BAB II KEDUDUKAN MAYAT DALAM HUKUM ISLAM
A. PENGERTIAN MATI 1. Mati Hukmi Mati atau kematian berasal dari bahasa arab ( ﻣﻮﻧﺎ- )ﻣﺎت – ﻳﻤﻮت.1 Mati berarti sudah hilang nyawanya, tidak bernyawa2, atau terpisahnya roh dari zat, psike dari fisik, jiwa dari badan, atau yang ghaib dari yang nyata.3 Seseorang yang sudah mati disebut mayat/jenazah.4 Pada hakekatnya maut atau mati adalah akhir dari kehidupan dan sekaligus awal kehidupan (yang baru). Jadi maut bukan kesudahan, kehancuran atau kemusnahan. Maut adalah suatu peralihan dari suatu dunia ke dunia lain, dari suatu keadaan ke keadaan lain, tempat kehidupan manusia akan berlanjut.5 Kematian adalah sesuatu yang pasti pada saat yang telah ditentukan, tidak ada kaitannya dengan perang atau damai, tempat yang kokoh atau yang sederhana, dan ada upaya atau tidak untuk mempercepat atau memperlambatnya. Jika maut itu datang, maka datanglah ia.
1
Basuni Imamuddin Nashiroh dan Nashiroh Ishaq, Kamus Kontekstual Arab-Indonesia, cet.1, Jakarta: Ulinnuha Press, hlm. 451 2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke 3, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 637 3
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993, hlm. 211 4
Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang: P.T Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 13 5
Ibid.
13
14
Dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 49 menyatakan tentang kematian yang sudah pasti adanya.
ﻟﻜﻞ ﺃﻣﺔ ﺃﺟﻞ ﺍﺫﺍ ﺟﺂﺀ ﺍﺟﻠﻬﻢ ﻓﻼ ﻳﺴﺘﺄﺧﺮﻭﻥ ﺳﺎﻋﺔ ﻭﻻ ﻳﺴﺘﻘﺪﻣﻮﻥ... ﴾49 : ﴿ﻳﻮﻧﺲ Artinya : “…Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS. Yunus: 49) 6 2. Mati Majazi Seseorang yang dikatakan mati apabila mempunyai tanda-tanda sebagai berikut:7 -
Fungsi spontan pernapasan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau
-
Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak. Atau dalam PP No. 18 tahun 1981 mengatakan bahwa pengertian
meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung telah berhenti.8
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1989, hlm. 214 7
Soetedjo, dkk., Pedoman Profesi Dokter Masa Kini dan Mendatang, Semarang: BP Undip, hlm. 1995 8
Lembaran Negara RI, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Atau Jaringan Tubuh Manusia, Jakarta: tp., 1981, Pasal 1.g, hlm. 115
15
B. HAK ADAMI MAYAT Bila diketahui seorang manusia meninggal dunia, maka diantara hal yang diperintahkan/dianjurkan adalah memejamkan matanya, ditutupkan mulutnya dengan diikat dagu dan kepalanya, dibukakan pakaiannya, diselimuti dengan kain yang ringan dan menutupi seluruh tubuhnya, diselesaikan segala hutangnya dan dipercepat penguburannya Setelah manusia meninggal, ada beberapa hak yang masih didapatkan oleh mayat tersebut yang harus dipenuhi oleh manusia yang masih hidup. Menurut ijma’ ulama hukumnya fardu kifayah yakni jika sebagian dari mereka telah melakukannya maka gugurlah kewajiban itu atas yang lain, tetapi jika semua meninggalkannya maka semuanya bertanggung jawab dan akan dihisab. Menyelenggarakan empat perkara dalam urusan mayat muslim, di antaranya adalah: 1. Memandikan Mayat Mayat yang wajib dimandikan ialah mayat muslim yang tidak terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir. Apabila yang meninggal laki-laki maka yang paling utama untuk memandikannya adalah bapaknya, atau kakeknya, atau anak lelakinya, atau ashabahnya, kemudian lelaki asing, isteri, kemudian kaum wanita kerabatnya.9 Apabila yang meninggal itu wanita, maka yang memandikannya adalah wanita kerabatnya, atau wanita asing, lalu suaminya, lalu kaum lelaki kerabatnya. Orang-orang 9
Abu Ishaq Ibrahim, Kunci Fiqih Syafi’i, terj. “Al-Tanbih fii Fiqh asy-Syafi’i”, Hafid Abdullah (penerjemah), Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992, hlm. 61
16
yang ada ikatan silaturahim dengan si mayat lebih berhak memandikannya daripada orang luar. Telah disepakati oleh para ulama (kecuali mazhab abu hanifah), tentang dibolehkannya suami memandikan jenazah istri, demikian pula sebaliknya. Alasan suami tidak boleh memandikan istrinya,10 karena istri lepas dari perlindungannya setelah ia meninggal. Namun istrinya boleh memandikan suaminya, karena ia masih dalam ‘iddah suaminya. Artinya, bahwa istrinya itu masih berada dalam hak suaminya. Selain orang-orang yang berkepentingan untuk memandikan mayat, hendaknya tidak ada yang menghadiri upacara pemandian. Orang yang memandikan hendaknya seorang yang dapat dipercaya dan shaleh agar
menyiarkan
kebaikan
yang
dilihatnya
dari
mayat
dan
menyembunyikan keburukannya. Fuqaha sependapat bahwa mayat yang wajib dimandikan ialah mayat muslim yang tidak terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir.11 Akan tetapi sebagian fuqaha (ahli fiqih) membolehkannya. Orang yang memandikan diwajibkan memulai pekerjaannya dengan niat karena dialah yang terkena perintah memandikan. Kemudian memulai dengan mengurut perut mayat untuk mengeluarkan kotoran yang mungkin terdapat di dalamnya, lalu membersihkan najis dari badannya. 10
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. 12, Jakarta: Lentera, 2004,
hlm. 46 11
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayat al-Mujtahid, Jilid 1, Penerjemah Abdurrahman dan Haris Abdullah, Semarang: CV. Asy Syifa, hlm. 469
17
Dalam membersihkan tubuh ini dia hendaknya menggunakan robekan kain untuk membersihkan auratnya karena mengusap aurat adalah haram. Adapun cara memandikan mayat paling sedikit harus meratai seluruh tubuhnya setelah menghilangkan najis pada tubuhnya. Selanjutnya bagi orang yang memandikan mayat disunatkan mewudukannya juga tiga kali sebagaimana wudunya orang yang hidup.12 Dan jika setelah dimandikan kemudian ada sesuatu yang keluar (dari perut si mayat), maka wajib membersihkannya tanpa dimandikan dan diwudukan lagi. Adapun cara memandikan mayat yang paling sempurna adalah dengan mengerjakan beberapa hal, yakni setelah mayat diwudukan lalu dibasuh kepalanya dan dagunya dengan daun bidara dan semacamnya, kamudian bagian tubuhnya sebelah kanan dibasuh tiga kali dan sebelah kiri tiga kali. Dianjurkan pada bilasan terakhir dicampur dengan kapur barus. Seperti dikatakan dalam sebuah hadits:
اﻏﺴﻠﻨﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ او ﺧﻤﺴﺎ او اآﺜﺮ ﻣﻦ ذﻟﻚ ان راﻳﺘﻦ Artinya :
“mandikanlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih banyak dari itu, jika kalian memandang perlu”.
Menurut ulama pengikut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, seorang muslim tidak memandikan seorang kafir begitu juga
12
Al-Imam Taqiyuddin & Abubakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar, (terj) Jilid I, Surabaya: Bina Ilmu, 1984, hlm. 338
18
sebaliknya, tetapi jika dikhawatirkan mayat tersebut terbengkalai maka hanya dikuburkan saja.13 Sedangkan menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan beberapa pengikutnya boleh memandikan kerabatnya yang kafir, hanya karena menjaga kebersihan dan bukan sebagai ibadah.14 Tayamum boleh dilakukan terhadap mayat sebagai ganti memandikannya,15 jika dalam keadaan tidak ada air, atau dikhawatirkan badan mayat akan rusak jika terkena air. Atau dapat menimbulkan tersebarnya benih penyakit dari tubuhnya, sehingga membahayakan orangorang sekitar. Juga apabila seorang perempuan meninggal di tengah-tengah kaum lelaki, atau laki-laki meninggal di tengah-tengah kaum perempuan yang bukan mahramnya. 2. Mengkafani Mayat Pada mayat laki-laki disunatkan mengkafani dengan tiga lapis pakaian, dan diutamakan yang berwarna putih. Dalam kafan tersebut disertakan kain sarung dan dua kain pembungkus. Kain sarung untuk menutup bagian tubuh mulai pusar sampai lutut, sedangkan lapisan kedua mulai dari leher sampai mata kaki, dan lapisan ketiga untuk menutup seluruh tubuh mayat. Adapun mayat perempuan dikafani dengan lima lapis 13
Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 470
14
Ibid., hlm. 471
15
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis, Bandung: PT. Mizan Pustaka, hlm. 254
19
pakaian, yaitu kain sarung, kerudung, baju dan dua lapis kain pembungkus. Kain kafan disunatkan dalam keadaan : (a) baik, bersih dan menutupi seluruh tubuh; (b) berwarna putih; dan (c) kering dan berminyak wangi.16 Kain kafan hendaknya tidak mahal harganya. Meskipun demikian,
wanita
boleh
dikafani
dengan
sutra.
Apabila
mayat
meninggalkan harta, maka biaya pengkafanan di ambilkan dari hartanya. 3. Menshalati Mayat Mayat yang akan dishalatkan harus muslim dan bukan mati syahid. Menurut ulama Hanafiyah dan as-Salafiyah boleh dikerjakan pada sembarang waktu, walaupun di waktu yang dimakruhkan. Sedangkan menurut Ahmad dan Ibnu Mubarak dimakruhkan pada saat terbit dan tenggelamnya matahari.17 Jumhur ulama sepakat bayi yang keluar (keguguran) sebelum berumur empat bulan tidak dimandikan ataupun dishalatkan, tetapi jika sudah berumur empat bulan dan sudah bergerak maka wajib dishalatkan.18 Yang lebih patut mengerjakan dan mengimami shalat jenazah adalah ayahnya, kakeknya, anak lelakinya, kemudian anak lelaki dari anak
16
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993, hlm. 312 17 18
Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 590
Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 225
20
lelaki (cucu), menurut tertib ‘ashabah.19 Walaupun demikian orang yang paling berhak tersebut, boleh mengusahakan orang lain yang lebih tua atau lebih berilmu untuk mengimami shalat tersebut. a. Rukun-rukun shalat jenazah Shalat jenazah mempunyai beberapa rukun. Apabila salah satu rukun itu ditinggalkan, shalat itu dipandang tidak sah,20 di antaranya; 1) Niat 2) Berdiri bila mampu 3) Empat kali takbir yang diselingi oleh beberapa bacaan 4) Membaca al-Fatihah secara sirr setelah takbir pertama karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, bahwa:
اﻟﺴﻨﺔ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة ﻋﻠﻰ اﻟﺠﻨﺎزة ان ﻳﻘﺮء ﻓﻰ اﻟﺘﻜﺒﻴﺮة اﻻوﻟﻰ ﺑﺎم اﻟﻘﺮان ﻣﺨﺎﻓﺘﺔ ”menurut sunnah, bahwa dalam shalat jenazah hendaknya membaca Ummil Quran dengan pelan-pelan dalam takbir pertama” 5) Membaca shalawat kepada Nabi SAW. setelah takbir kedua 6) Mendo’akan mayat setelah takbir ketiga 7) Dan kemudian salam
19
Abu Ishaq Ibrahim, op. cit., hlm. 63
20
Al-Imam Taqiyuddin & Abubakar Alhusaini, op. cit., hlm. 345-346
21
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa do’a juga terdapat pada takbir yang keempat. Jadi shalat jenazah ada delapan rukun.21 b. Syarat-syarat shalat jenazah Syarat shalat jenazah sama seperti shalat-shalat lainnya seperti thaharah, wudhu’ atau tayamum, menghadap kiblat dan niat.22 Adapun perbedaan dengan shalat shalat lainnya adalah, bahwa shalat jenazah ini boleh dikerjakan setiap waktu. Diantara syarat sah shalat jenazah, adalah suci dan tertutup aurat, hukum ini disepakati. Sedangkan menurut an-Nakha’iy dan Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari boleh mengerjakannya dengan tidak bersuci23, karena shalat jenazah hanya sebagai doa untuk mayat agar Allah melimpahkan Rahmat-Nya kepadanya, sedangkan untuk doa tidak disyaratkan suci dari hadas dan khubts. Selain itu shalat tersebut tidak ada rukuk dan sujud.24 Mayat diletakkan terlentang dan orang yang menshalatinya berdiri tidak jauh di belakangnya sambil menghadap kiblat. Kepala mayat berada di sebelah kanannya, dan tidak boleh ada penghalang antara dirinya dan mayat. Imam berdiri di sisi kepala jenazah lelaki dan di tengah pinggang jenazah wanita.
21
Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 591
22
Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, op. cit., hlm. 223
23
Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 114 24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Ja’fari, Jakarta: Lentera, 1996, hlm. 95
22
Shalat jenazah boleh dilaksanakan di rumah ataupun di masjid, baik berjamaah maupun sendiri-sendiri. Walaupun demikian, shalat berjamaah lebih afdhal, semakin banyak orang yang melaksanakannya, lebih besar pahalanya. Dan dianjurkan agar saf mereka diatur paling sedikit tiga saf atau lebih. Diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan shalat jenazah setelah jenazah dikebumikan (Shalat ghaib), meskipun sebelum dikubur jenazah sudah dishalatkan. Jika menshalatkan dua jenazah lelaki dan perempuan secara bersama-sama, kebanyakan ulama berpendapat bahwa jenazah lelaki diletakkan di depan imam langsung, sedangkan jenazah wanita diletakkan di arah kiblat.25 Makmum muwafiq yang ketinggalan dari imamnya tanpa uzur dan ia tidak bertakbir sehingga imam melakukan takbir yang lain, maka shalatnya dianggap batal. Adapun makmum masbuq hendaklah ia bertakbir dan terus membaca al-Fatihah meskipun imam dalam shalat jenazah ini sedang membaca shalawat (dalam takbir kedua) atau membaca doa (dalam takbir ketiga).26 4. Menguburkan Mayat
25
Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 493
26
Al-Imam Taqiyuddin & Abubakar Alhusaini, op. cit., hlm. 347
23
Setelah dishalatkan maka mayat tersebut dikuburkan dalam liang lahad. Liang lahad tersebut yakni galian di dasar kubur yang sekedar dapat memuat tubuh mayat. Batas kuburan sampai bagian dada paling atas orang dewasa. Mayat tersebut dimiringkan atas sisi kanan tubuhnya dengan dihadapkan ke arah kiblat. Pada dasarnya memakamkan mayat bertujuan agar manusia tidak melihat
dan
terganggu
dengan
kerusakan
tubuhnya,
kejelekan
pemandangannya dan kebusukan baunya, dan agar tertutup dari kawan maupun lawan, sehingga lawan tidak merasa gembira dan sahabatnya tidak merasa sedih.27 Menurut fuqaha, bahwa wajib menguburkan mayat dengan suatu cara yang dapat mencegah binatang buas menggalinya dan tercium baunya oleh manusia. Dan tidak boleh membuat bangunan di atasnya.28 Selain itu dikatakan juga dalam al-Qur’an surat al-Mursalat ayat 25-26:
﴾26-25 : ﺃﱂ ﳒﻌﻞ ﺍﻷﺭﺽ ﻛﻔﺎﺗﺎ – ﺃﺣﻴﺂﺀ ﻭﺃﻣﻮﺍﺗﺎ ﴿ﺍﳌﺮﺳﻼﺕ Artinya :
27 28
”Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati?” (QS. AlMursalat: 25-26)
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Ja’fari, Jakarta: Lentera, 1996, hlm 96 Ibid.
24
Tidak dimakruhkan menguburkan jenazah pada malam hari. Jika memang dapat dipastikan bahwa hak-hak mayat tidak ada yang tertinggal. Para ulama sepakat menghukumi makruh menguburkan mayat pada tiga waktu berikut,29 yaitu: waktu matahari terbit, waktu matahari berada tepat ditengah-tengah, dan waktu matahari terbenam. Di samping empat perkara pokok yang merupakan kewajiban kifayah atas orang yang masih hidup terhadap jenazah, juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :30 a. Disunatkan memberitahu keluarga, kerabat, dan teman-teman mayat tentang kematiannya agar mereka mempunyai pahala dari mengurus jenazah b. Disunatkan takziah (melayat) orang yang ditinggal mati keluarganya dengan memberi nasehat atau menghibur agar mereka bersabar c. Tidak dibolehkan mencela dan melukai mayat sebagaimana tidak dibolehkan melukai orang yang masih hidup, kecuali jika dalam keadaan terpaksa seperti terdapat bayi yang masih ada harapan hidup dalam rahim mayat
29
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. cit. Jilid 5
30
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit, Jilid 3, hlm. 312