37
BAB II KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG UPAYA PENOLAKAN PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
A. Arbitrase dan Perjanjian Arbitrase 1. Pengertian Arbitrase Arbitrase dewasa ini menjadi alternatif populer untuk menyelesaikan sengketa bisnis/dagang. Pemilihan terhadap forum arbitrase menjadi menarik terutama karena arbitrase memberikan kemudahan dibandingkan pengadilan yang terlalu formal dan proses berperkara lumayan lama. 49 Tidak hanya dalam lingkup nasional, arbitrase telah menjadi populer di hampir seluruh negara di dunia. Sistem hukum negaranegara yang berbeda menyulitkan menempuh jalur pengadilan dalam negeri, sehingga arbitrase mampu mengakomodasi kesulitan-kesulitan tersebut dalam penyelesaian sengketa bisnis/dagang. Beberapa pengertian tentang arbitrase dapat dilihat dari pendapat para ahli dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan untuk menyelesaikan suatu masalah berdasarkan kebijaksanaan. 50 Tetapi kebijaksanaan saja tidak cukup, seolah-olah arbiter atau para arbiter tidak mengindahkan norma hukum dari ketentuan perundang-
49
Runtung Sitepu, “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Makalah yang disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal. 3. 50 Frans Hendra Winarta, Op. cit., hal. 36.
38
undangan. Antara kebijaksanaan dan norma hukum harus secara bersama-sama diterapkan dalam persidangan arbitrase. Priyatna Abdurrasyid merumuskan pengertian arbitrase merupakan, “Suatu tindakan hukum di mana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seseorang atau ahli yang telah disepakati bersama dengan tujuan untuk memperoleh keputusan final dan mengikat (binding)”. 51 Arbitrase menurut Subekti adalah “penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersamasama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan”. 52 Dalam Black’s Law Dictionary, Arbitration diartikan: “A method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are use. Agreed to by the disputing parties and whose decision is binding”. 53 Dalam Kamus Hukum, arbitrase diartikan, “Suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang hanya didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dimuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. 54 Dalam Kamus Bisnis, Arbitration didefenisikan: 55
51
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2002), hal. 76. 52 Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal. 1. 53 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (United States of America, Thomson and West Publishing Co. 1990), hal. 112. 54 M. Marwan dan Jimmy P., Op. cit, hal. 54. 55 http://www.businessdictionary.com/definition/arbitration.html, diakses tanggal 1 Desember 2013. Ditulis di BusinessDictionary.
39
Settlement of a dispute (whether of fact, law, or procedure) between parties to a contract by a neutral third party (the Arbitrator) without resorting to court action. Arbitration is usually voluntary but sometimes it is required by law. If both sides agree to be bound by the arbitrator’s decision (the ‘award’) it becomes a binding arbitration. The exact procedure to be followed (if not included in the contract under dispute) is governed usually by a country's arbitration laws, or by the arbitration rules prescribed by the International Chamber of Commerce (ICC). Pengertian arbitration dalam Situs Investor Word, diartikan, “A process in which a disagreement between two or more parties is resolved by impartial individuals, called arbitrators, in order to avoid costly and lengthy litigation”. 56 Situs Hukum Bisnis di Amerika Serikat mendefenisikan, “Arbitration is a form of alternative dispute resolution (ADR), used in place of litigation in the hope of settling a dispute without the cost and time of going to court. 57 Pengertian-pengertian arbitrase (arbitration) di atas, menegaskan bahwa arbitrase sebagai sebuah metode alternatif penyelesaian sengketa dengan tidak menggunakan jalur pengadilan, berdasarkan perjanjian arbitrase, disepakati oleh para pihak lebih dari satu orang. Sementara pengertian arbitrase di dalam perundang-undangan nasional disebutkan misalnya di dalam Pasal 615 ayat (1) Reglemen Acara Perdata (Reglemenverordering/Rv), menentukan: “Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam
56
http://www.investorwords.com/249/arbitration.html, diakses tanggal 1 Desember 2013. Di situs InvestorWord. 57 http://biztaxlaw.about.com/od/glossarya/g/arbitration.htm, diakses tanggal 1 Desember 2013. Ditulis di biztaxlaw.about.com.
40
kekuasaannya, untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seseorang atau beberapa orang wasit”. 58 Kemudian ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (disingkat UUA dan APS), yaitu: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa”. Pengertian-pengertian arbitrase yang disebutkan oleh para ahli dan dalam beberapa kamus serta situs-situs resmi tersebut serupa dengan pengertian yang ditentukan di dalam Pasal 1 angka 1 UUA dan APS. Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 1 angka 1 UUA dan APS tersebut, proses jalannya pemeriksaan arbitrase bukan di dalam lembaga litigasi (pengadilan formal) akan tetapi berada di luar pengadilan yang tata caranya akan berbeda dengan tata cara di pengadilan formal. Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUA dan APS mempersyaratkan jika menghendaki forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa, maka harus diperjanjikan secara tertulis terlebih dahulu oleh para pihak. Konsekuensi dari perjanjian arbitrase secara tertulis adalah bukti kongkrit yang menginformasikan kepada para pihak bahwa tidak ada perjanjian tertulis lainnya yang menjadi tolok ukur kecuali perjanjian yang telah disepakati.
58
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1905/arbitrase-pilihan-tanpa-kepastian, diakses tanggal 1 Desember 2013. Ditulis di Situs Hukumonline, dengan judul Arbitrase Pilihan Tanpa Kepastian. Lihat juga: Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum...Op. cit., hal. 34.
41
Lagi pula jika konsekuensi dari perjanjian tertulis dengan memilih forum arbitrase berarti pihak lain yang memilih jalur pengadilan untuk mengajukan gugatannya dinyatakan bertentangan dengan perjanjian arbitrase, dan UUA dan APS sendiri juga melarang hal demikian sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 UUA dan APS yaitu, “Pengadilan Negeri tidal berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Berdasarkan pengertian-pengertian tentang arbitrase (arbitration) yang dikemukakan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada intinya pengertian arbitrase harus mengandung karakteristik bahwa arbitrase itu: merupakan suatu bentuk perjanjian, perjanjian itu harus dibuat secara tertulis, dan perjanjian itu menyangkut pilihan forum di luar pengadilan. 2. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase a. Keunggulan-Keunggulan Arbitrase Dalam penjelasan umum UUA dan APS ditentukan bahwa proses penyelesaian
sengketa
melalui
arbitrase memiliki
kelebihan-kelebihan
atau
keunggulan-keunggulan lembaga arbitrase. Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain: 59 1) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
59
Penjelasan Umum Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
42
3) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; 4) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan 5) Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja atau langsung dapat dilaksanakan. Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaanya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional. 60 Arbitrase bersifat rahasia sehubungan dengan arbitrase berlangsung dalam lingkungan yang bersifat privat dan bukan bersifat umum, maka arbitrase bersifat tertutup. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau merugikan para pihak akibat penyingkapan informasi kepada umum. Selain itu hal ini juga dapat melindungi kepentingan para pihak dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibatnya, seperti kehilangan reputasi, bisnis dan pemicu bagi tuntutan-tuntutan lainnya yang dalam proses judikasi publik dapat mengakibatkan sengketa secara terbuka. 61 Demikian dalam hal proses pengambilan keputusan melalui arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada proses litigasi
60 61
I Made Widnyana, Op. Cit., hal. 214. Ibid.
43
di pengadilan. Putusan arbitrase biasanya ditetapkan bersifat final dan tidak dapat dibanding. Menurut Priyatna Abdurrasyid beberapa keunggulan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa di antara para pihak, misalnya arbiter dapat dipilih sesuai dengan selera para pihak yang bersengketa. Pemilihan terhadap arbiter dimaksud agar putusannya lebih objektif tidak subjektif, memiliki kemampuan pengetahuan di bidang arbitrase, bersikap adil kepada semua pihak. 62 Para pihak memilih arbiter dengan kepercayaan yang besar untuk menyelesaikan sengketa dibandingkan dengan menyerahkan kepada pengadilan umum. Mereka dapat mengangkat atau menunjuk arbiter atau suatu panel arbitrase yang memiliki keahlian terhadap suatu pokok perasalahan yang dipersengketakan. Hal tersebut tidak dapat dijamin dalam sistem badan peradilan umum seperti Pengadilan Negeri di Indonesia. Kebebasan, kepercayaan, keamanan, dan kenyamanan dalam memilih arbitrase pada umumnya memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada para pihak. Secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga terhadap kemungkinan putusan hakim yang berat sebelah melindungi kepentingan pihak lokal dalam suatu perkara. Arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan, realitas, dan dari kepentingan para pihak. Sebaliknya, pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat publik, seringkali memanfaatkan sengketa privat untuk lebih 62
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa....Op. cit., hal. 63.
44
menonjolkan nilai-nilai masyarakat. Akibatnya di dalam penyelesaian sengketa privat, pertimbangan hakim pengadilan lebih mengutamakan kepentingan umum, sedangkan kepentingan privat atau pribadi dinomorduakan. Penyerahan sengketa melalui arbitrse dilakukan para pihak secara sukarela kepada arbiter yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding).63 Menurut Gatot Sumartono, ada beberapa kelebihan dari arbitrase sebagai penyelesaian adalah: 64 1) Dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan jika membawa sengketa tersebut ke pengadilan; 2) Memfokuskan para pihak pada kepentingan masing-masing secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis, jadi bukan hanya hak-hak hukumnya saja; 3) Memberi kesempatan kepada para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal di dalam menyelesaikan sengketa; 4) Memberikan kemampuan kepada para pihak untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. Pemutusan perkara dalam arbitrase masing-masing pihak sama-sama menentukan hasilnya karena di dalam arbitrase dilakukan pertemuan terpisah antara para pihak dengan perantara para arbiter untuk dapat lebih meyakinkan pihak yang lemah akan posisinya dan bagaimana upaya untuk mengatasinya, serta menyarankan sebuah pendekatan atau usulan-usulan yang diharapkan mampu melancarkan proses penyelesaian. 65
63
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hal. 23. 64
Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 139. 65 Ibid.
45
Menurut Munir Fuady kelebihan arbitrase dibandingkan dengan pengadilan konvensional adalah: 66 1) Prosedur tidak berbelit-belit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat; 2) Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum; 3) Hukum terhadap prosedur pembuktian lebih rileks; 4) Para pihak dapat memilih hukum mana yang diberlakukan dalam arbitrase; 5) Para pihak dapat memilih sendiri arbiternya; 6) Dapat memilih arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya; 7) Keputusan lebih menyentuh pada situasi dan kondisi bagi kedua belah pihak; 8) Keputusanya bersifat final dan binding atau mengikat (tanpa harus banding atau kasasi); 9) Keputusan arbitrase dapat diberlakukan dan dieksekusi melalui putusan pengadilan. Kelebihan-kelebihan dari lembaga arbitrase dapat menjamin kerahasiaan para pihak, keterlambatan prosedural dan administratif dapat dihindari, para pihak dapat memilih arbiter, para pihak juga dapat menentukan pilihan hukumnya, dan putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak. 67 Dari semua kelebihan arbitrase disimpulkan bahwa bagi para pelaku bisnis dapat memilih untuk menyelesaiakn sengketanya melalui arbitrase disebabkan karena adanya kebebasan dalam arbitrase, kepercayaan, kedamaian, wasit atau arbiter memiliki keahlian, lebih cepat dan hemat biaya, bersifat rahasia, adanay kepekatan arbiter atau wasit, bersifat non preseden, pelaksanaan putusannya lebih mudah dilakukan.
b. Kelemahan-Kelemahan Arbitrase 66 67
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 94. Runtung Sitepu, Op. cit, hal. 20.
46
Meskipun
arbitrase
memiliki
kelebihan-kelebihan,
namun
di
dalam
prakteknya memiliki kelemahan-kelemahan. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke lembaga arbitrase tidaklah mudah, kedua belah pihak harus sepakat terlebih dahulu. Seringkali kesepakatan dalam akta kompromis sulit dicapai, misalnya dalam memilih forum arbitrase yang mana akan dipilih.68 Alasan-alasan dan dasar hukum pelaksanaan putusan arbitrase asing sering dicampuradukkan dengan alasan-alasan pembatalan. Antara penolakan Putusan Arbitrase Internasional dan pembatalan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional masing-masing membawa konsekuensi dan upaya hukum yang berbeda. Misalnya putusan abitrase internasional di Indonesia boleh ditolak tetapi tidak bisa dibatalkan. Pembatalannya harus dilakukan di negara dimana putusan itu dijatuhkan. Dalam arbitrase tidak selalu ada keterikatan kepada yurisprudensi arbitrase sebelumnya. Padahal adakalanya putusan-putusan arbitrase sebelumnya mengandung argumentasi para ahli hukum terkemuka. Jadi dalam praktek feksibilitas dalam mengeluarkan putusan tergantung dari kenyataan dan kehendak para pihak. 69 Selanjutnya arbitrase juga tidak mampu memberikan jawaban yang defenitif terhadap semua sengketa hukum. Hal ini disebabkan karena berkaitan dengan adanya konsep dan sistem hukum yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Konsep arbitrase di negara-negara Eropa Kontinental akan berbeda dengan
68 69
I Made Widnyana, Op. Cit., hal. 215. Ibid., hal. 216.
47
konsep arbitrase di negara-negara Anglo Saxon termasuk di negara-negara sosialis hal ini disebabkan pula karena struktur hukum yang berbeda. 70 Bagaimanapun juga putusan arbitrase selalu bergantung pada keahlian dan kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan dengan rasa keadilan. Jika arbiter tidak dibekali dengan keahlian dan kemampuan teknis, bisa menimbulkan ketidakadilan, demikian sebaliknya arbiter yang memiliki kemampuan dan keahlian semakin mempermudah penyelesaian sengketa serta menimbulkan rasa nyaman, jujur, dan adil bagi para pihak. 71 Selain itu arbitrase juga memiliki kekurangan-kekurangan, antara lain adalah sebagai beikut: 72 1) Kecenderungan berdampak baik terhadap perusahaan-perusahaan yang bonafide; 2) Due process kurang terpenuhi; 3) Kurang unsur finality; 4) Kurangnya power untuk hal-hal law enforcement dan eksekusi putusan; 5) Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif; 6) Kemungkinan timbulnya putusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada sistem preseden terhadap putusan sebelumnya dan juga karena unsur fleksibilitas dari arbiter. Karena itu, putusan arbitase tidak bisa diprediksi; 7) Kualitas putusannya sangat tergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa norma yang cukup untuk menjaga standar mutu putusan arbitrase. Oleh karena itu, putusannya sering dikatakan an arbitration is as good as arbitrators; 8) Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan. Inti dari kelemahan di atas bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat tetapi pada prakteknya masih terbuka upaya penolakan atau pembatalan 70
Ibid. Ibid. 72 Munir Fuady, Op. cit. hal. 95. 71
48
terhadap putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri. Hal ini bisa juga menimbulkan permusuhan terhadap pengadilan jika pengadilan ternyata menjatuhkan putusan yang berbeda dengan putusan arbitrase. Jadi power dari putusan arbitrase pada prakteknya tidaklah bersifat final dan mengikat sebab masih dimungkinkan bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara arbitrase. Hal inilah kelemahan juga di dalam UUA dan APS. Dalam praktek jika didaftarkan suatu putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, membuat pihak yang tereksekusi buru-buru mengajukan penolakan (non eksekuatur) terhadap putusan arbitrase internasional tersebut. Padahal dalam UUA dan APS sendiri tidak diatur adanya pembatasan kadaluarsanya suatu hak untuk menolak bagi pihak yang kalah terhadap putusan arbitrase internasional yang dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia. Untuk menghindari kondisi yang demikian seharusnya UUA dan APS direvisi dan diatur jangka waktu pendaftaran putusan arbitrase internasional di Indonesia, jangan hanya mengatur jangka waktu untuk pendaftaran putusan arbitrase nasional saja (seperti dalam Pasal 59 ayat 1 UUA dan APS) hanya mengatur batas waktu untuk Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional. Pengaturan batasan waktu dimaksud sebagai langkah pencegahan agar pihak yang memohon penolakan (non eksekuatur) tidak sampai banyak mengeluarkan biaya-biaya dalam melakukan upaya hukum dalam hal penolakan. 3. Perjanjian Arbitrase
49
Pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. 73 Perjanjian arbitrase atau disebut juga sebagai klausula arbitrase (arbitration clause) pada dasarnya adalah suatu klausula yang terdapat dalam suatu perjanjian, isinya memperjanjikan bahwa apabila terjadi sengketa para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui forum arbitrase. 74 Pengertian perjanjian arbitrase, terdapat pada Pasal 1 angka 3 UUA dan APS, menentukan, “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Klausula arbitrase sebagai alas hak dan menjadi dasar hukum bagi para arbiter duduk dan punya kewenangan. Menurut Yahya harahap, “Perjanjian arbitrase merupakan ikatan dan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaiakan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase. Para pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan peradilan”. 75
73
Rahayu Hartini, Hukum Komersil, (Malang: UMM Press, 2010), hal. 126. http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/kompetensi-arbitrase/, diakses tanggal 1 desember 2013. Ditulis oleh Disriani Latifah, tentang “Perjanjian Arbitrase dan Kompetensi Absolut Arbitrase”. 75 Ibid. 74
50
Dalam
United
Nations
Commission
on
International
Trade
Law
(UNCITRAL), ditentukan pengertian perjanjian arbitrase berikut: 76 Arbitration agreement is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain diputes which have arisen or which may arise between them in respect or a defined legal relationship, wether contractual or not. An arbitration agreement may be in a form of arbitrarion clause in a contract or in the form in a separate agreement. Semua defenisi perjanjian arbitrase tersebut di atas menginformasikan suatu syarat bahwa untuk memilih arbitrase harus diperjanjikan oleh para pihak. Tentu saja di Indonesia syarat-syarat dalam perjanjian arbitrase tersebut harus mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat-syarat perjanjian arbitrase serupa untuk syaratsyarat perjanjian pada umumnya yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara para pihak. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang, bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu harus memenuhi empat syarat: sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Suatu perjanjian arbitrase tanpa memenuhi keempat syarat sah tersebut, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat
76
United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), Model Law on International Comercial Arbitration, article 7.
51
suatu perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal). Syarat subyektif tidak diatur secara khusus dalam UUA dan APS. Seperti dalam Pasal 1 angka 2 UUA dan APS menentukan, “Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik”. Sedangkan syarat objektif dengan tegas ditentukan seperti dalam Pasal 5 UUA dan APS menentukan: a. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. b. Sengketa yang tidak dapat diselesaiakan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Macam-macam sengketa di bidang perdagangan adalah kegiatan antara lain di bidang: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. 77 Tidak semua sengketa yang terjadi dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui arbitrase, tetapi hanya sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan dan sengketa yang menurut hukum dan peraturan perundang-undanngan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat didamaikan, yang dalam hal ini berarti adalah sengketa yang di dalamnya terdapat unsur pidana.
77
Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
52
4. Bentuk-Bentuk Klausula Dalam Perjanjian Arbitrase Pada dasarnya ada dua bentuk perjanjian arbitrase yang dibedakan dari waktu dibuatnya perjanjian, yaitu pertama adalah perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa dan kedua perjanjian yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Bentuk perjanjian arbitrase yang pertama disebut dengan Pactum de Compromittendo dan yang kedua disebut dengan Akta Kompromis. a. Pactum de Compromittendo Dicantumkannya klausul dalam perjanjian pokok yang berisi penyelesaian sengketa yang mungkin timbul daripada perjanjian itu akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase yang disebut dengan pactum de compromittendo. 78 Pengertian pactum de compromittendo merupakan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak
sebelum
terjadinya
sengketa. 79
Pactum
de
compromittendo
artinya
“kesepakatan setuju dengan keputusan arbiter”. 80 Bentuk klausula ini diatur dalam Pasal 1 angka 3, Pasal 2, dan Pasal 7 UUA dan APS. Pasal 1 angka 3 UUA dan APS menentukan: Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Pasal 2 UUA dan APS menentukan:
78
Rahayu Hartini, Loc. cit. http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/kompetensi-arbitrase/, diakses tanggal 1 desember 2013. Ditulis oleh Disriani Latifah, tentang “Perjanjian Arbitrase dan Kompetensi Absolut Arbitrase”. 80 Frans Hendra Winarta, Op. cit., hal. 38. 79
53
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaiakan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 7 UUA dan APS menentukan: Para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka diselesaikan melalui arbitrase. Pactum de compromittendo sebelumnya juga diatur di dalam Pasal 615 ayat (3) Rv, di mana para pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan persengketaan yang munkin timbul di kemudian hari kepada seorang atau beberapa orang
arbiter.
Singkatnya
UUA
dan
APS
mengandung
ketentuan
yang
memperbolehkan untuk membuat suatu klausula dalam perjanjian pokok untuk memperjanjikan jika di kemudian terjadi sengketa, maka para pihak akan menyerahkan penyelesaiannya kepada arbitrase dan bukan pengadilan (pactum de compromittendo). Merupakan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa. Menurut M. Yahya Harahap, pokok yang penting dalam ketentuan Pasal 2 UUA da APS tersebut antara lain kebolehan untuk membuat perjanjian di antara para pihak yang membuat perjanjian untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari kepada lembaga arbitrase. 81 Persetujuan yang dimaksud adalah klausula arbitrase (arbitration clausul). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa klausula arbitrase tentunya dipersiapkan untuk 81
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes, UNCITRAL Arbitration Rules, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 65.
54
mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari atau di masa yang akan datang. Mengenai cara pembuatan klausula pactum de compromittendo tidak dengan jelas diatur di dalam Pasal 2 UUA dan APS, namun dapat ditafsirkan terhadap norma ini dan berdasarkan praktek yang terjadi, terdapat dua cara yang dibenarkan: 82 1) Mencantumkan klausula arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok. Cara ini merupakan cara yang lazim dilakukan dalam praktek, di mana perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausula arbitrase. Persetujuan arbitrase yang berisi kesepakatan bahwa para pihak setuju akan menyelesaikan perselisihan (dispute) yang timbul di kemudian hari melalui forum arbitrase dimuat dalam perjanjian pokok. 2) Pactum de Compromittendo dimuat dalam akta tersendiri atau terpisah dari perjanjian pokok. Jika pactum de compromittendo berupa akta yang terpisah dari perjanjian pokok, maka waktu perjanjian arbitrase harus tetap berpegang pada ketentuan, bahwa akta persetujuan arbitrase harus dimuat “sebelum” perselisihan atau sengketa terjadi. Hal ini harus sesuai pula dengan syarat formal keabsahan pactum de compromittendo, harus dibuat sebelum perselisihan terjadi. Mengenai cara pembentukan pactum de compromittendo yang pertama di atas, perjanjian arbitrase dibuat sebagai salah satu klausula dalam suatu perjanjian pokok. Cara ini umum terjadi mengingat pada saat ini dalam suatu perjanjian para pihak biasanya dengan langsung menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang dipilih jika terjadi sengketa di kemudian hari, di mana dalam hal pilihan penyelesaian sengketa tersebut memilih forum arbitrase. Pada cara yang kedua di atas, perjanjian arbitrase dibuat dalam suatu perjanjian tersendiri yang dibuat sebelum terjadinya sengketa dan bersamaan dengan pembuatan perjanjian pokoknya serta tidak digabungkan dalam perjanjian pokoknya 82
Ibid., hal 65-66.
55
tetapi terpisah, sehingga ada dua akta yaitu akta yang berisi perjanjian pokok dan akta yang berisi perjanjian arbitrase. Dalam UUA dan APS tidak diatur mengenai cara yang kedua. Hal tersebut dikarenakan perjanjian arbitrase merupakan perjanjian assesoir yang berarti perjanjian arbitrase merupakan perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya, seperti dikatakan M. Yahya Harahap pada umumnya perjanjian arbitrase merupakan perjanjian pelengkap atau perjanjian tambahan yang sering dilekatkan dalam persetujuan bisnis atau persetujuan komersial. 83 Sehingga dengan demikian sebagai perjanjian assesoir, maka perjanjian arbitrase tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya serta sah atau tidaknya perjanjian arbitrase ditentukan pada sah atau tidaknya perjanjian pokok. 84 b. Akta Kompromis Perjanjian semacam ini disebut Akta Kompromis, suatu perjanjian tersendiri, di luar perjanjian pokok. Perjanjian itu dibuat secara khusus jika setelah timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok. 85 Akta kompromis sebagai bentuk perjanjian arbitrase dalam bentuk kedua. Akta kompromis disebut juga dengan compromise and settlement, merupakan perjanjian arbitrase yang berbentuk akta dan dibuat setelah terjadi sengketa. 86
83
Ibid., hal. 64. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian...Op. cit., hal. 177. 85 Rahayu Hartini, Op. cit., hal. 127. 86 http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/kompetensi-arbitrase/, diakses tanggal 1 desember 2013. Ditulis oleh Disriani Latifah, tentang “Perjanjian Arbitrase dan Kompetensi Absolut Arbitrase”. 84
56
Norma yang mengandung bentuk perjanjian dalam bentuk akta kompromis terdapat dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 9 UUA dan APS. 87
1)
2)
3)
4)
Pasal 9 UU dan APS menentukan: Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase Setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaiman dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut haru dibuat dalam bentuk akta notaris. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a) Masalah b) Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak c) Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase d) Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan e) Nama lengkap sekretaris f) Jangka waktu penyelesaian sengketa g) Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan h) Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum. Dari ketentuan Pasal 9 UUA dan APS dapat diketahui bahwa akta komrpomis
sebagai perjanjian arbitrase dibuat setelah timbulnya perselisihan (dispute) atau sengketa di antara para pihak atau dengan pengertian lain dalam perjanjian tidak diadakan pilihan forum (choice of forum) terhadap arbitrase. Dengan demikian akta kompromis merupakan akta yang berisi aturan penyelesaian sengketa yang telah timbul di antara orang-orang yang telah berjanji lebih dulu. 88
87 88
Ibid. M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau….Op. cit., hal. 36.
57
Menurut M. Yahya Harahap, penerapan atau syarat sahnya suatu akta kompromis sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 9 UUA dan APS tersebut di atas, dirincinya sebagai berikut: 89 1) Pembuatan akta kompromis tersebut harus terlebih dahulu setelah timbul sengketa dari perjanjian terdahulu; 2) Bentuknya harus akta tertulis, tidak boleh dengan persetujuan lisan; 3) Akta kompromis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak, jika tidak bisa menandatangani karena sebab tertentu, maka harus dibuat di depan notaris; 4) Isi akta kompromis harus memuat: a) Masalah yang dipersengketakan; b) Nama lengkap dan alamat para pihak; c) Nama lengkap dan alamat para arbiter atau majelis arbitrase; d) Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e) Nama lengkap sekretaris; f) Jangka waktu penyelesaian sengketa; g) Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h) Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 5) Akta kompromis batal demi hukum, jika tidak memenuhi ketentuan mengenai isi akta. Sedangkan dalam Reglemenverordering (Rv), norma yang mengandung akta kompromis terdapat di dalam Pasal 618 Rv yang pada dasarnya akta kompromis dalam ketentuan ini memuat persetujuan para pihak untuk menyerahkan sengketa yang telah timbul dalam arbitrase dan bentuknya harus tertulis serta ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak mampu menandatangani maka perjanjian harus dibuat dimuka seorang notaris. Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa akta kompromis merupakan suatu perjanjian arbitrase yang dibuat setelah terjadinya sengketa atas perjanjian pokok
89
Ibid., hal. 67.
58
yang telah dibuat sebelumnya dengan memenuhi persyaratan seperti diatur dalam Pasal 9 ayat (3) UUA dan APS apabila tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal yang paling penting dilakukan dalam akta kompromis adalah harus dibuat secara tertulis, sehingga mencerminkan bentuk akta sekaligus sebagai bukti bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan. Bahkan lebih baik lagi jika akta kompromis tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik. 90 Dengan diotentikkannya akta kompromis tersebut, maka menjadi bukti yang cukup kuat bagi para pihak, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna di hadapan majelis hakim sepanjang tidak diajukan bukti kuat dari lawat kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 91
B. Arbitrase Nasional dan Arbitrase Internasional Jenis arbitrase yang diatur dalam Pasal 615 ayat (1) Rv hanya mengenal satu jenis lembaga arbitrase yaitu hanya mengenal jenis arbitrase ad hoc atau disebut juga dengan “arbitrase volunter”. Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini sifatnya
90
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 65. Sebagaimana diatur dalam Pasal 165 HIR menentukan: Surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu. 91 Ibid., hal. 66.
59
temporer atau hanya dibentuk secara insidentil (sementara) untuk setiap sengketa yang terjadi. 92 Sedangkan jenis-jenis arbitrase sebagaimana dimuat di dalam New York Convention 1958, UNCITRAL Arbitration Rules, mengenal dua jenis arbitrase yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Pengertian arbitrase institusional (institutional arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen (permanent arbitral body), sengaja didirikan untuk menangani perkaraperkara yang timbul di bidang bisnis/perdagangan. 93 Sehingga berdasarkan jenisnya, arbitrase dibagi dua yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Jika dibedakan dari segi jangkauannya, maka arbitrase yang dikenal ada dua pula yaitu arbitrase nasional dan arbitrase internasional. UUA dan APS tidak dengan tegas membedakan dari segi lembaganya atau institusinya, mana yang disebut sebagai arbitrase nasional dan mana yang disebut sebagai arbitrase internasional. Tetapi, UUA dan APS, membedakan antara arbitrase nasional dan arbitrase internasional adalah dari sisi putusannya. Untuk membedakan itu, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 angka 9 UUA dan APS menentukan: Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar Wilayah Hukum Negara Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
92 93
Tineke Louise Tueguh Longdong, Op. Cit., hal. 70. Gunawan Widjaja, Seri Aspek…Op. cit., hal. 36.
60
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut, maka nyatalah bahwa secara yuridis, terasa sulit untuk membedakan arbitrase nasional dan arbitrase internasional dari sisi lembaganya/institusinya. Jika menggunakan penafsiran argumentum a contrario terhadap Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut, 94 dapat dirumuskan pengertian Putusan Arbitrase Nasional sebagai putusan yang dijatuhkan di Wilayah Hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Dari rumusan ini, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan Putusan Arbitrase Nasional atau Putusan Arbitrase Internasional digunakan prinsip kewilayahan atau teritorial. 95 Sepanjang putusan arbitrase dilakukan di luar Wilayah NKRI, maka putusan tersebut dikategorikan sebagai Putusan Arbitrase Internasional atau Asing. Ciri Putusan Arbitrase Internasional yang didasarkan pada faktor teritorial tidak mensyaratkan perbedaan kewarganegaraan dan perbedaan tata hukum. Prinsip teritorial di atas juga dianut dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958, yaitu Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan, ”...arbitral awards made in the territory of a state other than the state where the recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out of differences between persons whether physical or legal”. 96 Ketentuan tersebut menegaskan prinsip kewilayahan, bahkan tidak melihat lagi
94
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 165-167. 95 Gatot Sumartono, Op. cit, hal. 69. 96 Ibid.
61
perbedaan mengenai status kewarganegaraan para pihak dan juga hukum yang digunakan. Berarti ciri Putusan Arbitrase Internasional didasarkan pada faktor wilayah (territory), sehingga setiap putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah NKRI digolongkan sebagai Putusan Arbitrase Internasional atau Asing. 97 Ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958 tidak jauh beda dengan ketentuan pada Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut di atas di mana bahwa ciri Putusan Arbitrase Internasional sama-sama didasarkan pada faktor kewilayahan (teritorial). 98 Putusan arbitrase dikategorikan sebagai Putusan Arbitrase Internasional jika diputuskan di luar wilayah negara oleh suatu arbitrase yang diakui secara internasional, hukum yang diberlakukan dalam memutus perkara arbitrase itu berdasarkan konvensi internasional, ketentuannya telah lazim diterima oleh pada umumnya negara-negara. Di samping itu, Pasal 1 ayat (1) Konvesi New York 1958 juga menyatakan bahwa ruang lingkup konvensi berlaku atas putusan-putusan arbitrase yang tidak dianggap sebagai putusan-putusan domestik pada suatu negara tertentu. Jenis putusan arbitrase di Indonesia dibedakan berdasarkan tempat di mana putusan tersebut di putusakan atau berdasarkan sistem hukum mana putusan tersebut diputuskan. Apakah putusan tersebut merupakan Putusan Arbitrase Nasional atau Putusan Arbitrase Internasional, maka harus dilihat berdasarkan sejarahnya di mana
97 98
Cicut Sutiarso, Op. Cit., hal. 164. Frans Hendra Winarta, Op. Cit., hal. 65.
62
putusan itu dibuat dan hukum mana yang digunakan selain di dalam wilayah Indonesia. 99 Berpedoman Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut, putusan arbitrase yang diputuskan di dalam wilayah NKRI disebut sebagai Putusan Arbitrase Nasional. Sedangkan Putusan Arbitrase Internasional berarti putusan arbitrase yang diputuskan lembaga arbitrase atau arbiter perseorangan atau arbitrase institusional yang berada di luar wilayah NKRI atau putusan tersebut menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. 100 Cara lain untuk menentukan suatu putusan arbitrase dikatakan sebagai Putusan Arbitrase Nasional atau Putusan Arbitrase Internasional, terlebih dahulu diselidiki pengakuan terhadap arbitrase itu secara de pacto dan de jure. Secara de pacto, arbitrase itu harus diakui oleh sejumlah negera-negara di dunia dan fakta juga harus menunjukkan bahwa para pelaku bisnis mau memilih arbitrase dimaksud sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang berbeda kewarganegaraannya. Sedangkan pengakuan secara de jure, terhadap arbitrase itu harus dinyatakan di dalam AD-nya sebagai arbitrase internasional dan semua ketentuan hukum dan perundang-undangan yang diberlakukan mengacu kepada konvensi-konvensi internasional bukan perundang-undangan nasional negara terkait. 101
99
Ibid. Ibid., hal. 70. 101 J.G Starke diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 186-167. 100
63
Itulah konsekuensi mengapa UUA dan APS tidak mampu mendefenisikan dari sisi lembaga/institusinya, mana disebut sebagai arbitrase nasional dan mana disebut sebagai arbitrase internasional. UUA dan APS khususnya di Pasal 1 angka 9 hanya mampu mendefenisikan arbitrase nasional dan arbitrase internasiona dari sudut pandang “Putusannya”. Jadi dari sisi putusannya, sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 UUA dan APS, dikatakan sebagai arbitrase internasional adalah arbitrase yang diputuskan atau dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar Wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika putusan itu dijatuhkan/diputuskan di luar wilayah NKRI, maka arbitrase yang memutus sengketa tersebut dianggap sebagai Arbitrase Internasional. Sebaliknya jika putusan itu dijatuhkan/diputuskan di dalam wilayah NKRI, maka arbitrase yang memutus sengketa tersebut secara mutlak dikatakan sebagai arbirase nasional. Tidak menjadi soal apakah jenisnya arbitrase ad hoc atau jenis arbitrase institusional, yang penting dilihat dari sisi putusannya. Jadi norma yang terkandung di dalam Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut, dalam penelitian ini disebut sebagai “pengertian arbitrase internasional secara sapu jagat” artinya kendatipun secara de pacto dan de jure, nyata bahwa arbitrase yang telah memutus sengketa tersebut adalah Arbitrase Internasional, namun hukum di Indonesia hanya menganggap arbitrase tersebut merupakan Arbitrase Internasional. Sebaliknya, kendatipun arbitrase yang telah memutus sengketa tersebut adalah Arbitrase Nasional suatu negara tertentu, namun hukum tetap menganggap arbitrase tersebut sebagai Arbitrase Internasional.
64
Secara yuridis tidak penting dipersoalkan apakah benar arbitrase itu merupakan Arbitrase Internasional atau tidak, tetapi yang penting adalah “Putusannya” dijatuhkan/diputus di luar Wilayah Hukum NKRI, maka semua putusan yang dijatuhkan di luar Wilayah Hukum NKRI dikategorikan atau dianggap sebagai Arbitrase Internasional dan putusannya juga dikategorikan atau dianggap sebagai Putusan Arbitrase Internasional. Arbitrase Nasional hanya berlaku pada lingkup dalam suatu negara tertentu untuk penyelesaian sengketa. Sedangkan Arbitrase Internasional, lingkupnya berlaku hingga melewati batas-batas negara (lintas batas antar negara-negara). Contoh: BANI akan dikatakan sebagai Arbitrase Nasional jika secara de jure dan de pacto berlaku secara nasional saja. Walaupun secara de jure di dalam Anggaran Dasar BANI ditentukan bahwa BANI sebagai Arbitrase Internasional, tetapi secara de pacto, ternyata tidak satupun para pelaku bisnis dari berbagai negara di dunia mau memilih BANI sebagai forum penyelesaian sengketa, maka BANI dalam kondisi ini, tidak dapat dikatakan sebagai Arbitrase Nasional. Sebaliknya, secara de pacto, BANI banyak diminati para warga negara asing untuk dipilih sebagi forum penyelesaian sengketa dalam perjanjian-perjanjian internasional, maka BANI tersebut dalam kondisi ini akan dikatakan sebagai Arbitrase Internasional, walaupun AD-nya tidak menentukan demikian. Dari contoh ini, maka dapatlah dilakukan cara menentukan suatu arbitrase dikatakan sebagai Arbitrase Nasional atau Arbitrase Internasional.
65
Pada satu sisi ada yang berpandangan bahwa BANI yang didirikan tahun 1977 tersebut tidak termasuk sebagai Arbitrase Internasional. Golongan yang mengatakan demikian berpandangan karena dasar hukum BANI tidak diatur secara khusus sebagai lembaga Arbitrase Internasional bahkan jika diperhatikan ketentuan dalam UU AAPS tidak ada ketentuan yang tegas menyatakan BANI sebagai Arbitrase Internasional atau Arbitrase Nasional sama sekali tidak ditegaskan. Tetapi menurut R. Subekti (penggas didirikannya BANI sekaligus sebagai orang pertama Ketua BANI), BANI adalah Arbitrase Internasional. 102 R. Subekti, mengatakan BANI adalah Arbitrase Internasional karena tercantum dalam Pasal 1 Anggaran Dasar BANI dengan tujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan capat atas sengketa yang timbul dalam perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. 103 Alasan BANI masuk dalam kategori Arbitrase Internasional dalam buku karangan Priyatna Abdurrasyid, yang berjudul “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar”, karena BANI sering ditunjuk oleh ICC untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersil internasional demikian juga arbiter BANI sering didudukkan atau diikutkan sebagai anggota panel arbiter di INTELSAT, ICAO, ICSID, AALCC, IAF, IAA, IISL, dan ICC. Bahkan dalam daftar arbiter BANI tercantum nama-nama para ahli atau arbiter luar negeri yang menduduki tenaga ahli 102
R. Subekti dalam H. Eman Suparman, Op. cit., hal. 102. Lihat juga Cicut Sutiarso, op. Cit., hal. 135. R. Soebekti adalah pemrakarsa atau penggas didirikannya BANI sekaligus sebagai orang pertama Ketua BANI, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri-IKADIN), 103 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif...Op. cit., hal. 144-145.
66
bidang teknik, konsultasi, maritim atau perkapalan, asuransi, perbankan, ekonomi internasional, farnchise, lingkungan hidup, penerbangan, dan lain-lain. 104 Oleh karena sifatnya internasional maka Arbitrase Internasional harus tunduk pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum internasional, baik antar negara dengan negara maupun antar negara dengan subjek hukum bukan negara. 105 Menurut Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Internasional didasarkan karena adanya hubungan antar suatu negara dengan negara lain di mana arbitrase itu diadakan dengan lebih dari satu negara yang masing-masing memiliki yurisdiksi sendiri. 106 Esensi
yang
paling
penting diketahui
dalam
memahami
Arbitrase
Internasional adalah adanya unsur-unsur asing, dengan demikian secara singkat dikatakan sebagai arbitrase internasional, jika: 107 1. Para pihak yang bersengketa memiliki kebangsaan yang berbeda, terbukti dan dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian yang dibuat. 2. Tempat penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada di luar domisili para pihak sesuai dengan kesepakatan bersama. 3. Objek sengketa terletak di luar wilayah negara di mana para pihak memiliki usahnya. 4. Para pihak sepakat bahwa objek sengketa sesuai dengan klausula arbitrase yang memiliki keterkaitan dengan satu negara atau lebih. Sifat internasional suatu arbitrase menurut Yahya Harahap, jika persoalannya melewati dua negara atau lebih atau berkaitan dengan beberapa orang yang berlainan
104
Ibid. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 4. 106 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif...Op. cit., hal. 123. 107 M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. cit., hal. 18. 105
67
kebangsaannya atau karena kebiasaan dianggap sebagai internasional atau menurut hukum dinyatakan internasional. 108 Berdasarkan syarat di atas, dapat dikatakan secara singkat bahwa Arbitrase Internasional didasarkan pada lingkupnya melewati lintas batas antara negara-negara. Tetapi tidak semua tempat penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada di luar domisili para pihak dan tidak semua objek sengketa terletak di luar wilayah negara di mana para pihak memiliki usahanya, tetapi sebahagian objek sengketa ada pula yang berada di dalam suatu wilayah negara yang memiliki Arbitrase Internasional. Contoh Arbitrase Internasional adalah London Court International Arbitration (LCIA) di Inggris, International Chamber of Commerce (ICC) berkedudukan di Paris, Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) yang berkedudukan di Singapura, The American Arbitration Association (AAA) berkedudukan di Amerika Serikat, The International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Amerika Serikat, dan lain-lain. Alasan-alasan dikatakan sebagai Arbitrase Internasional didasarkan pada ciriciri internasional yaitu karena internasional menurut organisasinya, internasional menurut struktur atau prosedurnya, dan internasional menurut faktanya. Makna internasional menurut organisasinya karena organisasinya dibentuk oleh beberapa negara seperti ICSID yang anggotanya terdiri dari negara-negara berdasarkan
108
Ibid., hal. 17.
68
konvensi yaitu Convention on the Settlement of Investment Disputes between Nationals of Others States. 109 Ciri arbitrase internasional karena struktur atau prosedurnya didasarkan pada pilihan para pihak. Umumnya arbitrase internasional yang dipilih didasarkan pada arbitrase di mana tempat salah satu pihak, ada juga dipilih terlepas dari sistim hukum dari salah satu pihak dan bebas yurisdiksi. Dengan demikian, memilih arbitrase internasional tertentu berarti telah memilih prosedur yang berlaku pada arbitrase internasional tersebut misalnya memilih SIAC berarti para pihak telah sepakat dengan prosedur dan ketentuan yang ada di dalam SIAC tersebut. 110 Sedangkan ciri arbitrase internasional menurut faktanya memang benar-benar diakui di dalam Anggaran Dasar pendirian arbitrase itu adalah arbitrase internasional dan didukung pula dengan adanya para pihak (baik negara atau bukan negara) memailih arbitrase tersebut dengan lebih dari satu negara yang memiliki yirisdiksi dan sistim hukum yang berebeda. 111 Arbitrase
Internasional
SIAC
adalah
arbitrase
Internasional
yang
berkedudukan di Singapura, mengatur sebahagian besar perkaranya berdasarkan peraturan arbitrasenya sendiri dan berdasarkan aturan lainnya yang disetujui oleh para pihak misalnya menggunakan Peraturan Arbitrase UNCITRAL Tahun 1976 (UNCITRAL Arbitration Rules 1976). Terdapat dua bagian hukum yang terpisah mengatur tentang arbitrase di Singapura. Jika forum arbitrase terletak di Singapura, 109
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif...Op. cit., hal. 239. Cicut Sutiarso, Op. Cit., hal. 122. 111 Ibid., hal. 123. 110
69
maka yang berlaku adalah Undang-Undang (Arbitration Act, Cap 10, 2002 Rev Ed/Arbitration Act) atau Undang-Undang Arbitrase Internasional (International Arbitration Act, Cap 143 A/IAA) yang akan mengatur tentang proses arbitrase. Sedangkan untuk perjanjian-perjanjian internasional, undang-undang yang berlaku adalah IAA. 112 Berdasarkan IAA suatu arbitrase disebut sebagai Arbitrase Internasional, apabila: 113 1. Paling sedikit salah satu pihak memiliki tempat usaha di salah satu negara selain Singapura pada saat perjanjian arbitrase ditandatangani, atau 2. Tempat arbitrase yang disetujui berada di luar negara di mana para pihak memiliki tempat usaha, atau 3. Suatu tempat di mana sebahagian besar kewajiban yang timbul dari suatu hubungan komersil akan dilaksanakan atau tempat di mana perihal inti perselisihan yang memiliki keterkaitan terdekat berada di luar negara di mana para pihak mempunyai tempat usaha, atau 4. Para pihak telah setuju secara tegas bahwa perihal inti perjanjian arbitrase menyangkut lebih dari satu negara. Para pihak yang berperkara di SIAC pada umumnya adalah pihak-pihak yang berbeda negara (cross-border parties). Para pihak yang berperkara di SIAC Singapura bebas memilih prosedur arbitrase. Jika tidak terdapat kesepakatan antar para pihak dalam memilih prosedur, maka mejelis arbiter menentukan prosedur dengan cara yang dianggap layak. Jika SIAC Rules 2013 (mulai berlaku efektif sejak
112 113
Frans Hendra Winarta, Op. cit., hal. 163. Ibid., hal. 162-163.
70
tanggal 1 April 2013) yang dipilih, maka prosedurnya harus ditempuh langkahlangkah sebagai berikut: 114 1. Pleading (permohonan). Pengajuan permohonan harus dibuat dalam bentuk tertulis oleh para pihak kecuali ditentukan lain oleh majelis arbiter. Pengajuan ini juga wajib disertai dengan dokumen-dokumen pendukung dan bukti-bukti yang ingin digunakan para pihak. 2. Statement of Claim. Pihak penggugat yang mengajukan gugatan dan menyampaikan pernyataan kasus (statement of claim) berbarengan dengan diajukannya permohonan arbitrase (notice of arbitration). Pada saat ini majelis belum terbentuk karena proses arbitrase masih dianggap telah dimulai pada tanggal diterimanya notice of arbitration dari pihak pemohon. Atau pada saat majelis telah terbentuk yang mana waktu pengajuannya akan ditentukan oleh majelis. Isi di dalam statement of claim harus dimuat: pernyataan fakta yang mendukung gugatan, dasar hukum atau dalil yang mendukung gugatan, dan tuntutan bersama dengan jumlah semua gugatan yang dapat dihitung. 115 3. Statement of defence. Pihak yang digugat dapat mengajukan dan menyampaikan pernyataan pembelaan (statement of defence) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya notice of arbitration berbarengan dengan tanggapan terhadap permohonan arbitrase (response to 114
Ibid., hal. 164-176. Lihat juga di: http://www.siac.org.sg/our-rules/rules/siac-rules-2013, diakses tanggal 1 Desember 2013. Di Situs Resmi Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) tentang SIAC Rules 2013. Frans Hendra Winarta pernah sebagai arbiter di SIAC, ibid., hal. 168. 115 Article 3.2 SIAC Rules 2013: The Notice of Arbitration may also include the Statement of Claim referred to in Rule 17.2.
71
notice of arbitration atau dalam waktu yang ditentukan oleh majelis setelah diterimanya ctatement of claim setelah majelis arbiter terbentuk. Dalam statement of defence harus dimuat seluruh pembelaan terhadap statement of claim, termasuk namun tidak terbatas pada fakta dan pendirian hukum yang digunakan. Selain itu, dalam statement of defence dapat juga menyampaikan gugatan balik (counter claim) yang harus memenuhi mengenai statement of claim. 116 4. Replay (jawaban termohon). Jawaban dimaksud adalah jawaban terhadap statement of defence dan terhadap counter claim (gugatan balik). Jika counter claim dilakukan, pemohon dalam jangka waktu yang ditentukan oleh majelis arbiter, harus mengirimkan replay (jawaban) kepada termohon atas statement of defence dan counter claim dan dinyatakan secara terperinci fakta dan argumentasi hukum mana di dalam statemen of counter claim yang diakui dan dibantahnya, atas dasar apa termohon membatah gugatan atau argumentasi hukum tersebut. 5. Rejoinder. Dalam hal pengajuan rejoinder (jawaban pemohon) oleh pemohon, hal ini sangat tergantung pada kebijakan dari majelis arbiter apakah dibutuhkan atau tidak. 117
116
Article 4.2. SIAC Rules 2013: The Response may also include the Statement of Defence and a Statement of Counterclaim, as referred to in Rules 17.3 and 17.4. 117 Article 17.6 SIAC Rules 2013: The Tribunal shall decide which further submissions shall be required from the parties or may be presented by them. The Tribunal shall fix the periods of time for communicating such submissions.
72
6. Memorandum of Issues. SIAC Rules 2013 sudah tidak mengatur tentang memorandum of issues ini dengan pertimbangan untuk mempercepat proses acara arbitrase. 7. Discovery. Pada proses ini masing-masing pemohon dan termohon dapat meminta agar dokumen diperlihatkan. Jika para pihak tidak sepaham dengan dokumen yang diperlihatkan tersebut, maka masing-masing dapat mengajukan penolakan. 8. Factual Witness Statements. Pada pores ini, para pemohon dan termohon dipersilahlan membuat kesaksian secara tertulis dan tersumpah (affidavit) atau bentuk pencatatan lainnya. 118 Para pihak juga dipersilahkan untuk melakukan pertukaran kesaksian secara simultan pada waktu yang ditentukan oleh majelis arbiter. Selanjutnya melakukan pertukaran pernyataan bantahan saksi fakta yang akan dilakukan, mengidentifikasi semua saksi fakta, namun majelis arbiter berwenang juga menolak kehadiran saksi fakta tersebut. 119 Jika saksi fakta tidak hadir, majelis arbiter dapat menempatkan bobot kesaksian pada kesaksian
tertulis
jika
dianggap
perlu,
mengabaikannya,
atau
mengesampingkannya sama sekali. 120
118
Article 22.4 SIAC Rules 2013: The Tribunal may direct the testimony of witnesses to be presented in written form, either as signed statements or sworn affidavits or any other form of recording. Subject to Rule 22.2, any party may request that such a witness should attend for oral examination. If the witness fails to attend, the Tribunal may place such weight on the written testimony as it thinks fit, disregard it or exclude it altogether. 119 Article 22.3 SIAC Rules 2013: Any witness who gives oral evidence may be questioned by each of the parties, their representatives and the Tribunal in such manner as the Tribunal shall determine. 120 Article 22.4 SIAC Rules 2013.
73
9. Expert Witness Statement (pernyataan saksi ahli). Setelah terjadi pertukaran pernyataan saksi fakta, maka selanjutnya dilakukan adlaah pertukaran kesaksian saksi ahli yang ditunjuk oleh pemohon dan termohon. Di SIAC para saksi ahli baik dari pemohon dan termohon dipersilahkan untuk bertemu dan berusaha untuk menyepakati permasalahan, jika tidak berhasil, baru dialnjutkan ke tahap berikutnya. 10. Hearing (persidangan). Pada proses ini tidak selalu dilakukan secara lisan, dimungkinkan di SIAC untuk dilakukan proses beracara secara tertulis berdasarkan dokumen-dokumen yang telah diajukan oleh para pihak, jika disetujui oleh para pihak. 121 11. Post Hearing. Pada proses ini dinamakan proses di penghujung persidangan. Dalam praktek SIAC majelis arbiter bersama pemohon dan termohon berunding menentukan jadwal post hearing untuk membahas kesimpulan akhir (clossing submission) yang akan disampaikan para pihak setelah proses hearing selesai. Berdasarkan proses beracara di SIAC tersebut di atas, diketahui bahwa SIAC menggunakan metode pendekatan kepada para pihak, tidak menggunakan hukum sebagaimana dalam persidangan pengadilan formal. Bahkan SIAC tidak terikat pada pembuktian (evidence) yang ditentukan dalam undang-undang tentang bukti
121
Article 21.1 SIAC Rules 2013: Unless the parties have agreed on documents-only arbitration, the Tribunal shall, if either party so requests or the Tribunal so decides, hold a hearing for the presentation of evidence and/or for oral submissions on the merits of the dispute, including without limitation any issue as to jurisdiction.
74
(evidence act) yang berlaku di persidangan pengadilan formal di Singapura, secara tegas mengecualikan keberlakuan evidence act untuk arbitrase. 122 Putusan arbitrase di SIAC mempedomani IAA dan Arbitration Act yang terdiri dari Putusan Sementara (Interim Award), Putusan Sela (Interlocutory Award) atau Putusan Sebahagian (Partial Award), dan Putusan Final (Final Award). Putusan Sementara (Interim Award) merujuk pada suatu putusan yang bukan merupakan putusan akhir atau Putusan Final (Final Award). Istilah Putusan Sementara digunakan terkait dengan hukum yang digunakan, pembelaan yang berkaitan dnegan pembatasan jangka waktu, jawaban para pihak, dan yurisdiksi arbitrase. 123 Putusan Sebahagian (Partial Award) pada umumnya memutuskan sebahagian klaim yang diajukan. Putusan Sela (Interlocutory Award) yaitu putusan sementara yang terkait dengan hal-hal seperti tanggung jawab dengan menunda sementara besaran jumlah kerugian yang akan diputuskan kembali pada Putusan Akhir (Final Award). Jika SIAC Rules 2013 yang digunakan, maka setelah putusan dijatuhkan, putusan arbitrase harus disampaikan kepada Panitera SIAC (Register of SIAC) yang akan mengatur agara dibuatkan salinan autentiknya untuk dikirimkan kepada para pihak setelah pelunasan pembayaran yang menunggak. 124
122
Frans Hendra Winarta, Op. cit., hal. 175. Ibid. 124 Ibid., hal. 176. 123
75
C. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Penolakan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional Setelah Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan, maka upaya selanjutny adalah pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional tersebut di negara tempat di mana akan dieksekusi. Dengan tegas dinyatakan di sini, UUA dan APS sama sekali tidak menentukan berapa lama tenggang waktu Putusan Arbitrase Internasional tersebut didaftarkan di PN Jakpus setelah dijatuhkan oleh Arbitrase Internasional. Pasal 59 ayat (1) UUA dan APS tidak bisa dijadikan dasar atau pedoman dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan dijatuhkan, karena Pasal 59 ayat (1) UUA dan APS berlaku untuk Arbitrase Nasional bukan untuk Arbitrase Internasional. Jika dibaca mulai dari Pasal 59 s/d Pasal 72 UUA dan APS tidak satupun pasal yang mengatur tenggang waktu berapa lama pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional harus didaftarkan di PN Jakpus di Indonesia. Inilah masalah penting dari UUA dan APS terkait dengan hak menolak (non eksekuatur) yang diajukan oleh PT. Direct Vision dalam perkara a quo yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011, tanggal 28 Juni 2012 antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia. Sebelum menganalisis tentang ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur tentang penolakan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, maka terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan istilah/pengertian penolakan dan pembatalan. Pengertian Penolakan Putusan Arbitrase Internasional berbeda dengan pengertian
76
Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional. Penolakan dan pembatalan sama-sama dilakukan setelah sebuah putusan arbitrase telah dinyatakan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Tetapi pada penerapannya berbeda antara satu sama lain. Sinonim dari istilah penolakan dalam Bahasa Inggris adalah: refusal, refusing, disclaimer, rejection, dan lain-lain. 125 Istilah-istilah ini sering dipakai dalam penolakan putusan arbitrase internasional di pengadilan negeri, sebagaimana dalam perkara a quo dipergunakan oleh PT. Direct Vision adalah disclaimer dan refusal artinya penolakan. Sedangkan sinonim pembatalan dalam Bahasa Inggris adalah: nullification, revocation, annulment, rescission, recall, retraction, dan defeasance. 126 Dari istilah-istilah saja, tampak makna dari penolakan dan pembatalan. Dalam Black’s Law Dictionary, disclaimer diterjemahkan pengertian disclaimer atau penolakan adalah, “A renunciation of one’s legal right or claim”, 127 artinya sebuah penolakan terhadap hak hukum seseorang atau klaim. Sedangkan nullification atau pembatalan diartikan sebagai “Having no legal efect, without binding force”, 128 artinya tidak memiliki efek hukum, tanpa kekuatan mengikat, maka harus dibatalkan.
125
https://translate.google.com/?hl=id&tab=wT&q=penolakan#id/en/penolakan, diakses tanggal 1 Desember 2013. Sinonim penolakan dalam Bahasan Inggris antara lain: Disclaimer artinya penolakan, sangkalan; Rejection artinya penolakan, tampikan; Refusal artinya penolakan, tolakan, penampikan, keingkaran, hak menolak; Denial artinya penolakan, penyangkalan, bantahan, sangkalan, peniadaan; Repudiation artinya penolakan, penyangkalan, penanggalan, hal tdk mengakui; Renunciation artinya penolakan, pembuangan; Renouncement artinya penolakan; Refusing artinya penolakan; Declination artinya deklinasi, penolakan, jadwal. 126 Ibid. 127 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary…Op. cit., hal. 496. 128 Ibid., hal. 1098.
77
Jika pihak yang menolak agar tidak dilaksanakan (non eksekuatur) terhadap Putusan Arbitrase Internasional dalam praktek dialasankan pada syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 66 UUA dan APS. Sedangkan jika alasan untuk membatalkan Putusan Arbitrase Internasional, maka harus didasarkan pada Pasal 70 UUA dan APS. Pasal 66 UUA dan APS menentukan: Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di Wilayah Hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. 2. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. 3. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 4. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan 5. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jelaslah bahwa konsekuensi dari Pasal 66 UUA dan APS tersebut jika dipandang dari duduk persoalan di Wilayah NKRI, pada prinsipnya Pasal 66 UUA dan APS tersebut mengatur masalah penolakan dengan syarat-syarat tersebut di atas. Jika syarat-syarat tersebut di atas ternyata ditemukan di dalam Putusan Arbitarse Internasional, maka Putusan Arbitrase Internasional tersebut tidak dapat dilaksanakan
78
(Non Eksekuatur) dan majelis hakim harus menjatuhkan putusan Non Eksekuatur terhadap Putusan Arbitrase Internasional dimaksud. Oleh sebab itu, jika putusan Putusan Arbitrase Internasional telah dinyatakan Non Eksekuatur sebagaimana yang dimohonkan oleh pihak yang tereksekusi dalam putusan tersebut, maka konsekuensi dari penolakan itu menurut penafsiran argumentum a contrario hanya sebatas diakui dan tidak dapat dilaksanakan. Perlu ditegaskan di sini terkait dengan ketertiban umum, bahwa konsekuensi dari suatu Putusan Arbitrase Internasional bertentangan dengan ketertiban umum, undang-undang (UUA dan APS) tidak mengatur agar Putusan Arbitrase Internasional tersebut dibatalkan. Bisa dibandingkan ketentuan Pasal 66 UUA dan APS tersebut dengan Pasal 70 UUA dan APS. Pasal 70 UUA dan APS menentukan: Terhadap Putusan Arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atu dinyatakan palsu. 2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; dan 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Jadi berdasarkan Pasal 70 UUA dan APS dibandingkan dengan Pasal 66 UUA dan APS, suatu Putusan Arbitrase Internasional yang mengandung pelanggaran (bertentangan) terhadap ketertiban umum, maka pihak yang termohon tereksekusi harus memohonkan penolakan (Non Eksekuatur), bukan memohon pembatalan. Syarat suatu Putusan Arbitrase Internasional dimohonkan pembatalannya, hanya
79
karena Putusan Arbitrase Internasional tersebut mengandung ketiga syarat dalam Pasal 70 UUA dan APS tersebu di atas. Ternyata berdasarkan ketentuan Pasal 70 UUA dan APS tersebut, diatur mengenai
pembatalan
terhadap
pelaksanaan
(eksekusi)
Putusan
Arbitrase
Internasional di Indonesia. Sangat berbeda sekali dengan ketentuan di dalam New York Convention 1958 mengatur masalah penolakan (Non Eksekuatur) terhadap pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional di negara yang diminta untuk dieksekusi misalnya di Indonesia, bukan mengatur masalah pembatalan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia. Ketentuan di dalam New York Convention 1958 memang mengatur masalah pembatalan Putusan Arbitrase Internasional, tetapi permohonan pembatalannya bukan dimohonkan di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional akan dilaksanakan, melainkan termohon tereksekusi harus memohonkan pembatalannya di negara di mana Putusan Arbitrase Internasional tersebut dijatuhkan/diputuskan. Sekedar menegaskan kembali, maka Pasal V ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958 di sini kembali diulang yaitu: Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that: The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made. Berdasarkan Pasal V ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958 tersebut di atas, para ahli juga mengatakan pengaturan dalam pasal ini mengandung pembatalan
80
Putusan Arbitrase Internasional harus dimohonkan di negara di mana putusan itu dijatuhkan. Sebagaimana Gunawan Widjaja, mengatakan berdasarkan Pasal V ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958: 129 Pengadilan dari negara tempat suatu putusan arbitrase dibuat, memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase yang dibuat di negaranya dan pengadilan di setiap negara wajib mengakui putusan tersebut untuk dilaksanakan di wilayah hukum negaranya atas permintaan dari pihak di mana terhadap siapa putusan arbitrase tersebut hendak dilaksanakan. Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, juga mengatakan berdasarkan Pasal V ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958: 130 Telah menentukan bahwa pelaksanaan suatu Putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak jika Putusan Arbitrase Internasional tersebut telah dibatalkan oleh “a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made” artinya “lembaga yang berwenang di negara di mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dijatuhkan. Uniknya terkait dengan pembatalan dalam ketentuan Pasal V ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958 antagonis (berlawanan) dengan ketentuan Pasal 70 jo Pasal 71 jo Pasal 72 UUA dan APS. Dikatakan berlawanan karena menurut Pasal V ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958, permohonan pembatalannya harus diajukan di negara di mana putusan itu dijatuhkan, sedangkan menurut ketentuan Pasal 70 jo Pasal 71 jo Pasal 72 UUA dan APS, permohonan pembatalannya dibolehkan diajukan (didaftarkan) di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Indonesia. Kendatipun UUA dan APS membolehkan diajukan permohonan pembatalan oleh termohon tereksekusi di Indonesia, tetapi alasan untuk membatalkan Putusan 129
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum...Op. cit., hal. 144. Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Peran Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Arbitrase, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 60. 130
81
Abitrase Internasional yang terdapat pada Pasal 70 UUA dan APS, hanya ada 3 (tiga) alasan, di luar daripada itu, tidak dapat diajukan permohonan pembatalan oleh termohon tereksekusi terhadap pendaftaran eksekusi atas Putusan Arbitrase Internasional di negara Indonesia. Berdasarkan analisis yuridis tersebut, bagi termohon tereksekusi, majelis hakim pengadilan, dan lain-lain yang berkepentingan terhadap suatu penolakan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, tidak boleh mencampuradukkan antara penolakkan dan pembatalan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional. Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dan pembatalan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional masing-masing membawa konsekuensi dan upaya hukum yang berbeda. 131 New York Convention 1958 dapat dipergunakan untum membatalkan Putusan Arbitrase Internasional di negara di mana putusan itu dijatuhkan. Tetapi New York Convention 1958 tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membatalkan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional yang telah didaftarkan di Indonesia atau di salah satu negara pihak yang kalah (termohon tereksekusi) dalam persidangan Arbitrase Internasional. 132 Pada Article V New York Convention 1958 menurut Erman Rajagukguk dapat dijadikan sebagai dasar hukum penolakan terhadap pelaksanaan (eksekusi) Putusan
131
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6528/karaha-bodas-ajukan-kasasi-terhadapputusan-pembatalan-arbitrase-jenewa, diakses tanggal 2 Desember 2013. Ditulis oleh Tim Hukumonline, tentang “Karaha Bodas Ajukan Kasasi terhadap Putusan Pembatalan Arbitrase Jenewa”. 132 Ibid.
82
Arbitrase Internasional di Indonesia. 133 Dalam Article V New York Convention 1958, menentukan sebagai berikut: 134 1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that: a. The parties to the agreement referred to in article II were, under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the country where the award was made; or b. The party against whom the award is invoked was not given proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was otherwise unable to present his case; or c. The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of the submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope of the submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced; or d. The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was not in accordance with the law of the country where the arbitration took place; or e. The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made. 2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that: a. The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the law of that country; or b. The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.
133
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan...Op. cit., hal. 64. New York Convention 1958, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards Done at New York, 10 June 1958; entered into force, 7 June 1959 United Nations, Treaty Series, vol. 330, p. 38, No. 4739 (1959). 134
83
Mengenai Article V New York Convention 1958 tersebut di atas, menurut Erman Rajagukguk adalah dasar penolakan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia. 135 Inti dari Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958 tersebut menegaskan pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak atas permohonan pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan tersebut (pihak yang kalah). Majelis hakim PN Jakpus maupun MA dapat menjatuhkan putusan non eksekuatur terhadap Putusan Arbitrase Internasional yang dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia oleh pemohon, jika termohon tereksekusi menurut Erman Rajagukguk dapat membuktikan di sidang pengadilan hal-hal yang tercantum dalam Article V New York Convention 1958, yaitu: 136 1. Para pihak dalam perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal II menurut hukum yang berlaku, tidak mempunyai kapasitas, atau perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum yang berlaku, atau tidak ada petunjuk bahwa perjanjian tersebut sah, berdasarkan hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat; 2. Pihak yang diminta untuk melaksanakan keputusan tidak mendapat pemberitahuan yang wajar mengenai penunjukan para wasit (arbiter) atau dalam proses arbitrase pihak yang diminta tersebut tidak dapat menyampaikan kasusnya (pembelaannya); 3. Putusan berkenaan dengan hal yang berbeda atau tidak sesuai dengan hal-hal yang diajukan kepada wasit (arbiter), atau putusan tersebut mengandung halhal di luar ruang lingkup pengajuan arbitrase. Jika keputusan atas hal-hal yang diajukan pada arbitrase dapat dipisahkan dari hal-hal yang tidak diajukan, maka bagian dari putusan yang mengandung keputusan-keputusan atas hal-hal yang diajukan pada arbitrase tersebut dapat diakui dan dilaksanakan; 4. Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, atau persetujuan seperti itu gagal, jika tidak sesuai dengan hukum negara di tempat arbitrase berlangsung; dan 135 136
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan...Loc. cit. Ibid., hal. 64-65.
84
5. Putusan tersebut belum memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, atau telah dikesampingkan atau ditangguhkan oleh badan yang berwenang dari negara atau berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dibuat. Jelaslah bahwa dalam Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958 diatur menganai alasan-alasan dapat ditolaknya suatu pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional yang dimintakan oleh termohon tereksekusi di Indonesia. Ternyata dalam Pasal V ayat (2) Konvensi New York 1958 tersebut ada lagi alasan yang dapat diajukan oleh termohon tereksekusi untuk menolak (Non Eksekuatur) terhadap pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia. Bahwa pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Pasal V ayat (2) Konvensi New York 1958 dapat juga ditolak oleh termohon tereksekusi, jika badan yang berwenang dari negara tempat pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional yang dimohonkan itu, ditemukan: 1. Pokok persengketaan tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum negara itu; 2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan akan bertentangan dengan ketertiban umum negara itu. Jika dibaca ketentuan di dalam New York Convention 1958 memang sama sekali tidak mengatur masalah pembatalan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di negara termohon tereksekusi yakni misalnya di Indonesia, melainkan hanya mengatur mengenai pembatalan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional harus diajukan oleh termohon tereksekusi di negara di mana Putusan Arbitrase Internasional tersebut dijatuhkan/diputuskan.
85
Berdasarkan analisis yuridis tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa New York Convention 1958 mengatur masalah penolakan Putusan Arbitrase Internasional di negara termohon tereksekusi. New York Convention 1958 juga mengatur masalah pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di negara di mana putusan itu dijatuhkan bukan di negara termohon tereksekusi. Sementara UUA dan APS mengatur masalah penolakan di pengadilan negara yang termohon tereksekusi yaitu di Indonesia (vide: Pasal 66) dan juga mengatur masalah pembatalan di pengadilan negara yang termohon tereksekusi yaitu di Indonesia (vide: Pasal 70).
D. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Pengakuan (recognition) berbeda dengan pelaksanaan (executie). Menurut Sudargo Gautama pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya dari pada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak tindakan-tindakan, seperti tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi. Sedangkan terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri dari pada pelaksanaannya. 137 Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional terdapat dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
137
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), (Bandung: Alumni, 1979). hal. 278.
86
Arbitrase Asing yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengeluarkan UUA dan APS serta Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing termasuk putusan arbitrase internasional di Indonesia dan ketentuannya telah digariskan dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 UUA dan APS. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional diatur dalam UUA dan APS jo Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Pasal 66 UUA dan APS jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 ditentukan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional; 2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; 3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; 4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat; dan 5. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari amhkamah agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
87
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 66 UUA dan APS jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990. Ini berarti putusan arbitrase internasional tidak dibenarkan berdasarkan prinsip teritorial dilaksanakan secara serta merta di Indonesia. Jika putusan arbitrase internasional yang didaftarkan tersebut di Indonesia ternyata bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia, maka putusan ini hanya bisa diakui sebagai putusan arbitrase internasional tetapi tidak bisa dilaksanakan. Putusan arbitrase internasional tersebut bukan berarti tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, tetapi perlu diketahui berdasarkan ketentuan di atas, harus tidak bertentangan dengan ketertiban umum yang berlaku di Indonesia. Berbeda dengan konteks pembatalan putusan arbitrase internasional. Jika pembatalan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York 1958 tidak dapat sama sekali dibatalkan di negara di mana putusan itu hendak dieksekusi misalnya di Indonesia, tetapi pengajuan pembatalan itu harus dilakukan di pengadilan di negara dimana putusan itu dijatuhkan. Anehnya dalam UUA dan APS pada Pasal 70 s/d Pasal 72 ternyata juga dibolehkan pengajuan pembatalan putusan arbitrase internasional di wilayah Republik Indonesia. Selain alasan bertentangan dengan ketertiban umum, putusan arbitrase internasional tersebut hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia jika putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis arbitrase Indonesia terkait dengan perjanjian bilateral dan/atau perjanjian multilateral tentang pengakuan
88
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia. Untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut, maka harus didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal menyangkut negara Republik Indonesia, maka pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut ditangani oleh Mahkamah Agung. 138 Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan terhadap putusan ini tidak dapat diajukan banding ke pengadilan tinggi maupun kasasi. 139 Namun jika keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ternyata menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, maka terhadap putusan ini dapat diajukan kasasi. 140 Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing merupakan aturan pelaksanaa UUA dan APS mengenai pelaksanaan putusan arbitrase intrenasional. Lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990 ini ditujukan untuk mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing/internasional. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak hanya meliputi arbitrase asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, tetapi berlaku bagi semua putusan, 138
Frans Hendra Winarta, Op. cit., hal. 72. Pasal 66 huruf d jo Pasal 68 ayat (1) Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 140 Ibid., Pasal 68 ayat (2) Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 139
89
baik terhadap putusan yang belum pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti yang terjadi di masa sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku. 141 Berdasarkan Pasal 67 UUA dan APS permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitra Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan tersebut harus disertai dengan: 1. Lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; 2. Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahas Indonesia; dan 3. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan banding maupun kasasi dan penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing dapat diajukan di tingkat kasasi, serta dengan pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Untuk lebih jelasnya di dalam Pasal 68 dinyatakan sebagai berikut: 1. Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi; 141
Frans Hendra Winarta, Op. cit., hal. 75.
90
2. Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi; 3. mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, dalam jangka waktu paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh mahkamah agung; dan 4. Terhadap putusan mahkamah agung sebagaiman dimaksud dalam pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan. Untuk pelaksanaan sita eksekusi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memiliki kewenangan relatif di bidangnya. Dalam Pasal 69, telah disebutkan secara tegas sebagai berikut: 1. Setelah ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya; 2. Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi; dan 3. Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan megikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional ternyata selain diakui dapat pula dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 142 Hal itu sesuai pula dengan Konvensi New York 1958 yang mengatur pula pelaksanaan putusan arbitrase internasional di negara tereksekusi. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dewasa ini di banyak negara masih menjadi soal yang sulit. Meskipun Konvensi New York 1958 berlaku di Indonesia dan Perma Nomor 1 Tahun 1990 menjadi berkekuatan self
142
Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007), hal. 99.
91
execution, namun dalam praktenya sering kali bagi pihak yang kalah (termohon tereksekusi) merasa tidak puas dan mencari alasan-alasan untuk menghindar dari tanggung jawab dengan cara mengajukan keberatannya yakni mengajukan upaya penolakan (non eksekuatur) terhadap putusan arbitrase internasional yang telah didaftarkan tersebut. Sehingga sifat sukarela dalam pelaksanan putusan arbitrase internasional hanyalah dalam teori saja tetapi dalam praktek sulit dilaksanakan. Menurut Cicut Sutiarso sikap sukarela dari pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak banyak terjadi kesukarelaan dari pihak yang kalah (termohon tereksekusi) untuk secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia, tetapi lebih cenderung pihak yang kalah (termohon tereksekusi) tersebut mengajukan upaya penolakan bahkan melakukan upaya pembatalannya di Indonesia. 143
143
Cicut Sutiarso, Op. cit., hal. 161-163.