BAB II LANDASAN TEORI
A. Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Solomon (2007) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai studi mengenai serangkaian proses yang dilakukan individu mulai dari memilih, melakukan pembelian dan menggunakan produk/ ide/ jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Istilah perilaku konsumen sangat luas mencakup perencanaan, pengambilan keputusan, pembelian, penggunaan produk hingga perilaku konsumen paska pembelian. Adapun perilaku konsumtif didefinisikan sebagai perilaku membeli yang berlebihan sebagai usaha seseorang untuk memperoleh kesenangan dan kebahagian yang hanya bersifat semu (Fromm, 2008b). Fromm (2008b) menjelaskan seseorang dikatakan konsumtif apabila ia memiliki barang yang lebih disebabkan karena pertimbangan status. Seseorang yang konsumtif membeli barang yang diinginkan, bukan yang dibutuhkan, secara berlebihan dan tidak wajar untuk menunjukkan status dirinya. Menurut Sumartono (2002), perilaku konsumtif adalah suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan rasional melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf tidak rasional lagi. Perilaku konsumtif melekat pada seseorang bila orang tersebut membeli sesuatu di luar kebutuhan (need) atau pembelian lebih didasarkan pada
faktor keinginan (want). Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa, konsumen dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat pribadi atau subyektif seperti status, harga diri, perasaan cinta dan lain sebagainya. Konsumen
yang
dipengaruhi
oleh
motif
emosional
tidak
mempertimbangkan apakah barang yang dibelinya sesuai dengan dirinya, sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan kemampuannya, dan sesuai dengan standar atau kualitas yang diharapkannya. Hal inilah yang menyebabkan individu dapat berperilaku konsumtif. Blackwell, Miniard dan Engel (2001) menyatakan bahwa, individu yang konsumtif seringkali membeli barang yang tidak dibutuhkan. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kendali yang dimiliki individu dalam perilakunya. Individu melakukan pembelian didasarkan oleh keinginannya untuk meningkatkan harga diri. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, perilaku konsumtif adalah perilaku membeli barang secara berlebihan untuk memuaskan keinginan dan menunjukkan status. 2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif Perilaku konsumtif dalam membeli barang dipengaruhi oleh banyak faktor. Perreault dan McCarthy (2006) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku membeli antara lain faktor psikologis (motivasi, persepsi, belajar, sikap dan kepribadian), pengaruh sosial (keluarga, kelas sosial, kelompok referensi, dan budaya) dan situasi pembelian (alasan
membeli, waktu pembelian, dan hal yang menyertai). Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Swastha & Handoko, 1997). Faktor internal meliputi pengaruh individual dan faktor psikologis, dan faktor eksternal meliputi faktor pengaruh lingkungan dan budaya (Engel, Blackwell, & Miniard, 1995). Berikut penjelasan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku konsumtif: a. Faktor internal (Faktor individual dan psikologis) Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu meliputi perbedaan individual dan faktor psikologis. Faktor internal meliputi: 1) Motivasi Motivasi merupakan dorongan bagi individu untuk melakukan sesuatu. Ada beragam hal yang mendorong individu dalam melakukan sesuatu antara lain kebutuhan individu, ekspektansi terhadap hasil dari perilaku, dan sebagainya. Motivasi yang dimiliki oleh individu berpengaruh dalam perilaku konsumtif yang individu tunjukkan. 2) Kepribadian Kepribadian merupakan seperangkat trait yang dimiliki oleh individu dan bersifat menetap. Kepribadian dapat menentukan pola perilaku seseorang. Tipe kepribadian tertentu dapat menjukkan
kecenderungan individu dalam bertindak dan mengambil keputusan. 3) Konsep diri Konsep diri merupakan pandangan individu mengenai dirinya. Konsep diri, secara umum diatur oleh dua prinsip, yaitu keinginan untuk mencapai konsistensi dan keinginan untuk meningkatkan harga diri (self-esteem). Konsep diri memegang peranan penting dalam menentukan tindakan individu dalam berbagai situasi. 4) Pengalaman belajar Pembelian merupakan suatu rangkaian proses belajar. Proses pembelajaran memberikan pengetahuan kepada individu terhadap produk. Kepuasaan individu terhadap produk dianggap sebagai penguatan atas perilaku membeli yang dilakukan. Pembelajaran mengarahkan kepada pembelian yang berulang dan kebiasaan. 5) Gaya hidup Pengertian gaya hidup adalah sebagai cara hidup yang dimiliki individu meliputi hal-hal yang individu lakukan dan anggap penting dalam kehidupannya. Gaya hidup berkembang pada beberapa dimensi yaitu aktivitas, minat dan opini. Gaya hidup seseorang akan berpengaruh pada pola konsumsi yang dilakukannya. 6) Keyakinan dan sikap (beliefs dan attitudes) Keyakinan dapat di definisikan sebagai penilaian subjektif individu mengenai hubungan dari dua atau lebih objek (Blackwell, dkk; 2001). Keyakinan terhadap objek yang dimiliki individu
diperoleh dari pengetahuan individu terhadap objek tersebut. Keyakinan seringkali dikaitkan pula dengan sikap (penilaian suka atau tidak suka) individu terhadap suatu hal. Sikap yang dimiliki individu akan mempengaruhi keputusan individu dalam perilaku membeli. Sikap yang dimiliki individu dapat menjadi prediktor terhadap intensi individu melakukan pembelian. Sikap mencakup tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan konatif. Pembentukan sikap konsumen menunjukkan hubungan antara kepercayaan, sikap dan perilaku. Kepercayaan dan pengetahuan yang dimiliki konsumen akan membentuk sikap konsumen. Sikap yang dimiliki konsumen kemudian akan membentuk perilaku konsumen. 7) Persepsi dan pemrosesan informasi Schiffman dan Kanuk (2004) mendefinisikan persepsi sebagai proses pemberian makna terhadap stimulus meliputi seleksi, organisasi dan interpretasi stimulus. Sumarwan (2014) menuliskan lima tahap pemrosesan informasi yaitu pemaparan (exposure), perhatian (attention), pemahaman (comprehension), penerimaan (acceptance) dan retensi (retention). Persepsi bersama dengan keterlibatan individu dan memori akan mempengaruhi pemrosesan informasi yang terjadi pada individu. Pemrosesan individu menjadi dasar pengambilan keputusan individu dalam perilaku konsumsi.
b. Faktor eksternal (Faktor lingkungan) Lingkungan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi perilaku konsumen. Perbedaan lingkungan tempat individu tumbuh dan tinggal akan mempengaruhi perilaku konsumtif yang ditunjukkan. Adapun yang termasuk dalam faktor eksternal, antara lain: 1) Kebudayaan Kebudayaan (Swastha dan Handoko, 1997) adalah simbol atau fakta yang kompleks, yang diciptakan manusia, diturunkan dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur perilaku manusia dalam masyarakat yang ada. Budaya mempengaruhi keinginan (needs) dan cara yang digunakan individu dalam memenuhi kebutuhan tersebut (keputusan untuk melakukan pembelian). Perbedaan budaya akan menunjukkan perilaku konsumen yang berbeda pula (Blackwell, dkk., 2001). 2) Kelas sosial Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia hidup dalam kelompok-kelompok.
Kelas
sosial
merupakan
salah
satu
pengelompokan masyarakat yang didasarkan pada kesamaan nilai, gaya hidup, kekayaan, status sosial, kekuasaan, kehormatan dan pendidikan (Blackwell, dkk., 2001). Kelas sosial terkait erat dengan daya beli dan perilaku membeli. Pada kelas sosial yang tinggi, perilaku membeli didasarkan pada keinginan untuk menunjukkan wibawa (prestige).
3) Kelompok referensi Kelompok referensi (Mangkunegara, 2002) didefinisikan sebagai suatu kelompok yang mempengaruhi sikap, pendapat, norma dan perilaku konsumen. Pengaruh kelompok referensi antara lain dalam hal pemilihan produk yang akan dikonsumsi oleh individu. 4) Situasi Situasi pembelian dapat berpengaruh pada keputusan untuk melakukan pembelian. Situasi-situasi yang mempengaruhi perilaku membeli antara lain waktu, karakteristik toko, alasan pembelian, suasana hati, dan situasi lingkungan sosial. 5) Keluarga Keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu unit masyarakat terkecil yang perilakunya sangat mempengaruhi dan menentukan dalam pengambilan keputusan membeli (Mangkunegara, 2002). Keluarga menjadi sangat penting dalam perilaku konsumtif karena keluarga adalah unit pemakai dan konsumsi untuk banyak produk. Sebuah studi dilakukan oleh Enrico, Aron, dan Oktavia (2011) mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif mahasiswa di Jakarta, menunjukan faktor perilaku konsumtif antara lain: a. Faktor memenuhi keinginan Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas dalam memenuhi keinginan. Saat satu keinginan terpenuhi maka keinginan lainnya akan muncul. Hal tersebut menyebabkan perilaku konsumtif.
b. Faktor daya beli Pada masa kanak-kanak, daya beli individu terbatas karena segala kebutuhan sudah tersedia di rumah, sehingga konsumsi individu sepenuhnya mengikuti konsumsi keluarga di rumah. Akan tetapi, saat menadi mahasiswa, individu biasanya sudah mulai diberikan otonomi untuk mengurus keuangan mereka sendiri. Daya beli yang tinggi akan mempengaruhi perilaku konsumtif pada mahasiswa. c. Faktor kegunaan produk Kegunaan produk menjadi faktor dari pengambilan keputusan konsumen dalam membeli produk. Individu yang konsumtif akan mudah tergiur untuk membeli produk yang lain, walaupun produk lama yang mereka gunakan masih berfungsi dengan baik. d. Faktor status sosial Perbedaan status sosial berkaitan dengan daya beli. Individu dengan status sosial yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi dan cenderung membeli produk dengan harga yang tinggi. Produk dengan harga tinggi dapat menunjukkan wibawa mereka. e. Faktor gaya hidup keluarga Pola konsumsi dalam keluarga akan berpengaruh pada pola konsumsi yang ditunjukkan oleh mahasiswa.
3. Aspek-aspek Perilaku Konsumtif Aspek-aspek perilaku konsumtif oleh Mangkunegara (2002) adalah: a. Pemilikan produk Seseorang yang sudah memiliki suatu barang akan cenderung membeli sesuatu yang berkaitan dengan barang yang sudah dimiliki. Hal tersebut mendorong terjadinya perilaku konsumtif. b. Perbedaan individu Perbedaan individu akan berpengaruh pada motif individu dalam melakukan pembelian. Ada individu yang membeli karena kebutuhan. Ada individu yang membeli karena ingin memperoleh kesenangan dari perilaku pembelian tanpa mementingkan kegunaan produk. c. Pengaruh pemasaran Pengaruh pemasaran seperti display toko, iklan, promosi, diskon, dan sebagainya mendorong individu untuk berperilaku konsumtif. d. Pencarian informasi Individu melakukan pembelian berdasarkan informasi yang dimiliki individu terkait suatu produk. Erich Fromm (2008a), membagi aspek perilaku konsumtif menjadi empat aspek yaitu: a. Pemenuhan keinginan Pembelian dilakukan secara terus-menerus dan berlebihan, untuk memuaskan keinginan. Pembelian dilakukan terus menerus, seringkali disertai oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lain (hadiah,
potongan harga, kepercayaan diri) sehingga rasa puas yang didapatkan lebih besar. b. Barang di luar jangkauan Pembelian dilakukan tanpa pertimbangan rasional, tetapi lebih pada pemenuhan keinginan. Barang-barang yang diinginkan seringkali merupakan barang-barang di luar jangkauan. Individu berusaha untuk membeli barang di luar jangkauan tersebut untuk menjaga eksistensi dirinya. c. Barang tidak produktif Pembelian tidak didasari oleh tujuan yang rasional, tetapi lebih didasari oleh motif emosional dan situasi yang meyertai saat pembelian. Blackwell, dkk. (2001) meyatakan bahwa individu yang konsumtif memiliki kontrol diri yang rendah yang menyebabkan dirinya membeli barang yang tidak dibutuhkan. Barang yang dibeli seringkali tidak produktif atau bersifat pemborosan karena keputusan individu bukan keputusan yang rasional. d. Status Pembelian dilakukan atas dasar keinginan memperoleh status tertentu. Erick Fromm (2008b) menyatakan bahwa terdapat perubahan pandangan di masyarakat mengenai produk yang dikonsumsi. Masyarakat saat ini memiliki pandangan bahwa “new is beautiful”. Individu dalam menjaga eksistensinya perlu untuk senantiasa mengikuti perkembangan dari trend yang ada. Barang-barang yang baru dianggap
lebih baik dan menarik daripada barang-barang yang lama. Barangbarang yang dimiliki individu merepresentasikan status yang dimiliki individu tersebut dalam masyarakat. Adapun Lina dan Rosyid (1997) menjabarkan aspek-aspek perilaku konsumtif sebagai berikut: a. Pembelian yang impulsif Pembelian yang impulsif artinya pembelian yang dilakukan tanpa rencana, meliputi pembelian yang di sugesti atau pembelian tanpa rencana berdasarkan ide orang lain dan pembelian yang didasarkan pada ingatan. b. Pembelian yang tidak rasional Pembelian yang dilakukan berdasarkan motif emosional, seperti perasaan marah, cinta, gengsi, status sosial dan sebagainya. c. Pembelian yang bersifat pemborosan Pembelian yang mengeluarkan uang lebih besar daripada pendapatannya yang digunakan untuk hal-hal yang kurang diperlukan. Sumartono (2002) mengemukakan indikator terkait perilaku konsumtif, yaitu: a. Membeli produk karena iming-iming hadiah, b. Membeli produk karena kemasan menarik, c. Membeli produk demi menjaga penampilan dan gengsi, d. Membeli produk atas pertimbangan harga, e. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status,
f. Memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan, g. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi, h. Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda). Berdasarkan pemaparan, penulis memutuskan untuk menggunakan aspek perilaku konsumtif dari Erick Fromm (2008a), yaitu pemenuhan keinginan, barang di luar jangkauan, barang tidak produktif, dan status dalam mengungkap perilaku konsumtif. Alasan pemilihan indikator tersebut karena aspek perilaku konsumtif dari Erick Fromm (2008a) memiliki keluasan cakupan dalam mengungkap perilaku konsumtif. Selain itu, banyak penelitian lainnya mengenai perilaku konsumtif yang menggunakan aspek perilaku konsumtif dari Erick Fromm sebagai rujukan. 4. Produk Kosmetik Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 220 / Menkes / x / 76 tanggal 6 September 1976 tentang definisi kosmetik (dalam Wasitaatmadja, 1997), menyatakan bahwa kosmetik adalah barang-barang yang bahan atau campuran
bahannya
untuk
digosokkan,
dilekatkan,
dituangkan,
dipercikkan atau disemprotkan, dimasukkan, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa, dan bukan termasuk golongan obat. Wasitaatmadja
(1997)
definisi
tersebut
menunjukkan bahwa, kosmetik bukan satu obat yang dipakai untuk diagnosis, pengobatan maupun pencegahan penyakit. Brauer EW dalam bukunya Principles of Cosmetics for The Dermatologist menyebutkan klasifikasi dari kosmetik, yaitu toiletries, skin care, make-up dan fragrance (dalam Wasitaatmadja, 1997). Poerwadarminta (dalam Ikhawati, 2005) berpendapat bahwa, kosmetik mencakup berbagai alat kecantikan seperti bedak, cream, lotion dan sebagainya yang berfungsi untuk memperindah kulit, rambut, dan sebagainya. Kosmetik dapat menonjolkan kecantikan dan menutupi kekurangan pada penampilan penggunanya sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan membuat penampilan lebih menarik. Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik adalah perilaku membeli berbagai alat kecantikan yang berfungsi untuk membersihkan, memelihara dan menambah daya tarik, yang dilakukan secara berlebihan untuk memuaskan keinginan dan menunjukkan status.
B. Stereotip Daya Tarik Fisik 1. Pengertian Stereotip Stereotip adalah kecenderungan seseorang untuk mengembangkan dan mempertahankan persepsi yang tetap dan tidak berubah mengenai sekelompok mengevaluasi
manusia anggota
dan
menggunakan
kelompok
persepsi
tersebut
dengan
tersebut
untuk
mengabaikan
karakteristik individual yang unik (Sobur, 2011). Menurut Santrock (2012) stereotip adalah sebuah generalisasi yang mencerminkan impresi dan keyakinan kita terhadap beberapa karakteristik dari seseorang atau kelompok. Stereotip digunakan untuk menunjukkan pendapat baik atau buruk pada umumnya yang dipunyai seseorang tentang sekelompok orang tertentu (Pareek, 1996 dalam Sobur, 2011). Ashmore dan Del Boca (1979) mendefinisikan stereotip sebagai suatu keyakinan mengenai sekumpulan atribut personal yang dimiliki suatu kelompok. Adapun Stephan (1985) menyatakan stereotip adalah sekumpulan trait yang diatribusikan kepada kelompok sosial (dalam Scheneider, 2005). Trait yang diatribusikan tersebut dapat bersifat positif maupun negatif (Allport, 1954 dalam Scheneider, 2005). Secord dan Backman (1964) menyatakan bahwa, setidaknya ada tiga karakteristik dari stereotip yaitu kategorisasi individu kedalam kelompok tertentu, seperangkat trait yang diatribusikan kepada kelompok tertentu dan ketidaksesuaian antara trait yang diatribusikan dengan trait sebenarnya (dalam Schneider, 2005). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, stereotip adalah keyakinan yang menetap mengenai trait/ atribut personal (baik positif maupun negatif) dari suatu kelompok, yang dijadikan acuan dalam mengevaluasi perilaku anggota dalam kelompok tersebut.
2. Pengertian Stereotip Daya Tarik Fisik (Physical Attractiveness Stereotypes) Konsep stereotip daya tarik fisik pertama kali diperkenalkan oleh Dion, Berscheid, dan Walster pada tahun 1972 dan populer dengan istilah what is beautiful is good stereotype. Stereotip daya tarik fisik adalah keyakinan bahwa seseorang yang memiliki penampilan fisik menarik diatribusikan akan memiliki trait yang lebih disukai oleh lingkungan sosial dan diprediksi memiliki kehidupan yang lebih sukses daripada mereka yang tidak menarik dalam segi fisik/ penampilan (Dion, dkk., 1972). Schneider, Gruman dan Coutts (2005) menyatakan bahwa, daya tarik fisik seseorang dapat mengubah persepsi kita akan kualitas karakter yang dimiliki seseorang tersebut. Seseorang yang menarik diyakini akan lebih bahagia, lebih hangat, lebih outgoing, lebih memiliki kemampuan inteligensi,
lebih
dapat
dipercaya,
dan
diprediksi
lebih
sukses
dibandingkan dengan mereka yang tidak menarik (Eagly, dkk., 1991; Faingold, 1992; Jackson, dkk., 1995 dalam Myers, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, stereotip daya tarik fisik merupakan keyakinan bahwa individu yang memiliki penampilan yang menarik diatribusikan memiliki trait dan kemampuan sosial yang baik, sehingga lebih disukai oleh lingkungan dan diyakini memiliki kehidupan yang lebih bahagia daripada individu yang berpenampilan kurang/ tidak menarik.
3. Bias dari Stereotip Daya Tarik Fisik Bias terhadap stereotip daya tarik fisik terjadi dalam berbagai bidang kehidupan antara lain bias dalam bidang pekerjaan (Watkins & Johnson, 2000), bidang penyimpangan sosial (Agnew, 1984; Cavior, Hayes, & Cavior, 1974; Cavior & Howard, 1973 dalam Schneider, 2005) dan bias dalam hubungan interpersonal (Myers, 2010). Rohner dan Rasmussen (2012) menyatakan bahwa, efek dari stereotip daya tarik fisik adalah seseorang yang menarik akan memperoleh perlakuan yang lebih positif daripada seseorang yang kurang menarik. Pada bidang pekerjaan, Watkins dan Johnson (2000) menyebutkan terdapat bukti empiris bahwa, daya tarik fisik berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam proses rekruitmen tenaga kerja. Individu yang memiliki daya tarik fisik memiliki kemungkinan yang tinggi untuk direkrut untuk mengisi sebuah posisi pekerjaan. Survai yang dilakukan oleh Emma Leslie, editor kecantikan di escentual.com (dalam Amadea, 2016),
menggambarkan
bahwa
64
persen
wanita
akan
selalu
menggunakan make-up saat bekerja dan 98 persen mengatakan mereka akan menggunakan make-up saat wawancara kerja. Selain itu, hasil survai juga menunjukkan bahwa 49 persen dari atasan mengatakan riasan wajah menjadi salah satu faktor utama dalam pekerjaan apalagi jika wanita tersebut bekerja dalam bidang penjualan atau public relation. Solomon (2007) menyebutkan bias stereotip daya tarik fisik menyebabkan perbedaan gaji baik pada pria dan wanita. Seseorang yang memiliki
penampilan menarik dibayar 5% lebih tinggi daripada mereka yang memiliki penampilan rata-rata. Pada bidang penyimpangan sosial disebutkan bahwa, remaja yang tidak menarik cenderung lebih sering terlibat dalam tindak kriminal dan perilaku bermasalah di sekolah (Agnew, 1984; Cavior, Hayes, & Cavior, 1974; Cavior & Howard, 1973 dalam Schneider, 2005). Pada bidang kesehatan mental, orang-orang menilai bahwa, individu yang menarik/ cantik
cenderung
lebih
sedikit
mengalami
gangguan
psikologis
dibandingkan mereka yang tidak menarik (Cash, kehr, Polyson & Freeman, 1977; Jones, Hanson, & Philips, 1978 dalam Schneider, 2005). Pada bidang hubungan interpersonal, seseorang yang memiliki fisik menarik akan lebih mudah untuk dicintai dan disukai daripada mereka yang tidak menarik (Myers, 2010). Kita mengasumsikan seseorang yang menarik memiliki beberapa trait yang menyenangkan. Kita menduga bahwa, seseorang yang menarik akan lebih hangat, lebih outgoing, lebih dapat dipercaya, lebih memiliki kemampuan inteligensi, dan diprediksi lebih bahagia serta lebih sukses dibandingkan dengan mereka yang tidak menarik (Eagly, dkk., 1991; Faingold, 1992; Jackson, dkk., 1995 dalam Myers, 2010). Sebuah survai online yang dilakukan oleh BBC, melibatkan 220.000 responden, menyebutkan bahwa, pria menilai aspek daya tarik fisik sebagai aspek penting yang harus dimiliki pasangan, sedangkan wanita lebih memilih kejujuran, selera humor, kebaikan hati dan kemapanan dalam sebagai aspek penting yang harus dimiliki pasangan
(Lippa, 2007 dalam Myers, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, individu yang memiliki daya tarik fisik akan memperoleh lebih banyak keuntungan dalam kehidupannya dibandingkan individu yang berpenampilan rata-rata atau kurang menarik. Hal tersebut disebabkan dari adanya bias terhadap stereotip daya tarik fisik. 4. Dimensi Stereotip Daya Tarik Fisik Cuddy, Fiske, Glick, dan Xu (2002) mengembangkan teori model konten stereotip (stereotype content model- SCM). SCM memiliki dua dimensi sebagai berikut: a. Warmth Dimensi warmth (dalam Cuddy, Fiske & Glick, 2008) meliputi sifat-sifat hangat yang disukai oleh lingkungan sosial seperti sifat baik (good-natured), dapat dipercaya (trustworthy), toleran (tolerant), ramah (friendly), dan tulus (sincere). b. Competence Dimensi competence (dalam Cuddy, Fiske & Glick, 2008) meliputi kompetensi yang diatribusikan dimiliki oleh kelompok/ individu seperti kelompok atau individu memiliki kecakapan (capable), kecekatan (skillful), kecerdasan (intelligence), dan percaya diri (confident). Eagly, Ashmore, Makhijani, dan Longo (1991) melakukan studi metaanalisis mengenai penelitian stereotip daya tarik fisik. Hasil dari studi metaanalisis yang dilakukan menunjukkan enam dimensi dari stereotip
daya tarik fisik, yaitu: a. Social competence, b. Potency, c. Adjustment, d. Intellectual competence, e. Integrity, f. Concern for others. Hasil metaanalisis terhadap keenam dimensi stereotip daya tarik fisik menunjukkan bahwa, responden memiliki keyakinan terbesar terhadap hubungan antara stereotip daya tarik fisik dan social competence (kemampuan sosial). Seseorang yang memiliki daya tarik fisik diatribusikan memiliki kemampuan sosial yang baik. Feingold (1989, dalam Jackson, 1992) melakukan studi metaanalisis serupa mengenai dimensi stereotip daya tarik fisik yang dikaitkan dengan perbedaan gender. Dimensi stereotip daya tarik fisik dalam studi tersebut meliputi: a. Sexual warmth, b. Social skill, c. Sociability, d. Dominance, e. Mental health, f. Modesty, g. Intellegence,
h. Character. Hasil dari studi metaanalisis menunjukkan bahwa, pengaruh perbedaan gender terhadap dimensi stereotip daya tarik fisik, paling terlihat pada dimensi sexual warmth dan social skill. Berdasarkan pemaparan, penulis memutuskan untuk menggunakan dimensi stereotip dari Cuddy, dkk. (2002). Dimensi stereotip tersebut dipilih atas pertimbangan keluasan cakupan dimensi sehingga dapat melihat konten stereotip daya tarik fisik dengan lebih lengkap.
C. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Menurut De Jong Gierveld (1987, dalam Vangelisti & Perlman, 2006), kesepian adalah pengalaman yang dirasakan individu akibat kurangnya kualitas dalam suatu hubungan. Hal tersebut disebabkan oleh sedikitnya hubungan yang ada dibandingkan dengan jumlah hubungan yang diharapkan, atau tidak tercapainya kualitas keintiman hubungan yang diharapkan. Burger (1995) menjelaskan bahwa, individu yang tidak menginginkan teman bukanlah orang yang kesepian, melainkan individu yang menginginkan teman tetapi tidak memilikinyalah yang disebut kesepian (dalam Baron & Byrne, 2005). Peplau dan Perlman (1981, dalam Vangelisti & Perlman, 2006) mendefinisikan kesepian sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang timbul saat hubungan relasi sosial individu mengalami defisiensi baik
secara kuantitatif ataupun kualitatif. Peplau dan Perlman (1982, dalam Rotenberg & Hymel, 2008) menyatakan bahwa, terdapat tiga karakteristik dari kesepian. Pertama, kesepian merupakan hasil dari kurangnya hubungan sosial. Kedua, kesepian merupakan pengalaman subjektif individu, artinya individu bisa saja merasa kesepian dalam keramaian. Ketiga,
kesepian
didefinisikan
sebagai
keadaan
emosional
yang
menyedihkan dan tidak menyenangkan, yang serupa dengan keadaan emosional pada depresi, dysthmia, dan kecemasan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat didefinisikan bahwa, kesepian merupakan sebuah pengalaman emosi yang tidak menyenangkan yang timbul sebagai akibat dari defisiensi hubungan interpersonal baik secara kuantitatif (jumlah hubungan) maupun kualitatif (kualitas hubungan). 2. Tipe-tipe Kesepian Weiss (1973 dalam Vangelisti & Perlman, 2006) membedakan kesepian menjadi dua, yaitu: a. Kesepian emosional (emotional loneliness) adalah emosi yang terbentuk sebagai akibat dari hilangnya figur yang lekat secara emosional (pasangan, keluarga, atau sahabat). b. Kesepian sosial (social loneliness) adalah kurangnya hubungan dengan jaringan sosial yang luas (teman, rekan kerja, tetangga, dsb). Adapun Young (1982, dalam Rotenberg & Hymel, 2008) membagi kesepian kedalam dua kategori sebagai berikut:
a. Chronic loneliness memiliki karakteristik yaitu kurangnya kepuasan terhadap hubungan sosial yang dirasakan selama 2 tahun atau lebih, kemungkinan
melibatkan
defisit
kognisi
dan
perilaku
terkait
ketrampilan sosial dan hubungan interpersonal. b. Temporary loneliness adalah emosi tidak mengenakan yang dirasakan individu akibat menurunnya kualitas hubungan, yang dirasakan pada situasi-situasi tertentu dengan durasi yang lebih pendek daripada chronic loneliness. 3. Aspek-aspek Kesepian Peplau dan Perlman (1982) mengungkapkan tiga aspek dari kesepian, yaitu: a. Need for intimacy Aspek need for intimacy menyatakan bahwa, individu yang merasa kesepian adalah individu yang membutuhkan hubungan yang intim. b. Cognitive process Aspek cognitive process menyatakan bahwa, individu yang merasa kesepian adalah individu yang memiliki persepsi bahwa hubungan sosial yang dimilikinya tidak memberikan kepuasaan. c. Social inforcement Aspek social inforcement menyatakan bahwa, individu yang kesepian adalah individu yang tidak puas karena hubungan sosial sosial yang dimilikinya tidak memenuhi ekspektasi akan hubungan sosial
yang diharapkannya. Russell (1996) melakukan evaluasi psikometri meliputi analisis reliabilitas, validitas dan analisis faktor pada UCLA Loneliness Scale (Version 3). Evaluasi psikometri dilakukan kepada mahasiswa, perawat, guru dan orang lanjut usia. Skala UCLA Loneliness Scale (Version 3) memiliki 20 pertanyaan dengan pilihan jawaban “tidak pernah”, “jarang”, “kadang-kadang” dan “sering”. Adapun aspek-aspek dari UCLA Loneliness Scale (Version 3) sebagai berikut: a. Personality, b. Social desirability, c. Depression. Berdasarkan pemaparan, peneliti menggunakan skala modifikasi dari UCLA Loneliness Scale dari Russell (1996) untuk mengukur variabel kesepian. Skala tersebut dipilih karena memilki konsistensi alat ukur yang sangat bagus dengan nilai koefisien konsistensi internal yaitu antara 0, 89 sampai dengan 0, 94 dan nilai reliabilitas test-retest dalam jangka waktu satu tahun yaitu 0, 73.
D. Remaja 1. Pengertian Remaja Istilah adolescence (remaja) berasal dari kata latin (adolescere/ adolescentia) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut diperluas dengan mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, dan fisik (dalam Hurlock, 2003). Piaget (1921, dalam Hurlock, 2003) mendefinisikan masa remaja sebagai periode saat individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa yang meliputi banyak aspek. Masa remaja ditandai dengan masa puber dan adanya transfomasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja yang memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa. Menurut Santrock (2012), remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi perkembangan biologis, kognisi dan sosial-emosional. Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah dari umur 11 sampai 24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2003). Fase remaja kemudian dibagi lagi menjadi tiga masa, yaitu masa remaja awal 12 sampai 15 tahun, masa remaja tengah 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 sampai 21 tahun (Monks, dkk, 2002). Menurut Santrock (2012), secara umum masa remaja dibagi menjadi dua periode yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal adalah periode perkembangan saat anak memasuki usia pertengahan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah pertama, termasuk masa pubertas. Masa remaja akhir adalah periode perkembangan yang dimulai pada usia 10 sampai 13 tahun sampai dengan maksimal 25 tahun. 2. Tugas Perkembangan Remaja Tugas utama pada masa remaja adalah melakukan persiapan untuk masa dewasa (Santrock, 2012). Havighurst (dalam Hurlock, 2003)
menyebutkan remaja memiliki tugas perkembangan, antara lain: a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, b. Mencapai peran sosial pria dan wanita, c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuh secara efektif, d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab, e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, f. Mempersiapkan karier ekonomi, g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga, h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Pada masa remaja akhir, minat terhadap karir, hubungan pacaran, dan pencarian identitas lebih terlihat daripada masa remaja awal. Menurut Santrock (2012), usia 18 sampai 21 tahun merupakan masa transisi dari remaja menuju masa dewasa yang disebut dengan emerging adulthood. Jeffrey Arnett (2006, dalam Santrock 2012) menyebutkan 5 kunci karakteristik pada masa emerging adulthood yaitu: a. Eksplorasi Identitas, terutama dalam hal cinta dan pekerjaan. b. Instability, perubahan tempat tinggal dan sekolah menyebabkan ketidakstabilan dalam cinta, pekerjaan dan pendidikan. c. Self focused. Remaja pada masa ini merasa memiliki otonomi penuh untuk menjalankan kehidupannya sendiri sesuai dengan keinginannya,
sehingga terkadang berperilaku tidak patuh, tidak komitmen dan tidak bertanggung jawab. d. Perasaan bingung antara masih remaja atau sudah menjadi dewasa sepenuhnya. e. Usia yang penuh kemungkinan. Pada masa ini remaja optimis dengan masa depannya serta memiliki kesempatan untuk mengubah hidupnya. Hubungan interpersonal menjadi salah satu fokus utama pada masa remaja akhir dalam mempersiapkan masa dewasa. Dewasa awal menurut Erik Erickson (dalam Hurlock, 2003) memasuki tahap perkembangan yaitu intimasi vs isolasi. Kegagalan dalam membangun hubungan interspersonal yang baik pada masa remaja, akan mempengaruhi persiapan remaja untuk berintegrasi dengan kehidupan dewasa. Kurangnya hubungan interpersonal akan menyebabkan perasaan kesepian pada remaja yang berpotensi berlanjut dengan keterasingan (isolasi) individu pada masa dewasa.
E. Hubungan antara Stereotip Daya Tarik Fisik dan Kesepian dengan Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik 1. Hubungan Stereotip Daya Tarik Fisik dengan Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik Perilaku konsumtif adalah perilaku membeli barang secara berlebihan untuk memuaskan keinginan dan menunjukkan status. Ada beragam hal yang menjadi faktor terjadinya perilaku konsumtif, salah satunya adalah faktor budaya. Budaya mempengaruhi kebutuhan (needs)
dan cara yang digunakan individu dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Budaya mempengaruhi pengambilan keputusan terkait produk yang dibeli dan dikonsumsi oleh individu dalam perilaku konsumen. Budaya mencakup norma, nilai, simbol, ritual, dan keyakinan yang ada di masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi. Karz dan Barley (dalam Schneider, 2005) menyatakan salah satu produk budaya adalah stereotip. Stereotip yang ada dalam budaya mempengaruhi kategorisasi diri dan kategorisasi sosial pada individu (Sarwono, 2003). Kategorisasi terjadi dalam kognisi dan atas dasar kategorisasi kognitif tersebut individu bereaksi atau berperilaku. Robby, Schot dan Visser (1989, dalam Sarwono, 2003) menyatakan individu melakukan kategorisasi untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri (economic self interest). Salah satu dari stereotip yang ada dalam budaya masyarakat adalah stereotip daya tarik fisik (physical attractiveness stereotypes). Stereotip daya tarik fisik mengkategorisasikan individu atau kelompok sebagai kelompok cantik atau jelek. Konsep stereotip daya tarik fisik pertama kali diperkenalkan oleh Dion, Berscheid, dan Walster pada tahun 1972 dan populer dengan istilah “what is beautiful is good” stereotype. Stereotip daya tarik fisik merupakan keyakinan bahwa seseorang yang menarik akan memiliki trait yang lebih disukai oleh lingkungan sosial dan diprediksi memiliki kehidupan yang lebih sukses daripada mereka yang tidak menarik dalam segi fisik/ penampilan (Dion, dkk., 1972). Rohner dan Rasmussen (2012) menyatakan bahwa, efek dari stereotip daya tarik fisik
adalah seseorang yang menarik akan memperoleh perlakuan yang lebih positif daripada seseorang yang kurang menarik. Seseorang yang memiliki daya tarik fisik juga akan lebih disukai dan dicintai daripada mereka yang kurang menarik (Myers, 2010). Keyakinan yang dimiliki remaja terhadap stereotip daya tarik fisik mendorong remaja putri untuk melakukan upaya-upaya untuk membuat dirinya menjadi lebih menarik dan cantik. Menurut teori planned behavior (Ajzen, 1991), kepercayaan yang dimiliki oleh individu terhadap suatu hal akan membentuk sikap individu terhadap hal tersebut dan kemudian mempengaruhi intensi perilaku individu. Berdasarkan teori tersebut, jika seorang wanita percaya pada stereotip daya tarik fisik, wanita tersebut akan membentuk sikap positif terhadap stereotip daya tarik fisik. Hal tersebut kemudian akan membentuk intensi wanita untuk menjadikan diri mereka cantik dan menarik, salah satu caranya adalah dengan membeli dan menggunakan produk kosmetik. Remaja menggunakan produk kosmetik untuk menonjolkan kecantikan dan menutupi kekurangan pada penampilan penggunanya sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan membuat penampilan lebih menarik. Kosmetik mencakup berbagai alat kecantikan seperti bedak, cream, lotion dan sebagainya yang berfungsi untuk memperindah kulit, rambut, dan sebagainya. Penampilan yang menarik akan membuat remaja putri memperoleh keuntungan akibat adanya bias stereotip daya tarik fisik, sehingga memungkinkan remaja putri untuk memiliki kehidupan yang lebih bahagia.
2. Hubungan antara Kesepian dengan Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik Perilaku konsumtif adalah perilaku membeli barang secara berlebihan untuk memuaskan keinginan dan menunjukkan status. Perilaku konsumtif pada remaja, dapat didorong oleh keadaan emosional remaja. Cuddy, Fiske dan Glick (2008) menyatakan bahwa, emosi dapat dilihat sebagai mesin yang mendorong perilaku individu. Keadaan emosional memegang peranan penting dalam perilaku konsumen. Keadaan emosional individu berpengaruh pada pengambilan keputusan, persepsi, pemrosesan informasi, pemilihan produk dan pengambilan resiko dalam perilaku konsumen (Cryder, dkk., 2008; Brooks & Schweitzer, 2011; Agrawal, dkk., 2012; Duclos, dkk., 2013; Achar, dkk., 2016). Menurut Hall (dalam Santrock, 2012), masa remaja merupakan masa terjadinya kekacauan emosi. Pada masa remaja individu mengalami berbagai macam perubahan emosional yang disebabkan oleh perubahan biologis dan perubahan situasi lingkungan remaja. Salah satu keadaan emosional yang cenderung timbul pada masa remaja adalah perasaan kesepian. Perasaaan kesepian yang dialami remaja merupakan manifestasi dari kegagalan remaja dalam melaksanakan tugas perkembangan yaitu untuk menjalin hubungan yang baru dan matang dengan teman sebaya. Blackwell, Miniard dan Engel (2001) menjelaskan bahwa, keadaan emosional individu dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan
evaluasi terkait produk yang akan dibeli dan dikonsumsi oleh individu. Produk yang seringkali digunakan untuk meningkatkan hubungan interpersonal pada remaja putri adalah produk kosmetik. Menurut Maslow (dalam
Solomon,
2007),
kesepian merupakan pengalaman
tidak
menyenangkan yang timbul akibat kurang terpenuhinya kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Produk yang relevan dalam memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang yaitu produk fashion dan produk kosmetik (dalam Solomon, 2007). Remaja putri menggunakan produk kosmetik untuk meningkatkan daya tarik fisik. Daya tarik fisik merupakan prediktor yang baik dalam memprediksi keberhasilan individu dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya, khusunya teman sebaya lawan jenis (Berscheid, dkk., 1971; Krebs & Adinolfi, 1975; Reis, dkk., 1980, 1982; Walters, dkk., 1966 dalam Myers 2010). Perasaan kesepian meningkatkan motivasi remaja untuk berbelanja (Davis & Seepersad, 2010). Remaja yang kesepian cenderung menjadikan aktivitas berbelanja sebagai sarana untuk membeli barang-barang yang dapat mengurangi perasaan negatif yang timbul dari kesepian. Fromm (2008a) menyatakan individu yang kesepian mengurangi perasaan cemas dan bosan yang dirasakan dengan melakukan pembelian yang berlebihan dan berulang. Pada situasi pembelian yang memungkinkan adanya evaluasi dari lingkungan, individu yang kesepian akan lebih memilih produk-produk yang banyak dipilih oleh kelompok mayoritas atau sesuai trend (Wang, dkk., 2012). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari
evaluasi negatif dari lingkungan sosial. Individu yang kesepian membelanjakan uang sebagai upaya untuk bisa sesuai dengan lingkungan atau menjadi bagian dari lingkungan (Mead, dkk., 2010). Duclos, Wan dan Jiang (2013) menyatakan individu yang kesepian lebih berani mengambil resiko dalam membelanjakan uang mereka. Akibat dari hilangnya dukungan sosial, individu yang kesepian, lebih banyak membelanjakan uang untuk mendapatkan hal yang diinginkan di luar dari sistem sosial (Duclos, dkk., 2013). Berdasarkan penjelasan di atas, remaja putri yang kesepian cenderung membeli produk kosmetik yang sedang trend secara berlebihan dan berulang, untuk menghindari evaluasi negatif dari lingkungan dan menjaga eksistensi mereka dalam lingkungan. Konsumsi produk kosmetik merupakan upaya untuk mengurangi emosi negatif yang timbul akibat dari kesepian dan upaya untuk bisa menjadi bagian dalam lingkungan.
3. Hubungan antara Stereotip Daya Tarik Fisik dan Kesepian dengan Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik Perilaku konsumtif adalah perilaku membeli barang secara berlebihan untuk memuaskan keinginan dan menunjukkan status. Ada beragam hal yang menjadi faktor terjadinya perilaku konsumtif. Pada penelitian ini, penulis berfokus pada faktor budaya yaitu stereotip daya tarik fisik dan faktor emosional yaitu kesepian sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif pada mahasiswi.
Budaya mempengaruhi kebutuhan (needs) dan cara yang digunakan individu dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Budaya mempengaruhi pengambilan keputusan terkait produk yang dibeli dan dikonsumsi oleh individu dalam perilaku konsumen. Budaya mencakup norma, nilai, simbol, ritual, dan keyakinan yang ada di masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi. Karz dan Barley (dalam Schneider, 2005) menyatakan salah satu produk budaya adalah stereotip. Stereotip yang ada dalam budaya mempengaruhi kategorisasi diri dan kategorisasi sosial pada individu (Sarwono, 2003). Kategorisasi terjadi dalam kognisi dan atas dasar kategorisasi kognitif tersebut individu bereaksi atau berperilaku. Robby, Schot dan Visser (1989, dalam Sarwono, 2003) menyatakan individu melakukan kategorisasi untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri (economic self interest). Adapun keadaan emosional individu berpengaruh pada pengambilan keputusan, persepsi, pemrosesan informasi, pemilihan produk dan pengambilan resiko dalam perilaku konsumen (Cryder, dkk., 2008; Brooks & Schweitzer, 2011; Agrawal, dkk., 2012; Duclos, dkk., 2013). Blackwell, Miniard dan Engel (2001) menjelaskan bahwa, keadaan emosional individu dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan evaluasi terkait produk yang akan dibeli dan dikonsumsi oleh individu. Perilaku konsumen merupakan dinamika interaksi antara pengaruh kesadaran, perilaku dan lingkungan, tempat manusia melakukan pertukaran aspek-aspek lingkungan. Perilaku konsumen melibatkan
pemikiran (kognisi) dan perasaan (afeksi) serta tindakan (psikomotorik) dalam proses konsumsi (Peter & Olson, 2013). Stereotip merupakan bagian dari kognisi individu, sedangkan rasa kesepian merupakan bagian dari afeksi individu. Stangor, Sullivan dan Ford (1991, dalam Nelson, 2009) menyatakan bahwa afeksi memprediksi perilaku sama baiknya dengan kognisi memprediksi perilaku.
F. Kerangka Pemikiran H2
Stereotip Daya Tarik Fisik H1
Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik
Kesepian
H3
Bagan 1. Kerangka Pemikiran Keterangan: H1 : Hipotesis 1 H2 : Hipotesis 2 H3 : Hipotesis 3
G. Hipotesis Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
Ada hubungan antara stereotip daya tarik fisik dan kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
2.
Ada hubungan antara stereotip daya tarik fisik dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
3.
Ada hubungan antara kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.