BAB II KONSEP KITAB KUNING DAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
A. Konsep Kitab Kuning 1. Pengertian Kitab Kuning Secara leksikal, kitab kuning merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata “kitab” yang berarti buku, risalah, surat, kertas tulis, keputusan, dan kewajiban1, sedangkan kuning merupakan kata yang menunjukkan arti jenis warna yang menyerupai warna kunyit 2 Adapun menurut istilah, kitab kuning adalah kitab-kitab karya ulama yang dicetak dengan kertas yang berwarna kuning. Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah kitab kuning, terdapat pula penamaan “kitab klasik”. Kitab kuning ini pada umumnya tidak berharakat/syakal, sehingga lazim disebut sebagai “kitab gundhul”. Ada pula yang menyebutnya “kitab kuno” karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh sejak disusun/diterbitkan sampai sekarang 3. Kebanyakan kitab kuning yang dipelajari di pesantren adalah kitab
komentar (syarḥ) atau komentar atas komentar (ḥasyiyah) dan
komentar atas teks yang lebih tua (matan). Cetakan karya-karya klasik
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab - Indonesia(Surabaya: Pustaka Progressif, 2001), hal. 1187. 2 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal. 635S 3 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003), hal. 32.
22
23
inibiasanya menempatkan teks yang di-syaraḥ-i atau di-ḥasyiyah-i di tepi halamannya, sehingga keduanya dapat dipelajari sekaligus. 4 Selain itu, ada pula teks-teks kitab yang berbentuk manẓum, yakni ditulis dalam bentuk sajak-sajak berirama (naẓm) supaya mudah dihafal. Beberapa syaraḥdari kitab manẓum ini biasanya menyertakan bait aslinya dalam teks (prosa) dan tidak menempatkan bait-bait sajak tersebut secara tersendiri di tepi halaman.5 Kitab kuning memiliki konsep penulisan dari yang lebih besar terinci ke yang lebih kecil seperti kitābun, bābun, faṣlun, far’un dan seterusnya. Kemudian tata tulis yang digunakan tidak menggunakan tanda baca sebagaimana umumnya, tidak memakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya dan sebagainya. Selain itu, selalu digunakan istilah-istilah dan rumus-rumus tertentu seperti untuk menyatakan pendapat yang kuat dengan memakai istilah al-mażhab, al-aṣlaḥ, al-aṣaḥ, al-arjaḥ dan seterusnya.Untuk menyatakan kesepakatan antar ulama beberapa mazhab digunakan istilah ijtimā’an sedangkan untuk menyatakan kesepakatan antar ulama dalam satu mazab digunakan istilah ittifāqan.6 Keseluruhan kitab kuning yang diajarkan di pesantren dapat diklasifikasikan dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Naḥwu (Syntax) dan Ṣaraf (morfologi); (2) Fiqh; (3) Uṣul Fiqh; (4) Hadis; (5)Tafsir; (6) Tauhid; (7)Tasawuf dan etika; (8) cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balagah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang 4
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), hal. 141. 5 Ibid. 6 Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Bandung: Erlangga, 2007), hal. 127.
24
terdiri dari berjilid-jilid tebal yang dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) kitab-kitab dasar; (2) kitab-kitab tingkat menengah; dan (3) kitab-kitab besar. 7 Secara umum, format kitab kuning yang dipakai di pesantren sedikit lebih kecil dari kertas Kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.Lembaranlembaran (koras-koras) tak terjilid dibungkus sampul sehingga para santri dapat membawa hanya satu halaman yang kebetulan sedang dipelajari saja.8 Tradisi kitab kuning jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di nusantara. Demikian pula banyak kitab syaraḥ atau teks klasik yang bukan berasal dari Indonesia (meskipun jumlah syaraḥ yang ditulis oleh ulama Indonesia makin banyak). Sejumlah kitab yang dipelajari dipesantren
relatif baru, tetapi tidak ditulis di
Indonesia, melainkan di Makah dan Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri). 9
7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1994) Op. Cit., hal. 50-51. 8 Martin Van Bruinessen, Op. Cit., hal. 142. 9 Ibid., Hal. 22.
25
2. Metode-Metode Pembelajaran Kitab Kuning a. Sorogan Idiom sorogan berasal dari kata sorog(Jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri secara bergilir menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau badal (penggantinya).10Secara bergilir, santri menghadap kiai atau ustaz kemudian membaca teks kitab berdasarkan kaidah gramatikal bahasa Arab (Naḥwu Ṣaraf) dengan mengartikan tiap-tiap kata menggunakan bahasa Jawa / Melayu. Biasanya, di sela-sela pembacaan teks kitab, kiai atau ustaz akan meminta santri untuk menganalisa susunan (tarkīb) kalimat seperti mubtada’, khabar, hāl, tamyīz, fā’il, maf’ūl dan sebagainya serta meminta santri untuk menyebutkan dasar kaidahnya yang diambil dari ilmu alat seperti naẓmAlfiyah ibn Malik, naẓm al-Imriṭi, matanJurumiyah dan sebagainya.Setelah itu, santri diminta untuk menjelaskan kandungan yang dimaksud (murād) dari teks yang telah dibaca. Metode sorogan ini dinilai intensif karena dengan metode ini, santri dapat menerima pelajaran dan pelimpahan nilai-nilai sebagai proses delivery of culture di pesantren yang dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk bertanya jawab secara langsung. Metode ini dalam dunia modern dapat disamakan dengan istilah tutorship atau menthorship.11
10
M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 110-111. 11 Ibid., hal. 112.
26
Pelaksanaan metode sorogan ini, antara guru dan murid harus sama-sama aktif.Sebagai seorang guru, kiai harus aktif dan selalu memperhatikan kemampuan santri dalam membaca dan memahami kitab. Di lain pihak, santri harus selalu siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kiai. 12 Sistem individual dalam metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, sebab metode ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan kedisiplinan pribadi dari murid.
Metode sorogan ini terbukti
efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.Metode ini memungkinkan seorang guru/ kiai untuk mengawasi, menilai dan membimbing seorang murid atau santri secara maksimal dalam menguasai bahasa Arab. 13 Berikut ini beberapa kelebihan metode sorogan14: 1) Santri lebih mudah berdialog secara langsung dengan kiai; 2) Santri lebih cepat dan matang dalam mengkaji kitab-kitab kuning; 3) Santri lebih memahami dan mengenai kitab kuning yang dipelajari dan bersikap aktif. Perlu diketahui bahwa santri yang mengikuti
pengajian
dengan metode sorogan ini sangat minim karena kendala yang datang dari diri santri itu sendiri yang dibayangi rasa tidak mampu bila mengikuti pengajian sorogan. Biasanya, santri yang mengikuti sistem sorogan adalah mereka yang sudah mendalami ilmu Naḥwu maupun 12
Ibid.,hal. 113. Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit., hal. 28-29. 14 M. Ridlwan Nasir, Op. Cit., hal. 137. 13
27
Ṣaraf
karena kedua ilmu itulah yang menjadi kunci utama dalam
mengkaji kitab-kitab kuning, di samping perlu juga memahami mufradāt, balagah dan sebagainya.15
b. Weton / Bandhongan Metode weton atau bandhongan artinya belajar secara berkelompok yang diikuti seluruh santri.Biasanya kiai menggunakan bahasa daerah dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajari. 16 Dalam metode ini, sekelompok murid (antara 5 sampai 500 orang) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata atau buah pikiran yang sulit.17 Metode weton adalah metode yang tertua dan banyak dipakai di pondok pesantren menyertai metode sorogan. Hal tersebut secara nyata dapat dilihat dari tingkat perbandingan kiai/ustaz yang memakai metode sorogan dan metode weton, yakni 5:35.18Sesuai dengan keterangan sebelumnya mengenai sistem sorogan, fakta ini tentu di latar belakangi oleh minat santri yang lebih memilih metode weton daripada sorogan karena dinilai lebih mudah. 15
Ibid.,hal. 138. Amiruddin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hal. 28. 17 Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit., hal. 28. 18 M. Ridlwan Nasir, Op. Cit., hal. 114. 16
28
Sistem bandhongan, karena ditujukan untuk santri tingkat menengah dan tingkat tinggi, hanya efektif bagi santri yang telah mengikuti sistem sorogan
secara intensif. Kebanyakan pesantren,
terutama pesantren-pesantren besar, menyelenggarakan bermacammacam ḥalaqah (kelas bandhongan) di mana kiai sering kali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam ḥalaqah tersebut.19
3. Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, transmisi keilmuan yang terkandung dalam kitab kuning di pondok pesantren secara umum menggunakan dua macam metode, yakni sorogan dan bandhongan/ weton, di samping metode yang lain seperti metode musyawarah maupun bahṡul masāil. Pembelajaran kitab-kitab klasik di pesantren dipandang penting karena dapat menjadikan santri menguasai dua materi sekaligus. Pertama, bahasa Arab yang merupakan bahasa kitab
itu sendiri. Kedua,
pemahaman/penguasaan muatan dari kitab tersebut.Dengan demikian, seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren diharapkan mampu memahami isi kitab dengan baik, sekaligus dapat menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya. 20
19 20
Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit., hal. 50-51. Amiruddin Nahrawi, Op. Cit., hal. 26.
29
Meskipun materi yang dipelajari berupa teks tertulis, namun penyampaian secara lisan oleh kiai adalah penting. Kitab dibacakan keraskeras oleh kiai di depan sekelompok santri, sementara para santri memegang buku memberikan harakat sebagaimana bacaan sang kiai dan mencatat penjelasannya baik dari segi lugawi(bahasa) maupun ma’nawi (makna).21 Sikap bertanya dan berbeda pendapat masih dianggap sū’ul adab.Inilah yang menyebabkan metode-metode pembelajaran di pesantren seperti sorogan, bandhongan, ḥalaqah dan lalaran tidak beranjak dari orientasi content-knowledgebelum mengarah pada understanding dan construction of the knowledge. 22 Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya terbatas pada konteks-konteks sempit isi kitab itu.Jarang sekali ada usaha untuk menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal konkret atau situasi kontemporer.Kiai juga jarang menanyakan apakah santri benarbenar memahami kitab yang dibacakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lugawi. Kitab-kitab yang bersifat pengantar
sering
dihafalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja dari awal sampai akhir.23
21
Martin Van Bruinessen, Op. Cit., hal. 18. Mujamil Qomar, Op. Cit.,hal. 155. 23 Ibid. 22
30
Pembelajaran kitab kuning di pesantren memiliki beberapa kelebihan, antara lain: 24 a. Sistem pengajaran yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar adalah tidak dimasukkannya materi pelajaran dalam silabus yang terprogram, melainkan berpegang pada bab-bab yang tercantum dalam kitab. Hal ini memungkinkan bagi seseorang yang ingin mempelajari satu bab khusus dapat dilakukan dengan mudah sesuai dengan keinginan; b. Para santri sehabis mempelajari teori-teori yang ada dalam kitab kuning,
biasanya
langsung
mempraktekkannya.
Sesudah
mempraktekkan, mereka akan membahas hasil praktek itu untuk diuji kembali dengan teori yang mereka pelajari; c. Tingkat keberhasilan seorang santri dalam belajar adalah banyak ditentukan oleh kemampuan individual, karena semakin cerdas dan rajin seorang santri dalam belajar, maka, akan semakin cepat pula ia menyelesaikan pelajarannya dan akan mengikuti pengajian kitab berikutnya yang lebih tinggi; d. Motivasi keagamaan merupakan faktor yang mendorong setiap individu untuk lebih giat. Kiai maupun santri berkeyakinan bahwa mereka sedang melakukan ibadah kepada Allah.
24
M. Ridlwan Nasir, Op. Cit., hal. 139-140
31
Adapun kelemahan-kelemahan sistem pembelajaran kitab kuning di pesantren antara lain sebagai berikut 25: a. Pengajian kitab kuning dengan sistem weton menjadikan santri pasif; b. Tidak adanya absensi dalam proses belejar mengajar sehingga mengakibatkan tidak disiplinnya santri dalam mengikuti pengajian; c. Orientasi keilmuan di pondok pesantren lebih dititik beratkan pada kajian ilmu-ilmu terapan seperti fikih, tasawuf dan ilmu-ilmu alat (terutama naḥwu /ṣaraf).Sementara itu,
ilmu-ilmu pengembangan
wawasan dan penajaman penalaran seperti ilmu mantiq, filsafat, tarikh masih terbatas; d. Liberalisasi dalam proses belajar-mengajar di pondok pesantren pada kenyataannya sering manjadi faktor utama makin berlarut-larutnya masa belajar seorang santri; e. Konsep barākah yang pada awalnya dimaksudkan sebagai motivasi bagi para santri, pada kenyataannya justru lebih dominan mematikan orientasi ilmiah.
4. Pembelajaran Kitab Kuning di Sekolah/ Madrasah Pembelajaran
kitab
kuning
adalah
pembelajaran
yang
menggunakan kitab kuning sebagai referensinya.Pembelajaran kitab kuning merupakan pembelajaran khas pesantren namun ada juga lembagalembaga pendidikan yang menerapkan pembelajaran tersebut.26
25 26
Ibid., hal. 140-141. Mujamil Qomar, Op. Cit., hal. 127.
32
Pembelajaran kitab kuning di lembaga pendidika formal (sekolah/madrasah) telah disesuaikan dengan model pembelajaran modern dalam
nuansa
klasikal
dengan
tetap
mempertahankan
kekhasan
pembelajaran kitab klasik itu sendiri. Sistem sorogandanbandhongan tetap diberlakukan, selebihnya materi diulas dengan berbagai metode, seperti metode ceramah, demonstrasi dan sebagainya serta terdapat evaluasi. Dengan
banyaknya
model
madrasah/sekolah
yang
diselenggarakan oleh yayasan pendidikan Islam, pembelajaran kitab kuning akan memiliki perkembangan pola pembelajaran yang baru, namun tetap mempertahankan ciri klasik (salaf) sebagaimana di pondok pesantren.
B. Pembelajaran dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning 1. Konsep pembelajaran Muhaimin mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong untuk belajar dan tertarik untuk terus-menerus belajar 27.Ta’rif semacam ini mengindikasikan bahwa guru berperan sebagai pembimbing, motivator, dinamisator dan fasilitator dalam sebuah proses belajar-mengajar.
27
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 183.
33
Penempatan guru sebagai satu-satunya sumber informasi akan menempatkan siswa tidak sebagai individu yang dinamis, akan tetapi sebagai individu yang pasif sehingga potensi siswa tidak dapat berkembang dengan optimal. Melalui proses pembelajaran, guru dituntut untuk mampu membimbing dan memfasilitasi siswa agar mereka dapat memahami kekuatan
serta
kemampuan
yang
mereka
miliki.Selanjutnyaguru
memberikan motivasi agar siswa terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik
mungkin
untuk
mewujudkan keberhasilan
sesuai
dengan
kemampuan mereka. Sementara itu, paradigma konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan
lebih
dianggap
sebagai
suatu
proses
pembentukan
(konstruksi) yang terus -menerus berkembang dan berubah28. Pengetahuan bukanlah hal yang statis, tapi suatu proses menjadi tahu yang senantiasa dinamis. Von Glasefeld, sebagaimana dikutib oleh Aunurrahman mengatakan: “Pengetahuan bukanlah suatu tiruan kenyataan (realitas).Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan, seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan. Oleh karena itu, pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamat, akan tetapi merupakan hasil konstruksi pengalaman manusia sejauh yang dialaminya”29
28 29
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 15. Ibid.,hal. 16.
34
Dalam pandangan konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses mengonstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental siswa secara aktif. Belajar juga merupakan suatu proses mengasimilasikan dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalamanpengalaman yang dimiliki siswa sehingga pengetahuan tentang suatu objek akan menjadi lebih kokoh.30 Sejurus
dengan
pembelajaran
menurut
perspektif
konstrukstivisme, Ausubel sebagaimana dikutib oleh Ratna Wilis Dahar, mengklasifikasikan belajar ke dalam dua dimensi, yakni dimensi belajar penerimaan dan dimensi belajar penemuan. Dalam dimensi belajar penerimaan, informasi berupa materi pelajaran dikomunikasikan dalam bentuk final. Sedangkan dalam belajar penemuan, siswa dituntut untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan dengan menghubungkan atau mengaitkan informasi pada pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya. Inilah yang disebut sebagai belajar bermakna.31 Selanjutnya, masih dikutib oleh Ratna Wilis Dahar, Vygotsky mengemukakan bahwa fungsi-fungsi psikologi seperti logical memory, voluntary action dan pembentukan konsep merupakan proses internalisasi. Fungsi-fungsi ini dimulai sejak bayi sebagai aktivitas yang ditujukan untuk benda-benda di sekitarnya. Kemudian, fungsi-fungsi itu mengalami transformasi karena hubungan antara manusia untuk memperoleh
30 31
hal. 94.
Ibid.,hal. 18. Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran (Penerbit Erlangga, 2011),
35
kebermaknaan interpersonal yang mungkin baru tercapai dalam jangka waktu yang cukup lama32. Dari
paparan
konsep
pembelajaran
menurut
perspektif
konstruksivisme dan konsep pembelajaran bermakna, dapat dipahami bahwa keduanya menghendaki hal yang senada, yaitu pembelajaran siswa secara aktif. Oleh karena itu, guru dituntut untuk menemukan cara-cara untuk memahami konsepsi siswa, menyarankan konsepsi alternatif, menstimulasi keheranan dan rasa penasaran siswa dan mengembangkan kegiatan pembelajaran yang mengarah pada konstruksi pengetahuan.
2. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) a. Pengertian pendekatan CTL Secara leksikal, pendekatan merupakan suatu proses cara, perbuatan mendekati. Selain itu, pendekatan juga diartikan sebagai pola studi atau metode untuk mencapai pengertian suatu masalah penelitian atau rancangan33. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks
32
kehidupan nyata
Ibid.,hal. 153. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Keempat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal. 306. 33
36
baikberkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi maupun kultural. 34 Jadi, pendekatan CTL merupakan cara atau pola dalam proses pembelajaran sebagai upaya agar siswa mampu memahami materi akademik melalui pembelajaran secara bermakna dengan mengaitkan materi tersebut dengan fakta atau relita kehidupan siswa baik secara personal maupun sosial. Term “konteks” pada frase CTL dipahami sebagai pola hubungan-hubungan di dalam lingkungan langsung seseorang. Pembelajaran kontekstual didasarkan pada pemikiran bahwa makna muncul dari hubungan antar isi dan konteksnya, sedangkan konteks memberikan makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, maka, semakin bermaknalah isinya bagi mereka.Semakin mampu siswa mengaitkan pelajaran-pelajaran akademis dengan suatu konteks, semakin banyak makna yang mereka dapatkan dari pelajaran tersebut.35 CTL merupakan suatu sistem yang cocok dengan otak.Ilmu saraf memastikan adanya kebutuhan otak untuk menemukan makna. Otak berusaha memberi arti bagi suatu informasi baru dengan cara menghubungkannya dengan pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada. Otak berusaha menghubungkan tugas-tugas baru dengan tugastugas yang telah dikenalnya. 36
34
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar yang Mengasyikkan dan Bermakna (Bandung: Kaifa, 2012), hal. 67. 35 Ibid.,hal. 34-35. 36 Ibid.,hal.36.
37
b. Latar belakang CTL CTL muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap paradigma pendidikan tradisional di Amerika yang menekankan pada penguasaan dan manipulasi isi. Para siswa menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, tempat dan kejadian, mempelajari materi secara terpisah satu sama lain dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung. 37 Corak pendidikan tradisional di Amerika pada abad ke-18 dilandasi prinsip dualisme, yakni pemisahan sisi abstrak (gagasan, konsep, pengetahuan dan kumpulan informasi) dan sisi nyata (tindakan praktis di dalam dunia keseharian, situasi aktual dan masalah-masalah nyata).Para pendukung pendidikan tradisional bertujuan mengajari kepala, bukan tubuh.Mereka mengajak para siswa untuk menyerap, tetapi tidak menggunakan; mendengar, tapi bertindak; berteori tapi tidak mempraktikkan. 38 Dalam sistem dengan tradisional, pengajar terlalu sibuk mengajar kelas-kelas sepanjang hari sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk mengenal atau bahkan berbicara kepada setiap siswa.Pengajaran biasanya hanya berlangsung selama 47 sampai 50 menit.Mereka tidak memberikan waktu bagi siswa untuk bertanya, berdiskusi, mencari tahu, berpikir kritis atau terlibat dalam projek kerja nyata dan pemecahan masalah. 39
37
Ibid.,hal. 32-33. Ibid.,hal. 48-49. 39 Ibid.,hal. 41. 38
38
Dalam pendidikan Islam, corak pembelajaran semacam itu jelas tidak senafas dengan apa yang senantiasa Allah serukan kepada manusia untuk senantiasa berpikir, mengamati dan merenungkan40 sebagaimana dalam firman-Nya:
ا اَك َك بببـَّل ُي ْم َك َك َك ّك بَك ُي ْم َك ُي اَك ُي ْم ال َك ِل
َك َك اِل َك ُي بَك ِّي ُي
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian berpikir.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 219) Begitupun pada pada firman-Nya:
ِل َك َك ٌت . َك ِل ْم َك ْم ُي ِل ُي ْم َك َك َك ُي ْم ِل ُي ْم َك. ا ِلا ْمـ ُي ْم ِل ِل ْم َك
اَك ْم
َك ِل
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orangorang yang yakin dan juga pada diri kalian sendiri. Maka apakah kalian tidak memperhatikan?” (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 20-21) Dengan dimulainya abad 21, para pendidik Amerika menolak dualisme.Bagi mereka, memisahkanpengetahuan sebagai praktis atau tidak praktis, konkret atau abstrak, nyata atau teoritis, berguna atau tidak berguna berarti tidak menghargai hubungan alami yang menggabungkan segala hal. 41
40
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an( Bogor: Litera Antarnusa: 2011),
41
Elaine B. Johnson, Op. Cit., hal. 50.
hal. 386.
39
c. Prinsip-prinsip CTL Dalam pendekatan CTL terdapat tiga prinsip pokok, yakni: 1) Prinsip Kesalingbergantungan Menurut ilmuwan modern, segala sesuatu di alam semesta saling bergantung dan saling berhubungan. Segala sesuatu baik manusia maupun bukan manusia, benda hidup atau tidak hidup, terhubung satu sama lain. Semuanya berperan dalam pola jaringan hubungan yang rumit.42 Prinsip kesalingbergantungan mengajak pendidik untuk mengenali keterkaitan dengan pendidik lainnya, dengan siswasiswa mereka, dengan masyarakat dan dengan bumi.Prinsip kesalingbergantungan ada di dalam segalanya memungkinkan siswa untuk membuat hubungan yang bermakna. Pemikiran kritis dan kreatif akan menjadi mungkin dengan mengidentifikasi hubungan yang akan menghasilkan pemahaman-pemahaman baru.43 Di samping itu, prinsip ini juga mendukung kerja sama. Dengan bekerja sama, para siswa terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Vygotsky, sebagaimana dikutib oleh Ratna Wilis Dahar, menyarankan bahwa bekerja sama dengan berinteraksi sosial itu penting saat siswa menginternalisasi pemahaman-pemahaman yang sulit, masalah-masalah dan proses. Selanjutnya, proses internalisasi 42 43
Ibid.,hal. 69. Ibid., hal. 72-73.
40
melibatkan penggunaan
rekonstruksi
aktivitas
bahasa.Penggunaan
psikologis bahasa
dengan
secara
aktif
dasar yang
didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi siswa untuk menegosiasi kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka.44 2) Prinsip Diferensiasi Kata diferensiasi merujuk pada dorongan terus-menerus dari alam semesta untuk menghasilkan keragaman yang tak terbatas, perbedaan, dan keunikan.Prinsip diferensiasi dalam CTL mendorong para pendidik untuk menciptakan pembelajaran aktif yang
berpusat
pada siswa.
Prinsip diferensiasi
ini akan
membebaskan para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi mereka, memunculkan cara belajar mereka sendiri, berkembang dengan langkah mereka sendiri. 45 Selain memungkinkan adanya keunikan, keragaman dan kreativitas, prinsip diferensiasi juga mengajakpara siswa untuk bersatu dan bekerja samadalam pencarian makna, pengertian dan pandangan baru. Prinsip diferensiasi ini
juga menantang para
siswa untuk saling menghormati perbedaan dan keunikan masingmasing, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama dan untuk menghasilkan gagasan yang baru dan berbeda. Keunikan individual ini menuntut keterampilan mengajar dan fasilitas pembelajaran yang disesuaikan dengan prinsip belajar secara individual agar siswa belajar menurut cara dan kecepatan 44 45
Ratna Wilis Dahar, Op. Cit., hal. 153. Elaine B. Johnson, Op. Cit., hal. 77-78.
41
tersendiri, mengetahui kebutuhan dan minat sendiri yang unik dan lain dari siswa yang lain untuk mencapai tujuan yang dirumuskan sendiri. 46 3) Prinsip Pengaturan Diri Prinsip pengeturan diri menyatakan bahwa setiap entitas terpisah dialam
semesta
memiliki
potensi
bawaan,
suatu
kewaspadaan atau kesadaran yang menjadikannya sangat berbeda. Prinsip pengaturan diri ini meminta para pendidik untuk mendorong siswa agar mengeluarkan seluruh potensinya. Berdasarkan prinsip ini, sasaran utama CTL adalah menolong
siswa
untuk
mencapai
keunggulan
akademik,
memperoleh keterampilan karier dan mengembangkan karakter dengan cara menghubungkan tugas sekolah dengan pengalaman serta pengetahuan pribadinya.47 Pengorganisasian diri pada siswa akan tampak ketika siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapatkan manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian auntentik.
46 47
Nasution, Teknologi Pendidikan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hal. 49. Elaine B. Jonhnson, Op. cit., hal. 81-82.
42
d. Komponen-komponen CTL CTL merupakan suatu pendekatan pendidikan yang berbeda, melakukan
lebih dari sekedar menuntun siswa menggabungkan
subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan mereka sendiri. CTL memiliki delapan komponen sebagai berikut 48: 1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna; 2) Melakukan pekerjaan yang berarti; 3) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri; 4) Bekerja sama; 5) Berpikir kritis dan kreatif; 6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; 7) Mencapai standar yang tinggi; dan 8) Menggunakan penilaian autentik.
e. Implementasi pembelajaran dengan pendekatan CTL Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan CTL adalah sebuah pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan otak untuk mencari makna, sedangkan otak itu sendiri menginterpretasi informasi-informasi yang disalurkan melalaui pancaindera, guru dituntut untuk merancang pembelajaran yang menarik perhatian kelima indera.Setiap indera akan membawa informasi ke wilayah otak tertentu yang sesuai.
48
Ibid, hal. 65-66.
43
Materi pelajaran merupakan pengetahuan yang hampir tanpa batas, sedangkan konteks biasanya disamakan dengan lingkungan, yaitu dunia luar yang dikomunikasikan melalui pancaindera dan ruang yang kita gunakan setiap hari. Selain memanfaatkan pengaruh lingkungan terhadap struktur fisik otak, para guru juga dapat memanfaatkan peranan tubuh dalam proses belajar karena otak dan tubuh adalah bagian yang terpadu. Ketika guru melibatkan siswa dalam kegiatan fisik seperti melakukan gerak tubuh, menari, berolahraga, ikut bernyanyi atau bernyanyi sendiri, maka akan meningkatkan kemungkinan para siswa untuk mengingat apa yang mereka pelajari49. Agar informasi dapat disimpan, informasi tersebut harus berjalan dari memori jangka pendek aktif menuju memori jangka panjang.Tugas guru adalah membantu siswa mengirimkan informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Pengiriman seperti itu dapat terjadi jika otak mengerti apa yang dipelajarinya 50. Selain itu, dalam pendekatan CTL, guru juga berperan sebagai fasilitator tanpa henti (reinforcing),yakni membantu siswa menemukan makna (pengetahuan).Setiap siswa memiliki response potentiality yang bersifat kodrati.Keinginan untuk menemukan makna adalah sangat mendasar bagi manusia.Tugas utama para pendidik
49 50
Ibid, hal. 56. Ibid, hal. 57.
44
adalah memberdayakan potensi kodrati tersebut sehingga siswa terlatih menangkap makna dari materi yang dipelajari. 51 Setiap materi yang disajikan memiliki makna dengan kualitas yang beragam.Makna yang berkualitas adalah makna kontekstual, yakni dengan menghubungkan materi ajar dengan lingkungan personal dan sosial. Sedangkan “kontekstual” itu sendiri antara lain berarti “teralami” oleh siswa. Sebagai langkah implementasi CTL, terdapat sejumlah strategi yang harus ditempuh, yakni52: 1) Pengajaran berbasis masalah; 2) Menggunakan konteks yang beragam; 3) Mempertimbangkan kebinekaan siswa; 4) Memberdayakan siswa untuk belajar sendiri; 5) Belajar melalui kolaborasi; 6) Menggunakan penilaian autentik; dan 7) Mengejar standar tinggi. Adapun langkah yang paling efektif untuk menyatukan isi akademik dengan konteks pengalaman pribadi siswa, terdapat enam metode, yaitu53: 1) Ruang kelas tradisional yang mengaitkan materi dengan konteks siswa; 2) Memasukkan materi dari bidang lain ke dalam kelas;
51
Ibid, hal. 20. Ibid, hal. 21-22. 53 Ibid, hal. 99. 52
45
3) Mata pelajaran yang tetap terpisah, tetapi mencakup topik-topik yang saling berhubungan; 4) Mata pelajaran gabungan yang menyatukan dua atau lebih disiplin ilmu; 5) Menggabungkan sekolah dengan pekerjaan; 6) Model kuliah kerja nyata atau penerapan terhadap hal-hal yang dipelajari di sekolah ke masyarakat. Muttaqien, sebagaimana dikutib oleh Qowaid, telah merumuskan langkah pembelajaran kontekstual sebagi berikut: 1) Dikembangkan pemikiran bahwa peserta didik belajar untuk lebih berpartisipasi aktif dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2) Dalam proses belajar, peserta didik diorientasikan sejauh mungkin untuk bisa menemukan (inquiry) tentang perlunya materi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari; 3) Memberikan permainan yang kreatif dan menyenangkan sehingga dapat menggugah keingin tahuan dan minat peserta didik untuk berpartisipasi aktif; 4) Memberikan tugas bermain peran (role play) untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan standar psikologis peserta didik; 5) Melakukan refleksi pada akhir pembelajaran; dan 6) Melaksanakan penilaian autentik melalui portofolio54
54
Qowaid dkk, Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (SMP)(Jakarta: PT. Pena Citasatria, 2007), hal. 10-11.
46
f. Kendala-kendala dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL Berikut ini beberapa kendala pembelajaran dengan pendekatan CTL 1) Pembelajaran kontekstual mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi, menuntut pemahaman dan keterampilan yang cukup dari guru dan membutuhkan waktu yang lebih panjang; 2) Perencanaan
pembelajaran
kontekstual
dirasa
lebih
rumit
dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional; 3) Penyusunan rangkuman materi kadang memerlukan sarana pembelajaran yang cukup banyak, menyita waktu dan karenanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit; dan 4) Jumlah peserta didik yang kadang berlebih (lebih dari 40 orang dalam satu kelas) sering kali menyulitkan guru dalam melakukan pengamatan dan evaluasi. 55
55
Ibid.,hal. 12-13.
47
Dari pembahasan di atas, dapat penulis garis bawahi bahwa CTL adalah sebuah pendekatan dalam pembelajaran yang
bertujuan menolong
siswa memahami makna dari materi akademik yang mereka pelajari dengan menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Sebagai pembelajaran siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator bagi siswa untuk menemukan makna dari hubungan materi akademis dengan konteks pengalaman siswa. Untuk mencapai tujuan tersebut, CTL menjalankan tiga prinsip pokok meliputi : prinsip kesalingbergantungan, prinsip diferensiasi dan prinsip pengaturan diri yang dalam operasionalnya meliputi delapan komponen, yaitu: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu siswa tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi serta menggunakan penilaian autentik.