BAB II KONSEP DIVERSI DAN RESTROACTIVE JUSTICE DALAM PENEGAKAN HUKUM A. Sejarah Diversi dan Restroactive Justice 1. Sejarah Diversi Perkembangan hukum tidak dapat kita lepaskan dari perkembangan yang terjadi di masyarakat. Komuniti atau masyarakat adalah penduduk yang masing-masing anggotanya baik pribadi maupun kelompok saling mengadakan hubungan karena adanya naluri untuk hidup bersama dengan orang lain untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya namun tentunya masing-masing orang dilandasai Hak dan Kewajiban agar terciptanya suatu keteraturan. Adanya aturan adalah sebagai ketertiban didalam masyarakat kiranya perlu diregulasikan secara baik atau relevan dengan kebutuhan di masyarkat. Khususnya yang berkaitan dengan pemidanaan atau penal polcy yang langsung menyangkut masa depan, status, atau nasib seseorang yang diancam pemidanaan sebagaimana yang dikatakan oleh Bagir Manan bahwa Kaidah-kaidah pemidanaan, terutama kaidah pidana materiil (substantive criminal law), adalah kaidah yang mengandung muatan membatasi atau mengurangi (abridging), bahkan dapat mencabut atau meniadakan hak asasi (elimating) hak asasi manusia. Setiap bentuk sanksi pidana merupakan pengurangan atau pencabutan hak asasi manusia, karena akan mencabut kemerdekaan (pidana badan), perampasan harta benda, bahkan nyawa (pidana mati). Untuk menghindari pelanggaran hak asasi yang tidak cukup beralasan (unreasonable), apalagi sewenang-wenang (arbitraty), perlu pengaturan yang baik
Universitas Sumatera Utara
dalam tata cara (criminal law procedure). 32 Berarti dengan kata lain bahwa setiap orang haruslah diangap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bahkan sekalipun seseorang di anggap bersalah dan telah dijatuhi hukuman tetap memperhatikan hak-hak dari terdakwa itu sendri. Menurut Wirdjono Prodjodikkoro tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan. 33 Ada juga yang mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan dapat dilihat melalui 2 (dua) teori mengenai alasan-alasan yang membenarkan (justificaion) pencatuhan hukuman (sanksi) yaitu teori Absolut (vergeldingstheorie) dan Teori Relatif (doeltheorie) 34 Menurut Theorie Absolut (vergeldingstheorie) tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengasaraan terhadap orang lain atau anggota Masyarakat, sedangkan Roeslan Saleh mengatakan sebagai reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik. 35 Menurut
Theorie
Relatif
(doeltheorie),
tujuan
pemidanaan
adalah : a. Menjerakan, agar si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak menglanginya lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum agar mengatahui jika melakukan perbuatan yang sama, akan mengalami hukuman yang serupa atau disebut pula general prenventive 32
Bagir Manan, Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana, www.situshukum.com, hal. 5 Wirdjono Prodjodikkoro, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta. Sinar Grafika. Mei, 2005, Cetakan Pertama, hal. 4 34 Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, Mei 2005, Cetakan Pertama, hal. 4 35 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 5 33
Universitas Sumatera Utara
b. Memperbaiki pribadi si terpidana, berdasarakan perlakuan dan pendidikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang baik dan berguna c. Membinasakan (menjatuhkan pidana mati) atau membuat terpidana tidak berdaya dengan menjatuhkan seumur hidup 36 Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzonderesanctierecht), sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana yang difungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keadilan. Namun disatu sisi apakah tidak ada jalan lain di luar pemidanaan? Ketidakpuasaan terhadap penal sistem khususnya terhadap tindak pidana anak yang pula menekankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak melahirkan suatu cara baru yaitu diversi dan restroactivejustice. Anak yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana sangat besar dipengaruhi oleh faktor diluar anak tersebut seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusian untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yan melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap
36
Rudy satriyo Mukantardjo, “Ketentuan Pidana Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, (Makalah Disampaikan Pada Acara Ceramah Peningkatan Pengetahuan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 27 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
lebih baik untuk anak. Berdasarkan pikiran tersebut maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa indonesia disebut diversi atau pengalihan. 37 Sebelum berbicara tentang diversi ada baiknya akan dijelakan mengenai diskresi sebagai pengantar ke konsep diversi. Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya 38 Dalam buku Juvenile Delinquency yang ditulis oleh Clemens Bartolla ditulis beberapa faktor yang mempengaruhi aparat penegak hukum yaitu polisi dalam melakukan diskresi terhadap anak di Amerika Serikat terdapat beberapa faktor yang sering menjadi dasar tak tertulis dalam diskresi. Pertama sifat keseriusan dari pelangaran yang dibuat anak yakni keberartian dari pelangaran tersebut terhadap bahaya yang ditimbulkannya. Faktor kedua tanggapan dari warga atau masyarakat terhadap pelaku atau pelanggaran yang dibuatnya. Jika masyarakat sangat menghendaki anak diteruskan ke pengadilan, maka polisi akan sulit untuk melepaskannya kembali ke masyarakat dan meneruskannya ke pengadilan. faktor ketiga jenis kelamin dari pelaku perempuan lebih suka dikembalikan polisi kepada orang tua dibanding anak laki-laki. Hal ini karena pertimbangan perlindungan anak permpuan yang sulit jika diproses di Pengadilan atau dipenjara. Anak perempuan yang diteruskan ke Pengadilan untuk kasus seperti pelacuran, pembangkangan terhadap orang tua dan melarikan diri dari rumah. 37
Marlina, S.H., M. Hum, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, 2010, Cetakan Pertama, hal. 1 38 www.hukumonline.com
Universitas Sumatera Utara
Faktor ke empat ras warga minoritas lebih sering diteruskan ke Pengadilan dibanding kelompok mayoritas 39, faktor tingkatan ekonomi dan sosial menjadi pertimbangan kelima dalam pelaksanaan diskresi. Faktor keenam yaitu kondisi individu pelaku sendiri menjadi pertimbangan diskresi oleh polisi seperti umur anakriwayat pelangaran yang dibuat anak, pergaulan, situasi keluarga dan hubungan baik dengan orang tua. Jika kondisi lingkungan dan keluarganya tidak mendukung perbaikan anak maka polisi akan meneruskan kasusunya ke pengadilan. faktor ke tujuh mengenai interaksi antara polisi dan anak pelaku saat penanganan kasus. Anak yang sopan dan bekerjasama dengan baik akan lebih disukai untuk dikembalikan ke rumah daripada anak yang tidak sopan dan faktor terakhir berasal dari tekanan masyarakat di luar polisi dan anak seperti media massa dan departemen atau bagaian dari polisi yang menangani anak tersebut. Faktor-faktor itulah yang menimbulkan adanya diskresi oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi masih menjadi bagian kontroversial karena pengambilan kebijakan penghukuman mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Dalam hal ini mengizinkan suatu pembedaan tindkan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehingga dapat menimbulkan permsalahan dalam hal keadiian terhadap masyarakat. Menurut Bagir Manan diskresi adalah ranah hukum administrasi. Diskresi (beleidsvrijheid) merupakan kelengkapan yang secara inheren melekat pada setiap administrasi negara atau setiap pengelola organisasi. Lebih lanjut
39
Thedoere N. Ferdinand dan Elimer C. Luchterhand. “Inner City Youths, the Police, the Juvenile Court, and Justice”, Social Problems 17 (spring 1970), hal. 510-527 dan Goldman, The differential Selections of Juvenile Offender for Court Appearances; Piliavin and Briar. “Police Encounters With Juveniles”. Dikutip dari buku Clemens Bartollas
Universitas Sumatera Utara
mengatakan Diskresi merupakan instrumen memecahkan masalah, mendorong dinamika dan kreativitas dan lain-lain yang tidak dapat dijangkau oleh hukum (legality, rechtmatigheid). Ada yang melukiskan hubungan antara hukum (law, legislation) dengan diskresi (discretion) bak hubungan antara rangka (susunan tulang) dengan otot (daging). Diskresi sebagai otot akan memungkinkan susunan tulang (peraturan, hukum) bergerak atau digerakkan secara teratur. Harus diakui, dalam beberapa analisis atau praktik, terkesan atau dikesankan, seolah-olah diskresi mengandung muatan yang membenarkan tindakan di luar kerangka hukum (out of legal frame). Hal ini terjadi karena istilah yang dipergunakan dan fungsi diskresi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa apabila ditinjau dalam ilmu hukum administrasi Indonesia yang berakar dari Belanda dan Jerman, lazim dipergunakan sebutan Freis Ermessen atau beleidsvrijheid yang lazim diterjemahkan sebagai kebebasan bertindak. Karena bebas bertindak, secara gampang dimaknakan sebagai boleh bertindak di luar hukum. Ungkapan lain untuk membedakan tindakan menurut hukum dan diskresi adalah rechtmatigheid dan doelmatigheid. Tindakan menurut atau berdasarkan hukum hanya dapat dilakukan kalau ada dasar hukum (legality, legaliteitsbeginsel). Tidak demikian dengan diskresi. Dalam diskresi yang dikedepankan adalah manfaat atau tujuan. Pemahaman-pemahaman seperti ini tidak tepat. Paling tidak, ada tiga landasan diskresi yang benar. 1. Pembuat diskresi harus mempunyai wewenang menurut hukum. Tanpa wewenang, suatu diskresi adalah tindakan sewenang-wenang (arbitrary, willekeur).
Universitas Sumatera Utara
2. Tujuan diskresi tidak boleh bertentangan dengan hukum (legal purposeful). 3. Kebebasan dalam diskresi adalah kebebasan memilih (freedom of choice) berdasarkan masalah yang dihadapi yang berada dalam lingkungan landasan pertama dan kedua. Memperhatikan landasan di atas, maka sesungguhnya unsur legality dalam diskresi sama sekali tidak boleh diabaikan. Kebebasan (freedom of choice) ada pada pilihan agar mencapai manfaat sebesar-besarnya tanpa bertentangan dengan hukum. 40 Diskresi yang memberikan kesempatan bagi penegak hukum adalah sebuah kebebasan dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan oleh pribadi seseorang yang mempunyai wewenang kekuasaan. Namun yang perlu diperhatikan bagaimana seseorang petugas secara individu atau kelompok yang punya wewenang dalam menangani suatu kasus untuk mengunakan kebijakan sendiri dalam suatu situasai yang terjadi untuk melakukan atau tidak melakukan. Secara sederhana diskresi menunjukan kebebasan kekuasaan untuk membuat keputusan dengan pertibangan pribadi yang memperhatikan kebaikan dan keadilan bagi semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan pidana. Prakteknya pertimbangan atau pilihan dikresi banyak dipaksakan tidak hanya oleh aturan formal yang ada tapi juga oleh desakan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi atas pilihan yang ada. Desakan-desakan tersebut menjadi alasan petugas menetapkan kebijakan akan tetapi kebijakan yang di tetapkan tidak membuat pelanggaran atas norma-norma hukum lain atau hak-hak yang mestinya dipenuhi.
40
Penegakan Hukum dalam Perkara Pidana, www.situshukum.com
Universitas Sumatera Utara
Alasan tersebutlah yang menjadi salah satu hal penting yang sesuai dengan point-point dari pembuat kebijakan diskresi untuk membuat prosedur
dan
metode kerjanya juga. Oleh karena itu diskresi yang berjalan pada semua bagian dari pembuat sistem peradilan pidana dan berhubungan dengan penggontrolan aparat. Sekarang marilah kita melihat sejarah dari diversi itu sendiri. Menurut catatan sejarah di negara Inggris polisi telah lama melakukan diskresi dan mengalihkan anak kepada proses non formal seperti pada kasus penanganan terhadap anak-anak yang mempergunakan barang mainan yang membahayakan orang lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus untuk anak atas tindak pidannya adalah pada tahun 1833, yakni dengan melakukan proses informal di luar peradilan. 41 Menurut aturan Children Act tahun 1908 polisi diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan pemberian kesehjatraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana. Pemberian perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk program diversi. 42 Di Inggris perkembangan pelaksaaan diversi terhadap anak terus dilaksanakan sampai akhirnya tercatat akhir abad ke 19 yaitu, negara Inggris yang merupakan negara yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan mengunakan peradilan khusus untuk anak atau pengadilan anak. 41
Loraine Geltshorpe dan Nicola Padfield. Op.Cit., hal 29, Yang dikutip dari buku Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam. USU Press. Medan. 2010. hal. 25. DR. Marlina, SH, M.Hum 42 Ibid., Marlina, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1890 di negara Australia semasa berada dalam kolonial Inggris telah melakukan pemisahan peradilan anak dan dewasa dan dilakukan pelatihan dan pendidikan bagi para petugas peradilan untuk melakukan rehabilitasi terhadap anak, sedangkan di Amerika Serikat pembuatan pengadilan anak yang pertama pada tahun 1899 dengan membuat perlakuan hukum khusus bagi pelaku anak. 43 Program yang besar pada abad ke 19 tentang gerakan keselamatan anak 44 yaitu untuk membuat bentuk peradilan yang bersifat informal, lebih memberi perhatian terhadap masalah perlindungan anak secara alami daripada menitik beratkan sifat pelanggaran yang dilakukannya, selain itu untuk memindahkan tanggung jawab dengan memperhatikan kesehjatraan dan kepentingan terbaik untuk anak daripada keadilan terhadap pribadi atau memberikan kekuasaan kepada peradilan untuk menyatakan anak telah bersalah melakukan pelanggaran hukum. 45 Ilmu sosial mempunyai peran untuk melawan sistem yang telah berjalan saat ini paling tidak dengan dua cara. Pertama dari sisi teori labeling yang diakibatkan sistem peradilan pidana formal telah memberikan identitas negatif bagi pelaku anak sehingga membahayakan kehidapan mereka secara sosial. Kedua ada akumulasi dari pengaruh studi evaluasi yang memberikan dukungan kepada kesimpulan umum bahwa kekurangan tersebut menjadi usaha untuk
43
Ibid, hal 24. Yang dikutip dari buku L. Empey dan MC. Stafford (1991), American Delinquency. USA; Homewood Iiinois, hal.59 44 Ibid. Yang dikutip dari buku Anthony M Platt. (1997). The Child Savers; The Invention of Delinquency. Chicago; The University of Chicago Press. Second edition. Enlarged, hal. 139-145 45 Ibid. Yang dikutip dari buku. Folk, Kenneth (Desember 2003) Early Intervention Diversion And Youth Conferencing, A National Review Of Current approach To Diverting Juvenile Frm The Criminal Justice System. Australia Goverment attorney general’s Departement, Canberra, Commonwealth of Australia
Universitas Sumatera Utara
merekapitulasi atau memperbaiki komponen peradilan yang tidak berjalan dalam sebuah sistem peradilan 46 (Folk Kennth (Desember 2003) Early Intervention Diversion And Youth Conferencing, A National Review Of Current approach To Diverting Juvenile Frm The Criminal Justice System. Australia Goverment attorney general’s Departement, Canberra, Commonwealth of Australia) Pada tahun 1960 kedua pemikiran ini digabungkan ketika adanya pertumbuhan yang tinggi terjadinya penyimpangan dan hak hukum dari anak. Akhirnya kedua pemikiran tersebut menghasilkan model kesehjateraan melakukan pendekatan yang berbeda dalam melakukan upaya cara penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, selanjutnya dengan pertimbangan tersebut diharapkan pengambilan keputusan pemidanaan dilakukan melalui perundingan di luar sistem peradilan pidana formal yang ada. Muncie, J. Berpendapat sedikitnya ada tiga komponen berbeda yang diinginkan masyarakat umum berdasarkan pendapat yang dikemukakan Cohen pada tahun 1985. ketidak teraturan yang dikemukakan Cohen yaitu, termasuk :
47
1. Diversi dari kejahatan, jenisnya adalah sejumlah pendekatan baik lembaga pemerintah atau sosial dalam usaha pencegahan kejahatan (crime prevention) 2. Diversi dari penuntutan umum, termasuk tahapan dari polisi atau peradilan anak untuk memindahkan anak muda dari sistem peradilan pidana formal setelah persentuhan awal dan juga kepada keputusan hakim pengadilan 46 47
Ibid Marlina. Op.Cit, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
3. Diversi dari tahanan, termasuk prosedur dan tahapan mencari sanksi alternatif melalui pengecualian dalam memberikan tuntutan dan menjatuhkan hukuman terhadap anak muda atau melalui penahanan yang dibuat dalam kerangka institusi lembaga anak negara. Tiga hal di atas perlu dilakukan untuk mendukung proses kriminal yang dijalankan terhadap anak selain proses yang ada dalam penanganan kriminal secara formal pada umumnya. Di Australia sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 merupakan masa yang panjang dalam proses reformasi untuk mengkritik bentuk perlindungan yang diberikan dalam peradilan pidana anak. Keberadaan peradilan anak (due proces) dan intervensi masalah non kriminal akan dapat memenuhi tuntutan masyarakat dalam menangani perkara anak.
2. Sejarah Restroactiv Justice Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir positivis yang beranggapan bahwa penyelesian kasus tindak pidana hanya bersandarkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat berlawanan dengan pemahaman yang ada bahwa hukum hanya merupakan sarana/upaya hukum terakhir (ultimum remedium). Masalah penegakan hukum pidana dilakukan dalam rangka penanggulangan kejahatan di masyarakat. Hukum merupakan sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakanan kebenaran dan keadilan. Dalam upaya penangulangan kejahatan maka tidak dapat dipisahkan kaitannya dengan politik kriminal (criminal policy), yaitu sebagai usaha rasional
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal maupunj non penal, kedua sarana ini (penal dan non penal) merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Penyelesaian melalui sarana penal dirasa kuranglah efektif. Fungsinya pun kadang-kadang tidak bersifat masksimal (total enforcement). Sarana yang diharapkan berfungsi dengan baik yaitu sarana non penal. Di berbagai negara untuk mengembangkan dan mengimplementasikan Restroactivejustice, PBB dalam kongres ke 10 tentang pencegahan tindak pidana dan perlakuan terhadap para pelanggar (The Tenth UN Congres on Crime Prevention and Treatment of Offenders) yang diadakan di Wina pada awal tahun 2000 telah mengeluarkan resolusi, yaitu Basic Principles on the use of Restroactivejustice Programers in Criminal Matters (UN) 2000 yang kemudian dipertegas dalam Deklerasi Wina tentang tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice “Meeting the Challenges of the Twenty-first Century) dalam butir 27 dan 28 dan kemudian di adopsi dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan bangsa-bangsa Nomor 55/59 tanggal 4 Desember tahun 2000. 48 Konsep Restroactive justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem perdilan pidana tradisional.
48
Nur Rochaeti, Model Restroactive Justice Anak-anak Delinkuen, hal. 13 th 2008
Universitas Sumatera Utara
Konsep tersebut berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Hal ini telah dikemukakan oleh orang-orang yang banyak membahas permasalahan yang berhubungan dengan sistem peradilan pidana secara umum dan khusus meneliti masalah Restroactive justice seperti Braithwaite (Australia), Elmar G. M. Weitekamp (Belgia) Howard Zehr (USA), Kathleen Daly (Australia), Mark S. Umbreit (USA) dari Robert Coates (USA) 49 Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restroactive justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender meditation yang dimulai pada tahun 1970-an di negara Canada. 50 Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban di izinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak hakim. Program ini menganggap pelaku akan mendapatkan keuntugan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapatkan perhatian dan manfaat secara khusus sehinga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak brtanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Dari pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradailan tradisional. 51 49
Elmar G, M. Weitekamp & Hanse-Jurgen Kerner (2003) Retroactive Justice in Context Internatioanal Practices and directions; UK, Willan Publishing First Edition. 50 Allison Morris & Gabrielle Maxwell (2001) Retroactive Justice for Juvenile Conferencing, Mediation and Circle, Oxford-Portland Oregon USA, Hart Publishing, hal.4, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana; Marlina, SH, M.Hum 51 Howard Zehr, (1990, Changging Lenses; A New Focus for Crime and Justice, Pensylvania; Herald Press, Scottdale,. Hal 158-174, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Para pengamat dan praktisi yang membahas tentang restroactive justice menyimpulkan selama ini korban secara esensial tidak di ikut sertakan dalam proses peradilan pidana tradisional. Para korban hanya dibutuhkan sebagai saksi jika diperlukan, tetapi dalam kebijakan pengambilan keputusan mereka tidak dilibatkan sama sekali. Pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh hakim berdasarkan pemeriksaan selama proses pengadilan. bagi pelaku keterlibatan mereka dalam pengadilan hanya bersifat pasif saja, kebanyakan peran dan partisipasi mereka diwakili dan disuarakan oelh pihak pengacaranya. Praktek pelaksanaan victim offender maditation didapatkan perlakuan dan peran serta yang berbeda dengan peradilan tradisional. Perlakuan tersebut adalah peran serta korban yang terlibat langsung dalam pembuatan kesepakatan hukuamn, sehingga dapat menentukan hasil keputusan yang terjadi. Dalam proses victim offender maditation bukan hanya korban yang menjadi fokus peran, tetapi pelaku juga dilibatkan secara langsung dan dapat berperan dalam perumusan keputusan sehingga teraprestasi secara nyata dan langsung. Perkembangan konsep Restroactive justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa negara seperti Australia, Canada, Inggris dan wales, New Zaeland dan beberapa negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang lebih sering membauat perkumpulan dengan negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restroactive justice. Michael Tonry pada tahun 1999 memulai survey terhadap kebijakan pemidanaan orang Amerika dengan hasil penelitiannya mendapatkan beberapa konsep yang hidup mengenai pemidanaan sampai
Universitas Sumatera Utara
sekarang 52 yaitu structured sentencing (pemidanaan struktural) riskbased sentencing (pemidanaan berdasarkan resiko) indeterminate (pemidanaan yang tidak menentukan) dan restroratived/community justice (pemulihan/keadilam masyarakat). Jadi restroactive justice termasuk salah satu konsep pemidanaan yang dikembangkan dari sudah berjalan di Amerika Serikat Menurut pandangan Michael Tonry restroactive justice mempunyai pengaruh besar karena kemapuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam proses peradilan. Program
restroactive
justice
telah
berkembang
dengan
pesat
(proliferating) ke seluruh penjuru dunia dalam waktu singkat. Titik awal untuk merubah sistem peradilan anak di beberapa negara dan alasan yang dikemukanan terhadap penanganan pelaku anak merupakan alasan untuk menerapkan konsep baru yaitu restroactive justice. konsep ini relevan untuk transformasi semua bagian dari sistem peradilan pidana kepada proses yang tepat artinya pada setiap tingkatan peradilan atau lembaga dari aparat penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana dapat di alihkan yang termasuk kepada proses restroactive justice. Sebelum konsep ini dilaksanakan perlu memperhatikan kondisi masyarakat saat ini dan pada masyarakat mana pelaksanaanya akan dimulai termasuk kondisi budaya, persiapan aparat penegak hukum, aturan sistem peradilan pidana yang ada, dukungan undang-undang dan kesiapan dana negara untuk melaksanakan konsep tersebut mulai dari sebuah pilot project-nya. 52
Michael Tonry (199), The Fragmentation of sentencing and Correction in America, Washington DC; National Institute of Justice. hal 3-4, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
B. Prinsip Dan Tujuan Diversi 1. Prinsip Diversi Sebagaimana kita ketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya. 53 Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah pekara tersebut diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan, maka kita akan berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang harus dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. Hal ini yang menjadi prinsip mengapa dilakukan diversi khusunya bagi tindak pidana anak, dimana untuk mewujudkan kesehjatraan bagi anak itu sendiri. Melalui diversi dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan dan tidak menjadi resedivis.
C. Tujuan Diversi Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradailan anak pada abad ke-19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa, 53
www.hukumonline.com
Universitas Sumatera Utara
prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekersaan dan pemaksaan Tindakan kekerasaan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. Penghindaran penangkapan dengan kekerasan
dan
pemaksaan
menjadi
tujuan
dari
pelaksanaan
diversi.
Tujuannya menegakan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh. Diversi sebagai usaha mengajak masyarkat untuk taat dan menegakan hukum negar, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum tidak terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan menempatkan kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan berbeda. Pelaksanaan diversi bertujan mewujudkan keadilan dan penegakan hukum secara benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana. Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment) tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu : 54 1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat 2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan 3. Menuju proses restroative justice atau perundingan (balanced or restroative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat, pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. 54
Peter C. kratcoski (2004). Correstional Counseling and Treatment. USA: Waveland Press Inc. hal.160. yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau kriteria yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model informal yang tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan, berpikir untuk bedamai) keadaan ini merupakan satu tindakan untuk melakukan perubahan, pengembalian, penyembuhan pada korban dan pertanggungjawaban pelaku. Secara konteks variabel sepeti pengorganisasian, kedudukan dan faktor situasi juga relevan dalam pelaksanaan diversi. Isu kunci kemampuan sebuah organisasi dapat mengontrol perilaku anggotannya dengan mengawasi jalanya aturan dan praktek pelaksanaanya agar tidak dipengaruhi oleh keinginan pribadi atau sebagain dari masyarakat dengan prioritas atau standar kemampuan.
D. Prinsip dan Tujuan Restroactive Justice Tentang konsepsi restroactive justice sebenarnya bukan hal yang baru atau asing bagi masyarakat indonesia, karena selama ini masyarakat indonesia dengan warisan keanekaragaman adat/budaya (kearifan lokal) yang telah mempunyai mekanisme bermasyarakat dan penyelesaian masalah yang mampu diandalkan untuk menagani anak yang berhadapan dengan hukum yakni anak yang melakukan tindakan-tindakan melangar norma ataupun diduga melangar ketentuan hukum yang berlaku. Menurut David Fogel, restroactive justce model diajukan kaum Abolisinonis yang mengangap bahwa sistem perdilan pidana bermasalah atau cacat struktural sehinga harus diubah dasar-dasar struktural dari
Universitas Sumatera Utara
sistem tersebut. Analisis paham Abolisinonis menurut Brants dan Silvis sebagaimana dikutip Romli Atmasasmita lebih banyak ditujukan terhadap kegagalan dari sistem peradilan pidana dibandingkan keberhasilannya. 55 Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Canada pada tahun 1998 memberikan penjelasan kembali terhadap defenisi restroactive justice yang dikemukakan oleh Tony F. Marshall. Susan sharpe mengusulkan ada 5 prinsip kunci dari restroactive justice yaitu : 56 1. Restroactive
justice
invites
full
participation
and
consensus
(restroactive justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus) artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas. Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku harus diikutkan. Kalu tidak maka akan berjalanlah peradilan tradisional 2. Restroactive justice seeks to heal what is broken (restroactive justice berusaha
menyembuhkan kerusakan/kerugian
yang
ada akibat
terjadinya tindakan kejahatan) dalam hal ini proses restroactive justice tersebut haruslah mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya untuk
55
www.google.com U.S Departement of Justice. (1999). Balanced and Restroactive justice. USA: Office of Juvenile Justice and Delinqency Prevention. Office of Justice Program, hal.5-6, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina 56
Universitas Sumatera Utara
menunjukan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan untuk memperbaiki semuanya 3. Restroactive justice seeks ful and direct accountability (restroactive justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh). Pertangguungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka melangar hukum, dia juga harus menunjukan kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan msyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi 4. Restroactive justice seeks to recinite what has been devided (restroactive justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindaka kriminal) dalam proses ini restroactive justice berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antra korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
5. Restroactive justice seeks to strengthen the community in order to prevent further harms (Restroactive justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya) kerusakan yang terjadi akibat dari kejahatan memang tidak dapat dihindarkan, tetapi dalam hal ini kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat Prinsip-prinsip di atas tersebut sebenarnya telah dimulai yang mana dalam Draft Bill yang dpublikasikan di Afrika pada tahun 1998 yang merupakan langkah reformasi hukum terhadap perdilan anak di Afrika Selatan di dalamnya terdapat prinsip restroactive justice, yaitu menganjurkan rekonsiliasi, restitusi dan pertanggungjawaban dengan melibatkan pelaku, orang tua pelaku atai keluarga korban dan juga masyarakat. Adapun tindakannya berupa : 57 1.
Membantu perkembangan anak dalam kepekaan yang bermatabat dan bernilai. Mengubah pandangan perahatian anak tehadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dengan menjaga rasa tanggungjawab anak terhadap perbuatannya dan melindungi kepentingan korban dan masyarakat
2.
mendukung rencana rekonsiliasi dalam proses restoractive justice
3.
keterlibatan orang tua, keluarga, korban dan masyarakat dalam proses peradilan anak untuk mendukung reintegerasi anak dalam syarat yang ditentukan
57
Allison Morris and Gabrielle Maxell. O.Cit, gal. 114 “restorative justice means the promotion of reconcilations and responsibilitry through the involvement a a child, a child’s parent, family members, victims and communities”, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Berikut beberapa prinsip yang terkait dalam konsep restroactive justce yang termuat dalam Draft Declaration of Basic Principles on The Use of Restroactive justce Programer in Criminal Matters58 1.
Program restroactive justce berarti beberapa program yang mengunakan proses restroactive atau mempunyai maksud mencapai hasil restroactive
2.
Restroactive outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari proses restroactive justce. Contoh; restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan mengembalikan korban dan/atau pelaku
3.
Restroactive process dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban, pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan dicampuri oleh pihak ketiga
4.
Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program restroactive justce
5.
Facilitator hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi partisipasi keikut sertaab korban, pelaku dalam pertemuan. Perbedaan
penafsiran
restroactive
justce
dimasing-masing
negara
sangatlah wajar, akan tetapi memiliki makna/maskud yang sama yaitu untuk mengembalikan korban, pelaku dan masyarkat pada kondisi semula sebelum tindak pidana terjadi. 58
Draft beberapa elemen dari Declaration of Basic Principles on the use of Restroactive Justice Programmer in Criminal Matters, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Adapun menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep restroactive justce harus memperhatikan beberapa hal yaitu : 1.
Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antar individu-individu yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupaka pelanggaran hukum
2.
Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana haruslah melakukan rekonsiliasi para pihak-pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat dari kriminal yang terjadi
3.
Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan masyarakat dan bukan didominisasi oleh negara dengan pelanggaran dari proses penyelesian Pendekatan restroactive justice telah menjadi model dominan dari sistem
peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Penyelesaian perkara pada umunya merupakan penerapan ganti rugi oleh pelaku dan keluarganya kepada korban atau keluarganya untuk menghindari konsekuensi dari balas dendam. Model penyelesaian restroactive justice nerupakan suatu proses di luar peradilan formal. Penanganan yang dijalankan dengan memperhitungan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku dan masyarkat. Konsep ini di mulai dan berawal dari pengertian bahwa kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran/pengrusakan terhadap suatu norma hukum yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pandangan konsep restroactive justice penangganan kejahatan yang terjadi bukan hanya menjadi tanggung jawab negara akan tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat. Oleh karena itu konsep restroactive justice
dibangun
berdasarkan
pengertian
bahwa
kejahatan
yang
telah
menimbulkan kerugian harus dipulihkan kembali baik kerugian yang diderita oleh korban maupun kerugian maupun yang ditanggung oleh masyarakat. Keterlibatan anggota masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Pemberian penghargaan dan penghormatan pada korban dengan mewajibkan pihak pelaku melakukan pemulihan kembali atau akibat tindak pidana yang telah dilakukannya. Pemulihan yang dilakukan oleh pelaku bisa berupa ganti rugi, pekerjaan sosial atau melakukan sesuatu perbaikan atau kegiatan tertentu sesuai dengan keputusan bersama yang telah disepakati semua pihak dalam pertemuan yang dilakukan. Pergeseran pemikiran dari model penghukuman tradisioanal adalah dengan adanya model penghukuman yang memberikan keadilan, terutama keadilan yang diarahkan pada keadilan masyarakat. Hal ini merupakan suatu titik awal/dasar lahirnya restroactive justice di negara manapun. Adanya pergeseran pemikiran tersebut memperlihatkan bahwa dalam sistem peradilan pidana telah terjadi suatu upaya untuk memberikan perhatian dan pemahaman terhaap penyelesaian suatu kasus tindak pidana yang dilakukan dengan tujuan tercapainya keadilan untuk semua pihak yang terkait dalam tindak pidana. Adapun tujuan dari restroactive justice adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Mempertemukan pihak korban, pelaku dan masyarakat dalam satu pertemuan; 2. Mencari jalan keluar terhadap penyelesaian; 3. Memulihkan kerugian yang telah terjadi. Menurut John Braiwheit bahwa restroactive justice bertujuan memulihkan harmoni atau keseimbangan secara an sich saja tidak cukup, oleh karena itu “memulihkan keseimbangan” secara moral antara pelaku dan korban yang ada sebelumnya adalah keseimbangan yang pantas. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebagai konsep pemidanaan tentunya tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formil dan materil). Mengacu pada pendapat di atas tersebut, bahwa restroactive justice merupakan jalan alternatif dalam menyelesaikan permasalahan didalam hukum pidana khusunya tindak pidana anak. Dalam hal ini memulihkan suatu keadaan, baik bagi korban, pelaku dan anggota masyarakat karena terjadinya suatu kejahatan.
E. Peran Diversi Dalam Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan
bagian sangat penting dibicarakan bila
ingin menjawab begaimana diversi dapat memberikan jaminan penegakan hukumm bagi masyarakat. Penegakan hukum yang dalam bahasa inggris adalah law enforcement dan dalam bahasa Belanda rechtshandhaving merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat untuk mentaati hukum yang diberlakukan.
Universitas Sumatera Utara
Penegakan hukum berfugsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Masyarakat tidak hanya menjadi obyek dari hukum tetapi berperan aktif dalam penegakan hukum. Agar kepentingan menusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena adanya pelanggaran hukum. Tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu : Kepastian hukum (rechtssicherheit), Kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan Keadilan (gerechtigkeit). Kepastian hukum (rechtssicherheit) artinya hukum harus dilaksanakan dalam keadaan bagaimanapun. Kemanfaatan (zweckmassigkeit) artinya hukum memberikan manfaat atau kegunaan bagi manusia dan Keadilan (gerechtigkeit) yaitu hukum bersifat adil dama rata bagi setiap orang. Ketiga unsur tersebut harus seimbang dalam pelaksanaan hukum. 59 Tujuan dari penegakan hukum adalah untuk membangun keperjayaan masyarakat umum terhadap hukum dengan menunjukan bahwa hukum secara luas memperdulikan
harapan
masyarakat
dan
bujukan
serta
ajukan
untuk
mematuhinya. Menurut Wesley Cragg penggunaan kekuasaan hukum yang minimum merupakan sebuah prinsip yang penting dalam mengarahkan usaha penegakan hukum dan mengurangi usaha penggunaan kekuatan hukum merupakan hal yang penting karena kekerasan sering mengeser sifat asli dari moral seseorang yang menerimanya. Pemaksaan (coercion) dapat mengacaukan moral dan jiwa seseorang dan merangsangnya untuk kehilangan sikap kerelaan menerima aturan hukum yang ada. 59
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo (1993). Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung; PT Citra Aditya Bakti. Cetakan Pertama, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Konsep untuk membuat kebijakan diversi merupakan sebuah proses yang melibatkan faktor-faktor internal dan external dari penentu kebijakan itu sendiri. Apabila kita melihat kebijakan diversi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khsusunya Kepolisian menurut Chambliss dan Seidman pada hakeketnya diversi bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum karena menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakansuatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Disini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas suatu keadaan yang tidak dapat dicapai. Sekalipun dalam hal ini diversi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada aparat penegak hukum guna memberikan efesiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar.
F. Model Restroactive Justice Berbicara model Restroactive Justice tentulah di negara-negara common low sangatlah beragam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan, penggunaan restroactive justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda, adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi ataupun usaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan. Meskipun di negara-negara tersebut telah terdapat suatu sistem dalam rangka tercapainya tujuan restroactive justice, tetapi pada kenyataanya terdapat peran korban masih memegang peran keberhasilan sisitem. Hal ini dapat dilihat dalam data yang dikemukakan oleh
Universitas Sumatera Utara
Umbreit dan Roberts yang mengatakan bahwa hanya 7 persen dari seluruh kasus yang muncul di tahun 1993 di Inggris yang mengunakan metode secara langsung atau face to face. Secara umum konsep restroactive justice, merupakan proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi, dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelasjelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agara pelaku melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya.
Universitas Sumatera Utara
Model Restroactive Justice di beberapa negara tentulah beraneka ragam namun mempunyai satu tujuan yang sama yaitu untuk memulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Tentang konsepsi Restorative justice sebenarnya bukan hal yang baru atau asing bagi masyarakat Indonesia, karena selama ini masyarakat Indonesia dengan warisan keanekaragaman adat / budaya ( kearifan lokal ) yang telah mempunyai mekanisme bermasyarakat dan penyelesaian masalah yang mampu diandalkan untuk menangani anak yang berhadapan dengan hukum yakni anak yang melakukan tindakan-tindakan melanggar norma ataupun diduga melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Perkembangan mengenai Restroactive Justice di beberapa negara seperti Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand telah dikelompokan dalam empat jenis praktik yang menjadi pioner penerapan Restroactive Justice yaitu : 1. Victim Offender Mediation 2. Conferencing/Familiy Group Conferencing 3. Circles dan 4. Restorative Board/Youth Panels
Ad.1. Victim Offender Mediation (VOM) Proses Restroactive Justice terbaru yang pertama adalah Victim offender mediation. Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Firlandia 60. 60
Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999), Conferencing , circles, Board and Mediations Restroactive justice and citizen Involvement in the Response to Youth Crime. Florida University of Minnesota. Hal 6, David Miers (2001) An International Review of Restroactive justice. London Crime Reduction Research Series paper 10. Home Office policing and Reducing Crime Unit Research Development and Statistics directorate, hal,5,26, 47 dan 73, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Vom di negara bagian Pennsylvania Amerika Serikat menjalankan program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan dengan sebuah ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati. 61 Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama waktu lima tahun dengan kerangka pengertian dan pemahaman konsep Restroactive Justice yang memusatkan
perhatian
pada
penyelenggaraan
dialog
di
mana
korban
dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan berupa trauma dari kehatan dan menerima jawaban dan informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu memberikan kesempatan bagai korban untuk mendengar dan memberikan kepada pelaku sebuah kesempatan untuk menerima tanggung jawab perbuatannya dan mengungkapakan perasaanya tentang kejahatan dan konsekuensi yang harus diterimanya. Permintaan untuk melakukan mediasi merupakan inisiatif dan ususlan korban dan kehendak korban. Peserta dari pihak pelaku harus berumur 18 tahun atau lebih. Peserta pihak pelaku harus dijelaskan dengan bantuan lembaga psikolog. Mediator atau fasilitator adalah kelompok sukarela yang telah menjalani training intensif. Kebanyakan mediasi melibatkan comediator terhadap kasus-kasus yang membutuhkan persiapan banyak dan luas sebelum menghadirkan kedua belah pihak bertemu dalam mediasi secara langsung. Dialog secara tidak langsung juga dimungkinkan sebagai pilihan dalam program VOM. 61
Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001) Victim Sensitive offender Dialogue in Crimes of Servere Violence Differing Needs, approaches, and Implications. London; Office for Victims of crime U.S Department of justice, hal 14: The Penn Sylvania Victim Offender Meditation program operates within the Office of Victim Advocate under the auspices of the Departement of Correections. The program works with a range of violent crimes including those where an offender has a death sentence, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
VOM di negara bagian Texas Amerika Serikat dilaksanakan di lembaga Victim services (pelayanan korban) Texas. Tujuannya memberikan kesempatan bagi korban kejahatan kekerasan bertemu secara langsung, aman, resmi dan teratur dengan pelaku, memberikan perlindungan terhadap lingkungan tempat tindak pidana. Selanjutnya upaya penyembuhan dan penghapusan kerusakan terjadi akibat perbuatannya. Upaya peyembuhan dan menghilangkan trauma yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif agak lama yaitu menungu pihak korban untuk bersedia melakukan perdamaian dan berniat ikut serta dalam program restroactive justice yang akan dilaksanakan. Pelaku diundang untuk ikut berpartisipasi harus dengan sukarela. Keseriusan para pihak selama proses ini berlangsung menjadi peran yang sangat penting dari titik penyerahan, persiapan pertemuan , sampai pelaksanaan setelah selesai mediasi. Persiapan akan selesai dalam waktu lebih kurang enam bulan dan bahkan lebih lama. Mediator bekerja sama dengan protokol dengan sangat teliti dan cermat mempersiapkan prsoes pemanduan pertemuan antara korban dengan pelaku. Mediator mengatur jalannya proses secara sistematis untuk bermusyawarah dan mempersiapkan secara rinci daftar nama pihak yang mengikuti pertemuan, namun yang paling penting membiarkan pertemuan korban dan pelaku mengalir dengan sendirinya tanpa arahan dan pembatasan. Berdasarkan uraian tersebut, dalam hal ini mediator tidak cukup hanya mempersiapkan agenda yang tersusun secara sistematis namun sangat perlu diperhatikan pertemuan antara korban dan pelaku terkadang diluar waktu acara yang telah disusun atau di agendakan, maka sebaiknya bisa di sesuaikan dengan keadaan atau flexsibel.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan dilaksanakannya VOM adalah memberi penyelesaian terhadap peristiwa yang terjadi, di antaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau bentuk untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius . dalam bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi pertemuan 62. Tata cara pelaksanaanya, tahapan awal dari VOM mediator melakukan mediasi mempersiapkan korban dan pelaku bertemu. Persiapan awal mediasi atau pramediasi minimal sekali pertemuan dalam tatap muka secara langsung dan hal ini sangat membantu untuk tercapainya kesepakatan yang maksimal pada mediasi sesunguhnya nanti. 63 Dalam pertemuan pramediasi ini mediator mendengarkan bagaimana peristiwa tersebut telah terjadi., mengidentifikasikan hal-hal yang penting untuk dibicarakan, mengundang partisipasi mereka untuk hadir, menjelaskan proses acara victim offender meditation sehingga meminimalkan kecemasan dan meningkatkan peran mereka dalam dialog sehinga peran mediator tidak terlalu banyak lagi. Peran dari pramediasi ini sangat menentukan kesuksesan mediasi yang sesunguhya. Pertemuan mediasi dimulai dengan korban menceritakan pengalaman yang dialaminya akibat kejahatan tersebut dan apa yang menjadi kerugian fisik, emosional, dan materi pada dirinya. Pelaku menjelaskan apa yang dilakukannya dan mengapa dia melakukannya, dan juga pelaku bersedia memberikan jawaban 62
Marlina. Op.cit., hal 184 Mark umbreit and S. Stacy (1995), Family Group Conferencing Comes to the U.S. : A comparasion With Victim Offender Mediation, USA: Juvenile and Famili Court Journal 1995, 47(2) hal 29-39. yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina, hal. 185 63
Universitas Sumatera Utara
atas pertanyaan yang diajukan oleh korban. Pada saat korban dan pelaku sedang mengutarakan pembicaraan masing-masing, mediator akan membantu mereka mempertimbangkan jalan keluar dan pemecahanya. Di beberapa negara eropa proses mediasi tidak melibatkan pertemuan secara langsung antara pihak-pihak. Dalam Victim Offender Mediation para pihak yang ikut tidak menjadi berdebat. Seseorang yang secara jelas melakukan sebuah kejahatan dan telah mengakui perbuatannya sehingga korban merasa dihormati. Selanjutnya isu rasa bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam Victim Offender Mediation, juga tidak mengharapkan bahwa korban kejahatan berkompromi dan mengharap lebih kecil dari apa yang mereka butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya. Menurut Mark Umbreit dalam penelitiannya tahun 2001, mediasi adalah suatu proses yang memperhatikan pada terciptanya sebuah suasana damai. Pengelolaan emosi yang baik oleh peserta, untuk korban dan pelaku dapat berbicara langsung satu sama lain dengan intervensi minimal dari mediator.64
Ad.2. Family Group Conferencing (FGC) Conferencing dikembangkan pertama kali di negara New zealand pada tahun 1989 dan Australia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa maori. Proses yang dilakukan masyarakat bangsa Moari ini terkenal dengan sebutan wagga wagga dan tela dipakai untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat tradisional dan
64
Marlina. Op.Cit, hal. 187-188
Universitas Sumatera Utara
merupakan tradisi yang telah ada sejak lama. Karena minat negara yang besar untuk mencari alternatif bentuk penyelesaian perkara, maka tradisi masyarakat ini diangkat ke permukaan untuk diteliti dan dibuat projectnya bagi penyelesaian perkara pidana di negara tersebut. Pada kesempatan berikutnya penyelesaian perkara secara tradisional dapat diterima sebagai sebuah proses resmi dari negara tersebut dengan sebutan conferencing. Menurut terjemahan Marlina conferencing adalah konferensi, perundingan atau bermusywarah. Dalam perkembangan selanjutnya conferencing telah dibawa ke luar dari negara asalanya New zealend dan dipakai di banyaknegara lain seperti, Australia, Asia, Afrika Selatan, Amerika Utara dan Eropa. Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama (primary victim) dan pelaku utama (primary offender)tapi juga korban sekunder (secondary victim) seperti anggota keluarga dan teman korban. Hal ini dilibatkan karena mereka juga terkena dampak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang terjadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban dan pelaku utama. Hal ini dilakukan agara bertujuan mendapatkan kejelasam dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggungjawaban bersama. 65 Sasarannya adalah memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelangaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya 65
Ibid, hal. 188
Universitas Sumatera Utara
kepada orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab penuh atas perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasai berlangsung. Terakhir adalah memberikan kesempatan korban dan pelaku untuk saling berhubungan dalam memperkuat tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban. 66 Adapun orang yang turut serta dalam proses family group conferencing adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap permasalahan anak. Tata cara pelaksanaan diawali dengan pihak mediator menghubungi para peserta pertemuan yaitu, korban, pelaku, anggota masyarakat, serta lembaga yang bersimpati melalui telepon. Hal ini memastikan mereka hadir dalam pertemuan tersebut, karena apabila tidak melalui telepon maka mediator harus bertemu secara langsung dengan para pihak. Pada acara mediasi yang sebenarnya para anggota fasilitator dalam conferencing bertugas mengatur pertemuan yaitu tempat dan waktunya dan memastikan setiap peserta untuk dapat berpartisipasi penuh secara aktif dalam acara, namun para fasilitator ini tidak dapat memutuskan secara sepihak atau memaksakan keputusan yang sifatnya subtantif sebagai hasil dalam artian hanya sebagai controlling dan fasilitating jalannya conferencing. Beberapa daftar isian (form) conferencing yang menjadi agenda dan berita acara ditulis oleh fasilitator secara benar dengan maskud para peserta harus tetap mengikuti sebuah pola ketentuan dan aturan yang baku dalam menjalankan diskusi dalam conferencing. 67 66 67
Ibid, hal. 189 Ibid, hal. 190
Universitas Sumatera Utara
Adapun jenis lain dari conferencing yang berdarkan sebuah filosofi umum yaitu mengizinkan conferencing untuk mengambil berbagai bentuk dan tata cara prosesnya tergantung budaya setempat atau harapan dari para peserta yang ikut. Praktik diskusi dimulai dari mediator yang membawa acara mediasi atau sebagai penengah dengan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menceriatakan apa yang telah dilakukannya dan bagaimana pendapatnya mengenai penderitaan orang lain atau korban akibat dari perbuatannya. Kemudian kesempatan berikutnya diberikan kepada korban untuk menceritakan pengalaman yang dialaminya akibat perbuatan pelaku. Setelah pelaku dan korban berbicara pada kesempatan berikutnya diberikan kepada keluarga pelaku dan teman-temannya (offender’s supporters). Kesempatan untuk berbicara baik dari pihak pelaku maupun pihak korban bertujuan mencari dan menemukan kondisi yang sebenarnya yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Dengan susana pembicaraan yang terbuka dan kondusif bagi anak tanpa tekanan dari salah satu pihak membantu mempelanjar jalannya mediasi dan mediator tetap memberikan pengarahan dan bimbingan dalam mediasi tersebut. kemudian secara bersama-sama kelompok memutuskan apa yang semestinya dilakukan pelaku untuk memperbaiki kerugian dan apakah yang perlu dilakukan oleh para pihak pelaku dalam ikut menjadi pihak yang bertangung jawab. Semua usulan dari kelompok dicatat dan diagendakan oleh petugas pencatat mediator untuk nantinya disimpulkan secara bersama-sama. Kesepakatan yang diambil dicatat dan ditandatangani semua pihak yang ikut dan duplikat yang sama (copy) dari kesepakatan itu dikirim kepada peradilan pidana pemerintah secara resmi untuk dijadikan keputusan resmi. 68 68
Ibid, hal. 190
Universitas Sumatera Utara
Ad.3. Circles Pelaksanaan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon, Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam pelaksanaanya memperluas partisipasi para peserta dalam proses mediasi di luar korban dan pelaku utama. Pihak keluarga dan pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan pidana. Keunikan lainnya di ikutsertakannya anggota masyarakat sebagai pihak, dalam hal ini adalah masyarakat yang terkena dampak dari tindak pidana yang terjadi sehingga merasa tertarik dengan kasus yang ada untuk ambil bagian dalam proses mediasi, sehingga dalam circles, “parties with a stake in the offence” didefenisikan secara lebih diperluas. 69 Tujuannya
membuat
penyelesaian
terhadap
suatu
tindak
pidana
dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasarannya yang ingin dicapai melakui proses Circle adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya tanggung jawab penyelesaian kesepakatan. Masyarakat digugah untuk peduli terhadap permasalahan anak yang ada disekitarnya dan mengawasi penyebab tindakan yang dilakukan oleh anak. Orang yang menjadi peserta dalam Circles adalah, korban, pelaku, lembaga yang memperhatikan masalah anak, dan masyarakat. Untuk kasus yang serius dihadirkan juga hakim dan jaksa. Kehadiran aparat penegak hukum tersebut untuk menjamin kelancaran aparat pelaksanaan proses sesuai dengan prinsip restroative justice dan bukan untuk mencampuri atau melakukan intervensi pada proses yang sedang dijalankan. 69
Ibid, hal. 192
Universitas Sumatera Utara
Tata cara pelaksanaan Circles mediator melakukan pertemuan secara terpisah dengan korban dan pelaku sebagai prioritas utama kehadirannya utnk menjelasakan prose yang akan dilaksanakan dan apa yang menjadi tujuannya. Di dalam prakteknya peserta duduk melingkar (like a circles). Caranya pelaku memulai dengan menjelaskan tentang semua yang dilakukanya. Selanjutnya semua
peserta
diberikan
kesempatan
bicara
secara
bergantian.dengan
menyampaikan apa yang menjadi harapannya. Akhir dari diskusi apabila terjadi kesepakatan dan penyelesaian yaitu restitusi dan ganti rugi atau sanski lainnya atau bahkan tanpa sanski tapi pemaafan pelaku oleh masyarakat dan korban. Dalam sistem Circles ini dibantu oleh beberapa orang untuk mempelancar proses Circles yaitu sebagai berikut : 1. Tugas penjaga (keeper of the circles) yang mengamankan dan menjaga proses Circles berjalan sesuai dengan harapan. 2. talking piece yaitu seorang pendamai yang dengan sopan dan santun akan selalu mengtur jadwal peserta bicara dalam Circles. Keberhasilan dari Circles ini dalah kerjasama dengan sistem perdilan formal dan masyarakat. Hal ini berperan untuk memastikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua pihak dan tanpa pemaksaan.
Ad.4. Restorative Board/Youth Panels Restorative Board/Youth Panels telah dilaksanakan pada tahun 1995 di negara Vermont dengan lembaga pendamping Bureau of Justice yang mendapat respon yang baik dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam program reparative dan sifat perbaikan yang menjadi dasarnya. 70 70
Ibid, hal. 194
Universitas Sumatera Utara
Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatka pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan pembela secara bersama-sama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi baik korban atau masyarakat. Pesertanya adalah mediator yang mendapatkan pelatihan yang baik, lembaga anak, korban, pelaku, anggota masyarakat dan untuk kasus yang serius menghadirkan hakim, jaksa dan pengacara. Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfailitasi pertemuan ini adalah orang-orang
yang
sudah diberikan
pendidikan khusus
mediasi.
Pertemuan dilakukan secara secara tatap muka demua peserta dan dihadiri juga oleh pihak pengadilan. selama pertemuan para peserta berdiskusi dengan pelaku tentang perbuatan negatifnya. Dan konsekuensi yang harus ditanggung kemudian para peserta merancang sebuah sanski.
Pelaksanaan Restroative Justice di Indonesia Di Indonesia pengembangan konsep Restroative justice merupakan sesuatu yang baru, yang mana Kota Bandung menjadi salah satu tempat pelaksanaan pilot project Unicef tentang pengembangan konsep restroative justice pada tahun 2003. Restroative justice adalah suatu bentuk keadilan yang mengedepankan keterlibatan semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu, baik korban, pelaku dan masyarakat untuk bersama-sama memecahkan masalah tentang bagaimana menangani akibat tindak pidana tersebut, dengan orientasi untuk memperbaiki, menciptakan rekonsiliasi dan memuaskan semua pihak. Sebagaimana diversi, keadilan restorative dilakukan diluar proses formal melalui pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum Konsep Restroactive Justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan
untuk bersama-sama
berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang kejadian tersebut pihak korban memperhatikan penjelasan dari sipelaku. Penerapan sistem Restroactive Justice belum dapat diterapkan pada semua tindak pidana melainkan hanya beberapa tindak pidana saja yaitu terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas dan tindak pidana anak. Pemidanaan
bagi
anak
merupakan
ultimum
remidium
telah
diharmonisasikan dalam UU RI Tentang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 (Pasal 66 ayat 3 dan 4) dan UU No.3 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Pasal 16 ayat 3) dalam implementasinya telah pula dipertegas oleh mantan Ketua Mahkamah Agung dalam tulisannya yang menghimbau kepada para hakim “agar menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan berupa tindakan dari pada Pidana Penjara“.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut secara tersirat Restroactive Justice telah diakui dan dilaksanakan bahkan apabila kita melihat lebih jauh dalam beberapa peraturan kita dapat temukan sebagai berikut : UUD 1945, Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Right of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak/Lembaran Negara RI tahun 1990 Nomor 57) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dimana semuanya mengatur jelas tentang masa depan anak dan upaya preventive dalam menanggulangi tindak pidana anak. Tidak hanya itu saja kebijakan-kebijakan telah pula dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) berupa :
Universitas Sumatera Utara
Surat
Edaran
Jaksa
Agung
RI
SE-002/j.a/4/1989
tentang
Penuntutan terhadap Anak Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepkumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007 Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan 3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi&/korban TP TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi Kesepakatan Bersama antara DEPARTEMEN SOSIAL RI Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009, DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, DEPARTEMEN PENDIDIKAN
NASIONAL
RI
Nomor
11/XII/KB/2009,
DEPARTEMEN AGAMA RI Nomor : 06/XII/2009, DAN KEPOLISIAN
Universitas Sumatera Utara
NEGARA RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15 Desember 2009 Surat Keputusan
Bersama Ketua MAHKAMAH AGUNG RI,
JAKSA AGUNG RI, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA RI, MENTERI HUKUM DAN HAM RI, MENTERI SOSIAL RI, MENTERI
PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN
DAN
PERLINDUNGAN ANAK RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO. 148 A/A/JA/12/2009,
NO.
B/45/XII/2009,
NO.M.HH-08
HM.03.02
TAHUN 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM. Dari instrumen hukum yang telah tersedia tersebut di atas, sebenarnya aparat penegak hukum (APH) telah ada yang melakukan pendekatan restorative justice, walaupun secara eksplisit tentang pelaksanaan restorative justice belum diatur dalam Undang-Undang Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 (3) tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan : “ bahwa penangkapan, penahanan, dan penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya terakhir ( The Last Resort)“, dihubungkan dengan adanya pengaturan dalam pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak : “Bahwa Hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa tindakan , yaitu : - Anak dikembalikan kepada orang tua - Anak diserahkan kepada dinas sosial / yayasan social - Anak diserahkan kepada Negara
Universitas Sumatera Utara
Alur Implementasi Resteroactiv Justice di Pengadilan
LANJUTAN
Universitas Sumatera Utara