12
BAB II KONSEP DASAR TUNAGRAHITA, MEDIA TANGGA BILANGAN, KEMAMPUAN BERHITUNG PENJUMLAHAN
A. Tunagrahita 1. Pengertian Tunagrahita Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kecerdasan kemampuan intelektual di bawah rerata. Menurut PP No. 72 Tahun 1991 yang dikutip dari Moh. Amin ( 1995:10) menyebutkan “Di dunia ini disamping anak - anak dengan kemampuan normal pasti ada anak yang dibawah normal dan anak diatas normal. Anak-anak dalam kelompok di bawah normal dan/atau lebih lamban dari pada anak normal, baik perkembangan sosial maupun kecerdasannya disebut anak terbelakang mental, atau istilah resminya di Indonesia disebut anak tunagrahita. Moh. Amin (1995: 11) menyebutkan bahwa “anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas di bawah rata-rata. Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang, atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu hal tetapi hampir segala-galanya. ”Menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD), yang dikutip dari (http://www.anakciremai.com), menyatakan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang secara umum memiliki kekurangan dalam hal fungsi intelektualnya secara nyata dan bersamaan dengan itu, berdampak pula pada kekurangannya dalam hal perilaku adaptifnya, dimana hal tersebut terjadi pada masa perkembangannya dari lahir sampai dengan usia delapan belas tahun. Pernyataan tersebut pun dapat pula diartikan bahwa anak tunagrahita adalah mereka yang memiliki hambatan pada dua sisi, yaitu pertama pada sisi kemampuan
13
intelektualnya yang berada di bawah anak normal. Anak tersebut memiliki kemampuan intelektualnya yang berada pada dua standar deviasi di bawah normal jika diukur dengan tes intelegensi dibandingkan dengan anak normal lainya. Yang kedua adalah kekurangan pada sisi perilaku adaptifnya atau kesulitan dirinya untuk mampu bertingkah laku sesuai dengan situasi yang belum dikenal sebelumnya. Keadaan tersebut terjadi pada proses pertumbuhannya, cara berfikir dan kemampuannya dalam bermasyarakat sejak anak tersebut lahir dan berusia delapan belas tahun. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita merupakan anak yang mempunyai hambatan kecerdasan secara nyata dan jelas, dan mempunyai ketidak mampuan dalam hal perilaku adaptif yang terjadi pada masa perkembangan yaitu usia 0 – 18 tahun. hal tersebut berdampak pula pada kesukaran di dalam mengikuti pelajaran yang diberikan kepadanya, khususnya mata pelajaran matematika dalam hal operasi hitung penjumlahan yang bersifat abstrak.
2. Tunagrahita Ringan AAMD mengklasifikasikan tunagrahita sebagai berikut: 1) Mild mental retardation (tunagrahita ringan IQ nya 70-55); 2) Moderate mental retardation (tunagrahita sedang IQ nya 55-40); 3) Severe mental retardation (tuagrahita berat IQ nya 40-25); 4) Profound mental retardation (tunagrahita sangat berat IQ nya 25 kebawah). Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat (2008:13).
14
Pada skripsi ini yang akan dibahas adalah anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita ringan adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan paling tingi diantara semua anak tunagrahita. American Assosiation on Mental Retardation (AAMR) mengemukakan bahwa : “angka kecerdasan anak tunagrahita ringan berkisar antara 52 sampai 68 sedangkan menurut Binet kecerdasan anak tunagrahita ringan berkisar 55 sampai 70 menurut skala Wechsler (WISC)” (Ashman, 1994 : 440). Dengan angka kecerdasan tersebut kapasitas belajar mereka terbatas, terutama untuk hal-hal yang abstrak. Mereka kurang mampu memusatkan perhatian, mengikuti petunjuk, dan kurang mampu untuk menghindari diri dari bahaya. Mereka cepat lupa, cenderung pemalu, kurang kreatif dan inisiatif, perbendaharaan katanya terbatas, dan memerlukan tempo belajar yang relatif lama.
3. Karakteristik Tunagrahita Ringan Tunagrahita ringan memiliki IQ antara 68-52 menurut skala Binnet, sedangkan menurut skala Wechsler (WISC) memili IQ 70-55. Jika dilihat dari konsep intelegensi sebagai faktor bawaan potensial yang dinyatakan dalam bentuk hasil tes pada satuan ukuran yang disebut IQ. Maka kemampuan kecerdasan anak tunagrahita ringan mereka masih bisa belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana, melalui bimbingan dan pendidikan yang baik. Dapat disadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan berfikir pada anak tunagrahita ringan, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka mengalami kesulitan
15
belajar. Masalah-masalah yang sering dirasakan berkaitan dengan proses belajar diantaranya adalah kesulitan dalam memahami pelajaran, lemahnya dalam kemampuan berfikir abstrak, dan mempunyai daya ingat yang lemah. Menurut Beirne Smith, Richard F, James, R. Patton (2003) “derajat ketunagrahitaan berkorelasi secara signifikan dengan kemampuan mengingat, semakin berat derajat ketunagrahitaan, semakin rendah kemampuan untuk mengingat”. Pangkal utama kelemahan daya ingat pada anak tunagrahita sangat erat kaitannya dengan perhatian dan konsentrasi (anak tunagrahita memiliki problem dalam perhatian dan konsentrasi). Mereka mengalami kesulitan untuk menfokuskan pada stimulus yang relevan disaat belajar. Oleh karena itu hambatan yang paling besar dialami anak tunagrahita adalah dalam hal mengingat terletak pada kemampuannya dalam merekonstruksi ingatan jangka pendek. Sehingga dalam proses belajar mengajar, pelajaran yang diberikan pada anak tunagrahita harus diberikan secara berulang-berulang. Proses perkembangan dan belajar menurut Piaget tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan sebagai stimulus. Semua stimulus yang datang dari lingkungan akan direspon oleh anak melalui sistem sensoris (penglihatan, pendengaran, penciuman, taktil dan perabaan). Oleh karena itu belajar sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan pertama kali terjadi melalui proses sensoris. Pengertian belajar menuruit Piaget dalam Murray, Thomas, (1997) adalah melakukan tindakan terhadap apa yang dipelajari. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran bagi anak-anak harus
16
menfungsikan semua sensoris, begitupun halnya dalam proses belajar matematika atau aritmatik. Atas penjelasan di atas maka proses belajar pada anak tunagrahita harus dimulai dari hal konkrit. Konsekuensi dari semua ini proses belajar hendaknya melalui tahapan konkrit, semi konkrit, semi abstrak, dan abstrak. Proses belajar seperti ini baik dilakukan pada anak dalam proses pembelajarannya. Belajar pada tahap konkrit adalah proses belajar yang dilakukan dengan mengaktifkan alat sensoris dengan cara memanipulasi objek. Pada tahap belajar seperti ini mutlak harus menggunakan media pembelajaran atau alat peraga.
B. Operasi Hitung Penjumlahan 1. Penjumlahan Bidang studi matematika yang diajarkan di sekolah dasar mencakup tiga cabang, yaitu: (1) aritmatika, (2) aljabar, (3) geometri. Menurut Naga, D.S dalam Abdurahman (2003:253), aritmatika atau berhitung adalah cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan-hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus permasalahan adalah kemampuan operasi hitung penjumlahan dalam pembelajaran matematika di tingkat dasar. Penjumlahan adalah suatu operasi aritmatika dengan simbol “+” atau suatu operasi
17
hitung yang menghasilkan jumlah dari dua kuantitas atau lebih. Setiap bilangan yang ditambahkan bersama-sama sehingga menghasilkan jumlah tertentu Hallia (2003:22). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penjumlahan adalah suatu operasi hitung aritmatika dengan simbol “+” yang berarti penambahan atau penggabungan dua kumpulan yang digunakan untuk memperoleh jumlah dari dua bilangan. Penjumlahan dapat dibantu dengan berbagai macam media salah satunya adalah media tangga bilangan, yang sesuai dengan judul pada skripsi ini yang berjudul Penggunaan media tangga bilangan dalam mengembangkan kemampuan operasi hitung penjumlahan pada anak tunagrahita ringan.
2. Penjumlahan Cara Bersusun Mendatar Dengan Tangga Bilangan Salah pokok bahasan dalam matematika adalah penjumlahan. Menurut Derajat dan Ismadi, J (2008: 13) “Operasi penjumlahan dapat dikerjakan dengan cara mendatar, cara bersusun panjang dan cara bersusun pendek”. Sedangkan menurut Rahayu, N (2009:14) Penjumlahan ada beberapa cara yaitu menggunakan tangga bilangan, cara bersusun (bersusun mendatar dan bersusun pendek), dan mencari suku ke-n yang belum diketahui. Dalam penelitian ini teknik pengajaran yang digunakan adalah dengan menggunakan media tangga bilangan Penjumlahan dengan menggunakan tangga bilangan adalah penulisan sesuai dengan nilai tempatnya dalam satu bilangan.
18
C. Media Pembelajaran dan Media Tangga Bilangan 1. Media Pembelajaran Media pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Menurut Heinic dalam Supriadi (1996:67) menyebutkan bahwa “Kata media berasal dari kata medium yang berarti perantara, yaitu perantara sumber pesan dengan penerima pesan”. Demikian pula yang dikemukakan oleh E. De Corte dalam Wincel (1996:285) mengemukakan bahwa “ Media pembelajaran adalah suatu sarana non personal (bukan manusia) yang digunakan atau disediakan oleh tenaga pengajar, yang memegang peranan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan instruksional. Dapat disimpulkan media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru) kepada penerima (siswa) agar proses interaksi komunikasi edukatif dapat berlangsung tepat guna, termasuk
interaksi
pembelajaran
siswa
tunagrahita
dengan
gurunya.
Kedudukan media pembelajaran ada dalam komponen metode mengajar sebagai salah satu upaya mempertinggi proses interaksi guru dengan siswa dan interaksi siswa dengan lingkungan belajarnya, sehingga dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Adapun manfaat dari media pembelajaran matematika menurut Rus Effendi (1995 : 227) adalah sebagai berikut:
19
1. Siswa akan termotivasi dalam mengikuti pelajaran matematika; 2. Konsep matematika tersaji dalam bentuk konkrit, lebih dapat mudah dimengerti dan dipahami; 3. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan benda-benda di alam sekitar dapat dipahami. Berdasarkan manfaat tersebut, nampak jelas bahwa media pembelajaran mempunyai andil yang besar terhadap kesuksesan proses belajar mengajar. Meskipun demikian media sebagai alat dan nara sumber, walaupun demikian media pembelajaran tidak bisa menggantikan guru sepenuhnya, artinya media tanpa guru suatu hal yang mustahil dapat meningkatkan kualitas pengajaran. Peranan guru masih tetap diperlukan sekalipun media telah merangkum semua bahan pengajaran yang diperlukan oleh siswa. Penggunaan media dalam proses pembelajaran atau disebut juga pembelajaran bermedia dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Dalam pemilihan media pembelajaran yang tepat dan benar dalam penggunaannya, maka akan membantu guru dalam menyampaikan materi yang akan diajarkan. Menurut Sudjana dan Rivai (2005: 4-5) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilihan media pembelajaran, yakni: 1. Tujuan ketepatannya dengan tujuan pengajaran, 2. Ketepatgunaan terhadap isi bahan pengajaran, 3. Keadaan siswa, 4. Ketersediaan, 5. Biaya, 6. Keterampilan guru dalam menggunakannya.
20
Dengan kriteria pemilihan media yang diuraikan di atas, guru dapat lebih mudah menggunakan media mana yang dianggap tepat untuk membantu mempermudah tugas-tugasnya sebagai pengajar.
2. Media Tangga Bilangan Media pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber pesan ke penerimapesanyang berlangsung dalam proses pembelajran. Media pembelajaran matematika diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran untuk memberikan motivasi kepada siswa agar siswa menjadi senang. Sukayati, (2003:14). Media tangga bilangan merupakan sebuah mainan edukatif atau media pembelajaran matematika yang digunakan untuk memudahkan siswa dalam aplikasi berhitung. Tangga bilangan merupakan pengembangan media bantu pengajaran dari materi ”tangga bilangan” yang lebih dahulu digunakan dalam proses pembelajaran matematika. Tangga bilangan merupakan suatu materi pembelajaran yang sudah sangat sering digunakan,sebagai contoh permasalahan yang dapat diselesaikan dengan cara rekursi. Secara singkat tangga bilangan adalah cara penyelesaian operasi hitung dengan menggunakan sebuah garis yang terdapat angka-angka secara berurutan. Dimana cara pengoperasiannya adalah bergerak kesebelah kanan untuk proses penjumlahan dan ke sebelah kiri untuk pengurangan.
21
Sedangkan Media tangga bilangan adalah sebuah media pembelajaran yang digunakan untuk memberikan pemahaman kepada anak tunagrahita dimana media ini berupa susunan balok yang berjajar dengan susunan jumlah balok dari 0 balok sampai dengan 10 balok, sehingga menyerupai sebuah tangga dan di lengkapi juga angkaangka dari 0 sampai dengan angka 10 sebagai petunjuk. Dimana cara pengoperasiannya adalah dengan menaiki anak tangga tersebut sesuai perintah soal dengan alat bantu miniatur / mainan yang anak sukai. Bahan yang digunakan dalam pembuatan media ini adalah kayu. Dikarenakan ini merupakan alat bantu hitung bagi anak–anak maka didesain sesederhana mungkin dan tidak berbahaya bagi anak tuna grahita. Selain itu penggunaan warna dan bentuk model yang menarik memungkinkan juga merespon semangat belajar bagi anak tuna grahita. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Media tangga bilangan adalah media pembelajaran yang penggunaannya dengan cara menghitung anak tangga (yang tersusun dari balok-balok) dengan menggunakan model.
22
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gb.1. Media Tangga Bilangan yang Digunakan Dalam Penelitian
3. Penggunaan Media Tangga Bilangan Untuk menerapkan konsep operasi penjumlaha penjumlahann dengan menggunakan media tangga bilangan diperlukan langkah langkah-langkah sebagai berikut: Memperkenalkan alat Media Tangga Bilangan sebagai alat hitung kepada anak. a. Melakukan stimulasi secara cermat dan tepat, b. Membimbing anak a untuk menggunakannya sendiri, dan c. Memberi tugas pada anak agar menggunakannya sendiri. Cara menggunakan atau mengoperasikan Media Tangga Bilangan adalah sebagai berikut:
23
a.
Posisi awal benda yang menjadi model harus berada pada anak tangga pertama dengan angka nol.
b.
Model akan naik ke anak tangga selanjutnya sesuai dengan besarnya bilangan pertama sesuai dengan operasi penjumlahan atau soal yang diberikan tersebut.
c.
Dari bilangan pertama model akan kembali naik ke anak tangga selanjutnya sesuai dengan nilai penjumlahannya.
d.
Setelah selesai anak dapat langsung melihat hasil akhir penjumlahan tersebut dengan menhitung jumlah balok yang dipijak terlebih dahulu. Media tangga bilangan, merupakan salah satu media pembelajaran bagi anak
tunagrahita ringan yang diharapkan
akan
meningkatkan kemampuan berhitung
khususnya dalam proses operasi hitung penjumlahan. Dalam hal ini hendaknya anak tunagrahita ringan hendaknya lebih banyak dibawa pada proses langsung sehingga lebih dapat memberikan motivasi dalam belajar serta dapat memunculkan minat belajar pada diri siswa.
D. Pelaksanaan Operasi Hitung Penjumlahan Dengan Menggunakan Media Tangga Bilangan Dalam belajar matematika khususnya dalam operasi hitung penjumlahan, seorang anak hendaknya harus aktif dalam pembelajaran, sebab hal tersebut merupakan inti dari belajar matematika. Karena hal tersebut yang memungkinkan siswa membentuk pengetahauan mereka sendiri melalui pengalaman. Media tangga
24
bilangan merupakan media yang dapat memunculkan minat anak karena bentuknya yang khas serta dilengkapi ilengkapi dengan warna yang menarik dan cara penggunaannya yang mudah untuk dioperasikan. Pelaksanaan operasi hitung penjumlahan dengan menggunakan media tangga bilangan pada anak tunagrahita ringan ialah sebagai berikut: 1.
Anak diminta untuk men menyelesaikan soal 2 + 3 =
2.
Perlihatkan kepada anak media Tangga Bilangan.
3.
Tempatkan model tepat di atas nol
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
25
4.
Mintalah anak untuk menaikan model dari angka 0 ke anak tangga selanjutnya yang terdapat angka 2 sambil menghitung jumlah jumlah pijakan tangga.
0
5.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kemudian dari ri angka 2 anak diminta untuk menaiki lagi anak tangga selanjutnya sebanyak angka pada soal yaitu 3 pada soal 2 + 3 = ....
26
0
6.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Anak dapat langsung mengetahui hasil penjumlahannya dengan terlebih dahulu menghitung jumlah balok pada pijakannya yaitu 5,, jadi 2 + 3 = 5
E. Penelitian Yang Relefan 1. Penelitian karya
Imas Soleah pada tahun 2010 dengan judul “ Pengaruh
Penggunaan Media Papan Berhitung Terhadap Peningkatan Kemampuan Operasi perasi Penjumlahan Pada Anak Tunagrahita Ringan Kelas V SDLB-C Sukapura”,, hasil penelitian menunjukkan bahwa media papan berhitung dapat meningkatkan kemampuan berhitung (penjumlahan dan pengurangan yang hasil penjumlahannya tidak lebih dari 10).
27
2. Penelitian karya Labora Fransisca pada tahun 2008 dengan judul “Penggunaan Media CD Cermatika Akal Interaktif dalam Meningkatkan Kemampuan Berhitung Penjumlahan Pada Anak Tunagrahita Ringan”
hasil penelitian
menunjukkan bahwa VCD akal interaktif memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan. 3. Penelitian karya Arifiana Sulistijowati 2009 dengan judul “Penggunaan Media Kartu Gambar Kata dalam Meningkatkan Kemampuan Memahami Kosakata Anak Low Vision yang Tuna Ganda (Low Vision dan Tunagrahita Ringan)” hasil penelitian menunjukkan bahwa media kartu gambar kata dapat memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan kemampuan anak dalam memahami kosakata. Dari hasil penelitian tersebut di atas, penulis mendapat gagasan bahwa Media Tangga Bilangan dapat menjadi salah satu alternatif media dalam meningkatkan operasi hitung penjumlahan pada anak tunagrahita ringan.
F.
Kerangka Berfikir Pada umumnya anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami informasi matematis yang bersifat abstrak. Pemahaman terhadap konsep abstrak matematika dalam operasi penjumlahan bilangan sulit dinalar oleh anak tunagrahita. Hal ini disebabkan setiap simbol-simbol yang mengikat pada matematika memiliki
28
arti yang bersifat abstrak. Masalah matematika sesungguhnya masalah yang bersifat abstrak. Oleh karena itu, dibutuhkan alat bantu sebagai media pembelajaran yang bersifat konkret untuk membantu penalaran anak tunagrahita dalam memahami konsep operasi penjumlahan bilangan secara abstrak yang mengikat pada matematika. Media pembelajaran diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran untuk memberikan motivasi kepada siswa agar siswa menjadi senang. Salah satunya adalah dengan menggunakan media tangga bilangan. Media tangga bilangan merupakan seperangkat benda konkret yang dirancang untuk membantu meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan dalam matematika pada anak tunagrahita ringan. Media tangga bilangan adalah sebuah media pembelajaran yang digunakan untuk memberikan pemahaman kepada anak tunagrahita dimana media ini berupa susunan balok yang berjajar dengan susunan jumlah balok dari 0 balok sampai dengan 10 balok, sehingga menyerupai sebuah tangga dan di lengkapi juga angkaangka dari 0 sampai dengan angka 10 sebagai petunjuk. Dimana cara pengoperasiannya adalah dengan menaiki anak tangga tersebut sesuai perintah soal dengan alat bantu miniatur / mainan yang anak sukai. Dimana cara penggunaan media tersebut adalah anak menaikan simbol orang pada anak tanga bilangan sesuai operasi penjumlahan pada soal. Kemudian anak dapat langsung mengetahui hasil penjumlahannya.
29
Sesuai dengan karakteristik dan kemampuan subjek penelitian siswa tunagrahita di kelas IV SDLB. Maka penulis mempunyai analisis bahwa dengan penggunaan
media tangga bilangan dapat meningkatkan kemampuan berhitung
penjumlahan pada anak tunagrahita ringan.