10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Common Ingroup Identity 1. Pengertian Common Ingroup Identity Orang melakukan kategorisasi terhadap lingkungan sosialnya, yang disebut sebagai kategori sosial. Dalam kategori sosial ini, orang melihat orang lain sebagai bagian dari kelompoknya (maka akan disebut sebagai ingroup) atau sebagai anggota dari kelompok lain (akan disebut sebagai outgroup). Kategori sosial ini memberi perasaan yang berbeda pada anggota kelompok yang masuk kategori “kami” dan “mereka”. Pembedaan ingroup dan outgroup juga berpengaruh dalam atribusi, yaitu pada bagaimana mereka menjelaskan terjadinya perilaku positif, sedangkan perilaku anggota outgroup yang positif cenderung dilihat bersifat eksternal dan sementara. Kecenderungan untuk membuat atribusi yang positif dan menyenangkan mengenai anggota ingroup daripada outgroup disebut sebagai ultimate attribution error (Sarwono,2012). Gaertner et al (dalam Sarwono, 2012) mengungkapkan bahwa Common ingroup identity adalah perubahan proses kognitif dalam memaknai suatu keadaan yaitu dari yang semula berorientasi “kami” versus “mereka” menjadi lebih inklusif yaitu “kita”. Individu dalam kelompok berbeda melihat diri mereka sebagai anggota dari entitas sosial yang tunggal, maka kontak positif akan meningkat dan bias antarkelompok akan berkurang.
10
11
Common ingroup identity model menurut Gaertner (1993) adalah bias yang ada pada antarkelompok dapat dikurangi dengan mengubah persepsi anggota dari batasan-batasan kelompok yang awalnya disebut “kami” dan “mereka” menjadi lebih inklusif yaitu “kita”. Di dalam organissasi, common ingroup identity lebih banyak mengadopsi prinsip-prinsip contact hypothesis yang lebih memudahkan interaksi antarkelompok menjadi harmonis. Menurut Brewer (1979) bias antarkelompok terjadi karena terdapat kategorisasi
yang
terlihat
lebih
mewakili
kelompok
sendiri
(ingroup)
dibandingkan kelompok lain (outgroup). Kelompok sendiri (ingroup) akan lebih disukai dan dihormati meskipun kelompok lain juga memberikan respon yang positif. Faktor penyebab yang dijelaskan oleh Gaertner et al. (1993) dari bias antarkelompok yang telah diteliti sebelumnya meliputi faktor individu, psikodinamis, kognitif, komunikasi interpersonal, antarkelompok, institusi, dan budaya. Common ingroup identity model berasal dari pendekatan teori kategori sosial pada perilaku antarkelompok (Brewer, 1979; Brown & Turner, 1981; Tajfel & Turner, 1979). Hal tersebut menegaskan bahwa bias antarkelompok dan konflik dapat dikurangi dengan faktor yang mengubah representasi kognitif dari anggota organisasi dari dua kelompok menjadi satu kelompok. Gaertner et al (1993) menjelaskan bahwa perubahan persepsi pada anggota terhadap batasan kelompok memungkinkan kognitif dan proses motivasional mengubah bias antarkelompok dan konflik menjadi hubungan antarkelompok yang lebih harmonis.
12
Menurut Sherif dan Sherif’s (dalam Gaertner et al, 1993) kelompok summer campers menurunkan bias kelompok dengan mengubah gambaran dari keanggotaan dari “kami” dan “mereka” menjadi “kita”. Lebih jauh, Gaertner et al (1993) mengungkapkan bahwa banyak tambahan kondisi kontak yang dibutuhkan untuk mengurangi bias antarkelompok, karena dapat memperbesar kemungkinan kelompok untuk menjadi lebih inklusif atau menjadi common ingroup identity. Common ingroup identity model menjelaskan strategi yang baru yaitu rekategorisasi.
Rekategorisasi
berlawanan
dengan
pendekatan
teori
dekategorisasi. Rekategorisasi menurut Sarwono (2012) adalah melakukan perubahan batas antara ingroup dan outgroupnya. Sebagai akibatnya, bisa saja seseorang yang sebelumnya dipandang sebagai outgroupnya, tetapi kemudian menjadi ingroupnya. dengan kata lain, rekategorisasi ini membuat seseorang memperluas area kategori ingroupnya. Rekategorisasi ini berpotensi untuk mengurangi prasangka yang sebelumnya ada (Sarwono, 2012). Strategi yang ada dalam common ingroup identity tidak dibuat untuk mengurangi atau menghilangkan kategorisasi dari anggota, namun lebih mengarahkan kepada membuat definisi struktur dari kategorisasi grup untuk mengurangi bias antarkelompok dan konflik. Gaertner et al (1993) mengatakan jika anggota organisasi dari kelompok yang berbeda didorong untuk membayangkan diri mereka sebagai satu kelompok yang sama bukan dua kelompok yang terpisah, sikap para anggota akan lebih positif terhadap anggota lain. Pertama, bias antarkelompok seringkali membawa
13
peningkatan bentuk kelompok sendiri dibandingkan dengan penurunan bentuk kelompok lain. Kedua, formasi kelompok membawa anggota kelompok sendiri (ingroup) lebih dekat kepada diri anggota sendiri, sementara jarak antara diri sendiri dengan kelompok lain (outgroup) relatif tidak berubah. Kenyataan yang mendorong gambaran satu kelompok (one-group) dapat meningkatan proses kognitif dan motivasional untuk dapat memproduksi perasaan yang positif tidak hanya terhadap kelompok sendiri namun juga kepada kelompok lain. Hal tersebut menjelaskan bahwa common ingroup identity meningkatkan sikap yang positif kepada kelompok lain secara heuristik. Aplikasi dari rekategorisasi dari dua kelompok menjadi satu kelompok dapat dicapai dengan menonjolkan keanggotaan pada kelompok superordinat atau dengan memunculkan faktor baru seperti tugas atau tujuan yang sama yang dimiliki bersama oleh para anggota. Berdasarkan penjelasan pengertian common ingroup identity di paragraf sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa definisi common ingroup identity dalam penelitian ini adalah perubahan proses kognitif dalam memaknai suatu keadaan pada anggota kelompok yang awalnya “kami” dan “mereka” menjadi “kita” dengan strategi rekategorisasi. 2. Faktor Yang Mempengaruhi Common Ingroup Identity Model Common ingroup identity mengusulkan faktor yang mempengaruhi rekategorisasi serta proses mediasi. Bias antarkelompok menurun karena faktor utama yaitu orientasi (kognisi, perasaan, dan perilaku) terhadap anggota ingroup
14
menjadi kurang positif dan setara dengan anggota outgroup. Menurut Gaertner (1993) Faktor saling ketergantungan antarkelompok, diferensiasi kelompok, faktor lingkungan, dan pengalaman pra-kontak dapat mempengaruhi anggota kelompok dari dua kelompok yang berbeda dalam berbagi identitas kelompok umum, identitas kelompok yang berbeda dan mewakili individu yang terpisah dari dua kelompok. Gambar 1. menyajikan diagram skematik dari model common ingroup identity yang merangkum kerangka umum mengenai penyebab dan konsekuensi dari common ingroup identity. Faktor penyebab yang tertulis di sebelah kiri diduga mempengaruhi representasi kognitif anggota dari keanggotan di dalam organisasi atau kelompok. Hasil yang muncul dari common ingroup identity dapat dilihat dari sisi kognitif, afektif dan perilaku. Dari perubahan perilaku dapat dilihat adanya kerja sama, saling membantu, dan pada produktivitas. Sisi kognitif memunculkan persepsi homogenitas pada anggota-anggota kelompok. Perubahan representasi dari dua kelompok menjadi satu dihipotesiskan dapat mengurangi bias antarkelompok dan membuat orientasi yang lebih positif. Pada bagian mediator terdapat (a) rekategorisasi yaitu sejauh mana anggota dari dua atau lebih kelompok yang berbeda merasa menjadi satu kelompok, (b) kategorisasi yaitu anggota organisasi merasakan kelompok yang benar-benar terpisah, (c) dekategorisasi yaitu anggota organisasi memiliki persepsi secara individual terpisah dengan kelompok. Dampak dari munculnya Common Ingroup Identity dapat dilihat dari kognitif, afektif dan perilaku. Pada aspek kognitif, Common Ingroup Identity dapat memunculkan persepsi kesamaan dan homogenitas kelompok. Homogenitas kelompok adalah suatu anggota kelompok dilihat mirip satu dengan yang lainnya (Sarwono, 2012).
15
Faktor yang mempengaruhi a. Ketergantungan antarkelompok : Kerja sama, Interaksi ,Masalah umum
b. Diferensiasi kelompok Kesamaan : status, sumber penghasilan, nilai-nilaiPersepsi: proximity, kesamaan fisik (warna kulit)
c. Faktor Lingkungan Norma yang egaliter, pengaruh representasi sosial dari ingroup/ outgroup
d. Pengalaman prakontak Priming afektif, priming kognitif
Mediator
Konsekuensi / Hasil
One group
Efek Kognitif :
Rekategorisasi (“kita) yaitu anggota dari dua atau lebih kelompok yang berbeda merasa menjadi satu kelompok.
Asosiasi memori secara otomatis dan terkontrol, Persepsi homogenitas kelompok, Persepsi kesamaan
Efek Afektif : Two group Kategorisasi (“Kami/ Mereka”) Anggota organisasi merasakan kelompok yang benar-benar terpisah
Individu Terpisah Dekategorisasi (“aku/kamu”) yaitu anggota organisasi memiliki persepsi secara individual terspisah dengan kelompok.
Ekspresi wajah Empati afektif positif Evaluasi secara spontan Efek behavioral : kerja sama/ kompetisi, saling membantu, Individualisasi dan personalisasi perilaku seperti self disclosure Produktivitas
Gambar 1. Model Common Ingroup Identity sumber : Gaertner et al (1993)
16
3. Aspek-Aspek Common Ingroup Identity Gaertner et al (1993) menjelaskan bahwa teori common ingroup identity berasal dari “contact hypothesis” dari Allport (1954) dan berhenti pada penelitian Brewer (1979) dan pendekatan identitas sosial (Tajfel & Turner, 1979;. Turner et al, 1987). Menurut common ingroup identity model, melalui common ingroup identity yang direvisi dan lebih inklusif, anggota outgroup dapat juga menjadi penerima manfaat dari konsekuensi ini (Gaertner et al., 1993). Jika anggota kelompok yang berbeda memusatkan perhatian mereka pada kategori di atas yang meliputi ingroup dan outgroup dalam kelompok sosial tunggal, sikap ingroup terhadap anggota outgroup akan menjadi lebih positif. Jenis rekategorisasi tidak dirancang untuk mengurangi atau menghilangkan kategorisasi. Tujuannya adalah lebih untuk struktur definisi kategorisasi kelompok untuk mengurangi bias dan konflik antarkelompok. Aspek common ingroup identity menurut Gaertner et al (1993) yang mengadopsi teori contact hypothesis. Contact hypothesis menurut Pettigrew (dalam Sarwono, 2012) adalah prasangka yang terjadi antarkelompok dapat dikurangi dengan meningkatkan intensitas kontak antara kelompok yang berprasangka tersebut. Aspek common ingroup identity yaitu : a. Keadaan saling tergantung antarkelompok Dalam penelitian yang dilakukan oleh Green et al. (1988) menggambarkan keadaan saling tergantung antarkelompok dengan keadaan antarkelompok
17
untuk saling membutuhkan dan menawarkan hal-hal yang dianggap penting serta kebutuhan untuk saling mengetahui satu sama lain. b. Status yang sama Status yang sama ditunjukkan dengan bagaimana semua kelompok diperlakukan sama oleh pemimpin. c. Norma-norma yang mendukung Norma yang mendukung digambarkan dengan bagaimana peraturan yang ada mendukung anggota kelompok untuk menjalin hubungan dengan kelompok lain. d. Interaksi Menurut Chaplin (1981) interaksi merupakan satu pertalian sosial antara individu satu dengan individu lainnya, sehingga individu yang bersangkutan saling mempengaruhi satu dan yang lainnya. Dari penjelasan mengenai aspek-aspek common ingroup identity di paragraf sebelumnya, aspek common ingroup identity yang digunakan dalam penelitian ini adalah, keadaan saling tergantung antarkelompok, status yang sama, interaksi, norma-norma yang mendukung.
B. Budaya Organisasi 1. Pengertian Budaya Organisasi Suatu organisasi terdiri dari struktur dan budaya (Abudallah, 2004). Budaya tercermin dari perilaku, peraturan, dan kebijakan dalam organisasi tersebut.
18
Budaya merupakan konsep yang penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia termasuk dalam organisasi. Budaya menurut Stoner dan James (1995) adalah hal yang kompleks atas asumsi tingkah laku cerita, metos metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Definisi lain diungkapkan oleh Taylor (dalam Kusdi, 2011) budaya adalah sistem kompleks yang termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, dan kemampuan lainnya yang telah diakui oleh individu dalam suatu masyarakat. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pengaturan adaptasi yang menyatukan individu ke dalam struktur sosial (Browns dalam Kusdi, 2011). Organisasi menurut Kast dan James E. Rosenzweig (dalam Uha, 2013) adalah sekelompok orang yang terikat secara formal dalam hubungan atasan dan bawahan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Organisasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai wadah berbagai kegiatan dan sebagai proses interaksi antara orang-orang yang berada di dalamnya. Budaya yang diterapkan di dalam organisasi dikaitkan dengan keunikan cara kerja dan beraktivitas yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain. Menurut Ashkanasy (dalam Kusdi, 2011) berkembangnya studi budaya dalam teori organisasi didorong oleh keinginan untuk memandang organisasi secara lebih menyeluruh, bukan bagian per bagian atau seperangkat variabel yang
19
terpisah. Studi budaya organisasi mulai berkembang pesat pada dekade 1980, terutama di Amerika Serikat. Budaya organisasi menurut Robbins (2000) adalah sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat oleh semua anggotanya yang membedakan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Siahaan (2007) menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai, norma dan kepercayaan yang dimiliki bersama didalam organisasi yang menjadi panduan dalam melakukan tindakan, berpengaruh terhadap perilaku anggota organisasi serta sebagai identitas yang membedakan dengan organisasi lain. Budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi atau norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasi (Sutrisno, 2013). Dalam budaya organisasi terjadi sosialisasi nilai-nilai dan menginternaliasi dalam diri para anggota organisasi. Budaya organisasi merupakan jiwa organisasi dan jiwa para anggota organisasi (Killman dalam Sutrisno, 2013). Budaya organisasi yang kuat mendukung tujuan-tujuan perusahaan, sebaliknya yang lemah atau negatif menghambat atau bertentangan dengan tujuan-tujuan perusahaan. Suatu perusahaan yang memiliki budaya organisasi yang kuat, nilai-nilai bersama dipahami secara mendalam, dianut dan diperjuangkan oleh sebagian besar para anggota organisasi.
20
Menurut Jagues (dalam Uha, 2013) budaya organisasi adalah cara kerja dan cara berpikir yang dianut oleh para karyawan, manajer dan semua yang terlibat di dalam organisasi. Budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pegangan sumber daya manusia dalam menjalankan kewajiban dan perilakunya di dalam organisasi (Uha, 2013). Menurut Ndraha (dalam Uha, 2013) budaya perusahaan adalah aplikasi budaya organisasi terhadap badan usaha. Definisi lain disampaikan Kirana (1997) bahwa budaya organisasi menyangkut berbagai bahasan diantaranya nilai yang dianut, simbol, kebiasaan rutin dalam perusahaan, teladan, penyesuaian diri dan cerita-cerita yang dihidupkan. Pendapat lain dikemukakan oleh Schein (dalam Uha, 2013) budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalh adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik. Secara luas dari uraian definisi budaya organisasi yang dikemukakan para ahli, dapat disimpulkan budaya organisasi adalah seperangkat nilai, keyakinan, asumsi dan norma yang dimiliki dan disepakati bersama oleh seluruh anggota dalam suatu organisasi dan dijadikan pedoman untuk berperilaku. 2. Dimensi Budaya Organisasi Robbins (2000) mengemukakan tujuh karakteristik budaya organisasi yaitu :
21
a. Inovasi dan keberanian mengambil resiko yaitu organisasi atau perusahaan berusaha mendorong para karyawan untuk melakukan inovasi dan mengambil resiko, b. Perhatian terhadap detail, tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk memperlihatkan ketepatan dan analisis. c. Orientasi terhadap hasil, sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil, bukan pada teknis dan proses dalam mencapai hasil, d. Orientasi
terhadap
individu,
tingkat
keputusan
manajemen
dalam
mempertimbangkan efek dari keputusannya terhadap anggota di dalam organisasi tersebut, e. Orientasi terhadap tim, tingkat aktivitas pekerja dalam organisasi diatur dengan kerja tim buka perorangan, f. Agresivitas, tingkat tuntutan terhadap anggota memilika rasa kompetisi atau bersaing dalam organisasi, g. Stabilitas, tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam mempertahankan status quo dan menuntut lingkungan yang stabil bagi pertumbuhan organisasi. Dimensi budaya organisasi tersebut setiap dimensi bergerak pada suatu kontinnum dari rendah menuju ke tinggi. Dimensi budaya organisasi yang lain juga diungkapkan oleh Aholb et al. (dalam Uha, 2013) bahwa terdapat tujuh dimensi budaya yang terdiri atas konformitas, tanggung jawab, penghargaan, kejelasan, kehangatan, kepemimpinan, dan bakuan mutu.
22
Chow et al. (2001) dalam penelitiannya yang menggunakan 6 dimensi budaya Hofstede yaitu Orietasi hasil vs orientasi proses, Orientasi pekerjaan vs orientasi karyawan, Profesional vs parochial, system tertutup vs system terbuka, Kontrol ketat vs longgar, Pragmatis vs normatif. Berdasarkan dari penjelasan teori mengenai dimensi-dimensi budaya organisasi, penelitian ini akan menggunakan dimensi dari Robbins (2000) untuk mengukur budaya organisasi yaitu inovasi dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detail, orientasi terhadap hasil, orientasi terhadap individu, orientasi terhadap tim, agresivitas, serta stabilitas. 3. Lapisan Budaya Organisasi Anggota suatu budaya menerima apa yang terdapat dalam budaya secara taken for granted , apa adanya seperti ikan yang menerima air sebagai kenyataan yang tidak bisa dibantah atau dipertanyakan (Hatch dalam Kusdi, 2011). Budaya tertanam secara mendalam, karena berulang-ulang dan tanpa disadari menjadi sesuatu yang sakral. Hal tersebut juga terjadi di dalam organisasi, pada level terdalam, akan ditemukan keyakinan, persepsi, pemikiran dan perasaan yang selalu dianggap benar serta merupakan sumber dari nilai-nilai dan perilaku para anggota organisasi (Kusdi, 2011). Lapisan organisasi menurut Schein dapat dilihat pada gambar 2.
23
Artifak
Nilai-nilai
Asumsi-asumsi
Struktur dan proses-proses organisasional yang tampak
Srategi, tujuan, filosofi
Keyakinan, persepsi, pemikiran, perasaan yang sifatnya tidak disadari
Gambar 2. Model Kultur organisasi Schein Sumber : Schein (dalam Kusdi, 2011) Unsur-unsur yang ada dalam budaya organisasi didapat dari persepsi, kepercayaan, dan nilai yang ada pada sumber daya manusia di dalam perusahaan. Dalam gambar 3, Daft (dalam Uha, 2013) menyatakan budaya organisasi terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan yang dapat dilihat dengan mata dan mewakili budaya perusahaan secara menyeluruh yang disebut visible artifacts dan lapisan yang tidak terlihat oleh mata. Visible artifacts terdiri atas cara orang berperilaku, berbicara dan berpenampilan. Selain juga dapat terlihat pada symbol-simbol yang dipakai, kegiatan seremonial dan bahasan yang sering dibicarakan oleh para anggota organisasi. Lapisan yang kasat mata terdiri atas nilai-nilai pokok, filosofi, asumsi, kepercayaan, dan proses berpikir dalam perusahaan.
24
Visible artifacts : symbol, upacara, slogan Nilai dasar, Kepercayaan, Asumsi, Sikap, Perasaan.
Gambar 3. Gambar 3. Lapisan-lapisan dalam Budaya Perusahaan Sumber : Daft (dalam Uha, 2013) 4. Fungsi Budaya Organisasi Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi yang terkait di dalam organisasi. Fungsi budaya organisasi menurut Robbins (2000) yaitu : a. Budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal tersebut memiliki arti bahwa budaya organisasi menciptakaan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain, b. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota organisasi, c. Mempermudah munculnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan individual, d. Meningkatkan kemantapan sistem sosial Budaya organisasi membantu mengarahkan sumber daya manusia pada pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. Selain itu, budaya organisasi juga
25
akan meningkatkan kekompakan tim antar berbagai departemen, divisi atau unit dalam organisasi, sehingga mampu menjadi perekat yang mengikat orang dalam organisasi bersama-sama (Uha. 2013). Budaya organisasi akan meningkatkan motivasi staf dengan memberi mereka perasaan memiliki, loyalitas, kepercayaan, dan nilai-nilai,dan mendorong mereka berpikir positif tentang mereka dan organisasi. Menurut Deal & Kennedy, Miner, Robbins (dalam Sutrisno, 2013) budaya organisasi dapat menimbulkan antara lain sebagai berikut : a. Nilai-nilai yang tersosialisasikan, terinternalisasi dalam diri anggota, b. Perilaku karyawan secara tak disadari terkendali dan terkoordinasi oleh kekuatan yang informal atau tidak tampak, c. Para anggota memiliki komitmen dan loyalitas terhadap organisasi, d. Muncul kebersamaan atau kesertaan dalam hal-hal yang berarti sebagai bentuk partisipasi, pengakuan dan penghormatan terhadap karyawan, e. Semua kegiatan berorientasi pada tujuan organisasi, f. Para karyawan merasa diakui dan dihargai martabat dan kontribusinya, g. Koordinasi, integrasi dan konsistensi yang menstabilkan kegiatan-kegiatan perusahaan, h. Berpengaruh kuat terhadap organisasi dalam tiga aspek pengarahan perilaku dan kinerja organisasi, sosialisai pada para karyawan dan kekuatan organisasi, i. Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.
26
5. Tipe Budaya Organisasi Rintisan mengenai tipologi budaya organisasi dimulai oleh Deal & Kennedy pada tahun 1982 dengan mengembangkan tipologi budaya yang disebut sebagai tipe “kesukuan”. Budaya organisasi dibagi berdasarkan tingkat resiko yang dihadapi organisasi dan kecepatan umpan balik dari lingkungan. Berdasarkan dua dimensi pembeda ini, budaya organisasi dibagi menjadi empat tipe yaitu budaya tough-guy, work hard play hard, bet your company dan processs organization. a. Tough guy Budaya tough guy dimiliki oleh organisasi-organisasi yang memiliki resiko lingkungan yang tinggi dan memberi umpan balik yang cepat. Perusahaan yang memiliki budaya seperti ini harus menyikapi dan menanggapi segala sesuatu dengan cepat dan berani. Contoh organisasi yang umumnya memiliki tipe budaya ini adalah industri periklanan, hiburan dan konstruksi. Pada organisasi ini, modal yang dipertaruhkan biasanya besar dan hasilnya bisa segera diketahui sehingga membutuhkan keberanian yang besar. b. Work hard play hard Budaya ini dimiliki oleh organisasi yang beroperasi dalam lingkungan yang beresiko rendah tetapi memberi umpan balik yang cepat. Perusahaan harus menemukan satu peluang dan mengisi peluan tersebut. Contoh organisasi yang memiliki tipe budaya ini adalah industry ritel dan sales.
27
c. Bet your company Organisasi yang memiliki budaya ini beroperasi dalam lingkungan berisiko tinggi dan umpan balik lambat. Organisasi harus mengambil langkah yang berhati-hati di setiap saat. Contoh organisasi yang memiliki tipe budaya ini adalah industri perminyakan, obat-obatan, penerbangan, dan fasilitas umum. d. Process organization Lingkungan dalam organisasi yang memiliki budaya ini adalah lingkungan yang berisiko rendah dan umpan balik yang lambat. Organisasi memiliki peluang untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Contoh organisasi yang memiliki budaya ini adalah perbankan, asuransi dan badan pemerintah. Pembagian tipe budaya yang lain diungkapkan oleh Denison (dalam Kusdi, 2013). Denison membedakan tipe budaya berdasarkan hubungan antara lingkungan, strategi, dna budaya. Budaya organisasi dibedakan menjadi empat tipe yaitu budaya adaptif, budaya misi, budaya keterlibatan, budaya konsistensi. Contoh perusahaan yang memiliki budaya adaptif adalah perusahaan marketing, elektronik dan kosmetik. Budaya misi dimiliki oleh perusahaan rumah sakit dan badan-badan pemerintah. Selain itu, budaya keterlibatan dimiliki oleh perusahaan ritel dan perancang mode. Budaya konsistensi dimiliki oleh perusahaan asuransi.
28
Budaya organisasi juga dibedakan berdasarkan informasi oleh Quinn dan McGrath (dalam Tika, 2008) sebagai berikut : a. Budaya rasional Proses informasi individual diasumsikan sebagai saran bagi tujuan kinerja yang ditunjukkan. b. Budaya Ideologi Proses informasi intuitif diasumsikan sebagai sarana tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, dukungan sumber daya dan pertumbuhan) c. Budaya Konsensus Proses informasi kolektif (diskusi, partisipasi, consensus) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral dan kerja sama kelompok) d. Budaya hirarki Proses informasi formal (dokumen, komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol dan koordinasi).
C. Hubungan antara Budaya Organisasi dengan Common Ingroup Identity Organisasi adalah unit sosial yang dengan sengaja diatur, terdiri atas dua orang atau lebih, yang berfungsi secara terus menerus untuk mencapai sasaran atau serangkaian tujuan bersama (Robbins, 2000). Dalam perjalanannya mencapai tujuan bersama, organisasi juga diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang, untuk itu diperlukan kinerja yang baik dari anggota organisasi tersebut.
29
Tugas penting dalam organisasi adalah mengharmoniskan suatu kelompok berbeda, mempertemukan bermacam-macam kepentingan dan memanfaatkan seluruh kemampuan ke suatu arah tujuan. Namun, sesuatu yang tidak dapat dihindari dari proses pengorganisasian dari pelaksanaan struktur organisasi adalah konflik dalam organisasi (Robbin, 1990). Konflik salah satunya dapat disebabkan adanya bias antarkelompok yang dapat merugikan organisasi. Menurut Gaertner et al (1993) bias antarkelompok dapat diatasi dengan membentuk common ingroup identity pada karyawan. Common ingroup identity membuat perubahan representasi kognitif dari yang semula berorientasi “kami” versus “mereka” menjadi lebih inklusif yaitu “kita” (Gaertner & Dovidio, 2000). Perubahan representasi kognitif yang terjadi, diharapkan dapat mengurangi kategorisasi ingroup dan outgroup dalam kelompok. Setiap organisasi atau perusahaan memiliki budaya organisasi. Budaya organisasi memberikan identitas pada organisasi tersebut maupun kepada karyawannya. Budaya organisasi berperan penting dalam memberikan panduan berperilaku pada karyawan. Hal tersebut terjadi karena karyawan dipengaruhi oleh budaya organisasi ketika mereka masuk kedalam perusahaan (Bingol, Sener & Cevik, 2013). Budaya organisasi melibatkan seluruh anggota organisasi, berasal dan berkembang di semua tingkat hirarki, dan didasarkan pada sejarah yang diwujudkan dalam aspek materi (atau artefak) dari organisasi seperti nama,
30
produk, bangunan, logo dan simbol lainnya, termasuk manajer dari organisasi tersebut (Hatch & Schultz, 1997). Salah satu fungsi dasar dari budaya organisasi adalah memunculkan perasaan identitas di dalam kelompok (Nelson dan Quick, 1997). Fungsi tersebut dapat digunakan oleh organisasi atau perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Bingol, Sener dan Cevik (2013) mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat berpengaruh terhadap identitas organisasi atau karyawannya. Alvesson dan Sveningsson (2008) juga menjelaskan bahwa untuk meningkatkan identitas anggota organisasi terhadap perubahan, penting untuk lebih memunculkan budaya organisasi yang berbeda dengan perusahaan lainnya. Karyawan yang dapat mengidentifikasi dirinya terhadap perusahaan akan dapat mengurangi bias antarkelompok yang terjadi. Karyawan akan menerima diri mereka sebagai satu kesatuan, lebih inklusif menjadi grup superordinat dibandingkan dengan sebagai dua atau lebih grup yang terpisah. Karyawan akan menunjukkan identitas sosial dari perusahaan dengan menggunakan artifak dari perusahaan secara simbolis yang akan merepresentasikan perusahaan (Hatch & Schultz, 1997). Selain pembentukan identitas dari karyawan, common ingroup identity juga dapat dimunculkan dengan menonjolkan kesamaan grup superordinat atau dengan memperkenalkan faktor baru seperti tugas atau tujuan yang dimiliki bersama oleh seluruh karyawan (Hatch & Schultz, 1997). Budaya organisasi menurut Siahaan (2007) merupakan nilai-nilai, norma dan kepercayaan yang dimiliki bersama
31
didalam organisasi. Kesatuan identitas yang dirasakan oleh anggota organisasi akibat adanya budaya organisasi dapat menciptakan common ingroup identity. Budaya organisasi yang baik dapat mempengaruhi perilaku anggotanya sehingga seluruh anggota organisasi tahu apa yang diharapkan oleh organisasinya sesuai dengan kesepakatan dan tujuan dari organisasi. Keharmonisan tujuan ini akan membangun kebersamaan, loyalitas dan komitmen keorganisasian sehingga memperkecil kecenderungan anggota mengalami stress kerja dan meninggalkan organisasinya (Tika, 2006). Budaya organisasi berperan membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan jatidiri anggota organisasi, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan anggota yang terlibat di dalamnya, membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai system sosial, dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian (Riani, 2011). Dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dapat menumbuhkan identifikasi sosial sebagai upaya untuk menciptakan common ingroup identity. Selain itu, budaya organisasi dapat memberi identitas bagi karyawan melalui pemberian norma dan nilai-nilai serata persepsi dari setiap karyawan agar sensitif terhadap kebersamaan.
32
D. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penilitian “Hubungan antara budaya organisasi dengan common ingroup identity pada Karyawan di PT Intan Pariwara” yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya dapat digambarkan dalam gambar 4 berikut :
PT Intan Pariwara
Karyawan
Budaya Organisasi
Common Ingroup Identity
Seperangkat nilai, keyakinan, asumsi dan norma yang dimiliki dan disepakati bersama oleh seluruh anggota dalam suatu organisasi dan dijadikan pedoman untuk berperilaku.
Karyawan yang memahami dan memiliki persepsi yang baik terhadap budaya organisasi yang ada di dalam perusahaan akan memiliki identitas dan jati diri anggota perusahaan. Identitas sebagai anggota perusahaan akan memunculkan common ingroup identity.
Perubahan proses kognitif dalam memaknai suatu keadaan pada anggota dari dua atau lebih kelompok berbeda yang semula berorientasi “kami” versus “mereka” menjadi lebih inklusif yaitu “kita”.
Gambar 4. Bagan Kerangka Pemikiran Common Ingroup Identity Ditinjau Dari Budaya Organisasi
33
E. Hipotesis Berdasarkan dari uraian teori yang telah diuraikan sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : “Terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dengan Common ingroup identity pada karyawan di PT Intan Pariwara”.