Pendekatan Contextual Teaching and Larning (CTL) 2.1.3.1
Hakikat Contextual Teaching and Learning Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar
yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003: 26). Menurut pandangan konstruktivistik bahwa perolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan tertanam dalam benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari individu siswa yang telah bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang. J. Lynn McBrien dan Ronald S. Brandt, dalam The Language of Learning: A Guide to Education Terms, menggambarkan konstruktivisme sebagai pendekatan pembelajaran tentang bagaimana orang belajar (Crawford, 2001: 2). Banyak peneliti mengatakan bahwa setiap individu mengkonstruksi pengetahuan bukan menerima dari orang lain. Mereka juga menggambarkan strategi pengajaran yang didasarkan pada keyakinan bahwa siswa belajar dengan baik ketika siswa mendapatkan pengetahuan melalui eksplorasi dan pembelajaran aktif. Strategi ini dapat mendorong siswa untuk berpikir dan menjelaskan alasan mereka bukan hanya
menghafal dan membaca fakta-fakta, dan membantu siswa untuk melihat hubungan antara tema dan konsep. Menurut University of Washington (Trianto, 2009: 105) mengemukakan bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa-siswa TK sampai dengan SMU untuk menguatkan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan. Selanjutnya, pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa, dan tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan pendapat Blanchard (Trianto, 2009: 105) bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya. Menurut Bern dan Erckson (2001: 2) menyatatakan bahwa “Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations; and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires” yang diartikan pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan
dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja. Menurut teori pembelajaran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa memproses informasi baru atau pengetahuan sedemikian rupa sehingga masuk akal bagi siswa. Pendekatan kontekstual dalam belajar dan pengajaran mengasumsikan bahwa pikiran secara alami mencari makna dalam konteks, ketika saat siswa berada dalam lingkungan tertentu, dia akan mencari hubungan yang masuk akal dan tampak berguna. Di atas pemahaman ini, teori pembelajaran kontekstual berfokus pada beberapa aspek pembelajaran seperti lingkungan, ruang kelas, laboratorium, dan lain sebagainya. Hal ini mendorong pendidik
untuk
memilih
dan/atau
mendesain
lingkungan
belajar
yang
menggabungkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologis dalam pembelajaran menuju hasil belajar yang diinginkan. 2.1.3.2 Strategi Pembelajaran Kontekstual Strategi pengajaran kontekstual terstruktur menjadi lima bentuk pembelajaran yakni Relating, Experiencing, Applying, Cooperating dan Transferring (Hull, 1999: 3). 1. Relating (berkaitan) Belajar dalam konteks pengalaman hidup yang saling berkaitan, adalah jenis pembelajaran kontekstual yang biasanya terjadi pada anak-anak usia dini. Misalnya pada balita, sumber belajar yang siap di tangan dalam bentuk mainan,
game, dan kegiatan sehari-hari lainnya (Hull, 1999: 3). Selanjutnya menurut Crawford (2001: 3) Relating adalah strategi pembelajaran kontekstual yang paling kuat. Hal ini juga merupakan jantung konstruktivisme. Relating adalah belajar dalam konteks pengalaman hidup seseorang atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Dalam kondisi ideal, Guru menggunakan keterkaitan ketika mereka menghubungkan konsep baru untuk sesuatu yang sama sekali asing bagi siswa, sehingga dapat menghubungkan apa yang siswa sudah tahu dengan informasi baru. Guru hendaknya merencanakan situasi di mana siswa mendapat pengalaman belajar yang berarti. Perencanaan yang cermat diperlukan karena siswa sering tidak secara otomatis menghubungkan informasi baru dengan mudah. Penelitian menunjukkan bahwa, meskipun siswa mungkin membawa pengalaman atau pengetahuan yang relevan dengan situasi pembelajaran yang baru, mereka gagal untuk mengenali relevansinya. Ketika guru menyediakan lingkungan di mana siswa mengaktifkan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya dan mengetahui relevansi dari pengetahuan itu, maka siswa dapat dengan mudahnya menggunakan keterkaitan. 2. Experiencing (mengalami) Relating menghubungkan informasi baru dengan pengalaman hidup atau pengetahuan sebelumnya yang telah dialami siswa. Namun pendekatan ini tidak mungkin terjadi jika siswa tidak memiliki pengalaman yang relevan atau pengetahuan sebelumnya. Guru dapat mengatasi kendala ini dengan membantu siswa membangun pengetahuan baru yang terjadi di dalam kelas, misalnya kegiatan
manipulatif, kegiatan pemecahan masalah serta kegiatan laboratorium dan proyek. Strategi ini merupakan pembelajaran dengan melakukan eksplorasi, discovery, dan invention (Crawford, 2001: 5). 3. Applying (penerapan) Strategi Applying adalah pembelajaran dengan menempatkan konsep untuk digunakan (Crawford, 2001: 8). Jelas bahwa, siswa akan menerapkan konsep ketika mereka terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah dan proyek-proyek. Guru juga dapat memotivasi kebutuhan untuk memahami konsep dengan menggunakan latihan yang realistis dan relevan. 4. Cooperating (bekerja sama) Banyak melakukan latihan pemecahan masalah, terutama ketika siswa dilibatkan pada situasi yang realistis dan kompleks. Siswa yang bekerja secara individual akan merasa kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Di sisi lain, siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dapat menangani masalah yang kompleks dengan sedikit bantuan dari luar. Oleh karena itu, Guru menggunakan strategi Cooperating yakni belajar dalam konteks berbagi, merespon dan berkomunikasi dengan siswa lainnya (Crawford, 2001: 11). Bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar siswa yang merasa kurang percaya diri dapat mengajukan pertanyaan tanpa merasa malu. Siswa akan lebih mudah menjelaskan pemahaman konsep kepada siswa ain atau merekomendasikan pemecahan masalah dalam kelompok. Dengan mendengarkan siswa lain dalam kelompok, siswa mengevaluasi dan merumuskan sendiri pemahamannya. Mereka belajar untuk menghargai pendapat orang lain karena
kadang-kadang pendapat yang berbeda terbukti menjadi pendekatan yang lebih baik untuk masalah ini. Crawford (2001: 11) mengemukakan bahwa ketika sebuah kelompok berhasil dalam mencapai tujuan bersama, maka siswa yang memperoleh pengalaman dari bekerja kelompok lebih tinggi keyakinan dan motivasinya daripada siswa yang bekerja sendiri. 5. Tranferring (mentransfer). Strategi Transferring adalah belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, atau mentransfer, menggunakan dan membangun pengetahuan dalam konteks baru atau pada situasi yang belum tercakup di dalam kelas (Crawford, 2001: 14). Sementara National School-to-Work Opportunities Office (Trianto, 2009: 110), merekomendasikan implementasi CTL dengan memepertimbangkan beberapa hal, antara lain : 1) kurikulum, proses pembelajaran, dan assessment; 2) hubungan dengan dunia kerja, komunitas organisasi, dan konteks terkait; 3) pengembangan bagi guru dan pengusaha; 4) organisasi sekolah; 5) komunikasi; dan 6) waktu untuk membuat rencana dan pengembangan. Berdasarkan rekomendasi tersebut, maka pengembangan CTL berorientasi pada beberapa hal, yaitu: 1) berbasis program; 2)menggunakan multiple konteks; 3) menggambarkan keanekaragaman siswa; 4) mendukung belajar mandiri; 5) menggunakan grup belajar yang saling tergantung; dan 6) menggunakan penilaian yang autentik. 2.1.3.3 Komponen Pendekatan Contextual Teaching and Learning
Contextual Teaching and Learning memiliki lima elemen belajar yang konstruktivistik, yaitu pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge), pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge), dan melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Selain elemen pokok, CTL juga memiliki karakteristik yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya, yaitu: kerja sama, saling menunjang, comfortable),
menyenangkan, belajar
mengasyikkan,
dengan
bergairah,
tidak
membosankan
pembelajaran
(joyfull,
terintegrasi,
dan
menggunakan berbagai sumber siswa aktif (Trianto, 2009: 110). Contextual Teaching and Learning adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Johnson (2012: 67) mengemukakan bahwa sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut. 1. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna. Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pengajaran dan pembelajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu penegtahuan alam, atau sejarah dengan
pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi alasan untuk belajar (Johnson, 2012: 90). 2. Melakukan pekerjaan yang berarti adalah dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai. 3. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri. Pembelajaran mandiri adalah suatu proses belajar yang mengajak siswa melakukan tindakan mandiri yang melibatkan terkadang satu orang, biasanya satu kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang bermakna (Johnson, 2012: 152-153). 4. Bekerja sama adalah proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok, membantu siswa untuk mengerti bagaimana berkomunikasi atau berinteraksi dengan yang lain dan dampak apa yang ditimbulkannya. Belajar dengan bekerja sama dapat membantu siswa untuk menemukan bahwa ternyata cara pandang mereka hanyalah satu diantara cara pandang yang lain, dan bahwa cara mereka melakukan sesuatu hanyalah satu kemungkinan dari berbagai kemungkinan lain. 5. Berpikir kritis dan kreatif memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan dengan cara terorganisasi, merumuskan pertanyaan inovatif dan merancang solusi orisinil. 6. Membantu individu tumbuh dan berkembang. CTL mengharapkan guru untuk mengetahui segala hal tentang siswanya di sekolah baik minat, bakat, gaya belajar, ciri emosi, dan lain sebagainya. Ketika guru membantu siswa
untuk percaya pada diri mereka sendiri dan untuk menemukan jalan mereka, guru menginspirasi mereka untuk mencapai standar akademik yang bahkan paling sulit serta menginspirasi siswa untuk mengembangkan potensi yang terpendam dan mengembangkan kecerdasan. 7. Mencapai standar yang tinggi adalah menyiapkan siswa mandiri, produktif dan cepat merespon atau mengikuti perkembangan teknologi dan jaman. CTL berfokus pada standar akademik yang tinggi, karena CTL mengajak siswa untuk berani menerima tujuan-tujuan berat pendidikan serta membuat tujuan-tujuan tersebut menjadi jelas dan eksplisit, menjadikan tujuan-tujuan tersebut bermakna dan memasukkannya ke dalam tugas sekolah (Johnson, 2012: 264). 8. Penilaian autentik berfokus pada tujuan, melibatkan pembelajaran secara langsung, mengaharuskan membangun keterkaitan dan kerja sama dan menanamkan tingkat berpikir yang lebih tinggi. Tugas-tugaa yang diberikan dalam penilaian autentik mengharuskan penggunaan strategi-strategi tersebut, maka siswa bisa menunjukkan penguasaannya terhadap tujuan pelajaran dan kedalaman pemahamannya dan pada saat yang bersamaan meningkatkan pengetahuan dan menemukan cara untuk memperbaiki diri. Penilaian autentik mengajak para siswa untuk menggunakan pengetahuan akademik dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna (Jhonson, 2012: 288) Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, guru dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama CTL yakni sebagai berikut: 1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (constructivism). 2. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups) yaitu agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain, maka pembelajaran hendaknya selalu dilaksanakan dalam kelompok-kelompok belajar atau proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok. 3. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry), yaitu agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta). 4. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan (questioning). Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan menunjukkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang baru yang didatangkan di kelas.
5. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Guru memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar. 6. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. 7. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment), adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya itulah hakekat penilaian yang sebenarnya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003: 10-20). 2.3.1.4
Langkah-langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning Berns dan Erickson (2001: 3) mengemukakan bahwa salah satu
pendekatan pembelajaran yang menggunakan atau berasosiasi dengan CTL adalah pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning (PBL)), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks bagi siswa untuk belajar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dalam rangka memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Tahapan pembelajaran berbasis masalah menurut (Arends 2008: 57), yaitu: Tabel 2.1 Sintaks untuk Model Pembelajaran Berbasis Masalah Fase
Perilaku Guru
Fase 1 . Memberikan
Guru
membahas
tujuan
pelajaran,
orientasi kepada siswa
mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah
Fase 2. Mengorganisasikan
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan
siswa untuk meneliti
dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.
Fase 3. Membantu
Guru mendorong siswa untuk mendapatkan
investigasi mandiri dan
informasi
kelompok
eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi
Fase 4. Mengembangkan
Guru membantu siswa dalam merencanakan
dan mempresentasikan
dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat,
artefak dan exhibit
seperti laporan, rekaman video dan modelmodel
yang
dan
tepat,
membantu
melaksanakan
mereka
untuk
menyiapkannya kepada orang lain. Fase 5. Menganalisis dan
Guru membantu siswa melakukan refleksi
mengevaluasi proses
terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mengatasi masalah
mereka gunakan