju kedepan apabila tidak ada waris dari golongan pertama, begitu seterusnya. Prinsip pembagian warisan dari hukum waris barat adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sehingga pembagian waris dibagi sama rata dengan yang lain, termasuk janda punya anak, hak waris sama dengan ahli waris yang lain. Adanya Golongan ahli waris ini menunjukkan bahwa tidak dapat timbul kesewenangan dengan menyalahi urutan pembagian waris pergolongannya. Tidak dapat dilakukan pewarisan dengan loncat golongan apabila golongan sebelumnya masih hidup. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 KUHPerdata mengenai ahli waris juga dinyatakan
20
mengenai anak yang masih di dalam kandungan ibunya dinyatakan telah dilahirkan apabila untuk kepentingan suatu anak dalam menerima harta warisan. Dalam Hukum Waris Islam, mengenai ahli waris digolongkan sebagai berikut35: a. Menurut hubungan darah 1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. 2) Golongan perempuan terdiri daru: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda, atau duda. Dalam hukum waris islam, laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian dari harta warisan. Sedangkan besarnya bagian masing-masing ahli waris dapat dilihat dalam pasal 176-185 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pewarisan Hukum Islam ini, yang dapat menjadi ahli waris hanyalah mereka yang beragama Islam dalam keluarga. Pasal 191 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa apabila seseorang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, maka hartanya dengan putusan pengadilan negeri agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.
3. Pewarisan Menurut Masyarakat Tionghoa Dalam pewarisannya, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, masyarakat etnis Tionghoa di Surakarta diatur oleh Hukum Waris Barat (KUHPerdata) dan Hukum Waris Adat.
35 Loc.cit
21
Masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri di bedakan dalam golongan Etnis Tionghoa Totok dan Peranakan36. a. Etnis Tionghoa Di Indonesia Menurut sejarah yang diketahui, masyarakat Tionghoa telah berada di Jawa Tengah pada tahun 1704 yaitu dengan dibangunnya kelenteng Sam Poo Kong di daerah Simongan (kawasan Gedung Batu) Semarang dan dipugar pada tahun 1724 karena bencana alam.37 Tionghoa peranakan adalah orang-orang tiongkok yang sudah berbaur dengan orang-orang pribumi. Biasanya garis keturunan mereka sudah lebih dari empat generasi. Bahkan mungkin ada yang sudah lebih dari sepuluh generasi. Tionghoa peranakan sudah lama tinggal di Indonesia. Kebanyakan orang Tiongkok yang menetap di Indonesia sebelum abad-20 adalah para pria. Mereka bekerja di Indonesia dan mempunyai istri orang pribumi, sehingga lama-kelamaan mereka berbaur dengan orang-orang pribumi. Pemaknaan hubungan kekerabatan timbul dari komunikasi dan sebuah interaksi sosial dengan lingkungannya38. Golongan inilah yang dinamakan Tionghoa peranakan.39 Lain halnya dengan Tionghoa totok. Mereka baru satu dua generasi di Indonesia dan tidak berbaur dengan masyarakat pribumi. Pada umumnya masih berbahasa Tionghoa dalam percakapan sehari-hari. Masyarakat Tionghoa Totok adalah orang-orang Tionghoa yang lahir di negara China dan masih berbahasa China. Kebanyakan mereka 36 http://www.kompasiana.com/willyyandi/diskriminasi-perempuan-tionghoa-diskriminasi-dalamdiskriminasi_54ff66d5a33311b14b50ffa1, diakses pada 18 Febuari 2016, jam 23.24 37 Hembing Widyakusuma, Nilai dan bukti sejarah Misis Perjalanan Sam Poo Kong, Penerbit SM, Semarang 2 Maret 2000, Halaman VII 38 Richard West dan Lynn Turner, Pengantar Teori Komunikasi Analisi Dan Aplikasi, Salemba Humanika, Jakarta, 2008, Hlm. 97 39 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, PT. Grafiti Pers, Juni 1984, Hlm.226
22
adalah imigran dalam abad 20. Keturunan mereka yang lahir sebelum perang dunia ke dua masih berkebudayaan totok tetapi yang lahir setelah ditutupnya sekolah China sudah lebih mirip peranakan.40 Kalau kita perhatikan perbedaan antara Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok (asli) sepintas lalu, sulit untuk dibedakan. Sebenarnya apabila diperhatikan sungguhsungguh, terdapat juga perbedaan-perbedaan dalam lafal dan ucapan, dalam kehidupan sosial-budaya dan dalam corak pendidikan serta dalam adat-istiadat lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh karena pengaruh dari lingkungan dalam kehhidupan masyarakat Indonesia. Warga komunitas Tionghoa yang berada di Indonesia telah berakulturasi ke dalam masyarakat setempat. Hubungannya dengan negeri leluhur tidak lagi tebal kecuali mereka tetap mengadakan kegiatan yang dilakukan oleh leluhur mereka. Seperti diketahui warga Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Etnis Tionghoa terdiri dari beberapa suku bangsa yaitu41 : 1. Hokkian 2. Kanton (disebut juga Kwongfu) 3. Hakka (disebut juga Keh) 4. Hainan Bila ditelusuri, adat kebiasaan tradisional warga komunitas Tionghoa sebenarnya tidak lain adalah merupakan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat magis-religius. Adat
40 Ibid Hlm.170 41 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/46/2013/10/hendri-gunawan_warisan-danpewarisan-budaya_unity-in-diversity_warisan-dan-pewarisan-budaya.pdf, diakses pada tanggal 15 Desember 2015, pukul 21.37
23
kebiasaan tradisional tersebut telah diturunkan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, dimanapun mereka berada. Itulah sebabnya sangat sulit bagi orang Tionghoa untuk meninggalkan adat kebiasaan mereka. Pola kehidupan mereka sejak dilahirkan sampai di liang lahat terus dilingkari oleh adat kebiasaannya.42 Ajaran-ajaran Buddha pun setelah masuk ke Tiongkok tidak lagi seperti agama Buddha yang sesungguhnya tetapi telah dipengaruhi adat kebiasaan tradisional Tiongkok. Perbedaan dalam kehidupan keluarga dan dalam sistem kekerabatan, bagi orang Tionghoa, kebanyakan struktur kekerabatan berdasarkan garis keturunan kebapakan (patrilineal). Sebelum pertengahan kedua dari abad ke-20, orang Tionghoa di Indonesia sebagian besar terdiri dari para pedagang dan pengrajin Hokkian43. Sampai saat ini belum ada kajian yang mendasar tentang hubungan antara semangat merantau dengan latar etnis, dari berbagai keterangan yang diperoleh dari warga Tionghoa berlatar Hokkian, baik di Jawa maupun di Manado, dapat dikatakan bahwa letak geografis wilayah Hokkian yang berpusat di Provinsi Fujian yang berada di bagian selatan daratan Tiongkok memudahkan mereka merantau ke selatan atau ke Nusantara. Alasan sosio-kultural lainnya adalah perilaku mereka yang saling tolong menolong antara sesama etnis Hokkian membuat mereka lebih berani merantau ke Nusantara. Tidak sedikit para perantau yang sudah berhasil di Nusantara baik di Jawa maupun di Manado membantu para pendatang baru dengan cara memodali usaha mereka. Secara umum, jumlah perantau juga disebabkan oleh alasan sulitnya angkutan laut, ada juga alasan politis-administratif, yakni adanya Dekrit Kekaisaran dari Dinasti Ching yang secara resmi melarang orang Tionghoa untuk meninggalkan dan masuk kembali ke 42 ibid 43 ibid
24
negeri Tiongkok, maka migrasi massal ke Nusantara tidak pernah terjadi, dan yang ada ialah migrasi perorangan atau juga sebatas satu dua keluarga. Pada tahun 1717 semua orang Tionghoa di luar Tiongkok dipanggil kembali ke daratan Tiongkok dan setelah tahun 1726, perantau Tionghoa tidak boleh kembali lagi ke Tiongkok44. Setelah tahun 1860, larangan bagi warga Tiongkok untuk merantau mulai mengendor dan memungkinkan para perantau Tionghoa leluasa bepergian ke luar negeri. Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1898. Pemerintah kekaisaran Tiongkok menghapuskan larangan mengenai kembalinya orang Tionghoa ke negeri Tiongkok. Sebenarnya, banyak orang Tionghoa telah kembali bahkan sebelum larangan itu dengan resmi dicabut45. Mayoritas warga Tionghoa-peranakan biasanya memiliki darah pribumi dari garis ibu dan mereka menjalani cara hidup berdasarkan tradisi etnis darimana ibunya tergabung di dalamnya. Kaum peranakan pada umumnya tidak berbicara dalam bahasa Tionghoa tetapi berkomunikasi dengan menggunakan bahasa setempat baik itu bahasa Melayu maupun bahasa-bahasa daerah di mana mereka tinggal. Di pantai utara Jawa tempat sebagian besar warga Tionghoa tinggal digunakan suatu kombinasi antara bahasa Melayu pasar dan logat Hokkian sebagai bahasa pergaulan. Bahasa ini kemudian diperkaya dengan meminjam katakata dari bahasa Belanda dan bahasa barat lainnya. 46 Menjelang akhir abad ke-19, bahasa itu telah berkembang menjadi bahasa Melayu Betawi, dan dalam abad ini dikenal sebagai bahasa Melayu Tionghoa. Bahasa ini menjadi bahasa umum dari warga komunitas Tionghoa peranakan di seluruh Jawa. Hal ini
44 Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa, 1917-1942, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1986, hlm.20 45 Ibid, hlm.21 46 Ibid
25
berpengaruh besar dan seakan menjadi cikal-bakal pencantuman nama marga yang kelak disandang oleh keturunannya yang pada umumnya adalah nama-nama marga atau dalam bahasa setempat disebut fam, berasal dari kata bahasa Belanda familie adalah nama keluarga pihak ibu. Orang Tionghoa totok pada umumnya masih tetap memegang teguh struktur kekerabatan patrilineal ini. Bagi orang Tionghoa peranakan telah banyak yang berubah dari sistem patrilineal kepada sistem bilateral/parental. Sistem patrilineal meskipun sudah ditinggalkan, tetapi sebenarnya ciri-ciri patrilineal masih tetap berlaku. Misalnya dalam upacara kematian biasanya anak laki-laki tertua yang membawa foto orang tuanya yang meninggal dan pada saat mengadakan pertemuan (musyawarah) keluarga apabila orang tua sudah tidak ada, anak laki-laki tertua yang memimpin jalannya musyawarah. Dalam pendidikan terdapat juga perbedaan47. Banyak diantara orang-orang Tionghoa peranakan menyesuaikan diri dengan setiap situasi baru. Mereka banyak yang telah masuk agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan, di samping sekolah-sekolah umum. Orang-orang Tionghoa Peranakan juga sering terpengaruh oleh pendidikan dan pola kehidupan sosio-budaya asli masyarakat Indonesia. Terlihat dari usahanya untuk mencapai suatu status sosial yang terhormat dalam masyarakat, dengan berusaha untuk mencapai perguruan-perguruan tinggi dengan hasil sebaik mungkin. 48 Kaum Tionghoa lebih menghargai orang-orang terpelajar. Tidaklah demikian bagi orang-orang Tionghoa Totok, yang lebih menghargai orang yang sukses dalam usaha
47 ibid 48 Hidayat Z. M., Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia, TARSITO, 1977, Bandung, hlm. 101
26
perdagangan atau industri (materialistis). Bagi orang-orang Tionghoa peranakan pendidikan formil mempunyai arti yang sangat penting.49 b. Sistem Kekerabatan pada Etnis Tionghoa Tradisional Sejak dahulu orang-orang Tionghoa di negeri leluhurnya telah hidup secara teratur, dibandingkan dengan suku-suku bangsa lainnya. Kaum ini telah hidup menetap di daerah lembah dan hidup dari pertanian. Kumpulannya hidup di suatu perkampungan serta telah dapat mencukupi kebutuhan sendiri, sedangkan suku-suku lainnya pada masa itu masih banyak yang hidup berkelana. Perkampungan-perkampungan itu kemudian menjadi dasar pengelompokan sistem kekeluargaan patrilineal. Tiap komunitas mula-mula hanya terdiri dari keluarga keturunan dari garis keturunan ayah. Keluarga ayah semua saudara laki-lakinya dengan keluarga anak-anak laki-lakinya, keluarga kakek dan saudara laki-lakinya. 50 Dalam keluarga inti yang memegang peranan penting dan berkuasa adalah ayah dan anak-anak laki-lakinya. Semua keluarga inti setelah ayahnya meninggal, berada di bawah pimpinan anak laki-laki tertua. Anak sulung ini akan menerima yang paling banyak harta warisan orang tuanya, dan warisan ini hanya diberikan kepada anak laki-laki saja, sedangkan anak-anak perempuan tidak diberi apa-apa. Anak laki-laki yang diangkat oleh klan lain, hubungan darahnya dengan nenek moyang dari garis keturunan ayahnya menjadi putus. Anak angkat itu kemudian selanjutnya membentuk hubungan dengan garis keturunan nenek moyang dari ayah angkatnya.
49 ibid 50 Leo Suryadinata, Loc.cit
27
Kesadaran akan kesatuan dalam klan bagi orang Tionghoa sangat kuat sekali. Semua keluarga merasa berasal dari keturunan yang sama, akan membentuk kesatuan keluarga dalam suatu klan. Dalam kesatuan klan ini mereka akan mendapat jaminan ketenteraman hidup bagi setiap anggota dalam segi materiil, tenaga maupun dalam segi moril. Setiap dalam upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang atau yang berhubungan dengan siklus pertanian, semua anggota klan datang menghadirinya. 51 Upacara-upacara yang diperingati secara hikmat terutama pada waktu ada kelahiran, perkawinan, hari ulang tahun dari anggota tertua klannya, pada pemakaman dan pada pesta tahunan yang memperingati hari kematian dari nenek moyangnya. Jika seseorang tertimpa nasib buruk ia dapat pergi meminta bantuan kepada klan lainnya. Tiap klan yang ada menempati satu kampung. Bagi keluarga-keluarga di desa yang sama, merupakan hal yang tabu untuk mengirim gadis dari klan yang sama. Gadis-gadis dari tiap klan akan diberikan sebagai istri kepada laki-laki dari klan lainnya52. Tujuan tiap klan ini melangsungkan perkawinan adalah demi meneruskan generasi klannya agar tidak hilang. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan yang memegang peranan penting adalah saudara laki-laki yang tertua dan mengatur anak-anaknya melalui perantara yang sekiranya tidak memalukan dan dengan cara-cara diplomasi, bagaimana caranya mencari dan memilih calon-calon menantu yang diharapkan 53 . Perkawinan harus dilakukan dengan sesame orang Tionghoa (satu ras)54. Dalam perkawinan kalau sudah resmi, orang tua laki-lakilah yang berkuasa. Biasanya mereka tidak kenal kompromi lagi. Anak-anak wanita harus tunduk dan 51 Leo Suryadinata, Loc.cit 52 Jung Chang, Angsa-angsa Liar, Gramedia, Jakarta, 2006, Hlm. 135 53 ibid 54 Margareta Astaman, Excuse-Moi, Buku Kompas, Jakarta, 2011, Hlm. 128
28
menurut secara patuh kepada orang tua, oleh karena anak gadisnya itu harus menjadi calon mempelai yang dapat menarik perhatian suaminya, sehingga suaminya menjadi segan untuk meninggalkannya. Prinsip kehidupan orang Tionghoa bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tua. Kewajiban anak-anak terhadap orang tua baik sebelum maupun sesudah kawin, harus tetap berbakti kepada orang tua. Setiap mempelai laki-laki tetap harus membantu orang tuanya, seperti biasanya sebelum kawin. Perbuatan ini merupakan contoh bagi anak-anak seterusnya, bagaimana seharusnya sikap bakti mereka terhadap orang tuanya kelak dalam mengurusnya. Mempelai wanita harus lebih tabah karena setelah kawin menjadi anak menantu keluarga suaminya, ia akan dituntut harus menurut kepada kedua mertuanya. Suaminya meskipun telah meninggal, ia tetap dianggap sebagai ganti anggota keluarga suaminya55. Etik hubungan sosial dalam pengabdiannya kepada orang tua, di mana anak lakilaki tidak boleh membuat susah orang tua. Saudara laki-laki yang lebih tua mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap saudara laki-laki yang lebih muda dan saudara laki-laki yang lebih muda harus tunduk dan hormat kepada kakak-kakaknya. Suami yang ideal menurut etik hubungan sosial dalam keluarga yaitu yang sedapat mungkin harus menjunjung tinggi istrinya. Dasar pendapat ini terutama karena keluarga pada hakekatnya tempat kelahiran wujud manusia. Apabila terjadi suatu kejadian semisal istrinya mandul atau tidak mempunyai anak laki-laki, seorang laki-laki boleh mempunyai istri selir atau istri kedua.
55 Makalah Titik Suliyati, Studi Gender pada Masyarakat Tionghoa Di Daerah Pecinan Semarang, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, hlm.8
29
Dalam keluarga Tionghoa peranakan, keharmonisan keluarga menjadi hal yang sangat diutamakan. Dalam keluarga juga mulai dikembangkan sikap-sikap demokratis. Masalah-masalah penting dalam keluarga diputuskan berdasarkan musyawarah seluruh anggota keluarga, walaupun keputusan terakhir
ada di tanagn ayah sebagai kepala
keluarga. Tidak jarang dalam keluarga Tionghoa peranakan peran ibu lebih dominan dibandingkan dengan ayah. Hal ini bukan berarti berkurangnya rasa hormat ibu terhadap ayah, tetapi ada hal-hal atau masalah-masalah dalam keluarga yang memang kurang dikuasai ayah sehingga diambil alih oleh ibu. Dewasa ini bukan hal tabu lagi bila ayah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga dan ibu melakukan pekerjaanpekerjaan yang dipandang kasar56 . c. Perkawinan Menurut Hukum Adat Menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu bukan saja merupakan perikatan adat melainkan juga perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Dapat dikatakan bahwa menurut hukum Adat, maka perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat, dan urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda 57 , namun meskipun urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan persekutuan, perkawinan itu tetap merupakan urusan hidup pribadi dari pihak-pihak individu yang kebetulan tersangkut di dalamnya. Upacara hikmat pada pelangsungan perkawinan di mana-mana menyimpulkan paham dan kebiasaan yang mempengaruhi adat dan hukum perkawinan, yang masingmasing dengan caranya sendiri-sendiri. Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah
56 ibid 57 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Begensilen en Stelsel Van Het Adatrecht), Terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960, hlm. 59
30
perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, yang mana akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya adanya hubungan pelamaran. Setelah terjadi ikatan perkawinan, maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua menurut hukum adat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan58 . Dalam kelompok-kelompok wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuankesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum, perkawinan para wangsanya adalah saran untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib teratur, saran yang dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Dalam lingkungan persekutuan, suatu perkawinan dianggap sebagai cara untum neneruskan garis keturunan keluarga. Di kalangan masyarakat yang masih kuat prinsip kekerabatannya yang berdasarkan ikatan keturunan, maka perkawinan merupakan suatu nilai yang hidup untuk dapat menurunkan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan
sosial
yang
bersangkutan, selain itu perkawinan juga merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, dan juga merupakan arena pendekatan dan perdamaian kerabat. Dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah guna membangun atau membina yang sebelumnya telah
58 Hilman Hadikusuma, op cit, hlm. 9
31
menjauh dan retak. Sistem perkawinan menurut hukum itu dipengaruhi oleh sistem kekerabatannya59. d. Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Tionghoa Perkawinan di Indonesia sendiri diatur pada Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengingat hukum perkawinan ini terkait erat dengan bidang agama dan budaya, maka dalam kenyataannya keanekaragaman hukum tetap berlaku. Hazairin mengatakan bahwa: “Hukum perkawinan sebagai unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berkeTuhanan Yang Maha Esa.”60 Masyarakat keturunan Tionghoa dalam suatu perkawinan yang akan dilaksanakan harus melalui tiga tahap upacara, yaitu 61: 1. Upacara adat Tionghoa 2. Upacara Pesta Perkawinan 3. Upacara Tata Cara Agama Yang Diyakini
Ketiga upacara itu tidak diharuskan dilaksanakan seluruhnya, karena di dalam melakukan tiap-tiap upacara tersebut diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, kecuali memang tingkat ekonominya mendukung. Dengan hanya melakukan satu kali tahapan upacara perkawinan tersebut telah dianggap sah dalam masyarakat adat Tionghoa. Dulu masyarakat keturunan Tionghoa melarang sekali sebuah perkawinan satu marga (she) atau semarga karena dianggap suatu perkawinan satu keluarga62.
59 ibid 60 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, Hlm.3 61 Vasanti Puspa, Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia, Djambatan, 1996, Jakarta, hlm. 43 62 ibid
32
Perkawinan pada masyarakat keturunan Tionghoa memberikan peran yang sangat dominan kepada anak laki-laki. Hal ini dikarenakan sistem yang dianutnya adalah sistem kekerabatan patrilineal. Dapat dilihat dalam tata cara perkawinan yang pada awalnya calon mempelai laki-laki melamar ke calon mempelai perempuan, dan penyelenggara perkawinan dilakukan oleh pihak laki-laki, sedangkan pihak perempuan setelah resmi menjadi isteri harus ikut dan tinggal bersama di kediaman suami. Sekarang pada masyarakat Tionghoa peranakan menganut sistem kekerabatan parental, hal ini mengakibatkan penyelenggaraan upacara perkawinan di kalangan kaum peranakan boleh diselenggarakan di rumah pengantin pria maupun pengantin wanita. Dewasa ini, perkawinan sesama she (suku) lazim dilakukan, tetapi pada praktiknya masih terbatas diantara orang-orang yang bukan kerabat dekat. Perkawinan dengan saudara sepupu diperkenankan asalkan pihak laki-laki berasal dari generasi yang lebih tua, mengawini wanita dari generasi lebih muda. Pernikahan antara wanita dari generasi lebih tua dengan laki-laki dari generasi muda tetap terlarang. Adik perempuan maupun laki-laki, biasanya jarang diperkenankan mendahului kakak perempuannya kawin. Seandainya larangan tersebut dilanggar, maka si adik harus memberi hadiah tertentu kepada kakaknya. Adik perempuan, baginya diperkenankan mendahului kakak laki-lakinya menikah63. e. Kedudukan Hukum Wanita Tionghoa Secara Umum Dikotomi nature (alam) dan culture (budaya) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin, artinya yang satu memiliki status lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih
63 ibid
33
berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah mengakibatkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan64. Berbicara tentang hukum bagi wanita etnis Tionghoa secara umum, maka kita akan menengok pada hukum yang berlaku bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia itu sendiri. Mengenai hukum yang berlaku bagi kaum Wanita etnis Tionghoa di Indonesia, perlu diketahui bahwa dalam berbagai peraturan perundangan nasional telah terumus berbagai instrument hukum yang menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki 65. Dapat kita lihat contohnya pada UUD 1945 pasal 27(1) mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki yang sama di muka hukum; Undang-undang Perkawinan nomoe 1/1974, pasal 31 (1) mengenai hak dan kedudukan suami istri yang seimbang; pasal 35 (1) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; dan pasal 36 (1) atas harta bersama itu suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; GBHN 1993-1998 mengenai prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki; ILO no. 100 yang sudah diratifikasi, mengenai pengupahan yang sama bagi perempuan dan lakilaki untuk pekerjaan yang sama nilai; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi melalui UU no.7/1984.66 Dalam kehidupan politik aktivitas wanita Tionghoa tidak terlalu tampak. Hal ini disebabkan karena perjalanan sejarah yang kurang melibatkan orang-orang Tionghoa
64 Irwan Abdullah, “Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan”, dalam Irwan Abdullah (ed.), Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 3. 65 Vasanti Puspa, op cit, hlm103 66 Ibid.
34
dalam bidang politik di masa lalu 67 , terutama yang berkaitan dengan gerakan 30 September 1965. Walaupun demikian, sebagian besar golongan Tionghoa peranakan, termasuk wanitanya sudah mempunyai kesadaran untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Dengan menjadi WNI mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan WNI lainnya, terutama dalam bidang politik. Salah satu bentuk partisipasi wanita Tionghoa dalam bidang politik adalah ikut aktif dalam pemilihan umum dan menjadi pendukung partai yang dianggap sesuai aspirasinya.68 Dalam peraturannya, terdapat dua sumber pengaturan hukum waris, yaitu secara tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang tertulis adalah Hukum Perdata Barat (BW), buku II bab 12 dan 16, yang berlaku untuk golongan Eropa, China, dan yang tunduk kepadanya, dan ada Hukum Islam bagi orang Ialam. Hukum tidak tertulis adalah Hukum waris adat, berlaku untuk masyarakat Patrilineal, Matrilineal, dan komunitas yang menerima munculnya keputusan hukum Mahkamah Agung atas suatu kasus serupa sebagai kekuatan hukum . Aturan yang menyamakan tentang kedudukan wanita dan laki-laki meskipun telah dimuat di banyak pengaturan, namun sebenarnya perlindungan hukum terhadap perempuan dilemahkan oleh kendala-kendala sosial, ekonomi, dan budaya yang menghalangi perempuan. Pembaharuan hukum yang ada hanya memberikan kesetaraan yang bersifat formal saja , dan bukan dalam praktek nyata, karena dalam kenyataannya undang-undang dapat diabaikan atau dihindari.69
67 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa Dalam Stabilitas Ekonomi &Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2009, Hlm. 292 68 John K. Naveront, Jaringan Masyarakat Cina, PT Golden Terayon Press, Jakarta, 1961, hlm.74 69 ibid, hlm.5
35
f. Hukum Waris Adat Bagi Etnis Tionghoa Pelaksanaan hukum waris adat sendiri didasarkan pada adat-istiadat tiap suku atau etnis tersebut. Para tetua dari tiap etnis umunya masih memberlakukan hukum adat keluarga yag berlaku turun temurun. Sama halnya dalam hal pewarisan, Etnis Tionghoa di Indonesia masih banyak yang menganut sisten Patrilineal dalam pembagian warisnya, mengikuti aturan dari jaman Hindia Belanda, sistem Hukum Patrilineal sifatnya adalah meninggikan kaum Pria dan mengesampingkan kaum Wanita. Sistem kekerabatan patrilineal berarti pertalian kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak. Sebagai konsekuensinya anak laki-laki lebih utama daripada anak wanita, sehingga apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki akan melakukan pengangkatan anak laki-laki 70 . Pada Pewarisan hukum adat Tionghoa, anak laki-laki umumnya mendapat bagian jauh lebih besar daripada anak perempuan, atau dalam beberapa pandangan, anak perempuan bahkan dianggap tidak berhak mewaris atas harta orang tuanya. Pembagian harta warisan dilakukan pada saat pewaris meninggal dunia. Kedudukan anak laki-laki tertua atau sulung lebih tinggi dari anak perempuan, ini karena anak perempuan hanya berhak atas harta berupa perhiasan saja, sedangkan anak laki-laki harus memperoleh jumlah yang lebih besar dari anak perempuan 71. Orang-orang Tionghoa di negeri leluhurnya telah hidup secara teratur, dibandingkan dengan suku-suku bangsa lainnya. Kaum Tionghoa hidup menetap di daerah lembah dan hidup dari pertanian. Kaum Tionghoa telah hidup
di suatu
70 Hilman Hadikusuma, op cit, hlm 23 71 http://satriyoardi.blogspot.co.id/2013/06/makalah-hukum-waris-adat-pilihan-hukum.html, diakses pada tanggal 6 Desember 2015, pukul 19.47
36
perkampungan serta telah dapat mencukupi kebutuhan sendiri, sedangkan suku-suku lainnya pada masa itu masih banyak yang hidup berkelana. Perkampunganperkampungan itu kemudian menjadi dasar pengelompokan sistem kekeluargaan patrilineal. Tiap komune mula-mula hanya terdiri dari keluarga keturunan dari garis keturunan ayah. Keluarga ayah semua saudara laki-lakinya dengan keluarga anak-anak laki-lakinya, keluarga kakek dan saudara laki-lakinya. Dalam keluarga inti yang memegang peranan penting dan berkuasa adalah ayah dan anak-anak laki-lakinya. Semua keluarga inti setelah ayahnya meninggal, berada di bawah pimpinan anak laki-laki tertua. Anak sulung ini akan menerima yang paling banyak harta warisan orang tuanya, dan warisan ini hanya diberikan kepada anak laki-laki saja, sedangkan anak-anak perempuan tidak diberi apa-apa. Anak laki-laki yang diangkat oleh klan lain, hubungan darahnya dengan nenek moyang dari garis keturunan ayahnya menjadi putus. Anak angkat itu kemudian selanjutnya membentuk hubungan dengan garis keturunan nenek moyang dari ayah angkatnya. Proses pewarisan pada waktu pewaris masih hidup bagi masyarakat Tionghoa kebanyakan masih meniru adat istiadat leluhurnya, dimana seluruh harta peninggalan diwariskan atau dilimpahkan kepada anak lakilakinya saja. Anak perempuan tidak mendapatkan bagian harta warisan. Bagi orang Tionghoa yang sudah menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat, harta peninggalan bisa dibagi rata sesuai dengan bakat masing-masing ahli waris tanpa membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan.
37
Proses pewarisan setelah pewaris meninggal dunia seluruh harta peninggalan dilimpahkan kepada anak tertua yang biasanya anak laki-laki sulung. Selanjutnya anak laki-laki inilah yang akan mengurus harta peninggalan termasuk mengurus dan membesarkan adik-adiknya hingga dewasa. Dalam proses ini dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu72 : 1. Proses pewarisan sebelum pewaris meninggal dunia a. Dengan cara hibah Hibah adalah suatu bentuk pemberian dari pewaris semasa hidup kepada ahli warisnya dan pemberian ini termasuk dalam pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan pada waktu pewaris masih hidup pada umumnya dilakukan karena pewaris merasa tidak cakap lagi untuk menjalankan usahanya dan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percekcokan diantara para ahliwarisnya, apabila harta kekayaan tersebut diserahkan kepada mereka sendiri setelah pewaris meninggal dunia. Dalam hal ini Soerojo Wigjodipuro mengatakan : ”Termasuk dalam arti penerusan atau pengalihan harta kekayaan dikala pewaris masih hidup ialah diberikannya harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup kepada anak-anak yang akan kawin mendirikan rumah tangga baru, misalnya pemberian atau dibuatkannya bangunan rumah dan pekarangan tertentu, bidang-bidang kebun atau sawah, untuk laki-laki dan perempuan yang akan berumah tangga”.73 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hibah tidak termasuk dalam pembagian warisan tetapi hanya merupakan pemberian Cuma-Cuma selama hidupnya pewaris, seperti disebutkan dalam pasal 922 Kitab Undang-Undang 72 Isti Sulistiyorini, “Pilihan Hukum Masyarakat Tionghoa Dalam Penyelesaian Pembagian waris Di Pekalongan”, artikel pada Pena Justisia, volume VII No.13, 2009, hlm. 13 73 Soerojo, Pengantar dan Azas Hukum Adat, PT. Gunung Agung, Jakarta, 2002, Hlm. 106
38
Hukum Perdata, yaitu memindahkan tangankan sesuatu kebendaan kepada salah seorang waris keluarga sedarah dalam garis lurus, baik dengan pembebanan bunga cagak hidup, maupun dengan menjanjikan hak pakai hasil, harus dianggap sebagai pemberian atau penghibahan. b. Dengan cara wasiat Surat wasiat adalah semacam dokumen yang berisikan pesan dari pewaris yang ditujukan kepada ahli warisnya, tentang apa yang dikehendaki terhadap harta warisan yang akan ditinggalkannya setelah ia meninggal dunia. Mengenai proses pewarisannya juga harus sesuai dengan apa yang diatur dalam surat wasiat
Pada umumnya pembuatan surat wasiat ini tanpa
sepengetahuan anak-anaknya. Pembagian warisan dengan wasiat selama pewaris masih hidup, surat wasiat ini dapat dirubah atau dicabut kembali dan surat wasiat ini baru berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Biasanya surat wasiat ini dibuat agar dalam pembagian harta warisan nantinya tidak menimbulkan perselisihan diantara ahli warisnya.74 2. Proses Pewarisan Setelah Pewaris Meninggal Dunia Bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan, harta tersebut akan diwariskan kepada ahli warisnya dan persoalannya kapan harta peninggalan itu dibicarakan dan dibagikan. Pada umumnya yang terjadi di kalangan masyarakat Tionghoa, pewarisan terbuka setelah selesai diadakannya penguburan jenazah dan selamatan.75
74 Isti Sulistiyorini, Op cit hlm.14 75 Isti Sulistiyorini, Loc cit
39
Kesadaran akan kesatuan dalam klan bagi orang Tionghoa sangat kuat sekali. Semua keluarga merasa berasal dari keturunan yang sama, akan membentuk kesatuan keluarga dalam suatu klan. Dalam kesatuan klan ini mereka akan mendapat jaminan ketenteraman hidup bagi setiap anggota dalam segi materiil, tenaga maupun dalam segi moril. Setiap dalam upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang atau yang berhubungan dengan siklus pertanian, semua anggota klan datang menghadirinya. Upacara-upacara yang diperingati secara hikmat terutama pada waktu ada kelahiran, perkawinan, hari ulang tahun dari anggota tertua klannya, pada pemakaman dan pada pesta tahunan yang memperingati hari kematian dari nenek moyangnya. Jika seseorang tertimpa nasib buruk ia pergi meminta bantuan kepada klan lainnya. Pembagian harta warisan dalam adat Tionghoa memiliki orientasi pembagian terhadap harta-harta pusaka keluarga, seperti abu leluhur, rumah peninggalan keluarga besar dan perhiasan keturunan76. Dalam hal terjadi perceraian, pembagian harta perkawinan diatur menurut hukumnya masing-masing77. Dari penjelasan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Di Indonesia, khususnya di Kota Surakarta, Etnis Tionghoa merupakan kaum mayoritas yang memiliki jumlah cukup banyak meninggali wilayah Surakarta itu sendiri. Tentang bagaimana pembagian waris, khusus bagi kaum wanita, nantinya akan dapat dilihat apakah sistem pewarisan hukumnya dilakukan secara adat atau sudah menggunakan aturan hukum yang berlaku di masyarakat sekarang. 76 Febbe Joesiaga, Pelaksanaan Pembagian Waris Secara Adat Pada Masyarakat Tionghoa Surakarta, 2008 77 Pasal 37 Undang-undang Nomoe 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
40
g. Kedudukan Hukum Wanita Etnis Tionghoa Menurut Hukum Adat Kedudukan perempuan dalam masyarakat Cina tradisional ada di bawah dominasi kaum laki-laki. Perempuan Cina telah menderita sejak ia masih kanak-kanak. Dalam keluarga-keluarga miskin, gadis-gadis dijual sebagai budak kepada keluarga kaya, bila tidak dijual maka mereka diperbudak oleh keluarga sendiri. Para perempuan ini ditugaskan untuk mengerjakan seluruh urusan rumah tangga, termasuk mengasuh adikadiknya78. Pada sistem perkawinan adat Tionghoa, seorang wanita nantinya akan dinikahkan dengan laki-laki yang menjadi pilihan atau telah dipilihkan olehnya, dan setelah perkwainan berlangsung, maka wanita tersebut telah dianggap dilepaskan oleh keluarganya dan diserahkan kepada pihak mertuanya 79. Dalam perkawinan kalau sudah resmi, orang tua laki-lakilah yang berkuasa. Anak-anak wanita harus tunduk dan menurut secara patuh kepada orang tua, oleh karena anak gadisnya itu harus menjadi calon mempelai yang dapat menarik perhatian suaminya, sehingga suaminya menjadi segan untuk meninggalkannya. Prinsip kehidupan orang Tionghoa adalah bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tua. Kewajiban anakanak terhadap orang tua baik sebelum maupun sesudah kawin, harus tetap berbakti kepada orang tua. Setiap mempelai laki-laki tetap harus membantu orang tuanya, seperti biasanya sebelum kawin80.
78 Myra Sidharta, “Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Cina”, dalam I. Wibowo, Harga yang Harus dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2001, hlm. 107. 79 Mardaningrum, Sistem Kekerabatan Etnis Tionghoa, https://www.wattpad.com/340226-sistem-kekerabatanetnis-tionghoa, diakses tanggal 18 Januari, jam 23.00 80 ibid
41
Perbuatan ini merupakan contoh bagi anak-anak seterusnya, bagaimana seharusnya sikap bakti mereka terhadap orang tuanya kelak dalam mengurusnya, sedangkan mempelai wanita harus lebih tabah karena setelah kawin menjadi anak menantu keluarga suaminya, ia akan dituntut harus menurut kepada kedua mertuanya. Suaminya meski telah meninggal, ia tetap dianggap sebagai ganti anggota keluarga dari suami. Pada umumnya para janda atau duda yang ditinggal mati tidak kawin lagi. Kalaupun kawin lagi yang mengatur dan menentukan adalah orang tua dari almarhum suaminya. Perkawinan janda-janda ini tidak dibatasi, oleh karena menurut anggapan orang Tionghoa dengan perkawinan janda-janda tadi akan menambah anggota baru dalam klannya. Seorang laki-laki bisa kawin lebih dari satu istri, dengan syarat kalau dari istri pertama tidak mempunyai anak, serta kalau keluarganya sanggup memberi biaya untuk menyelenggarakan perkawinan yang kedua itu. Perceraian hampir tidak pernah terjadi, oleh karena menantu itu dianggap telah menjadi anak. Hubungan menantu wanita terhadap mertua seperti sikap terhadap anak-anaknya sendiri, sehingga dalam anggapan mereka bagaimanapun jeleknya hubungan tidak mungkin pecah. Kejadian-kejadian yang mendekati ke arah perceraian adalah mengembalikan menantu wanita kepada orang tuanya, oleh karena tidak cocok atau tidak memuaskan. Pengembalian ini jarang terjadi, oleh karena dianggap paling aib dan orang tua sedapat mungkin menghindarkan kejadian itu. Biasanya ikatan anak-anak dengan orang tua sejak kecil telah dibina demikian rupa, sehingga semua anak-anak itu patuh dan penuh mengabdi kepada orang tua. Penyesuaian seorang menantu wanita ini bagi yang baru dirasakan paling berat. Pada masa dahulu kalau masa penyesuaian ini tidak tertahankan lagi, banyak yang bunuh
42
diri, sebagai penyelesaian terakhir, dari pada dikembalikan kepada orang tuanya. Hal serupa ini merupakan kejadian biasa, sebagai akhir dari konflik yang tak terpecahkan, terutama kalau terjadi antara suami istri81. Kedudukan anak perempuan dalam etnis Tionghoa dimasa sekarang tentunya sudah mengalami perubahan meskipun tidak banyak. Dalam hal waris, wanita pada etnis Tionghoa dianggap tidaklah terlalu penting, biasanya wanita hanya diberikan bagian sedikit atau hanya setengah dari bagian anak laki-laki. Dijaman sekarang, tentang pewarisan wanita ini sudah mengalami perkembangan, wanita dapat turut mewaris dan memiliki kedudukan setara dengan laki-laki. Hal ini bisa didasarkan pada waris dengan surat wasiat atau dengan menengok pada Hukum BW yang berlaku bagi etnis Tionghoa. B. Kerangka Pemikiran Dari permasalahan yang diteliti dapat dibuat kerangka penelitian sebagai berikut:
HUKUM WARIS DI INDONESIA
HUKUM WARIS BARAT
HUKUM WARIS ADAT
HUKUM WARIS ADAT TIONGHOA 81 Hidayat Z.M,Op Cit, Hlm.119
43
PEMBAGIAN HAK WARIS BAGI WANITA ETNIS TIOGHOA DI SURAKARTA
HUKUM WARIS ISLAM
Keterangan bagan: Di Indonesia terdapat 3 (tiga) jenis hukum pewarisan yang berlaku, yaitu sistem pewarisan berdasarkan hukum waris barat, hukum waris adat, dan hukum waris islam. Ketiga sistem ini saling mempengaruhi dalam pewarisan kaum Tionghoa di Surakarta. Pewarisan pada Kaum Etnis Tionghoa, khususnya bagi kaum Wanita ini bisa dengan sistem hukum waris adat maupun hukum waris perdata Barat dan bagi penganut agama Islam akan diberlakukan hukum waris Islam. Dari ketiga sistem hukum ini, akan dilihat nantinya bagaimana pelaksanaan pewarisan bagi wanita Tionghoa di Indonesia khusunya di Surakarta. Hukum apa yang umunya digunakan dalam pelaksanaan pewarisan akan kita teliti lebih lanjut melalui penelitian ini.
44