BAB II KONSELING FEMINIS Bagian ini membahas mengenai teori-teori yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian. Namun, sebelum membahas mengenai peran single parent terhadap anak dari perspektif konseling feminis, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pemahaman para ahli tentang defenisi, single parent masalah-masalah yang dihadapi single parent, peran single parent dalam pemenuhan kebutuhan anak. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peran seperti apa yang harus dijalankan single parent terhadap anak. 2.1 Defenisi Single Parent Friedman dalam pandangannya mengatakan bahwa, “single parent merupakan bentuk keluarga yang di dalamnya hanya terdapat satu orang kepala rumah tangga yaitu ayah atau ibu”.1 Qaimi menjelaskan, perempuan “single parent adalah suatu keadaan seorang ibu menduduki dua jabatan sekaligus, sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah, dan sebagai ayah. Selain itu dia akan memiliki dua bentuk sikap, sebagai ibu yang harus bersikap lembut terhadap anaknya, dan sebagai ayah yang bersikap jantan dan bertugas memegang kendali aturan dan tata tertib keluarga, serta berperan sebagai penegak keadilan dalam kehidupan rumah tangga.2 Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, penulis memberi kesimpulan bahwa; pengertian perempuan single parent adalah seorang perempuan yang suaminya sudah meninggal
1 2
Friedman, Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik, (Jakarta : EGC,1998), 19 Qaimi, A. Single parent: Peran Ganda Ibu dalam Mendidik Anak. (Bogor: Cahaya, 2003), 23
atau tinggal sendiri tanpa kehadiran pasangan, dan membesarkan anak-anaknya sendiri. Dwiyani mendefinisikan perempuan single parent merupakan “ibu yang mengasuh anak-anaknya sendirian tanpa didampingi oleh suami atau pasangan hidup yang disebabkan oleh perceraian, kematian pasangan hidup, terpisah tempat tinggal, hamil diluar pernikahan dan memutuskan untuk mengadopsi anak dan diasuh sendiri tanpa proses pernikahan”.3 Sedangkan Anderson, et al mengartikan perempuan single parent sebagai “ibu yang memilih untuk hidup sendiri tanpa pendamping dikarenakan perpisahan atau perceraian”. Exter dalam Anderson, mengatakan bahwa; “menjadi single parent merupakan pilihan hidup yang dijalani oleh individu yang berkomitmen untuk tidak menikah atau menjalin hubungan intim dengan orang lain”. Single parent dapat pula diartikan sebagai sosok yang menjadi tulang punggung keluarga, baik karena bercerai, kematian atau karena tidak menikah”.4 Penulis memberikan kesimpulan bahwa; Perempuan single parent merupakan sebuah keluarga yang hanya terwakili oleh satu orang tua, dan kemudian mengusung kompleksitas kehidupan keluarga dan menjaga tatanan kehidupan keluarga dengan penuh rasa tanggung jawab (responsible). 2.2 Masalah-masalah yang dihadapi keluarga Single Parent Weinraub dan Wolf, menemukan bahwa, orang tua tunggal apabila dibandingkan dengan orang tua yang menikah cenderung berada pada keterisolasian 3
Dwiyani. Jika Aku harus Mengasuh Anakku sendiri. (Jakarta: PT.Alexmedia Copitindo,2009), 59 Anderson, C.A. Carnagey, N.L., & Eubanks, J. Exposure to violent media: The effect of songs with violent Lyrics on aggresive thoughts and feelings. Journal of personality and social Psychology, 84,2003, 960- 971
4
dalam kehidupan, bekerja lebih lama, kurangnya dukungan, cenderung stress akan perubahan hidup dan memiliki jaringan sosial (social network) yang kurang stabil. Castros juga menenukan bahwa wanita yang memiliki anak jauh kemungkinannya untuk menikah lagi, dibandingkan pria yang memiliki anak.5 Sebagaimana dijelaskan di atas, penulis melihat bahwa; probabilitas perempuan single parent memiliki polemik yang besar apabila dianalogikan dengan perempuan yang memiliki pasangan dalam keluarga lazim, sebab kehidupannya lebih difokuskan sebagaimana menjalani peran ganda (dual role), juga secara fundamental memiliki beban ganda (double burden). Menurut Gootman dan De Clair; “keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak penting karena mempengaruhi perkembangan sosial anak. Anak-anak yang mendapat kehangatan dari ayah semasa kanak-kanak cenderung memiliki hubungan sosial yang baik. Ibu berperan sebagai orang tua tunggal dianggap memiliki keterbatasan dalam proses pembentukan kemandirian anak”.6 Hal yang sejalan dikemukan juga oleh Dagun, lewat hasil penelitian terhadap perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah membenarkan bahwa; “perkembangan anak menjadi pincang. Kelompok anak yang tidak mendapatkan perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan akademis menurun, aktifitas sosial terhambat dan interaksi
5
Shannon Sommer Karyn m. Plumm Cheryl a. Terrance, Perceptions of Younger Single Adultsas a Function of Their Gender and Number of Children, The Journal of General Psychology, 140(2),2013, 90 6 Gootman & De Claire. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecemasan emosional.ed.T.Hermaya. (Jakarta:Gramedia PustakaUtama,1998), 185
sosial terbatas, hal ini berlaku bagi anak lelaki yang kemungkinan maskulinnya (ciriciri laki-laki) bisa menjadi kabur”.7 Hurlock
merumuskan masalah umum yang dihadapi
orang tua tunggal
(menjanda). a. Masalah Ekonomi Ketika menjadi single parent, maka akan mengalami kurangnya income dalam keluarga, sehingga pemenuhan kebutuhan terminimalisir. Seorang single parent yang memulai aktifitas perekonomian pada usia madya, cenderung atau bahkan tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kehidupan keluarganya. b. Masalah Praktis Menjalankan hidup dalam kesendirian setelah terbiasa hidup lewat bantuan pasangan. Tetapi, perceraian menambah sudah pekerjaan tunggal dengan pendapatan minim. c. Masalah Sosial Kehidupan sosial diantara orang berusia madya hampir sama halnya dengan kehidupan orang dewasa-muda, yaitu berorientasi pada pasangan. Seorang single parent akan mengalami kesulitan dalam berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial karena tidak adanya pasangan.
7
Save M. Dagun, Psikologi Keluarga,(Jakarta : Rineka Cipta,2002), 13
d. Masalah Seksual Keinginan seksual yang tidak terpenuhi setalah sebelumnya secara intens dilakukan selama bertahun-tahun, kemudian semenjak ditinggal pasangan membuat single parent mengalami frustasi karena merasa tidak terpakai lagi. e. Masalah Keluarga Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka ibu single parent harus memainkan peran ganda yakni sebagai ayah dan ibu, kemudian harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan selain itu juga harus menghadapi masalah yang berhubungan anggota keluarga yakni dengan orang tua ibu single parent. f. Masalah Tempat Tinggal Ketergantungan single parent diperhadapkan pada dua kondisi. Pertama, status ekonomi, dan kedua, masalah tempat tinggal (bukan lingkungan) tetapi lebih kepada infrastruktur fisik (bangunan rumah). Dengan demikian, single parent mengalami sebuah permaslahan penerimaan dalam keluarga atau orang yang bersedia menampung atau tinggal bersama dengan single parent dikarenakan keadaan ekonomi yang dialami oleh single parent. 8 Menurut perlmutter dan hall dalam Listiyanti, ada beberapa sebab mengapa sampai seorang menjadi single parent , yaitu karena kematiansuami atau istri, perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah. Sejalan dengan itu menurut Dwiyani, menjadi single parent adalah konsekuensi ketika pasangannya; 8
Hurlock.E. Perkembangan anak.Jilid 2 edisi ke enam. (Jakarta:Erlangga,1990), 29
meninggal, memilih bercerai dan kegagalan dalam membangun rumah tangga oleh karena tidak menikah. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut: 9 a. Menjadi orang tua tunggal sebagai konsekuensi pasangan yang meninggal Orang tua tunggal sebagai akibat salah satu pasangan meninggal dunia, sering berlarut dalam kesedihan. Permasalahan yang kerap muncul pada tipologi ini adalah finansial, ditambah lagi dengan pasangan yang meninggal merupakan tulang punggung keluarga. b. Menjadi orang tua tunggal sebagai konsekuensi perceraian Permasalahan yang sering muncul pasca perceraian lebih disebabkan kekurang dewasaan masing-masing pihak dalam menyikapi perceraiannya, terlebih jika perceraian yang dibumbuhi oleh konflik saling menyakiti baik fisik, verbal, emosional maupun yang lain. Pasangan yang memiliki konlik, pasca perceraian akan berpengaruh pada pola dalam mengasuh anak. Hal ini kerap menimbulkan kekerasan terhadap anak. c. Menjadi orang tua tunggal sebagai konsekuensi kegagalan menikah Orang tua tunggal dalam tipologi ini disebabkan oleh kehamilan diluar ikatan pernikahan, dan hampir seluruhnya masih pada usia belia, bahkan bisa jadi mereka belum siap untuk menjadi orang tua. Tipologi orangtua ini kemudian menjadi dua yakni; (1) Hal ini terjadi atas inisiatif sendiri, sehingga memilih untuk mengasuh anak secara tunggal; (2) Hal ini terjadi karena terpaksa, dalam kaitannya dengan tidak ada konsensus yang mengarah pada pernikahan. 9
Dwiyani, .Jika Aku harus Mengasuh Anakku sendiri.(Jakarta:PT.Alexmedia copitindo,2009), 56
Pandangan penulis terkait tipologi yang telah dipaparkan di atas dalam hal sejalan dengan temuan penulis adalah tipologi single parent yang gagal menikah. Pasalnya, eksistensi mereka seakan terusik oleh pihak eksternal (keluarga dan lingkungan sosial) yang memahami mereka secara kontradiktif dan langsung menjustifikasi mereka tanpa mengenali permasalahan yang sebenarnya terjadi. Stress merupakan gejolak psikologi yang secara visual merupakan dampak dalam diri dan pengaruh lingkungan. Hal ini kemudian sangat berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan anak. Caballo dan Mcloyd, berpendapat bahwa; ketika menjadi single parent, maka akan terbelenggu dalam keadaan kerugian sosio-ekonomi yang lebih besar, mereka (single parent) juga cenderung berpenghasilan rendah, lebih bermain sebagai penyewa rumah daripada pemilik rumah, kemudian kebanyakan mereka adalah pengangguran dan menganggap diri rendah. Bigner menyebutkan, ibu tunggal lazimnya lebih senang menghukum anak dan memiliki gaya pengasuhan yang otoriter.10 Anak yang dibesarkan dalam keluarg single parent memiliki perilaku yang berbeda dalam hal ini, perilaku agresif dan tidak patuh, masalah di sekolah, masalah dengan teman, dan kerap cemas (bosan) ketika berada di sekolah.11 Legros mengkalim lewat studinya mengenai keluarga single parent bahwa, kemungkinan anak-anak mengalami keterbelakangan psiko-emosional, gangguan perilaku, gagal dalam sekolah dan bahkan kejahatan lebih tinggi merupakan perilaku anak dari keluarga single parent. Hal tersebut menjadi
Caballo & Mcloyd in Nicolette, “Maternal Parenting In Single And Two-Parent Families In South Africa From A Child’s Perspective”, Social Behavior And Personality, 2011, (5), 578 11 Jane Brooks, The Process of Parenting, ( Amerika : Pustaka Belajar, 2011), 795 10
kendala bagi orang tua tunggal dalam beradaptasi, bahkan menjadi korban baru dari kemiskinan, mereplikasi diri, mereproduksi dan memperluas seluruh rantai masalah sosial.12 Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalahmasalah yang dihadapi oleh perempuan yang berperan sebagai orang-tua tunggal adalah masalah ekonomi atau keuangan, masalah keluarga, masalah tempat tinggal, masalah sosial, masalah praktis, dan masalah seksual. untuk itu single parent harus mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai orang tua dengan baik terhadap anak, jika itu tidak dilakukan dengan baik, maka pada anak akan berdampak negatif. 2.3 Peran Single Parent Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Anak Peran orang tua merupakan komponen penting yang membentuk pandangan anak tentang diri anak sendiri dan mempengaruhi dunia mereka . “Orang tua merupakan model dari harga diri yang sehat , nilai diri , berpikir sehat dan perilaku yang baik bagi anak”.13 Soetjiningsih merumuskan peran orang tua dalam memenuhi kebutuhan dasar anak meliputi: a. Kebutuhan Fisik-biomedis (Asuh) menyangkut pangan/gizi merupakan kebutuhan penting, perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pengobatan kalau sakit,papan/pemukiman yang layak, sandang,nkesegaran jasmani, rekreasi b. Kebutuhan emosi/kasih sayang (Asih) Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk menjamin tumbuh Legros in Alina Costin, “Difficulties of exercising educative roles in Single-parent families”, Journal Plus Education, Vol X (2014), No. 1 13 Beenish Sartaj dan Naeem Aslam, “Role of Authoritative and Authoritarian Parenting in Home, Health and Emotional Adjustment”, Journal of Behavioural Sciences, Vol. 20,2010 12
kembang baik secara fisik, mental maupun psikis anak. untuk itu kasih sayang orang tua sangat berperan penting untuk menciptakan ikatan erat antara orangtua dan anak.14 Berdasarkan hal tersebut, maka seorang perempuan yang berperan sebagai single parent mempunyai kewajiban berperan ganda dalam mengurus dan membina anak. Sebagai single parent, perempuan dituntut mampu mengkombinasikan dengan baik antara pekerjaan domestik dan publik. Dalam hal ini, kematangan fisik dan psikologis merupakan faktor yang disadari penting atau vital terkait memanajemen keluarga. Menurut Noor, peranan ibu dalam mendidik anak terbagi atas tiga tugas penting, antara lain; (1) ibu sebagai pemuas kebutuhan anak, meliputi kebutuhan fisik, psikis, sosial, dan spiritual; (2) ibu sebagai teladan atau model peniruan anak; (3) ibu sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak.15 Sejalan dengan pandangan Noor, Alvita dalam Akmalia mengemukakan bahwa, single parent mempunyai peran ganda dalam keluarga. Makna peran ganda yang dimaksud lebih mengarah pada pemenuhan. Pemenuhan ini teraktualisasikan sebagai kebutuhan psikologis anak (kasih sayang, perhatian dan rasa aman), dan kebutuhan fisik anak (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan sekunder lainnya berkaitan dengan materi). Dengan demikian, peran ibu single parent hendaknya mengerti sungguh fungsi domestic dan public agar dapat mengkreasikan sebuah hubungan ideal dalam hal peran
14
Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta:EGC,1995),hlm 59 Sofia Retnowati Noor, Peran perempuan dalam keluarga: sebuah tinjauan psikologis, dalam www majalah.com, sebuah artikel diunduh pada hari selasa 2 september 2015 Pukul 10.51 WIB
15
dan fungsi single parent sebagai penggagas kesejahteraan keluarga. Beberapa item yang mencerminkan fungsi dan peran single parent dalam membesarkan anak yakni:16 a. Memberikan dukungan kepada anak b. Menunjukkan kasih sayang c. Menghormati pendapat anak d. Percaya kepada pujian dari pada hukuman. Single parent secara totalitas memiliki peran primer sebagai sosok pencari nafkah dan pengasuh terhadap anak. Hal ini sejatinya mendilematisir perasaan single parent karena terjebak pada persimpangan yang harus dipilih antara kebutuhan finansial sebagai tolak ukur kesejahteraan atau berjibaku dengan pekerjaan dan melupakan hal vital sebagai “pengasuh anak”.17 2.4 Peran Perempuan Single Parent Terhadap Anak Dari Perspektif Konseling Feminis Ketidakmampuan single parent dalam menjalankan fungsi dan peran sebagai orang tua, sering dipengaruhi dengan budaya patriakhi yang sudah berkembang menjadi ideologi masyarakat.18 Dimana, perempuan dianggap tidak mampu untuk hidup sendiri, membesarkan anak tanpa seorang suami yang mendampingi. Laki-laki dianggap kuat, rasional, dan jantan, sementara perempuan dianggap lemah lembut, keibuan, dan emosional sehingga hanya pantas untuk melakukan pekerjaan rumah Riitta-Leena Metsa Pelto & Lea Pulkkinen, “Personality Traits and Parenting: Neuroticism, Extraversion, and Openness to Experience as Discriminative Factors”, European Journal of Personality Eur. J. Pers.17,20013, 59–78 17 Randy Albelda, Susan Himmelweit, and Jane Humphries, The Dilemmas Of Lonemotherhood: Keyissues For Feminist Economics, Feminist Economics 10(2),2004, 1 – 7 18 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah kata hati, (Jakarta: Buku Kompas,2006), 5 16
tangga dan merawat anak. Konstruksi sosial yang terjadi lebih menindas perempuan daripada laki-laki.19 Dalam sistem budaya patriakhi ini perempuan sering juga mengalami diskriminasi, marginalisasi, kekerasan, pelecehan, dan lain-lain. Hal ini secara konkrit dapat tercermin dalam kehidupan rumah tangga, dimana perempuan dituntut untuk menjadi istri yang selalu siap melayani suami dan dan mendidik anakanak. Perempuan dalam ranah domestic adalah perempuan yang dipandang sebagai pekerja sukarela, informal, dan tidak dibayar lewat tata cara merawat dan melayani anak serta suami, memasak dan peran sebagai ibu rumah tangga pada lazimnya. Sedangkan, laki-laki bertugas pada domain public sebagai sosok yang professional, formal dan dibayar.20 Seorang aktivis feminis radikal Alison Jaggar memaparkan
ketertindasan
secara mendasar yang dialami kaum perempuan, meliputi :21 a.
Perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas
b.
Ketertindasan perempuan sangat meluas hampir seluruh masyarakat manapun
c.
Ketertindasan perempuan merupakan yang paling dalam dan bentuk ketertindasan yang paling sulit untuk dihilangkan dengan perubahan-perubahan sosial seperti penghapusan kelas masyarakat
d.
Ketertindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat sangat terhadap korbannya baik secara kualitatif maupun kuantitatif , walaupun
19
Stevi Jackson dan Jackie Jones, Teori-teori Feminis Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2009),331 Ita F. Nadia, Relevansi Pemikiran Feminis Indonesia:Didalam Bentangkanlah sayapmu Bendalina Doeka-souk & Stephen suleeman, (Jakarta: Persetia, 1999), 114 21 Gadis Arivia. Filsafat Bersperspektif feminisa. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2003), 97 20
kesengsaraan tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan baik yang dilakukan oleh pihak penindas maupun yang tertindas e. Penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan. Dengan demikian, perjuangan perempuan berakar dari fenomena ketidakadilan sosial (penindasan oleh dominasi), untuk itu maka isu-isu gerakan feminis hadir guna sebagai upaya menyadarkan perempuan akan kemampuan dirinya, bahkan perbedaan peran bukan halangan bagi seorang perempuan untuk dapat menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Friedan seorang sosiolog dan aktifis feminis dalam bukunya “Feminine Mystique” menandai dimulainya gerakan feminis gelombang ke 2 yang kemudian meningkatkan kedudukan dan derajat wanita untuk meninggalkan domestisitas, di mana perempuan bisa melakukan pekerjaan laki-laki untuk bekerja di luar rumah seperti hal; mencari nafkah, pegawai atau karyawan kantor, buruh di pabrik, dan bukan hanya sebatas melaksanakan peran di rumah untuk melakukan perkerjaan rumah tangga dan merawat anak.22 Dalam bukunya Lukman Sutrisno dikatakan bahwa perempuan dituntut untuk memiliki sikap mandiri, disamping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Persyaratan ini terasa belum dimiliki oleh kaum perempuan Indonesia. Profil perempuan Indonesia pada saat ini dapat digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Di satu 22
Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,2003), 14
sisi perempuan Indonesia dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan lain agar perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan.23 Untuk memahami peran tersebut maka feminis radikal mengalaskan dua keyakinan sentral terhadap perempuan, yakni perempuan mempunyai
nilai positif
untuk
menentang apa yang orang lain katakan sebagai devaluasi wanita universal dan bahwa dimana-mana perempuan ditindas oleh sistem patriakhi itu. Hal itu harus dimulai dengan merevitalisasi kesadaran mendasar perempuan; sehingga perempuan mengakui nilai dan kekuatan dirinya sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka perempuan akan mampu berkronfrontasi dengan sistem patriakhi itu dan perempuan mulai mampu memimpin bisnis, melakukan pekerjaan diluar rumah, dan memimpin rumah tangga.24 Untuk itu, konsep diri (identitas diri) seorang perempuan harus dikonstruksikan agar perempuan menyadari kelebihan dan keunggulannya yakni dengan cara : 25 a. Membentuk manusia seutuhnya, yakni manusia androgini (berjenis kelamin ganda memiliki sisi laki-laki dan perempuan) b. Mengembangkan potensi kreatif, produktif, aktif, dan mandiri dalam pikiran dan perbuatan c. Membangun citra perempuan sebagai perempuan yang mampu mengaktualisasikan kemampuan potensialnya dengan pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri, dari diri perempuan itu sendiri.
23
Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan,(Yogyakarta: Kanisius 1997), 61 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana,2014), 383 25 Siti Hariti Sastriyani, Women In Public Sector, ( Yogyakarta:Tiara Wacana,2008),103 24
Menurut penulis perempuan yang berperan sebagai single parent merupakan representasi simbol kekuatan dan kemampuan seorang perempuan yang mungkin saja selama ini terisolasi dan termaginalisasi dalam pandangan otentik. Kapabilitas perempuan berstatus single parent mengimplisitkan ketangguhan seorang perempuan yang selalu dicap rendah oleh logika secara universal. Untuk mengembangkan hal tersebut maka Penulis melihat beberapa hal terkait definisi single parent, yakni sebagai berikut: a. Single parent sebagai identitas b. Single parent berdasarkan habitus Single parent sebagai identitas kerap terstereotipe oleh logika dominasi (masyarakat domain tertentu) yang kemudian mengintimidasi perempuan single parent sebagai perempuan yang gagal. Castells mengemukakan tiga hal terkait asalusul identitas yang kemudian dijelaskan sebagaimana; legitimizing identity, resistance identity, dan project identity. 26 Pandangan Castells terkait legitimizing identity sejalan dengan single parent sebagai identitas yang kemudian mengalami pandangan yang paradoksal. Di satu sisi ia seorang perempuan/ibu yang harus mengasuh anak, memberi perhatian terhadap anaknya, di sisi lain, ia harus memikul beban ganda (double burden) dalam hal menunjang kebutuhan anak secara nyata. Hal ini merupakan identitas legitimasi secara internal. Sedangkan secara eksternal, single parent terintimidasi oleh masyarakat luar akibat label negatif (stereotype) logika masyarakat. 26
Manuel Castells, The Power of Identity,(Oxford:Blackwell,2004), 121
Resistance identity atau identitas perlawanan oleh penulis dilihat sebagaimana, perempuan single parent harus melakukan perlawanan terhadap dirinya sendiri dan sosial. Perlawanan terhadap dirinya sendiri adalah bagaimana ia seorang perempuan tunggal harus memilih untuk bekerja demi keberlanjutan kehidupannya dan keluarganya. Sedangkan secara sosial, ia melawan stigma-stigma negatif yang lalu kemudian mencap rendah ia sebagai perempuan yang gagal degan cara mampu memikul peran dan beban ganda (dual role and double burden). Castells menawarkan project identity atau identitas proyek sebagai alternatif untuk membangun sebuah identitas baru yang kemudian meredefinisi posisi mereka dalam masyarakat, dan dengan cara itu berusaha mentransformasikan seluruh struktur masyarakat.27 Dengan demikian penulis melihat bahwa, identitas proyek ini sepenuhnya harus melibatkan gereja atau gereja harus sepenuhnya melibatkan diri dalam hal menanggulangi permasalahan mendesak single parent. Identitas proyek ini dilihat penulis sebagaimana adanya konseling feminis, dan penyiapan tenaga-tenaga volunteer dalam hal memainkan peran dalam pembagian kerja (the division of labor). Single parent sebagai habitus dilihat pada dua cara pandang yang berbeda akibat kebiasaan. Bourdieu melihat bahwa, habitus yang berbeda memberikan pengaruh pada pandangan mereka akan ruang sosial (arena).28 Mereka (single parent) yang sedari dulu hidup di desa memiliki kecenderungan bersosialisasi baik dan hidup dalam kerukunan karena mereka memiliki solidaritas secara mekanik atau hidup sebagai
27
Castells, The Power of Identity…..,122 Bourdieu Pierre, The Field of Cultural Productions : Essays on art and Literature, (Cambridge : Politik Press, 1993),hlm 28
masyarakat komunitarianisme. Sedangkan mereka (single parent) yang hidup sedari dulu di kota memiliki kesejangan interaksi secara sosial akibat menganut paham kosmpolitanisme atau berada pada solidaritas organik berdasarkan pembagian kerja. Penulis melihat bahwa dua sudut pandang organik (pembagian kerja) dan mekanik (kesamaan nilai dan norma) harus dipadukan sehingga ada sebuah pembagian kerja secara internal (dalam keluarga) dan eksternal (gereja dan masyarakat) atas dasar kesamaan nilai dan norma yang begitu kental dalam budaya orang Maluku guna meminimalisir tugas ganda single parent.
Penulis menyadari, perempuan single
parent secara personal merupakan sentra pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan seorang pengasuh bagi anak, tetapi ia juga seorang yang memiliki jaringan sosial (social network) karena ia seorang yang hidup dalam masyarakat atau hidup secara sosial. Dengan demikian, pembagian kerja secara esensial tidak mungkin dapat dijalankan secara personal. Marwel melihat teori pembagian kerja (the division of labor) dalam dua sudut pandang yakni; nature dan nurture.29 Teori nature memiliki asumsi bahwa, pembagian kerja berdasar pada jenis kelamin (seksual) disebabkan oleh faktor-faktor biologis laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor ini merupakan anggapan secara psikologis bahwa, perempuan cenderung emosional, pasif, dan submisif, sedangkan laki-laki lebih perkasa, aktif dan agresif. Dengan demikian, perempuan dengan struktur biologisnya cenderung tinggal di rumah dan membesarkan anak, memasak, dan
29
Marvel dalam saidah, Sistem Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin (Analisis Gender Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit Pt Muaratoyu Subur Lestari Di Kabupaten Paser), eJournal Sosiologi Konsentrasi, 2013, 2
memberi perhatian kepada keluarganya, sedangkan laki-laki pergi ke luar rumah dan mencari sumber penghidupan bagi keluarganya. Teori nurture melihat pada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (seksual), secara hakiki merupakan hasil konstruksi sosial-budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan ini mengindikasikan perempuan kerap diabaikan lewat kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Menurut Skolnick dalam Budiman, pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin
muncul lewat kontradiksi psikologis yang disebabkan oleh faktor-faktor biologis dan sosio-kultural dalam proses pembentukan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Budiman menjelaskan, ada beberapa hal-hal yang menyebabkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi masyarakat. Kebutuhan ini didasarkan pada kebutuhan riil dari sistem masyarakat tersebut. 2. Faktor-faktor yang didasarkan pada sistem psiko-kultural dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang menyebarkannya dan mengembangbiakan sistem pembagian kerja ini. Sistem pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin ini menjadi sistem patriarkal yang bukan hanya sekedar sistem kepercayaan abstrak belaka, tetapi didukung
oleh
lembaga-lembaga
mengembangbiakannya.
kemasyarakatan
yang
menyebarkan
dan
Menurut Fakih (dalam Saidah), ada lima bentuk ketidakadilan yaitu sebagai berikut:30 1. Pelebelan Negatif (Stereotip) Stereotip yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Dalam masyarakat banyak sekali stereotipe yang dilekatkan pada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak dan banyak lagi stereotipe lainya dalam masyarakat. 2. Penomorduaan (Subordinasi) Subordinasi yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”. 3. Peminggiran (Marginalisasi) Marginalisasi adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin
dari
arus/pekerjaan
utama
yang
berakibat
kemiskinan.
Misalnya,
perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh lakilaki.
30
Fakih dalam saidah, Sistem Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin (Analisis Gender Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit Pt Muaratoyu Subur Lestari Di Kabupaten Paser), eJournal Sosiologi Konsentrasi, 2013, 4
4. Beban Ganda (Double Burden) Double Burden adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Seperti yang terjadi dalam masyarakat bahwa peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. 5. Kekerasan (violence) Violence terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan karena perbedaan gender. Kekerasaan ini seperti pemerkosaan, pemukulan, pelecehan dan menciptakan ketergantungan Berdasarkan hal tersebut menurut penulis dibutuhkan konseling feminis agar perempuan bisa menyadari akan kekuatan yang mereka miliki serta kebebasan mereka sebagai seorang perempuan. Konseling lewat pendekatan feminis merupakan sebuah revolusi konseling, dan juga sebagai pendekatan baru dalam kurun waktu tiga dekade terakhir. Konseling feminis sering disebut sebagai feminist counseling, counseling for women. Sedangkan dalam dimensi klinis sering disebut sebagai feminist psychotherapies dan feminist therapy tetapi sering dipakai secara bersama-sama yaitu feminist counseling and therapy atau feminis counseling and psychotherapies.31 Konseling feminis sesungguhnya bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang dapat diterapkan pada berbagai orientasi teoretis. Teori konseling apapun dapat dievaluasi dengan kriteria 31
Richard Nelson, Teori dan Praktek:Konseling & Terapi, (Yogyakarta:Pustaka Belajar,2011), 710
gender-fair, flexible-multicultural, interaksionis, dan orientasi sepanjang rentang kehidupan. Peran dan fungsi konselor akan berbeda satu sama lain bergantung pada teori apa yang dielaborasikan dengan prinsip dan konsep feminis.32 Konseling feminis memperhatikan faktor-faktor psikologis sekaligus pengaruh sosiologis terhadap konseli. Konseling feminis berfokus pada isu gender dan kekuatan (power) sebagai inti dari proses terapi (the core of the therapeutic process). Konsep sentral dalam terapi feminis adalah sangat penting memahami tekanan psikologis para perempuan dan pembatasan-pembatasan yang timbul dari status sosio-politik yang memarginalisasikan perempuan. Perspektif feminis menawarkan pendekatan yang unik untuk memahami peran perempuan dan laki-laki, dan membawa pemahaman tersebut ke dalam proses konseling. Riset Toni Sands dilatarbelakangi oleh pengalaman depresi yang dialami oleh perempuan sehingga pendekatan konseling feminis yang berkembang terspesialisasi bagi perempuan yang mengalami depresi. Pokok-pokok dalam feminist counseling adalah sebagai berikut ini33. 1. Hubungan yang setara (egalitarian relationship). Egalitarian relationship, merupakan sebuah bentuk hubungan antara konselor dengan konseli. Konseling dipandang sebagai proses kerjasama, dimana setiap individu dihargai dalam kapasitas kekuatan yang sama untuk mendiskusikan pokok masalah dan strategi pemecahan masalahnya. Ditambahkan lagi bahwa walaupun metode kerjasama ini 32
Alesha Durfee dan Karen Rosenberg, Teaching sensitive issues : Feminist pedagogy and the practice of advocacy-based counselling, Vol. 19, No. 2,2009. p. 103. 33 Sands, Toni., (1998). Feminist Counseling an Female Adolescents :Treatment Strategies for Depression. Journal of Mental Health Counseling . Vol. Jan 1998. (20, 1). 43
sangat tidak mungkin untuk dilakukan pada setiap konseli tetapi proses ini harus tetap dilaksanakan sebagai salah satu tahap dalam konseling feminis. Egalitarian relationship menggunakan pendekatan dasar humanistik yaitu mendengar secara empatik, dorongan tak bersyarat (unconditional support), mutual respect, membantu membuka ketertutupan konseli secara tepat. Konselor diharapkan membantu memahami secara rasional terhadap permasalahan yang dihadapi dan membebaskan dari prasangka. 2. Personal memiliki posisi politis dalam masyarakat (The Personal is Political) Carolyn Zerbe Enn menjelaskan bahwa the personal is political sering diasumsikan, dihubungkan dan dipengaruhi oleh iklim sosial politik dalam kehidupan seseorang. Perspektif konseling feminis tidak dapat dilepaskan dari masalah sosial, politik, ekonomi dan faktor institusional yang mempengaruhi pilihan-pilihan individu dalam mengambil keputusan. Menurut Enns, konseling feminis merupakan kombinasi yang unik antara konselor yang memiliki orientasi gender dengan pendekatan konseling, dimana semua teori feminis memfokuskan pentingnya kesetaraan dan upaya-upaya mencapai kesetaraan, tetapi konseling feminis dalam memandang konseli lebih kepada terfasilitasinya pihak perempuan dalam konteks klinis maupun pengembangan diri. Beberapa tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan (empowerment), menghargai (appreciate) dan meneguhkan keragaman (affirming diversity), berjuang untuk perubahan daripada penyesuaian ( fight for a change rather than adjustment), kesetaraan (equality), kemandirian (autonomy),
dan persamaan ketergantungan
(dependence equation), perubahan sosial (social change), dan pengasuhan diri (nurturing self), membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai agen aktif bagi kehidupan mereka maupun untuk orang lain.34 Teknik-teknik dalam konseling feminis dikembangkan dari beberapa pendekatan tradisional dan diadaptasi menjadi model konseling feminis. Beberapa teknik dan strategi konseling feminis yang dikembangkan adalah sebagai berikut.35 a. Pemberdayaan. Kekuatan konseling feminis adalah memberdayakan konseli. Konselor membantu konseli agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mempunyai partisipasi yang seimbang dalam masyarakat. b. Keterbukaan. Hubungan antara konselor dengan konseli dibangun melalui keterbukaan. Keterbukaan tidak hanya sharing informasi dan pengalaman tetapi ada hubungan timbal balik antara konselor dengan konseli. c. Menganalisis peran gender. Konselor mengeksplorasi harapan -harapan konseli yang berkaitan dengan peran gender dan dampaknya pada pengambilan keputusan untuk masa yang akan datang. d. Intervensi peran gender. Konselor memberikan pemahaman yang menekankan pada perbedaan peran antara laki-laki dengan perempuan e. Bibliotherapy. Konselor memakai sumber-sumber seperti buku non fiksi, buku teks bimbingan & konseling, autobiografi, video pendidikan & pengetahuan sebagai bahan diskusi bersama konseli.
34
Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, seven edition. (Belmont Brooks/Cole,2005),51 35 Corey G.Theory And Practice Of Counselingand Psyhoterapy,Seven Edition, 65
f. Latihan untuk asertif. Konselor membantu konseli untuk bersikap asertif sehingga konseli mempunyai kesadaran tentang hak-haknya. Membantu mengubah stereotype negatif peran gender, mengubah keyakinan yang negatif dan mengimplementasikan perubahannya dalam kehidupan. g. Reframing dan relabeling. Konselor membantu konseli untuk memahami akar permasalahan karena problem yang dialami konseli berhubungan dengan tekanan sosial (social pressure) bukan semata-mata berasal dari dirinya. h. Group work. Pada akhir sesi konseling individual, konselor memberikan kesempatan konseli untuk bergabung dalam kelompok. Langkah ini dimaksudkan agar konseli merasa tidak sendiri dan dapat mendiskusikan pengalaman hidupnya. i. Social action. Konselor mendorong konseli untuk terlibat dalam kegiatan pemberdayaan perempuan, menuliskan pengalaman hidupnya atau aktif dalam komunitas pendidikan yang berlatar isu gender. Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Sejatinya, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat. Konseling feminis berusaha melakukan transformasi, baik terhadap konseli secara individual maupun terhadap masyarakat secara umum.36
36
Enns in Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives , Vol. 32, 2004, p. 385.
Sejalan dengan pemahaman diatas, melalui studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap pemberdayaan perempuan di Indonesia, menjelaskan tentang beberapa tujuan terkait peran ideal perempuan, yakni37 : a. Dapat mengubah kesadaran perempuan tentang kemampuan dirinya sebagai pribadi dan dalam mengisi peran sosialnya (mengubah sikap ambigu yang masih merupakan ciri dari kebanyakan perempuan). b. Agar tercipta kesadaran masyarakat pada umumnya dan para pengambil keputusan pada khususnya dengan membuat kebijakan yang menyambung/benar-benar relevan dengan kebutuhan perempuan dan variasi permasalahannya. c. Memberikan arah pada perubahan nilai-nilai yang merupakan bagian integral dari berlangsungnya proses pembangunan dimana kaum perempuan berperan sebagai objek ataupun subjek pembangunan. d. Menjawab kebutuhan kaum perempuan di suatu kelompok/daerah berbeda dengan kaum perempuan yang ada di kelompok/daerah lain. e. Menyertakan partisipasi laki-laki yang mau peduli. Keikutsertaan ini membuat lakilaki lebih peka dan memahami pengalaman perempuan. Sehingga, dari kepekaan tersebut mereka turut membantu memecahkan persoalan yang biasa perempuan alami. Seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan diskrminasi dalam lingkungan kerja.
37
Saparinah sadli, Berbeda tetapi Setara : Pemikiran tentang kajian Perempuan, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010), 80.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka menurut penulis pada level individual, konselor feminis bekerja untuk membantu para wanita dan pria agar mengidentifikasi, menuntut, serta memperoleh kekuatan personal mereka. Pemberdayaan konseli merupakan inti dari konseling ini, dan merupakan tujuan jangka panjang konseling. Perempuan berdaya apabila dapat menentukan hidupnya sendiri sesuai dengan keinginannya.ini berarti bebas dan merdeka memilih jalan hidup, memahami diri sendiri, berdasarkan kekurangan dan kelebihannya ,serta memahami struktur dirinya yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya, maka kemudian ia akan mampu mengambil keputusan secara bebas dan bertanggung jawab. Untuk itu dalam konseling feminis , ini harus dimulai dengan penyadaran diri, kemudian penyadaran kelompok dalam usaha-usaha kooperatif. Hal ini
bagi penulis sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas tentang
masalah masalah perempuan single parent yang dialami perempuan yang mengakibatkan
perempuan
selalu
berada
dalam
posisi
kurang
beruntung.
Ketidakberuntungan ini kemudian nampak dalam peran perempuan single parent yang dijelaskan oleh Mary Astuti bahwa peran perempuan terbagi tiga yakni peran produktif, peran reproduktif dan peran sosial. 38 a. Peran Produktif (ekonomi) Peran produktif yaitu peran-peran yang jika dijalankan mendapatkan uang langsung atau mendapat upah yang lain. Peran di sektor public dikontribusikan
Departemen Pendidikan Nasional, “Peran Ganda Perempuan dalam Keluarga Nelayan ( Studi Kasus di Desa Sendang Sikucing Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal) ”http://mbaawoeland.blogspot.com/2011/12/peran-ganda-perempuan.html (Diakses 14 oktober 2015) 38
oleh masyarakat sebagai pekerja produktif. Zaman sekarang perempuan tidak lagi berkutat dalam ranah reproduktif tetapi juga merambah ranah produktif. Perempuan tidak hanya terhenti pada tugas-tugas reproduktif seperti memasak, melahirkan anak, mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan hanya menguasai wilayah domestik saja seperti dapur, dan tempat tidur. Perempuan dituntut untuk mandiri apalagi perempuan berstatus single parent. Maka, segala pekerjaan harus dilakukan mulai dari mencari nafkah dan mengurus anak. b. Peran Reproduktif (kodrat) Peran reproduktif adalah peran yang menitik beratkan pada kodrat wanita secara biologis, peran ini juga diikuti dengan peran yang dijalankan dalam rumah untuk keluarga dan tidak menghasilkan uang. Peran reproduktif merupakan bentuk kontruksi dari masyarakat di bidang domestic. Menurut White peran perempuan kebanyakan hanya ditemui dalam sektor domestik, artinya sebagai ibu rumah tangga ia harus dapat menjaga, merawat, memberikan ketenangan dan menciptakan suasana bahagia dalam rumah tangga sekalipun perempuan tersebut adalah pekerja publik namun di dalam rumah tangga kedudukannya tetap tersubordinasi (lebih rendah) dari laki-laki. 39 Gamble juga menjelaskan bahwa gambaran perempuan seringkali dikaitkan dengan tugastugas ibu rumah tangga seperti merawat anak, memasak, membersihkan rumah, dan mengurus suami. Jika dirunut, kewajiban di ranah domestik ini menurutnya
39
Saparinah sadli, Berbeda tetapi Setara : Pemikiran tentang kajian Perempuan, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010), 173.
berkaitan dengan nature atau biologis40, artinya sejak awal perempuan telah memiliki karakteristik biologis tertentu yakni mencakup kemampuan untuk melahirkan. Berbeda dengan perempuan yang dilekatkan dengan ranah domestiknya, laki-laki justru sebaliknya. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang sesuai di ranah publik. Hal ini kemudian diungkapkan oleh Nugroho bahwa posisi perempuan dalam kebudayaan tidak seberuntung dan sebaik posisi lakilaki.41 Hal ini dikarenakan pemahaman umum yang telah menjadi stereotype seperti dalam pemaparan Gamble dan Nugroho bahwa dalam pembagian kerja perempuan kemudian berada pada ranah domestik dan laki-laki pada ranah publik. Menurut penulis, Hal ini semakin didukung dengan kodrat perempuan yang “katanya” adalah untuk melahirkan dan menjadi partner bagi laki-laki, partner yang dimaksudkan pun bukan seperti rekan kerja, namun memiliki pengertian lebih rendah dari status dan kedudukan laki-laki. c. Peran Sosial (kemasyarakatan) Peran sosial pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan dari para ibu rumah tangga untuk mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat. Peran ini lebih mengarah pada proses sosialisasi dari pada ibu rumah tangga. dimana keterlibatan
perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat. Briggs
mengatakan bahwa dukungan sosial penting untuk mendukung perempuan,
40
Gamble, S, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Yogyakarta : Jalasutra, 2010), 295. 41 Nugroho, R, Gender dan Strategi pengarus utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 172.
dukungan sosial di sini berkaitan dengan keluarga.42Stigma masyarakat pun mempengaruhi kehidupan mereka sehingga pada akhirnya mereka tidak menyadari kekuatan yang mereka miliki serta kebebasan mereka sebagai seorang perempuan.
Berdasarkan ketiga peran perempuan diatas, maka menurut penulis bahwa tujuan konseling feminis ialah sebagai pemberdayaan perempuan dalam menerapkan perubahan serta kesadaran dalam dirinya, maka seorang perempuan haruslah memahami bahwa dirinya masih merupakan kepribadian yang utuh. Hal ini penting dilakukan oleh seorang konselor agar konselinya menyadari bahwa dirinya tetap utuh walaupun telah mengalami kisah yang pahit. Berkaitan dengan perannya yang rangkap, dari perspektif konseling feminis justru peran tersebut haruslah dilihat sebagai kekuatan untuk memberdayakan. Pemberdayaan yang dimaksudkan ialah bahwa seorang perempuan walaupun ia seorang diri dan melakukan tugas sebagai ibu dan ayah, ia masih tetap memiliki keyakinan bahwa tugas-tugas tersebut adalah cara untuk memberdayakan dirinya kembali. Hal ini setara dengan penjelasan Enns yang mengatakan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut penulis peran perempuan kaitan dengan perspektif konseling feminis ialah mengacu pada tugas konselor yang harus mampu menanamkan nilai-nilai positif
Briggs in Social support in single parents’ transition from welfare to work: Analysis of qualitative finding, Agustus 2011, p.344.
42
dari substansi tujuan konseling feminis sehingga sebagai konseli mereka merasa terbantu dalam mengenali serta memahami dan menerima diri mereka secara utuh serta
menyadari
pemberdayaan-pemberdayaan
yang
menjalankan peran ganda mereka sebagai single parent.
mereka
lakukan
dalam