BAB II KONSEP DASAR
A. Pengertian Anemia adalah situasi atau keadaan dimana jumlah RBC dan atau konsentrasi hemoglobin berkurang di bawah normal. (Wong, 2001) Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler, juga dapat mempengaruhi megakaryosit mengarah pada neutropenia. (Sacharin, 2002) Anemia aplastik adalah gangguan akibat kegagalan sumsum tulang yang menyebabkan penipisan semua unsur sumsum. (Betz and Sowden, 1996) Anemia aplastik adalah kondisi dimana semua elemen pembentuk darah tertekan secara bersamaan. (Wong, 2001)
B. Klasifikasi 1. Eritroblastopenia (anemia hipoblastik) yaitu aplasia yang hanya mengenai sistem eritopoetik. 2. Agranulositosis (anemia hipoplastik) yaitu aplasia yang mengenai sistem agranulopoetik.
1
3. Amegakaryositik (Penyakit Schultz) yaitu aplasia yang mengenai sistem trombopoetik. 4. Panmieloptisis (anemia aplastik) yaitu aplasia yang mengenai ketiga sistem diatas (eritropoetik, agranulopoetik, trombopoetik) (Ngastiyah, 1997)
C. Etiologi Anemia aplastik disebakan oleh: 1. Faktor kongenital Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebaliknya. 2. Faktor didapat: a. Bahan kimia, benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb. b. Obat : Kloramfenikol, mesantoin (anti konvulsan), Piribenzamin (anti histamin), santonin kalomel, obat sitostatika (myleran, methrotrexate, TEM, vincristine, rubidomycine dan sebagainya). c. Radiasi : sinar rontgen, radioaktif. d. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan sebagainya. e. Infeksi, keganasan, gangguan endokrin. f. Lain–lain : penyakit ginjal. g. Idiopatik : merupakan penyebab yang paling sering, akhir–akhir ini fakto imunologis telah dapat menerangkan etiologi golongan idiopatik. (Ngastiyah, 1997. FKUI, 2002)
2
D. Manifestasi Klinik 1. Pucat 2. Kelemahan 3. Sesak nafas 4. Ruam 5. Mudah lebam 6. Hidung berdarah 7. Gusi berdarah 8. Anoreksia 9. Dispnea 10. Sakit tenggorokan 11. Ulserasi mulut dan faring 12. Perdarahan ke dalam tengkorak, gusi, usus atau ginjal. ( Sacharin, 1996 ) E. Patofisiologi Penyebab anemia aplastik adalah faktor kongenital, faktor didapat antara lain : bahan kimia, obat, radiasi, factor individu, infeksi, idiopatik. Apabila pajanan dilanjutkan setelah tanda hipoplasia muncul, maka depresi sumsum tulang akan berkembang sampai titik dimana terjadi kegagalan sempurna dan ireversibel. Disinilah pentingnya pemeriksaan angka darah sesering mungkin pada pasien yang mendapat pengobatan atau terpajan secara teratur pada bahan kimia yang dapat menyebabkan anemia aplastik.
3
Karena terjadi penurunan jumlah sel dalam sumsum tulang, aspirasi sumsum tulang sering hanya menghasilkan beberapa tetes darah. Maka perlu dilakukan biopsy untuk menentukan beratnya penurunan elemen sumsum normal dan pergantian oleh lemak. Abnormalitas mungkin terjadi pada sel stem, prekusor granulosit, eritrosit dan trombosit, akibatnya terjadi pansitopenia. Pansitopenia adalah menurunnya sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Penurunan sel darah ( anemia ) ditandai dengan menurunnya tingkat hemoglobin dan hematokrit. Penurunan sel darah merah ( Hemoglobin ) menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang dikirimkan ke jaringan, biasanya ditandai dengan kelemahan, kelelahan, dispnea, takikardia, ekstremitas dingin dan pucat. Kelainan kedua setelah anemia yaitu leukopenia atau menurunnya jumlah sel darah putih ( leukosit ) kurang dari 4500-10000/mm3 penurunan sel darah putih ini akan menyebabkan agranulositosis dan akhirnya menekan respon inflamasi. Respon inflamasi yang tertekan akan menyebabkan infeksi dan penurunan system imunitas fisis mekanik dimana dapat menyerang pada selaput lendir, kulit, silia, saluran nafas sehingga bila selaput lendirnya yang terkena maka akan mengakibatkan ulserasi dan nyeri pada mulut serta faring, sehingga mengalami kesulitan dalam menelan dan menyebabkan penurunan masukan diet dalam tubuh. Kelainan ketiga setelah anemia dan leukopenia yaitu trombositopenia, trombositopenia
didefinisikan
sebagai
jumlah
trombosit
dibawah
4
100.000/mm3. akibat dari trombositopenia antara lain ekimosis, ptekie, epistaksis, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf dan perdarahan saluran cerna. Gejala dari perdarahan saluran cerna adalah anoreksia, nausea, konstipasi, atau diare dan stomatitis ( sariawan pada lidah dan mulut ) perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan hematemesis melena. Perdarahan akibat trombositopenia mengakibatkan aliran darah ke jaringan menurun. ( Brunner and Suddarth, 2002 )
5
F. Pathways
Etiologi : Faktor kongenital, faktor didapat hipoplasia Pajanan dilanjutkan Depresi sumsum tulang Kegagalan sempurna dan ireversibel Penurunan jumlah sel dalam sumsum tulang 7. Kurang pengetahuan
Biopsi Abnormalitas pada sel stem, prekusor granulosit, eritrosit dan trombosit Pansitopenia Anemia (Hb < 12-16 gr/dl) Sirkulasi oksigen yang dikirim ke jaringan menurun Kelemahankelemahan kelelahan
Pucat, ekstermitas dingin
Leukopenia (leukosit < 4500-10.000/mm3) Sel darah putih turun Agranulositosis Respon inflamasi tertekan
5.Resiko infeksi 4. Intoleransi aktifitas
1. Perubahan perfusi jaringan
Berpengaruh pada pertahanan fisis mekanis
Ulserasi pada mukosa mulut dan faring Nyeri mulut dan faring
Kesulitan menelan
Anoreksia 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit
Trombositopenia (platelet < 100.000 /mm3) Gangguan dalam pembekuan darah Perdarahan : - ekinosis / ptekie - Epistaksis - Perdarahan ssp - Perdarahan saluran kemih - Perdarahan saluran cerna
Penurunan darah dalam sirkulasi Penurunan aliran darah ke jaringan perifer.
- Anoreksia - Nausea - Stomatitis
Penurunan masukan diet dalam tubuh
3. Konstipasi atau diare
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6
G. Komplikasi 1. Sepsis 2. Sensitisasi terhadap antigen donor yang bereaksi silang menyebabkan perdarahan yang tidak terkendali. 3. Cangkokan vs penyakit hospes (timbul setelah pencangkokan sumsum tulang ). 4. Kegagalan cangkok sumsum (terjadi setelah transplantasi sumsum tulang). 5. Leukemia mielogen akut, berhubungan dengan anemia fanconi. 6. Hepatitis, hemosederosis, dan hemokromatosis. (Betz and Sowden, 2002) (Soepandiman, 1994) H. Uji Laboratorium dan Diagnostik 1. Hitung darah lengkap disertai diferensial anemia makrositik, penurunan granulosit, monosit dan limfosit. 2. Jumlah trombosit menurun. 3. Jumlah retikulosit menurun. 4. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang hiposeluler. 5. Elektroforesis hemoglobin-kadar hemoglobin janin meningkat. 6. Titer antigen sel darah merah naik. 7. Kadar folat dan B12 serum normal atau meningkat. 8. Uji kerusakan kromosom positif untuk anemia fanconi. ( Betz and Sowden, 2002 )
7
I. Penatalaksanaan Medis 1. Tansplantasi sumsum tulang. 2. Imunoterapi dengan globulin antitimosit ATG atau globulin anti limfosit (ALG). 3. Tranfusi darah. 4. Antibiotik untuk mengatasi infeksi. 5. Makanan. 6. Istirahat. ( Wong, 2001. Sacharin, 1996. Betz and Sowden, 2002 ).
J. Konsep Tumbuh Kembang Pertumbuhan dan perkembangan termasuk suatu proses yang berubah – ubah : pembetukan jaringan, pembesaran kepala, tubuh serta anggota badan lain seperti tangan dan kaki. Peningkatan drastis dalam kekuatan dan kemampuan untuk mengendalikan otot – otot besar maupun kecil, perkembangan hubungan sosial, pemikiran dan bahasa, serta munculnya kepribadian. Terbukanya proses – proses tersebut dan interaksinya tergantung pada kondisi biologis dan fisik anak tersebut dan lingkungan sosialnya. (Nelson, 1999, 37 ). Antara usia 2-5 tahun (prasekolah) perkembangan dari periode sebelumnya diakhiri dalam keadaan lingkungan sosial yang luas dan dibentuk kembali oleh pertambahan bahasa yang rumit. Sebagai contoh adalah pengaturan diri sendiri dalam menghadapi kemungkinan dorongan yang besar.
8
Masalah ini, pada awal masa pertumbuhan muncul kembali seperti anak menghadapi tempat bermain yang ramai atau suatu ruang kelas prasekolah. Ketegangan antara pertumbuhan perasaan otonomi dan keterbatasan internal maupun eksternal menentukan pusat dinamis usia dini. Adapun pertumbuhan dan perkembangan yang dicapai pada usai prasekolah untuk motorik kasarnya. Anak atif dan terampil, berayun dan meluncur, mampu melompat dengan kaki secara bergantian, berdiri dengan satu kaki untuk waktu yang alam dan mampu melempar bola cukup baik. Motorik halusnya : menggambarkan manusia atau rumah yang tidak lengkap atau bujur sangkar, mampu menggunakan gunting, menggunting gambar sederhana. Aspek sosial yang dicapai : anak mengetahui banyak huruf-huruf dari alfabet, mengetahui lagi kanak-kanak, dapat berhitung sampai sepuluh sedangkan kemampuan bahasa yang dicapai pada usia ini. Anak dapat menghubungkan cerita dari peristiwa-peristiwa dan pengalamanpengalaman yang baru terjadi. Pembicaraan anak egosentris, mampu bermain dengan kata-kata dan mengetahui artinya serta mampu mengerti pertanyaan sederhana (Sacharin, 1996). Teori psikosexual menurut Sigmund Freud: 1. Fase oral (0-8,5 bulan) : (+) memberi kepuasan mulut, menghisap, menelan, makan, (-)menggigit, ngeces. 2. Fase anal (1-3 tahun) : (+)kepuasan berkisar sekitar anus, (-)BAK/BAB sendiri, ngompol, mempermainkan.
9
3. Fase phalik (3-6 tahun) : memegang genetalia, Oedipus complek (cinta ibu), Elektra complek (cemburu tak punya penis), bersaing ortu lawan jenis. 4. Fase latent (6-12 tahun) : orientasi sosial ke lur rumah, banyak teman. 5. Fae genital : plengkap fase sebelumnya, pemusatan sexual genital, penentuan identitas, independent, intim lawan jenis, bear group.
K. Masalah Keperawatan 1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke sel dan jaringan. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan. 3. Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet, perubahan proses pencernaan. 4. Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan. 5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat. 6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas, defisit nutrisi. 7. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat.
10
L. Fokus Intervensi 1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke sel dan jaringan. Tujuan : perfusi jaringan adekuat, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Criteria :
- tanda – tanda vital stabil. - Membran mukosa berwarna merah muda - Pengisian kapiler baik - Haluaran urin adekuat
Intervensi : 1.1. Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit / membran mukosa dasar kuku. 1.2. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi. 1.3. Awasi upaya pernapasan, auskultasi bunyi nafas, perhatikan bunyi adventisius 1.4. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi. 1.5. Kaji untuk respons verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori, bingung. 1.6. Orientasi / orientasikan ulang sesuai kebutuhan. 1.7. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai indikasi. 1.8. Hindari penggunaan bantalan penghangat atau botol air panas, ukur suhu air mandi dengan termometer.
11
Kolaborasi : 1.9. Awasi pemeriksaan laboratorium missal Hb/Ht dan jumlah sel darah merah, GDA. 1.10. Berikan SDM darah lengkap / packed, produk darah sesuai indikasi awasi ketat untuk komplikasi tranfusi. 1.11. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. 1.12. Siapkan intervensi pembedahan sesuai indikasi. (Doengoes, 2000) 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan. Tujuan
: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria : - Menunjukkan
peningkatan
berat
badan
dengan
nilai
laboratorium normal. - Tidak mengalami tanda malnutrisi Intervensi : 2.1. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai. 2.2. Observasi dan catat masukan makanan pasien. 2.3. Timbang berat badan setiap hari. 2.4. Berikan dan catat kejadian mual / muntah, flatus dan gejalalain yang berhubungan. 2.5. Observasi dan catat kejadian mual atau muntah, flatus dan gejala lain yang berhubungan dengan.
12
2.6. Berikan dan bantu higiene mulus yang baik. 2.7. Berikan pencuci mulut yang diencerkan bila mukosa oral luka. Kolaborasi : 2.8. Konsul pada ahli gizi 2.9. Pantau pemeriksaan laboratorium misal : Hb/Ht, Bun, albumin, protein, asam folat, elektrolit serum, dll. 2.10. Berikan obat sesuai indikasi misal : vitamin dan suplemen mineral, tambahan besi oral. 2.11. Berikan diet halus, rendah serat, menghindari makanan panas, pedas atau terlalu asam sesuai indikasi. 2.12. Berikan suplemen nutrisi (Doengoes, 2000) 3. Kontipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukn diet, perubahan proses pencernaan. Tujuan
: Konstipasi atau diare dapat teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria : - Membuat normal kecuali fungsi usus. - Menunjukkan perubahan perilaku / pola hidup yang diperlukan sebagai penyebab, faktor pemberat. Intervensi : 3.1. Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah. 3.2. Auskultasi bunyi usus.
13
3.3. Awasi masukan dan halauan dengan perhatian khusus pada makanan/cairan. 3.4. Hindari makanan yang membentuk gas. 3.5. Kaji kondisi kulit perianal dengan sering. Kolaborasi : 3.6. Konsul dengan ahli gizi untuk memberikan diit seimbang dengan tinggi serat dan bulk. 3.7. Berikan pelembek feses, stimulan ringan, laksatif pembentuk bulk atau enema susuai indikasi, pantau keefektifan. 3.8. Berikan obat anti diare misal hidroklorida dengan atropin (lomotil) dan obat pengabsorbsi air misal metamucil.
4. Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan Tujuan
: Kebutuhan aktifitas dapat terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria : - Melaporkan peningkatan toleransi aktifitas. - Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi misal : nadi, pernafasan, TD masih dalam rentang normal pasien. Intervensi : 4.1. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas normal, catat laporan kelelahan, keletihan dan kesulitan menyelesaikan tugas.
14
4.2. Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot. 4.3. Awasi nadi, TD, pernafasan selama dan sesudah aktifitas. 4.4. Berikan lingkungan tenang. 4.5. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing. 4.6. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat. 4.7. Berikan bantuan dalam aktifitas atau ambulasi bila perlu. 4.8. Rencanakan kemajuan aktifitas dengan pasien. 4.9. Gunakan teknik penghematan energi misal : mandi dengan duduk. 4.10. Anjurkan pasien untuk menghentikan aktifitas bila palpitasi, nyeri dada, napas pendek, kelemahan atau pusing terjadi. (Carpenito, 2000) 5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat. Tujuan
: Resiko terhadap infeksi dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria : - Mengindentifikasi
perilaku
untuk
mencegah
atau
menurunkan resiko infeksi. - Meningkatkan penyembuhan, bebas drainase, penulen atau eritema dan demam. Intervensi : 5.1. Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh perawat dan pasien.
15
5.2. Pertahankan teknik aspetik ketat pada prosedur atau perawatan luka. 5.3. Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat. 5.4. Dorong perubahan posisi atau ambulasi yang sering, latihan batuk dan nafas dalam. 5.5. Tingkatkan masukan cairan adekuat. 5.6. Pantau atau batasi pengunjung. 5.7. Pantau suhu, catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam. 5.8. Amati cairan atau cairan luka. Kolaborasi : 5.9. Ambil spesimen untuk kultur atau sentivitas sesuai indikasi. 5.10. Berikan antiseptik topikal, antibiotik sistemik. (Doengoes, 2000) 6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas, defisit nutrisi. Tujuan
: Integritas kulit dapat dipertahankan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria : - Mempertahankan integritas kulit. - Mengindentifikasi faktor resiko atau perilaku individu untuk mencegah cedera dermal. Intervensi : 6.1. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna hangat lokal, eritema, ekskoriasi.
16
6.2. Ubah posisi secara periodik dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur. 6.3. Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun. 6.4. Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif. Kolaborasi : 6.5. Gunakan alat pelindung misal keranjang, kasur tekanan udara atau air, pelindung tumit atau siku dan bantal sesuai indikasi. (Carpenito, 2000) 7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan atau mengingat. Tujuan
: Pengetahuan klien atau keluarga bertambah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 30 menit.
Kriteria : - Mengatakan
pemahaman
proses
penyakti,
prosedur
diagnostik dan rencana pengobatan. - Mengindenfikasi faktor penyebab. - Melakukan tindakan yang perlu atau perubahan gaya hidup. Intervensi : 7.1. Berikan informasi tentang anemia spesifik. 7.2. Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostik. 7.3. Jelaskan bahwa darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan memperbanyak anemia.
17
7.4. Tinjau perubahan diet yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diet khusus. 7.5. Kaji sumber-sumber (misal keuangan dan memasak). 7.6. Dorong untuk menghentikan merokok. 7.7. Instruksikan dan peragakan pemberian mandiri preparat besi oral. 7.8. Gunakan jarum terpisah untuk mengambil obat atau injeksi. 7.9. Peningkatan tentang kemungkinan reaksi sistemik. 7.10. Diskusikan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, tanda dan gejala yang memerlukan intervensi medis. 7.11. Idenfitifikasi masalah keamanan. 7.12. Telaah kebersihan mulut, pentingnya perawatan gigi teratur. 7.13. Intruksikan untuk menghindari produk aspirin. 7.14. Rujuk ke sumber komunitas yang tepat bila indikasi. (Carpenito, 2000)
18