BAB II KERANGKA TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep Kepuasan Kerja 2.1.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Dalam melakukan suatu pekerjaan, karyawan akan terpengaruh oleh faktor-faktor perasaan serta pandangannya terhadap pekerjaan, pandangan dan juga perasaan individu terhadap pekerjaannya harus tetap terjaga pada sisi positif dari pekerjaannya, dengan kata lain individu tersebut harus memiliki dan menjaga kepuasan kerjanya, agar produktivitas atau prestasi kerjanya dapat terus ditingkatkan. Kepuasan kerja seseorang tentunya dapat menjadi suatu daya pendorong kerja serta gairah kerja yang dapat mempengaruhi sikap kerjanya sehari-hari. Untuk menciptakan situasi yang mendukung kepuasan kerja karyawannya, banyak perusahaan berusaha memenuhi kebutuhan karyawan dengan karakteristik yang berbeda-beda, seperti penciptaan suasana komunikasi interpersonal pimpinan dengan karyawan yang baik, kompensasi yang memadai, promosi jabatan serta faktor lainnya. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual artinya setiap individu memiliki tingkatan kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap situasi yang dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi
16
17
kepuasannya terhadap kegiatan tersebut, sebaliknya semakin rendah penilaian individu terhadap pekerjaannya maka semakin rendah kepuasan kerjanya. Beberapa ahli mengemukakan definisi atau pengertian tentang kepuasan kerja, diantaranya yaitu: Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2007:117) : “Kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan yang melibatkan aspek-aspek seperti: gaji/upah yang diterima, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan karyawan lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan”.
Malayu Hasibuan (2007:202) mengemukakan bahwa : “Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan kerja yang baik”.
Moh. As’ad (2004:104) mengemukakan bahwa “Kepuasan kerja yaitu`perasaan seseorang terhadap pekerjaan. Hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya”. Menurut Hani Handoko (2000:193) “Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan mereka”.
18
Stephen Robbins (2008:99) mengemukakan bahwa “Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya”. Veithzal Rivai (2004:475) mengemukakan bahwa “Kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja”. Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu perasaan positif atau negatif dari seorang karyawan berkaitan dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya, sebagai suatu akibat interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya. 2.1.1.2 Teori Kepuasan Kerja Telah disebutkan sebelumnya bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian atau cerminan dari perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini tampak dalam persepsi positif atau negatif seseorang terhadap pekerjaannya. Akan tetapi tingkat kepuasan yang dimiliki oleh masing-masing individu maupun kelompok tersebut berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sistem nilai, tingkat kepuasan, kebutuhan, dan persepsi dari masing-masing pihak. Penelitian mengenai kepuasan kerja ini di dasarkan pada konsep umum kepuasan kerja, bertolak dari teori-teori mengenai kepuasan kerja. Berikut ini adalah beberapa teori yang dikemukakan beberapa ahli mengenai kepuasan kerja. Menurut Wexley dan Yukl (1977) dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior Personnel Psychology yang dikutip oleh Moh. As’ad (2004: 104-111)
19
teori-teori tentang kepuasan kerja, ada tiga macam yang lazim dikenal, yaitu discrepancy theory, equity theory dan two factor theory. 1. Teori Perbedaan (Disrepancy Theory) Menurut Locke (Anwar Prabu, 2007:121) bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan, maka pegawai tersebut menjadi puas. Sebaliknya, apabila yang didapat pegawai lebih rendah daripada yang diharapkan, akan menyebabkan pegawai tidak puas. Variasi
model
lain
ketidaksesuaian
tentang
kepuasan
kerja
dikemukakan oleh Porter (Wexley dan Yukl, 1992:130) yang mendefinisikan kepuasan sebagai selisih dari banyaknya sesuatu yang “seharusnya ada” dengan banyaknya “apa yang ada”. Konsepsi ini pada dasarnya sama dengan model Loyke tetapi pernyataan apa yang seharusnya ada berarti merupakan penekanan lebih banyak terhadap pertimbangan-pertimbangan
yang
adil
dan
kekurangan
atas
kebutuhan-kebutuhan karena determinan dari banyaknya faktor pekerjaan yang lebih disukai. 2.
Teori Keadilan (Equity Theory) Adams (Moh. As’ad, 2004:105) mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori yang dikemukakan Adams ini, komponen utama dalam teori
20
keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor
bernilai
bagi
karyawan
yang
dianggap
mendukung
pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Wexley dan Yukl (Moh As’Ad, 2004:106) mengemukakan bahwa “Input is anything of value that an employee preceives that he contributes to his job”. (Input adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan atas pekerjaan). Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan pada seseorang diperusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan dirinya dimasa lalu. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan. 3.
Teori dua faktor (Two factor Theory) Herzberg (Moh. As’ad , 2004:108) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction) itu merupakan dua
21
hal yang berbeda. Artinya, kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu. Herzberg (As’ad, 2004:108) membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu kelompok satisfiers atau motivator dan kelompok dissatisfiers atau hygiene factors. Satisfiers (motivator) adalah berhubungan dengan aspek-aspek yang terkandung dalam pekerjaan itu sendiri. Jadi berhubungan dengan job content atau disebut juga sebagai aspek intrinsik dalam pekerjaan. Faktor-faktor yang termasuk di sini adalah
:
achievement
(keberhasilan
menyelesaikan
tugas),
recognition
(penghargaan), work it self (pekerjaan itu sendiri), responsibility (tanggung jawab), possibility of growth (kemungkinan untuk mengembangkan diri), advancement (kesempatan untuk maju). Dikatakannya bahwa hadirnya faktorfaktor ini akan memberikan rasa puas bagi karyawan, akan tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan. Dissatisfiers (hygiene factors) adalah faktor yang berada di sekitar pelaksanaan pekerjaan, berhubungan dengan job context atau aspek ekstrinsik pekerjaan, faktor-faktor yang termasuk disini adalah : company policy and administration (peraturan perusahaan dan administrasi), supervision technical (teknik pengawasan), salary (gaji), interpersonal relation (hubungan antar pribadi), working condition (kondisi kerja), job security (keamanan dalam bekerja) dan status (status). Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan kerja karena ini bukan sumber kepuasan kerja.
22
Jadi, menurut teori ini, perbaikan salary dan working conditions tidak akan menimbulkan kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidakpuasan. Selanjutnya dikatakan oleh Herzberg, bahwa yang bisa memacu orang untuk bekerja dengan baik dan bergairah (motivator) hanyalah kelompok satisfiers. Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa terdapat dua sisi yang berbeda dari para ahli dalam mengangkat teori kepuasan kerja. Di satu sisi mengangkat fenomena kepuasan kerja berdasarkan faktor yang menyebabkan kepuasan kerja, namun di sisi lain ada pula yang berpendapat bahwa dapat pula meningkatkan kepuasan kerja, tetapi apabila tidak dapat terpenuhi maka akan dapat menurunkan kepuasan kerja dan tidak akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. 2.1.1.3 Variabel-Variabel Kepuasan Kerja Menurut A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2007:117-119), kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan. 1. Turnover Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover karyawan yang rendah. Sedangkan karyawan-karyawan yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi. 2. Tingkat ketidakhadiran (absen) kerja Karyawan-karyawan yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran (absen) tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang tidak logis dan subjektif. 3. Umur Ada kecenderungan karyawan yang lebih tua merasa puas daripada karyawan yang berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa karyawan yang lebih tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya. Sedangkan karyawan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat
23
kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas. 4. Tingkat Pekerjaan Karyawan-karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih rendah. Karyawan-karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja. 5. Ukuran Organisasi Perusahaan Ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan karyawan. Hal ini karena besar kecil suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi, dan partisipasi karyawan. Veithzal Rivai (2004:479) berpendapat bahwa variabel kepuasan kerja yang biasa digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seseorang adalah : 1. Isi pekerjaan Penampilan tugas yang diberikan serta sebagai kontrol terhadap pekerjaan tersebut. 2. Supervisi Pengawasan yang berkala dan selalu dilakukan oleh atasan agar pekerjaan yang diberikan terlaksana dengan baik. 3. Organisasi dan Manajemen Organisasi dengan manajemen yang baik akan mendukung seorang pegawai agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan dan pada akhirnya akan merasakan kepuasan dalam bekerja. 4. Kesempatan pengembangan karir Seorang pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila perusahaan memberikan kesempatan untuk mengembangkan karirnya demi kemajuan perusahaan. 5. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya, seperti adanya insentif. 6. Rekan kerja Kepuasan kerja akan didapat melalui rekan kerja yang dapat bekerja sama dengan baik agar pekerjaan yang berikan dapat terlaksana dengan baik. 7. Kondisi pekerjaan Kepuasan kerja bisa diperoleh seseorang dengan dukungan kondisi lingkungan pekerjaan yang baik, rekan kerja serta fasilitas pendukung kerja yang memadai.
24
2.1.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Beberapa pakar mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan beberapa aspek diantaranya dijelaskan oleh Marihot T. E Hariandja (2006:291) : 1. Gaji, yaitu jumlah bayaran yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil. 2. Pekerjaan itu sendiri, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memilki elemen yang memuaskan. 3. Rekan kerja, yaitu teman-teman kepada siapa seseorang senantiasa berinteraksi dalam pelaksanaan pekerjaan. Seseorang dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau tidak menyenangkan. 4. Atasan, yaitu seseorang yang senantiasa memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan pekerjaan. Cara-cara atasan dapat tidak menyenangkan bagi seseorang/menyenangkan dan hal ini mempengaruhi kepuasan kerja. 5. Promosi, kemungkinan seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan/tidak, proses kenaikkan jabatan kurang terbuka/terbuka. Ini dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. 6. Lingkungan kerja, yaitu lingkungan fisik dan psikologi.
Menurut Job Descriptive Indeks (JDI) dalam Veithzal Rivai (2004:479) faktor penyebab kepuasan kerja ialah: 1. 2. 3. 4. 5.
Bekerja pada tempat yang tepat; Pembayaran yang sesuai; Organisasi dan manajemen; Supervisi pada pekerjaan yang tepat; Orang yang bekerja pada pekerjaan yang tepat.
Wexley dan Yukl (1992;160) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa aspek pekerjaan, meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Upah/gaji; Kondisi kerja; Pengawasan; Teman kerja; Materi pekerjaan; Jaminan kerja, serta kesempatan untuk maju.
25
Menurut Stephen Robbins (2003:108) ada lima faktor yang kondusif bagi tingkatan kepuasan kerja karyawan yang tinggi, yaitu: 1. Pekerjaan yang secara mental menantang Orang lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka peluang untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan satu varietas tugas, kebebasan dan umpan balik tentang seberapa baiknya mereka melakukan itu. Karakteristik-karakteristik ini membuat pekerjaan menjadi menantang secara mental, serta memberikan peluang untuk meningkatkan kemampuan diri atau mengasah kemampuan yang dimiliki. 2. Imbalan yang wajar Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. 3. Kondisi lingkungan kerja yang mendukung Karyawan merasa prihatin dengan kondisi lingkungan kerja mereka jika menyangkut masalah kenyamanan pribadi maupun masalah kemudahan untuk dapat bekerja dengan baik. Banyak studi yang menunjukan bahwa para karyawan lebih menyukai lingkungan fisik yang tidak berbahaya atau yang nyaman. Selain itu kebanyakan karyawan lebih suka bekerja tidak jauh dari rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dengan alat dan perlengkapan yang memadai. 4. Rekan kerja yang suportif Dari bekerja orang mendapatkan lebih dari sekedar uang atau prestasiprestasi yang berwujud, bagi sebagian karyawan kerja juga dapat mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak heran jika seorang karyawan memiliki rekan kerja yang suportif dan bersahabat dapat meningkatkan kepuasan kerja mereka. 5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan Pada hakikatnya orang yang memiliki tipe kepribadian kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih, seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini ia menyenangi pekerjaan yang digelutinya, sehingga dapat mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam pekerjaan mereka.
26
Menurut Moh. As’ad dalam bukunya psikologi industri (2004:115), faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: 1. Faktor psikologi, meliputi: ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, minat, bakat dan keterampilan. 2. Faktor sosial, meliputi: interaksi sosial yang baik dengan atasan dan sesama karyawan juga dengan karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. 3. Faktor fisik, meliputi: jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan dan pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur. 4. Faktor finansial, meliputi: jaminan sosial, macam-macam tunjangan, sistem dan besarnya gaji serta fasilitas yang diberikan, promosi jabatan. Berdasarkan pemaparan beberapa ahli di atas menunjukkan bahwa kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor terutama terkait dengan pekerjaan itu sendiri yaitu meliputi kompensasi yang diberikan, hubungan dengan atasan, rekan kerja, lingkungan kerja, aturan-aturan yang berlaku, dan kesesuaian pekerjaan dengan keterampilan yang dimiliki. Dimana dalam hal ini aspek masing-masing individu yang terkait dalam diri pegawai (kebutuhan) yang terpenuhi, dapat memberikan kepuasan tersendiri.
2.1.2 Konsep Disiplin Kerja 2.1.2.1 Pengertian Disiplin Kerja Kondisi yang diharapkan dalam setiap organisasi pada unsur manusia di dalamnya, diantaranya yaitu kesadaran untuk mentaati peraturan serta tata tertib yang diberlakukan. Kesadaran untuk mematuhi tata tertib tersebut harus benarbenar melekat pada anggota organisasi tersebut, hal ini bertujuan agar kegiatan operasional organisasi dapat berjalan dengan lancar, karena mematuhi peraturan
27
berarti memberi dukungan positif pada organisasi dalam melaksanakan programprogram yang telah ditetapkan. Keberhasilan suatu organisasi/lembaga atau unit kerja dalam mencapai tujuannya, sebenarnya banyak ditentukan oleh sikap mental dan tingkat disiplin faktor manusianya. Sarana, prasarana atau fasilitas, tidak akan berpengaruh banyak jika tidak didukung oleh sikap mental dan kesungguhan faktor manusia yang berada dalam organisasi tersebut dalam melaksanakan disiplin kerja yang telah digariskan, karena kunci penggeraknya terletak pada bagaimana unsur ini menjalankan fungsi dan tugasnya. Dengan disiplin yang baik dapat diharapkan pekerjaan akan dilakukan seefektif dan seefisien mungkin, sehingga akan mempercepat pencapaian tujuan perusahaan. Sebaliknya, jika disiplin rendah maka kemungkinan tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat tercapai atau dapat dicapai tetapi kurang efektif dan efisien sehingga akan jadi penghalang dan memperlambat pencapaian tujuan perusahaan. Menurut Henry Simamora (2004:610) : “Disiplin adalah prosedur yang mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur. Disiplin merupakan pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja di dalam sebuah organisasi. Tindakan disipliner menuntut suatu hukuman terhadap karyawan yang gagal memenuhi standar yang ditetapkan. Tindakan disipliner yang efektif terpusat pada perilaku karyawan yang salah, bukan pada diri karyawan sebagai pribadi”. Disiplin menurut Bedjo Siswanto S (2005:291) adalah : “Suatu sikap menghormati, menghargai, patuh, dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya” .
28
Veithzal Rivai (2004:444) mengemukakan bahwa : “Disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan normanorma sosial yang berlaku”. Menurut Malayu Hasibuan (2007:193) berpendapat bahwa : “Kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan harus ditegakkan dalam suatu organisasi perusahaan. Tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. Jadi, kedisiplinan adalah kunci keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya.” Sondang P. Siagian (2005:305) juga berpendapat bahwa : “Pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku pegawai sehingga para pegawai tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan pegawai yang lainnya”. Berdasarkan pengertian-pengertian tentang kedisiplinan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedisiplinan adalah suatu hal yang berhubungan dengan sikap mental yang direfleksikan dalam perbuatan individu maupun kelompok yang berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan-peraturan yang ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis, guna mempertegas acuan dan pedoman perusahaan. 2.1.2.2 Maksud dan Tujuan Disiplin Kerja Hani Handoko (2001:209) berpendapat bahwa “Maksud pendisiplinan adalah untuk memperbaiki kegiatan di waktu yang akan datang bukan menghukum kegiatan di masa lalu. Sedangkan sasaran-sasaran tindakan pendisiplinan hendaknya positif, bersifat mendidik dan mengoreksi, bukan
29
tindakan negatif yang menjatuhkan karyawan yang berbuat salah”. Tindakan negatif ini biasanya mempunyai berbagai pengaruh sampingan yang merugikan seperti hubungan emosional terganggu, absensi meningkat, apatis atau kelesuan, dan ketakutan pada penyelia. Menurut Henry Simamora (2004:611), tujuan utama tindakan disipliner adalah: 1. Untuk memastikan bahwa perilaku karyawan konsisten dengan aturan perusahaan. 2. Untuk menumbuhkan atau mempertahankan rasa hormat dan saling percaya di antara penyelia dan bawahannya. 3. Untuk membantu karyawan supaya menjadi lebih produktif, dengan demikian menguntungkannya dalam jangka panjang. Menurut Bedjo Siswanto Sastrohadiwiryo (2005:292), tujuan disiplin kerja terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu: 1. Tujuan umum disiplin kerja adalah demi kelangsungan perusahaan sesuai dengan motif perusahaan. yang bersangkutan, baik hari ini maupun hari esok. 2. Tujuan khusus disiplin kerja a. Agar para tenaga kerja menepati segala peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan maupun peraturan dan kebijakan perusahaan yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, serta melaksanakan perintah manajemen. b. Dapat melaksanakan pekerjaan sebaik-baiknya serta mampu memberikan servis yang maksimum kepada pihak tertentu yang berkepentingan dengan perusahaan sesuai dengan bidang pekerjaan yang diberikan kepadanya. c. Dapat menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana barang dan jasa perusahaan dengan sebaik-baiknya. d. Dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada perusahaan. e. Tenaga kerja mampu memperoleh tingkat produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin bukan hanya bertujuan agar tata tertib dan peraturan dapat dijalankan sesuai dengan
30
prosedur yang telah ditetapkan, namun juga memiliki tujuan yaitu dengan prosedur kerja yang ditaati dan dipatuhi dengan sebaik-baiknya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan, karena mematuhi peraturan berarti memberikan dukungan positif terhadap program-program dalam usaha mencapai tujuan perusahaan. 2.1.2.3 Sumber dan Jenis Masalah Disiplin Kerja Banyak faktor yang menyebabkan karyawan tidak disiplin, sebagaimana yang diungkapkan oleh Henry Simamora (2004:612) mengemukakan gambaran mengenai sumber dan jenis masalah disiplin karyawan yang dapat berasal dari organisasi dan individual, yaitu: Sebab-Sebab Organisasional 1. Rekrutmen dan seleksi yang buruk 2. Pelatihan dan pengembangan yang tidak memadai 3. Kurangnya komunikasi 4. Supervisi yang lemah 5. Kebijakan dan peraturan yang tidak masuk akal
Sebab-Sebab Individual 1. Pemakaian alkohol dan obatan 2. Kesulitan keuangan 3. Masalah rumah tangga 4. Penyakit fisik/mental 5. Tindak-tanduk pribadi
Jenis-Jenis Masalah Karyawan 1. Ketidakhadiran dan keterlambatan 2. Bahasa yang menghina dan cabul 3. Sikap buruk dan tidak loyal 4. Kecerobohan dan kelalaian 5. Ketidakjujuran dan pencurian 6. Pembangkangan perintah atasan 7. Perkelahian 8. Pelanggaran peraturan perusahaan 9. Kinerja yang buruk 10. Perlambatan kerja Gambar 2. 1 Sumber dan Jenis Masalah Karyawan
obat-
31
2.1.2.4 Indikator Disiplin Kerja Menurut H. Malayu Hasibuan (2007:194) pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan seorang pegawai, di antaranya : 1. Tujuan dan kemampuan Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa tujuan (pekerjaan) yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan kemampuan karyawan bersangkutan, agar dia bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya. 2. Teladan pimpinan Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan, karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai kata dengan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahan pun akan baik. Jika teladan pimpinan kurang baik (kurang berdisiplin), para bawahan pun akan kurang disiplin. 3. Balas jasa Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan pekerjaannya. Jika kecintaan karyawan semakin baik terhadap pekerjaan, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula. Balas jasa berperan penting untuk menciptakan kedisiplinan karyawan. Artinya semakin besar balas jasa, semakin baik kedisiplinan karyawan. Sebaliknya, apabila balas jasa kecil, kedisiplinan karyawan menjadi rendah. Karyawan sulit untuk berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak terpenuhi dengan baik. 4. Keadilan Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting, dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Keadilan yang dijadikan dasar kebijaksanaan dalam pemberian balas jasa (pengakuan) atau hukuman, akan merangsang terciptanya kedisiplinan karyawan yang baik. Manajer yang cakap dalam memimpin selalu berusaha bersikap adil terhadap semua bawahannya. Dengan keadilan yang baik, akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula. Jadi, keadilan harus diterapkan dengan baik pada setiap perusahaan agar kedisiplinan karyawan perusahaan baik pula. 5. Waskat Waskat (pengawasan melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral,
32
sikap, gairah kerja, dan prestasi kerja bawahannya. Hal ini berarti atasan harus selau hadir di tempat kerja agar dapat mengawasi dan memberikan petunjuk jika ada bawahannya yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Waskat efektif merangsang kedisiplinan dan moral kerja karyawan. Karyawan merasa mendapat perhatian, bimbingan, petunjuk, pengarahan dan pengawasan dari atasannya. 6. Sanksi hukuman Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut melanggar peraturan perusahaan, sikap, dan perilaku indisipliner karyawan akan berkurang. 7. Ketegasan Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan karyawan perusahaan. Pimpinan harus berani dan tegas bertindak untuk menghukum setiap karyawan yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan. Pimpinan yang berani menindak tegas menerapkan hukuman bagi karyawan yang indisipliner akan disegani dan diakui kepemimpinannya oleh bawahannya. Dengan demikian, pimpinan akan memelihara kedisiplinan karyawan perusahaan. 8. Hubungan kemanusiaan Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Hubunganhubungan baik bersifat vertikal maupun horizontal yang terdiri dari Direct Single Relationship, Direct Group Relationship, dan Cross Relationship hendaknya berjalan harmonis. Manajer harus berusaha menciptakan suasana kemanusiaan yang serasi serta memikat, baik secara vertikal maupun horizontal diantara semua karyawannya. Terciptanya Human Relationship yang serasi akan mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang nyaman. Hal ini akan memotivasi kedisiplinan yang baik pada perusahaan. Jadi, kedisiplinan karyawan akan tercipta apabila hubungan kemanusiaan dalam organisasi tersebut baik. Faktor-faktor atau indikator yang mempengaruhi kedisiplinan menurut Gouzali Saydam (2005:291) sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Besar kecilnya pemberian kompensasi. Ada tidaknya keteladanan pemimpin dalam perusahaan/organisasi. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan. Keberanian pemimpin dalam mengambil keputusan. Ada tidaknya pengawasan pemimpin. Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin.
33
Bedjo Siswanto (2005:291) berpendapat bahwa faktor-faktor dari disiplin kerja itu ada 5 yaitu : 1. Frekuensi Kehadiran, salah satu tolak ukur untuk mengetahui tingkat kedisiplinan pegawai. Semakin tinggi frekuensi kehadirannya atau rendahnya tingkat kemangkiran maka pegawai tersebut telah memliki disiplin kerja yang tinggi. 2. Tingkat Kewaspadaan, pegawai yang dalam melaksanakan pekerjaannya selalu penuh perhitungan dan ketelitian memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi terhadap dirinya maupun pekerjaannya. 3. Ketaatan Pada Standar Kerja, dalam melaksanakan pekerjaannya pegawai diharuskan menaati semua standar kerja yang telah ditetapkan sesuai dengan aturan dan pedoman kerja agar kecelakaan kerja tidak terjadi atau dapat dihindari. 4. Ketaatan Pada Peraturan Kerja, dimaksudkan demi kenyamanan dan kelancaran dalam bekerja. 5. Etika Kerja, diperlukan oleh setiap pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya agar tercipta suasana harmonis, saling menghargai antar sesama pegawai. Veithzal Rivai (2005: 444) menjelaskan bahwa, disiplin kerja memiliki beberapa komponen seperti : 1. Kehadiran. Hal ini menjadi indikator yang mendasar untuk mengukur kedisiplinan, dan biasanya karyawan yang memiliki disiplin kerja rendah terbiasa untuk terlambat dalam bekerja. 2. Ketaatan pada peraturan kerja. Karyawan yang taat pada peraturan kerja tidak akan melalaikan prosedur kerja dan akan selalu mengikuti pedoman kerja yang ditetapkan oleh perusahaan. 3. Ketaatan pada standar kerja. Hal ini dapat dilihat melalui besarnya tanggung jawab karyawan terhadap tugas yang diamanahkan kepadanya. 4. Tingkat kewaspadaan tinggi. Karyawan memiliki kewaspadaan tinggi akan selalu berhati-hati, penuh perhitungan dan ketelitian dalam bekerja, serta selalu menggunakan sesuatu secara efektif dan efisien. 5. Bekerja etis. Beberapa karyawan mungkin melakukan tindakan yang tidak sopan ke pelanggan atau terlibat dalam tindakan yang tidak pantas. Hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan indisipliner, sehingga bekerja etis sebagai salah satu wujud dari disiplin kerja karyawan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Kedisiplinan berkaitan dengan sikap dan perilaku seorang yang selalu datang dan pulang tepat waktu,
34
mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma sosial yang berlaku sehingga tujuan yang telah ditetapkan tercapai. 2.1.2.5 Bentuk-bentuk Disiplin Kerja Dalam penyelenggaraan penegakan disiplin dari karyawan maka suatu organisasi perusahaan perlu menggunakan hak-haknya untuk menegakan disiplin. Bentuk-bentuk
pendisiplinan
tersebut
dapat
berupa
penegakan
hukum,
pendisiplinan dalam usaha mengoreksi perilaku yang tidak tepat, melakukan pelatihan disiplin dasar seperti pelatihan disiplin melalui pelatihan fisik atau melalui pelatihan mental dan spiritual, atau dengan melindungi hak-hak pegawai selama tindakan-tindakan disipliner diberlakukan. Bentuk-bentuk kedisiplinan menurut Henry Simamora (2004:611) ada 3 yaitu: 1. Disiplin Manajerial (Managerial Discipline), dimana segala sesuatu tergantung pada pemimpin, dari permulaan hingga akhir. 2. Disiplin Tim (Team Discipline), dimana kesempurnaan kinerja bermuara dari ketergantungan satu sama lain dan ketergantungan ini berkecambah dari suatu komitmen setiap anggota terhadap seluruh organisasi. 3. Disiplin Diri (Self Discipline), dimana pelaksana tunggal sepenuhnya tergantung pada pelatihan, ketangkasan, dan kendali diri. Sedangkan menurut Veithzal Rivai (2004: 444) adalah sebagai berikut : 1. Disiplin Retributif (Retributive Discipline), yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah. 2. Disiplin Korektif (Corrective Discipline), yaitu berusaha membantu karyawan mengkoreksi perilakunya yang tidak tepat. 3. Perspektif Hak-hak Individu (Individual Rights Perspective), yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
35
4. Perspektif Utilitarian (Utilitarian Perspetive), yaitu berfokus kepada penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya. Berdasarkan penjabaran bentuk-bentuk disiplin, maka perspektif disiplin pegawai dapat digambarkan dalam tabel berikut : Tabel 2. 1 Perspektif Disiplin Pegawai Perspektif
Definisi
Tujuan Akhir
Para pengambil keputusan mendisiplinkan dengan cara Retributif
yang
proporsional
terhadap
sasaran.
Dengan
tidak
Menghukum si
melakukan hal seperti itu akan dianggap tidak adil oleh
pelanggar
orang-orang yang bertindak secara tidak tepat.
Pelanggaran-pelanggaran harus Korektif
diperlakukan
terhadap
sebagai
peraturan-peraturan
masalah-masalah
yang
dikoreksi daripada sebagai pelanggaran- pelanggaran yang mesti dihukum. Hukuman akan lunak sebatas pelanggaran menunjukkan kemauan untuk mengubah perilakunya.
Hak-hak individual
hukuman.
Hak-hak
karyawan
lebih
tergantung
pada
diutamakan daripada tindakan disiplin.
Tingkat
tindakan
disiplin
diambil
bagaimana disiplin itu akan mempengaruhi produktivitas Utilitarian
dan probabilitas. Biaya penggantian karyawan dan konsekuensi-konsekuensi memperkenankan perilaku yang tidak
wajar
perlu
dipertimbangkan.
Karena
karyawan
mengoreksi yang
perilaku
tidak
diterima
dapat
sehingga
dia
dapat terus dikaryakan oleh perusahaan
Disiplin hanya tepat jika terdapat alasan yang adil untuk menjatuhkan
Membantu
biaya
penggantian karyawan kian melambung, maka kerasnya
Melindungi hak-hak individu
Memastikan bahwa faedah-faedah tindakan disiplin melebihi konsekuensikonsekuensi negatifnya.
36
disiplin hendaknya semakin menurun. Karena konsekuensi membiarkan perilaku yang tidak terpuji terus meningkat, maka demikian pula kerasnya hukum.
Sumber : (Veithzal Rivai, 2004: 445)
Berdasarkan bentuk-bentuk pendisiplinan yang dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk pendisiplinan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pendisiplinan yang dimulai dari ruang lingkup yang lebih besar sampai ruang lingkup perorangan atau dilihat dari cara yang ditempuh dalam rangka pendisiplinan terhadap pelanggaran.
2.1.2.6 Sanksi Pelanggaran Disiplin Kerja Pelanggaran kerja adalah setiap ucapan, tulisan, perbuatan seorang pegawai yang melanggar peraturan disiplin yang telah diatur oleh pimpinan organisasi (Veithzal Rivai, 2004:450), sedangkan sanksi pelanggaran kerja adalah hukuman disiplin yang dijatuhkan pimpinan organisasi kepada pegawai yang melanggar peraturan disiplin yang telah diatur pimpinan organisasi. Menurut Veithzal Rivai (2004:450) ada beberapa tingkat dan jenis pelanggaran kerja yang umumnya berlaku dalam suatu organisasi yaitu: 1. Sanksi pelanggaran ringan, dengan jenis: teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis. 2. Sanksi pelanggaran sedang, dengan jenis: penundaan kenaikan gaji, penurunan gaji, penundaan kenaikan pangkat. 3. Sanksi pelanggaran berat, dengan jenis: penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, pemberhentian, pemecatan.
37
Seperti yang dikemukakan oleh A. Anwar Prabu Mangkunegara (2002:131), pelaksanaan sanksi terhadap pelanggar disiplin dengan memberikan peringatan, pemberian sanksi harus segera, konsisten, dan impersonal. 1.
2.
3.
4.
Pemberian Peringatan. Jenis sanksi hukuman untuk pelanggaran ringan biasanya dimulai dengan memberikan teguran lisan hingga teguran tertulis. Pegawai yang melanggar disiplin perlu diberikan surat peringatan yang bertujuan agar pegawai yang bersangkutan menyadari pelanggaran yang telah dilakukan, disamping itu surat peringatan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian pegawai. Pemberian Sanksi Harus Segera. Pegawai yang melanggar disiplin harus segera diberi sanksi yang sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku. Tujuannya agar pegawai yang bersangkutan memahami sanksi pelanggaran yang berlaku di organisasi. Kelalaian pemberian sanksi akan memperlemah disiplin yang ada dan memberi peluang pelanggar untuk mengabaikan disiplin organisasi. Pemberian Sanksi Harus Konsisten. Pemberian sanksi kepada pegawai yang tidak disiplin harus konsisten. Ketidakkonsistenan pemberian sanksi dapat mengakibatkan pegawai merasakan adanya diskriminasi pegawai, ringannya sanksi dan pengabaian disiplin. Pemberian Sanksi Harus Impersonal. Pemberian sanksi pelanggaran disiplin tidak membedakan golongan, tetap diberlakukan sama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuannya agar pegawai menyadari bahwa disiplin organisasi untuk semua pegawai dengan sanksi pelanggaran yang sesuai dengan peraturan organisasi.
Adapun yang diungkapkan oleh Bedjo Siswanto Sastrohadiwiryo (2005:293), tingkat dan jenis sanksi disiplin kerja terdiri dari: 1. Sanksi disiplin berat, misalnya: a. Demosi jabatan yang setingkat lebih rendah dari jabatan atau pekerjaan yang diberikan sebelumnya. b. Pembebasan dari jabatan atau pekerjaan untuk dijadikan sebagai tenaga kerja biasa bagi yang memegang jabatan. c. Pemutusan hubungan kerja dengan hormat atas permintaan sendiri tenaga kerja yang bersangkutan. d. Pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat sebagai tenaga kerja di perusahaan. 2. Sanksi disiplin sedang, misalnya: a. Penundaan pemberian kompensasi yang sebelumnya telah dirancangkan sebagaimana tenaga kerja lainnya.
38
b. Penurunan upah sebesar satu kali upah yang biasanya diberikan, harian, mingguan, atau bulanan. c. Penundaan program promosi bagi tenaga kerja yang bersangkutan pada jabatan yang lebih tinggi. 3. Sanksi disiplin ringan, misalnya: a. Teguran lisan kepada tenaga kerja yang bersangkutan. b. Teguran tertulis. c. Pernyataan tidak puas secara tertulis. Selain itu pula, pemberian sanksi harus disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Henry Simamora (2004:621), yaitu : Pelanggaran-pelanggaran yang membutuhkan pertama, sebuah peringatan lisan; kedua, sebuah peringatan tertulis; dan ketiga, terminasi: 1. Kelalaian dalam menunaikan tugas. 2. Ketidakhadiran kerja tanpa izin. 3. Inefisiensi dalam pelaksanaan pekerjaan. Pelanggaran-pelanggaran yang membutuhkan sebuah peringatan tertulis, dan selanjutnya terminasi: 1. Tidak berada di tempat kerja. 2. Kegagalan melapor kerja satu atau dua hari berturut-turut tanpa adanya pemberitahuan. 3. Kecerobohan dalam pemakaian properti perusahaan. Pelanggaran-pelanggaran yang langsung membutuhkan pemecatan: 1. Pencurian di tempat kerja. 2. Perkelahian di tempat kerja. 3. Pemalsuan kartu jam hadir kerja. 4. Kegagalan melapor kerja tiga hari berturut-turut tanpa adanya pemberitahuan. Gambar 2. 2 Pedoman yang Dianjurkan untuk Tindakan Disipliner Pada dasarnya penerapan sanksi sebaiknya diatur dengan menampung masukan dari pegawai dengan maksud keikutsertaan mereka dalam penyusunan sanksi yang akan diberikan sedikit banyaknya akan mempengaruhi serta mengurangi ketidakdisiplinan tersebut, selain itu pemberian sanksi disiplin harus berorientasi pada pemberian latihan atau sifatnya pembinaan bukan bertujuan
39
untuk menghukum agar para pegawai tidak melakukan kesalahan yang sama dimasa datang. 2.2 Kajian Empirik Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian ini tidak akan lepas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian terdahulu dapat berfungsi sebagai referensi untuk penelitian yang sedang disusun. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang ditemukan: Tabel 2. 2 Kajian Empirik Hasil Penelitian Terdahulu No 1
Judul Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan divisi produksi pada PT. Mitra Global Prima.
UPI 2011.
Nama Evie Mayasari 0707483
Prodi Metode Manajemen Penelitian deskriptif survey
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja divisi produksi pada PT. Mitra Global Prima berada pada kategori cukup puas. Kinerja karyawan berada pada kategori tinggi. Kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan hubungan yang cukup kuat antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan.
Persamaan Variabel Independen: kepuasan kerja
40
2
Pengaruh kepuasan kerja terhadap prestasi kerja karyawan di PT. Mutiara Qolbun Saliim Bandung.
Kiki Kurniati Rizki 994463
UPI 2007.
3
Pengaruh kepuasan kerja dan motivasi terhadap kinerja karyawan bagian produksi Garsel Shoes.
UPI 2011.
Putu Mariana Juliantari 060254
Pend. Manajemen Perkantoran
Metode deskriptif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja di PT. MQS tergolong tingkat sedang pada kategori tinggi. Prestasi kerja masih tergolong rendah namun telah berada pada kategori tinggi. Menurut analisis diketahui besarnya pengaruh kepuasan kerja terhadap prestasi kerja tergolong kuat. Hal ini terlihat dari hasil perhitungan dimana koefisien korelasi sebesar 0,728 dengan koefisien determinasi 52,9%. Manajemen Penelitian Adanya explanatory pengaruh yang survey positif dari motivasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan bagian produksi Garsel Shoes. Berdasarkan perhitungan menggunakan koefisien korelasi pengaruh dari kepuasan kerja
Variabel Independen: kepuasan kerja
Variabel Independen: kepuasan kerja
41
dan motivasi terhadap kinerja karyawan dikategorikan sedang. 4
Pengaruh kepuasan kerja terhadap motivasi kerja pegawai pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung.
Riki Risdianto 032740
Manajemen
Nonince Irianti 020007
Pendidikan Manajemen Perkantoran
Penelitian deskriptif
UPI 2008.
5
Pengaruh pengendalian kerja terhadap disiplin kerja pegawai pada Ajendam III Siliwangi Bandung. UPI 2007.
Penelitian deskriptif
Hasil penelitian menunjukkan tingkat kepuasan kerja pegawai pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung berada pada kategori puas. Tingkat motivasi pegawai berada pada klasifikasi tinggi. Kepuasan kerja pegawai berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja pegawai. Koefisien yang diperoleh menunjukkan korelasi yang sedang antara kepuasan kerja dengan motivasi kerja. Gambaran pengendalian kerja yang dicerminkan oleh pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung pada Ajendam III Siliwangi dapat dikatakan
Variabel Independen: kepuasan kerja
Variabel Dependen: disiplin kerja
42
6
Pengaruh gaya kepemimpina n terhadap disiplin pegawai pada Dinas Perkebunan Jawa Barat. UPI 2008.
Jerry Rahmat 033918
Manajemen
Penelitian deskriptif dan verifikatif
cukup tinggi. Disiplin kerja yang dicerminkan oleh frekuensi kehadiran, tingkat kewaspadaan, ketaatan pada standar kerja, ketaatan pada peraturan kerja, serta etika kerja dapat dikatakan cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa pengendalian kerja dapat berpengaruh terhadap disiplin kerja pegawai dengan pengaruh 13,7%. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran penerapan gaya kepemimpinan oleh Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat berada pada kategori baik. Sedangkan gambaran disiplin kerja berada pada kategori tinggi. Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap disiplin
Variabel Dependen: disiplin kerja
43
7
Pengaruh pengawasan terhadap disiplin kerja karyawan pada PT. PLN (Persero) Jasa dan Produksi Unit Produksi Citarum. UPI 2011.
Erliana 055634
Manajemen
Penelitian deskriptif dan verifikatif
kerja pegawai mempunyai pengaruh yang signifikan dengan pengaruh 44,5% dan menunjukkan tingkat korelasi yang kuat yaitu 0,667. Gambaran pengawasan berdasarkan persepsi responden terhadap tiga dimensi yaitu: standar produktivitas, standar pengembangan karyawan, dan standar etika karyawan termasuk dalam kategori tinggi. Disiplin kerja karyawan berdasarkan persepsi responden termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hasil pengawasan mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap disiplin kerja karyawan PT. PLN (Persero) Jasa dan
Variabel Dependen: disiplin kerja
44
Produksi Unit Produksi Citarum dengan koefisien determinasi 16,4% Sumber : Perpustakaan UPI
2.3 Kerangka Pemikiran Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah untuk melihat kepuasan kerja yang diduga mempengaruhi disiplin kerja pegawai. Asumsi dasarnya adalah bahwa makin kuat kepuasan kerja maka makin kuat pula dorongan pegawai untuk berdisiplin. Berdasarkan hal tersebut terdapat dua konsep utama yang memerlukan penjelasan dan akan diukur melalui variabel-variabel penelitian yang disandarkan kepada teori-teori yang melandasinya. Konsep tersebut adalah kepuasan kerja dan disiplin kerja. Teori utama (grand theory) yang dijadikan dasar dalam penelitian ini adalah teori perspektif psikologis. Teori ini merupakan sintesis dari berbagai pandangan ilmiah yang berkaitan dengan psikologi tingkah laku dan psikologi kognitif. Pemilihan pendekatan kognitif ini ditentukan mengingat pembahasan dalam penelitian ini adalah tinjauan mengenai organisasi pemerintah yang dikategorikan sebagai organisasi publik, dimana manusia berperan sangat menentukan. Persoalan manusia sangat erat dengan pengalaman, pembelajaran, kepribadian, pemahaman serta motivasi, yang kesemuanya merupakan aspek kognitif. Teori kognitif mendasarkan paradigmanya pada sebuah rangkaian (sistem) yang terjadi pada diri manusia, dimulai adanya dorongan psikologis
45
dalam bentuk interpretasi atas gejala yang datang dilanjutkan dengan proses pemahaman untuk memperoleh jawaban, dan diikuti selanjutnya dengan respon. Mengutip pendapat Miftah Toha (1998:42) dalam artikel yang ditulis oleh Hj. Ii Halilah di jurnal manajerial (Vol. 5 No. 10, Januari 2007 Hal 84), teori kognitif dirumuskan sebagai berikut: “Bahwa perilaku seseorang itu disebabkan adanya suatu rangsangan (stimulus) dalam bentuk suatu objek fisik yang mempengaruhi orang dalam banyak cara. Teori ini mencoba untuk melihat apa yang terjadi diantara stimulus dengan jawaban seseorang terhadap rangsangan tersebut. Jelasnya bagaimana rangsangan tersebut diproses dalam diri seseorang”. Dalam proses tersebut terlibat didalamnya aspek-aspek personal, seperti pengalaman, kepribadian dan pengetahuan. Semakin besar penguasaan aspekaspek tersebut maka akan dapat diperoleh interpretasi dan pemahaman yang memiliki makna dan bobot lebih baik. Proses kognisi dapat digambarkan dalam proses keterhubungan yang terjadi seperti pada gambar 2.3: Gambar 2. 3 Pola Hubungan Kognisi Stimulus
Cognition
Respons
Kepuasan Kerja
Perilaku Individu
Disiplin Kerja
Sumber : Miftah Toha (1998:43) Luthans (1998:23) melalui kajiannya mengenai perilaku organisasi, mengatakan bahwa panduan untuk mempelajari perilaku didalam organisasi adalah dengan menggunakan pendekatan stimulus response. Model ini kemudian dikembangkan Luthans menjadi S O B C (Stimulus Organisme Behavior
46
Consequences) dengan asumsi yang sama dengan model S O R. Kelebihan yang diberikan model S O B C adalah adanya consequences yang menunjukkan orientasi yang akan dicapai melalui perilaku kerja. Setiap perilaku diarahkan kepada peningkatan produktivitas atau efektivitas organisasi. Disiplin kerja pegawai sebagai respon dari model S O R merupakan fokus kajian dari penelitian ini. Disiplin sangat penting dalam rangka usaha untuk menjamin terpeliharanya tata tertib, kelancaran pelaksanaan serta berjalannya organisasi secara efektif. Oleh karena itu setiap organisasi perlu menanamkan masalah kedisiplinan ini karena akan berdampak pada efektivitas kerja organisasi. Disiplin kerja merupakan sesuatu hal yang datang dari dalam diri pegawai yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kedisiplinan dari dalam diri seseorang (internal) adalah kepuasan kerja. Artinya, ketika seorang pegawai merasa puas dalam bekerja, maka disiplin kerja pun akan semakin baik, sebaliknya jika seorang pegawai merasa tidak puas dalam bekerja, maka pegawai tersebut cenderung melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan kedisiplinan. Perilaku seperti mangkir, pulang kerja lebih awal, malas, dan perilaku lain yang menjurus ke arah negatif akan \rentan terjadi terhadap pegawai yang memiliki tingkat kedisiplinan rendah. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa ahli berikut ini. Herzberg dalam bukunya The Motivation to Work yang dikutip Muhaimin (2004:3) mengemukakan bahwa: “Ciri perilaku pekerja yang puas adalah mereka mempunyai motivasi untuk bekerja yang tinggi, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas berangkat ke tempat bekerja dan malas dengan pekerjaan dan
47
tidak puas. Tingkah laku karyawan yang malas tentunya akan menimbulkan masalah bagi perusahaan berupa tingkat absensi yang tinggi, keterlambatan kerja dan pelanggaran disiplin yang lainnya, sebaliknya tingkah laku karyawan yang merasa puas akan lebih menguntungkan bagi perusahaan, karena secara sadar atau tidak sadar karyawan akan meminimalisir perilaku indisipliner”.
Alex Nitisemito (2004:9) mengemukakan bahwa: “Dari beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya perilaku disiplin kerja, kesejahteraan merupakan faktor yang dapat dipenuhi oleh pihak perusahaan terhadap karyawannya, yang selanjutnya akan memberikan kepuasan dan kecintaannya terhadap perusahaan atau pekerjaannya. Jika kecintaan pekerja semakin baik terhadap pekerjaannya, maka disiplin itu perlu imbang, yaitu salah satunya adalah tingkat kesejahteraan yang dimaksud, apabila kebutuhan tersebut telah terpenuhi mereka dapat hidup layak, dengan kelayakan hidup ini mereka akan lebih tenang dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan dengan kesejahteraan tersebut diharapkan mereka akan lebih berdisiplin. Kesejahteraan ini merupakan salah satu contoh saja di antara beberapa aspek yang berkaitan dengan disiplin kerja. Begitu pula sebaliknya, apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi mereka kurang dapat hidup dengan layak, sehingga mereka menjadi kurang tenang dalam melaksanakan tugas-tugasnya, yang pada akhirnya akan mengurangi kecintaannya terhadap perusahaan dan pada gilirannya akan terjadi pelanggaran-pelanggaran peraturan oleh para karyawan atau tindakan-tindakan tidak disiplin, dengan kata lain kedisiplinan karyawan menjadi buruk”. Kesejahteraan diri dalam bekerja
Kepuasan kerja
Kecintaan pada perusahaan dan kesadaran untuk disiplin
Gambar 2. 4 Pola Hubungan Kepuasan Kerja dengan Disiplin Kerja Sumber : Alex Nitisemito (2004:9) Kepuasan kerja akan muncul jika terdapat faktor yang mempengaruhinya, faktor tersebut dapat diperoleh dari dalam pekerjaan maupun dalam diri individu. Gilmer (Moh As'ad, 2004:114) menyebutkan ‘faktor-faktor yang mempengaruhi
48
kepuasan kerja adalah kesempatan untuk maju, keamanan kerja, gaji, perusahaan dan manajemen, pengawasan (supervisi), faktor intrinsik dan pekerjaan, kondisi kerja, aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, dan fasilitas’. Pendapat lain menurut Robbins (2006:103) bahwa “faktor-faktor yang umumnya disertakan adalah suasana pekerjaan, pengawasan, tingkat upah saat ini, peluang promosi, dan hubungan dengan mitra kerja”. Selain itu, hasil penelitian Herzberg (Fraser, 1992:46) menyatakan bahwa ‘faktor yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan kemajuan’. Sementara itu, Hariandja (2002:291) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: gaji, pekerjaan itu sendiri, rekan sekerja, atasan, promosi, dan lingkungan kerja. Luthan (2006:244) juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (1) pekerjaan itu sendiri, (2) gaji, (3) promosi, (4) pengawasan, (5) kelompok kerja, (6) kondisi kerja. Malayu Hasibuan (2005:203) menyatakan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi faktor-faktor yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Balas jasa yang adil dan layak Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian Berat ringannya pekerjaan Suasana dan lingkungan pekerjaan Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya Sifat pekerjaan monoton atau tidak
Husnan
dan
Heidjrachman
(2008:184)
membagi
faktor
yang
mempengaruhi kepuasan seseorang yaitu kebutuhan psikologis dasar, kebutuhan sosial dan kebutuhan egoistik. Kebutuhan psikologis dasar “menyangkut
49
pemuasan kebutuhan pisik atau biologis seperti makan, minum, tempat tinggal dan yang sejenis”. Selanjutnya yaitu kebutuhan sosial sebagai kebutuhan yang hanya bisa dipuaskan apabila masing-masing individu ditolong atau diakui oleh orang lain. Yang terakhir yaitu kebutuhan egoistik yaitu keinginan manusia untuk melakukan keinginannya dan mencapai keinginan tersebet. Senada dengan Husnan dan Heidjrachman, Moh. As’ad dalam bukunya psikologi industri (2004:115), memberikan rangkuman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: 1. Faktor psikologi, meliputi: ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, minat, bakat dan keterampilan. 2. Faktor sosial, meliputi: interaksi sosial yang baik dengan atasan dan sesama karyawan juga dengan karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. 3. Faktor fisik, meliputi: jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan dan pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur. 4. Faktor finansial, meliputi: jaminan sosial, macam-macam tunjangan, sistem dan besarnya gaji serta fasilitas yang diberikan, promosi jabatan.
Abdurrahman Fathoni (2006:175) mengungkapkan “Kepuasan kerja karyawan merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan, prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan”. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pendapat Malayu S.P Hasibuan (2007:203) : “Kepuasan kerja sangat mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan, artinya jika kepuasan diperoleh dari pekerjaan maka kedisiplinan karyawan baik. Sebaliknya jika kepuasan kerja kurang tercapai dari pekerjaannya maka kedisiplinan karyawan rendah.” Kepuasan kerja merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan, dan prestasi kerja dari setiap pegawai dalam melakukan aktivitas pekerjaannya.
50
Dengan kepuasan kerja yang optimal, pegawai akan semakin termotivasi dalam bekerja, dan akhirnya akan selalu berusaha mewujudkan tujuan organisasi dengan efektif dan efisien. Kepuasan kerja yang tinggi akan memperbaiki kedisiplinan seorang pegawai, dengan kedisiplinan organisasi akan mengurangi tingkat kemangkiran pegawai dan membuat pegawai semakin betah bekerja di perusahaan. Untuk meningkatkan
kepuasan kerja pegawai, perusahaan harus
mengetahui perilaku-perilaku pegawai, apa sebabnya seseorang mau bekerja dan kepuasan-kepuasan apa yang dinikmatinya karena bekerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap pegawai mempunyai motif keinginan (want) dan kebutuhan (needs) tertentu dan mengharapkan kepuasan dari hasil kerjanya. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual, setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat pada masing-masing individu, semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan dan sebaliknya. Dengan demikian, menurut Veithzal Rivai (2004:475) “Kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja”. Veithzal Rivai (2004:479) mengemukakan bahwa “faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja antara lain: gaya kepemimpinan,
produktivitas kerja, perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian,
51
dan efektivitas kerja. Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah: 1. Isi pekerjaan Penampilan tugas yang diberikan serta sebagai kontrol terhadap pekerjaan tersebut. 2. Supervisi Pengawasan yang berkala dan selalu dilakukan oleh atasan agar pekerjaan yang diberikan terlaksana dengan baik. 3. Organisasi dan Manajemen Organsisasi dengan manajemen yang baik akan mendukung seorang pegawai agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan dan pada akhirnya akan merasakan kepuasan dalam bekerja. 4. Kesempatan pengembangan karir Seorang pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila perusahaan memberikan kesempatan untuk mengembangkan karirnya demi kemajuan perusahaan. 5. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya, seperti adanya insentif. 6. Rekan kerja Kepuasan kerja akan didapat melalui rekan kerja yang dapat bekerja sama dengan baik agar pekerjaan yang berikan dapat terlaksana dengan baik. 7. Kondisi pekerjaan Kepuasan kerja bisa diperoleh seseorang dengan dukungan kondisi lingkungan pekerjaan yang baik, rekan kerja serta fasilitas pendukung kerja yang memadai. Kepuasan kerja karyawan merupakan sesuatu yang penting bagi perusahaan dan tidak boleh dikesampingkan karena dapat berdampak terhadap berbagai aktivitas kerjanya di dalam perusahaan dan lebih jauh lagi akan mempengaruhi kinerja perusahaan, untuk itu menciptakan kepuasan kerja sangatlah penting demi kelancaran berbagai aktivitas perusahaan. Kepuasan kerja merupakan salah satu aspek yang dapat memberikan dampak terhadap berbagai aktivitas kerja seorang karyawan diperusahaan, dengan terpenuhinya kepuasan kerja maka akan memberikan hasil yang positif dari karyawan, seperti meningkatnya kerja, perbaikan perilaku selama bekerja, dan
52
pada akhirnya dapat berdampak pada peningkatan prestasi kerjanya, sebaliknya apabila kepuasan kerja dari karyawan tidak terpenuhi maka akan berdampak terhadap hasil yang negatif dari karyawan, seperti penurunan
kerja, konflik,
peningkatan absensi, penurunan prestasi kerja, rendahnya komitmen dan loyalitas karyawan, bahkan lebih jauh dapat berakibat pada meningkatnya turnover karyawan. Tercapainya kepuasan kerja akan memberikan dampak positif, salah satunya adalah kedisiplinan. Dengan terpenuhinya kepuasan kerja diharapkan akan berperan terhadap peningkatan disiplin karyawan. Dengan disiplin yang tinggi berarti karyawan sadar dan bersedia bekerja dalam kondisi yang baik, bersungguh-sungguh dan dengan sepenuh hati melaksanakan tugas-tugasnya. Sehingga dengan peningkatan kedisiplinan dapat mendukung keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Kepuasan kerja mempengaruhi disiplin kerja, secara logika, pegawai yang merasa puas dalam bekerja, maka tingkat kedisiplinan pegawai tersebut akan tinggi, sebaliknya jika pegawai tersebut tidak puas, maka tingkat kedisiplinannya pun cenderung rendah, bahkan cenderung melakukan tindakan-tindakan indisipliner. Kedisiplinan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan organisasi dalam menjalankan aktivitasnya. Tindakan indisipliner tidak timbul begitu saja, banyak faktor yang menjadi penyebabnya baik dari dalam diri pegawai itu sendiri seperti masalah pribadi, stres dalam bekerja, tidak puas terhadap pekerjaan, serta penyakit fisik/mental. Faktor lain penyebab tindakan indisipliner berasal dari organisasi/perusahaan
53
seperti penempatan pegawai secara ceroboh dan tidak sesuai bidang serta keahliannya, rekrutmen dan seleksi yang buruk kebijakan dan peraturan yang tidak masuk akal dan sebagainya. Faktor lain seperti buruknya hubungan pegawai dengan atasan, pegawai tidak dilibatkan dalam setiap kebijakan pengambilan keputusan juga ikut mempengaruhi timbulnya tindakan indisipliner yang pada akhirnya menjadi penyebab ketidakpuasan dalam bekerja. Bedjo S. Siwanto
(2005: 291) mengemukakan bahwa ada beberapa
indikator disiplin kerja yaitu : 1. Kehadiran. Hal ini menjadi indikator yang mendasar untuk mengukur kedisiplinan, dan biasanya karyawan yang memiliki disiplin kerja rendah terbiasa untuk terlambat dalam bekerja. 2. Ketaatan pada peraturan kerja. Karyawan yang taat pada peraturan kerja tidak akan melalaikan prosedur kerja dan akan selalu mengikuti pedoman kerja yang ditetapkan oleh perusahaan. 3. Ketaatan pada standar kerja. Hal ini dapat dilihat melalui besarnya tanggung jawab karyawan terhadap tugas yang diamanahkan kepadanya. 4. Tingkat kewaspadaan tinggi. Karyawan memiliki kewaspadaan tinggi akan selalu berhati-hati, penuh perhitungan dan ketelitian dalam bekerja, serta selalu menggunakan sesuatu secara efektif dan efisien. 5. Bekerja etis. Beberapa karyawan mungkin melakukan tindakan yang tidak sopan ke pelanggan atau terlibat dalam tindakan yang tidak pantas. Hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan indisipliner, sehingga bekerja etis sebagai salah satu wujud dari disiplin kerja karyawan. Berdasarkan alur dan pola pikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis berpendapat apabila seorang pegawai memiliki disiplin kerja yang baik maka, secara langsung ataupun tidak, pegawai akan merasakan kepuasan dalam bekerja. Penulis menempatkan kepuasan kerja sebagai variabel yang mempengaruhi (variabel X) dan disiplin kerja sebagai variabel yang
54
dipengaruhi (variabel Y). Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam paradigma sebagai berikut :
Variabel X
Variabel Y
Kepuasan Kerja
Disiplin Kerja
Dimensi :
Dimensi :
1. Isi pekerjaan 2. Supervisi 3. Organisasi dan manajemen 4. Kesempatan untuk maju 5. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial 6. Rekan kerja 7. Kondisi pekerjaan (Veithzal Rivai, 2004:479)
1. Kehadiran 2. Ketaatan pada peraturan kerja 3. Ketaatan pada standar kerja 4. Memiliki kewaspadaan tinggi 5. Etika kerja (Bedjo S. Siwanto, 2005:291)
Gambar 2. 5 Model Kerangka Pemikiran Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Disiplin Kerja 2.4 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya. Menurut Suharsimi Arikunto (2002:64) mengemukakan bahwa “hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul”. Menurut Sugiyono (2000:39) menyatakan bahwa: Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan teori yang relevan, belum didasarkan fakta-fakta yang empiris yang diperoleh melalui
55
pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap perumusan masalah penelitian, belum jawaban empiris. Bertitik tolak dari uraian yang telah dijelaskan di atas dan dengan fokus masalah yang diteliti, maka hipotesis dari
penelitian ini adalah “Terdapat
pengaruh positif dari kepuasan kerja terhadap disiplin kerja pegawai pada PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Majalaya”.