BAB II KONSEP DASAR
A. Tuberculosis Paru 1. Pengertian Tuberkulosis Paru ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra toraks yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir Kuno pada tahun 2000 – 4000 SM (Aru W, 2006). Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis ). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2002). Tuberkulosis pulmoner adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001). Klasifikasi tuberkulosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologist dan mikrobiologis : a. Tuberkulosis paru b. Bekas tuberculosis paru
6
c. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam : 1
TB paru tersangka yang diobati (sputum BTA negatif, tapi tandatanda lain positif)
2
TB paru tersangka yang tidak diobati (sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain meragukan)
(Suyono, 2001)
2. Anatomi dan Fisiologi
Gambar 1. Anatomi Sistem Pernafasan Pada Manusia
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trachea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung ; Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga hidung). Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan
7
selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan eshopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya di belakang laring (laring-faringeal). Paru-paru terdapat dalam rongga toraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikan. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas. Proses fisiologi pernafasan dimana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbondioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dan otot-otot. Stadium kedua, transportasi yang terdiri dan beberapa aspek yaitu (1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal) antara darah sistemik dan sel-sel jaringan. (2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan
8
distribusi udara dalam alveolus. (3) Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbondioksida dengan darah respimi atau respirasi interna merupakan stadium akhir dari respirasi, yaitu sel dimana metabolik dioksida untuk mendapatkan energi, dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru. (4)
Transportasi, yaitu tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 urn). Kekuatan mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. (5) Perfusi, yaitu pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler dengan perkataan lain ventilasi dan perfusi dari unit pulmonary harus sesuai pada orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru-paru. Secara garis besar bahwa paru-paru memiliki fungsi sebagai berikut: a. Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara atmosfer ke darah vena dan mengeluarkan gas karbondioksida dari alveoli ke udara atmosfer b. Menyaring bahan beracun dari sirkulasi c. Reservoir darah d. Fungsi utamanya adalah pertukaran gas-gas (Tambayong, 2001).
9
3. Etiologi Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3 – 0,6 µm dan digolongkan dalam basil tahan asam (Suyono, 2001). 4. Patofisiologi Individu rentan yang menghirup basil tuberkulosis dan terinfeksi. Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil juga dipindahkan melalui sistem limfe dan pembuluh darah ke area paru lain dan bagian tubuh lainnya. Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit menelan banyak bakteri, limfosit spesifik tuberculosis melisis basil dan jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli dan menyebabkan bronkopnemonia. Massa jaringan paru/granuloma (gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati) dikelilingi makrofag membentuk dinding protektif. Granuloma diubah menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian sentralnya disebut komplek Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk
skar
kolagenosa.
Bakteri
menjadi
dorman,
tanpa
perkembangan penyakit aktif. Individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon inadekuat sistem imun, maupun karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon
10
memecah, melepaskan bahan seperti keju ke bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara, mengakibatkan penyebaran lebih lanjut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak mengakibatkan bronkopnemonia lebih lanjut (Price, 1999). 5. Manifestasi Klinik Gambaran klinis tuberkulosis mungkin belum muncul pada infeksi awal dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan gejala seperti batuk purulen produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya pagi hari), malaise, keringat malam (diaphoresis), gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan (Corwin, 2001). 6. Penatalaksanaan a. Pengobatan Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan tuberkulosis adalah eradikasi cepat M. tuberculosis, mencegah resistensi, dan mencegah terjadinya komplikasi. Jenis dan dosis Obat Anti TB Paru : 1) Isoniazid (H) Isoniazid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang sedang berkembang. Efek samping yang mungkin timbul berupa neuritis perifer, hepatitis rash, demam. Bila terjadi ikterus, pengobatan dapat dikurangi dosisnya atau dihentikan sampai
11
ikterus membaik. Efek samping ringan dapat berupa kesemutan, nyeri otot, gatal-gatal. Pada keadaan ini pemberian INH dapat diteruskan sesuai dosis. 2) Rifampisin (R) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dorman (persisten). Efek samping rifampisin adalah hepatitis, mual, reaksi demam, trombositopenia. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah atau jingga pada air seni dan keringat, dan itu harus diberitahukan pada keluarga atau penderita agar tidak menjadi cemas. Warna merah
tersebut
terjadi
karena
proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. 3) Pirazinamid (P) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Efek samping pirazinamid adalah hiperurikemia, hepatitis, atralgia. 4) Streptomisin (S) Bersifat bakterisid, efek samping dari streptomisin adalah nefrotoksik dan kerusakan nervus kranialis VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. 5) Ethambutol (E) Bersifat bakteriostatik, ethambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna merah dan hijau, maupun optic neuritis.
12
b. Pembedahan Dilakukan jika pengobatan tidak berhasil, yaitu dengan mengangkat jaringan paru yang rusak, tindakan ortopedi untuk memperbaiki kelainan tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulomatosa tuberkulosis atau untuk reseksi bagian paru yang rusak. c. Pencegahan Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberkulosis, mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi adekuat, minum susu yang telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis virulen (Depkes, 2002) 7. Prioritas Keperawatan TB Paru Mempertahankan oksigenasi adekuat, mencegah penyebaran infeksi, mendukung perilaku mempertahankan kesehatan, meningkatkan strategi
koping
efektif,
memberi
informasi
tentang
proses
penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan (Smeltzer and Bare, 2001). 8. Komplikasi Penderita TB paru antara lain : a. Pendarahan dari saluran pernafasan bagian bawah yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. b. Penyebaran infeksi ke organ lain
13
Misalnya : otak, jantung persendian, ginjal (Corwin, 2001). 9. Fokus Pengkajian Keperawatan Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah : a. Aktivitas/istirahat : Gejala :
terjadi kelelahan umum dan kelemahan, dipsnea saat kerja maupun istirahat,kesulitan tidur pada malam hari, demam pada malam hari, menggigil, berkeringat pada malam hari (diaphoresis), dan mimpi buruk.
Tanda :
Takikardia, takipnea, dipsnea saat kerja, kelelahan otot, dan nyeri.
b. Sirkulasi Gejala :
palpitasi
Tanda :
Takikardia, disritmia, adanya S3 dan S4, bunyi gallop (gagal jantung akibat effusi), nadi apikal berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda Homman (bunyi rendah denyut jantung akibat adanya udara dalam mediastinum), TD : hipertensi/hipotensi, distensi vena jugularis.
c. Integritas ego : Gejala : Gejala-gejala stres yang berhubungan dengan lamanya perjalanan penyakit, masalah keuangan, perasaan tidak berdaya/putus asa, menurunnya produktivitas.
14
Tanda : Menyangkal (khususnya pada tahap dini)Ansietas, ketakutan,
gelisah,
iritabel
Perhatian
menurun,
perubahan mental (tahap lanjut) d. Makanan dan cairan : Gejala :
Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan.
Tanda :
Turgor kulit buruk, kering, bersisik, kehilangan massa otot, kehilangan lemak subkutan
e. Nyeri dan Kenyamanan : Gejala :
Nyeri dada meningkat karena pernapasan,
batuk
berulang nyeri tajam/menusuk diperberat oleh napas dalam, mungkin menyebar ke bahu, leher atau abdomen. Tanda :
Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
f. Pernapasan : Gejala :
Batuk (produktif atau tidak produktif), napas pendek, riwayat terpajan tuberkulosis dengan individu terinfeksi.
Tanda :
Peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, leher, retraksi interkostal, ekspirasi abdominal kuat, pengembangan dada tidak simetris, perkusi pekak dan penurunan
fremitus,
pada
pneumothorax
perkusi
hiperresonan di atas area yang terlihat, bunyi napas menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral, bunyi
15
napas tubuler atau pektoral di atas lesi, crackles di atas apeks paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek (crackels
posttussive),
karakteristik
sputum
hijau
purulen, mukoid kuning atau bercak darah, deviasi trakeal. g. Keamanan: Gejala :
Kondisi penurunan imunitas secara umum memudahkan infeksi sekunder.
Tanda :
Demam ringan atau demam akut.
h. Interaksi Sosial : Gejala :
Perasaan terisolasi/penolakan karena penyakit menular, perubahan
aktivitas
sehari-hari
karena
perubahan
kapasitas fisik untuk melaksanakan peran. i. Penyuluhan/pembelajaran: Gejala :
Riwayat keluarga TB, ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk, gagal untuk membaik/kambuhnya TB, tidak berpartisipasi dalam terapi.
j. Macam tes diagnostik yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pameriksaan TB Paru
16
Jenis Pemeriksaan
Interpretasi Hasil
Sputum: -Kultur
Mycobacterium tuberculosis positif pada tahap aktif, penting untuk menetapkan diagnosa pasti dan melakukan uji kepekaan terhadap obat.
-Ziehl-Neelsen Tes Kulit (PPD, Mantoux, Vollmer)
BTA positif Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak berarti untuk menunjukkan keaktifan penyakit. Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru, simpanan kalsium lesi sembuh primer, efusi cairan, akumulasi udara, area cavitas, area fibrosa dan penyimpangan struktur mediastinal. Hasil positif dapat menunjukkan serangan ekstrapulmonal
Foto thorax
Histologi atau kultur jaringan (termasuk bilasan lambung, urine, cairan serebrospinal, biopsi kulit) Biopsi jarum pada jaringan paru Positif untuk gralunoma TB, adanya giant cell menunjukkan nekrosis. Darah: -LED
-Limfosit -Elektrolit -Analisa Gas Darah Tes faal paru
Indikator stabilitas biologik penderita, respon terhadap pengobatan dan predeksi tingkat penyembuhan. Sering meningkat pada proses aktif. Menggambarakan status imunitas penderita (normal atau supresi) Hiponatremia dapat terjadi akibat retensi cairan pada TB paru kronis luas. Hasil bervariasi tergantung lokasi dan beratnya kerusakan paru Penurunana kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, penurunan saturasi oksigen sebagai akibat dari infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyaki pleural
Tabel. 1. Macam test Diagnostik pada pemeriksaan TB Paru
17
k. Diagnosa Keperawatan 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, kelemahan upaya batuk buruk 2) Pola
nafas
tidak
efektif
berhubungan
dengan
sekresi
mukopurulen dan kekurangan upaya batuk 3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek paru. Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal 4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia. 5) Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk 6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigenasi untuk aktivitas 7) Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan jalan interpretasi inibrasi, keterbatasan kognitif 8) Risiko tinggi infeksi terhadap penyebaran berhubungan dengan pertahan primer adekuat, kerusakan jaringan penakanan proses inflamasi, malnutrisi
18
10. Fokus Intervensi dan Rasional 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, kelemahan upaya batuk buruk a. Tujuan : bersihan jalan nafas efektif b. KH : pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan mengeluarkan sekret tanpa bantuan c. Intervensi 1) Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kelemahan dan penggunaan otot bantu. Rasional :
Peningkatan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis,
ronchi,
mengi
menunjukkan
akumulasi sekret / ketidakmampuan untuk membersihkan menimbulkan
jalan
nafas
penggunaan
yang otot
dapat aksesori
pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan. 2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis. Rasional :
Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal sputum berdarah kental / darah cerah (misal efek infeksi, atau tidak kuatnya hidrasi).
19
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkankan upaya pernafasan. 4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan Rasional : Mencegah obstruksi respirasi, penghisapan dapat diperlukan
bila
pasien
tidak
mampu
mengeluarkan sekret. 5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi Rasional
: Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret, membantu untuk mudah dikeluarkan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan kekurangan upaya batuk a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali aktif b. KH : dipsnea berkurang, frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan normal c. Intervensi 1) Kaji kualitas dan kedalaman pernafasan penggunaan otot aksesoris, catat setiap perubahan Rasional
: Kecepatan biasanya meningkat, dipsnea terjadi
20
peningkatan kerja nafas, kedalaman pernafasan dan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. 2) Kaji kualitas sputum, warna, bau dan konsistensi Rasional
: Adanya sputum yang tebal, kental, berdarah dan purulen
diduga terjadi sebagai masalah
sekunder. 3) Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernafasan (semi fowler). Rasional
: Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal upaya batuk untuk memobilisasi dan membuang sekret.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek paru, kerusakan membran alveolar, kapiler, sekret kental dan tebal. a. Tujuan
: tidak ada tanda-tanda dispnea
b. KH
: melaporkan tidak adanya penurunan dipsnea, menunjukkan perbaikan ventilasi dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam rentang normal, bebas dari gejala, distres pernafasan.
c. Intervensi dan rasional 1) Kaji dipsnea, takipnea, tidak normal atau menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
21
Rasional
: TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas nekrosis effusi pleural untuk fibrosis luas.
2) Evaluasi tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku Rasional
: Akumulasi sekret/pengaruh jalan nafas dapat mengganggu O2 organ vital dan jaringan.
3) Tunjukkan/dorong bernafas dengan bibir selama indikasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim. Rasional
:
Membuat tahanan melawan udara luar untuk
mencegah kolaps atau penyempitan jalan nafas, sehingga membantu
menyebarkan
udara
melalui
paru
dan
menghilangkan atau menurunkan nafas pendek. 4) Tingkatkan tirah baring/batasi aktivitas dan bantu aktivitas pasien sesuai keperluan Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen/kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
22
5) Kolaborasi medis dengan pemeriksaan ACP dan pemberian oksigen Rasional :
Mencegah
pengeringan
membran
mukosa,
membantu pengenceran sekret. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan, anoreksia, ketidakcukupan nutrisi a. Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi (tidak terjadi perubahan nutrisi) b. Kriteria hasil : pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan melakukan perilaku atau perubahan pola hidup. c. Intervensi dan rasional: 1) Catat status nutrisi pasien dari penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangannya berat badan, riwayat mual atau muntah, diare. Rasional
: berguna dalam mendefinisikan derajat/ luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
2) Pastikan pada diet biasa pasien yang disukai atau tidak disukai. Rasional
: membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan pertimbangan
keinginan
individu
dapat
memperbaiki masukan diet. 3) Selidiki anoreksia, mual dan muntah dan catat kemungkinan hubungan dengan obat, awasi frekuensi, volume konsistensi
23
feces. Rasional
: Dapat
mempengaruhi
pilihan
diet
dan
mengidentifikasi area pemecahan masalah untuk meningkatkan
pemasukan
atau
penggunaan
energi
khususnya
nutrien. 4) Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional
: Membantu
menghemat
bila kebutuhan meningkat saat demam. 5) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan. Rasional
: Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
6) Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein. Rasional
: Masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari makan makanan banyak dari menurunkan iritasi gaster.
7) Kolaborasi, rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet. Rasional
: bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
24
5. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk. a. Tujuan : agar pola tidur terpenuhi. b. Kriteria hasil : pasien dapat istirahat tidur tanpa terbangun. c. Intervensi dan rasional: 1) Diskusikan
perbedaan individual dalam kebutuhan tidur
berdasarkan hal usia, tingkat aktivitas, gaya hidup tingkat stress. Rasional
: rekomendasi yang umum untuk tidur 8 jam tiap malam nyatanya tidak mempunyai fungsi dasar ilmiah individu yang dapat rileks dan istirahat dengan mudah memerlukan sedikit tidur untuk merasa segar kembali dengan bertambahnya usia, waktu tidur. Total secara umum menurun, khususnya tidur tahap IV dan waktu tahap meningkat.
2) Tingkatkan relaksasi, berikan lingkungan yang gelap dan terang, berikan kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen
dan
selimut,
berikan
ritual
waktu
tidur
yang
menyenangkan bila perlu pastikan ventilasi ruangan baik, tutup pintu ruangan bila klien menginginkan.
25
Rasional
: tidur akan sulit dicapai sampai tercapai relaksasi, lingkungan rumah sakit dapat mengganggu relaksasi.
6. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
keletihan dan
inadekuat oksigen untuk aktivitas. a. Tujuan : agar aktivitas kembali efektif. b. Kriteria hasil : pasien mampu melakukan ADLnya secara mandiri dan tidak kelelahan setelah beraktivitas. c. Intervensi dan rasional : 3) Jelaskan aktivitas dan faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen seperti merokok. suhu sangat ekstrim, berat badan kelebihan, stress. Rasional : merokok, suhu ekstrim dan stress menyebabkan vasokastriksi yang meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen, berat badan berlebihan, meningkatkan tahapan perifer yang juga meningkatkan beban kerja jantung. 4) Secara bertahap tingkatan aktivitas harian klien sesuai peningkatan toleransi. Rasional
: mempertahankan pernafasan lambat, sedang dan latihan yang diawasi memperbaiki kekuatan otot asesori dan fungsi pernafasan.
26
5) Memberikan dukungan emosional dan semangat Rasional
: rasa takut terhadap kesulitan bernafas dapat menghambat peningkatan aktivitas.
6) Setelah
aktivitas
kaji
respon
abnormal
untuk
meningkatkan aktivitas. Rasional
: intoleransi
aktivitas
mengevaluasi
dapat
jantung
dikaji
sirkulasi
dan
dengan status
pernafasan setelah beraktivitas. 7. Kurang
pengetahuan
(kebutuhan
belajar)
mengenai
kondisi,
aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan salah satu interprestasi informasi, keterbatasan kognitif, tidak lengkap informasi yang ada. a. Tujuan : pengetahuan pasien bertambah tentang penyakit TB Paru. b. Kriteria hasil : pasien menyatakan mengerti tentang penyakit TB Paru. c. Intervensi dan rasional: 1) Kaji kemampuan pasien untuk belajar Rasional
: belajar tergantung pada emosi dari kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
2) Berikan instruksi dan informasi tertulis pada pasien untuk rujukan contoh : jadwal obat. Rasional
: informasi tertulis menentukan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar informasi
27
pengulangan menguatkan belajar. 3) Jelaskan
dosis
obat,
frekuensi
pemberian,
kerja
yang
diharapkan dan alasan pengobatan lama, dikaji potensial interaksi dengan obat atau subtansi lain. Rasional
: meningkatkan
kerjasama
dalam
pengobatan danmencegah
program
penghentian
obat
sesuai perbaikan kondisi pasien. 4) Dorong untuk tidak merokok. Rasional
: meskipun
merokok
tidak
merangsang
berulangnya TBC tetapi meningkatkan disfungsi pernafasan. 5) Kaji bagaimana yang ditularkan kepada orang lain Rasional
: pengetahuan dapat menurunkan resiko penularan atau
reaktivitas
ulang
juga
komperkasi
sehubungan dengan reaktivitas. 8. Risiko tinggi infeksi terhadap penyebaran atau aktivitas ulang berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, penekanan proses inflamasi, mal nutrisi. a. Tujuan : tidak terjadi infeksi terhadap penyebaran. b. Kriteria hasil : pasien mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi, melakukan perubahan pola hidup. c. Intervensi dan rasional:
28
1) Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa. Rasional
:
membantu pasien perlunya
menyadari / menerima
mematuhi program pengobatan untuk
mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi serta membantu pasien atau orang terdekat untuk mengambil langkah untuk mencegah infeksi ke orang lain. 2) Identifikasi orang lain yang beresiko, missal: anggota keluarga, sahabat karib/ teman. Rasional
:
orang-orang yang terpejan ini perlu program terapi
obat
untuk
mencegah
penyebaran/
terjadinya infeksi. 3) Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, missal: masker atau isolasi pernafasan. Rasional
: dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
4) Anjurkan pasien untuk batuk/ bersin dan mengeluarkan pada tisu dan menghindari meludah. Kaji pembuangan tisu sekali pakai dan teknik mencuci tangan yang tepat, dorong untuk mengulangi demonstrasi.
29
Rasional
: perilaku
yang diperlukan
untuk
mencegah
penyebaran 5) Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat. Rasional
: periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada adanya rongga atau penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
6) Dorong memilih mencerna makanan seimbang, berikan makan sering, makanan kecil pada jumlah, makanan besar yang tepat. Rasional
: adanya anoreksia (mal nutrisi sebelumnya, merendahkan tahapan terhadap proses infeksi dan
mengganggu penyembuhan, makanan
kecil dapat
meningkatkan pemasukan semua.
B. KONSEP KELUARGA 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan RI (1988) yang dikutip oleh Effendy (1998), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Menurut Friedman (1998), keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional
30
dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Menurut Bailon dan Maglaya (1989) yang dikutip oleh Effendy (1998), keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.
2. Struktur Keluarga Menurut Effendy ( 1998 ) struktur keluarga terdiri dari bermacammacam, diantaranya adalah : a. Patrilineal : adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan
itu disusun
melalui jalur garis ayah. b. Matrilineal : adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi di mana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu. c. Matrilokal : adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri. d. Patrilokal :
adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama
keluarga sedarah suami.
31
e. Keluarga Kawinan : adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami istri. 3. Tipe/Bentuk Keluarga a. Keluarga Inti (Nuclear family), adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. b. Keluarga Besar (Extended Family), adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya, nenek, kakek, keponakan, sepupu, paman, bibi, dan sebagainya. c. Keluarga Berantai (Serial Family), adalah keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari 1 kali dan merupakan satu keluarga inti. d. Keluarga Duda/Janda (Single Family), adalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian. e. Keluarga
Berkomposisi
(Composite),
adalah
keluarga
yang
perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama. f. Keluarga Kabitas (Cahabitation), adalah dua orang yang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga. 4. Fungsi Keluarga Menurut Friedman 1999, ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga sebagai berikut :
32
a. Fungsi Afektif Bagaimana keluarga merasakan hal – hal yang dibutuhkan oleh individu lain dalam keluarga tersebut. Keluarga yang kurang memperhatikan adanya masalah TB Paru dalam keluarga tersebut akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut. b. Fungsi Sosialisasi Keluarga yang memberikan kebebasan kepada anggota keluarga yang menderita TB Paru untuk berinteraksi dengan lingkungan akan mengurangi tingkat stress keluarga. c. Fungsi Ekonomi Dalam fungsi ekonomi keluarga mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi
kebutuhan
keluarga.Pengaturan
penggunaan
penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang akan datang, misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua dan sebagainya. d. Fungsi Reproduksi Dalam menjalankan fungsi reproduksi keluarga menjalankan fungsi biologis antara lain untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga, memelihara dan merawat anggota keluarga. e. Fungsi Perawatan Kesehatan Pada fungsi perawatan keluarga ada 5 tugas perawatan kesehatan dalam keluarga antara lain : kemampuan keluarga dalam mengenal masalah
33
kesehatan keluarga, kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan bagi anggota keluarga yang sakit, kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit, kemampuan keluarga keluarga dalam memodifikasi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan, dan kemampuan keluarga dalam memggunakan fasilitas kesehatan. 5. Tugas Perkembangan Keluarga dengan Remaja Tugas perkembangan keluarga dengan remaja antara lain: 1) Memberikan kebebasan yang seimbang dan bertanggungjawab mengingat remaja adalah seorang dewasa muda dan memiliki otonomi. 2) Mempertahankan hubungan intim dalam keluarga. 3) Mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orang tua. Hindarkan terjadinya perdebatan, kecurigaan dan permusuhan. 4) Mempersiapkan perubahan sistem peran dan peraturan (anggota) keluarga untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anggota keluarga. 6. Tugas Kesehatan Keluarga Tugas keluarga dalam bidang kesehatan menurut Friedman (1981) yang dikutip oleh Effendy ( 1998 ), yaitu : a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
34
c. Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. d. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembagalembaga kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
C. ASUHAN
KEPERAWATAN
KELUARGA
DENGAN
MASALAH
TUBERKULOSIS PARU 1. Pengkajian Umur penderita Tuberkulosis Paru, sering kali berasal dari usia produktif (15 – 60 th). Angka tertinggi pada wanita ditemukan pada usia 40 – 50 th, sedangkan laki-laki usia lebih dari 65 tahun (Jakarta Pos, 2005). Jenis kelamin, pada wanita angka prevalensinya masih rendah dan meningkatnya juga lebih sedikit dibandingkan laki – laki (Crofton, 1998). Adat istiadat di tempat tinggal keluarga, suku bangsa, agama, sosial budaya, rekreasi, kegiatan pendidikan, kebiasaan makan dan berpakaian. Adanya pengaruh budaya pada peran keluarga dan peran struktur, bentuk rumah, bahasa yang digunakan sehari-hari, komunikasi dalam keluarga, penggunaan tempat pelayanan kesehatan.
35
Status sosial ekonomi keluarga termasuk di dalamnya terdapat penghasilan keluarga dan pendidikan keluarga. Pada penghasilan keluarga dampak keluarga yang berpenghasilan kurang atau kepala keluarga yang tidak mampu bekerja lagi, mudah terserang Tuberkulosis Paru karena keadaan gizi menurun dan daya tahan tubuh semua anggota keluarga rendah. Sehingga kemungkinan terserang Tuberkulosis Paru sangat besar. Sedangkan penderita Tuberkulosis Paru memerlukan perawatan yang lama, rutin, dan biaya untuk pengobatan. Sedangkan pada tingkat pendidikan, keadaan ekonomi yang rendah sangat berkaitan dengan masalah pendidikan, ini disebabkan karena ketidakmampuan keluarga dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi dan kurangnya pengetahuan tentang masalah Tuberkulosis Paru pada salah satu anggota keluarga, sehingga
tidak
mampu
merawat
penderita
dengan
baik
yang
mengakibatkan kondisi bertambah buruk, dan timbul komplikasi. Pada aktivitas rekreasi keluarga Identifikasi aktivitas dalam keluarga, frekuensi aktivitas tiap anggota keluarga dan penggunaan waktu senggang. 2. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga a) Tahap perkembangan keluarga dengan remaja Tugas keluarga pada tahap perkembangan keluarga dengan remaja adalah : 1). Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. 2). Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
36
3). Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. 4). Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. 5). Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada. b) Riwayat keluarga sebelumnya Riwayat kesehatan dalam keluarga adakah anggota keluarga yang pernah menderita penyakit kronis, penyakit menular atau penyakit yang sifatnya herediter, misalnya DM, hipertensi, jantung, hepatitis, tuberculosis. Dan bagaimana perawatan dari keluarga, pengobatan, serta tindakan medis yang telah didapatkan. 3. Pengkajian Lingkungan a. Karakteristik rumah Lingkungan perumahan yang kumuh, berdebu, kurang ventilasi, penerangan yang tidak adekuat, keadaan kamar tidur yang pengab karena sinar matahari tidak dapat masuk, kasur yang tidak pernah dijemur merupakan faktor-faktor yang menyebabkan kuman-kuman Tuberkulosis mudah menyebar dan menular. b. Macam lingkungan tempat tinggal
37
Tempat tinggal yang sempit, padat, sanitasi yang tidak terjaga, polusi udara juga menjadi potensi tersebarnya Tuberkulosis Paru. c. Karakteristik hubungan dengan tetangga dan masyarakat. Penderita Tuberkulosis Paru cenderung merasa rendah diri dalam pergaulan dengan tetangga dan masyarakat, oleh karena itu penderita tidak perlu dikucilkan atau diasingkan. Jika rajin memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan secara berkala dan minum obat secara teratur, maka penderita dapat disembuhkan. d. Mobilitas geografis keluarga Status rumah yang dihuni oleh keluarga apakah rumah sendiri atau menyewa, sudah berapa lama tinggal di daerah tersebut, dan pindah dari daerah mana. e. Interaksi keluarga dengan masyarakat 1). Fasilitas sosial dan kesehatan Fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan tidak terjangkau menjadi kendala dalam kelangsungan pengobatan penderita Tuberkulosis Paru, karena fasilitas kesehatan seperti puskesmas tempat yang dapat digunakan untuk berobat. 2). Fasilitas transportasi Transportasi merupakan sarana yang penting dan sangat diperlukan agar penderita mendapatkan pelayanan kesehatan dengan segera. Ketiadaan sarana transportasi menjadikan
38
masyarakat enggan berkunjung ke pelayanan kesehatan sehingga kondisi akan semakin memburuk. f. Sistem pendukung dalam keluarga Dukungan keluarga untuk penderita dengan memberikan motivasi dan semangat agar penderita tertib minum obat, rajin memeriksakan diri, penyediaan gizi yang sesuai anjuran. Adanya sistem pendukung dalam keluarga diharapkan membantu proses kesembuhan. Dalam hal ini keluarga berperan sebagai pengawas minum obat (PMO) 4. Struktur Keluarga a. Pola komunikasi Pola komunikasi terbuka dan langsung akan memudahkan tim pelayanan
kesehatan
dalam
pemberian
perawatan
pengobatan
Tuberkulosis Paru. b. Struktur peran Penderita Tuberkulosis Paru akan mengalami perubahan kapasitas fisik dalam melaksanakan peran, karena merasa tidak mampu menjalankan perannya, misalnya sebagai seorang kepala keluarga yang tidak bisa bekerja lagi, sehingga penghasilan keluarga menurun. c. Struktur Kekuatan keluarga Sejauh mana keluarga mampu mengambil keputusan dengan tepat dalam mengatasi masalah Tuberkulosis Paru yang ada di keluarga.
39
d. Nilai dan norma keluarga Bahwa Tuberkulosis Paru bukanlah merupakan penyakit kutukan. Namun Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang disebabkan karena adanya kuman Mycobacterium Tuberculosa. 5. Fungsi Keluarga a. Fungsi afektif Tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga sehingga saling pengertian satu sesama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga terutama anggota keluarga yang menderita Tuberkulosis Paru (Effendy, Nasrul, 1998). b. Fungsi sosialisasi Tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anggota keluarganya menjadi anggota masyarakat yang baik, mampu menyesuaikan diri dan dapat berinteraksi dengan lingkungan (Effendy, Nasrul, 1998). c. Fungsi kesehatan 1
Mengenal masalah kesehatan Tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah sejauh mana pengetahuan keluarga tentang masalah kesehatan yang terjadi dalam keluarga dalam hal ini Tuberkulosis Paru.
40
2
Pola nutrisi Kebiasaan makan dalam keluarga sangat mempengaruhi penularan Tuberkulosis Paru. Jika ada anggota keluarga yang menderita Tuberkulosis Paru, maka keluarga harus memperhatikan gizi yaitu tinggi kalori tinggi protein, memisahkan peralatan makan penderita seperti piring, sendok, gelas agar tidak terjadi penularan pada anggota keluarga yang lain (Nadesul, Handrawan, 1996).
3
Pola istirahat dan tidur Kebiasaan tidur menjadi satu dengan penderita, tidur di lantai tanpa alas atau kasur akan memperparah keadaan. Seorang penderita Tuberkulosis Paru biasanya mengalami kesulitan tidur pada malam hari, demam, dan berkeringat banyak (Doenges, 2000).
4
Pola aktivitas Aktivitas kerja yang berlebihan tanpa istirahat juga akan memperparah keadaan, karena penderita cenderung mengalami kelemahan, kelelahan umum, nafas pendek, nyeri dada, dan sesak nafas (Doenges, 2000).
5
Kebiasaan mengkonsumsi obat Kebiasaan mengkonsumsi alkohol, tembakau yang berlebihan juga menyebabkan Tuberkulosis Paru bertambah parah.
41
6
Pola perawatan diri Kebiasaan meludah di sembarang tempat tidak menggunakan tempat khusus, tidak menutup mulut saat batuk atau bersin, tidak meninggalkan kebiasaan merokok, tidak cuci tangan sebelum makan, merupakan kebiasaan-kebiasaan hidup tidak sehat yang dapat menyebabkan penularan Tuberkulosis Paru.
7
Lingkungan Masalah kebersihan lingkungan juga sangat menunjang tesebarnya Tuberkulosis Paru terutama polusi udara karena salah satu cara penularan Tuberkulosis adalah melalui droplet.
8
Riwayat kesehatan keluarga Penyakit-penyakit infeksi yang pernah diderita oleh keluarga, misalnya : demam thipoid, tuberculosis, hepatitits, diare, penyakit kulit.
9
Pelayanan kesehatan yang pernah diterima
10 Persepsi terhadap pelayanan kesehatan 6. Koping Keluarga a. Stressor yang sering muncul dalam keluarga b. Respon keluarga terhadap stressor c. Koping yang digunakan dalam mengatasi stressor
42
7. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi 1 Observasi penampilan umum penderita : tubuh kurus, postur tubuh cenderung membungkuk, dan tampak lemah. 2 Observasi kulit : Pucat. Turgor buruk, kering/bersisik 3 Batuk berdahak (produktif/non produktif) 4 Sesak nafas, gelisah/distraksi 5 Berhati-hati pada area yang sakit, terutama pada daerah dada b. Palpasi dada 1 Pengembangan paru yang tidak simetris (efusi pleural) 2 Nyeri dada c. Perkusi dada Perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau penebalan pleural) d. Auskultasi paru dan dada Kaji frekuensi pernafasan, irama kedalaman, bunyi nafas tidak normal (ronchi, mengi atau stridor). 8. Pemeriksaan Penunjang a. Kultur sputum : positif untuk Mycobacterium Tuberkulosis pada tahap aktif penyakit b. Zient Neelsen : Positif untuk basil asam cepat c. Tes kulit (PPD, Mantoux) : reaksi positif (area indurasi 10 mm/lebih besar, terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intradermal antigen)
43
d. Foto thorak : dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau efusi cairan.
D. MASALAH
KEPERAWATAN YANG
MUNCUL
PADA
KLIEN
TUBERKULOSIS PARU DI KELUARGA 1. Risiko tinggi infeksi (penyebaran/aktivasi ulang) (Doenges, 2000) 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif (Doenges, 2000) 3. Risiko tinggi kerusakan pertukaran gas (Doenges, 2000) 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Doenges, 2000) 5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan (Doenges, 2000) 6. Intoleransi aktivitas (Carpenito, Lynda Juall, 1997) 7. Gangguan pola tidur (Carpenito, Lynda Juall, 1997)
E. FOKUS INTERVENSI 1. Dx 1 : Risiko tinggi penyebaran infeksi ulang a. Prevensi Primer 1 Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, seperti perbaikan kondisi rumah yang pengab, lantai yang berdebu, pengadaan ventilasi. 2 Penjelasan tentang cara-cara penularan Tuberkulosis Paru pada anggota keluarga yang lain
44
3 Pendidikan kesehatan tentang personal hygiene seperti menutup mulut saat batuk, tidak meludah di sembarang tempat, mencuci tangan sebelum makan. b. Prevensi Sekunder 1 Pemeriksaan sputum ulang penderita BTA (+) 2 Meningkatkan keteraturan minum obat terhadap penderita agar tidak terjadi putus obat, dan keluarga sebagai pengawas minum obat 3 Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan kasus Tuberkulosis Paru sesuai paduan OAT Depkes RI tahun 2001. c. Prevensi Tersier 1 Perhatikan dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar terarah dan tidak terjadi penyebaran infeksi 2 Rujukan pada pelayanan kesehatan apabila sudah dilakukan pengobatan dan penderita masih sakit diharapkan keluarga membawa ke Rumah Sakit atau BP4. 3 Menyadarkan masyarakat untuk menerima penderita Tuberkulosis Paru dengan dukungan moral dan tidak mengasingkannya. 2. Dx 2 : Bersihan jalan nafas tidak efektif a. Prevensi Primer 1 Mengidentifikasi tanda dan gejala Tuberkulosis pada penderita tersangka seperti batuk-batuk dan sesak 2 Memperbaiki lingkungan rumah yang kotor, pengab, dan berdebu.
45
b. Prevensi Sekunder 1 Mengkaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan irama, dan kedalaman 2 Ajarkan penderita untuk batuk efektif dan nafas dalam 3 Memberikan penderita untuk minum sedikit 2500 ml/hari 4 Berikan
uap
air
panas
atau
inhalasi
uap
dan
minyak
cucalyptus/vicks vaporub. 5 Berikan obat-obatan tradisional untuk mengencerkan sekret misalnya jahe, kencur, bawang putih. c. Prevensi Tersier 1 Peningkatan peran serta keluarga dalam prevensi sekunder dan memberi dukungan moral pada penderita 2 Rujukan ke pelayanan kesehatan jika keluhan semakin memberat 3. Dx 3 : Risiko tinggi kerusakan pertukaran gas a. Prevensi Primer 1 Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang pentingnya perilaku hidup sehat seperti tidak merokok, menghindari alkohol agar tidak terjadi sesak pada penderita tersebut 2 Perbaikan/modifikasi lingkungan seperti lantai rumah yang berdebu, ventilasi udara yang kurang/rumah yang pengab dan kotor 3 Jelaskan
tentang
komplikasi-komplikasi
yang
terjadi
pada
penderita jika kondisi bertambah parah.
46
b. Prevensi Sekunder 1 Kaji sesak nafas dan adanya peningkatan supaya pernafasan 2 Anjurkan penderita untuk tirah baring dan membatasi aktivitas 3 Libatkan keluarga untuk membantu perawatan diri sesuai keperluan c. Prevensi Tersier 1 Rujuk penderita untuk melakukan pemeriksaan laboratorium GDA dan pemberian terapi oksigen jika diperlukan di rumah sakit. 4. Dx 4 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh a. Prevensi Primer 1 Memberikan penyuluhan tentang pentingnya gizi dan asupan nutrisi bagi penderita Tuberkulosis Paru 2 Ajarkan keluarga menyusun menu seimbang untuk penderita terutama diet TKTP seperti nasi, sayuran hijau, telur, buahbuahan, ikan laut. b. Prevensi Sekunder 1 Kaji masukan/pengeluaran dan berat badan penderita secara periodik 2 Anjurkan penderita untuk makan sedikit tapi sering bila terjadi anoreksia, mual/muntah 3 Dorong anggota keluarga untuk memberikan makanan/diet bagi penderita Tuberkulosis Paru yaitu tinggi protein dan karbohidrat.
47
c. Prevensi Tersier 1 Berikan antipiretik yang tepat, misalnya Panadol (Paracetamol) atau kompres denan daun dadap serep 2 Rujuk untuk pemeriksaan laboratorium, contoh BUN, protein serum dan albumin. 5. Dx 5 : Kurang pengetahuan tentang aturan tindakan dan pencegahan Tuberkulosis Paru a. Prevensi Primer 1 Penyuluhan dan pemberian informasi tentang pengertian, gejalagejala, tindakan, dan pencegahan yang perlu diketahui dan dilakukan secara mandiri oleh anggota keluarga penderita Tuberkulosis Paru 2 Peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan tenaga medis 3 Jelaskan tentang jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan Tuberkulosis Paru. b. Prevensi Sekunder 1 Anjurkan keluarga untuk selalu terlibat dalam perawatan secara mandiri pada penderita, terutama sebagai pengawas minum obat agar penderita tidak putus obat 2 Anjurkan penderita untuk teratur berobat dan meminum obat yang diberikan agar mempercepat penyembuhan
48
3 Jelaskan tentang efek samping obat yang diminum seperti Rifampicine yang menimbulkan gatal-gatal, kemerahan pada kulit, tidak nafsu makan, mual, warna kemerahan pada urine. 4 Jelaskan tentang lamanya pengobatan agar penderita tidak merasa cemas 5 Anjurkan untuk tidak merokok dan meminum alkohol. c. Prevensi Tersier 1 Tingkatkan
pengetahuan
masyarakat
tentang
penularan,
pencegahan dan keteraturan minum obat pada Tuberkulosis Paru 2 Jika terjadi efek samping obat, usahakan ganti dengan obat lain yang tidak menimbulkan efek samping contohnya efek samping streptomycin yang menimbulkan gangguan keseimbangan dapat diganti dengan Ethambutol 3 Jika efek samping bertambah berat, berikan kartikosteroid (Prednison), infus di UPK perawatan terdekat atau rujuk ke rumah sakit. 6. Dx 6 : Intolerasi aktivitas a. Prevensi Primer 1 Penyuluhan kepada masyarakat tentang kelemahan, kelelahan dan nafas pendek pada Tuberkulosis Paru dan jenis-jenis pekerjaan yang menyebabkan Tuberkulosis Paru seperti kuli bangunan, pegawai pabrik garment
49
b. Prevensi Sekunder 1 Anjurkan penderita untuk membatasi aktivitas yang berat dan menguras energi, seperti kuli bangunan, buruh pabrik dan pekerjaan naik turun tangga. 2 Anjurkan penderita untuk tirah baring
3 Libatkan keluarga untuk membantu dalam perawatan diri penderita, seperti mengambil obat mengambil makan dan personal hygiene. c. Prevensi Tersier 1 Penyempurnaan dan intesifikasi pengobatan lanjutan agar terarah dan tidak menimbulkan komplikasi 2 Bila terjadi kelemahan, berikan asupan vitamin B6. 7. Dx 7 : Gangguan pola tidur a. Prevensi primer Jelaskan pada masyarakat untuk pola istirahat dan tidur yang baik bagi penderita Tuberkulosis Paru dan gangguan tidur di malam hari yang sering dialami penderita b. Prevensi Sekunder 1 Anjurkan pada penderita untuk banyak istirahat dan tidak terlalu lelah, tidur terlalu larut dan sering begadang di malam hari 2 Jelaskan pentingnya istirahat bagi kesegaran tubuh 3 Anjurkan teknik masase, distraksi sebelum tidur (pijat pada punggung)
50
4 Usahakan tempat tidur yang nyaman, bersih, tidak tidur di lantai dan dipisahkan dari anggota keluarga lain. c. Prevensi Tersier 1 Menjelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya kebersihan dan modifikasi lingkungan rumah agar nyaman untuk beristirahat terutama tidur.
51