BAB II KEBIJAKAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS)
A. Fungsi dan Kewenangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Ruang lingkup kebijakan pengaturan pengaturan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia (BI) menurut undang-undang yang pelaksanaannya tertuang dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI), pada dasarnya mencakup empat aspek, yakni : pertama, perizinan, meliputi ijin prinsip dan ijin usaha. Kedua, pengaturan dan ketentuan perbankan, meliputi ijin bank, kelembagaan bank, kegiatan usaha bank, kegiatan bank dengan prinsip syariah, merger-konsolidasiakuisisi, sistem informasi antar bank, tata cara pengawasan bank, sistem pelaporan bank ke BI, penyertaan bank, pencabutan usaha-likuidasi-pembubaran bentuk hukum bank, dan lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan. Ketiga,aspek pengawasan, meliputi pengawasan secara tidak langsung (on site supervision maupun keduanya). Keempat, aspek pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan, berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana. 47 Berbagai aturan yang dibuat tersebut tidak lain adalah untuk menciptakan dan memelihara kesehatan bank 48, baik secara individu maupun perbankan sebagai suatu sistem.
47
Marsuki, Landscape Kebanksentralan Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana media, 2010), hal.104-105. 48 Suatu bank dikatakan sehat apabila secara makro dapat memberi pelayanan bagi masyarakat dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi. Oleh karena bank terebut harus dapat menjaga dan
Universitas Sumatera Utara
1. Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Perbankan di Indonesia Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan
mengamanatkan
bahwa: “Pembinaan dan pengawasan bank
dilakukan oleh Bank Indonesia. Sejalan dengan itu, Pasal 8 Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia juga menyatakan bahwa: “Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut: (1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter (2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran (3) Mengatur dan mengawasi bank
Adapun fungsi pembinaan yang dimanatkan undang-undang kepada Bank Indonesia maknanya adalah merupakan upaya-upaya yang dilakukan dengan cara
menetapkan peraturan yang menyangkut aspek-aspek;
kelembagaan bank, kepemilikan bank, kepengurusan bank, kegiatan usaha bank, pelaporan bank, reta lainnya berhubungan dengan kegiatan operasional bank. 49 Sedangkan fungsi pengawasan adalah meliputi pengawasan tidak langsung, yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian
memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran sistem pembayaran, serta dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Demikian juga harus sehat secara mikro, sebagai suatu entitas bisnis. Untuk itu berarti bank harus mempunyai modal yang cukup; mampu menajga kualitas assetnya; mampu mengelola dengan baik dan mengoperasikannya berdasarkan prinsip kehati-hatian; mampu menghasilkan keuntungan untuk mempertahankan usahanya; mampu memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi segala kewajibannya, serta senantiasa dapat memnuhi segala ketentuan dan aturan yang ditetapkan. 49 Rachmadi usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia, 2003), hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
analisis dan evaluasi laporan bank; dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. 50 Jadi undang-undang perbankan membedakan secara jelas yang dimaksud dengan fungsi pembinaan dan fungsi pengawasan, dimana fungsi pembinaan menitikberatkan pada “regulation”, sedangkan fungsi pengawasan menitikberatkan pada “supervision”. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 29 UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dijelaskan pula tujuan dari pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia tersebut, yaitu: Pertama, kedua fungsi itu harus dilakukan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral, mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, karenanya keadaan suatu bank perlu dipantau oleh Bank Indonesia. Kedua, tujuannya agar kesehatan bank tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat terhadap bank tetap terpelihara, sebab kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat. Ketiga, sejalan dengan itu Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung jawab dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk-petunjuk, 50
Ibid., hal.123
Universitas Sumatera Utara
nasihat-nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Keempat, di pihak lain bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan
internal
dalam rangka
menjamin
terlaksananya
proses
pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pembina, Bank Indonesia (BI) berperan sebagai institusi atau regulator sistemik. Ada tiga alasan BI berperan sebagai regulator sistemik. yang mengawasi kesehatan dan stabilitas keseluruhan sistem keuangan semakin mengemuka. Tiga alasan tersebut, pertama, bank sentral memiliki hubungan jual-beli sehari-hari dengan palaku pasar sebagai bagian dari fungsi utamanya mengimplementasikan kebijakan moneter. Sehingga tidak ada lembaga lain yang memiliki pengetahuan dan akses sejenis ke aliran utama sistem keuangan. Kedua, tanggung jawab untuk mempertahankan stabilitas ekonomi makro sangat sejalan dengan peran untuk menjamin stabilitas keuangan. Sejarah menunjukkan berbagai krisis ekonomi dunia selalu berhubungan dengan krisis keuangan, sehingga bank sentral secara alami memang harus mempertimbangkan intetaksi antara sektor keuangan daan kebijakan moneter dalam melaksanakan tugansnya. Ketiga, fungsi lender of last resort memang ada di bank sentral. Dengan fungsi itu, bank sentral dapat menggunakan neracanya untuk menyedaikan pendanaan darurat jangka pendek di masa krisis.Sebagai regulator sistemik
Universitas Sumatera Utara
bank sentral akan mampu memperoleh informasi lapangan langsung dari lembaga-lembaga keuangan yang diawasi . Informasi ini butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat apakah suatu lembaga keuangan perlu di selamatkan. 51
2. Fungsi Bank Indonesia sebagai “Lender of The Last Resort” Kebijakan lender of last resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, BI telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan the lender of last resort (LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis) mengacu pada best practices. Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk kondisi krisis, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama, dengan tetap mensyaratkan solvensi dan agunan. 52 Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank Indonesia sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah berdasarkan Undangundang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
51
Darmin Nasution, Ada Tiga Alasan bank Indonesia Sebagai Regulator Sistemik, Info bank, 23 januari 2010. 52 http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Manajemen+Krisis/Jari ng+Pengaman+Sistem+Keuangan/, diakses tanggal 25 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
dengan Undang-undang No 3 Tahun 2004 . 53 Sebagai peraturan pelaksanaan fungsi lender of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan FPD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
B. Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah Sejalan dengan tugas pokok dan peran Bank Indonesia serta arahan umum kebijakan di bidang perbankan pada awal tahun 2010, pelaksanaan kebijakan di bidang perbankan syariah selain mengacu pada kebijakan umum di bidang perbankan juga memperhatikan arahan dan kebijakan khusus terkait dengan perbankan syariah yang merupakan sub sektor perbankan yang masih perlu di dorong agar dapat tumbuh lebih cepat dimana peran dan kontribusinya diharapkan dalam mencapai sasaran kebijakan di bidang
perbankan dan
kebijakan Bank Indonesia secara umum dapat lebih besar. Secara umum Bank Indonesia telah menetapkan sejumlah arah kebijakan di bidang perbankan dengan pendekatan insentif dan disinsentif. Hal ini antara lain mencakup peningkatan ketahanan sistem perbankan yang perlu ditempuh melalui penguatan pengaturan, pemantapan sistem pengawasa bank, penataan kembali 53
Sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pengendalian moneter, Bank Indonesia juga mempunyai fungsi lender of the last resort, yang memungkinkan Bank Indonesia membantu kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank. Lebih lanjut lihat Pasal 11 UU No.03 tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
tingkat kompetisi di Industri perbankan Indonesia, serta pendalaman pasar keuangan. Selanjutnya, untuk meningkatkan peranan perbankan syariah terhadap perekonomian nasional dan penguatan ketahanannya sejumlah kegiatan yang merupakan implementasi arah kebijakan tahun 2010 di bidang perbankan syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia, khususnya Direktorat Perbankan Syariah dengan mencakup berbagai kegiatan dalam bidang penelitian, pengaturan dan pengembangan, perijinan, dan pengawasan perbankan syariah. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan sebagai satu kesatuan dalam upaya mengembangkan perbankan syariah yang efisien, prudent dan sejalan dengan prinsip syariah. 54
1. Penelitian dalam Rangka Regulasi dan Pengembangan Produk Sebagai pemegang otoritas pengawas bank-bank di Indonesia, Bank Indonesia secara intensif sejak tahun 2002 hingga sekarang terus melakukan regulasi terhadap aktivitas perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 20072008, Bank Indonesia mencanangkan program akselerasi pengembangan dan pertumbuhannya. Dalam jangka pendek, hingga akhir 2008 Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan kuantitatif aset perbankan syariah yang cukup besar, yaitu dapat mencapai minimal 5% dari seluruh aset perbankan nasional. Untuk itulah akselerasi pertumbuhan tersebut perlu didukung oleh suatu kebijakan akselerasi yang tepat yang tidak hanya melibatkan Bank
54
Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BFDA4428-A55F-4300-9C232DFFB5AE7666/22019/OutlookPerbankanSyariah2011.pdf , diakses tanggal 15 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia dan pemerintah saja, tetapi juga komponen masyarakat lainnya seperti lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi sebagai penyedia sumber daya insani. 55 Melihat pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia, Bank Indonesia telah pula merumuskan paradigma kebijakan yang akan ditempuh. Adapun paradigma kebijakan tersebut yaitu: 56 Pertama, market driven, di mana bank Indonesia bersama stakeholder yang lain akan melakukan public education kepada masyarakat untuk mendukung proses positioning. Hal ini terjadi karena industri perbankan syariah tiumbuh seagai realisasi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan keuangan dan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah. Kedua, yaitu fair treatment, yang artinya pengembangan kerangka ketentuan maupun upaya bagi penyempurnaan infrastruktur industri dilakukan berdasarkan konsep perlakuan yang sama, yang mengakomodasi ciri-ciri operasional khusus perbankan syariah, serta penyusunan program pengembangan yang disesuaikan dengan tahapan pertumbuhan industri. Ketiga,
gradual
and
sustainnable
approach,
yaitu
program
pengembangan perankan dapat dipandang sebagai suatu upaya transformasi suatu industri yang dilakukan menurut fokus dan prioritas dalam suatu tahapan yang terstruktur dan berkesinambungan. 55
Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah, Teori, kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hal.59. 56 Ibid., hal.60
Universitas Sumatera Utara
Keempat, yaitu comply to shariah principles, yang artinya kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah yang merupakan suatu argumen utama keberadaan industri perbankan syariah. Adapun implementasi kepatuhan terhadap prinsip syariah merupakan upaya untuk menginkorporasi nilai-nilai syariah,
baik
dalam
skema
transaksi
keuangan
sampai
kepada
implementasinya dalam mengelola usaha yang tercermin dalam corporate governance industri perbankan syariah yang baik. Selanjutnya, sejalan dengan paradigma kebijakan perbankan syariah kegiatan pengaturan pada tahun 2010 masih merupakan kelanjutan dari penyusunan dan penyempurnaan ketentuan yan telah menjadi amanat UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Beberapa ketentuan yang telah disusun pada taun 2010 merupakan petunjuk pelaksanaan dari pengaturan perbankan syariah yang telah disusun pada tahun 2009 yaitu Peraturan BI mengenai Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah serta Peraturan BI mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Selain itu, terdapat beberapa ketentuan yang akan dikeluarkan untuk mengakomodasi perkembangan yang terjadi sesuai dengan kondisi perbankan syariah, antara lain berupa ketentuan-ketentuan yang telah berlaku yaitu ketentuan mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah, dan kualitas aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan ketentuan baru bagi perbankan syariah yaitu Peraturan
Universitas Sumatera Utara
Bank Indonesia mengenai Manajemen Risiko bagi Bank Umum dan Unit Usaha Syariah. Adapun beberapa ketentuan yang telah diterbitkan dalam rangka petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank indonesia sebelumnya antara lain adalah: 57 a. Surat Edaran BI No.12/6/DPbs tanggal 28 maret 2010 perihal Uji Kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. b. Surat Edaran BI No.12/13/DPbs tanggal 30 April 2010 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum Syariah dan unit Usaha Syariah. c. Penyempurnaan atas Ketentuan mengenai Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. d. Ketentuan mengenai Kualitas Aktiva bagi Bak Umum Syariah dan unit Usaha Syariah serta Kualitas bagi Bank Pembiayaan rakyat Syariah. e. Menyusun Ketentuan mengenai manajemen resiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Disamping mengeluarkan ketentuan-ketentuan di atas, Bank Indonesia juga melakukan penyusunan ketentuan dalam rangka petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku bagi Perbankan Syariah pada periode
57
Ibid., hal.18-23
Universitas Sumatera Utara
mendatang yang akan tetap berpedoman pada Undang-undang Perbankan Syariah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain regulasi terhadap perbankan syariah, Bank Indonesia juga mempunyai tanggung jawab dalam mendukung upaya inovasi produk yang dapat meningkatkan daya saing perbankan syariah baik secara domestik, regional maupun kompetisi global di era pasar bebas dengan antisipasi berbagai peluang dan tantangannya ke depan, Bank Indonesia pada tahun 2010 telah melakukan kajian pemetaan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan identifikasi kebutuhan pasar perbankan syariah. 58
2. Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Perbankan Syariah Kondisi keuangan yang sehat serta kepatuhan dalam melaksanakan prinsip syariah merupakan dua aspek yang harus diusahakan dalam waktu yang sama. Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan suatu mekanisme yang jelas untuk mengatur wewenang dan tugas pengawasan serta konsep pengaturan kedua aspek yang berbeda tersebut. 59 Pengembangan perbankan syariah yang tengah diupayakan saat ini perlu diikuti dengan langkah-langkah pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa perbankan syariah telah tumbuh dan berkembang secara sehat, memperhatikan prinsip kehati-hatian, menerapkan tata kelola perusahaa yang 58 59
Outlook Perbankan Syariah, Loc..Cit., hal.3. Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.131
Universitas Sumatera Utara
baik, memiliki manajemen rsiko yang efektif, dan memenuhi prinsip-prinsip syariah secara konsisten. Terkait hal tersebut, Bank Indonesia dengan berdasarkan kepada kerangka kerja pengawasan berdasarkan resiko, telah melaksanakan pengawasan secara langsung (on-site) maupun tidak langsung (off-site) 60 dengan fokus pada aktivitas fungsional yang memiliki risiko tinggi. 61 Peran pengawasan bank Indonesia terhadap perbankan syariah sebagaimana diatur di dalam Pasal 50 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Di dalam Pasal 50 dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan bank syariah dan unit usaha syariah dilakukan oleh Bank Indonesia.” Lebih lanjut dinyatakan pada Pasal 52 ayat (3) huruf a UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah bahwa: “Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang: a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank; b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank; dan c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.”
60
Pengawasan tidak langsung (off-site) adalah bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank. Sedangkan pengawasan langsung (on-site) atau lapangan adalah bentuk pemeriksaan lapangan yang diikuti dengan tindakan-tindakan perbaikan, pemeriksaan ini dilakukan sedikitnya satu tahun sekali. http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/detil/id/2:3164/q/pengarang:Dimas%20Aryo%20Wicaksono/offset/0/lim it/5, diakses tanggal 10 Oktober 2011. 61 Zainudin Ali, Op.Cit, hal.23.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No.21 tahun 2008 yang mengatur secara khusus tentang Perbankan Syariah maka jelaslah bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai kewenangan untuk pembinaan dalam arti mengawasi bank syariah. Pembinaan yang dilakukan Bank Indonesia, antara lain, mengenai aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank Syariah dan UUS. Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (off-site supervision) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung (on-site supervision) dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank yang bersangkutan. 62
C. Faktor-faktor Bank Indonesia Mengeluarkan Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS). Keberlangsungan usaha suatu bank yang didominasi oleh aktivitas Pembiayaan, dipengaruhi oleh kualitas Pembiayaan yang merupakan sumber utama bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi usaha yang berkesinambungan. Pengelolaan bank yang optimal dalam aktivitas pembiayaan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi. Pengelolaan tersebut antara lain dilakukan melalui Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar namun 62
Lihat Penjelasan Pasal 50 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Universitas Sumatera Utara
dinilai masih memiliki prospek usaha dan mempunyai kemampuan untuk membayar setelah restrukturisasi. Pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan pada bank
juga
memperhatikan
aspek
kebutuhan
dan
kesesuaian
dengan
perkembangan industri perbankan syariah menjadi pertimbangan dalam penyempurnaan ketentuan mengenai restrukturisasi pembiayaan di bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 63 Langkah Bank Indonesia untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang restrukturisasi pembiayaan bank syariah adalah untuk menguatkan perbankan syariah di Indonesia. Dengan peraturan tersebut, secara umum diharapkan bank syariah akan menjadi lebih mampu bersaing dalam pembiayaan kepada nasabah. Berdasarkan hal ini ada beberapa faktor yang menjadi pendorong apa saja yang menjadi alasan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit usaha Syariah. 1. Untuk Menjaga Kelangsungan Usaha Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan kehati-hatian. Adapun jenis kegiatan usaha bank syariah baik bank umum syariah maupun unit usaha syariah lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 19 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada ayat (1) dan (2) , yaitu: (1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
63
Penjelasan PBI No.13/9/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Universitas Sumatera Utara
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah; m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah; p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
Universitas Sumatera Utara
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kegiatan usaha UUS meliputi: a.menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
Universitas Sumatera Utara
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selain jenis kegiatan usaha yang diatur dalam undang-undang dalam melakukan kegiatan usahanya perbankan syariah mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Sedangkan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha perbankan syariah seperti yang diatur dalam ketentuan di atas, maka Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai restrukturisasi pembiayaan. Upaya yang dilakukan dalam bentuk restrukturisasi pembiayaan ini adalah salah satu rambu-rambu kesehatan bank bagi bank syariah. Penetapan rambu-rambu kesehatan itu bertujuan agar bank sebagai financial intermediary institusion yang melakukan kegiatan usahanya dengan menggunakan dana masyarakat dan pihak ketiga lainnya, harus selalu dalam keadaan sehat. 64 Secara tegas undang-undang perbankan menentukan pula bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bankdan wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian. Kewajiban tersebut berlaku tanpa membedabedakan apakah bank itu bank umum syariah, unit usaha syariah,
Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), maupun bank konvensional. 64
Sutan remy Sjahdeni, Perbankan Islam Dalam Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk Menjaga Kualitas Pembiayaan Bank Indonesia terus berkomitmen mendorong pertumbuhan bisnis perbankan syariah di Indonesia. Salah satunya dengan menjaga kualitas pembiayaan. Ada 2 (dua) hal penting yang harus dilakukan dalam pembiayaan perbankan syariah. Pertama, Bank Indonesia akan mengatur restrukturisasi untuk pembiayaan konsumtif. Restrukturisasi ini hanya bisa dilakukan jika nasabah mengalami kemampuan membayar dan terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah dalam memenuhi kewajiban restrukturisasi. Kedua, Bank Indonesia akan memperbolehkan bank melakukan restrukturisasi dengan kualitas lancar dan dalam perhatian khusus. Namun restrukturisasi tersebut hanya boleh dilakukan sebanyak satu kali. Sementara itu, restrukturisasi dengan kualitas pembiayaan kurang lancar, diragukan, dan macet bisa dilakukan lebih dari satu kali tergantung pada Standard Operating Procedure (SOP) yang ditetapkan bank. 65
3. Mendukung Pertumbuhan dan Perkembangan Industri Perbankan Syariah Secara Optimal
65
Kebijakan Perbankan, Bank Syariah Boleh Restrukturisasi Pembiayaan berkualitas http://lifestyle.kontan.co.id/v2/1297323960/58673/bank-Syariah-boleh-restrukturisasiLancar, pembiayaan-berkualitas-lancar, diakses tanggal 01 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya pengembangan perbankan syariah tersebut disadari masih terdapat sejumlah permasalahan yang perlu segera di atasi, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Belum lengkapnya peraturan dan infrastruktur bagi bank syariah merupakan salah satu permasalahan mendasar yang perlu segera diatasi agar bank syariah dapat beroperasi secara optimal sesuai dengan karakteristiknya. Sejumlah ketentuan yang ada belum sesuai dengan nature of business bank syariah yang tidak mengenal suku bunga dan kegiatan spekulasi serta mengutamakan prinsip kemitraan dan keadilan. Dengan demikian perlu segera disusun peraturan dan infrastruktur yang berdasarkan penelitian (researchbased
regulations)
dan
diberlakukan
dengan
pentahapan
yang
sesuai
perkembangan perbankan syariah. Pentingnya pengaturan perbankan syariah didasarkan pada pertimbangan bahwa bank syariah merupakan bagian dari sistem perbankan yang mempunyai sejumlah perbedaan karakteristik usaha dan sistem operasi dibandingkan dengan bank konvensional. Disamping itu, pengaturan yang bersifat spesifik dalam operasional perbankan syariah diperlukan untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah (comply to sharia principles). Urgensi penyempurnaan pengaturan bagi perbankan syariah menjadi penting mengingat ketentuan yang ada saat ini belum sepenuhnya dapat mengakomodir kegiatan usaha perbankan syariah.Selanjutnya, harus disadari bahwa lengkapnya peraturan dan infrastruktur saja belum cukup untuk menjamin suksesnya bank syariah dalam mendekatkan (linkages) sektor keuangan dengan sektor riil. 66 66
Marsuki., Op.Cit., hal.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap awal, landasan hukum bagi pengembangan perbankan syariah adalah UU No. 7 tahun 1992 yang mengizinkan bank untuk memberikan pinjaman kepada nasabah dengan prinsip bagi hasil. Sejak tahun 1992-1998 dapat dikatakan tidak banyak kemajuan dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia terutama karena belum ada landasan hukum yang jelas mengenai keberadaan bank syariah. Dengan lahirnya UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 keberadaan bank syariah diakui secara eksplisit dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan syariah. Namun, harus disadari bahwa UU No. 10 tahun 1998 yang mengatur keberadaan bank syariah hanya dalam beberapa pasal belumlah cukup sebagai landasan hukum bagi pengembangan perbankan syariah di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal tersebut, kebutuhan terhadap landasan hukum yang berdiri sendiri dirasakan cukup mendesak khususnya dengan semakin pesatnya perkembangan bank syariah. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan UU Perbankan Syariah yang dapat menjadi payung bagi semua ketentuan teknis dan operasional bank syariah. Pengaturan perbankan di Indonesia, tidak terkecuali bank syariah, adalah dalam upaya meningkatkan ketahanan sistem perbankan melalui penyempurnaan peraturan dan infrastruktur. Agar bank syariah dapat beroperasi secara optimal diperlukan kelengkapan peraturan dan infrastruktur yang dapat menjamin bank syariah dikelola dengan cara-cara yang sesuai prinsip syariah dan kehati-hatian bank. Pada saat ini telah ada tujuh ketentuan pelaksanaan bagi bank syariah, yaitu
Universitas Sumatera Utara
tiga ketentuan yang mengatur kelembagaan dan jaringan kantor bank syariah, dan empat ketentuan mengenai pengaturan penyelenggaraan kliring lokal bagi BUS, UUS dan juga BUK; ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum bagi BUS maupun UUS; pengaturan tata cara penempatan dana pada SWBI; serta satu ketentuan mengenai infrastruktur PUAS. 67 Sejalan dengan tujuan mendukung pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah secara optimal, maka selain tujuh ketentuan pelaksanaan bagi bank syariah di atas, saat ini Bank Indonesia juga telah mengeluarkan pengaturan mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan usaha unit syariah sebagai upaya penyempurnaan ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia.
4. Untuk Meminimalisasi Risiko Kerugian Sebagaimana
halnya
bank
konvensional,
bank
syariah
juga
mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuansatuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengaan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (defisit unit). Dalam kegiatannya tersebut perbankan selalu senantiasa berhadapan dengan berbagai risiko, dan harus diakui bahwa sesungguhnya industri perbankan adalah suatu industri yang sarat dengan
67
Mulya Siregar, Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek dan Arah Kebijakan, dalam IQTISAD Journal of Islamic Economics, Vol. 3, No. 1, Muharram 1423 H/Maret 2002, hal.47-49.
Universitas Sumatera Utara
risiko, terutama karena melibatkan pengelolaan uang masyarakat dan diputar dalam bentuk berbagai investasi, seperti perkreditan, pembelian surat-surat berharga dan penanaman dana lainnya. 68 Untuk itu setiap perbankan harus meningkatkan fungsi pengendalian intern serta pengelolaan risiko yang komperhensif. Dengan sasaran agar setiap risiko yang berpotensi terhadap kerugian dapat diidentifikasi oleh manajemen sebelum transaksi atau penyaluran pembiayaan dilakukan. Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Risiko kredit atau pembiayaan adalah Risiko kerugian yang diderita bank, terkait dengan kemungkinan bahwa pada saat jatuh tempo, counterparty-nya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada Bank. Risiko Pembiayaan muncul jika Bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab utamanya terjadinya risiko pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan
68
Darul Ulum, Penerapan Manajemen Risiko Penyaluran Dana pada Perbankan Syariah, http://deoue.wordpress.com/2010/01/29/manajemen-risiko-pada-bank-syariah/, diakses pada tanggal 12 Oktober 20111.
Universitas Sumatera Utara
likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya. 69 Risiko ini akan semakin tampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengakibatkan berkurangnya penghasilan perusahaan sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Apalagi jika bank mempunyai pembiayaan macet, maka bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang berat. 70 Adapun risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu perbankan, dan bank syariah khusunya memerlukan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usahanya. 71 Adapun metode yang digunakan untuk mengetahui risiko pembiayaan ini adalah Credit Risk+Portfolio (CRP) Analysis. Metode ini merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengukur risiko kredit/pembiayaan yang menitikberatkan pada tingkat default yang dianggap sebagai suatu variabel
69
Ibid. Risiko kredit muncul jika bank tidak dapat memperoleh kembali tagihannya atas pinjaman yang diberikan atau investasi yang dilakukannya. Penyebab utama risiko ini adalah penilaian kredit yang kurang cermat dan lemahnya antisipasi terhadap berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya. Sedangkan Risiko likuiditas muncul jika bank mengalami ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan biaya yang sesuai, baik untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun untuk memenuhi kebutuhan dana yang mendesak. Lebih lanjut lihat Amir Mahmud dan Rukmana, Op.Cit., hal.135. 71 Adiwarman Karim, Op.Cit., hal.255. 70
Universitas Sumatera Utara
kontinyu dengan suatu probabilitas. CRP Analisis digunakan pada pembiayaan yang berupa portfolio dan perubahannya dalam jangka waktu lama, minimal satu bulan. Sistem ini bertujuan untuk membantu pihak manajemen bank syariah dalam mengukur potensi kerugian yang akan ditanggung oleh Bank Syariah pada suatu periode tertentu dan mengetahui sektor ekonomi penyebab kerugian terbanyak, sehingga kemungkinankemungkinan terjelek yang akan terjadi dapat diantisipasi sejauh mungkin. Data yang menjadi inputan bagi sistem ini adalah data pembiayaan debitur selama periode satu bulan. Pengujian terhadap keluaran sistem menggunakan Backtesting VaR Model dan didapatkan deviasi hasil potensi kerugian Bank Syariah pada kasus ini kurang dari 5%, sehingga sistem ini dapat diterapkan untuk mengukur potensi kerugian pada Bank Syariah. 72 Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendali risiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 73 1. Pemetaan Risiko Bisnis Bank mengembangkan pemetaan risiko usaha (business risk mapping) untuk mengidentifikasi risiko utama yang mengancam perusahaan. Alat ini membantu bank untuk mengetahui dan menentukan tempat dimana risiko berada. Manajemen harus mengkuantifikasi magnitude dari risiko
72 73
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan mengukur potensi dampaknya. Ada beberapa cara yang umum dilakukan, yaitu: 74 a. Potensi rugi ini diproyeksikan ke dalam arus kas yang akan datang atau laba, termasuk dalam analisis sensivitas, stress testing (sebagai pelengkap pengukuran risiko suku bungs untuk melihat dampak terburuk), dan berbagai simulasi lain. b. Model keuangan untuk mensimulasi berbagai Risiko keuangan dan dampak dari berbagai sksenario pada portofolio kredit dan modal. c. Mengantisipasi bencana yang akan mengganggu kelangsungan usaha, misalnya karena kelalaian atau bencana alam, sistem pengolahan data tidak berfungsi. Back-up data dan latihan (drill) menghadapi keadan darurat secara berkala akan dapat mengantisipasi apabila hal tersebut terjadi. d. Menilai risiko teknis selama pembangunan produk baru dengan cara mengidentifikasi sedini mungkin potensi adanya kesalahan dalam proses pembangunannya. 2. Teknik mengidentifikasi dan menilai risiko Kelompok teknik ini akan membantu manajemen dalam hal menetapkan fokus/memberikan perhatian dan mengakomodasi seluruh kegiatan pengelolaan risiko.
74
Darul Ulum, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
Atas
permasalahan-permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah
melakukan pembinaan dan meminta komitmen bank-bank terkait untuk melakukan tindakan korektif antara lain melakukan perbaikan pada kebijakan dan prosedur, 75 penyempurnaan teknologi sistem informasi, penguatan manajemen risiko, peningkatan kontrol dan monitoring terhadap usaha debitur, serta mengoptimalkan fungsi divisi kepatuhan, manajemen risiko dan satuan kerja audit intern. Sebagai bukti Rasio Non Perfoming Financing (NPF) perbankan syariah pada September 2010 menunjukkan kondisi yang relatif stabil yakni tercatat sebesar 3,95% dibandingkan pada Desember 2009 yakni sebesar 3,99%. Bank-bank syariah pada prinsipnya telah berupaya melakukan perbaikan antara lain melalui proses restrukturisasi 76 dan pencarian investor baru dalam rangka memperkuat struktur keuangan debitur bermasalah. 77
75
Salah satu kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk meminimalisasi risiko kerugian bank syariah dan unit usaha syariah adalah dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan, seperti yang tercantum dalam konsideran PBI No.13/9/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 76 Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, Op.Cit., hal.14 77 Ibid.
Universitas Sumatera Utara