BAB II KEDUDUKAN ANAK YANG BERSTATUS WARGA NEGARA ASING YANG PERKAWINAN ORANG TUANYA TIDAK DICATATKAN DI INDONESIA
A. Perkawinan Yang Dilangsungkan di Luar Negeri dan Kedudukannya di Indonesia Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh setiap manusia dengan memenuhi segala ketentuan yang berlaku bagi dirinya. Perkawinan merupakan suatu hak keperdataan yang melekat pada diri manusia yang tidak dapat dihapuskan atau dihilangkan dan dihalang-halangi. Secara teoritis dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua pandangan utama yang berusaha membatasi pengertian dari perkawinan campuran yaitu: a. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah perkawinan
yang
berlangsung
antara
pihak-pihak
yang
berbeda domicilenya sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum intern dari dua sistem hukum yang berbeda. b.
Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap sebagai perkawinan
campuran
apabila
para
pihak
berbeda
kewarganegaraan/nasionalitasnya. Pandangan-pandangan
tersebut
dianut
oleh
negara-negara
di
dunia.
Pandangan tersebut tercermin dalam hukum nasional atau hukum intern yang mengatur perkawinan di dalam negaranya masing-masing. Indonesia sendiri
menganut pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah perkawinan antara para pihak yang berbeda kewarganegaraannya.yang tunduk pada hukum yang berlainan. Pandangan ini tercermin dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 57. Ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini mengatur perkawinan campuran yang dalam prinsipnya disebutkan perkawinan campuran dalam undangundang ini merupakan perkawinan antara 2 (dua) orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya adalah Warga Negara Indonesia. Hukum mengenai perkawinan termasuk bidang status personal. Pasal 16 AB berlaku pula dalam hal hendak dilangsungkan perkawinan dan akibat-akibat hukum dari suatu perkawinan dengan unsur-unsur internasional. Dalam hal ini Indonesia memakai pula prinsip nasionalitas, sebagai warisan dari sistem hukum dahulu. Pasal 16 AB ini berlaku bukan saja untuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, tetapi juga untuk orang asing yang berada di Indonesia. Sehingga dari Pasal 16 AB tersebut, sebaliknya berdasarkan asas resiprositas dapat disimpulkan bahwa para Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dan hendak menikah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Indonesia sebagai hukum nasionalnya. Jadi seolah-olah, lingkungan kuasa dari hukum
perdata Indonesia juga berlaku di luar batas-batas wilayah Republik
Indonesia, sepanjang, mengenai syarat-syarat untuk dapat menikah. Hal ini berarti, bahwa juga perbedaan-perbedaan dalam hukum perdata seperti diatur dalam Hukum
Antara Tata Hukum-intern Indonesia, dalam hukum yang berlaku untuk berbagai golongan tetap berlaku pula untuk warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri itu. Mereka yang di Indonesia takluk di bawah hukum perdata Barat yang tertulis mengenai perkawinan, jika berada di luar negeri pun harus menikah dengan memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku bagi mereka jika mereka berada di Indonesia. 46 Setiap negara mempunyai Undang-Undang Perkawinan atau peraturanperaturan tentang perkawinan. Seperti halnya di Indonesia diberlakukan UndangUndang Perkawinan. Setiap Undang-Undang Perkawinan di masing-masing negara menetapkan syarat-syarat dasar untuk melangsungkan perkawinan yang terdiri dari atas syarat formal dan materiil. Mengenai materi yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan masing-masing negara tidak sama antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Perkawinan yang dilakukan antar sesama warga negara Indonesia di luar negeri merupakan suatu perkawinan internasional, karena tersangkut dua sistem dari negara yang berbeda. Semua syarat-syarat materil ini harus dipenuhi oleh pihak warga negara Indonesia yang hendak menikah di luar negeri. Sebaliknya mengenai syarat-syarat formal dilakukan menurut ketentuan hukum setempat (locus regit actum) 47. Ketentuan ini adalah sesuai dengan berlakunya adagium locus regit actum dalam Pasal 18 AB.
46 47
Sudargo Gautama, Op.Cit., hlm. 187. Sering juga dikenal dengan place of celebration, lex loci celebrations, dan lex loci actum.
Perkawinan diatur oleh masing-masing negara menurut undang-undang dan peraturan-peraturan setempat. Perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia
di
luar
negeri
atau
menurut
undang-undang
negara
tempat
dilangsungkannya perkawinan dianggap sah oleh pemerintah Indonesia. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa warga negara Indonesia untuk melangsungkan perkawinan di luar wilayah negara Republik Indonesia apabila memang mereka berminat atau dalam keadaan yang memaksa mereka untuk melangsungkan perkawinan di luar negeri karena perkawinan tersebut tidak mengabaikan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan di luar Indonesia diatur di dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan, pasal tersebut menentukan bahwa: (1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. (2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka
Ketentuan pasal tersebut diatas, jika dibandingkan dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kemiripan. Dapat dikatakan bahwa Pasal 56 Undang –Undang Perkawinan mengambil prinsip yang terdapat dalam Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia menentukan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, dimana perkawinan-perkawinan itu dilangsungkan dan suami-isteri warga negara Indonesia, tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian Kesatu Bab ini. Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dalam waktu satu tahun setelah suami isteri pulang kembali ke wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar Indonesia harus dipindah bukukan dalam register kawin umum di tempat tinggal mereka. Kaitan Pasal 83 dan 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak dapat dipisahkan dengan prinsip dalam Pasal 26 KUHPerdata yang memandang perkawinan hanya dari segi perdatanya saja. Dengan demikian, dapat kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa lazimnya perkawinan antara mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri tidak menjadi masalah, karena tidak memperhatikan hukum
agama. 48 Ketentuan-ketentuan pembedaan antara syarat materil dan syarat formil suatu perkawinan tersebut berlaku untuk hukum intern (nasional). Bagi hubungan internasional harus diadakan pembedaan yang lain, pembedaan yang lebih disesuaikan dengan keadaan-keadaan internasional. Telah disebutkan bahwa menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta dicatatkan menurut peraturan perundaang-undangan yang berlaku. Pasal ini mengharuskan setiap
perkawinan
yang dilangsungkan di
Indonesia untuk
dilangsungkan menurut agamanya masing-masing. Jika ditinjau dari segi keharusan perkawinan dilangsungkan menurut keagamaan saja, maka Pegawai Catatan Sipil hanya berfungsi sebagai Pejabat Pendaftaran Perkawinan, bukan Pejabat Nikah (huwelijkssluiter). 49 Bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan di luar negeri mereka berkewajiban untuk mendaftarkan kembali surat bukti perkawinan mereka yang berasal dari luar negeri pada kantor pencatatan perkawinan di wilayah tempat mereka tinggal. Perkawinan tersebut dicatat dalam daftar pencatatan dan diberikan suatu surat keterangan suatu akta resmi. Hal tersebut dilakukan agar perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan atau bagi masyarakat. Jika terjadi kelalaian dalam mendaftarkan kembali maka perkawinan tersebut
48 49
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op.Cit., hlm. 153. Sudargo Gautama, Op.Cit., hlm. 195.
tidak menjadi batal. Karena keterlambatan tersebut hanyalah administrasi saja, tetapi mereka harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal mereka agar pengadilan memerintahkan kantor Pencatatan Perkawinan mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka. Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia sama halnya Kutipan Akta Perkawinan yang telah didapat, masih harus dilegalisir di Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami/isteri. Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan tersebut sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia. Pencatatan perkawinan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi: “Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.” Selain itu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengatur mengenai kewajiban bagi warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, bahwa : “Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Republik Indonesia wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana pencatatan sipil negara setempat dan/atau kepada perwakilan Republik Indonesia dan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil”. Hukum nasional dari tiap-tiap calon suami-isteri yang hendak menikah
mengatur syarat-syarat materil (kewenangan) 50 untuk menikah. Oleh karena itu, maka kewenangan dari pihak suami harus ditentukan menurut hukum nasionalnya. Demikian pula kewenangan pihak isteri harus ditentukan menurut hukum nasional dari isteri tersebut. Jadi, disini dapat diadakan pembedaan yaitu untuk syarat-syarat formalitas dipakai locus regit actum dan untuk syarat-syarat materil dipakai hukum personal masing-masing pihak. Dalam sistem Hukum Perdata Internasional yang berlaku di Indonesia, salah satunya mengatur soal bentuk formal suatu perbuatan hukum, yaitu Pasal 18 AB. Pasal ini berbunyi: 51 “Bentuk dari setiap perbuatan ditentukan menurut hukum dari negara atau tempat perbuatan itu dilakukan.” Ketentuan bahwa semua perbuatan hukum ditentukan menurut undangundang yang berlaku di negara atau tempat ia melakukannya adalah suatu asas yang sudah diterima sejak dahulu. Boleh dikatakan asas ini diterima dalam sistem Hukum Perdata Internasional dari hampir semua negara di dunia. Menurut ketentuan dalam Pasal 18 AB ini diadakan pemisahan tertentu dari perbuatan-perbuatan hukum. Di suatu pihak kita harus memperhatikan apa yang disebut formele geldigheid (berlakunya secara formal) dari suatu perbuatan hukum, disamping itu kita mengenal apa yang dinamakan materiele geldigheid (berlakunya secara materil). Pasal 18 AB menggantungkan kepada persoalan sah tidaknya
50
Mengenai kewenangan ini merupakan syarat-syarat yang bersifat mutlak yang dapat menjadikan suatu perkawinan menjadi batal atau dapat dibatalkan. 51 Sudargo Gautama, Op. Cit., hlm 463.
perbuatan hukum semata-mata pada hukum yang berlaku pada tempat dilangsungkan perbuatan bersangkutan. Tidak diberitahukan bahwa syarat-syarat materil dari perbuatan itu digantungkan pula pada hukum setempat. Ketentuan Pasal 18 AB ini disusun secara umum. Artinya, tidak diadakan pembatasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia saja. Juga perbuatan-perbuatan hukum dari warga negara Indonesia yang berlaku di luar negeri tercakup di dalamnya. Bukan saja perbuatan-perbuatan hukum dari warga negara Indonesia di dalam wilayah Indonesia, tetapi pasal ini pun tidak dibatasi kepada warga negara Indonesia saja. Juga orang-orang asing yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini terkait dengan ketentuan Pasal 3 AB bahwa tidak ada perbedaan antara status hukum perdata dari warga negara dan orang asing, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang. Sehingga konsekuensi dari Pasal 18 AB ini, perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan di luar negeri baik oleh warga negara Indonesia maupun oleh Warga Negara Asing, akan diakui di Indonesia secara sah, apabila perbuatan-perbutan ini telah dilakukan pada tempat bersangkutan, dengan memenuhi formalitas-formalitas yang berlaku setempat. Adapun beberapa alasan dapat diterimanya asas locus regit actum ini adalah: 52
52
Ibid.
1. Dikemukakan bahwa pertimbangan-pertimbangan untuk penerimaan kaidah tersebut ialah bahwa orang-orang yang berada di negara asing dan melakukan perbuatan hukum disana harus dianggap sebagai kaula negara sementara dari negara tersebut. 2. Ada juga yang mengemukakan bahwa penerimaan lex loci actus untuk bentuk-bentuk perbuatan hukum didasarkan atas penundukan sukarela (vrijwilige onderwerping). 3. Menurut pemikiran yang lebih modern, dasar teori ini ialah tujuan vormvoorschriften yang hanya dapat terlaksana dengan pemakaian dari lex loci actus. 4. Ada pula penulis yang memakai ajaran vested rights (hak-hak yang telah diperoleh) sebagai dasar, yaitu hak yang telah diperoleh di negara tertentu secara sah, juga harus diaku secara sah oleh negara lain. 5. Sekarang ini, alasan yang dipakai sebagai dasar daripada asas locus regit actum ini ialah bahwa penerimaan yang bermanfaat bagi kelancaran lalu lintas internasional. Kaidah ini bukan merupakan hasil dari hukum melainkan merupakan kebutuhan praktik. Mengenai ajaran vested rights ini dalam hukum Perdata Internasional diterima adanya suatu prinsip bahwa suatu hak yang telah diperoleh (vested rights) menurut ketentuan hukum negara asing, akan diakui dan dilaksanakan seperlunya pada suatu negara, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi dari ketertiban
umum negara yang bersangkutan. Dengan demikian, perubahan fakta-fakta tidak akan mempengaruhi
berlakunya suatu kaidah yang semula dipakai. Hak-hak yang
diperoleh ini tercermin dalam pasal 16 dan 17 AB. 53
B. Pencatatan Perkawinan di Indonesia Untuk melaksanakan perkawinan, harus dipenuhi dua macam syarat yaitu syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang mengenai pribadi calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan, sedangkan syarat formil adalah syarat yang mengenai formalitas yang harus dilakukan. Syarat formil ini diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 54 1. Syarat-syarat formil yang harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan adalah: a. Pemberitahuan dari orang yang akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai Pencatat Perkawinan dimana sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan. (Pasal 3 ayat (1) dan (2)). b. Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah satu atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu (Pasal 5). c. Penelitian dilakukan oleh pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan. Pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang (Pasal 6 ayat 1). Selain itu pegawai pencatatan harus meneliti pula kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai, keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua mempelai, serta izin pengadilan bagi yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, dispensasi pengadilan/pejabat, surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau 53
Sanwani Nasution, “Hukum Perdata Internasional”(Diktat Kuliah Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum USU 2008), hlm. 35. 54 Selanjutnya disebut PP No. 9/1975.
surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua kalinya, izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk bagi anggota Angkatan Bersenjata, serta surat kuasa otentik atau dibawah tangan apabila salah satu calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena suatu alasan yang penting (Pasal 6 ayat (2) huruf a sampai dengan h). d. Pengumuman diselenggarakan pegawai pencatat tentang pemberitahuan tentang kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan yang mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan dan juga harus memuat keterangan jati diri calon mempelai dan orang tua mempelai. 2. Syarat-syarat formil yang dilaksanakan pada saat perkawinan dilangsungkan adalah melakukan perkawinan sesuai tatacara perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan calon mempelai dan dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri dengan 2 (dua) orang saksi. 3. Syarat-syarat formil yang harus dilakukan setelah dilangsungkan perkawinan yaitu penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, yang kemudian ditandatangi oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan. Bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta perkawinan ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Hal ini diatur Pasal 11 PP No. 9/75. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), 1 (satu) helai disimpan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana perkawinan dilangsungkan dan 1 (satu) helai dikirim kepada Pengadilan Negeri di wilayah perkawinan dilangsungkan yang kemudian disimpan oleh Panitera Pengadilan wilayah Pengadilan Negeri tersebut. Bagi kedua mempelai diberikan kutipan akta perkawinan mereka yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan (2) PP No. 9/75 yang juga berarti telah terpenuhinya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundangundangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Lebih tegas lagi bahwa tujuan pencatatan perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Namun perlu diingat
bahwa pencatatan perkawinan hanya bersifat administrasi, dan bukan syarat sah atau tidaknya perkawinan, dan tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Menurut Wahyono Darmabrata, “Aspek yuridis perkawinan antara lain dapat disimpulkan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 55 Selain itu, sahnya perkawinan dan fungsi pencatatan perkawinan dapat dilihat dari Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan. Pencatatan perkawinan menurut Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan adalah sama halnya dengan “pencatatan peristiwa-peristiwa penting” dalam kehidupan seseorang misalnya, kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, yaitu suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 56 Peristiwa penting yang telah disebut diatas lebih jelas diuraikan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, adalah “kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.” 57 Dalam hal pelaksanaan perkawinan juga diperlukan alat bukti yang otentik dan dibuat oleh pejabat yang berwenang yang disebut dengan Akta Nikah yang 55
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 194 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksananya (Jakarta:CV Gitama Jaya, 2003), hlm. 123. 56 Neng Djuabidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 215 57 Ibid, hlm. 225
mempunyai fungsi untuk kekuatan pembuktian yang menunjukkan perkawinan itu telah ada. Apabila terjadi perceraian diantara pasangan suami isteri untuk menindaklanjuti perceraiannya pada sidang pengadilan diperlukan adanya Akta Nikah, tanpa adanya Akta Nikah tersebut maka akan menyulitkan bagi pihak yang bersangkutan dalam proses perceraian. Menurut undang-undang, salah satu alat bukti yang sah yaitu alat bukti surat. Surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan surat-surat lain. 58 Dalam urutan rincian alat-alat bukti tersebut tampak bahwa dalam perkara perdata alat bukti yang utama adalah surat-surat yang merupakan alat bukti tertulis. Hal yang sedemikian itu tidak mengherankan, sebab dalam lalu lintas keperdataan dan perdagangan, misalnya perkawinan, jual beli, kematian, perceraian, dan lain sebagainya setiap orang dalam melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja membuat alat bukti tertulis untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi dikemudian hari. Dari bukti surat-surat tersebut ada yang termasuk dalam penggolongan pembuktian yang sah dipersidangan yaitu surat-surat yang disebut “akta”. Yang dimaksud surat akta adalah “suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani oleh pihak berwenang.” 59 Surat-surat akta dapat dibagi lagi atas : 1. Surat-surat Akta Otentik
58 59
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2010) , hlm. 178. H.M.Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Universitas Trisakti, 1997), hlm. 75.
Yang dimaksud dengan akta resmi ialah “suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat akta tersebut.” Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, Hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil dan sebagainya. Dengan demikian suatu akta Notaris, suatu surat Putusan Hakim, suatu surat Berita Acara yang dibuat oleh suatu jurusita, suatu akta perkawinanatau kelahiran yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, kesemuanya itu merupakan akta-akta yang otentik. Jika suatu akta mengandung keterangan-keterangan dari dua pihak yang menghadap dihadapan seorang Notaris, sehingga seorang Notaris ini sebenarnya hanya menetapkan saja apa yang diterangkan oleh orang-orang yang menghadap itu sendiri, maka akta tersebut dinamakan partij-akta. Misalnya, jika dua orang mengadakan suatu perjanjian dihadapan Notaris. Jika suatu akta mengandung suatu pemberitaan atau proses verbal tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan seorang notaris atau seorang juru sita, maka akta itu dinamakan Proses verbal-akte. Misalnya, jika seorang notaris atau jurusita membuat suatu akta tentang suatu lelangan atau penyitaan harta benda. Menurut undang-undang suatu akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskannya di dalam akta tersebut sungguh-sungguh
terjadi,
sehingga hakim
itu
tidak
boleh
memerintahkan
penambahan pembuktian lagi. Jadi, kekuatan akta pembuktian suatu akta otentik dapat dibagi menjadi: 60 a. Kekuatan pembuktian formal yaitu bahwa kedua belah pihak benar-benar sudah menerangkan di muka notaris apa yang telah tertulis di dalam akta tersebut. b. Kekuatan pembuktian material, yaitu bahwa apa yang diterangkan oleh kedua belah pihak di muka notaris dan tertulis di dalam akta itu, memang benar-benar terjadi atau dalam kata-kata lain bahwa isinya keterangan mereka benar-benar terjadi. 2. Akta dibawah tangan Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Misalnya surat perjanjian jual beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. 61 Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tanda tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi. Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatangan atau isi akta tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap akta resmi,
60 61
H.M.Abdurrahman, Op.Cit, hlm.76 Subekti, Op.Cit, hlm. 176
diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akta tersebut telah melakukan pemalsuan surat. 62 Oleh karena pembuktian dengan surat akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama, maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian oleh undangundang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu. Begitu pula dapat dimengerti mengapa undang-undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting mengharuskan pembuatan suatu akta. Misalnya perjanjian perkawinan, pemberian benda-benda yang tertulis atas nama, perjanjian hipotik, pendirian perseroan firma atau perseroan terbatas diharuskan dengan akta notaris, sedangkan perjanjian perdamaian adanya perjanjian asuransi setidak-tidaknya harus dengan suatu tulisan. 63 Sebagai alat bukti maka akta perkawinan mempunyai 3 buah sifat 64: a. Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak (eeneig bewijsmiddel); b. Sebagai alat bukti penuh, artinya disamping akta perkawinan itu tidak dapat dimintakan ala-alat bukti lain (volledig bewijsmiddel); c. Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawannya tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu.
62
Ibid. Ibid, hlm. 180 64 R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 41. 63
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan di Indonesia telah terbentuk dua macam lembaga perkawinan yang bertugas untuk mengadakan pencatatan perkawinan diantara adalah: a. Kantor Urusan Agama (KUA), bagi mereka yang beragama Islam. Bagi orang-orang Islam dalam melangsungkan perkawinannya wajib didaftarkan dan dicatatkan pada pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 t yang bertujuan memberlakukan pencatatan perkawinan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. b. Kantor Catatan Sipil Bagi orang-orang yang beragama non Islam, peristiwa perkawinannya perlu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 mengenai Pencatatan Perkawinan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan salinan Akta Perkawinan, yang berguna memberikan kepastian dan kekuatan hukum dari peristiwa perkawinan tersebut. Akta perkawinan tersebut merupakan alat bukti yang tertulis dan otentik yang dapat memberikan keterangan selengkapnya dari suatu peristiwa tersebut bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain yang berkepentingan. Sebuah akta perkawinan yang diterbitkan oleh Pejabat Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil memiliki arti yang sangat besar di kemudian hari manakala terjadi sesuatu, misalnya untuk kepentingan menentukan ahli waris dalam warisan,
untuk menentukan dan memastikan bahwa mereka adalah suami isteri atau dapat memberi arah ke pengadilan mana ia mengajukan cerai dan lain-lain. 65 1. Kantor Urusan Agama Sebagai Lembaga Pencatatan Perkawinan Bagi Pemeluk Agama Islam Kantor Urusan Agama (KUA) adalah salah satu instansi pemerintah di tingkat Kecamatan, yang mempunyai peranan membantu sebagian tugas dari Departemen Agama, diantaranya yaitu mengawasi, menyaksikan dan mencatat suatu peristiwa perkawinan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat. 66 Keberadaan KUA di Indonesia sudah mulai sejak zaman Hindia Belanda, pada saat itu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 mengatur tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, dan Cerai. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 sebagai dasar hukum pencatatan perkawinan di KUA yang bertujuan memberlakukan pencatatan perkawinan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Disamping itu dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka KUA hanya melakukan tugas pencatatan nikah dan rujuk. Sedangkan untuk perceraian maupun talak dilakukan di Pengadilan Agama. Mengingat betapa pentingnya peranan dan keberadaan KUA, maka dapat diketahui bahwa tugas pokok KUA adalah: 67 a. Mengadakan pencatatan peristiwa perkawinan; 65
Konsorsium Catatan Sipil, 30 Kasus Catatan Sipil di Indonesia Analisis Kasus dan Rekomendasi, Jakarta: Deutsche Gessellschaft furTechnische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH Good Governance in Population Administration (GG PAS) dan Konsorsium Catatan Sipil, 2006), hlm.3 66 Departemen Agama RI, Sejarah Perkembangan KUA,(Jakarta:Direktorat Jenderal Urusan Agama Islam Dirjen Dinas Islam dan Kasubdis Kepenghuluan). 67 Ibid.
b. Perwakafan c. Kemasjidan d. BP4 (Bimbingan Penasehat Pelaksanaan Perkawinan) Biaya pernikahan yang berlaku berbeda untuk setiap wilayah, karena akan disesuaikan dengan kebijaksanaan daerah setempat dan keadaan ekonomi di lingkungan masyarakatnya. Seseorang yang Bergama Islam dan akan melakukan pernikahan, maka harus memenuhi rukun nikah sesuai agama Islam, ada 5 macam, yaitu: a. Ada calon suami b. Ada calon isteri c. Wali nikah (orang tua calon isteri) d. Minimal ada dua orang saksi yang beragama Islam, berakal sehat dan telah dewasa e. Ijab Qabul 2. Kantor Catatan Sipil Sebagai Lembaga Pencatatan Perkawinan Bagi Pemeluk Agama Non Islam Undang-undang tidak memberikan pengertian yang dimaksud dengan catatan sipil itu. Padahal lembaga pencatatan sipil sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda. Ada beberapa pendapat mengenai catatan sipil yaitu: Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, “Burgerlijk Stand” (Belanda), catatan sipil, suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-
catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negar, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian.” Menurut Vollmar, “catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa yang bermaksud membukukan selengkap mungkin dan karena itu memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status keperdataan seseorang mengenai kelahiran, pengakuan, perkawinan, perceraian, dan kematian.” 68 Sementara itu menurut Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, “Catatan sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk mencatatat, mendaftarkan, serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian, serta ganti nama.” 69 Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan catatan sipil atau pencatatan sipil merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk oleh pemerintah dengan tugas menyelenggarakan pencatatan, penerbitan, penyimpanan dan pemeliharaan data keperdataan seseorang, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian pengakuan dan pengesahan anak, serta pergantian nama.
Dengan
kata
lain
pencatatan sipil merupakan proses pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Proses tersebut dimulai dari: 70 a. Terjadinya peristiwa penting; b. Pencatatan peristiwa penting dengan menggunakan metode verifikasi dan validasi; c. Penerbitan akta dan penjagaan data atas arsipnya;
68
H.F.A Vollmar, Hukum Keluarga (Menurut KUHPerdata), diterjemahkan oleh: Chidir Ali (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 10. 69 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., hlm. 6. 70 Ibid, hlm. 7.
Kejadian ini dicatat agar pada setiap waktu ada bukti bagi-bagi orang yang berkepentingan, tetapi juga bagi pihak ketiga karena daftar-daftar di kantor catatan sipil terbuka untuk umum (openbaar), yang berarti bahwa daftar itu dapat dilihat semua orang. 71 Dalam perkembangan sejarahnya catatan sipil ini muncul pertama kalinya didaratan Eropa, yaitu seiring dengan kelahiran Republik Perancis sebagai negara kebangsaan (nation state) melalui Revolusi Perancis. Lembaga ini kemudian dibawa ke Hindia Belanda oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sejalan dengan diterapkannya politik pemerintah kolonial yang membagi penduduk Hindia Belanda ke dalam 3 (tiga) golongan penduduk 72, maka dibentuklah lembaga catatan sipil (Burgerlijk Stand) yang masing-masing berlaku bagi penduduk golongan Eropa yang dipersamakan dengannya, bagi golongan Tionghoa, bagi golongan Pribumi, dan bagi penduduk golongan Pribumi yang beragama Nasrani. 73 Sumber pengaturan catatan sipil atau pencatatan sipil diatur dalam Bab Kedua Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Buku Kesatu KUHPerdata, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 KUHPerdata tersebut mengatur mengenai akta-akta catatan sipil bagi golongan penduduk Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Namun, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 sampai dengan 71
H.F.A Vollmar, Op.Cit, hlm. 12. Perhatikan Pasal 163 IS 73 Afdol, ed., Catatan Sipil dan Masyarakat Hukum Adat, (Depok: Lembaga Kajian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Good Governance Population Administration (GTZ GG PAS), 2007), hlm. 3. 72
Pasal 10 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan ketentuanketentuan yang baru sebagaimana termuat dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 KUHPerdata yang berdasar atas ketentuan undang-undang tentang Catatan Sipil, tempat dimana, oleh siapa, dan dengan cara bagaimana register itu harus diselenggarakan, serta cara bagaimana aktaakta catatan sipil harus disusun dan syarat-syarat dalam pembuatan akta catatan sipil ini, maka keluar Reglemen Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand voor Europeanen), yang dipublikasikan tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad nomor 25, kemudian disusul dengan keluarnya: 1. Reglemen Penyelenggaraan Daftar-Daftar Catatan Sipil untuk Golongan Tionghoa (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand voor de Chineezen), yang dipublikasikan tanggal 29 Maret 1917 dalam Staatsblad 1917 Nomor 130 juncto Staatsblad 1919 Nomor 81 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 1919; 2. Reglemen Penyelenggaraan Daftar Catatan Sipil untuk Beberapa Golongan Penduduk Indonesia yang Tidak Termasuk dalam Kaula-Kaula daerah Swapraja di Jawa dan Madura (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand vooreenige groepen van de niet tot de onderhoorigen van een Zelfbestuur behoorende Ind. Bevolking van java en Madura), yang dipublikasikan tanggal 15 Oktober1920 dalam Staatsblad 1920 Nomor 751 juncto Staatsblad 1927 Nomor 564, yang mulai berlaku 1 Januari 1928; 3. Peraturan Pencatatan dalam Daftar-Daftar Catatan Sipil Mengenai Kelahiran dan Kematian (Regeling betreffende de inschrijving in de registers van den Burgerlijken Stand van geboorten en Stergevallen), yang dipublikasi tanggal 9 Desember 1946 dalam Staatsblad 1946 Nomor 137 yang mulai berlaku tanggal 18 Desember 1946;
4. Peraturan Daftar Pencatatan Sipil untuk Perkawinan campuran, yang dipublikasi dalam Staatsblad 1904 Nomor 279 yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1904.74 Kemudian setelah Indonesia merdeka, keluar pula beberapa peraturan yang mengatur mengenai dan berkaitan dengan pencatatan sipil seiring dengan terbuka Kantor Catatan Sipil untuk seluruh penduduk Indonesia, diantaranya yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura; 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan Atau Penambahan Nama Keluarga; 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 7. Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 mengenai penghapusan penggolongan penduduk dan keterbukaan Kantor Catatan Sipil untuk Semua Golongan Penduduk Indonesia;
74
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hlm. 190.
8.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 221a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya;
9. Keputusan
Menteri
Dalam
Negeri
Nomor
131
Tahun
1997
tentang
Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam Kerangka Sistem Kependudukan; 10. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman Nomor J.A.3/9/13 tentang Penjelasan tentang Penerbitan Akta-Akta Kelahiran bagi Orang Indonesia yang Tidak Terkait Perkawinan tanggal 27 November 1979. Berdasarkan kepada peraturan catatan sipil diatas, akta-akta catatan sipil bagi masing-masing golongan penduduk Eropa, Tionghoa, dan Pribumi berlainan sesuai dengan aturannya. Namun setelah keterbukaan Kantor Catatan Sipil, perbedaan aktaakta catatan tersebut ditiadakan, sehingga Kantor Catatan Sipil terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya dibedakan atas warga negara Indonesia dan Warga Negara Asing saja. Adapun akta catatan sipil yang dicatat dan diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil meliputi akta kelahiran, akta perkawinan, dan perceraian bagi yang bukan beragama Islam, akta kematian, serta akta pengakuan dan pengesahan anak. Dalam praktik pelayanan sehari-hari oleh pihak Kantor Catatan Sipil dibedakan adanya berbagai akta pencatatan sipil, yaitu: 75 1. Akta Perkawinan, yang dibagi atas: a. Akta Perkawinan Umum b. Akta Perkawinan Istimewa c. Akta Perkawinan lainnya 76
75
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit., hlm. 73-110.
2. Akta kelahiran, yang dibagi atas: 77 a. Akta Kelahiran Umum b. Akta Kelahiran Istimewa c. Akta kelahiran Luar Biasa 3. Akta Perceraian, yang dibagi atas: a. Akta Perceraian Umum b. Akta Perceraian Khusus 4. Akta Kematian, yang dibagi atas: a. Akta Kematian Umum b. Akta Kematian Luar Biasa c. Akta Kematian Istimewa Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 PP No. 9/75, suatu akta perkawinan harus memuat hal-hal sebagai berikut: 78 a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri/suami terdahulu; b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c. Izin orang tua, wali, atau pengadilan bagi calon mempelai yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun; d. Dispensasi dari pengadilan bagi calon mempelai yang belum genap mencapai batas usia perkawinan; e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang beristri lebih dari seorang; f. Persetujuan kedua calon mempelai yang dinyatakan secara tertulis, yang dibuat atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan; g. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima TNI/Kepala Kepolisian Negara bagi anggota TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; h. Perjanjian perkawinan apabila ada; i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam; j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
76
Pencatatan ini dimaksudkan untuk mereka yang perkawinannya dilakukan oleh Pemuka Agama, Pastor dan Pendeta dan pelaksanaannya di Kantor Catatan Sipil . 77 Perbedaan diatas berdasarkan pada proses penyelesaiannya dihubungkan dengan peristiwanya, jadi bukan jenis atau model akta kelahiran. 78 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 223.
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh catatan sipil mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang tidak dapat dibantah oleh pihak lain. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui. Kantor Catatan Sipil ini dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di masyarakat. Selain itu juga akta-akta yang dibuat dan dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil merupakan bukti yang paling kuat dan sempurna, karena akta ini bersifat otentik yang dibuat oleh pejabat pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ada. Suatu sistem dan cara pendaftaran catatan sipil yang baik dan tertib pelaksanaannya akan memberikan data-data tentang kependudukan yang lengkap dan terpercaya, disamping berbagai pendaftaran, seperti pendaftaran penduduk, sensus penduduk, dan lain sebagainya. Untuk memperoleh gambaran yang jelas di bidang pengaturan tugas pokok dan fungsi dari Kantor Catatan Sipil, maka dapat dilihat pada kebijaksanaankebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil.79 Dalam melaksanakan tugasnya Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan: a. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran; b. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan; 79
Perhatikan Pasal 1
c. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian; d. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak; e. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian; f. Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, atas pengakuan dan pengesahan anak, dan akta kematian; g. Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang kependudukan atau kewarganegaraan; Dari uraian tersebut, tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil dapat dikelompokkan menjadi dua fungsi, yaitu: a. Fungsi yang bersifat operasional atau teknis fungsional, yang berkaitan dengan pelayanan dan proses penyelesaian suatu akta catatan sipil; b. Fungsi yang bersifat administratif fungsional, yaitu yang berkaitan dengan ketatausahaan perkantoran pada umumnya; Dapat disimpulkan bahwa tujuan catatan sipil dapat dilihat dari empat sudut, yaitu: 80 1. Untuk mewujudkan kepastian hukum; 2. Untuk membentuk ketertiban umum; 3. Sebagai alat pembuktian; 4. Untuk memperlancar aktivitas pemerintah di bidang kependudukan atau administrasi kependudukan
80
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit.,hlm. 13.
Pada awalnya pencatatan sipil hanya bertitik tolak dari peristiwa kelahiran saja, dimana setiap anak yang lahir diakui sebagai subyek hukum baru (dengan dicatat identitasnya) dan dilindungi hak-hak keperdataannya (dengan dicatat identitas orang tuanya) dan untuk itu dibuatkan akta lahirnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman cakupan pencatatan sipil ini kemudian berkembang meliputi pula pencatatan perkawinan, perceraian, pencatatan pengakuan anak/pengesahan anak, dan pencatatan pengangkatan anak, dan juga pencatatan kematian. Pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Fungsinya yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seseorang secara hukum. Pencatatan ini memungkinkan anak mendapatkan akte kelahiran. Ikatan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup seseorang dari lahir, perkawinan hingga mati juga menjadi jelas. Bagi pemerintah, akte kelahiran membantu menelusuri statistik demografis, kecenderungan dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang komprehensif maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan serta program pembangunan pun akan lebih akurat. Terutama yang menyangkut kesehatan, pendidikan, perumahan, air, kebersihan dan pekerjaan. 81 Terdapat kenyataan dalam anggota masyarakat bahwa mereka secara tidak pasti mengenal kapan dilahirkan. Dengan demikian secara pasti pula mereka tidak
81
Pencatatan Kelahiran, http://www.unicef.org/indonesia/id/protection_3149.html, diakses tanggal 30 Oktober 2013, pukul 19.15 WIB
mengenal berapa usianya. Sementara itu pula pihak instansi pemerintah ikut-ikutan mengeluarkan data mereka yang berbeda. Ambil contoh misalnya seseorang akan mempunyai data berbeda antara yang tercantum dalam Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Ijazah. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam Sistem Tata Usaha Negara di semua negara mengakui bahwa nama sebagai identitas seseorang untuk semua jenis legalitas diperlukan. Namun, karena penulisan data nama dengan benar dianggap kurang penting, seringkali dijumpai nama yang berbeda antara yang tertulis pada SIM, KTP, ijazah dan akta perkawinan, maupun bukti diri yang lain. Akibatnya, akan terjadi kekacauan di bidang tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan. Banyak hubungan hukum perdata timbul sebagai akibat dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu di Kantor Catatan Sipil, mulai dari pengakuan hukum hingga di bidang pewarisan dan kewarganegaraan. Dilakukannya pencatatan sipil terhadap semua peristiwa penting tersebut di atas, karena dengan terjadinya peristiwa tersebut akan mempengaruhi status hukum seseorang dan hak-hak keperdataan yang melekat padanya. Untuk memastikan seorang anak memiliki klaim yang sah atas harta waris dari orang tuanya, maka perkawinan orang tua harus diakui sebagai perkawinan yang sah, dengan cara dicatat dalam register pencatatan sipil. Harta yang dikumpulkan oleh kedua orang tua dalam di dalam ikatan perkawinan (disebut harta gono-gini) akan menjadi hak waris bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan.
Sedangkan harta yang telah dimiliki oleh masing-masing orang tua sebelum perkawinan, masih harus diperlakukan sebagai hak waris orangtua dari orangtua si anak, juga memperhitungkan ikatan perkawinan yang sah, demikian seterusnya. Bagi anak, untuk bisa mengklaim hak warisnya, harus dibuktikan bahwa orangtuanya telah meninggal dunia. Untuk memberikan pernyataan yang sah tentang ini, pencatatan sipil mencakupi pula catatan kematian. Perlindungan terhadap hak-hak keperdataan si anak selaku ahli waris selanjutnya diwujudkan dengan pengembangan suatu institusi yang secara khusus didesain untuk memelihara harta waris yang disebut Balai Harta Peninggalan (Belanda: Weeskamer). 82 Jadi yang dimaksud dengan akta perkawinan catatan sipil adalah suatu surat atau catatan resmi mengenai peristiwa perkawinan yang dicatat oleh pejabat negara yakni pejabat kantor catatan sipil. Peristiwa perkawinan yang terjadi didafarkan dan dibuktikan pada Kantor Catatan Sipil. Seluruh akta yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil mempunyai kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh Pejabat Kantor Catatan Sipil. 3. Pencatatan Perkawinan Untuk Perkawinan Campuran Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah ada 3 (tiga) produk legislatif mengenai atau berhubungan dengan perkawinan campuran. Ketiga ketentuan-ketentuan perundang-undangan itu adalah sebagai berikut: 83 a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); 82
Konsorsium Catatan Sipil, Op.Cit, hlm. 13. Mohammad Idris Romulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1999), hlm. 196 83
b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Staatsblad nomor 74 tahun 1933; c.
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijke) Staatsblad nomor 158 tahun 1898. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk legislatif ini setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan sebagaimana diketahui antara lain yang merupakan prinsip umum dalam perundang-undangan bahwa peraturan perundangundangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian menghapuskan ketentuan-ketentuan
yang
berlawanan
dalam
perundang-undangan
sederajat
mendahuluinya. 84 Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut undang-undang tersebut yaitu: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia." Pencatatan perkawinan untuk perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (Kutipan Buku Nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
84
Ibid
Talak, Cerai, dan Rujuk. Sedang bagi yang non-Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.85 Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia harus memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang diatur lebih lanjut pada PP No. 9/1975, dan syarat yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan tempat perkawinan akan dilangsungkan. Perkawinan yang sah harus dicatatkan, hal ini berlaku bagi pasangan mempelai yang keduanya berkewarganegaraan Republik Indonesia dan juga berlaku bagi pasangan perkawinan campuran. Setiap perkawinan campuran yang sah harus dicatatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa: 1. Perkawinan campuran dicatat oleh Pegawai Pencatat yang berwenang. 2. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) UndangUndang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Perkawinan yang telah dicatatkan akan mempunyai akibat hukum bagi perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan ditegaskan pula dalam Pasal (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat (dalam hal ini Kantor Urusan Agama), dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
85
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., hlm. 43.
Aturan mengenai pelaporan dan pencatatan perkawinan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Ketentuan Pasal 34 menyebutkan bahwa: 1. Penduduk yang bukan beragama Islam wajib melaporkan perkawinannya kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Berdasarkan laporan tersebut Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan yang kemudian Kutipan Akta Perkawinan masingmasing diberikan kepada suami dan isteri. 2. Pelaporan perkawinan bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan. Pencatatan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 juga berlaku bagi Warga Negara Asing yang melangsungkan perkawinan di Indonesia. Warga Negara Indonesia yang akan melangsungkan perkawinan di luar Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, agar perkawinan tersebut mempunyai akibat hukum
maka dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
pasangan tersebut kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus di daftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Ketentuan ini berlaku bagi 2 (dua) orang warga negara Indonesia atau Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang melangsungkan perkawinan di luar negeri. Didaftarkannya surat bukti perkawinan dari pasangan perkawinan campuran yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, maka perkawinan tersebut mempunyai akibat hukum di Indonesia dan status kewarganegaraan ganda secara terbatas pada anak-anak perkawinan campuran menjadi jelas dan nantinya dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya.
Jika status anak-anak tersebut tidak diketahui, nantinya akan kesulitan untuk menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apapun yang menyangkut halhal yang dibatasi untuk orang asing. 86 Pelaksanaan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam di luar negeri, dilaksanakan sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 589 Tahun 1999 Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri. Aturan mengenai pelaporan dan pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia juga terdapat dalam
Undang-Undang
Administrasi
Kependudukan.
Ketentuan
Pasal
37
menyebutkan bahwa: 1. Perkawinan Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia. 2. Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Pewakilan Republik Indonesia setempat.
86
Budiman, Buku Pedoman Pengurusan Surat Perkawinan (Hukum Perkawinan Indonesia untuk Perkawinan selain agama Islam), http://www.slideshare.net/advokatbudiman/ buku-pedomanpengurusan-surat-perkawinan.
3. Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perkawinan dalam dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. 4. Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri dan telah melakukan pencatatan perkawinan berkewajiban untuk melaporkannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Terdapat perbedaan batas waktu kewajiban pelaporan pencatatan perkawinan yang tercantum dalam ketentuan Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Perkawinan mengenai Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinannya di luar negeri. Undang-Undang Perkawinan Pasal 56 ayat (2) menyebutkan kewajiban pelaporan paling lambat adalah 1 (satu) tahun setelah suami istri kembali ke wilayah Indonesia, sedangkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 37 ayat (4) menyebutkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan ke Indonesia.
C. Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Perkawinan Setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu, tetapi perkawinan itu juga termasuk perbuatan hukum karena setiap perkawinan itu
harus dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 87 Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil maupun KUA adalah suatu perkawinan yang mana telah memenuhi semua syarat-syarat dan rukun perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, seperti yang diatur dan ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan seperti ini dapat disebut juga dengan perkawinan bawah tangan. Menurut Wahyono Darmabrata, perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan mengabaikan syarat dan prosedur undangundang, dapat terjadi tidak dilakukan di depan KUA, tetapi dilakukan di depan pemuka agama. Perkawinan demikian dapat diartikan sebagai itikad untuk penyelundupan ketentuan negara yang terutama dalam undang-undang. 88 Abdurrahman menyebutkan perkawinan dibawah tangan identik seperti yang dimaksud dengan istilah perkawinan gelap, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kawin gelap adalah kawin tanpa memenuhi prosedur sebagaimana mestinya seperti ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan dibawah tangan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia itu adalah sah, memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat perkawinan menurut hukum Islam atau telah sesuai dengan ketentuan
87
M.Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun,( Medan: CV Zahir, 1975), hlm 38. 88 Wahyono Darmabrata, Op.Cit., hlm.102.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, hanya saja tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah. Tetapi, menurut pendapat Wahyono Darmabrata perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah dan batal. Seharusnya suami dan lembaga atau instansi terkait tidak membuka kemungkinan perkawinan dibawah tangan, dan yang terhadap yang melaksanakan perkawinan semacam itu dapat atau perlu dipertimbangkan untuk dikenakan sanksi tertentu baik pembatalan perkawinan (sanksi perdata) maupun sanksi administratif. Tujuan dari pola pengaturan demikian, dimaksudkan untuk melindungi kepentingan wanita, baik isteri pertama, maupun isteri kedua, maupun anak-anak yang dilahirkan karena pada umumnya, suami sering mengingkari perkawinan dibawah tangan tersebut, jika kemudian perkawinan dipermasalahkan. Sering pula anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu juga tidak diakui. Dalam
hubungannya
dengan
pencatatan
perkawinan,
Sayuti
Thalib
mengatakan: “Sungguhpun demikian, pencatatan bukanlah sesuatu yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Perkawinan adalah sah kalau telah dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-masing walaupun belum didaftarkan.” Sedangkan pencatatan perkawinan hanya bertujuan untuk menyatakan bahwa peristiwa perkawinan ini benar-benar terjadi dan semata-mata bersifat administratif. Apabila perkawinan itu telah dicatat maka suami isteri akan memperoleh Akta Nikah atau Surat Nikah. Adapun fungsi atau arti dari Akta Nikah atau Surat Nikah ini adalah merupakan alat bukti otentik adanya perkawinan antara pihak yang bersangkutan sehingga tercipta pula adanya kepastian terhadap status perkawinan tersebut.
Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan, menurut Bagir Manan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Oleh karena itu, jika terjadi pasangan yang telah melakukan perkawinan yang sah menurut agama, karena itu telah sah pula menurut Pasal 2 ayat (1), tetapi belum dicatat, maka menurut Bagir Manan, cukup dilakukan pencatatan. Jika pasangan itu diharuskan melakukan akad nikah lagi, maka hal itu bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), akibatnya perkawinan yang baru menjadi tidak sah. 89 Pencatatan perkawinan ini meskipun merupakan tindakan administratif, namun tidak semata-mata sebagai suatu tindakan administratif, akan tetapi merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi sah atau tidaknya suatu perkawinan, karena hal tersebut harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum tentang telah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dilangsungkan berdasarkan agama yang dianut oleh pasangan suami isteri bersangkutan. Dalam hal ini perkawinan harus memperhatikan 2 (dua) aspek, yaitu harus memperhatikan hukum
negara dan hukum agama yang harus diterapkan secara
bersama dan sejalan, artinya tidak dipergunakan untuk saling menyelundupi satu terhadap lainnya. 90 Dalam perkembangan yang terjadi ada beberapa macam
89 90
Neng Djubaidah, Op. Cit., hlm. 159. Wahyono Darmabrata, Op.Cit., hlm. 133.
perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan Perkawinan yaitu Kantor Catatan Sipil maupun KUA, yaitu: 1. Perkawinan menurut agama tetapi tidak dicatatkan. Salah satu contoh adalah perkawinan yang harus dilakukan di Gereja menurut agama Katolik atau Kristen Protestan, sah menurut agamanya tetapi tidak melaksanakan pencatatan setelah disahkan sebagai suami isteri Gereja. 2. Perkawinan Siri. Masyarakat Islam yang melakukan perkawinan di bawah tangan biasa menyebutnya sebagai perkawinan siri. Karena perkawinan ini dilakukan hanya dihadapan Pemuka Agama saja, tidak menyertakan Pegawai Pencatat Nikah dari KUA. Perkawinan ini adalah sah menurut agama Islam, karena mengikuti rukunrukun nikah yang ada di dalam Hukum Islam. 3. Perkawinan Lainnya. Yang terjadi pada komunitas Tionghoa penganut Konghucu dan penganut kepercayaan. Tidak dilakukan pencatatan perkawinannya oleh Kantor Catatan Sipil dikarenakan belum diakui secara resmi sebagai agama oleh negara, di luar 5 agama (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha) yang diakui oleh negara. Untuk perkawinan tersebut ditolak pencatatannya oleh Kantor Catatan Sipil.
D. Akibat Hukum Dari Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan
Dalam hal perkawinan tidak dicatatkan, seringkali dijumpai berbagai masalah yang berpangkal tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, sehingga membawa dampak atau akibat yuridis dalam kehidupan bermasyarakat, diantaranya: 1. Terhadap status perkawinan suami isteri. Masalah perkawinan bukan hanya sekedar masalah pribadi dari yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi juga sebagai suatu perbuatan agama. Sebagai suatu perbuatan hukum, artinya adalah bahwa perkawinan menyangkut hubungan antara manusia yang menimbulkan akibat-akibat hukum yang berupa hak dan kewajiban bagi mereka yang melangsungkan perkawinan. Oleh sebab itu pemerintah mengatur norma-norma hukum bagi perkawinan diantara warganya menurut kebutuhan masing-masing masyarakat. Selanjutnya dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan agama, artinya bahwa dalam pelaksanaan perkawinan selalu dikaitkan dengan ajaran dari masing-masing agama yang mempunyai peraturan tersendiri tentang perkawinan, sehingga pada prinsipnya perkawinan diatur dan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama yang dianut oleh calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan. Misalnya, bagi mereka yang memeluk agama Islam akan tunduk pada hukum Islam, bagi mereka yang menganut agama Nasrani atau Kristen akan tunduk pada hukum agama Nasrani, begitu pula dengan agama lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa tidak ada perkawinan yang dapat dilangsungkan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sehingga tidak ada kemungkinan bagi seseorang melakukan perkawinan dengan melanggar hukum agamanya sendiri." Dari ketentuan tersebut sangat terlihat jelas betapa besarnya peranan agama dalam konsep perkawinan di Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Artinya, bahwa bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, maka pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama selain Islam, maka pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan." Di dalam suatu perkawinan yang sah akan timbul hak dan kewajiban antara suami isteri. Tetapi apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan pada kantor resmi yang berwenang maka hak dan kewajiban tersebut tidak ada. Hak yang dimaksud
disini adalah bahwa kedua suami isteri masing-masing mempunyai hak untuk saling memperoleh kebahagiaan dalam rumah tangga. 91 Karena dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tidak ada hak dan kewajiban diantara suami isteri, maka apabila terjadi perceraian di kemudian hari pihak isteri tidak dapat menuntut haknya dari suaminya. Begitu pula dengan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri seperti telah diuraikan di atas. Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri dan Perkawinan Campuran dalam Undang-Undang Perkawinan diharuskan adanya pencatatan di Kedutaan atau gedung perwakilan tempat dimana perkawinan dilangsungkan. Karena itu, perkawinan tersebut jika telah dicatatkan sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang akan dianggap sah di mata hukum. Setiap perkawinan Warga Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri berlaku Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur untuk setiap perkawinan Warga Negara Indonesia di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara dimana perkawinan dilangsungkan. Selain itu, terdapat prinsip vested rights (hak-hal yang diperoleh) dimana hak yang telah diperoleh menurut ketentuan negara asing tetap diakui, sehingga setiap perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri baik itu antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Indonesia, Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing maupun Warga Negara Asing dengan Warga Negara Asing tetap diakui sepanjang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan negara 91
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 71.
setempat. Apabila negara setempat menghendaki ketentuan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil suatu perkawinan maka perkawinan tersebut tetap dianggap sah oleh negara lain selama tidak bertentangan dengan ketentuan negara tersebut. Dari uraian di atas dapat disebutkan bahwa akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Lembaga Pencatatan Perkawinan terhadap status perkawinan dari suami isteri itu adalah: a. Perkawinan antara suami isteri tidak dianggap sah dan tidak diakui oleh negara, walaupun perkawinan tersebut dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu. b. Menimbulkan adanya ketidakpastian terhadap status perkawinan suami isteri tersebut, karena tidak ada bukti otentik yang dapat menjelaskan dan membuktikan adanya peristiwa perkawinan tersebut. c. Hal yang demikian juga menimbulkan adanya ketidakpastian berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan. Dengan tidak mencatatkan perkawinan, maka sulit untuk dapat menjamin berlangsungnya hak dan kewajiban diantara suami isteri dengan baik. Dengan kata lain, apabila suatu perkawinan tidak didaftarkan pada kantor resmi yang berwenang, maka para pihak yang terlibat dalam perkawinan itu tidak memiliki akta nikah atau surat nikah. Oleh sebab itu akan menimbulkan kerugian pada suami isteri tersebut, terutama pada pihak isteri mengenai sah atau tidak statusnya dalam perkawinan, misalnya: a. Tidak menerima tunjangan hidup isteri dan anak-anaknya.
b. Tidak menerima uang pensiun atau warisan apabila suami meninggal dunia, maka isteri dari perkawinan yang tidak dicatatkan tidak berhak atas uang pensiun suaminya. c. Dalam hal apabila terjadi ketidakharmonisan atau ketidakcocokan dalam kehidupan berumah tangga, maka mereka tidak dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. 2. Terhadap Status dan Kedudukan Anak Sebagai orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinannya timbul suatu kewajiban untuk mendidik dan membesarkan hingga anak tersebut dewasa. Disamping itu apabila perkawinan yang berlangsung dan tidak dicatatkan tetapi telah menghasilkan anak, maka status anak tersebut tidak mempunyai kejelasan karena tidak ada bukti otentik yang menunjukkan adanya peristiwa perkawinan orang tuanya. 92 Setiap perkawinan yang telah dilangsungkan harus dicatatkan karena pencatatan perkawinan akan diterbitkan akta perkawinan yang akan menjadi alat bukti telah terjadinya perkawinan yang sah, karena akta-akta yang dibuat pada Catatan Sipil mempunyai kegunaan sebagai alat bukti yang paling kuat dalam menentukan kedudukan hukum seseorang, memberikan kepastian hukum yang sebesar-besarnya tentang kejadian kelahiran dalam hal ini kedudukan hukum seorang anak. Ini berarti bahwa pencatatan perkawinan maka perkawinan tersebut diakui oleh
92
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 7.
negara dan hal ini mempunyai akibat hukum yang pasti bagi yang bersangkutan khususnya dalam hak waris anak-anak. 93 Pencatatan perkawinan mempunyai akibat hukum kepada kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Undang-Undang Perkawinan mengenal dua macam status anak, yaitu anak sah dan anak luar kawin, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Pengertian anak sah dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut juga dapat diartikan anak itu lahir akibat suatu perkawinan yang sah antara sepasang suami isteri, meskipun ternyata si anak secara biologis bukan anak dari suami yang mengawini ibu si anak, dapatlah diartikan anak sah dalam arti sempurna adalah anak yang menurut darahnya merupakan keturunan dari orang tua. Selain itu dari ketentuan diatas kedudukan seorang anak adalah merupakan anak sah atau anak luar kawin harus dapat ditentukan terlebih dahulu perkawinan yang dilangsungkan orang tuanya merupakan perkawinan yang sah atau bukan. Perkawinan harus dicatat sehingga memenuhi ketentuan menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan karena Undang-Undang memang menghendaki
93
Margaretha Eveline, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 1tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Kota Bekasi”, (Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2009), hlm. 77.
dicatatkannya suatu perkawinan. Hal ini sebagai syarat sahnya suatu perkawinan disamping untuk menciptakan kepastian hukum dan ketertiban, serta berhubungan dengan status sipil seseorang khususnya dengan status keperdataannya sehingga anak yang dilahirkan dari perkawinan menjadi anak sah sebagai anak sah maka anak tersebut akan memiliki hak nafkah hidup. Akibat hukum apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan terhadap anak adalah kedudukan anak tersebut menjadi anak tidak sah, anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya sehingga anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan kesulitan mendapatkan akta kelahiran yang sah. 94 Untuk kedepannya anak-anak tersebut akan menghadapi kesulitan apabila akan mengurusi kepentingan yang mengharuskan kelengkapan administratif, karena anak-anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai akta kelahiran karena kedua orang tuanya tidak mempunyai akta nikah yang resmi. Namun dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUUVIII/2010 yang berkaitan dengan adanya hubungan keperdataan anak dari hubungan luar nikah terhadap ayah biologisnya maka Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut dianggap tidak mencerminkan Pasal 28B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan : “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
94
Ibid, hlm.78.
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam putusan tersebut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. 95 Suatu perkawinan baik antara Warga Negara Indonesia maupun antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dapat dilangsungkan baik di dalam wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Untuk itu, sebelum menentukan kedudukan anak harus ditentukan dulu perkawinan yang telah berlangsung tersebut telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dimana perkawinan itu dilangsungkan. Bila terdapat perbedaan kewarganegaraan antara orang tua dan anaknya maka harus
dilakukan
pemilihan
mengenai
hukum
yang
menentukan
status
kewarganegaraan mereka. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita Warga Negara Indonesia dengan pria Warga Negara Asing, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita Warga Negara Asing dengan pria Warga Negara Indonesia, samasama
diakui 95
sebagai
Warga
Negara
Indonesia.
Anak
tersebut
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.198.
akan
berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Dari perkawinan campuran tersebut dapat kita lihat bahwa anak yang lahir mempunyai tiga kemungkinan dalam mendapatkan status kewarganegaraan yaitu menjadi Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing dan Berkewarganegaraan Ganda. Jika anak tersebut menjadi Warga Negara Indonesia maka kedudukannya akan menjadi anak sah apabila perkawinan orang tuanya tersebut dilangsungkan sesuai dengan Undang-Undang. Namun, jika anak tersebut memilih menjadi Warga Negara Asing maka kedudukan anak tersebut juga dilihat dari keabsahan perkawinan orang tuanya. Perkawinan campuran yang dilangsungkan baik di dalam maupun di luar Indonesia diakui sah oleh Negara Republik Indonesia apabila dilangsungkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ada di negara tempat berlangsungnya perkawinan. Jika perkawinan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan negara tersebut maka perkawinan itu telah dianggap sah sehingga anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dianggap sebagai anak sah. 3. Terhadap Harta Kekayaan Untuk terjadinya pemilikan bersama harta benda suami isteri, mereka dapat melangsungkan perkawinannya secara sah. Tetapi apabila setelah perkawinan tidak dicatatkan maka akan terjadi ketidakpastian terhadap harta perkawinan. Misalnya, dalam hal pihak isteri ingin mendapatkan bagiannya atas harta bersama selama perkawinan tidak dapat dikabulkan oleh Pengadilan, karena pihak yang bersangkutan
tidak dapat membuktikan adanya suatu perkawinan yang dengan menunjukkan akta nikah. 96 Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, artinya bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama suami isteri”. Lebih lanjut, Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Harta dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing pihak sebagai hadiah atau warisan. b. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan oleh suami isteri tersebut. Dalam hal ini untuk menentukan status pemilikan harta selama pemilikan harta selama dalam hubungan perkawinan adalah penting untuk memperoleh kejelasan mengenai status harta itu, seperti jika terjadi perceraian atau apabila terjadi kematian salah satu pihak sehingga mudah ditentukan mana harta peninggalan yang dapat diwariskan kepada pihak ahli waris. Berkaitan dengan ini, maka diperlukan adanya akta perkawinan sebagai bukti otentik dengan tujuan agar pihak yang bersangkutan dapat mengajukan pembagian harta bersama ke Pengadilan negeri dan memperoleh kejelasan terhadap hak dari para pihak dan status harta bersama. 96
J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.37.
Sehingga akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan Lembaga Pencatatan Perkawinan yaitu Kantor Catatan Sipil dan KUA terhadap harta kekayaan adalah: a. Akan menimbulkan ketidakjelasan terhadap status harta bersama dalam perkawinan, yaitu hak suami isteri terhadap harta bersama. b. Sulit bagi kedua belah pihak untuk mengajukan pembagian harta bersama ke Pengadilan negeri, karena perkawian tersebut dianggap tidak pernah ada oleh hukum. 4. Terhadap Pembubaran Perkawinan Menurut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Bubarnya perkawinan karena kematian bukan merupakan kematian perdata (le mort civile), akan tetapi kematian daripada pribadi orangnya, bahkan yang dimaksud oleh undang-undang kematian salah satu pihak, apakah suami atau isteri akan tetapi bukan keduaduanya. 97 Peristiwa kematian ini penting untuk didaftarkan pada suatu lembaga guna mendapatkan suatu akta, agar kepada orang-orang yang masih hidup mengetahui siapa sebenarnya anggota keluarga almarhum yang terdekat. Hal ini perlu dilakukan karena sangat berguna untuk mengetahui siapa yang sebenarnya menjadi ahli waris dari almarhum (pewaris), demikian pula terhadap janda yang ditinggalkannya. 98
97 98
R. Soetojo Prawiroamidjojo, Op.Cit., hlm.123. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., hlm. 46.
Bubarnya perkawinan karena perceraian setelah diundangkannya UndangUndang Perkawinan dan PP No. 9/75 tidak dapat lagi dilakukan dengan sewenangwenang yaitu harus dilakukan dengan prosedur hukum dan alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan ditentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak suami isteri tersebut. Jika permohonan perceraian tersebut diputus dan dikabulkan oleh Hakim Pengadilan, maka pengadilan membuat Surat Keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Selanjutnya Surat Keterangan itu dikirimkan kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. 99 Perceraian baik bagi yang bukan beragama Islam maupun yang beragama Islam harus dilaporkan dan didaftarkan di Kantor Pencatatan Sipil atau KUA. Sehubungan dengan itu ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) PP No. 9/75 antara lain menyatakan : “Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.” Dahulu, bagi mereka yang tunduk pada hukum perdata barat, juga diwajibkan untuk mendaftarkan perceraiannya dalam suatu register pencatatan sipil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 221 KUHPerdata, yang bunyinya sebagai berikut: 1. Perkawinan bubar karena keputusan perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam register pencatatan sipil. 99
Ibid, hlm. 45.
2. Pembukuan perceraian itu harus dilakukan di tempat dimana perkawinan tadi telah dibukukan dan atas permintaan kedua belah pihak atau salah seorang dari mereka. 3. Jika perkawinannya berlangsung di luar Indonesia, pembukuan perceraian harus dilakukan dalam register pencatatn sipil di Jakarta. 4. Pembukuan perceraian dimaksud harus dilakukan dalam waktu enam bulan, terhitung mulai keputusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. 5. Jika pembukuan perceraian dimaksud tidak dilakukan dalam waktu tersebut, maka hilanglah kekuatan keputusan perceraian itu dan perceraian itu tidak dapat dituntut lagi atas dasar dan alasan yang sama. Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 221 KUHPerdata, jelas bahwa pendaftaran dan pencatatan perceraian merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan agar perceraian mempunyai kekuatan hukum dan mengikat bagi para pihak. Ini berarti, sama halnya dengan adanya suatu perkawinan, demikian pula adanya suatu perceraian harus dapat dibuktikan dengan suatu akta perceraian. Disamping itu, pencatatan sipil akan memberikan catatan pinggir pada akta perkawinan yang bersangkutan. 100 Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pencatatan perkawinan sangat penting apabila terjadi pembubaran perkawinan, baik itu karena kematian, perceraian atau putusan pengadilan. Untuk melakukan pembubaran perkawinan tersebut terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa telah terjadi perkawinan antara kedua belah pihak yaitu antara suami dan isteri. Jika suatu perkawinan tersebut tidak dicatatkan sehingga tidak dapat dibuktikan dengan suatu akta apapun maka pembubaran perkawinan tersebut sulit untuk dilakukan. Suatu perkawinan sulit dibuktikan sah atau tidaknya apabila tidak
100
Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm. 225-226
dicatatkan, dengan begitu pembubarannya pun sulit dilakukan. Dengan begitu, akibatakibat yang terjadi akibat bubarnya perkawinan seperti status anak dan isteri/suami yang ditinggal, harta perkawinan serta hak mewarisnya pun juga sulit untuk dibuktikan.
BAB III