27
BAB II KONSELING KOGNITIF-PERILAKU (KKP) DAN DAMPAK PSIKOLOGIS KONSELI ADIKSI OBAT
A. Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) 1. Landasan Filosofis Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) Konsep Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) dalam penelitian diadaptasi dari Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Gilliland (1984 : 2-3) berpendapat bahwa ciri-ciri filosofis, konseptual, dan proses dari teori yang tergolong behavioral, termasuk KKP adalah: behavioristic, pragmatic, scientific, learning theoretical, cognitive, action oriented, experimental, goal oriented, and contractual. Asumsi dasar KKP adalah bahwa proses kognitif berperan penting dalam perilaku dan perilaku dikendalikan oleh interaksi yang kompleks antara peristiwa internal dan kekuatan eksternal. Filosof Epictetus (Soma, 2008 : 8) mengemukakan peranan faktor kognitif terhadap suasana emosional. Immanuel Kant (Soma, 2008) mengemukakan bahwa gangguan mental terjadi ketika seseorang gagal mengoreksi private sense dengan common sense. Teori modern menggunakan istilah biased appraisal processes, disordered construct, irrational belief, cognitive distortions, maladaptive coping and problem-solving skills untuk menjelaskan peran faktor kognisi terhadap gangguan emosional dan perilaku salahsuai (mal-adaptive behavior).
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
28
Menurut Cormier & Cormier (1985 : 78) asumsi teoretik KKP adalah : (a) berbagai bentuk gangguan psikologis atau masalah perilaku merupakan hasil belajar; (b) suatu masalah perilaku memiliki banyak penyebab, oleh karenanya intervensi konseling harus bersifat multidimensional; (c) masalah perilaku yang akan diintervensi harus dinyatakan secara spesifik; dan (d) masalah perilaku terjadi dalam konteks sosial dan berhubungan secara fungsional dengan anteseden dan konsekuensi internal-eksternal. Inti dari konsep KKP adalah bahwa perilaku manusia merupakan hasil belajar. Pada dasarnya proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilaku yang bersangkutan agar dapat memecahkan masalahnya (Surya, 1988 : 209). Pandangan ini pun menyandang ciri deterministik, sehingga perilaku manusia menurut paham ini sepenuhnya dapat ditentukan dan ditempa dari luar, melalui pembentukan hubungan stimulus-respons, dan latihan (Dahlan, 2005 : 21). Menurut Thoresen (Shertzer & Stone, 1980 : 188) asumsi-asumsi KKP, di antaranya : (a) kebanyakan perilaku manusia dipelajari dan karena itu dapat diubah; (b) perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam mengubah perilaku-perilaku yang relevan; (c) prinsip-prinsip belajar sosial, seperti reinforcement dan social learning dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling; (d) efektivitas konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus konseli di luar wawancara konseling; dan (e) prosedur-prosedur konseling tidak
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
29
statik, tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus dirancang untuk membantu konseli dalam memecahkan masalah khusus. Pada intinya, KKP memiliki tiga proposisi fundamental berikut : (a)
aktivitas
kognitif
mempengaruhi
perilaku;
(b)
aktivitas
kognitif
memungkinkan untuk diawasi dan diubah; dan (c) perubahan perilaku yang diharapkan dapat dicapai melalui perubahan kognitif (Dobson, 2001). KKP menekankan pada pentingnya sistem kerja kognitif dan peristiwa pribadi sebagai mediator perubahan. Hubungan antara pikiran dan perilaku merupakan aspek utama KKP. Asumsi KKP adalah proses kognisi merupakan mediasi untuk perilaku, pengalaman dan perubahan perilaku yang diharapkan dapat dicapai melalui perubahan kognisi. Hal mendasar dalam KKP adalah prinsip reinforcement, sebagai suatu kreasi dalam upaya memperkuat atau mendukung suatu perilaku yang dikehendaki. Prinsip ini berasal dari Pavlov dan Skinner (Willis, 2003 : 69) yang menjelaskan bahwa ada tiga macam hal yang dapat memberi penguatan, yaitu : positive reinforcer, negative reinforcer, dan non consequence and neutral stimuli. Sementara itu, perilaku merupakan hasil kombinasi dari : (a) belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan yang serupa; (b) keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan terhadap lingkungan; dan (c) perbedaanperbedaan biologis baik secara genetis atau karena gangguan fisiologis.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
30
2. Dinamika Perkembangan Konseling Kognitif-Perilaku Dinamika perkembangan Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teori perilaku dan beberapa model kognitif. Victor Raimy (Meichenbaum, 1985) melacak dinamika perkembangan KKP pada zaman Yunani Kuno dan Romawi. Blocher (1974 : 54) mengatakan bahwa teori behavioral diambil dari percobaan-percobaan ilmiah, bukan pengalaman para pakar. Berawal dari tahun 1920-an, psikologi ilmiah di Amerika Serikat telah banyak dipengaruhi oleh sebuah metode yang disebut dengan behaviorisme. Singkatnya, behaviorisme adalah sebuah paradigma tentang psikologi yang meneliti segala sesuatu yang nampak dari manusia, yaitu perilaku manusia itu sendiri. Cara mempelajarinya disebut dengan stimulus - respons atau dikenal dengan S-R bond. Sejarah perkembangan KKP merefleksikan perkembangan pikiran manusia yang terjadi secara terus-menerus. Menurut Flanagan & Flanagan (2004) KKP dipengaruhi oleh tiga perspektif yang saling berkaitan, yaitu rasional, empirik, dan konstruktivisme. a. Rational-Semantic Cognitive Therapies Albert Ellis sering disebut-sebut sebagai penemu dari pendekatan rasional modern untuk psikoterapi dan konseling, yaitu Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT), yang awalnya bernama Rational-Emotive Therapy (RET). Teori ini memandang bahwa gangguan emosional dan perilaku maladaptif disebabkan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
31
oleh adanya keyakinan irrasional, distorsi kognitif, reaksi sosial orang lain merupakan penentu terjadinya perilaku abnormal. Penambahan
kata
perilaku
dalam
teorinya
dimaksudkan
untuk
memperkuat komponen perilaku dalam pendekatan terapeutik (konseling). Ellis (Flanagan & Flanagan, 2004) meringkas komponen-komponen dasar teorinya, yaitu : (1) orang yang dogmatis berpikir irrasional, mengikuti ide-ide dan filosofi pribadinya; (2) ide-ide irrasional ini menyebabkan orang sangat tertekan dan sengsara; (3) ide-ide ini dapat bermuara pada beberapa kategori dasar; (4) terapis (konselor) dapat mengkategorisasikan ide-ide irrasional ini jika konseli memiliki penalaran yang akurat; dan (5) terapis (konselor) dapat mengajarkan/memberikan pemahaman tentang mekanisme terjadinya keyakinan irrasional.
b. Collaborative-Empirical Cognitive Therapies Aaron Beck dan Donald Meichenbaum dipandang sebagai orang yang berkontribusi terhadap perkembangan teori dan terapi kognitif. Aaron Beck dan Terapi Kognitif. Beck terkenal dengan teori dan praktik ilmiahnya tentang kedepresian. Gaya proses terapi (konseling) yang dilakukan Beck merujuk pada collaborative-empiricism, yaitu berkolaborasi dengan konseli untuk membantunya memahami, menemukan dan mengatasi perilaku mal-adaptif. Tipologi penyimpangan kognitif dari Beck (Flanagan & Flanagan, 2004) disusun untuk menjelaskan perilaku mal-adaptif individu, seperti : inferensi sembarangan (arbitrary inference), abstraksi selektif, generalisasi berlebihan, membesar-
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
32
besarkan
sesuatu
(magnification),
dan
meremehkan/mengecilkan
sesuatu
(minimalization). Kunci utama perbedaan terapis (konselor) yang berorientasi kognitif ini adalah bahwa Ellis menekankan pada kekuatan keyakinan dan pikiran irrasional, sedangkan Beck menekankan pada modifikasi kolaboratif keyakinan dan pikiran irrasional (Beck et al., 1979; Clark, Beck, & Alford, 1999; Flanagan & Flanagan, 2004). Donald
Meichenbaum
dan
Self-Instructional
Training
(SIT).
Meichenbaum (Dobson, 2001; Flanagan & Flanagan, 2004) mengembangkan SelfInstructional Training (SIT) ketika teori kognitif-perilaku sedang berkembang, munculnya ide radikal Ellis, dan penganut pendekatan terapi kognitif lainnya mulai meraih perhatian para ahli klinis generasi baru. Perspektif SIT mengintegrasikan teori Vygotsky (1962), Luria (1961), dan Bandura (1965) tentang vicarious learning model dan the operant conditioning principle yang menghasilkan konsep cognitive-behavior modification. Menurut Kazdin (Dobson, 2001) istilah cognitive-behavior modification mengarahkan tujuan konseling untuk mengubah perilaku mal-adaptif yang nampak dengan cara memodifikasi cara berpikir, interpretasi, asumsi, dan strategi merespon sesuatu. Meichenbaum (Dobson, 2001; Flanagan & Flanagan, 2004) mengemukakan bahwa untuk mengubah perilaku mal-adaptif yang tidak nampak dapat dilakukan seperti cara mengubah perilaku yang nampak. Dikatakan selanjutnya bahwa perubahan perilaku tersebut terjadi melalui suatu urutan proses mediasi yang melibatkan interaksi self-talk, struktur kognitif, perilaku dan hasil resultannya. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
33
SIT yang kembangkan oleh Meichenbaum merupakan sebuah program konseling yang terdiri atas tahapan-tahapan berikut : (1) memberikan pertanyaanpertanyaan tentang arti dan tuntutan dari sebuah tugas; (2) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam bentuk latihan kognitif; (3) penginstruksian diri (self-instruction) dalam bentuk bimbingan diri (self-guidance) ketika mengerjakan tugas
tersebut;
dan (4) pemberian penguatan diri
(self-
reinforcement). Kendall & Bemis (Dobson, 2001; Flanagan & Flanagan, 2004) mengemukakan bahwa dalam SIT, konseli dilatih keterampilan umum penginstruksian diri (self-instruction), yaitu : (1) pendefinisian masalah; (2) pendekatan masalah; (3) memfokuskan perhatian; (4) pernyataan untuk menghadapi masalah (coping statement); (5) pilihan untuk mengkoreksi kesalahan (error correcting options); dan (6) penguatan diri. Fleksibilitas SIT menjadi salah satu daya pikatnya dan tidak mengherankan jika banyak literatur yang mengakumulasikan kegunaan SIT untuk menangani berbagai kelainan psikologis.
c. Philosophical-Constructivist Cognitive Therapies Pakar yang dipengaruhi oleh paradigma Philosophical-Constructivist Cognitive Therapies di antaranya Michael Mahoney dan Donald Meichenbaum. Filosofis-konstruktivisme didasarkan pada premis bahwa manusia secara aktif membangun realitas diri (self-reality) mereka sendiri. Teori dan terapi konstruktif menekankan pada upaya membantu konseli untuk merekonstruksi atau merekayasa latar belakang kehidupannya dengan cara yang lebih adaptif dan penuh kebahagiaan. Penekanan ini menuntut konselor berinteraksi dengan konseli
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
34
yang berfokus pada kondisi saat ini dan masa depan dalam proses konseling (Flanagan & Flanagan, 2004).
3. Makna dan Karakteristik Konseling Kognitif-Perilaku Konseling
Kognitif-Perilaku
(KKP)
adalah
sebuah
pembelajaran
psikoterapis yang bertujuan untuk membantu konseli mengatasi masalah emosinya – ―CBT is a school of psychotherapy that aims to help people overcome their emotional problems‖ (Willson & Branch, 2006 : 11). Kognitif (cognitive), berarti proses mental seperti berpikir. Kata ‗kognitif‘ merujuk pada segala sesuatu yang ada dalam pikiran individu termasuk mimpi, memori, imajinasi, pikiran, dan perhatian. Perilaku (behavior), merujuk pada segala sesuatu yang dilakukan individu. Perilaku termasuk sesuatu yang dikatakan, upaya dalam mengatasi permasalahan, cara bertindak, dan cara menghindari sesuatu. Perilaku meliputi tindakan dan bukan tindakan, contohnya menggigit lidah dan tidak mengatakan sesuatu yang ada di dalam pikiran adalah tindakan meskipun tindakan menggigit lidah itu adalah usaha untuk tidak mengatakan sesuatu. Konseling/Terapi (counseling/therapy), adalah kata untuk menggambarkan sebuah pendekatan yang sistematis untuk mengatasi permasalahan, penyakit, atau kondisi yang tidak teratur. Konsep inti dari KKP adalah bahwa individu merasakan sesuatu sebagaimana yang dipikirkannya. Oleh karenanya, KKP bekerja sesuai dengan prinsip yang dapat membuat individu merasa lebih senang dan lebih produktif ketika individu tersebut berpikir dengan cara yang lebih sehat. Prinsip inilah yang
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
35
paling cocok untuk menjelaskan KKP secara singkat. Secara umum, KKP memiliki karakteristik : bersifat direktif, didaktik, terstruktur, berorientasi tujuan, waktunya terbatas, mengunakan teknik pekerjaan rumah, praktik keterampilan, berfokus pada pemecahan masalah, serta merupakan hubungan kolaboratif antara konselor dengan konseli. Willson & Branch (2006 : 13-17) mengemukakan karakteristik utama KKP sebagai berikut. a. Menekankan peran pemaknaan pribadi terhadap suatu peristiwa dalam menentukan respon emosi. b. Dikembangkan melalui evaluasi ilmiah yang terfokus dan dilakukan terus menerus. c. Lebih berfokus pada permasalahan individu daripada penyebab permasalahan individu.. d. Memegang teguh pandangan bahwa individu dapat mengubah dan mengembangkan diri dengan cara berpikir serta mencoba ide dan strategi baru. e. Diperbolehkan membahas materi dari masa lalu individu bila dengan cara itu dapat membantunya memahami dan mengubah cara berpikir dan bertindak saat ini. f. Berusaha keras untuk membuat emosi individu normal kembali, sensasi fisik, pikiran dan bukan menginformasikan kepada individu bahwa KKP adalah petunjuk dari permasalahan yang tersembunyi. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
36
g. Mengidentifikasi bahwa individu dapat mengembangkan masalah contohnya merasa malu jika mengalami depresi. h. Menggarisbawahi teknik pembelajaran dan memaksimalkan upaya membantu diri sendiri (self help) sehingga betul-betul dapat menjadi konselor bagi diri sendiri. i. Mengkombinasikan antara ilmu pengetahuan (sains), filosofis, dan perilaku. KKP adalah sebuah intervensi konseling yang sangat jitu karena menggabungkan antara ilmu pengetahuan (sains), filosofis, dan aspek perilaku ke dalam sebuah pendekatan yang komprehensif untuk memahami dan mengatasi masalah-masalah psikologis pada umumnya. j. Berkembang dari masalah menuju tujuan. Karakteristik yang sangat khas dari KKP adalah memberikan alat-alat untuk mengembangkan sebuah pendekatan yang terfokus. KKP bertujuan untuk membantu individu berpindah dari kondisi emosional dan masalah perilaku menuju tujuan serta bagaimana merasakannya dan berperilaku. KKP adalah sebuah pendekatan yang diarahkan pada tujuan, sistematis, dan berusaha mengatasi permasalahan emosional. k. Membuat jalur antara pikiran dengan perasaan. Individu dapat saja berpikir bahwa jika sesuatu terjadi pada dirinya, maka kejadian itu akan membuatnya merasakan perasaan tertentu. KKP memberikan keberanian untuk memahami bahwa pikiran atau keyakinan individu terletak antara kejadian, perasaaan, dan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
37
tindakan atas terjadinya kejadian tersebut. Pikiran, keyakinan, dan makna yang diberikan pada sebuah kejadian, menghasilkan respon emosi dan perilaku. l. Menekankan makna yang dilekatkan pada sebuah kejadian. Makna yang dilekatkan pada sebuah kejadian mempengaruhi respon emosional yang dialami pada kejadian itu. Kejadian-kejadian positif biasanya mengarahkan pada perasaan positif berupa kebahagiaan, sementara kejadian-kejadian negatif biasanya mengarahkan kepada perasaan negatif seperti kecemasan dan kesedihan. Makna yang dilekatkan pada kejadian negatif tertentu mungkin saja tidak sepenuhnya akurat, realistis, atau membantu. Terkadang, pemikiran individu akan membawanya untuk memaknai kejadian secara ekstrim, sehingga membuat individu menjadi terganggu. Para ahli psikologi menggunakan istilah terganggu (disturbed) untuk menggambarkan sebuah respon emosi yang sangat tidak membantu dan menyebabkan ketidaknyamanan tertentu pada dirinya sendiri. Dalam terminologi KKP, terganggu berarti respon emosional atau behavioral yang cenderung menghindar dan tidak membantu untuk menyesuaikan diri dan mengatasi kejadian negatif yang menimpanya. KKP mencakup pengidentifikasian tentang pikiran, keyakinan, dan makna yang diaktifasi ketika individu merasa terganggu secara emosional. Jika individu menanggapinya dengan cara yang tidak terlalu ekstrim, lebih membantu, makna yang lebih akurat ketika menghadapi kejadian negatif, maka individu akan mengalami kejadian yang tidak terlalu ekstrim, tidak terlalu mengganggu secara emosional dan akan menghasilkan respon yang tidak begitu ekstrim. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
38
Sejalan dengan pendapat tersebut, Monintja (Soma, 2008 : 12-16) mengidentifikasi karakteristik KKP sebagai berikut. a. KKP berdasarkan cognitive model of emotional response. KKP berpandangan bahwa pikiran menyebabkan timbulnya perasaan dan tindakan tertentu bukan karena peristiwa eksternal, seperti orang lain, situasi, dan kejadian-kejadian eksternal. Keuntungan dari fakta ini adalah individu dapat mengubah cara berpikir untuk menghasilkan perilaku yang lebih baik, meskipun situasi tidak berubah. b. KKP bersifat briefer and time-limited. KKP dapat dipandang sebagai pendekatan yang paling cepat menampakkan hasil. Rata-rata jumlah sesi untuk berbagai unit intervensi konseling sebanyak 12-16 sesi dan berbeda sekali dibandingkan psikoanalisis yang masa konseling-nya dapat berlangsung selama satu tahun. c. KKP tidak mengandalkan hubungan positif konselor-konseli. Beberapa bentuk konseling lainnya berasumsi bahwa perubahan konseli disebabkan oleh hubungan positif. KKP memandang bahwa hubungan yang saling percaya antara konselor-konseli memang penting, tetapi tidak cukup memadai bagi perubahan konseli. KKP memandang bahwa perubahan konseli terjadi ketika konseli berpikir secara berbeda-beda. KKP berfokus pada konseling keterampilan berpikir rasional. d. KKP merupakan upaya kolaboratif antara konselor-konseli. Peran konselor adalah mendengarkan, melakukan konseling, dan mendorong konseli,
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
39
sedangkan
peran
konseli
mengekspresikan
diri,
belajar,
dan
mengimplementasikan hasil belajar. e. KKP berdasarkan filosofi Stoic. KKP tidak mengajarkan bagaimana semestinya konseli merasa, tetapi bagaimana bersikap tenang ketika dikonfrontasi oleh peristiwa yang tidak diinginkan. Hal lainnya, ketika individu ‗kaget‘ terhadap situasi yang tidak diinginkan maka ia memiliki dua masalah yaitu masalah itu sendiri dan sikap ‗kaget‘ terhadap situasi yang tidak diinginkan. f. KKP menggunakan metode Socratic. Konselor KKP bermaksud memperoleh pemahaman yang mendalam tentang masalah konseli. Teknik yang sering digunakan adalah ‗pertanyaan‘ dan mendorong konseli untuk bertanya kepada diri sendiri. g. KKP bersifat terstruktur dan direktif. Konselor KKP memiliki agenda khusus untuk setiap sesi pertemuan dengan menggunakan teknik atau konsep yang spesifik. Fokus KKP adalah membantu konseli mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dan tidak bermaksud memberi tahu apa yang semestinya dilakukan oleh konseli, melainkan mengajarkan bagaimana semestinya konseli melakukan sesuatu. h. KKP berdasarkan model pendidikan. KKP didukung oleh asumsi-asumsi ilmiah. Tujuan konseling adalah membantu konseli belajar bereaksi dengan cara baru. Model pendidikan dalam KKP memiliki dampak pengiring yang mengarah pada hasil jangka panjang. Ketika konseli memahami bagaimana
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
40
dan mengapa melakukan sesuatu yang terbaik, maka konseli akan melanjutkan melakukan sesuatu yang terbaik untuk diri sendiri. i. Teori dan teknik KKP bersandar pada metode induktif. Aspek utama pikiran rasional berlandaskan pada fakta bukan asumsi sederhana. Sering konseli kaget terhadap sesuatu karena tidak sejalan dengan pikiran. Jika konseli menyadari hal tersebut, maka ia tidak akan membuang-buang waktu untuk memikirkannya. Metode induktif mendorong konseli untuk melihat pikiran dalam konteks hipotesis yang setiap saat dapat dipertanyakan dan diuji. Jika konseli menemukan hipotesis yang keliru, maka ia dapat mengubah pikiran agar sejalan dengan realitas. j. Homework merupakan ciri utama KKP. Pencapaian tujuan konseling akan memerlukan waktu lama jika konseli hanya mengandalkan teknik dan topik selama sesi konseling berlangsung. Konselor KKP menugaskan konseli untuk membaca dan mendorongnya menerapkan hal-hal yang diperoleh selama sesi konseling dalam kehidupan sehari-hari.
4. Strategi Konseling Kognitif-Perilaku Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) memiliki banyak strategi/teknik yang diambil dari pendekatan perilaku dan kognitif yang diterapkan secara kombinasi. Cormier & Cormier (1985) berpendapat bahwa KKP berisikan beragam teknik dan strategi yang didasarkan pada prinsip-prinsip belajar dan dirancang untuk menghasilkan perubahan perilaku konstruktif pada individu. Dikemukakan lebih lanjut bahwa di antara strategi/teknik KKP adalah pemodelan, gladi perilaku,
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
41
meditasi, relaksasi, kontrak perilaku, desensitisasi sistematik, manajemen diri, pemecahan masalah, penghentian pikiran, restrukturisasi kognitif, dan stress inoculation. Mahoney dan Arnkoff (Dobson, 2001) mengelompokkan strategi KKP sebagai berikut. Pertama, strategi konseling yang termasuk ke dalam restrukturisasi kognitif memiliki asumsi bahwa stress yang disebabkan masalah emosi adalah konsekuensi dari pikiran maladaptif. Oleh karenanya, tujuan konseling adalah untuk membangun pola pikir yang lebih adaptif. Kedua, strategi konseling keterampilan menghadapi masalah berfokus pada pengembangan keterampilan yang dirancang untuk membantu konseli menghadapi masalah dalam berbagai situasi yang dapat membuatnya mengalami stress. Ketiga, strategi konseling pemecahan permasalahan (problem solving) dikenal sebagai kombinasi dari teknik strukturisasi kognitif dan prosedur-prosedur pelatihan keterampilan menghadapi masalah. Konseling pemecahan masalah menekankan perkembangan strategi umum menghadapi permasalahan pribadi dengan cakupan yang luas, serta menekankan pentingnya kolaborasi aktif antara konselor dan konseli dalam perencanaan program konseling. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Meichenbaum (1985) bahwa prosedur KKP yang umum digunakan adalah coping skills therapies, cognitive restructuring therapies, rational emotive therapies, problem-solving therapies, self-inctructional training, dan self-control procedure. Semua prosedur ini
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
42
memiliki perbedaan dalam tiga hal yaitu : (a) aspek pengalaman kognitif, misalnya : keyakinan, harapan, pernyataan diri, gambaran diri, dan kognisi pemecahan masalah; (b) muatan konseling, terdiri atas : kognitif, afektif, perilaku, dan konsekuensi; dan (c) strategi konseling, mulai dari yang bersifat didaktik sampai dialog sokratik. Menurut
Ellis
(Dobson,
2001)
KKP
menggunakan
pendekatan
multidimensional yang menggabungkan teknik-teknik perilaku, emosi, dan kognitif. Teknik KKP yang paling sering digunakan adalah logico empirical method berupa pertanyaan ilmiah, memberikan tantangan, dan berdebat yang dirancang untuk membantu konseli mengalahkan keyakinan dan pikiran irrasional dan mengubahnya menjadi keyakinan dan pikiran rasional. Teknik lainnya yang dapat digunakan oleh konselor KKP adalah pengawasan diri (self-monitoring), biblioterapi, bermain peran (role playing), pemodelan, membayangkan sesuatu dengan menggunakan emosi dan rasio (rational emotive imagery), latihan mengalahkan rasa malu
(shame attacking
exercise), metode relaksasi,
pengkondisian operan (operant conditioning), dan pelatihan keterampilan.
5. Komponen Utama Konseling Kognitif-Perilaku Carroll (1998 : 2-3) dan Monintja (Soma, 2008 : 9)
mengemukakan
komponen utama KKP, yaitu analisis fungsional, pelatihan keterampilan, dan tugas-tugas kritis. Pertama, analisis fungsional. Konselor dan konseli melakukan analisis fungsional, yaitu mengidentifikasi pemikiran, perasaan, perilaku, dan lingkungan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
43
yang dialami konseli sebelum dan sesudah menggunakan obat. Pada masa awal konseling, analisis fungsional memerankan peranan penting dalam membantu konseli dan konselor untuk menguji faktor-faktor penentu, atau situasi dengan risiko tinggi, yang menyebabkan konseli menggunakan obat dan memberikan pandangan terhadap beberapa alasan yang dikemukakan konseli ketika menggunakan obat. Kedua, program pelatihan keterampilan. KKP dapat dianggap sebagai program pelatihan keterampilan individual yang membantu konseli adiksi obat melupakan kebiasaan lamanya dan mempelajari kembali keterampilan serta kebiasaan yang lebih sehat. Saat tingkat penggunaan berada pada masa yang parah sehingga benar-benar membutuhkan konseling, konseli biasanya tetap ingin menggunakan obat sebagai cara untuk mengatasi permasalahannya yang berkaitan dengan masalah intrapersonal dan interpersonal. Hal ini dapat terjadi dikarenakan beberapa alasan berikut. a. Konseli tidak pernah mempelajari strategi-strategi yang efektif untuk menghadapi tantangan dan masalah kehidupan orang dewasa, sama seperti ketika adiksi tersebut dimulai selama masa dewasa awal. b. Keterampilan menghadapi masalah yang telah diterima konseli dalam pelatihan sebelumnya telah terlupakan. Konseli ini telah melupakan strategi konseling yang penting karena mengalami adiksi obat yang sangat kronis dan waktu
dalam
kehidupannya
banyak
dihabiskan
untuk
memperoleh,
menggunakan, dan mengobati diri dari dampak yang diakibatkan oleh obatobatan terlarang. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
44
c. Kemampuan konseli menggunakan strategi mengatasi masalah yang efektif melemah karena adanya permasalahan lain, seperti penyalahgunaan obat dengan kelainan psikiatris yang terjadi secara berulang-ulang. Pelatihan keterampilan KKP harus dibuat secara luas dan bervariasi karena konseli berasal dari kelompok yang heterogen dan datang ke tempat konseling dengan alasan permasalahan yang berbeda-beda. Di beberapa sesi pertama fokusnya diberikan pada keterampilan yang berkaitan dengan pengendalian awal penggunaan obat. Ketika keterampilan dasar ini dapat dikuasai, pelatihan diperluas supaya dapat mencakup permasalahan lainnya dimana konseli memiliki kesulitan dalam menangani permasalahannya. KKP tidak hanya dianjurkan untuk membantu setiap konseli mengurangi dan menghilangkan penggunaan obat saat menjalani konseling, tetapi keterampilan berkomunikasi yang dapat bermanfaat bagi konseli setelah masa penyembuhan berakhir dan keterampilan ini dapat digunakan selamanya. Ketiga, tugas-tugas kritis. KKP memiliki tugas kritis dalam konseling adiksi obat (Rounsaville and Carroll, 1992). Tugas-tugas kritis yang dimaksud, di antaranya sebagai berikut. a. Memberikan dorongan supaya berhenti dari adiksi obat. Teknik penting yang digunakan untuk meningkatkan motivasi konseli agar berhenti menggunakan obat adalah menganalisis dan mengklarifikasi keputusan rencana masa depan setelah sembuh dari adiksi obat agar tidak mengalami relapse.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
45
b. Mengajarkan keterampilan mengatasi masalah. Ini adalah inti dari KKP untuk membantu konseli mengidentifikasi situasi ber-risiko tinggi. c. Kemungkinan mengubah cara pemberian bantuan. Ketika konseling sedang dilakukan, kebanyakkan konseli menghabiskan waktu untuk memperoleh, menggunakan, dan menyembuhkan diri dari adiksi obat. Fokus KKP adalah mengidentifikasi dan mengurangi kebiasaan yang berkaitan dengan gaya hidup adiksi obat dengan cara mengganti kebiasaan tersebut dengan aktivitas yang lebih positif dan menyenangkan. d. Mengelola akibat-akibat yang menyakitkan. Pelatihan keterampilan juga berfokus pada teknik untuk mengidentifikasi dan menangani keinginan menggunakan obat. Ini adalah model yang sangat baik untuk membantu konseli mempelajari cara mentolelir akibat lain yang kuat seperti depresi dan kecemasan. e. Meningkatkan fungsi interpersonal dan meningkatkan dukungan. KKP mencakup pelatihan keterampilan interpersonal yang penting, strategi-strategi membantu konseli memperluas dukungan sosial dan jaringan sosial serta membangun hubungan sosial yang bebas dari obat.
B. Dampak Psikologis Konseli Adiksi Obat Adiksi obat merupakan persoalan yang membahayakan kehidupan diri penyalahguna dan orang lain. Dalam hal ini, Hawari (Departemen Sosal Republik Indonesia, 2005 : 1) mengatakan bahwa mereka yang mengkonsumsi Napza (obat) akan mengalami gangguan mental dan perilaku, sebagai akibat terganggunya Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
46
sistem syaraf pusat di otak. Gangguan pada sistem neuro-transmitter tadi mengakibatkan
terganggunya
fungsi
kognitif
(alam
pikiran),
afektif
(perasaan/mood/emosi), dan psikomotor (perilaku). Sifat ketergantungan dan gangguan pada ketiga aspek itulah yang mengakibatkan obat (Napza) sangat berbahaya. Seorang pengguna tidak lagi dapat memikirkan risiko dan tindakannya sehingga kemudian muncul berbagai tindak kejahatan, tertularnya berbagai penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS dan hepatitis, over dosis, bahkan kematian. Selanjutnya Hawari (2005 : 57) mengemukakan bahwa orang yang telah bergantung pada narkoba (obat), maka hidupnya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak lagi mampu berfungsi secara wajar di masyarakat. Kondisi demikian dapat dilihat dari rusaknya fungsi sosial, pekerjaan atau sekolah, serta tidak mampu mengendalikan diri. Hal tersebut terjadi terutama jika pemakai mengalami putus narkoba maka individu akan mengalami gejala menarik diri (withdrawal). Pada peristiwa ini timbul gejala-gejala seperti air mata berlebihan (lakrimasi), cairan hidung berlebihan (rhinorea), pupil mata melebar (dilatasi pupil), keringat berlebihan, mual, muntah, diare, bulu kuduk berdiri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia, mudah marah, emosional, serta agresif. Menurut World Book 2004 (Willis, 2005 : 158) bahwa orang-orang yang kecanduan narkoba mengalami akibat-akibat medis dan sosial, antara lain menurunnya motivasi, memori, perubahan kepribadian, kontrol diri rendah, dan hubungan dengan keluarga terputus. Lebih jauh, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005 : 2) mengemukakan dampak adiksi obat sebagai berikut : pertama, bagi pemakai, Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
47
antara lain : (1) mengakibatkan kematian; (2) mengakibatkan kegilaan; (3) mempengaruhi daya ingat; (4) mempengaruhi perhatian, sulit berkonsentrasi; (5) mempengaruhi perasaan dan kemampuan otak untuk menerima, memilahmilah dan mengolah informasi; (6) menghambat memahami informasi yang diterima; (7) mempengaruhi persepsi; (8) mempengaruhi daya nalar (penghayatan terhadap
agama
hilang/kabur);
(9)
mempengaruhi
motivasi;
dan
(10) menimbulkan beberapa penyakit, seperti hepatitis B/C, maag, dan kanker. Kedua, terhadap keluarga, antara lain : (1) kerugian material (membeli dan mengobati); (2) menghabiskan tenaga dan waktu; dan (3) keharmonisan keluarga sirna/terganggu. Ketiga, terhadap masyarakat, di antaranya: (1) merusak tatanan sosial; (2) meningkatkan angka kriminal; (3) meningkatkan angka kecelakaan lalu lintas; dan (4) terhambatnya perekonomian. Keempat, terhadap bangsa dan negara, antara lain : (1) kualitas generasi merosot ; (2) moralitas bangsa menurun; dan (3) generasi hilang (lost generation). Mengkristalkan beberapa pendapat tersebut, dampak psikologis konseli adiksi obat yang diteliti dalam penelitian ini adalah : (1) orientasi berpikir; (2) kontrol diri; (3) depresi; (4) regulasi diri; (5) efikasi diri; (6) harapan hidup wellness; dan (7) pengarahan diri. Kristalisasi ketujuh sub variabel dampak psikologis ini didasarkan pada pendapat Segal (1988 : 158) bahwa di antara dampak psikologis adiksi obat adalah mengalami gangguan dalam : (1) persepsi; (2) depresi; (3) orientasi berpikir; (4) memori dan belajar; (e) proses sensoris; dan (f) proses psikomotorik dan dampak psikologis lainnya (Segal, 1988 : 158).
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
48
Dalam penelitian ini, konstruk orientasi berpikir merujuk pada pendapat Dyer and Vriend (1977 : 49), kontrol diri dari Sukartini (2003 : 77 – 78), depresi dari Maslow and Mitteleman (Crow and Crow, 1960 :129-130), regulasi diri dari Zimmerman (Boekaerts et al., 2000 : 15-24), efikasi diri dari Bandura (1997: 4250; 2001: 3-6) dan Bandura (Sudrajat, 2008 : 40–42), harapan hidup wellness dari Myers, et al. (2000 : 252 – 257), dan pengarahan diri dari Maryland Development Disabilities Council (2005 : 1), dan dielaborasi dengan konsep-konsep dari pendapat pakar lainnya. 1. Orientasi Berpikir White (Crow and Crow, 1958 : 83) mengkaji bahwa persoalan kelainan mental dan emosional, merupakan dua hal yang mesti ditelusuri lebih mendalam dalam kaitannya dengan perilaku. Dua kelainan itu secara interaktif memunculkan gejala yang berkaitan dengan gejala fisik, aktivitas mental, dan emosional yang bermuara pada perilaku. Bertolak dari teori White inilah eksplorasi dan pengkajian perilaku konseli adiksi obat dititikberatkan pada orientasi berpikir dan depresi konseli karena proses berpikir mereka melibatkan proses mental dan emosional. Pembuatan keputusan yang dilakukan oleh konseli bermuara pada akurasi berpikir dan kemampuan meletakkan tanggung jawab terhadap emosinya. Pikiran dan emosi memiliki aktivitas stimulan dan saling terkait. Ellis (Shertzer and Stone, 1980 : 174) memandang bahwa emosi dan pikiran merupakan dua aspek yang bertumpang tindih. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran, juga sebaliknya. Karena itu, saat konseli berpikir, maka emosinya pun akan merasakan Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
49
sesuatu dan sebaliknya, saat konseli merasakan sesuatu maka ia berpikir. Lebih dari itu, bila pikiran dan emosi konseli sedang berproses maka berproses pula dinamika psikologisnya. Muara pemikiran seperti itu dapat dikatakan bahwa memahami orientasi berpikir konseli sekaligus harus dibarengi dengan memahami emosinya. Dyer and Vriend (1977 : 45-47) menyatakan bahwa bila konselor ingin membina hubungan layanan konseling yang efektif maka ia harus mengerti benar tentang hakikat emosi, sensasi, dan orientasi berpikir (eksternal maupun internal) dari konseli adiksi obat. Kembali ke persoalan orientasi berpikir konseli adiksi, terungkap oleh Dyer and Vriend (1977: 48) bahwa konselor dan para praktisi konseling akan berhadapan dengan konsep berpikir internal dan eksternal
yaitu suatu
pemahaman terhadap karakteristik berpikir konseli, khususnya mental-emosional dari pribadi konseli adiksi obat. Dalam kenyataannya, kedua tipe berpikir ekstrim itu jarang terjadi karena setiap manusia akan berorientasi eksternal dalam beberapa hal dan internal dalam hal lainnya. Meskipun demikian, salah satu di antaranya cenderung mendominasi secara mencolok pada beberapa individu; secara khas mereka berpikir, berperan dan bertindak secara internal atau eksternal. Karakteristik emosi pada saat konseli berpikir merupakan garis kontinuum. Namun, Plutchik (Morris, 1976: 406) berpendapat bahwa garis itu dibedakan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
50
oleh intensitasnya. Plutchik mengenalkan model tiga-dimensi emosi, dimana dimensi vertikal memperlihatkan intensitasnya lihat gambar 2.1 Keadaan emosi konseli sangat penting bagi seorang konselor, yaitu untuk bertanya kepada dirinya sendiri, ‖apakah perasaan konseli (berkenaan dengan masalah yang dihadapi) berhubungan dengan faktor internal/eksternal? Pertanyaan model ini dapat membantu konselor dalam memahami konseli, dan akan membantu konselor dalam menentukan strategi konseling. Dyer and Vried (1977 : 49) mendefinisikan orientasi berpikir sebagai suatu kecenderungan tentang bagaimana individu meletakkan tanggung jawab terhadap keadaan dirinya (berkenaan dengan objek yang dipikirkan), baik kecenderungan eksternal maupun internal.
Gambar 2.1 Plutchik’s Three-Dimensional Models of the Emotions (Morris, 1976 : 406) Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
51
a. Orientasi Berpikir Eksternal (BE) Model berpikir eksternal bertolak dari suatu pemikiran bahwa konseli menggantungkan diri pada sesuatu di luar dirinya saat membuat pertimbangan, berpikir dan bertindak. Sesuatu di luar diri dapat berupa situasi yang muncul sebagai akibat interaksinya dengan orang tua, saudara, masyarakat dan lingkungan serta teman mereka (Dyer and Vriend, 1977: 50). Orientasi berpikir eksternal meliputi semua cara berpikir konseli yang mendominasi dan menyebabkan keadaan emosi tertentu, seperti ungkapan saya merasa begini karena .... dan jarang diikuti oleh pernyataan saya membuat diri sendiri begini. Individu yang tergolong berpikir eksternal adalah mereka yang cenderung meletakkan tanggung jawab terhadap sesuatu di luar dirinya saat membuat pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Orientasi berpikir eksternal ini terdiri dari dua dimensi. Dimensi pertama adalah berpikir eksternal positif (BE+) dalam arti bahwa di saat individu berpikir maka ia memandang positif terhadap objek-objek luar. Kedua, dimensi berpikir eksternal negatif (BE-), yaitu mereka memiliki pandangan yang negatif terhadap objek-objek di luar dirinya ketika ia berpikir.
b. Orientasi Berpikir Internal (BI) Konseli yang benar-benar berorientasi internal nampaknya jarang sekali, nisbi, dan bahkan seperti mitos. Konseli yang berorientasi internal memberikan tanggung jawab tindakannya terhadap diri mereka sendiri. Ia tidak tergantung
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
52
pada opini atau persetujuan orang lain, memakai referensi diri ketika memeriksa emosinya. Konseli tidak tergantung kepada orang lain tidak pula menanti ragam kejadian (dari luar) yang membuat sehat baginya. Apabila ingin mencapai netralitas emosional, maka pikirannya sendiri yang akan meletakan di sana. Ketergantungan terhadap faktor-faktor eksternal merupakan hal yang diharapkan, agar ia dapat berfungsi secara penuh. Mereka tidak mencari, menyalahkan, mengeluh, mengharap atau menganggap motivasi yang tidak beres berasal dari yang lain (Dyer and Vriend 1977: 51). Mereka berpikir dan beranggapan bahwa tanggung jawab pikiran dan emosionalnya sendiri yang bekerja untuk mengubah perilaku mereka. Orientasi berpikir internal jarang merupakan konfigurasi kepribadian yang muncul secara alami, akan tetapi dipelajari dan dikembangkan dalam suatu jangka waktu tertentu yang terkadang melewati alur yang menyakitkan. Tetapi, orientasi berpikir internal itu harus menjadi salah satu target dalam proses konseling adiksi, agar konseli dapat membereskan dan memfungsikan dirinya dengan baik. Apabila model orientasi berpikir internal dan eksternal dari konseli adiksi ini dirangkum dalam gambar maka akan terlihat seperti gambar 2.2.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
53
Gambar 2.2 Dimensi-dimensi Orientasi Berpikir Konseli Adiksi Obat (Hafid, 1997 : 46) Individu yang orientasi berpikirnya internal adalah mereka yang meletakkan tanggung jawab untuk keadaan dirinya pada diri mereka sendiri, menggunakan referensi diri ketika menilai keadaan diri mereka. Model orientasi berpikir internal ini pun dibagi menjadi dua dimensi yaitu orientasi berpikir internal positif dan negatif (BI+ dan BI-). Model berpikir internal positif menekankan bahwa penilaian dan pengambilan keputusan serta peletakkan tanggung jawab diletakkan pada aspek-aspek diri secara positif, sedangkan bila didasarkan pada aspek-aspek diri secara negatif, maka dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan memiliki model berpikir internal negatif. Baik orientasi berpikir eksternal positif maupun orientasi berpikir internal positif keduanya memiliki ciri-ciri tatanan emosi yang sama. Merujuk pendapat Plutchik (Morris, 1976 : 408) dengan Dyer and Vriend (1977 : 49) ciri-ciri orientasi berpikir itu adalah memiliki keadaan emosi : (1) bergelora;
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
54
(2) berapresiasi yang indah; (3) lega; (4) gembira; (5) cinta; (6) bahagia; (7) riang; (8) puas; (9) senang; dan (10) bangga. Model berpikir internal dan eksternal negatif memiliki gambaran bahwa keadaan emosinya: (1) jengkel; (2) berkeinginan mati; (3) takut; (4) berdosa; (5) sedih; (6) susah; (7) menyesal; (8) dendam; (9) frustrasi; (10) depresi; (11) menolak; (12) cemas; (13) benci; dan (14) marah. Individu yang orientasi berpikirnya eksternal meletakkan tanggung jawab kerancuan dirinya pada objek-objek di luar diri sendiri, yaitu kepada : (1) orang tua; (2) saudara-saudaranya; (3) masyarakat dan lingkungan; serta (4) temantemannya.
2. Kontrol Diri Calhoun and Acocella (terjemahan Satmoko, 1995:130) berpendapat bahwa kontrol diri adalah pengaruh seseorang terhadap fisik, perilaku dan prosesproses psikologisnya serta peraturan tentang fisik, perilaku dan proses-proses psikologisnya. Dengan kata lain, kontrol diri adalah sekelompok proses yang mengikat dirinya. Oleh karena itu, dalam aktivitas sehari-hari individu menggunakan kontrol dirinya dalam berperilaku. Hal ini selaras dengan Gangey (1981:117) yang berpendapat bahwa kontrol diri adalah kendali yang digunakan individu dalam mengarahkan perilakunya. Analog dengan pendapat tersebut, Mischel (Pervin, 1984:410) berpendapat bahwa kontrol diri mengarah pada kekuatan individu untuk mengatur atau mengendalikan tindakannya, dengan kata lain menghadapi sesuatu dengan situasi Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
55
terkendali. Sukartini (2003:77) mendefinisikan kontrol diri sebagai upaya individu untuk mengatur diri dalam berpikir dan bertindak berdasarkan keyakinannya bahwa segala yang terjadi atas dirinya merupakan akibat tindakannya. Dengan kata lain, dalam kontrol diri terdapat usaha untuk dapat mengendalikan hal-hal yang terdapat dalam diri individu. Berdasarkan definisi tersebut, kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam mempengaruhi diri terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami dan konsekuensi-konsekuensi yang diterima serta mengarahkan perilakunya dalam menghadapi situasi sebagai konsekuensi dari tindakannya. Menurut Logue (1995:24) orang yang mampu mengendalikan diri adalah orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (a) memegang teguh tugas yang berulang meskipun berhadapan dengan berbagai gangguan; (b) mengubah perilakunya sendiri sesuai dengan norma yang ada; (c) tidak menunjuk perilaku yang dipengaruhi kemarahan; dan (d) bersikap toleran terhadap stimulus yang berlawanan. Secara rinci, Sukartini (2003:77-78) mengidentifikasi beberapa aspek dari kontrol diri sebagai berikut. a. Penguasaan situasi, yaitu kemampuan memikirkan cara-cara menguasai dan mengendalikan situasi sekitarnya yang berkaitan dengan peraturan. b. Motivasi bertindak, yaitu kemampuan memilih tindakan untuk mengatasi masalah.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
56
c. Kesediaan menerima risiko, yaitu kesanggupan menerima risiko atas tindakan yang dilakukan. Kontrol diri akan terus berkembang sejalan dengan pertambahan usia. Anak-anak cenderung menunjukkan perilaku impulsif, dan remaja menunjukkan lebih mampu mengendalikan diri (Logue, 1995:15). Selanjutnya Logue mengemukakan bahwa individu mengendalikan dirinya berdasarkan prinsipprinsip belajar. Pada perkembangan awal, perilaku anak dikendalikan oleh agen eksternal, seperti orang tua, kakak, guru, konselor, atau orang dewasa lainnya yang menetapkan standar penilaian dan menunjukkan akibat untuk setiap penampilan
perilaku.
Standar
akan
berbeda
untuk
setiap
perilaku.
Hadiah (reward) ditunjukkan ketika anak mampu mencapai standar yang ditetapkan, sedangkan hukuman (punishment) diberikan jika anak menyimpang dari standar yang ditetapkan. Sejalan bertambahnya usia, individu belajar mengendalikan dirinya sendiri. Pola penguatan dan hukuman, berkembang setelah menerima berbagai dukungan.
Menurut
Bandura
(Dahar,
1996:30-31)
manusia
mengamati
perilakunya sendiri, mempertimbangkan (judge) perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian memberikan penguatan berupa hadiah atau hukuman pada dirinya sendiri. Teori belajar sosial mengungkapkan bahwa sebagian besar kriteria yang dimiliki individu untuk penampilan perilakunya dapat dipelajari dari model-model dalam dunia sosial individu yang bersangkutan. Respon-respon kognitif individu terhadap perilakunya mengarahkan individu untuk mengatur perilakunya sendiri. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
57
Dengan memberi hadiah atau hukuman diri, individu dapat mengendalikan perilakunya secara positif. Individu dapat menilai perilakunya sendiri dengan cara melihat bagaimana orang lain menilai perilakunya. Individu dapat belajar dari model dengan cara mengamati perilaku orang lain dan konsekuensi-konsekuensinya. Individu dalam menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan, dipengaruhi oleh dorongan naluriah, orang lain dan peristiwa-peristiwa masa lalu.
3. Depresi Depresi yang dialami konseli adiksi obat berkaitan erat dengan keadaan emosi konseli yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam membahas depresi pada konseli adiksi obat, terlebih dahulu dibahas tentang konsep emosi. Emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap perilaku individu berupa perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Kata ―emosi‖ berasal dari Bahasa Latin emovere yang artinya bergerak ke luar. Maksudnya setiap emosi adalah untuk menggerakkan mencapai rasa aman dan memenuhi kebutuhannya, serta menghindari sesuatu yang dapat merugikan dan menghambat pemenuhan kebutuhan (Surya, 2003 : 83). Emosi merupakan suatu dorongan yang mempengaruhi dan mengarahkan perilaku seseorang dalam mencapai suatu tujuan. Karena itu, Darley et al. (1986 : 411) melihat emosi itu sebagai suatu keadaan yang bersifat internal dan sekaligus sebagai unit koheren dengan aspek psikologis lainnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, dorongan yang bersifat internal dari emosi itu memiliki keterkaitan dengan Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
58
pengalaman seseorang sebagai subjek yang berbuat. Morris (1976 : 390) lebih menitikberatkan emosi sebagai pengalaman afektif yang amat kompleks dan mengekspresikan pola karakteristik perilaku. Hubungan antara perilaku yang nampak dengan emosi dapat dikatakan bahwa individu akan sulit menafsirkan dinamika emosi individu lain apabila tidak mempelajari perilaku yang nampak dari individu yang bersangkutan. Konselor sudah semestinya mempelajari perilaku itu secara keseluruhan, karena emosi (Mednick et al. 1975 :112) bukan hanya suatu aktivitas yang merujuk kesadaran subjektif seseorang, melainkan juga menyangkut perubahan psikologis lainnya. Lambie and Marcel (2002 : 219) dalam tulisannya yang berjudul Counsciousness and the Varieties of Emotion Experience : A Theoretical Framework mengemukakan bahwa untuk mengklasifikasikan isi dan kealamiahan pengalaman emosi individu diperlukan pemahaman tentang tiga aspek yang mempengaruhi emosi, yaitu mode (analytic-synthetic, detached-immersed), direction (self-world), dan focus (evaluation-action). Berdasarkan hasil kajian terhadap beberapa teori tentang emosi, akhirnya Mauro, Tucker & Sato (1992 : 301) menyimpulkan bahwa respon emosi sangat dipengaruhi oleh cara individu menilai kejadian yang dialaminya. Selama lebih dari satu abad, para peneliti mengikuti psikoevolusi (Darwin, 1872; Plutchik, 1980) dan model-model neuropsikologis (James, 1980; Pribram, 1980) yang membahas tentang penelitian cross-cultural untuk mencari petunjuk tentang mekanisme dasar yang menjadi rujukan dalam mempelajari emosi manusia. Penelitian tentang ekspresi wajah (Ekman, Freisen, & Ellesworth, 1972; Ekman et al., 1989) dan pengalaman
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
59
pribadi yang berkaitan dengan emosi (Osgood, May, & Miron, 1975; Russell, Lewicka, & Niit, 1989) menghasilkan bukti yang mengesankan tentang aspek umum emosi manusia. Lebih jauh, dikemukakan bahwa konseptualisasi paradigmatik dan pengaruh emosi manusia dalam kajian psikologi telah dilakukan oleh para pakar seperti James (1884, 1890, 1981), Cannon (1927), Arnold and Gasson (1954), Schachter and Singer (1962), Tomkins (1962, 1963), Mandler (1984), Frijda (1986), Oatley and Johnson-Laird (1987), dan Damasio (1994). Berikut rangkuman isi dari pengalaman emosi manusia. Tabel 2.1 Isi dari Pengalaman Emosi Manusia Ahli Teori
Isi Pengalaman Emosi
James (1884)
Pola perubahan bentuk tubuh (seperti sensasi dan kesadaran dari postur dan gerakan tubuh)
Cannon (1927); Oatley & Johnson-Laird (1987)
Pusat perasaan atau sifat fenomenologis (seperti perasaan yang dihasilkan dan diarahkan oleh otak dan bukan oleh sensasi tubuh)
Arnold & Gasson (1954)
Tindakan yang menekankan pada perasaan
Tomkins (1962); Izard (1977)
Ekspresi wajah seseorang atau timbal balik dari ekspresi wajah
Schachter (1962)
Tindakan otomatis umum yang dipadukan dengan atribusi penyebab emosi seseorang
&
Singer
Mandler (1984) Smith (1985)
&
Evaluasi kognisi Ellsworth
Penilaian kognitif tentang seperangkat dimensi lingkungan yang bervariasi
Frijda (1986)
Pada prinsipnya merupakan kesiapan tindakan dan struktur situasi yang bermakna, senang atau sakit secara signifikan
Damsio (1994)
Perubahan tubuh yang disebabkan oleh emosi ditambah dengan perubahan dalam mode berpikir (mode of thinking)
Sumber : Lambie, J.A, Marcel A.J. (2002). Consciousness and the Varieties of Emotion Experience : A Theoretical Framework. Psychological Review, Vol. 109, No. 2, pp. 219-259. Para peneliti lain mendokumentasikan adanya pernyataan emosional yang unik pada budaya-budaya tertentu (Averill, 1980, 1982). Contohnya adanya kata Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
60
amok yang ditemukan di beberapa masyarakat Asia Tenggara (Murphy, 1973) dan pernyataan to nu (Henry, 1936) yang tidak memiliki padanan kata dengan bahasa yang digunakan di negara-negara Barat. Menurut beberapa teori konstruktivisme sosial (Averill, 1980; Lutz, 1988), emosi tidak dapat didefinisikan tanpa merujuk pada konteks sosial. Teori umum tentang emosi harus dapat menjelaskan aspek budaya secara umum dan khusus tentang emosi manusia. Teori-teori kognitif tentang emosi menawarkan sebuah pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Teoriteori kognitif awal yang berkaitan dengan emosi (Schachter & Singer, 1962) menyatakan bahwa emosi adalah kesadaran atau kognisi yang diiringi dengan kebangkitan psikologis. Teori-teori kognitif terbaru tentang emosi (Roseman, 1984; Scherer, 1984; Smith & Ellsworth, 1985) menyatakan bahwa kebangkitan psikologis tidak terbentuk dalam satu dimensi, tetapi menganggap penting peranan kognisi dalam emosi. Menurut teori-teori ini, penilaian-penilaian terhadap lingkungan adalah komponen penting dari respon emosi. Beberapa pakar teori emosi (Roseman, 1984; Scherer, 1984; Smith & Ellsworth, 1985) menyatakan adanya keberadaan dimensi penilaian universal yang penting untuk menentukan emosi apa yang akan dialami seseorang sebagai respon terhadap suatu kejadian yang dialaminya. Alur pemikiran yang mempersoalkan tentang emosi itu memberi gambaran bahwa esensi dari emosi akan melahirkan tiga hal. Pertama, emosi itu berkaitan dengan peristiwa yang dialami individu. Kedua, mempelajari emosi berarti harus mempelajari sederetan pengalamannya. Ketiga, emosi menyangkut reaksi fisik Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
61
dan perubahan psikologis. Para pakar teori emosi mengemukakan secara beragam tentang emosi dasar yang terdapat pada manusia. Deskripsi singkat dari emosi dasar manusia disajikan pada tabel 2.2 Tabel 2.2 Daftar Emosi Dasar Manusia Referensi Pakar
Emosi Fundamental
Dasar Kekhususan
Arnold (1960)
Marah, aversi, berani, kesal, hasrat, putus asa, takut, benci, harapan, cinta, sedih
Berkaitan dengan penekanan tindakan
Ekman, Friesen & Ellsworth (1982)
Marah, jijik, takut, senang, sedih, kaget
Ekspresi wajah universal
Frijda (komunikasi pribadi, 8 September 1986)
Hasrat, senang, berminat, kaget, kekuatan, dan penderitaan
Bentuk tindakan
Gray (1884)
Gusar, teror, senang
dan
-
Izard (1971)
Marah, jijik, hina, distress, takut, perasaan bersalah, berminat, senang, malu, dan kaget
-
James (1884)
Takut, gagal, cinta, gusar
Gerakan tubuh
McDougall (1926)
Marah, gembira, gusar, takut, subjektif, emosional, berani
Berkaitan dengan instink
Mowrer (1960)
Sakit, senang
Penetapan emosi yang tidak dipelajari
Marah, jijik, cemas, senang, sedih
Tidak membutuhkan proposisi
Oatley (1987)
&
Johnson-Laird
cemas,
dari
kesiapan
Panksepp (1982)
Harapan, takut, gusar, dan panik
Plutchik (1980)
Penerimaan, marah, antisipasi, jijik, senang, takut, sedih, dan kaget
Berkaitan dengan adaptasi biologis
Tomkins (1984)
Marah, berminat, hina, distress, takut, senang, malu, kaget
Marah yang membara
Watson (1930)
Takut, cinta, gusar
Weiner & Graham (1984)
Bahagia, sedih
isi
proses
Atribusi independen
Sumber : Ortony, A., Turner, T.J. (1990). What‘s Basic About Basic Emotions? Psychological Review, Vol. 97, No. 3, pp. 315-331. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
62
Emosi dasar sangat diperlukan oleh individu untuk memperoleh kelestarian hidup karena emosi berkontribusi terhadap kestabilan seluruh kehidupannya. Apabila emosi berfungsi secara sempurna, maka emosi akan menimbulkan gerakan dan arahan. Proses emosi memiliki empat kemungkinan, yaitu : (a) orang dapat menekan emosinya sehingga tidak ada gerakan dan arah tindakannya; (b) orang tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengendalikan gerakan dan arah tindakannya; (c) orang digerakkan oleh emosi tetapi tidak memiliki arah; dan (d) orang digerakkan oleh emosi tetapi dengan arah yang salah (Surya, 2003 : 84). Menelusuri lebih jauh tentang teori kognitif dan Jukebox (Schacter and Singer dalam Darley, 1986 : 420) dalam kaitannya dengan para konseli adiksi tertentu terhadap perjalanan dan dinamika emosi diri, bersamaan dengan perubahan fisiologis dan fisik yang bersangkutan. Hasil penelitian dan eksperimennya berpusat sekitar penjaringan efek obat terhadap perubahan pikiran, perasaan, persepsi penglihatan dan perubahan-perubahan fisiologis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konseli adiksi cenderung menggunakan obat karena baginya mendatangkan kesenangan, kecintaan dan afeksi. Konseli cenderung ingin menghapus masa lampau dan mendapatkan sesuatu yang baru dengan cara menarik sesuatu (obat) yang ada di luar diri mereka dengan maksud untuk mengubah pikirannya. Perubahan fisik, fisiologis, dan psikologis yang disebabkan oleh obat dipandang oleh Dyer and Vriend (1977 : 46) sebagai keadaan depresi yang tidak
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
63
akan mengubah sifat pikiran dan perasaan, tetapi mengekalkan reaksi fisik dan meningkatkan intensitasnya. Sementara itu, Dyer and Vriend tidak membedakan bagaimana keadaan emosi itu datang, apakah karena proses berpikir internal/eksternal. Mereka menegaskan bahwa pikiran yang menyebabkan emosi dan pengalaman semacam itu dirasakan dalam diri individu. Bagi para konselor dan para praktisi konseling dapat diperoleh suatu gambaran bahwa apabila mereka dapat membantu konselinya (dengan berhasil) dalam memperbaiki pikiran-pikiran atau mengganti muatan pikiran dengan muatan-muatan baru, maka konselor dapat menolong konselinya untuk memiliki keadaan emosional yang mantap. Sejalan dengan pemikiran itu, secepat konselor dapat membaca data psikologis konselinya, maka ia dapat membantu konselinya untuk (a) membuat jalinan hubungan dengan pikiran-pikiran yang tidak logis atau neurotik yang menghasilkan gerakan somatic, (b) mendapatkan wawasan atau pemahaman tentang sistem pemeliharaan psikologis yang berpengaruh terhadap pikiran dan keadaan reaktif, (c) memeriksa dan mengevaluasi secara kritis dan mendasar atas pikiran-pikirannya, dan (d) sampai pada komitmen, agar memulai kerja mengubah perilaku mentalnya. Proses konseling terhadap konseli adiksi obat (Dyer and Vriend, 1977: 47) sering terhambat oleh kegagalan konselor dan konseli saat menentukan dan membedakan emosi, sensasi, dan agen eksternal yang dikenakan pada badan serta memiliki potensi untuk merusak pikiran. Alur pemikiran seperti itu memberi arah
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
64
bahwa di samping mempelajari emosi dalam kaitannya dengan orientasi berpikir, perlu dikaji pula tentang sensasi. Kelima indera mengumpulkan data untuk diberikan kepada pikiran, sehingga pikiran dapat bekerja untuk mengemudikan keberadaanya secara keseluruhan di dalam segala realitas kehidupan. Proses itu oleh Morris (1976: 278) dipandang sebagai proses sensori yang sebenarnya merupakan hakikat dari sensasi. Sensasi terjadi akibat adanya energi, baik dari luar maupun dari dalam (badannya sendiri yang menjadi perangsang bagi receptor yang terdapat pada organ indera tertentu kemudian memuncukan impuls-impuls neural yang disebut proses tranduction. Untuk memberi arti terhadap suatu jenis stimulus, data dikirim ke susunan syaraf pusat, diolah, diberi makna dan kode prosesnya yang disebut coded (Uttal dalam Morris, 1976: 278). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sensasi merupakan suatu proses sensoris yang melihat kepedulian hubungan antara stimulis dengan pemaknaan dan pengkodean data. Sensasi terjadi secara unik pada setiap individu, ada yang menyenangkan dan ada pula yang tidak menyenangkan. Stimulus yang sama mungkin sekali akan dipersepsi berbeda oleh dua orang manusia, hal ini dilatarbelakangi oleh konteks stimulus. Stimulus tertentu bagi seseorang mungkin tidak menyenangkan. Pikiranlah yang menentukan kapan sesuatu itu menyenangkan dan tidak menyenangkan (Dyer and Vriend, 1977: 48).
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
65
Aktivitas dalam diri (konseli), terutama yang diakibatkan oleh agen eksternal, secara fisik mengganggu otak dan mempengaruhi fungsinya. Keadaan seperti ini menghambat konselor dan konseli dalam konseling. Pengetahuan tentang pengaruh obat terhadap otak bagi seorang konselor itu penting, dalam rangka menjadikan konseli ke arah pemaknaan diri (self-enhancing) dan menghilangkan perilaku yang merusak diri (self-defeating behavior). Selanjutnya, salah satu dampak dari adiksi obat terhadap suasana emosi adalah terjadinya depresi. Depresi dapat dipandang sebagai gangguan dinamika psikis seseorang. Gangguan itu menurut Eni (1991 : 2) merupakan gangguan alam perasaan (emosi) yang ditandai kemurungan dan kesedihan mendalam, berkepanjangan, dan relatif konstan. Mereka merasa sedih, bersalah, kehilangan harga diri, menurunnya semangat dan adanya keinginan untuk bunuh diri (Sarason, 1972: 273). Salan
(1991:10)
memperkenalkan
kriteria
untuk
melihat
dan
mempertimbangkan derajat kedepresian, yaitu : (a) intensitas dan lama gejala; dan (b) kualitas gejala. Oleh karena itu, Beck, Zung and Hamilton (Salan, 1991:10) mengembangkan rating scales, inventori untuk mengkualifikasikan gejala dan skor ke-depresi-an. Mereka berhasrat untuk menciptakan semacam ‖termometer‖ dalam mempelajari depresi. Menurut mereka adanya halusinasi, penurunan berat badan, adanya pikiran-pikiran tentang bunuh diri dapat menjadi indikasi bahwa garis normal telah dilampaui. Hubungan antara depresi dengan konseli adiksi dapat dikaji pada ungkapan Segal (1988:158) bahwa obat-obatan psikoaktif memberi efek Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
66
psikologis tertentu terhadap persepsi, daya ingat, keadaan emosi, fungsi psikomotorik dan proses kognitif; beberapa jenis obat memiliki kapasitas yang dapat menyebabkan kerusakan yang sulit diubah pada proses sensoris. Ia juga menjelaskan bahwa hampir semua obat psikoaktif menyebabkan konseli menjadi pusing, delusi dan halusinasi, panik, hilang kendali, memandang bahaya terhadap dirinya dan orang lain, menyerang orang lain dan berupaya melukai dirinya sebagai akibat dari pengaruh obat. Perilaku konseli adiksi tampil dan memberikan karakteristik tersendiri. Morris (1976: 504) mendeteksi karakteristik depresi itu dengan mengemukakan ciri-cirinya, yaitu bila yang bersangkutan merasa sedih, tidak berharga, malas merasa dibiarkan dan mengalami kekacauan perilaku. Mungkin ia ingin berkomunikasi dengan temannya (yang normal) tetapi ia amat merasa bersalah dan ragu diri. Menurut BNN RI (2007a : 119) karakteristik konseli adiksi obat yang mengalami depresi terlihat dari gejala-gejala perubahan perilaku, sebagai berikut : (a) sering merasa cemas, sedih, atau berpikiran kosong; (b) kehilangan minat pada aktivitas yang digemarinya; (c) mudah capek; (d) sulit berkonsentrasi; (e) suka bengong atau murung; (f) malas; (g) perubahan pola tidur (sulit tidur atau ingin tidur terus); (h) gelisah; (i) mudah marah; (j) perubahan nafsu makan (bisa jadi semakin banyak makan atau tidak mempunyai nafsu makan); (k) merasa tidak berdaya; (l) terpikir untuk mengakhiri hidup; (m) terlalu bersemangat dan ceria, berbeda dari biasanya; (n) menjadi sangat aktif, cerewet dan berbagai pikiran melintas cepat (atau seperti mendengar suara-suara bisikan aneh); (o) merasa tidak
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
67
perlu tidur; (p) berperilaku aneh dan berani melakukan hal-hal berbahaya; dan (q) tidak merasa mempunyai masalah. Darley (1986; 577) memberi gambaran tentang karakteristik konseli yang mengalami depresi, yaitu mencela dan menyalahkan diri sendiri, mendapat gangguan tidur, berkurangnya aktivitas, rangsangan seksnya rendah, menghindari kontak sosial, berpikir untuk bunuh diri, hati nuraninya menghukum, dan tidak ada yang dapat dikerjakan dengan baik. Dalam penelitian ini, konstruk depresi yang digunakan adalah dengan cara memodifikasi konstruk teori depresi dari Maslow and Mittleman (Crow and Crow, 1960 : 129-131) yang dimensi-dimensinya dapat diperiksa pada bagan 2.1 berikut.
Dimensi-dimensi Depresi
Maslow Maslowand and Mittleman Mittemann
1. Perubahan Emosi 2. Penurunan Aktivitas 3. Terhambatnya Proses berpikir 4. Delusi 5. Halusinasi 6. Gejala-gejala gangguan tubuh
Bagan 2.1 Dimensi-dimensi Depresi (Maslow and Mittlemann dalam Hafid, 1997 : 50)
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
68
4. Regulasi Diri Kualitas terpenting sebagai manusia adalah kemampuan dalam mengatur diri. Regulasi diri memainkan peranan penting dalam penyesuaian diri yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya. Rothbaum, Weisz, and Snyder (1982) menjelaskan dua proses untuk membentuk penyesuian diri, yaitu pengendalian utama (primary control) -- pengubahan lingkungan supaya sesuai dengan diri; dan pengendalian sekunder (secondary control) -- mengubah kondisi diri supaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Regulasi diri adalah komponen besar dari pengendalian sekunder. Memiliki kapasitas mengatur perilaku secara efektif adalah hal yang penting untuk menjadi seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik dan sesuai dengan lingkungan (Baumeister et al., 1994). Kemampuan ataupun ketidakmampuan mengatur diri akan menentukan persepsi tentang kepribadian diri
yang
merupakan
inti
dari
makna
diri.
Ketidakberfungsian
atau
ketidakmampuan individu dalam memfungsikan regulasi diri (self-regulatory functioning) dapat menimbulkan bias pengawasan diri (biased self-monitoring), menimbang diri sendiri dengan menyalahkan diri (self-blaming judgements), dan reaksi diri berupa melakukan pertahanan (defensive self-reactions). Oleh karenanya, dalam proses konseling, konseli belajar untuk mengatur perilaku sendiri secara efektif adalah hal yang penting dalam konseling.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
69
a. Definisi Triadik Regulasi Diri Kemampuan mengatur diri didefinisikan sebagai proses-proses psikologis untuk memediasi perilaku yang mengarah pada tujuan tanpa konsekuensikonsekuensi langsung. ―Self-regulation can be defined as the psychological processess that mediate goal-directed behavior in the absence of immediate consequences‖ (Carver & Scheier dalam Boekaerts, et al. 2000 : 569-570). Perspektif sosial-kognitif memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang regulasi diri sebagai sebuah interaksi proses triadik yaitu interaksi pribadi (personal), perilaku (behavioral), dan lingkungan (environmental) (Bandura, 1986). Secara spesifik, hal ini tidak hanya melibatkan keterampilan berperilaku (behavioral skill) mengatur berupa kemampuan mengelola diri dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di lingkungan sekitar (self-managing environmental contingencies), tetapi juga pengetahuan dan kesadaran agen pribadi (personal agency) untuk mengejawantahkan kemampuan ini dalam konteks yang sesuai. Regulasi diri merujuk pada cara berpikir, berperasaan, dan bertindak yang dihasilkan oleh diri sendiri (self generated) yang direncanakan sebelumnya dan disesuaikan dengan usaha untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Definisi ini, dalam pengertian tindakan dan proses tersembunyi yang kehadirannya dan kualitasnya bergantung pada keyakinan dan motif seseorang, berbeda dengan definisi-definisi yang ditekankan pada karakter tunggal, kemampuan, atau tahapan kompetensi. Sebuah definisi proses dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat mengatur dirinya saat melakukan sebuah tindakan, tetapi tidak mampu mengatur dirinya saat melakukan tindakan yang lain. Pembentukan agensi pribadi (personal
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
70
agency) juga berbeda dari cara pandang metakognitif tentang regulasi diri yang hanya menekankan pada pengetahuan tentang kondisi dan penalaran deduktif (deductive reasoning), contohnya ketika memilih strategi-strategi kognitif. Meskipun metakognisi memainkan peranan penting, tetapi regulasi diri juga bergantung pada keyakinan diri (self beliefs) dan reaksi afektif (affective reaction), seperti ragu dan takut dalam melakukan suatu tindakan (Zimmerman, 1995b). Individu dapat mengambil contoh dari seorang pemain catur dengan cara meniru strategi pertahanan yang dilakukan namun seringkali meninggalkan strategi pertahanan tersebut ketika keyakinan melemah saat pertandingan sedang berlangsung. Pemrosesan diri yang berkaitan dengan konteks (contextually related self-process) seperti persepsi tentang efikasi diri, telah terbukti lebih cocok untuk menjelaskan variasi dalam motivasi pribadi dibandingkan menjelaskan unjuk kerja regulasi diri seseorang (Bandura, 1997; Fajares & Miller, 1994; Zimmerman, 1995a). Regulasi diri dijelaskan dalam bentuk siklus karena respon timbal balik (feedback) dari performansi sebelumnya digunakan untuk menyesuaikan diri selama melakukan usaha-usaha terakhir. Penyesuaian-penyesuaian seperti itu penting karena faktor-faktor pribadi, perilaku, dan lingkungan merupakan faktorfaktor yang akan mengalami perubahan secara konstan selama proses belajar dan selama melakukan tindakan tertentu. Hal ini harus diteliti dan diawasi menggunakan tiga lingkaran timbal balik yang berfokus pada diri (self-oriented feedback loops).
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
71
Regulasi diri ke-perilaku-an (behavioral self-regulation) melibatkan usaha mengamati diri (self-observing) dan secara strategis menyesuaikan diri dengan proses performansi, seperti metode seseorang dalam belajar. Regulasi diri dengan lingkungan (environmental self-regulation) merujuk pada usaha meneliti dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan atau hasil interaksinya dengan lingkungan. Regulasi diri yang tersembunyi (covert self-regulation) melibatkan pengawasan dan penyesuaian diri terhadap kondisi afektif dan kognitif, contohnya pengimajinasian untuk menenangkan diri atau mengingat sesuatu. Keakuratan dan konsistensi pengawasan diri yang dilakukan oleh si pembelajar (learner’s selfmonitoring) dari pengendalian diri triadik ini secara langsung mempengaruhi keefektifan dari penyesuaian strategis dan efikasi diri. Lingkaran feedback triadic ini dianggap sebagai sebuah lingkaran atau siklus yang terbuka. Tidak seperti cara pandang siklus tertutup, yang membatasi regulasi diri untuk mengurangi kesenjangan performansi secara reaktif dalam menghadapi standar yang tetap (Locke, 1991), perspektif siklus terbuka mencakup meningkatkan kesenjangan performansi secara proaktif dengan cara meningkatkan tujuan dan mencari pekerjaan yang lebih menantang. Oleh karenanya, regulasi diri melibatkan proses triadik yang disesuaikan secara proaktif dan reaktif untuk pencapaian tujuan-tujuan pribadi.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
72
Penggunaan Strategi Lingkaran timbal balik Orang
Pengaturan diri tersembunyi
Lingkungan
Pengaturan diri behavioral
Perilaku
Pengaturan diri lingkungan
Gambar 2.3 Bentuk Triadik Regulasi Diri Sumber : Zimmerman (1989). ―A Sosial Cognitive View of Self-Regulated Academic Learning‖. Journal of Educational Psychology, 81, pp. 330.
b. Struktur Sistem Regulasi Diri Dari perspektif sosial-kognitif yang dikemukakan oleh Zimmerman (Boekaerts et al., 2000 : 15-24), proses-proses regulasi diri dan keyakinankeyakinan yang mengiringinya dibagi menjadi tiga bagian dalam fase siklus, yaitu:
pemikiran
awal
(forethought),
kemampuan
melakukan
sesuatu
(performance) atau kemampuan membuat keputusan (volitional control), dan proses-proses refleksi diri (self-reflection) (Gambar 2.4). Hal penting untuk diperhatikan adalah cara memahami bagaimana proses–proses ini berkaitan secara struktural dan berlanjut secara siklus (cyclically).
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
73
Unjuk kerja atau kemampuan membuat keputusan sendiri
Pemikiran Awal
Refleksi Diri
Gambar 2.4 Fase Berbentuk Siklus dari Regulasi Diri
Pertama, pemikiran awal merujuk pada proses-proses yang sangat berpengaruh yang mengawali usaha-usaha untuk melakukan suatu tindakan dan membuat tahapan-tahapan untuk melakukan tindakan tersebut. Terdapat dua kategori pemikiran awal yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain: (1) analisis tugas dan (2) keyakinan-keyakinan memotivasi diri. Bentuk kunci analisis tugas (task analysis) meliputi penyusunan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Penyusunan tujuan merujuk pada menentukan hasil akhir yang ingin dicapai dari tindakannya melakukan sesuatu (Locke & Latham, 1990). Sistemsistem tujuan dari individu yang memiliki pengaturan diri yang sangat baik akan terorganisir secara hierarkis, disusun dari mulai yang tujuannya bisa dicapai dalam waktu yang dekat ke tindakan yang tujuannya masih jauh untuk dicapai. Sub-sub tujuan dari proses ini tidak selalu merupakan titik tempat berhenti (checkpoint) untuk mencapai hasil akhir yang bernilai; namun sub-tujuan itu dianggap sebagai investasi karena menjadi bukti adanya kemajuan dari usaha yang dilakukan. Bentuk kedua dari analisis tugas adalah perencanaan strategi (strategic planning) (Weinstein & Mayer, 1986). Supaya dapat menguasai dan melakukan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
74
keterampilan dengan optimal, individu memerlukan metode yang sesuai dengan tugas dan rancangan pencapaian tujuan. Strategi-strategi yang mendukung pengaturan diri merupakan sebuah proses pribadi yang dilakukan dengan memiliki tujuan (purposive personal process) dan tindakan-tindakan yang diarahkan pada pencapaian atau usaha menunjukkan keterampilan (Zimmerman, 1989). Strategistrategi terpilih yang sesuai dapat meningkatkan performansi dengan membantu proses kognisi, mengendalikan dampak, dan mengarahkan tindakan motorik (Pressley & Wolloshyn, 1955). Perencanaan dan pemilihan strategi memerlukan penyesuaian yang berbentuk siklus karena komponen pribadi yang tersembunyi, perilaku dan lingkungan yang sifatnya fluktuatif. Tidak ada strategi pengaturan diri yang dapat bekerja secara baik pada semua orang atau kalaupun ada sangat jarang. Ketika suatu keterampilan berkembang, maka keefektifan strategi awal seringkali melemah hingga ke suatu titik dimana strategi lainnya diperlukan. Kondisi kontekstual, interpersonal, dan intrapersonal yang seringkali berubahubah, membuat individu yang memiliki pengaturan diri yang baik akan terus menyesuaikan tujuan dan memilih strategi paling tepat yang akan digunakan. Kemauan seseorang untuk memperhatikan dan mempertahankan usahausaha me-regulasi diri sangat bergantung secara khusus pada keefektifan regulasi diri, yang merujuk pada keyakinan-keyakinan tentang kemampuan untuk merencanakan dan mengatur wilayah-wilayah tertentu agar bisa berfungsi dengan baik. Terdapat bukti yang menyatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang keefektifan regulasi diri mempengaruhi penggunaan proses regulasi diri sebagai strategi belajar (Schunk & Schwartz, 1993; Zimmerman, Bandura, & Martinez-
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
75
Pons, 1992), manajemen waktu (Britton & Tessor, 1991), bertahan pada kondisi yang sulit seperti mendapatkan penekanan dari teman sebaya (Bandura, Barbaranelli, Caprara & Pastorelli, 1996b), mengawasi diri sendiri (BouffardBouchard, Parent, & Larivee, 1991), evaluasi diri, dan perancangan tujuan (Zimmerman & Bandura, 1994). Proses-proses pemikiran awal yang penting untuk perancangan tujuan dan perencanaan strategi yang akan digunakan adalah motivasi diri, yaitu: efikasi diri, harapan untuk hasil akhir, minat/nilai intrinsik, dan orientasi tujuan. Efikasi diri merujuk pada keyakinan pribadi untuk mempelajari atau melakukan sesuatu secara efektif, sementara harapan hasil akhir (outcome expectation) merujuk pada keyakinan tentang titik akhir dari harapan-harapan dalam melakukan suatu tindakan (Bandura, 1977). Individu yang memiliki kemampuan mengatur diri akan merasa bahwa self-efficacy merupakan bagian yang penting karena telah menyesuaikan tujuantujuan proses hierarkis untuk diri sendiri ketika dapat menguasainya akan mendapatkan kepuasan dalam jangka waktu yang dekat dan tidak membuatnya merasakan keberhasilan hanya ketika mencapai tujuan akhir dalam jangka waktu yang lama. Terdapat bukti yang menyatakan bahwa perolehan tujuan dalam proses (bukan tujuan akhir) bisa memotivasi diri seseorang dari dalam dan bahkan bisa melejitkan kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan (Schunk & Schwartz, 1993; Zimmerman & Kitsantas, 1997). Proses regulasi diri yang berorientasi pada tujuan ini juga dinamakan sebagai pembelajaran (Dweck, 1988), penguasaan (Ames, 1992), atau pekerjaan Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
76
yang berorientasi pada tujuan (Nicholls, 1984), dan telah terbukti mampu mempertahankan motivasi dan meningkatkan proses dan kemampuan sehingga menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang hanya berorientasi pada tujuan akhir saja (Pintrich & Schunk, 1996). Kedua, kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan membuat keputusan melibatkan proses-proses yang terjadi selama usaha motorik dilakukan dan mempengaruhi perhatian serta tindakan. Dua tipe yang sangat umum dari kemampuan melakukan sesuatu dan kemampuan membuat keputusan yang telah diteliti adalah: kontrol diri dan pengamatan diri (Boekaerts, 2000). Proses-proses pengendalian diri terdiri atas : penginstruksian diri, imajinasi (imagery), memfokuskan perhatian, dan strategi melakukan pekerjaan. Penginstruksian diri melibatkan suatu tindakan yang dilakukan baik dengan tersembunyi maupun terang-terangan. Imajinasi atau pembentukan gambaran mental adalah sebuah teknik pengendalian diri lainnya yang mampu membantu menuangkan hasil pemikiran dan membantu meraih kemampuan dalam melakukan suatu tindakan. Memfokuskan perhatian (attention focusing) bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi seseorang dan meneliti ada atau tidaknya proses tersembunyi atau kejadian-kejadian eksternal lainnya. Strategi pengerjaan tugas (task strategies) membantu pembelajaran dan pelaksanaan pekerjaan dengan cara mengurangi pekerjaan sehingga hanya intinya saja dan mengatur kembali bagianbagian dari tugasnya sehingga menjadi lebih bermakna. Tipe kedua dari kemampuan membuat keputusan atau kemampuan melakukan tindakan melibatkan observasi diri. Observasi diri merujuk pada usaha Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
77
seseorang untuk mengeksplorasi aspek-aspek khusus kemampuan, kondisi yang ada di sekitar, dan efek yang ditimbulkannya (Zimmerman & Paulsen, 1995). Terdapat beberapa bentuk observasi diri yang dapat mempengaruhi keefektifannya. Tujuan di tengah proses yang sifatnya hanya sementara (temporal proximity) dari kemampuan observasi diri seseorang merupakan variabel penting (Bandura, 1986; Kazdin, 1974). Pemberian umpan balik (feedback) yang ditunda kepada diri sendiri akan mencegah seseorang untuk melakukan suatu tindakan yang sifatnya korektif dalam jarak waktu tertentu. Gambaran kedua dari observasi diri yang berkualitas adalah bersifat informatif terutama tentang kemampuan yang telah dilakukan sehingga akan memberikan umpan balik (feedback) yang lebih baik. Berlatih suatu keterampilan dalam kondisi yang sudah distandardisasi atau sudah terstruktur dapat meningkatkan keinformatifan hasil akhirnya (Ericsson and Lehman, 1996). Gambaran kualitatif yang ketiga adalah keakuratan dari observasi diri. Individu yang salah mempersepsikan atau melakukan tindakan yang menyimpang tidak dapat memperbaikinya dengan benar. Gambaran kualitatif keempat dari evaluasi diri melibatkan valensi perilaku (valence of behavior). Mengawasi adanya aspek negatif dari fungsi diri seseorang. Perekaman diri (self-recording) adalah sebuah teknik observasi diri yang umum yang dapat meningkatkan kedekatan (proximity) (dekatnya pencapaian tujuan, yaitu di tengah proses, bukan di akhir), ke-informatif-an, ke-akurat-an, dan valensi dari umpan balik (Zimmerman & Kitsantas, 1996). Perekaman-perekaman ini
dapat
menangkap
informasi
pribadi
saat
kejadian
terjadi,
lalu
menstrukturisasikannya hingga menjadi sangat bermakna, mempertahankan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
78
keakuratannya tanpa perlu adanya paksaan untuk berlatih, dan memberikan susunan data (data base) yang lebih panjang untuk dapat memahami bukti adanya kemajuan. Observasi diri dapat mengarahkan pada sebuah siklus percobaan diri (selfexperimentation) (Bandura, 1991). Ketika observasi diri pada variasi-variasi alamiah dalam perilaku tidak memberikan informasi diagnostik yang dapat membantu seseorang untuk memutuskan sesuatu, orang-orang dapat melakukan percobaan diri dengan cara membuat keragaman aspek fungsi diri yang masih dipertanyakan secara sistematik. Dengan cara ini, observasi diri yang sistematik dapat mengarahkan pada pemahaman pribadi yang lebih besar dan mengarahkan pada performansi diri yang lebih baik. Ketiga, refleksi diri melibatkan proses-proses yang terjadi setelah dilakukannya usaha-usaha untuk melakukan suatu tindakan dan mempengaruhi respon seseorang
atas pengalamannya. Refleksi diri ini, pada gilirannya,
mempengaruhi pemikiran awal tentang usaha-usaha motorik sebelumnya— sehingga menyempurnakan sebuah siklus pengaturan diri. Bandura (1986) mengidentifikasi dua proses refleksi diri yang berkaitan dengan observasi diri, yaitu penilaian diri dan reaksi diri. Penilaian diri melibatkan evaluasi diri dari performansi seseorang dan memberikan penyebab yang penting pada hasil akhir. Evaluasi diri merujuk pada membandingkan informasi hasil dari pengawasan diri dengan standar atau tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
79
Terdapat empat tipe kriteria berbeda yang digunakan oleh kebanyakan orang untuk mengevaluasi diri: penguasaan, performansi sebelumnya, normatif, dan kolaboratif. Kriteria penguasaan meliputi penggunaan kelulusan tahapan ujian atau skor ujian yang berkisar dari mulai kemampuan pemula hingga ahli. Performansi sebelumnya atau kriteria diri (self-criteria) mencakup perbandinganperbandingan dari kemampuan terakhir dengan tingkat yang pernah dicapai sebelumnya dari perilaku seseorang (Bandura, 1977). Kriteria
normatif
meliputi
perbandingan
sosial
yaitu
dengan
membandingkan diri dengan orang lain. Masalah yang muncul dalam penggunaan kriteria normatif ini untuk penilaian diri adalah adanya fakta bahwa penilaian diri biasanya tidak menekankan pada penelitian diri yang selektif namun lebih menitikberatkan perhatian pada faktor-faktor sosial. Kelemahan lainnya adalah bahwa perbandingan sosial seringkali cenderung untuk menekankan aspek negatif, bukan aspek positif dari fungsi diri. Kriteria kolaboratif (collaborative criterion) digunakan terutama dalam usaha yang melibatkan satu tim (Bandura, 1991). Dengan situasi yang umum namun lebih rumit ini, keberhasilan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang memerankan perannya. Penilaian yang bersifat mengevaluasi diri berkaitan dengan atribut penyebab (causal attribution) hasil, contohnya apakah buruknya performansi dikarenakan kemampuan yang terbatas atau usaha yang kurang optimal. Atribusi (attribution) ini cukup penting dalam refleksi diri, karena atribusi berupa munculnya kesalahan (error) pada kemampuan yang sudah baik menyebabkan Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
80
individu memiliki reaksi negatif dan membuatnya tidak berusaha keras untuk meningkatkan kemampuannya (Weiner, 1979). Atribusi bukanlah hasil otomatis dari pengevaluasian diri yang baik ataupun yang tidak baik, tapi lebih bergantung pada penilaian kognitif dari faktor-faktor yang berkelanjutan, seperti persepsi keefektifan pribadi atau adanya usaha mempermudah kondisi lingkungan (Bandura, 1991). Evaluasi diri dan atribusi berupa penilaian diri berkaitan erat dengan dua jenis reaksi diri, yaitu kepuasan diri dan penarikan kesimpulan adaptif. Kepuasan diri melibatkan persepsi kepuasan atau ketidakpuasan serta dampak yang dihasilkan dari performansi seseorang. Hal ini penting karena orang biasa mengejar tindakan yang memiliki hasil akhir berupa kepuasan dan dampak positif, serta menghindari tindakan yang dapat menghasilkan ketidakpuasan dan dampak negatif (Bandura, 1991). Ketika kepuasan diri disesuaikan dengan usaha menggapai tujuan, orang-orang memberikan pengarahan pada tindakannya dan menciptakan insentif diri (self-incentive) yang akan dikejar melalui usaha yang dilakukan. Oleh karenanya, motivasi seseorang tidaklah diambil dari tujuan-tujuan yang dimiliki, tapi dari reaksi berupa insentif diri sebagai hasil dari tindakan. Kepuasan diri juga bergantung pada nilai intrinsik suatu tugas. Contohnya orang-orang yang sangat menghargai pekerjaan akan mengalami ketidakpuasan dan kecemasan yang sangat parah jika menerima peringkat hasil kerja yang buruk. Tetapi para individu yang memandang posisi mereka sebagai karyawan sementara dan kurang mendapatkan penghargaan tidak akan terlalu merasa tertekan hanya karena peringkat hasil kerja yang buruk. Orang-orang yang memiliki regulasi diri
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
81
yang sangat baik akan menghargai kesadaran intrinsik berupa respek terhadap diri sendiri (self-respect) dan memiliki kepuasan diri yang lebih besar pada hasil kerja yang baik dibandingkan dengan mendapatkan imbalan materi yang lebih banyak (Bandura, 1997). Penarikan kesimpulan adaptif atau defensif adalah cara menyimpulkan apa yang dibutuhkan oleh seseorang untuk mengubah pendekatan pengaturan diri berdasarkan pada sesuatu yang telah dipelajari dan dilakukan sebagai usaha berikutnya. Penarikan kesimpulan adaptif adalah hal yang penting karena dapat mengarahkan orang pada pengaturan diri yang baru dan lebih baik, contohnya dengan menyusun tujuan secara hierarkis atau mampu memilih strategi yang lebih efektif (Zimmerman & Martinez-Ponzs, 1992). Sebaliknya, penarikan kesimpulan defensif akan memelihara orang dari ketidakpuasan yang mungkin terjadi di masa depan dan dampak yang bertentangan dengan keinginan, namun sayangnya penarikan kesimpulan defensif ini juga dapat menghancurkan keberhasilan penyesuaian diri. Reaksi diri meliputi perasaan putus asa, menunda-nunda, menghindari tugas, tidak mau menggunakan kemampuan kognitif, dan apatis. Garcia and Pintrich (1994) membahas tentang reaksi-reaksi defensif seperti strategi-strategi membuat diri seolah-olah cacat (self-handicapping strategies), karena hal ini berbahaya, bukannya dianggap dapat melindungi individu, malah jika individu melakukan strategi-strategi ini, maka perkembangan kepribadian akan terhambat. Reaksi diri seperti ini akan mempengaruhi proses-proses pemikiran awal secara klinis dan seringkali mempengaruhi tindakan di masa depan secara
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
82
dramatis sehingga menghancurkan tujuan seseorang yang sangat penting dan akan semakin jauh dari ketakutan seseorang yang paling dalam. Contohnya, reaksireaksi kepuasan diri memperkuat keyakinan efikasi diri tentang penguasaan keterampilan akademik, pembelajaran dengan orientasi tujuan (Schunk, 1996), dan minat intrinsik dalam melakukan tugas (Zimmerman & Kitsantas, 1997). Keyakinan-keyakinan berupa pemberian motivasi diri mampu membentuk cara pandang akan dirinya sendiri dan mendorong untuk mengikuti siklus usaha regulasi diri (self-reguatory efforts) dan akhirnya dapat mencapai tujuannya. Sebaliknya, reaksi ketidakpuasan diri dapat mengurangi efikasi diri seseorang dan mengurangi minat intrinsik untuk menyelesaikan tugas yang lebih kompleks. Tabel 2.3 Struktur Fase dan Sub-sub Proses Regulasi Diri Fase Pengaturan Diri yang Berbentuk Siklus Pemikiran Awal
Performansi/Kemampuan Membuat Keputusan
Refleksi Diri
A.
Analisis Tugas
1.
Pengendalian Diri
A.
Penilaian Diri
1.
Penyusunan tujuan
1.
Pemberian instruksi pada diri sendiri
1.
Pengevaluasian diri
2.
Perencanaan strategi
2.
Imajinasi
2.
Atribut penyebab
B. Keyakinan yang memotivasi diri
3.
Memfokuskan perhatian
B.
1.
Efikasi diri (self-efficacy)
4.
Strategi pengerjaan tugas
1.
Pemuasan diri/dampak
2.
Harapan pada hasil akhir
B. Observasi Diri
2.
Bisa menyesuaikan/ bertahan
3.
Minat/nilai intrinsik
1.
Perekaman diri
4.
Orientasi tujuan 2.
Eksperimentasi diri
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
Reaksi diri
83
c. Perkembangan Keterampilan Regulasi Diri Cara pandang sosial-kognitif menempatkan penekanan-penekanan khusus pada peran dari agen-agen sosial dalam perkembangan regulasi diri, contohnya seperti orang tua, konselor , pelatih, dan teman sebaya. Pada masa awal, anakanak menyadari adanya nilai dari pengalaman mencontoh orang lain di lingkungan sosial, dan mereka menggantungkan diri pada contoh sosial tersebut ketika berusaha untuk memperoleh keterampilan yang dibutuhkan. Menurut cara pandang sosial-kognitif yang dikemukakan oleh Schunk and Zimmerman (Boekaerts et al., 2000) terdapat hipotesis bahwa keterampilan manusia akan menjadi kemampuan untuk mengatur diri setelah menjalani serangkaian tingkat yang dimulai dengan tingkat pengamatan (observational level) dan kemudian naik satu tingkat lagi ke tahap peniruan (emulation), setelah itu naik lagi ke tingkat pengendalian diri dan akhirnya mencapai tingkat regulasi diri. Meskipun dukungan sosial terus menerus dikurangi secara sistematis dari tingkat 1 hingga tingkat 4, namun tetap digunakan sebagai sumber ketika diperlukan
selama
berada
pada
dua
tingkat
terakhir.
Tingkat-tingkat
perkembangan fungsi keterampilan ini nampak seperti hierarki pembelajaran, dan terdapat bukti yang mengatakan bahwa individu yang menguasai keterampilanketerampilan ini secara bertahap akan menunjukkan bahwa ia memiliki fungsi keterampilan yang lebih tinggi dan akan mengalami reaksi diri yang lebih memuaskan dan memiliki persepsi yang lebih tinggi tentang efikasi dirinya dan meningkatkan minat intrinsiknya dalam keterampilan tersebut. Secara bersamasama perkembangan keyakinan diri (self-belief) yang berbentuk siklus ini
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
84
dipandang penting secara teoretis karena perkembangan ini mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan mengatur diri yang sudah dicapai oleh individu sudah secara signifikan mengubah pemikiran awal yang dimiliki, yang menurut Bandura (1991) merupakan sumber yang paling penting dari agen manusia. d. Ketidakberfungsian Regulasi Diri Dari sudut pandang sosial-kognitif, ketidakberfungsian regulasi diri seseorang diakibatkan oleh pemikiran awal yang tidak efektif dan teknik mengendalikan
kemampuan,
seperti
merencanakan
pengaturan
makanan
seseorang dan menulis laporan diri, frekuensi berolahraga untuk mengendalikan berat badan, dan perilaku penyalahgunaan zat adiktif/napza (Bandura, 1991; Zimmerman, 1998). Tabel 2.4 Tingkat Perkembangan Keterampilan Regulasi Diri Tingkat
Nama
Penjelasan
1
Pengamatan (Observation)
Menerima keterampilan yang bisa dilihat dari seorang model yang sangat baik
2
Meniru (Emulation)*
Perilaku meniru dari pola atau gaya umum yang dicontohkan oleh seorang model dengan bantuan berupa faktor sosial
3
Pengendalian diri (Self-control)
Tampilan keterampilan model yang disesuaikan dengan kondisi yang terstruktur
4
Pengaturan diri (Self-regulation)
Penggunaan keterampilan secara adaptif yang disesuaikan dengan kondisi pribadi dan lingkungan yang sering berubah
*tingkat ini disebut juga sebagai tingkat imitasi di pembahasan sebelumnya.
Sumber : Schunk & Zimmerman (Boekaerts et al., 2000 : 29). Handbook of SelfRegulation. New York : Academic Press.
Boekaerts (2000) merangkum beberapa pendapat ahli tentang bentukbentuk ketidakberfungsian dalam regulasi diri, yaitu : Pertama, mengandalkan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
85
metode reaktif untuk mengatur kehidupan pribadi. Metode pengaturan diri yang reaktif biasanya tidak efektif karena tidak mampu memberikan struktur tujuan yang penting/dibutuhkan, perencanaan strategis, dan agen pribadi terutama bagi seorang individu untuk terus berkembang ke arah kemajuan secara konsisten. Namun, individu yang memiliki kelemahan regulasi diri akan berusaha untuk membenarkan diri dengan menggunakan metode balas dendam (post hoc). Karena reaksi diri ini merugikan hasil yang diperoleh, maka pengalaman berupa mengatur diri secara reaktif bukan saja merupakan sebuah kehilangan efikasi diri untuk melakukan usaha meraih kemampuan berikutnya, namun penurunan dalam minat intrinsik dalam mengerjakan pekerjaan atau tugas akademik (Zimmerman & Kitsantas, 1996). Kekurangan pengalaman berupa belajar dari lingkungan sosial yang merupakan sumber utama mengapa seseorang memiliki ketidakmampuan mengatur diri. Banyak bentuk pengaturan diri yang sulit untuk dipelajari oleh para individu yang tumbuh di rumah-rumah atau lingkungan sosial dimana individu tidak diajari, tidak diberi pujian, dan tidak diberi contoh. Brody dan koleganya (Brody, Stoneman, & Flor, 1996) telah menemukan bahwa orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pengaturan diri anak sehingga banyak anak mengalami kekurangan keterampilan mengatur diri yang baik untuk mengatur masalah pribadi dan memiliki prestasi yang konsisten di sekolah. Anakanak yang orangtuanya menerapkan standar tidak berprestasi merupakan hal yang tidak dapat diterima dengan porsi yang sesuai mengawasi kegiatan anak di sekolah secara ketat serta prestasi mereka memiliki hasil yang bukan hanya
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
86
berupa pengaturan diri yang baik tapi juga perkembangan kognitif dan sosial yang tinggi. Kedua, keterbatasan pribadi yang bersifat motivasional; dinamakan sikap apatis atau tidak berminat melakukan aktivitas. Karena teknik pengaturan diri yang paling efektif memerlukan antisipasi, konsentrasi, usaha, dan reaksi diri yang hati-hati, maka teknik ini hanya digunakan ketika kemampuannya atau hasil akhirnya dihargai dengan baik. Ketika kemampuannya atau hasil akhirnya tidak dianggap bernilai, maka seseorang tidak akan merasakan pentingnya regulasi diri. Ketiga, kelainan suasana hati (mood disorder) seperti sikap berlebihan terhadap sesuatu (mania) dan depresi, adalah keterbatasan pribadi ketiga yang dapat menyebabkan ketidakmampuan terbesar dalam mengatur diri. Contohnya, kondisi seseorang yang mengalami depresi akan menunjukkan bias berupa menipu diri (self defeating bias), salah memandang performansi diri sendiri (misperceive performance attainment), atau memutarbalikkan ingatan tentang prestasi-prestasi yang sudah diraih (Bandura, 1991). Bias ini nampak sangat berlawanan dengan usaha meningkatkan kualitas diri (self-enhancing) berupa sifat optimis dan tidak merasa depresi dengan selalu mengingat keberhasilan yang telah dicapai dan mengingat sedikit kegagalan yang pernah dialami meskipun mungkin sebetulnya jumlahnya banyak (Nelson & Craighead, 1977). Orang-orang yang mengalami depresi juga membentuk sebuah standar yang tinggi untuk diri sendiri dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mengalami depresi (Schwartz, 1974; Simon, 1979) dan sangat cepat menyalahkan diri sendiri karena kegagalan yang
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
87
diterima (Kuiper, 1978). Sayangnya, meminimalisir keberhasilan seseorang hanyalah akan berakibat mematahkan semangat orang tersebut. Ketidakberfungsian regulasi diri yang keempat adalah ketidakmampuan belajar (learning disabilities), seperti masalah kognitif berupa tingkat konsentrasi, ingatan, kemampuan membaca, dan menulis. Keterbatasan pribadi berupa masalah syaraf, banyak menjadi penyebab tidak mampunya seseorang untuk mengatur diri (Borkowski & Thorpe, 1994). Individu biasanya lebih sering mengkritik diri sendiri (self-critical) dan memiliki efikasi diri yang buruk (lack of self-efficacious) dan cenderung lebih mudah menyerah dibandingkan dengan anak yang normal. Oleh karena itu, meskipun masalah kognitif, afektif, dan motivasional akan mengakibatkan tidak berfungsinya pengaturan diri, namun terdapat sebuah bukti yang semakin jelas bahwa ketidakberfungsian ini dapat ditangani (Schunk & Zimmerman, 1998).
e. Pengaruh Lingkungan dan Sosial terhadap Regulasi Diri Gambaran utama model sosial-kognitif dari regulasi diri adalah kuatnya peranan sosial, lingkungan, dan pengaruh-pengaruh diri. Seperti yang sudah dijelaskan pada gambar 2.4 tentang siklus timbal balik triadik, proses-proses lingkungan dan pribadi (self) berinteraksi dua arah dengan pengaturan alamiah. Proses inisiasi diri mengubah kondisi sosial dan fisik seseorang, dan kemudian orang tersebut akan terpengaruh dengan perubahan-perubahan itu. Dari perspektif triadik, orang yang mengabaikan penggunaan sumber sosial dan lingkungan atau yang memandang sumber sosial dan lingkungan itu
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
88
sebagai hambatan perkembangan kepribadian, maka individu itu akan menjadi orang yang kurang efektif dalam mengatur kehidupannya. Cara pandang internal tentang fungsi regulasi diri seringkali dipengaruhi oleh faktor sosial dan lingkungan (Ericsson & Charness, 1994; Newman, 1994; Thoresen & Mahoney, 1974). Kondisi sosial mempengaruhi proses-proses refleksi diri dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada proses pemikiran awal dan fase melakukan tindakan. Orang muda biasanya membentuk standar penilaian evaluasi diri melalui instruksi-instruksi, timbal balik dari lingkungan sosial, dan mengikuti contoh yang diberikan oleh teman sebaya, orang tua, konselor , dan pelatih. Kritik yang dilontarkan kepada diri sendiri secara verbal (verbal self-criticism), pesimisme atau pujian pada diri sendiri (self-praise) dan optimisme seringkali tidak nampak bagi orang lain dan hal ini dapat memberikan petunjuk kepada peneliti tentang adanya standar reaksi diri (Zimmerman & Ringle, 1981). Lingkungan fisik dan sosial dipandang oleh para peneliti sosial-kognitif sebagai sebuah sumber untuk digunakan dalam periode pemikiran awal berupa keinginan meningkatkan kualitas diri (self-enhancing), kemampuan melakukan suatu tindakan atau kemampuan membuat keputusan, dan refleksi diri. Pemberian contoh dan instruksi dapat berfungsi sebagai kendaraan utama bagi orang tua, konselor, dan masyarakat dalam mengajarkan keterampilan mengatur diri, seperti ketahanan diri (persistence), memuji diri sendiri (self-praise) dan reaksi diri adaptif kepada anak-anak. Sebaliknya, ketika model sosial menunjukkan sikap yang impulsif, kritis pada diri sendiri (self-criticism), reaksi diri defensif atau
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
89
ketika kelompok sosial memberikan penghargaan atau menerima tindakantindakan tersebut, maka biasanya ketidakberfungsian pribadi seperti itu akan terus berlanjut.
5. Efikasi Diri a. Definisi Efikasi Diri Self-efficacy merupakan konsep yang berasal dari teori sosial-kognitif Bandura (1977, 1997). Oleh karena itu, untuk memahami self-efficacy secara komprehensif, perlu dipahami konteks teori sosial kognitif sebagai suatu pendekatan ke arah pemahaman kognisi, perilaku, motivasi, dan emosi yang berasumsi bahwa manusia merupakan makhluk aktif atau pembentuk aktivitas bukan makhluk pasif yang reaktif dan bergantung kepada lingkungan. Menurut Maddux (Sudrajat, 2008:24-25) teori sosial kognitif mempunyai empat premis dasar sebagai berikut. 1) Manusia dibekali dengan kekuatan kognitif atau kemampuan simbolisasi (symbolizing)
yang
memungkinkan
untuk
menginternalisasi
model
pengalaman-nya, mengembangkan tindakan atau perilaku inovatif, menguji hipotetis tindakan atau perilaku untuk memprediksikan hasilnya, dan berkomunikasi dengan orang lain tentang ide-ide serta pengalamannya yang kompleks. Manusia juga dapat mengobservasi diri, menganalisis dan mengevaluasi tindakan atau perilaku, pikiran, dan emosinya. Penyusunan kegiatan refleksi diri ini merupakan langkah untuk mengendalikan dirinya.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
90
2) Peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan, faktor-faktor internal pribadi seseorang (kognisi, emosi, dan peristiwa biologis), dan perilaku semuanya berpengaruh secara timbal balik. Manusia merespons secara kognitif, efektif dan berperilaku atas berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Melalui kognisinya, manusia berlatih untuk mengendalikan semua perilakunya, kemudian pengaruh tersebut tidak hanya berasal dari kognisinya saja, melainkan faktor internal lainnya juga, seperti afektif dan kondisi atau keadaan biologisnya. 3) Diri (self) dan kepribadian (personality) keduanya menggambarkan kelekatan sosial (social embedded) yang berisikan persepsi (akurat atau tidak) tentang diri sendiri dan contoh-contoh yang lain dari kognisi sosial, emosi, dan tindakan atau perilaku seperti diperlihatkan dalam satu contoh model pada satu situasi. Karena mereka memiliki kelekatan sosial (social embedded), diri dan kepribadian keduanya bukan hanya sekedar mengantarkan kepada interaksi dengan yang lainnya, melainkan juga berkreasi atau aktif dalam proses interaksi, serta mengalami perubahan sepanjang proses interaksinya. 4) Manusia berkemampuan untuk mengendalikan diri. Ia mempunyai pilihan dalam mencapai tujuan dan mampu mengendalikan perilaku dalam rangka menyesuaikan atau mencapai tujuannya. Ia mempunyai pusat pengendalian diri, yaitu suatu kemampuan untuk mengantisipasi atau mengembangkan harapan dengan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman masa lalunya untuk membentuk keyakinan tentang rencana-rencana atau berbagai peristiwa
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
91
masa depannya dan keadaan atau kondisi serta keyakinannya tentang kemampuan dan perilakunya. Bandura (Boekaerts, et al. 2000 : 575) mendefinisikan bahwa efikasi diri (Self-efficacy) merupakan sebuah keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya secara efektif. Bandura (1977, 1997) mengemukakan bahwa self-efficacy sebagai salah satu faktor penting dalam regulasi diri. Lebih jauh, Maddux (2005 : 278-279) dan Maddux (Sudrajat, 2008 : 2425) mengemukakan beberapa makna dan karakteristik dari self-efficacy, yaitu sebagai berikut. 1) Self-efficacy merupakan keterampilan yang berkenaan dengan sesuatu yang diyakini atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan atau menyelesaikan sesuatu dengan keterampilan yang dimilikinya dalam situasi atau kondisi tertentu. Biasanya terungkap dari pernyataan Saya yakin dapat mengerjakannya. 2) Self-efficacy bukan menggambarkan tentang motif (motive), dorongan (drive), atau kebutuhan lain yang dikontrol. Hal ini dapat dijelaskan dengan ungkapan, Saya mempunyai kebutuhan yang kuat untuk mengontrol domain tertentu dan masih mampu memelihara keyakinan efficacy agar tidak lemah. 3) Self-efficacy ialah keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam mengkoordinir, mengerahkan keterampilan dan kemampuan dalam mengubah serta menghadapi situasi yang penuh dengan tantangan.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
92
4) Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap apa yang mampu dilakukannya. 5) Niat pada umumnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk self-efficacy. 6) Proporsi efficacy dalam domain harga diri (self-esteem) secara langsung proporsinya berperan penting dalam menempatkan diri seseorang. 7) Self-efficacy secara sederhana menggambarkan keyakinan seseorang yang dapat melaksanakan atau menampilkan perilaku produktif. 8) Self-efficacy didefinisikan dan diukur bukan sebagai suatu ciri tetapi sebagai keyakinan tentang kemampuan untuk mengkoordinir berbagai keterampilan dan kemampuan mencapai tujuan yang diharapkan, dalam domain dan kondisi atau keadaan khusus. 9) Self-efficacy berkembang sepanjang waktu dan diperoleh melalui suatu pengalaman. Perkembangannya dimulai pada masa bayi dan berlanjut sepanjang hayat. Self-efficacy mempengaruhi perancangan dan pencapaian tujuan individu. Semakin mampu individu meyakini kemampuan dirinya, maka semakin tinggi tujuan yang akan dirancang untuk dirinya, dan akan semakin berkomitmen dengan tujuan-tujuan yang sudah dirancang tersebut (Bandura, 1991; Locke & Latham, 1990). Individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan meningkatkan usahanya dalam mencapai tujuan, sementara individu yang self-efficacy-nya rendah, akan menyerah dan keluar dari usahanya (Bandura & Cervone, 1986). Tujuan dapat mempengaruhi keyakinan tentang self-efficacy dan sebaliknya.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
93
Individu yang memiliki kemampuan mengatur diri (self-regulation) merasakan self-efficacy adalah bagian yang penting karena telah menyesuaikan tujuan-tujuan proses hierarkis untuk diri sendiri yang ketika dapat menguasainya maka akan mendapatkan kepuasan dalam jangka waktu yang dekat dan tidak membuatnya merasakan keberhasilan hanya ketika mencapai tujuan akhir dalam jangka waktu yang lama. Terdapat bukti yang menyatakan bahwa perolehan tujuan dalam proses (bukan tujuan akhir) dapat memotivasi diri seseorang dari dalam dan melejitkan kemampuannya untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan (Schunk & Schwartz, 1993; Zimmerman & Kitsantas, 1997).
b. Struktur Efikasi Diri Self-efficacy seseorang sangat bervariasi dalam berbagai dimensi. Bandura (1997: 42-50; 2001: 3-6) dan Bandura (Sudrajat, 2008 : 40–42) menjelaskan bahwa self-efficacy mempunyai struktur atau dimensi, seperti: magnitude atau level, strength, dan generality. Pertama, struktur atau dimensi magnitude atau level. Struktur atau dimensi magnitude atau level, yaitu dimensi yang berhubungan dengan tingkat kesulitan masalah atau tugas yang dapat diatasi oleh seseorang sebagai hasil persepsi tentang kompetensi dirinya. Misalnya, jika seseorang dihadapkan pada masalah atau tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitan tertentu maka selfefficacy-nya akan jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang, dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi masing-masing tingkatannya tersebut.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
94
Kedua, struktur atau dimensi strength. Struktur atau dimensi strength, yaitu dimensi yang berhubungan dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan tentang kompetensi yang dipersepsinya. Dengan kata lain dimensi strength ini menunjukkan tentang derajat kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Dimensi ini biasanya berkenaan langsung dengan dimensi pertama, magnitude atau level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas maka makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya. Ketiga, struktur atau dimensi generality. Struktur atau dimensi generality, yaitu dimensi yang berhubungan dengan luas bidang perilaku atau tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah atau tugas-tugasnya dalam kondisi tertentu. Misalnya, seseorang mungkin hanya mampu mengerjakan suatu masalah atau tugas-tugas yang terbatas pada bidang khusus atau tertentu, sementara orang lain dapat menyebar meliputi berbagai bidang perilaku.
6. Harapan Hidup Wellness Model holistik tentang wellness telah dijadikan sebagai landasan dalam kegiatan konseling komprehensif-developmental, baik secara konseptual maupun operasional. Myers, Witmer and Sweeney (2000 : 252) mengemukakan pemikirannya tentang salah satu tujuan umum konseling yaitu wellness. Menurutnya, ‖Wellness as a way of life oriented toward optimal health and wellbeing in which body, mind, and spirit are integrated by the individual to live more fully within the human and natural community”. Sedangkan Archer, Probert, and
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
95
Gage (Surya, 2003 : 183) mendefinisikan wellness sebagai proses dan keadaan pencapaian fungsi-fungsi manusiawi secara maksimal yang mencakup aspek badan, jiwa, dan kesadaran. Wellness merupakan konsep sehat yang bersifat multidimensional. Konsep ini diambil dari perspektif kepribadian, sosial, klinis, kesehatan, psikologi perkembangan, antropologi, agama, dan pendidikan. Menurut Nicholas and Goble (Surya, 2003 : 183; 2007 :224) sistem model wellness yang multidimensional menekankan empat prinsip berikut. a. Sehat itu multidimensional, artinya kondisi sehat itu terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan yang mencakup: dimensi fisik, emosional, sosial, spiritual, vokasional, dan intelektual. b. Sehat itu variabel dinamis, artinya kondisi sehat itu bukan sesuatu yang statis dan diam, tetapi merupakan suatu keadaan yang dinamis dan bervariasi dalam dimensi waktu dan tempat. Ada satu saat sehat dan di saat lain kurang sehat, serta di tempat tertentu dapat sehat tetapi di tempat lain kurang sehat. c. Sehat itu mengatur sendiri dalam setiap dimensi kehidupan, artinya dalam masing-masing dimensi kehidupan akan terjadi suatu proses pengaturan sedemikian rupa sehingga dapat dicapai keseimbangan. Keadaan kurang sehat dalam suatu dimensi misalnya dalam aspek fisik, maka akan terjadi upaya untuk mendorong kondisi ke arah lebih baik.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
96
d. Sehat itu mengatur sendiri antar dimensi kehidupan, artinya kondisi sehat dalam setiap dimensi akan saling berkaitan dan saling melengkapi untuk mencapai kesimbangan keseluruhan kepribadian. Karakteristik orang yang sehat menurut konsep wellness dengan model holistik multidimensional digambarkan dalam gambar 2.5
Gambar 2.5 The Wheel of Wellness Sumber : Myers et al. (2000). The Wheel of Wellness Counseling for Wellness : A Holistic Model for Treatment Planning. Journal of Counseling & Development, Vol. 78, No. 1, Summer 2000, pp. 251-262.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
97
Dalam gambar 2.5, karakteristik sehat digambarkan dalam lima tugas hidup yang saling berkaitan dalam bentuk roda keseluruhan kehidupan. Konsep wellness dinyatakan dalam lima tugas hidup, yaitu : (a) spiritualitas (spirituality); (b) pengarahan diri (self-direction); (c) pekerjaan dan penggunaan waktu luang (work and leisure); (d) persahabatan (friendship); dan (e) cinta (love) (Myers, Witmer and Sweeney, 2000 : 252 – 257). Tugas-tugas hidup itu secara dinamis saling berinteraksi dengan tantangan-tantangan hidup yang timbul dalam keluarga, masyarakat, agama, pendidikan, pemerintahan, media, dan dunia usaha/indusri. Peristiwa-peristiwa global baik alam maupun manusia mempunyai pengaruh timbal balik dengan tantangan-tantangan hidup dan tugas-tugas hidup. Tugas hidup yang pertama adalah spiritualitas. Spiritualitas didefinisikan sebagai ―an awareness of being or force that transcends the material aspects of life and gives a deep sense of wholeness or connectedness to the universe‖ (Myers et al., 2000 : 252). Spiritualitas merupakan tugas hidup pertama, paling utama dan menjadi titik sentral dari kesempurnaan wellness. Tugas ini mempunyai dimensi religiusitas, kedamaian hidup, makna dan tujuan hidup, optimisme, antisipasi masa depan, dan nilai-nilai untuk membimbing hidup dan pembuatan keputusan. Tugas hidup yang kedua adalah pengarahan diri yang didefinisikan sebagai ―the manner which an individual regulates, disciplines, and directs the self in daily activities and in pursuit of long-range goals‖ (Myers et al., 2000 : 253). Pengarahan diri adalah tugas-tugas untuk mengatur diri sendiri agar mampu hidup secara baik dan sehat. Tugas kehidupan ini mencakup tujuh komponen, yaitu : (a) mewujudkan dan mempertahankan harga diri (sense of worth);
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
98
(b) pengendalian diri (sense of control); (c) keyakinan yang realistik (realictic beliefs); (d) kesadaran emosional dan coping (emotional awareness and coping); (e) pemecahan masalah dan kreativitas (problem solving and creativity); (f) mempunyai rasa humor (sense of humor); (g) nutrisi (nutritions); (h) olahraga (exercise); (i) pemeliharaan diri (self-care); (j) manajemen stress (stress management); (k) identitas gender (gender identity); dan (l) identitas budaya (cultural identity). Tugas hidup yang ketiga adalah pekerjaan. Pekerjaan sebagai tugas hidup, diharapkan dapat dimiliki oleh setiap orang dalam menunjang kelangsungan hidupnya secara sehat. Untuk mewujudkan kondisi hidup yang sehat , pekerjaan tidak hanya bermakna ekonomis, tetapi juga bermakna sosial, psikologis, dan spiritual. Tugas hidup yang keempat adalah persahabatan, yaitu hubungan sosial antar individu dalam masyarakat yang berdasarkan komitmen satu dengan yang lain atas dasar keakraban dan saling pengertian. Hasil dari persahabatan adalah didapatkannya dukungan sosial (social support), baik berupa material maupun non-material. Tugas hidup yang kelima adalah cinta. Cinta diwujudkan melalui lembaga keluarga. Dalam cinta hubungan antar individu memiliki derajat keintiman yang lebih mendalam dan bersifat emosional serta seksual. Karakteristik dari hubungan percintaan yang sehat adalah : (a) kemampuan untuk menjadi lebih intim, percaya, dan pembukaan diri terhadap individu lain; (b) kemampuan untuk saling menerima ekspresi afeksi dengan yang lain; (c) kapasitas untuk respek terhadap Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
99
keunikan yang lain; (d) kehadiran dan stabilitas keintiman hubungan dalam kehidupan orang lain; (e) perhatian terhadap pertumbuhan alamiah seseorang; dan (f) kebahagiaan dalam kehidupan seksual dengan orang lain.
7. Pengarahan Diri a. Definisi Pengarahan Diri Sejarah Pembelajaran Pengarahan Diri (Self-Directed Learning [SDL]) sudah berkembang sejak zaman klasik. Contohnya, belajar sendiri (self-study) telah menjadi bagian penting dalam kehidupan para ahli filsafat Yunani Kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Contoh-contoh historis lain tentang SDL adalah Alexander the Great, Julius Caesar, Erasmus, dan Descartes. Selain itu, dipengaruhi juga oleh kondisi sosial di koloni Amerika dan kurangnya lembaga pendidikan formal mengharuskan setiap orang untuk belajar sendiri. Sejak tiga dekade terakhir, SDL menjadi bidang penelitian utama. Peletak dasarnya adalah Houle (1961) dari University of Chicago, Illinois. Ia mewawancarai 22 pelajar orang dewasa dan menggolongkan mereka ke dalam tiga kategori berdasarkan pada pertimbangan keikutsertaan di dalam belajar, yaitu: (1) berorientasi tujuan, yakni orang dewasa yang berpartisipasi dalam belajar untuk mencapai beberapa tujuan akhir; (2) berorientasi aktivitas, yakni orang dewasa yang berpartisipasi dalam belajar dengan pertimbangan sosial atau beasiswa; (3) berorientasi belajar, yakni orang dewasa yang merasa sebagai seorang terpelajar. Belakangan kelompok-kelompok orientasi pelajar orang dewasa ini diidentifikasi dalam beberapa penelitian selanjutnya.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
100
Upaya pertama untuk memahami secara lebih baik orientasi belajar individu dilakukan oleh Tough, seorang peneliti dari Kanada dan salah seorang kandidat doktor dari Houle. Di dalam disertasinya ia menganalisis aktivitasaktivitas pengajaran pengarahan diri dan penelitian berikutnya menghasilkan sebuah buku yang diberi judul The Adult Learning Projects (1979). Pekerjaan ini menstimulasi banyak penelitian yang sama dengan populasi yang beragam dari lokasi yang beragam pula. Pada periode yang sama, melalui beasiswa individual paralel, Knowles mempopulerkan istilah Andragogy di Amerika Utara melalui proses pengajaran orang dewasa. Pada tahun 1975, Knowles mempublikasikan Self-Directed Learning, dengan definisi-definisi dan asumsi-asumsi dasar penelitian berikut : (1) manusia berkembang dalam kapasitas dan kebutuhan untuk mengarahkan diri; (2) pengalaman-pengalaman individu (pelajar) merupakan sumber yang kaya untuk belajar; (3) individu mempelajari sesuatu yang diperlukannya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupannya; (4) orientasi alamiah orang dewasa berpusat pada tugas-tugas atau masalahmasalah kehidupan; (5) pelajar pengarahan diri dimotivasi oleh berbagai insentif internal, seperti kebutuhan akan harga diri, keingintahuan yang besar (curiosity), keinginan untuk berprestasi (desire to achieve), dan kepuasan pemenuhan diri. Kelima asumsi-asumsi dasar SDL tersebut kemudian dijabarkan lagi menjadi 11 asumsi berikut.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
101
1) Pendidikan harus menghasilkan kecakapan pengarahan diri dan pembelajar sepanjang hayat, tetapi di sisi lain kadang-kadang hal tersebut menciptakan ketergantungan. 2) Banyak cara melakukan konseling dan belajar secara efektif, di antaranya melalui SDL. 3) Kemampuan pengarahan diri bersifat situasional, artinya orang dapat mengarahkan diri untuk suatu objek, tetapi dapat juga tergantung pada orang atau objek lain. 4) Tidak ada salahnya menjadi individu yang tergantung pada orang lain, yakni ketika individu itu membutuhkan bimbingan. 5) Kecakapan pengarahan diri dapat dipelajari dan diajarkan. Kecakapan pengarahan diri dapat dikembangkan melalui pembelajaran, dan penataan lingkungan yang kondusif. Terdapat empat konsep yang terkait dengan pengembangan kecakapan pengarahan diri, yaitu : (a) menempatkan perilaku sebagai fokus analisis, (b) kecakapan tersebut diperoleh melalui proses belajar, (c) menekankan penguatan positif dalam belajar, dan (d) lebih efektif apabila pengembangan kecakapan pengarahan diri dirancang untuk terjadinya pengalaman belajar baru. 6) Pengarahan diri merupakan suatu model bukan hukum, dalam arti sebagai alat untuk menggali potensi diri. 7) Manusia berkembang dalam kapasitas dan kebutuhan untuk mengarahkan diri.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
102
8) Pengalaman-pengalaman individu merupakan sumber yang kaya untuk belajar. 9) Individu mempelajari sesuatu yang diperlukannya untuk melaksanakan tugastugas perkembangan sepanjang rentang kehidupannya. 10)
Orientasi alamiah orang dewasa berpusat pada tugas-tugas atau masalahmasalah kehidupan.
11)
Pelajar pengarahan diri dimotivasi oleh berbagai insentif internal, seperti kebutuhan akan harga diri, keingintahuan yang besar, keinginan untuk berprestasi, dan kepuasan pemenuhan diri. Penelitian penting lainnya terdapat dalam disertasi Guglielmino (1977).
Dia mengembangkan the Self-Directed Learning Readiness Scale (SDLRS) sebagai sebuah instrumen yang digunakan oleh banyak peneliti untuk mengukur kesiapan pengarahan diri atau membandingkan berbagai karakteristik aspek SDL. Spear dan Mocker‘s (1984) yang bekerja dalam mengatur sebuah organisasi menunjukkan pentingnya memahami pengaturan lingkungan pelajar dalam mempromosikan SDL. Simposium internasional SDL (International Symposium on Self-Directed Learning) ditetapkan setiap tahun sejak tahun 1987 oleh Long dan koleganya untuk melengkapi sejarah perkembangan SDL. Simposium ini telah menghasilkan banyak publikasi, proyek penelitian, dan pengembangan teori oleh para peneliti di seluruh dunia.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
103
Seiring dengan perkembangan ide-ide baru, Self-Direction Learning (SDL) telah menciptakan kebingungan baru terutama dengan bermunculannya konsep-konsep yang mirip. Contohnya, self-directed learning, self-planned learning, learning projects, self-educated, self-teaching, autonomous learning, autodidaxy, independent study, dan open learning. Istilah-istilah ini memiliki perbedaan dengan SDL. Berikut ini penjelasan beberapa istilah yang dimaksud. Pengarahan diri memiliki makna sebagai kekuatan yang memberi arah kepada individu dalam mencapai tujuan, serta bertanggung jawab terhadap konsekuensi atas pilihan dan perilakunya. Individu yang memiliki kemampuan mengarahkan diri akan menjalani kehidupan secara efektif dan dapat menghindari situasi yang mengganggu dalam meraih tujuan, sehingga ia dapat mencapai perkembangan optimal. Pengarahan diri tidak hanya tampak pada penentuan rencana dan sasaran aktivitas individu, melainkan tergambar pada upaya individu untuk menemukan berbagai alternatif dalam mencapai tujuan. Pengarahan diri merupakan upaya individu untuk melakukan perencanaan, pemusatan kekuatan, dan evaluasi terhadap serangkaian aktivitas yang dilakukannya. Selain itu, pengarahan diri merujuk pada upaya individu untuk memelihara kemampuan yang telah dimiliki dan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas proses belajar (Klopfenstein, 2003:27). Knowles (2005:18) mendefinisikan pengarahan diri sebagai upaya yang dilakukan individu dalam mengambil inisiatif tanpa menggantungkan pada bantuan
orang
lain,
kemampuan
menginventarisasi
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
kebutuhan
belajar,
104
merencanakan dan memilih strategi untuk mencapai tujuan, mengidentifikasi pihak-pihak dan fasilitas yang dapat dijadikan sumber untuk mencapai tujuan, memilih dan mengimplementasikan strategi belajar yang sesuai, dan kemampuan mengevaluasi hasil belajar. Knowles (2005 : 21) menjelaskan tiga alasan tentang pentingnya pengarahan diri. Pertama, individu yang memiliki inisiatif, akan belajar lebih efektif dibandingkan dengan individu yang pasif dan banyak menggantungkan pembelajaran pada instruksi konselor . Kedua, pengarahan diri merupakan proses alami dalam mengembangkan aspek-aspek psikologis konseli, khususnya dalam meningkatkan kemampuan tanggung jawab pribadi dalam kehidupan. Ketiga, sebagai proses pencegahan, pengarahan diri membantu individu mengatasi permasalahan kecemasan, frustrasi, kegagalan dalam belajar dan menjalin hubungan yang harmonis dengan konselor . Lebih lanjut Jones et al. (Knowles, 2005 : 21) menggambarkan bahwa karakteristik
individu
yang memiliki
kecakapan
pengarahan
diri
akan
termanifestasikan dalam sikap bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar, mampu melakukan pengelolaan diri, dan memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan lingkungan. Brookfield (1985:18) menjelaskan bahwa pengarahan diri merujuk pada upaya individu untuk selalu memelihara hasil yang telah dicapai dan berusaha untuk lebih meningkatkan kualitas proses belajar. Lebih lanjut Candy (Klopfenstein,
2003:48)
mengemukakan
bahwa
dalam
mengeksplorasi
pengarahan diri menyangkut indikator berikut, yaitu : (1) kemandirian pribadi Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
105
(otonomi
pribadi);
(2)
kesadaran
dan
kapasitas
untuk
belajar;
(3) pengorganisasian pengajaran dalam adegan formal (kontrol diri) dan; (4) kemampuan individu untuk belajar di luar adegan formal (otodidak). Knowles (2003 : 27) menjelaskan tentang indikator individu yang kecakapan pengarahan dirinya berkembang yaitu memiliki : (1) tujuan yang jelas; (2) visi belajar yakni kemauan untuk senantiasa mengubah diri ke arah yang lebih maju; (3) dasar-dasar belajar seperti dorongan dan keterampilan untuk mengetahui, memahami, dan melakukan yang terbaik; serta (4) memiliki konsep diri yang meliputi kesadaran diri, kontrol emosional, dan kontrol perilaku sosial. Menurut Watson dan Tharp (Knowles, 2003 : 15) aspek-aspek yang terkait dengan pengarahan diri individu meliputi : (1) menempatkan perilaku sebagai fokus analisis; (2) menerapkan hukum belajar; (3) menekankan penguatan positif; (4) program peningkatan kecakapan pengarahan diri akan efektif apabila dirancang bagi terjadinya pengalaman belajar baru pada situasi kehidupan nyata; dan (5) sebaiknya setiap individu mendesain program pengarahan dirinya sendiri. Berdasarkan uraian tersebut, pengarahan diri merupakan pemusatan kekuatan psikologis individu melalui pengkonsentrasian potensi-potensi pribadi yang dimilikinya dalam proses pencapaian tujuan-tujuan yang ingin diraih. Kecakapan pengarahan diri merupakan kemampuan individu untuk memiliki inisiatif dan kemandirian dalam memilih tindakan yang bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang diambilnya.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
106
b. Struktur Pengarahan Diri Maryland Development Disabilities Council (2005 : 1) mengemukakan bahwa pengarahan diri adalah kemampuan individu untuk membuat dan mengimplementasikan rencana hidup (life planning). Aspek-aspek pengarahan diri terdiri dari lima dimensi berikut. 1) Kebebasan (freedom), yakni kemampuan mengambil keputusan dalam membuat rencana hidup oleh dan untuk diri sendiri. Sedikitnya ada lima ciri individu yang memiliki kemampuan ini, yakni ia mampu menjawab dengan respon yang tepat atas pertanyaan berikut : (a) bagaimana dan dimana bekerja, belajar, dan menjalani kehidupan?; (b) apa pilihan hidup yang diinginkan?; (c) bagaimana memberikan sesuatu yang berarti bagi diri sendiri dan lingkungan?; (d) pelayanan atau dorongan apa untuk menjalani kehidupan yang lebih baik?; dan (e) dengan siapa sebaiknya menghabiskan waktu dalam hidup? 2) Otoritas (authority), yakni kemampuan mengontrol rencana hidup mencakup hal-hal berikut : (a) mampu menentukan rencana hidup; (b) mampu membuat keputusan; dan (c) mampu memilih tindakan yang lebih bermakna. 3) Dorongan (support), yakni kemampuan untuk mengorganisasikan dorongan psikologis
serta
memunculkan
kekhasan
diri
dalam
membuat
dan
mengimplementasikan rencana hidup. Aspek ini terdiri atas indikatorindikator berikut : (a) memiliki dorongan untuk memelihara diri sendiri; (b) memiliki dorongan untuk aktif di lingkungan tempat tinggal; dan (c) memiliki dorongan untuk menemukan karir (pekerjaan). Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
107
4) Tanggung
jawab
(responsibility),
yaitu
merasa
berkewajiban
untuk
memanfaatkan kepercayaan orang lain dan berkontribusi terhadap lingkungan dalam membuat dan mengimplementasikan rencana hidup. Individu yang memiliki tanggung jawab memiliki karakteristik berikut : (a) menentukan pilihan; (b) mematuhi hukum dan nilai-nilai; (c) berpartisipasi dalam lingkungan kehidupan; dan (d) berupaya mengembangkan hubungan positif dengan teman, keluarga, dan tetangga. 5) Kontrol diri (self-control), yakni kemampuan mengendalikan diri dalam membuat dan mengimplementasikan rencana hidup. Individu yang memiliki kendali diri yang tinggi memiliki karakteristik berikut : (a) memiliki kesadaran diri; (b) mampu mengelola diri; dan (c) memiliki komitmen terhadap rencana hidup.
c. Perkembangan Pengarahan Diri Kecakapan pengarahan diri individu terbentuk sesuai dengan tahapantahapan perkembangan yang dijalaninya. Grow (1996) yang terinspirasi oleh Model Kepemimpinan Situasional dari Paulus Hersey dan Kenneth Blanchard menyusun empat tahap model pembelajaran pengarahan diri. Empat tahap model pembelajaran ini berkaitan dengan tahap pengarahan diri individu dan mempersiapkan individu untuk mencapai tahap yang lebih tinggi lagi. Secara lebih jelas tentang keempat tahap model pembelajaran pengarahan diri disajikan pada tabel 2.5
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
108
Tabel 2.5 Tahap Model Perkembangan Pembelajaran Pengarahan Diri Tahap Tahap 1
Individu Tergantung
Konselor Otoritas, Pelatih
Contoh Melatih dengan umpan balik yang bersifat segera. Pemberian informasi melalui ceramah. Tujuannya untuk menanggulangi defisiensi dan resistensi
Tahap 2
Berminat
Motivator, Membimbing
Kegiatan inspiratif yang ditunjang dengan diskusi terbimbing, setting tujuan, dan strategi belajar
Tahap 3
Terlibat
Fasilitator
Diskusi fasilitatif, konselor berperan sama seperti individu sebagai partisipan, berbentuk seminar, dan proyek kelompok
Tahap 4
Pengarahan diri
Konsultan, Delegator
Praktik kerja, karya ilmiah, tugas individual, kajian mandiri, atau kelompok
Tahap 1 : Individu dengan Pengarahan Diri Rendah Konseli. Individu yang ketergantungan memerlukan seorang figur otoritas untuk memberikan pengarahan secara jelas terhadap apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana caranya melakukannya. Bagi para individu pada tahap 1 ini, belajar itu berpusat
pada
konselor
(counselor-centered). Konselor
sesungguhnya adalah seorang ahli yang mengetahui dan merespon kebutuhan belajar konselinya, bukan seorang yang pasif yang dibayang-bayangi oleh sistem lingkungan yang kaku. Menurut Grow (1996) individu yang memiliki sikap ketergantungan dapat dikelompokkan menjadi empat tipe. Pertama, individu yang memiliki sikap ketergantungan kepada orang lain dalam semua pelajaran. Kedua, individu yang hanya tergantung dalam beberapa pelajaran saja. Kedua tipe individu seperti ini
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
109
harus ―diajar‖ oleh seorang yang dipandang oleh mereka sebagai figur konselor yang memiliki otoritas melakukan konseling secara direktif. Ketiga, individu yang memiliki ketergantungan tetapi kemudian menjadi seorang individu yang mampu menguasai secara sempurna pada pelajaran tertentu. Tipe individu ini dapat berpikir dan bekerja secara sistematis, seksama, disiplin, menguasai materi pelajaran atau tradisi yang telah ditetapkan. Keempat, individu yang bertahan dalam ketergantungan, baik kepada orang lain maupun konselor. Individu ini terus memiliki sikap ketergantungan pada orang lain karena kurang relevannya pengetahuan, keterampilan, motivasi, dan kepercayaan diri untuk mencapai tujuan. Menjadi individu
yang memiliki ketergantungan bukanlah suatu
kekurangan, tetapi keterbatasan yang serius. Semua individu pernah mengalami ketergantungan yang bersifat sementara jika dihadapkan pada topik-topik baru. Individu dari tahap lain mungkin saja bebas memilih belajar dalam model ketergantungan, baik karena alasan efisiensi maupun mendapatkan akses kepada konselor tertentu. Konseling Individu pada Tahap 1. Metode pelatihan (coaching method) merupakan cara konseling individu yang berada pada tahap 1. Sedikitnya ada dua cara pembelajaran individu dengan menggunakan pendekatan pelatihan, yaitu melatih pikiran dan menajamkan perasaan. Individu yang ketergantungan (dependent) merespon dengan baik materi yang terorganisir, jelas, dan memiliki pendekatan yang ketat. Oleh karena itu, sasaran hasil dan teknik-teknik untuk meraih sasaran itu harus ditetapkan terlebih dahulu secara jelas. Pada umumnya
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
110
individu pada tahap ini mengharapkan disiplin dan pengarahan secara langsung dari konselor. Beberapa individu pada tahap 1 menguji para konselor mereka, sehingga perlu ditetapkan terlebih dahulu bagaimana konselor akan menjawab pertanyaan terbuka atau tantangan terhadap otoritas konselor yang bersangkutan. Organisir pelatihan secara jelas, dengan tugas-tugas yang ketat dan batas waktu yang terbatas. Jaga individu tahap 1 ini dengan kesibukkan belajar yang spesifik, dan keterampilan-keterampilan belajar yang dapat diidentifikasi. Tetapkan standar di luar yang dipikirkan oleh individu tentang sesuatu yang dapat dilakukannya sehingga mereka berhasil menggapainya. Ciptakan dan berikan hadiah untuk keberhasilan yang diraihnya. Banyak metode pengajaran perilaku yang baik untuk menangani individu pada tahap 1 ini. Hindari memberi pilihan pada individu tahap 1. Pelihara komunikasi yang jelas dan seksama, yakni dengan komunikasi satu arah (one-way communication). Pengajaran tidak mesti dilakukan secara perorangan, tetapi fokus tetap harus pada subjek bukan pada siswa. Penilaian harus tegas, objektif, dan jelas berkaitan dengan tugas yang diberikan. Umpan balik harus segera, sering, berorientasi tugas, tegas dan adil. Keahlian dan efektivitas konselor adalah kunci dalam menghadapi individu yang ketergantungan. Banyak individu pada tahap perkembangan ini bergantung pada konselor
untuk membuat keputusan-keputusan, untuk
selanjutnya mereka akan belajar untuk membuat keputusan tersebut secara mandiri. Jangan malu menerima peran ini. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
111
Konseling pada tahap 1 sangat terbatas dan pasif. Teori SSDL mengusulkan bahwa pengajaran tahap 1 tidak baik diberlakukan bagi individu yang salah atau digunakan untuk mengabadikan ketergantungan. Belajar dalam gaya ketergantungan dilawan dengan progresif, humanistik, dan pendidikan orang dewasa. Metode wawasan mendalam (the insight method) merupakan pendekatan yang berbeda dalam proses konseling individu tahap 1 yang memerlukan keikutsertaan dalam merancang isi pembelajaran. Individu memulai pemahaman yang mendalam ke dalam suatu yang diharapkan dan dibutuhkan untuk dipelajari.
Tahap 2 : Individu dengan Pengarahan Diri Moderat Konseli. Individu pada tahap 2 berminat atau memiliki parhatian, dan merespon teknik-teknik motivasional. Mereka mau lakukan tugas-tugas yang jelas tujuannya. Mereka memiliki kepercayaan diri tetapi mengabaikan materi pokok pelaaran. Kebanyakan konselor sekolah menyebutnya sebagai individu yang baik. Konseling Individu Tahap 2 melalui Motivasi. Konseling pada tahap 2 kenal sebagai konseling yang baik dalam kabanyakan sekolah dan perguruan tinggi. Konselor pada tahap 2 membawa antusiasme dan motivasi ke dalam kelas, serta membimbing individu belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Konselor seperti itu akan membujuk, menjelaskan, dan mengarahkan, tetapi menggunakan pendekatan yang sangat mendukung dan menguatkan kesediaan dan antusiasme individu belajar. Individu pada tahap ini memahami alasan konselor melakukan proses konseling dengan arahan langsung dan membantu mereka ketika
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
112
mengalami kesulitan. Mereka melakukan hal ini karena menyukai sikap konselor nya. Individu pada tahap ini merespon secara positif untuk menjalin interaksi personal dengan konselor . Upaya konseling individu pada tahap ini, mereka harus diberi penjelasan tentang alasan pentingnya mempelajari keterampilan-keterampilan menghadapi masalah, menunjukkan hasil yang konkret dalam setiap konseling. Individu dimotivasi dan didorong untuk mengembangkan keberanian untuk belajar secara mandiri. Komunikasi yang dilakukan dalam menghadapi individu tahap 2 ini adalah komunikasi dua arah. Konselor menjelaskan dan melatih keterampilanketerampilan menghadapi masalah. Konseli mengkomunikasikan nilai-nilainya secara responsif dan penuh minat. Contoh konseling individu pada tahap 2 adalah ceramah inspiratif, program pelatihan, konselor memimpin diskusi, demonstrasi dengan penuh keahlian dengan diikuti oleh bimbingan praktis, proyek terstruktur dengan hasil yang dapat diprediksikan, tanpa supervisi, pemberian umpan balik, menggunakan komputer interaktif, proyek komersial terstruktur. Model konselor untuk individu pada tahap 2 adalah banyak inspirasi, mampu membangkitkan motivasi, karismatik, dan kelas dansa aerobik yang dikombinasikan dengan tahap 1 secara langsung dengan motivasi pada tahap 2.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
113
Tahap 3 : Individu dengan Pengarahan Diri Intermediate Konseli. Pada tahap ini, individu memiliki keterampilan dan pengetahuan sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam konseling. Mereka telah siap untuk mengeksplorasi masalahnya dengan bimbingan yang baik. Mereka senantiasa akan mengeksplorasi masalah tersebut, tetapi membutuhkan pengembangan konsep diri secara mendalam, kepercayaan diri, pengarahan, kemampuan yang cukup besar untuk bekerja dan belajar dari orang lain. Individu pada tahap 3 ini akan mendapatkan keuntungan dari mempelajari tentang cara mereka belajar, seperti kesadaran untuk menggunakan strategi-strategi menghadapi masalah. Kesuksesan individu pada tahap 3 adalah dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, inisiatif individual, dan kesadaran untuk menjadi cocreator masalahnya. Mereka membutuhkan terapi paradigma personal, yaitu perspektif transformasi atau transformasi dunia kehidupan untuk mengembangkan kekuatan diri. Konseling individu pada Tahap 3 adalah memfasilitasi. Konselor menutup tahap ini dengan partisipasi dalam pengalaman belajar. Konselor dan konseli saling berbagi ide dalam membuat keputusan dan memilih model peran. Instruktur secara konkret memfasilitasi, mengkomunikasikan, dan mendorong individu dalam menggunakan keterampilan-keterampilan menghadapi masalah yang dimilikinya. Model-model konselor
untuk tahap 3 adalah pendidikan humanistik,
terapis kelompok humanistik, pedagogi kritis, pembelajaran kolaboratif, pelatihan
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
114
literatur
untuk
orang
dewasa
professional,
konselor
non-direktif
yang
mengembangkan individu dengan mengutamakan motivasi diri individu daripada motivasi dari luar, dan pendidikan andragogik. Carl Rogers merupakan contoh konselor yang baik untuk tahap 3 dengan karakteristik mampu mendengarkan, menggambarkan, memfasilitasi, membangun keberanian, memvalidasi perasaan, mengurangi risiko, memberikan dorongan minimal, respek terhadap kesadaran personal dan interpersonal.
Tahap 4 : Individu dengan Pengarahan Diri yang Tinggi Konseli. Individu yang memiliki pengarahan diri yang tinggi mampu menetapkan tujuan dan standar dirinya tanpa bantuan dari seorang ahli. Mereka menggunakan keahliannya, lembaganya, dan sumber-sumber lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Mereka menjadi orang yang independen tetapi bukan berarti menjadi penyendiri. Banyak individu independen mencapai status sosial yang tinggi dan menjadi salah satu anggota club atau kelompok belajar informal. Individu pada tahap ini mampu dan memiliki rasa tanggung jawab untuk belajar, mengarahkan diri, dan mencapai produktivitas. Mereka menggunakan keterampilannya dalam mengelola waktu, mengelola proyek, menetapkan tujuan, mengevaluasi diri, mengkritik kelompok sebaya, mendapatkan informasi, dan menggunakan sumber-sumber pendidikan. Kematangan individu pada tahap 4 adalah kemampuan untuk belajar dari berbagai konselor, dan mencapai atmosfir kemandirian, beberapa konseli mampu Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
115
secara situasional untuk mengarahkan diri, dan beberapa lainnya menjadi orang yang mampu mengarahkan diri dalam kesadaran umum. Konseling Individu pada Tahap 4 adalah mendelegasikan. Perkembangan diri dari berfokus pada materi pelajaran menjadi berfokus pada diri individu itu sendiri. Peran konselor pada tahap 4 ini bukan mengajarkan materi pelajaran tetapi mengajarkan kemampuan untuk belajar (learning how to learn). Materi puncak untuk diajarkan pada individu pada tahap 4 adalah pemberdayaan diri (self-empowering) sebagai seorang yang mampu berkreasi secara matang dan evaluator dari pengetahuan, atau sebagai praktisi tingkat tinggi dari keterampilanketerampilan yang dimilikinya. Dalam konseling individu pada tahap 4 ini, konselor sebaiknya : 1) Melakukan konsultasi dengan individu untuk mengembangkan kriteria, checklist evaluasi, batas waktu, dan mengelola pengembangan proyek. 2) Melakukan pertemuan secara reguler dengan individu untuk mendiskusikan berbagai permasalahan dan mengembangkannya dalam diskusi pribadi. 3) Mengembangkan keberanian individu untuk bekerja sama dan berkonsultasi dengan orang lain, tetapi tanggung jawab penuh ada pada diri individu secara pribadi. 4) Fokus pada proses yang produktif sehingga menghasilkan produk tertentu. Bekerja dengan proyek besar yang syarat makna di luar kelas. 5) Menekankan perkembangan jangka panjang dalam karir sepanjang rentang kehidupan. Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
116
6) Menjadi pembicara yang mempresentasikan perjalanan hidupnya untuk dijadikan peran model bagi orang lain. 7) Mendorong dirinya menulis biografi agar menjadi peran model bagi orang lain. 8) Melakukan evaluasi diri. Model-model konselor untuk tahap 4 ini di antaranya: konselor nondirektif dan meditasi, konsultan, pelatih penulisan laporan profesional, pelatihan konselor dalam jabatan, dan mentoring.
Dedi Herdiana Hafid, 2010 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu