BAB II KERANGKA TEORI Kerangka teori ini berisi tentang teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi tindak tutur; (4) fungsi tindak tutur ilokusi; (5) jenis tindak tutur; (6) prinsip kesantunan. Untuk memudahkan peneliti dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti menggunakan dan memanfaatkan beberapa teori yang berkaiatan dengan tindak tutur yang dikemukakan oleh beberapa pakar, antara lain: a) Geoffrey Leech (1993, edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka ) yang berkaitan dengan fungsi tindak tutur ilokusi dan prinsip kesantuan. b) I Dewa Putu Wijana dan M. Rohmadi (2010) yang berkaitan dengan jenis tindak tutur. c) Geoffrey Leech dalam Henry Guntur Tarigan (1990) tentang klasifikasi tindak tutur. 2.1 Pengertian Pragmatik Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabangcabang itu antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Wijana dan Rohmadi, (2010: 4) mengatakan bahwa semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, manakala pragmatik
Universitas Sumatera Utara
mempelajari makna secara eksternal. Telaah semantik adalah makna yang bebas konteks, manakala makna prgamatik adalah makna yang terikat konteks. Leech, (1993: 8) mengatakan bahwa pragmatik dan semantik berkaitan dengan makna. Semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic) seperti pada “apa artinya X”. Manakala pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic), seperti pada “apa maksudmu dengan X”. Dengan demikian dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, manakala dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya. 2.2 Tindak Tutur Tindak tutur ‘speech act’ yang merupakan bagian dari kajian pragmatik, pertama kali disampikan oleh filsuf berkebangsaan Inggris, Jhon L. Austin. Austin (1962) mengemukakan pendapat bahwa pada dasarnya, saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Selanjutnya pendapat ini dikembangkan oleh Searle dan berpendapat bahwa unsur yang paling kecil dalam komunikasi adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat pertanyaan, memberi perintah, menguraikan, menjelaskan, minta maaf, berterima kasih, mengucapkan selamat, dan lain-lain, (Nadar, 2009:12). Searle, (dalam Wijana dan Rohmadi 2010: 20-23) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary
Universitas Sumatera Utara
act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu, tindak tutur itu disebut ‘the act of saying something’. Tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasi karena pengindentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur. Tindak ilokusi adalah tuturan yang berfungsi
untuk
mengatakan
atau
menginformasikan
sesuatu,
dapat
juga
dipergunakan untuk melakukan sesuatu, tindak ilokusi disebut ‘the act of doing something’. satu tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut ‘The Act of Affecting Someone’. 2.3 Klasifikasi Tindak Tutur Ilokusi Tindak tutur ilokusi diklasifikasikan oleh Searle, (dalam Leech, 1993:164). menjadi lima jenis yaitu tindak tutur asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Searle, mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan berbagai kriteria, antara lain: 1. Asertif (Assertives): melibatkan pembicara pada kebenaran proposisi yang diekspresikan,
misalnya:
menyatakan,
memberitahukan,
menyarankan,
membanggakan, ,mengeluh, menuntut, melaporkan. 2. Direktif (Directives): dimaksudkan untuk menimbulkan beberap efek melalui tindakan sang penyimak, misalnya: memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menganjurkan, menasihatkan.
Universitas Sumatera Utara
3. Komisif (Commissives): melibatkan pembicara pada beberapa tindakan yang akan datang, misalnya: menjanjikan, bersumpah, menawarkan, memanjatkan (doa). 4. Ekspresif (Expressives): mempunyai fungsi unuk mengekspresikan, mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi; misalnya: mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memaafkan, mengampuni, menyalahkan, memuji, menyatakan belasungkawa, dan sebagainya. 5. Deklarasi (Declarations): adalah ilokusi yang bial performasinya berhasil akan menyebabkab korespondensi yang baik antara isi proporsional dengan realitas; contoh: menyerahkan diri, memecat, membebaskan, membaptis, member nama, menamai, mengucilkan, mengangkat, menunjuk, menentukan, menjatuhkan hukuman, memvonis, dan sebagainya. 2.4 Fungsi Tindak Tutur Ilokusi Tindak ilokusi mempunyai beraneka ragam fungsi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Berdasarkan bagaimana hubungannya dengan tujuan sosial dalam menentukan dan memelihara serta mempertahankan rasa sikap hormat. Leech, (1993:162) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi ilokusi dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu: 1. Kompetitif (Competitive) : Tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial; misalnya, memerintah, meminta, menuntut, mengemis. Pada ilokusi yang berfungsi kompetitif sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya
Universitas Sumatera Utara
ialah mengurangi ketidak harmonisan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan santun. 2. Menyenangkan (Convivial): Tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial; misalnya, menawar, mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat. Pada fungsi ini sopan santun lebih positif bentuknya dan bertujuan mencari kesempatan untuk beramahtamah. 3. Bekerja sama (Collaborative): Tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial; misalnya, menyatakan, melapor, mengumumkan, mengajarkan. Pada fungsi ini tidak melibatkan sopan santun, karena pada fungsi ini sopan santun tidak relevan. 4. Bertentangan (Confilctive): Tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial; misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi. Dalam jenis ilokusi ini unsur sopan santun tidak ada sama sekali, karena pada dasarnya fungsi ini menimbulkan kemarahan. 2.5 Jenis Tindak Tutur Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat: berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberikan suatu informasi. Kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan dan permohonan, (Wijana dan Rohmadi, 2010: 28).
Universitas Sumatera Utara
Apabila kalimat difungsikan secara konvensional sesuai dengan fungsinya dan jika kalimat difungsikan dengan tidak sesuai dengan fungisnya maka tindak tutur yang terbentuk adalah: 1. Tindak tutur langsung, yaitu: tindak tutur yang sesuai dengan modus kalimatnya. Contoh: (1) jam berapa sekarang? Tuturan di atas adalah tindak tutur yang menanyakan informasi waktu kepada mitra tutur. 2. Tindak tutur tidak langsung, yaitu: tindak tutur yang tidak sesuai dengan modus kalimatnya. Contoh: (2) apa ini bukan waktunya untuk tidur? Tuturan di atas dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, dengan menggunakan kalimat tanya untuk mengungkapkan tindak tutur tidak langsung yaitu memerintah. Selanjutnya, setelah tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Sejumlah tindak tutur mempunyai tuturan yang sesuai dan tidak sesuai dengan katakata yang menyusunnya. Wijana dan Rohmadi, (2010:31) menjelaskan bahwa tindak tutur yang maksudnya sama dan maksudnya tidak sama dengan kata-kata yang menyusunnya dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Universitas Sumatera Utara
Contoh: (3) mobilmu bersih sekali. Tuturan di atas dituturkan seseorang kepada temannya yang baru selesai mencuci mobilnya. Maka jelas tuturan itu memuji yang sifatnya literal. 2. Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Contoh: (4) mobilmu bersih sekali. Tuturan di atas dituturkan seseorang kepada temannya yang mengendarai mobilnya ketika hujan dan melewati jalanan yang becek. Maka tuturan tersebut tindak tutur tidak literal, karena bukan bermaksud untuk memuji, tetapi mengejek. Apabila
tindak
tutur
langsung
dan
tidak
langsung
disinggungkan
(diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tidak literal, maka akan didapatkan tindak tutur berikut ini: 1. Tindak tutur lansung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Contoh: (5) angkat tangan! Tuturan di atas dituturkan oleh seorang polisi yang memerintahkan seseorang mengangkat tangannya sebelum ditangkap karena melakukan kejahatan. 2. Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Contoh: (6) kok gelap? Tuturan di atas dituturkan oleh seorang pemilik rumah kepada pembantunya ketika sedang mati lampu. Kalimat yang digunakan pemilik rumah adalah kalimat tanya, secara tidak langsung memerintah dengan maksud agar pembantu menghidupkan lilin. 3. Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi katakata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Dalam tindak tutur ini, maksud memerintah diutarakan dengan kalimat perintah, kalimat dan maksud menginformasikan dengan kalimat deklaratif. Contoh: (7) merokok lagi yang banyak, biar sehat! Tuturan di atas dituturkan oleh seorang dokter kepada pasiennya, dokter tersebut memerintahkan pasiennya agar mengurangi menghisap rokok supaya sehat. 4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Contoh: (8) cepat sekali makannya.
Universitas Sumatera Utara
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya untuk menyuruh anaknya pelan-pelan ketika makan. 2.6 Kesantunan Dalam pertukaran tuturan, peserta tutur tidak hanya menghormati prinsipprinsip kerjasama, tetapi juga mengindahkan prinsip-prinsip kesopanan. Sebagai retorika interpersonal, pragmatik memerlukan prinsip lain, yakni prinsip kesopanan, (Wijana dan Rohmadi, 2010: 51). Leech, (1993: 206) mengatakan bahwa sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua pemeran serta yang boleh kita namakan diri dan lain. Dalam percakapan, diri biasanya diidentifikasi dengan n, dan lain lazimnya diidentifikasi dengan t; tetapi penutur juga dapat menunjukkan sopan santun pada pihak ketiga yang hadir ataupun tidak hadir dalam situasi ujar yang bersangkutan. Selanjutnya, Leech (1993) menjelaskan bahwa ada enam maksim di dalam prinsip kesantunan, iaitu: 1. Maksim Kearifan (Tact Maxim) (dalam ilokusi-ilokusi impositif dan komisif) a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) (dalam ilokusi-ilokusi impositif dan komisif) a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Universitas Sumatera Utara
3. Maksim Pujian (Approbation Maxim) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif) a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin. b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4. Maksim Kesederhanaan Hati (Modesty Maxim) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif) a. Pujilah diri sendiri sedikit mungkin. b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. 5. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim) (dalam ilokusi Asertif) a. Usahakan agar tak ketaksepakatan antara diri dan lain sedikit mungkin terjadi. b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan lain terjadi sebanyak mungkin. 6. Maksim Simpati (Sympathi Maxim) (dalam ilokusi Asertif) a. Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin. b. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.
Universitas Sumatera Utara