BAB II KONSEP DASAR
A. Pengertian 1. BPH adalah hiperplasia dari kelenjar periuretral yang kemudian mendesak jaringan prostat
yang
asli
ke
perifer
dan
menjadi
simpai
bedah
( Sjamsuhidayat, 1997 ). 2. Benigna proastat hyperplasi adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostate ( secara umum terjadi pada pria lebih dari 50 th ) yang menyebabkan berbagai daerah obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinaria ( Doenges, 1999 ). 3. Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah kondisi terjadinya pembesaran sel epitel dan stromal kelenjar prostat karena pengaruh hormon
( Rina.
2005 ). 4. Hyperplasia Noduler Benigna merupakan pembesaran kelenjar prostat yang non neoplasti, yang sering terjadi setelah berumur 50 th dan timbul gejala obstruksi urinarisasi ( Underwood, 2000 ). 5. Jadi sesuai dengan kesimpulan di atas, maka Benigna Prostat Hyperplasia adalah suatu pembesaran prostat yang terjadi secara progresif karena pengaruh hormon yang menyebabkan terjadinya obstrukasi saluran urinaria ( biasanya terjadi pada pria yang lebih dari 50 th ).
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi a. Sistem reproduksi Struktur reproduksi pria terdiri dari penis, testis, skrotum, system duktus yang terdiri dari epididimis, vasdeverens, duktus ejakulatorius, uretra dan glandulla asesoria yang terdiri dari vesika seminalis, kelenjar postat dan kelenjar bulbouretralis. Testis bagian dalam terbagi atas lobulus yang terdiri dari lobulus semiferus sel yang mengsekresi testosteron. Pada bagian posterior tiap-tiap testis terdapat duktus yang melingkar yang disebut epididimis. Bagian kepalanya berhubungan dengan duktus semiferus (duktus untuk aliran keluar dari testis), dan bagian ekornya terus berlanjut ke vasdeverens (duktus ekskretorius). Testis yang membentang hingga ke duktus vesika seminalis, kemudian bergabung membentuk duktus ejakulatorius. Duktus ejakulatorius selanjutnya bergabung dengan sisten duktus, prostat mengelilingi leher vesika urinaria dan uretra bagian atas, saluran kelenjar bermuara pada uretra. Kelenjar bulbouretralis
(kelenjar cowper)
terletak dekat meatus uretra penis terdiri dari tiga massa jaringan erektil berbentuk silinder memanjang yang terbentuk pada penis. Lapisan dalamnya adalah korpus spongium yang membungkus uretra dan kedua masa paralel dibagian luarnya yaitu korpus karvenosum. Ujung distal penis dikenal sebagai glans penis yang ditutupi prepusium ( Price, 1995 ). Testis terbentuk dari lengkungan–lengkungnya tubulus semi ferus yang bergelung, yang dindingnya merupakan tempat pembentukan spermatozoa
dari sel germinatium primitive
(spermatogenesis). Kedua ujung
setiap lengkungan disalurkan ke dalam jaringan duktus di kepala epididimis. Spermatozoa berjalan melalui ekor epididimis menuju vas deverens. Spermatozoa masuk melalui duktus ejakulatorius ke uretra di dalam prostat pada saat ejakulasi. Diantara tubulus - tubukus testis terdapat sarng sel yang mengandung granula lemak (sel interstisium leydig), yang mengsekresikan testosteron ke dalam aliran darah. Arteri spermatika ke testis dan darah yang mengalir di dalamnya sejajar tetapi berlawanan arah dengan pleksus pampiniformis vena spermatika. Susunan ini memungkinkan pertukaran arus balik panas dan testosteron ( Ganong, 2002 ). b. Pada sitem perkemihan bagian vesika urinaris terdiri dari : 1. Fundus yaitu bagian yang menghadap kearah belakang dan bawah, bagian ini terpisah dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan duktus deverens, vesika seminalis dan prostat. 2. Korpus yaitu bagian antara veneks dan fundus. 3. Vertek bagian yang runcing kearah muka dan berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis. 2. Fisiologi a. Gametogenesis dan ejakulasi 1). spermatogenesis Spermatogonia sel-sel germinativum primitive yang terletak di samping lamina basalis tubulus seminiferus. Berkembang menjadi spermatosit primer.
Spermatosit
primer
membelah
menjadi
meiotik
sehingga
kromosomnya berkurang. Sel tersebut membelah menjadi spermatosit sekunder lalu menjadi spermatid. Yang mengandung jumlah kromosom haploid (23). Spermatid berkembang menjadi spermatozoa (sperma). Perkiraan jumlah spermatid yang terbentuk dari sebuah spermatogonium adalah 512, melalui proses spermatogenesis yang membentuk sebuah sperma diperlukan waktu rata-rata 74 hari untuk membentuk sebuah sperma yang matang dari sel germinativum primitive. Setiap sperma bergerak rumit, kaya DNA dengan sebuah susunan kromosom yang besar. Penutup kepala disebut akrosom (organel mirip lisosom yang kaya enzim yang bertangguang jawab dalam penetrasi sperma ke ovum dan proses selam pembuahan). Bagian proksimal sperma yang motil ditutupi oleh suatu selaput yang berisi banyak metokondria, membran spermatid dan spermatozoa mengandung enzim pengubah angiotensin tipe kecil khusus. Fungsi enzim ini tidak diketahui. Spermatid matang menjadi spermatozoa, sehingga dilepaskan dari sel sertoli dalam lumen tubulus. Sel sertoli mensekresikan protein pengikat androgen, inhibin dan MIS. Sel ini tidak mensintesis androgen, tetapi mengandung Aromatase (CYP 19) merupakan enzim yang berperan dalam menguah androgen menjadi estrogen, dan sel ini dapat menghasilkan estrogen. Inhibin menghambat sekresi FSH. MIS menyebabkan regresi duktus mullerian pada pria selama masa janin. FSH dan androgen mempertahankan fungsi gametogenik testis. Stadium spermatogonia menjadi spermatid tidak tergantung
pada
androgen,
namun
pematangan
spermatid
menjadi
spermatozoa tergantung pada androgen. FSH berfungsi sebagai pelancar stadium akhir pematangan spermatid. Kandungan estrogen dari cairan rete testis berfungsi sebagai cairan reabsorpsi dan spermatozoa dipekatkan. Apabila hal ini tidak terjadi maka sperma masuk di epididimis mengalami pengenceran dalam volume cairan yang besar akan terjadi kemandulan.Spermatozoa meninggalkan testis sebelum sepenuhnya mampu bergerak. Spermatozoa melanjutkan pematangan sewaktu melintasi epididimis. Meningkatnya motilitas spermatozoa akan mempermudah spermatozoa mengalami reaksi akrosom. 2). Efek suhu Spermatogenesis memerlukan suhu yang lebih rendah dari pada suhu bagian dalam tubuh. Testis dalam keadaan normal memiliki suhu sekitar 32°C. testis mempertahankan dingin oleh udara yang mengintari skrotum dan mungkin oleh pertukaran panas melalui arus balik antara arteri dan vena spermatika. Bila testis tetap berada dalam abdomen akan terjadi degenerasi dinding tubulus dan sterilisasi. Mandi air panas (43-45 °C selam 30 menit perhari) akan menyebabkan suatu penurunan sperma kira-kira 90%. 3). Semen Cairan yang diejakulasikan pada saat orgasme, semen mengandung sperma dan sekresi vesika seminalis, prostate, kelenjar cowper, dan mungkin kelenjar uretra. Volume rata-rata per ejakulasi adalah 2,5 - 3,5 ml setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan hitung sperma menurun cepat bila ejakulasi berulang. Setiap mililiter semen secara normal
mengandung 100 juta sperma. Jumlah sperma antara 20-40 juta/ ml dan bila kurang dari 20 juta/ ml dikatakan mandul. Setiap sperma bergerak dengan kecepatan sekitar 3 mm/ menit melintasi saluran genetalia wanita. Sperma mencapi tuba uteri 30-60 menit setelah ovulasi. 4). Ereksi Ereksi diawali oleh dilatsi arteriol-arteriol penis. Sewaktu jaringan erektil penis terisi darah, vena mengalami tekanan dan aliran keluar terhambat sehingga turgor organ bertambah. Pusat terdapat pada medulla spinalis.
5). Ejakulasi Merupakan suatu reflek spinal dua tahap yang melibatkan emisi, pergerakkan semen ke dalam uretra dan ejakulasi. Terdorongnya semen keluar uretra saat orgasme. sebagian besar merupakan serat dari reseptor di glans penis mencapai medulla spinalis. Emisi adalah suatu respon simpatis di lumbal bagian atas medulla spinalis akan terjadi kontraksi otot polos vasdeferensia dan vesikula seminalis sebagai ranngsang di saraf hipogastrik. Semen terdorong keluar uretra oleh kontraksi bulbo karnevosa (otot rangka). Reflek ini terletak di segmen sakral bagian atas dan lumbal bawah medulla spinalis. 6). PSA (Prostate Specific Antigen). Prostat membentuk dan mengsekresi dalam semen dan darah. Gen PSA memiliki dua respon element androgen. Zat ini menghidrolisis inhibitor motalitas sperma semenogelin dalam semen dan funsi pastinya belum
diketahui. PSA dijumpai pada kanker prostat dan deteksi dini, walaupun PSA juga meningkat pada hipertrofi prostat jinak dan prostatitis. 7). Fungsi endokrin testis Testosteron merupakan hormon utama testis. Testosterone akan menurun dengan bertambahnya usia pada pria. Testosteron dan androgen memiliki umpan balik dalam membentuk sifat kelamin sekunder pria yaitu sebagai anabolic protein, pendorong pertumbuhan dan mempertahankan spermatogenesis (Ganong, 2002). Gmb 1. Anatomi system reproduksi dan perkemihan
Sumber: Sobota C. Etiologi
Penyebab pasti terjadinya BPH saat ini belum diketahui secara pasti, akan tetapi terdapat faktor predisposisi, yaitu :
1. Adanya proses penuaan dan ketidak seimbangan antara estrogen dan testosteron. Pada usia yang makin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap. Estrogen di dalam prostat berperan dalam pembelahan sel-sel kelenjar prostat. ( Saraswati, 2006 ).
2. Berfungsinya sel leydig pada testis. Testis sendiri merupakan penghasil hormon androgen dan faktor genetik ( Suharti, dr.SpKp, 2005 ).
D. Patofisiologi Prostat merupakan kelenjar yang berkapsul kira-kira beratnya 20 gr, yang melingkari uretra pria dibawah vesika urinaria. Tanda dan gejala yang berhubungan adanya Benigna Prostat Hyperplasi ( BPH ) adalah terjadinya pembesaran prostat yang berdampak pada penyumbatan parsial atau penuhnya pada saluran kemih, hal ini disebabkan oleh adanya tanda, gejala obstruksi dan iritasi pada uretra. Salah satu gejala dari BPH adalah obstruksi saluran kemih, sehingga penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi melemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan karena adanya hipersentivitas otot detrusor yang berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan mungkin terjadinya disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi Karena pengosongan yang tidak sempurna. Pada saat miksi atau pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Tanda dan gejala ini untuk menentukan berat ringannya keluhan. Apabila vesika urinaria menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan urin dalam vesika urinaria dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, menyebabkan penderita tidak mampu lagi miksi, karena produksi urin terus terjadi, maka vesika tidak mampu lagi menampung urin, menyebabkan tekanan intra vesika meningkat.
Apabila tekanan vesika terus
meningkat dan tekanan vesika lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi akan terjadi inkontinensia. Retensi kronik menyebabkan refluk vesika ureter, hydroureter, hydronefrosis dan gagal ginjal. Bila terjadi infeksi maka akan mempercepat terjadinya kerusakan ginjal. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengejan yang lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya terjadinya hernia atau hemoroid, dan bila selalu terdapat sisa urin akan terbentuk endapan dalam vesika urinaria, menyebakan terjadinya batu. Batu ini yang akan menyebkan terjadinya iritasi sehingga menimbulkan hematuria dan statis, apabila terjadinya refluk maka akan terjadi pielonefritis ( Sjamsuhidajat, 1997 ).
E . Manifestasi klinik
Gejala Benigna Prostat Hyperplasi (BPH) dapat digolongkan menjadi dua yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif. 1. Gejala Obstruksi : pembesaran prostat meliputi distensi kandung kemih “Hesitancy”, pancaran kencing melemah, terputus-putus, tidak lampias saat selesai berkemih, rasa ingin kecing sesudah kencing dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih. 2. Gejala iritatif : frekuensi kencing yang tidak normal, seperti sering miksi dan terbangun saat malam hari ( nokturia ), sulit menahan kencing dan rasa sakit ( nyeri ) waktu kencing. Terkadang bisa juga teerjadi hematuria dan nyeri saat ejakulasi ( Sjamsuhidajat, 1997 ).
F. Penatalaksanaan 1. Observasi Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan ialah dengan mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obatan dekongestan (parasimpalitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehakn minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. 2. Medikamentosa Penderita derajat satu biasanya diberikan pengobatan konservatif misalnya dengan pemberian penghambat adrenoreseptor alfa seperti : alfarosin, prazosin dan terazosin. Keuntungannya adalah efek positif pada keluhan pasien tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikit pun.
Mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon testoteron/ dehidrotestoteron (DHT) yaitu dengan finasteride penghambat 5 alfa reduktase yang mencegah perubahan testoteron menjadi dehidrotestoteron sehingga kadar zat aktif dehidrostestoteron menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. 3. Terapi bedah Prosedur yang digunakan untuk mengangkat kelenjar prostat, ialah : a. Transurethral resection of the prostate (TURP) Merupakan prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan melalui endoskpoi. Instrumen bedah dimasukkan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat. Prosdur ini tidak memerlukan insisi dan digunakan untuk kelenjar yang berukuran beragam. b. Prostatektomi suprapubis/ Transmilad prostatectomy ( TMP ). merupakan salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen ( ke dalam kandung kemih ), dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran. c. Prostatektomi perineal Merupakan penggangkatan kelenjar melalui suatu insisi dalam perinium. d. Prostatektomi suprapubik Merupakan teknik lain dan lebih umum dibanding pendekatan suprapubik, yaitu bedah insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prosta tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini sangant cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. e. Transurethral incision of the prostate (TUIP).
Merupakan prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Insisi ini dibuat untuk mengurangio tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretra. Metode ini diindikasikan pada prostat yang berukuran kecil ( ± 30 gr ).
G. Komplikasi Obstruksi yang berkelanjutan dari aliran vesika urinaria menyebabkan terjadinya hyperplasia yang bertahap dari otot vesika urinaria. Trabekulasi dinding vesika urinaria terbentuk akibat serabut pronium dari otot polos yang menebal dimana diantaranya dapat terjadi penonjolan divertikum. Mekanisme kompensasi seperti ini sering mengalami kegagalan , yang mengakibatkan terjadinya dilatasi pada vesika urinaria. Ureter secara bertahap akan mengalami dilatasi ( hydroureter ) menyebabkan pengembalian urin, dan jika tidak segera diobati akan terjadi hydronefrosis disertai dilatasi pelvis renalis dan kalies. Akibatnya vesika gagal melakukan pengosongan secara penuh sehabis kencing, sedikit urin tersisa dan tertinggal di dalam vesika. Sisa urin sisa ini memungkinkan untuk terjadinya infeksi, biasanya organisme koliform. Sistitis yang terjadi adanya nyeri dan disertai hematuria. Sedangkan infeksi pada kejadian obstruksi di traktus urinarius dapat mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan gangguan fungsi ginjal. Infeksi ini berulang merupakan faktor predisposisi terjadinya batu dalam vesika urinaria yang sering mengandung fosfat. Septicemia sering terjadi sebagai komplikasi pielonefritis
( Underwood, 2000 ).
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengejan yang lama kelamaan akan menyebabkan
terjadinya
terjadinya
hernia
atau
hemoroid.
Retensi
kronik
menyebabkan refluk vesika ureter, hydroureter, hydronefrosis dan gagal ginjal ( Sjamsuhidajat, 1997 ). H. Teori inflamasi 1. Pengertian inflamasi Merupakan reaksi vaskuler yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan intertisial pada daerah cidera atau nekrosis ( Price, 1994 ). 2. Tanda-tanda inflamasi a. Rubor ( kemerahan ) Merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Reaksi ini timbul karena arteriol yang menyuplai daerah tersebut melebar, sehingga darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal menyababkan terjadinya hiperemia. Timbulnya Hiperemia pada reaksi peradangan diatur oleh tubuh secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat histamin. b. Kalor (panas) Merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi dipermukaan tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, hal ini disebabkan karena darah (pada suhu 37°C) yang dialirkan tubuh kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak dari pada daerah normal. c. Dolor (rasa sakit)
Merupakan reaksi peradangan yang dihasilkan dengan berbagai cara. Hal ini disebabkan oleh perubahan pH lokal atau terjadi pengeluaran zat kimia (histamin)yang dapat merangsang ujung-ujung saraf dan pembengkakan jarngan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang menyebabkan timbulnya rasa sakit. d. Tumor (pembengkakan) Pembengkakan terjadi karena cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan interstisial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat, eksudat ini merupakan keadaan awal dari reaksi peradangan. e. Fungsio laesa (perubahan fungsi) Merupakan perubahan fungsi yang sisebakan karena fungsi jaringan yang meradang terganggu ( Price, 1994 ).
L. Proses penyembuhan luka Luka merupakan gangguan dalam kontinuitas sel-sel, kemudian diikuti dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan kontinuitas. 1. Fisiologi dari penyembuhan luka Respon jaringan terhadap cidera melewati beberapa fase yaitu inflamasi, poliferatif dan maturasi. a. fase Inflamasi Merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai beberapa menit dan berlangsung 3 hari setelah cidera. Proses perbaikan terdiri dari
mengontrol perdarahan (hemostasis), mengirim darah dan sel ke area yang mengalami cidera (inflamasi), dan membentuk sel-sel epite pada tempat cidera (epiteliasasi). Selama proses hemostasis, pembulh darah yang cidera mengalamikontriksi
dan
trombosit
terkumpul
untuk
menghentikan
perdarahan. Bekuan darah membentuk matrik fibrin yang akan menjadi perbaikan sel. Jaringan yang rusakdan sel mast mengsekresi histamin, menyebabkan vasodilatasi kapiler dasekitarnya dan mengeluarkan serum dan sel darah putih pada jaringan yang rusak. Hal ini menyebabkan terjadinya respon inflamsi. Leukosit utama yang bekerja pada luka adalah netrofil. Netrofil mati akan meninggalkan eksudat enzim yang akan menyerang bakteri atau membantu perbaikan jaringan. Leukosit kedua yang penting adalah monosit yang akan berubah menjadi makrofag. Makrofag akan membersihkan luka dari bakteri, sel mati dan mendaur ulang zat-zat tertentu, seperti amino dan gula, yang dapat membantu dalam perbaikan luka. Makrofag akan melanjutkan proses pembersihan luka dan menstimulasi pembentukan fibroblast, yaitu sel mensintesis kolagen. Setelah makrofag memberihkan luka dan menyiapkan untuk perbaikan jaringan , sel epitel bergerak dari bagian tepi luka di bawah dasar bekuan darah atau keropeng. Akhirnya luka akanterbentuk lapisan tipis dari jaringan epiteldan menjadi barier terhadap organisme penyebab infeksi dan zat-zat beracun. b. Fase proliferasi (regenerasi)
Dengan munculnya pembuluh darah baru sebagai hasil rekontruksi, fase proliferasi terjadi 3-24 hari. Fase regenerasi ini adalah mengisi luka dengan jaringan penyambung atau jaringan granulasi yang baru dan menutup luka dengan epitelisasi. Fibroblast adalah sel-sel yang mwensintesis kolagen yang akan menutup defek luka. Fibroblast membutuhkan vitamin B dan C, oksigen dan asam amino. Kolagen memberikan kekuatan dan integritas struktur pada luka. c. Maturasi (remodelling) Merupakan tahap akhir proses penyembuhan luka, dapat memerlukan waktu lebih 1 tahun, tergantung pada kedalaman dan keluasan luka. Serat kolagen mengalami remodeling atau reorganisasi sebelum mencapai bentuk normal. Biasanya jaringan parut mengandung lebih sedikit sel-sel pigmentasi (melanosit) dan memiliki warna yang lebih terang dari pada warna kulit normal ( Potter, 2005 ).
J. Pengkajian focus 1. Demografi a. Usia
: Lebih dari 50 th
b. Jenis kelamin
: Laki – laki. ( Smeltzer, 2001 ).
2. Riwayat kesehatan a. BPH dengan penyumbatan aliran urinaria. b. Kanker prostate. ( Engram, 1998 ). 3. Perubahan pola fungsional
a. Sirkulasi Tanda
: Peningkatan Tekanan darah (efek dari pembesaran ginjal).
b. Eliminasi Gejala
: Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urin, keaguan-raguan pada awal kemih, ketidak mampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria, duduk untuk berkemih, ISK berulang, riwayat batu, konstipasi.
Tanda
: Masa padat di bawah abdomen bawah ( distensi kandung kemih), nyeri teksn ksndung kemih. Hernia inguinalis, hemoroid ( mengakibatkan
peningkatan
tekanan
abdominalyang
memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahana ). c. Makanan/ cairan Gejala
: Anoreksia, mual, muantah dan penurunan berat badan.
d. Nyeri dan kenyamanan Gejala
: Nyeri suprapubis, panggul atau punggung, kuat, tajam dan nyeri punggung bawah.
e. Keamanan Gejala
f. Seksualitas
: Demam
Gejala
: Masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksual, takut inkontinensia/ menetes selam berhubungna intim dan penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.
Tanda
: Pembesaran dan nyeri tekan prostat.
g. Penyuluhan dan pembelajaran Gejala
: Riwayat keluarga kanker, hipertensi dan penyakit ginjal, penggunaan antihipertensi atau anti depresan, antibiotic urinaria atau agen antibiotic, obat yan dijual bebas untuk flu/ alergi obat mengandung simpatomimetik.
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama di rawat 22 hari. Rencana pemulangan : Memerlukan bantuan denagn management terapi, contoh kateter ( Doenges, 1999 ). 4. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan fisik Untuk mengukur besarnya hyperplasi prostat dapat dipakai berbagai ukuran, yaitu rectal grading, clinical grading dan intra uretral grading. 1). Rectal grading Rectal toucher diperkirakan beberapa sentimeter prostate menonjol ke dalam lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan denagn buli-buli kosong karena bila penuh, dapat tyerjadi kesalahan.
Grasi ini adalah sebagi berikut :
0-1 cm ………………grade 0 1-2 cm ………………grade 1 2-3 cm ………………grade 2 3-4 cm ………………grade 3 >4 cm ……………….grade 4 Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostate tidak dapat diraba. Bila prostat besar sekali grade 3 dan 4, orang lebih suka memilih prostatektomiterbuka secara trans vesikal. 2). Clinical grading Pada pengukuran ini yang menjadi patokkan adalah banyaknya sisa urin pada pagi hari setelah [asien bangun, disuruhkencing sampai selesai. Kemudian dimasukkan kateter ke dalam buli-buli untuk mengukur sisa urin Sisa urin 0 cc …………………….…….normal Sisa urin 0-50 cc………………………..grade 1 Sisa urin 50-150 cc…………………..…grade 2 Sisa urin > 150 cc…………………..…..grade 3 Sama ssekali tidak bisa kencing ……… grade 4 3). Intra uretral grading Melihat berapa jauh penonjolan lobus lateral kedalam lumen uretra. Pengukuran ini hanya dapat dilihat dengan endoskopy dan sudah menjadi bidang dari urologi yang khusus. b. Pemeriksaan penunjang 1). Pemeriksaan laboratorium
Analis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit,
bskteri
dan
infeksi.
Bila
tardapat
hematuria
harus
diperhitungkan etiologi lainnya, seperti keganasan pada saluran kemih, batu infekasi saluran kemih. Walaupun BPH sendiri dapat dapat menyebabkan hematuria. Kadar ureum dan kreatinin darah merupakan n informasi faal ginjal. Pemeriksaan PSA ( Prostat Spesific Antigen )sebagai dasar deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA , 4 mg/ ml tidak perlu biopsy, sedangkan bila nilai PSA 4 -10 mg/ml, hitunglah PSAD ( Prostat Spesific Antigen Density ) yaitu PSA dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD. 0,15 maka sebaiknya dilakukan biops prostat, demikian dengan nilai PSA > 10mg/ml. 2). Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi, intravena, USG dan sistokopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun
tidak
berhubungan dengan BPH. Jenis pemeriksaan antara lain : a). Foto polos, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. b). Pielonografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hydronefrosisi dan hydroureter, fish hook appearance ureter berkelok-kelok di vesika ).
( gamabaran
c). USG dapat diperkirakan pembesaran prostate, pemeriksaan masa ginjal, residu urin, batu ginjal, diverikulum atau tumor buli-buli.
( Manjoer,
2000 ). c. Pemeriksaan diagnostik 1). Urinalisis
:
warna
kuning,
coklat
gelap,
merah
gelap/terang, penampilan keruh, pH : 7 atau lebih besar, bakteria. 2). Kultur urin
:
adanya
staphylokokus
aureus.
Proteus,
klebsiella, pseudomonas atau E coli. 3). IVP
:
menunjukkan
pelambatan
pengosongan kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, penebalan abnormal otot kandung kemih. 4). Sistogram
:
mengukur tekanan darah dan volume
dalam kandung kemih 5). Sistouretrografi berkemih
: Sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi
kandung kemih dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal. 6). Sistouretroscopy
: Untuk menggambarkan derajat pembesaran
prostat dan dikandung kemih 7). Ultrasonografi Transrectal
:
mengetahui
pembesaran
mengukur sisa urin dan keadaan patologi seperti tumor atau batu. Doenges, 1999 ).
I.
Patway
Perubahan usia (usia lanjut) Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosteron
prostate, (
Kadar testoteron menurun
Kadar estrogen meningkat
Diit kompleks
hiperplasia sel stroma pada jaringan prostat
Mempengaruhi DNA dalam inti sel Proliferasi sel prostat
BPH Obstruksi saluran kemih yg bermuara ke Vesika Urinaria Retensi urin Prosedur pembedahan
Terpasang kateter
Disfunsi seksual
Luka
Efek dari anestesi
Perdarahan Perubahan pola kemih
Irigasi
Resiko infeksi Resiko defisit cairan
Pereganagan Gg. Mobilisasi
Nyeri Gg. Rasa nyaman nyeri
( Long C, Barbara, Sjamsuhidayat, Smeltzer ).
J. Diagnosa keperawatan Post operasi 1. Dx. Perubahan pola kemih berhubungan dengan obstruksi mekanikal, bekuan darah, edema, trauma prosedur pembedahan.
2. Dx. Defisit volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan, ditandai dengan adanya tanda – tanda dehidrasi. 3. Dx. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi bedah, prosedur invasive, irigasi pembedahan dan trauma jaringan. 4. Dx. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinary dan terapi radiasi. 5. Dx. Disfungsi seksual berhubungan dengan inkontinensia, kebocoran urin setelah pengangkatan 6. Dx. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan efek anestesi.
K. Intervensi 1. Dx. Perubahan pola kemih berhubungan dengan obstruksi mekanikal, bekuan darah, edema, trauma prosedur pembedahan. Tujuan
: aliran urin meningkat
Kriteria hasil : a. b.
Berkemih dengan jumlah yang normal tanpa operasi Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung kemih.
Intervensi a. Mengkaji haluaran urin b. Membantu pasien memilih posisi untuk berkemih. c. Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. d. Mendorong pasien untuk berkemih bila teras dorongan.
e. Mengukur volume residu. f. Mendorong pemasukkan caiaran 3000 ml sesuai toleransi g. Mengintruksikan pada pasien untuk latihan perineal. h. Menganjurkan pasien bahwa “ penetesan ” diharapkan kateter dilepas. i. rigasi kandung kemih. Rasinal a. Retensi dapat terjadi karena edema area bedah. b. Mendorong pasase urin dan meningkatkan rasa normalitas. c. Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah. d. Berkemih denagn dorongan mencegah retensi urin. Keterbatsan berkemih untuk setiap 4 jam. e. Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih, residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung kemih membaik. f. Mempertahankan dehidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin. g. Membatu meningkatkan control kandung kemih/ sfingter. h. Informasi membantu pasien untuk menerima masalah. i. Mencuci kandung kemih dari bekuan darah ( Doenges, 1999 ).
2. Dx. Defisit volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan, ditandai dengan adanya tanda – tanda dehidrasi. Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi defisit volume cairan.
Kiteria hasil
: a. Mempertahankan dehidrasi adekuat. b. Tanda – tanda vital stabil c. Pengisian kapiler baik. d. Menunjukkan tidak adanya perdarahan
Intervensi a. Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan. b. Mengawasi pemasukkan dan pengeluaran c. Observasi drinase kateter. d. Evaluasi warna, konsitensi urin. e. Inspeksi balutan/ lika drain. f. Mengawasi tand-tanda vital. g. Memantau kegelisahan klien. h. Mendorong pemasukkan cairan 3000 ml. i. Menghindari penggukuran suhu rectal. j. Mengawasi pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht dan jumlah sel darah merah).
Rasional a. Penarikan kateter menyebabkan perdarahan. b. Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian pada irigasi kandung kemih. c. Perdarahan tidak umumterjadi pada 24 jam pertama. d. Untuk mengetahui perdarahan.
e. Perdarahan dapat dapat dibuktikan atau disingkirakan dalam jaringan perineum. f. Dehidrasi memerlukan intervensi cepat. g. Dapat menurunkan perfusi cerebral. h. Membilas ginjal/ kandung kemih dari bakteri. i. Dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap prostat. j. Berguna dalam mengevaluasi kehilangan darah ( Doenges, 1999 ).
3. Dx. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi bedah, prosedur invasive, irigasi pembedahan dan trauma jaringan. Tujaun
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil : a. Mencapai waktu penyembuhan b. Tidak terjadi tanda infeksi Intervensi a. Pertahankan system kateter steril dan berikan perawatan kateter. b. Ambulasi dengan kantung drinase dependent. c. Observasi tanda vital. d. Observasi drainase luka sekitar supra pubik. e. Menganti balutan dengan sering (insisi supra/ retropubik dan perineal). f. Mengunakan pelindung kulit. g. Kolaborasi dengan pemberian antibuiotik. Rasional a. Mencegah pemasukkan bakteri dari infeksi.
b. Menghindari reflek balik urin. c. Observasi terjadinya syok. f. Insisi resiko terjadinya infeksi. g. Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan pertumbuhan bakteri. h. Memberikan perlindungan untuk kulit sekitar. i. Berhubugan dengan peningkatan resiko infeksi ( Doenges, 1999 ).
4. Dx. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinary dan terapi radiasi. Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperwatan nyeri hilang/ terkontrol.
Kriteria hasil : a. Nyeri hilang/ terkontrol b. Klien tampak rilek c. Mampu untuk istirahat
Intervensi a. Mengkaji nyeri b. Mempertahankan patensi kateter dan system drainase. c. Meningkatkan pemasukkan 3000 ml/ hari sesuai toleransi. d. Berikan pasien informasi yang akurat tentang kateter, drainase dan spasme kandung kemih. e. Berikan tindakan kenyamanan. f. Berikan rendam duduk.
g. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi. Rasional a. Memberikan informasi untuk membantu dan menentukan pilihan intervensi. b. Mempertahankan fungsi kateter dan drainase. c. Menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan ke mukosa kandung kemih. d. Menghilangkan ansietas. e. Menurunkan ketegangan otot. f. Meningkatkan perfusi jaringan, perbaikan edem dan perbaikan penyembuhan. g. Meningkatkan rerlaksasi ( Doenges, 1999 ).
5. Dx. Disfungsi seksual berhubungan dengan inkontinensia, kebocoran urin setelah pengangkatan kateter. Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi disfungsi seksual.
Kriteria hasil : a. Klien tampak rilek dan ansietas menurun. b. Dapat mengerti tentang suatu masalah. Intervensi a. Memberikan keterbukaan pada pasien tentang inkontinensia dan disfungsi seksual. b. Memberikan informasi yang akurat. c. Mendiskusikan tentang dasar anatomi.
d. Mendiskusikan tentang ejakulasi retrogard bila pendekatan transurethral/ suprapubik yang digunakan. e. Mengintruksikan latihan perianal. Rasional a. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan menerima informasi yang diberikan. b. Impotensi fisiologis terjadi bila perianal dipotong selama prosedur pembedahan. c. Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Prosedur bedah mungkin tidak dapat memberikan pengobatan permanen dan hipertrofi dapat berulang. d. Cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urin. Ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urin keruh. e. Meningkatkan kontrol otot inkontinensia urinaria dan fungsi seksual Doenges, 1999 ).
6. Dx. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan efek anestesi. Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat beraktifitas secara mandiri.
Kriteria hasil : Klien mampu menunjukkan aktifitas secara mandiri tanpa bantuan keluarga dan perawat. Intervensi
(
a. Mempertahankan posisi yang nyaman. b. Mencegah klien jatuh. c. Melakukan latihan aktif atau pasif. d. Memonitor kulit kemungkinan terdapat dekubitus. e. Meningkatkan aktivitas sesuai batas toleransi. f. Pertahankan nutrisi adekuat. g. Melakukan ambulasi sebanyak mungkin. Rasional a. Mencegah iritasi dan mencegah komplikasi. b. Mempertahankan keamanan klien. c. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah kontraktur. d. Memonitor gangguan integritas kulit. e. Mempertahankan tonus otot. f. Nutrisi diperlukan untuk energi. g. Meneruskan perawatan setelah pulang.