BAB II KEBERADAAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA
A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi dimana pada waktu itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau menerima imbalan atau honorarium. Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan dan hingga awal abad ke-20, bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan. 23 Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisatic 23
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
en het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O. 24 Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut. 25 Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling (IS), antara lain: 1. Golongan Eropa. Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan Eropa yang diakui undang-undang. 2. Golongan Timur Asing. Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera. 3. Golongan Bumiputera. Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi). 26 Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing. 24
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 40. Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 2. 26 Pasal 163 Indische Staatsregeling, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pasal_163_Indische_Staatsregeling, pada tanggal 25 November 2013 pukul 14:52. 25
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan,
yang
meliputi:
Districtgerecht,
Regentschapsgerecht,
dan
Landraad. Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Untuk Peradilan Eropa berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Sedangkan bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya. Apabila diperbandingkan, maka HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undangundang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer (verplichte procureur stelling), baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Tampaknya hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan di dalam kultur hukum mereka di negeri Belanda. Sedangkan tidak demikian halnya yang diatur untuk golongan Bumiputera. Pemerintah kolonial tidak menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela advokat dan
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela atas permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada advokat atau pembela lain yang bersedia. 27 Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa bagi orang-orang Indonesia pada masa itu kebutuhan akan bantuan hukum belum dirasakan sehingga profesi lawyer yang berasal dari kalangan Bumiputera tidak berkembang. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para advokat adalah orang Belanda. 28 Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di Indonesia karena ada kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi manusia, serta negara hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia yang ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah pada tahun 1924, Belanda mendirikan Reschtschoogeschool di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
27
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan., Op. cit., hlm. 21. 28 Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Op. cit., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo. 29 Di antara mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923. 30 Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap Penjajah. Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, maka walaupun pemberian bantuan hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, namun karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat Belanda, maka hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu di Indonesia. 31 Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah. 32
29
Ibid, hlm. 9, et seq. Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 12. 31 Abdurrahman, Op. cit., hlm. 43. 32 Bambang Sunggono dan Aries Harianto. Op. cit., hlm. 14. 30
Universitas Sumatera Utara
Dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan hukum di Indonesia, Abdurrahman mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution sebagai berikut. “Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR. “Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.” 33 Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendisendi negara hukum. 34 Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, menyatakan alasannya sebagai berikut. “Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat 33 34
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 44, et seq. Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
gunanya bantuan hukum dan juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa dan hakim itu sendiri, atau jika ada jalan lain, kepada orang kuat lainnya. Pada saat itu pula banyak advokat meninggalkan profesinya. “Campur tangan kekuasaan eksekutif pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia.” 35 Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat dimulainya era Orde Baru. Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, menulis sebagai berikut. “… Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usahausaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.” Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya UndangUndang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan. 36
35 36
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 46. Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk pertama kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan. 37 Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui oleh Prof. Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
37
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 48.
Universitas Sumatera Utara
(LKBH). Selain itu, pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. 38 Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, namun awalnya perkumpulanperkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah. Selanjutnya, perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di daerahdaerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia. Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untuk
38
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
ikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN). 39 Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution 40, yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970, dan mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970. 41 Pada tahun 1980, Lembaga Bantuan Hukum ini berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 42 Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.
39
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 26, et seq. 40 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit. 41 Abdurrahman, Op. cit., hlm. 50. 42 Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit. hlm. 50.
Universitas Sumatera Utara
Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang penting di sini adalah adanya keinginan untuk menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin yang buta hukum. Pada masa ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak diarahkan kepada penanganan perkara (pidana, perdata, subversi) dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan (nasihat dan konsultasi). Memasuki tahun 1974-1976, mulai dirasakan adanya keterbatasanketerbatasan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi, serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para pejabat. Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan hukum itu apabila tanpa mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di sinilah muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan bantuan hukum dari penanganan perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan penataran hukum (non-litigasi). 43 Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya. 44 Pada tahun 1979, terdapat
43 44
T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 71. Abdurrahman, Op. cit., hlm. 52.
Universitas Sumatera Utara
tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum. 45 Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, disebutkan dalam Pasal 32 ayat 4 perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal organisasi advokat Indonesia. Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam suatu undang-undang yang tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
45
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Untuk merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan 57 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis. 46 Guna melaksanakan amanat SEMA, maka sejak tahun 2011 telah dibentuk Pos-Pos Bantuan Hukum di banyak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Pembentukan Posbakum tersebut dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011, misalnya, dibentuk 46 Posbakum di 46 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012, jumlah Posbakum bertambah menjadi 69 di 69 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2013, jumlah Posbakum yang ada masih tetap sama dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, direncanakan penambahan 5 Posbakum di 5 Pengadilan Agama di Indonesia, antara lain di Pengadilan Agama Stabat, Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama Purwokerto, Pengadilan Agama Tulungagung, dan Pengadilan Agama
46
Lampiran 7 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
Universitas Sumatera Utara
Girimenang, sehingga total Posbakum di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi 74 Posbakum. 47 Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.
B. Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya Sejalan dengan kegiatan bantuan hukum untuk masyarakat miskin yang semakin meluas dan memasyarakat, suatu pandangan kritis terhadap konsepkonsep bantuan hukum yang kini dikembangkan di Indonesia mulai banyak dilontarkan oleh kalangan hukum dan kalangan ilmuwan sosial. 48 Para ahli tersebut mengkategorikan bantuan hukum dalam 2 konsep pokok. Pertama, konsep bantuan hukum tradisional. Konsep ini bertitik pada pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat dari bantuan hukum ini pasif dan cara pendekatannya sangat formal-legal, dalam arti melihat segala permasalahan hukum kaum miskin semata-mata dari
47
Tahun 2014 Posbakum Bertambah 5 Menjadi 74, diakses dari http://www.badilag.net/direktori-dirjen/17982-tahun-2014-posbakum-bertambah-5-menjadi-74111.html, pada tanggal 2 Januari 2014, pukul 19.00. 48 Abdul Hakim G. Nusantara, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
sudut hukum yang berlaku. Orientasi dan tujuan bantuan hukum ini adalah untuk menegakkan keadilan untuk si miskin menurut hukum yang berlaku, kehendak mana dulunya didasarkan atas landasan semangat charity dan tanggung jawab profesi. Konsep bantuan hukum tradisional yang individual ini pada dasarnya memang merupakan konsep lama yang sejalan dengan sistem hukum yang ada dimana bantuan hukum diberikan pada setiap kasus yang menurut hukum beralasan untuk dibela. Namun demikian, penekanan di dalam konsep bantuan hukum ini lebih kepada hukum itu sendiri, hukum yang selalu diandaikan netral, sama rasa, dan sama rata. Hal ini menimbulkan permasalahan dimana sering terjadi hukum itu tidak memberikan keadilan dan bahkan hukum itu pada posisinya yang netral justru menguntungkan mereka yang berkuasa dan yang berpunya dan merugikan mayoritas rakyat miskin. 49 Tuntutan keberpihakan terhadap kaum miskin yag seharusnya dilakukan dalam hal pemberian bantuan hukum pada akhirnya menimbulkan suatu keadaan dimana bantuan hukum tradisional itu tidak lagi cukup. T. Mulya Lubis mengemukakan 7 alasannya sebagai berikut. 1. Bahwa sifat bantuan hukum tradisional itu adalah individual sebagaimana yang terlihat dari Pasal 259 HIR dan Pasal 35, 36, 37 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal-pasal dalam KUHAP yang menggantikan HIR juga tetap bersifat tradisional dan individual. Di sini bantuan hukum kurang lebih sama dalam pelayanan kesehatan individual yang
49
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 26¸et. seq.
Universitas Sumatera Utara
tidak
mempertimbangkan
kondisi-kondisi
sosial.
Asal
seseorang
itu
membuktikan dirinya tidak sehat atau buta hukum dan miskin, maka orang tersebut punya hak untuk diobati atau diberi bantuan hukum. Padahal sesungguhnya rakyat yang sakit itu adalah rakyat yang diasingkan dari hak-hak dasar mereka; 2. Sistem hukum Indonesia menunjang sistem bantuan hukum tradisional yang individual. Masih belum dimungkinkan suatu bantuan hukum kolektif dalam hukum acara Indonesia, seperti class action di Amerika. Dalam hukum acara di Indonesia, orang yang dirugikan harus memberi kuasa sehingga proses hukum tidak sederhana dan cepat. Seharusnya gugatan satu orang dapat dijadikan dasar bagi yang lain untuk mengajukan klaim apabila gugatan itu berhasil sehingga kita dapat terhindar dari proses berperkara yang mahal dan lama; 3. Bantuan hukum kita masih sangat bersifat perkotaan dan belum menyentuh lapisan masyarakat pinggiran; 4. Sifat hukum kita yang pasif sebenarnya lebih berperan sebagai legitimasi status quo yang mempertahankan pola hubungan menindas antara Pusat (masyarakat yang kuat dan berkuasa) dengan Pinggiran (masyarakat yang lemah dan miskin). Seharusnya hukum itu bersifat aktif mendatangi Pinggiran dan menyelesaikan konflik yang terjadi di Pinggiran antara pusat dengan Pinggiran. Dengan kata lain, hukum yang aktif itu tidak saja bergerak secara horizontal, tetapi juga struktural; 5. Bantuan hukum masih terlalu terikat dengan pendekatan-pendekatan hukum semata sehingga pendekatan bukan hukum kurang diperhatikan padahal
Universitas Sumatera Utara
pendekatan tersebut justru bisa membantu mempercepat penyeleseaian sengketa atau konflik sosial; 6. Bantuan hukum masih berjalan sendiri atau baru pada tahapan bekerja sama dengan sesama organisasi bantuan hukum. Padahal dimensi sengketa dan konflik tidak semata bersifat hukum sehingga kerja sama seharusnya diperluas dengan organisasi-organisasi di luar lembaga bantuan hukum sehingga akan mempercepat penyelesaian konflik yang lebih menyeluruh atau struktural; 7. Bantuan hukum belum mengarah pada terciptanya gerakan sosial. 50 Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka menurut T. Mulya Lubis, pola hubungan yang menindas antara Pusat-Pinggiran haruslah dihadapi dengan pendekatan yang lebih integral dan ekstra-legal. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka berkembanglah suatu konsep bantuan hukum yang kedua, yaitu konsep bantuan hukum konstitusional. Konsep ini mengadakan bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih luas, seperti: 1. Menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum; 2. Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum. Berbeda dengan konsep bantuan hukum tradisional, sifat dari jenis bantuan hukum konstitusional lebih aktif dimana bantuan hukum diberikan tidak saja secara individual melainkan juga kepada kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif. Cara pendekatan yang dilakukan di samping formal-legal, juga melalui 50
Ibid, hlm. 52, et seq.
Universitas Sumatera Utara
jalan politik dan negosisasi. Hal ini berarti usaha menyelesaikan masalah hukum tidak selalu ditempuh melalui jalur hukum yang berlaku tetapi melalui jalur politik dan negosiasi. Oleh karena itu, aktivitas seperti kampanye penghapusan ketentuan hukum yang dianggap membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktif rakyat miskin, kontrol terhadap birokrasi pemerintah, pendidikan hukum masyarakat menjadi bagian yang esensial dalam konsep bantuan hukum konstitusional. Dengan demikian, lingkup kegiatan bantuan hukum ini cukup luas, tidak terbatas pada pelayanan hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Orientasi dan tujuannya adalah usaha mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin dipandang sebagai suatu kewajiban dalam rangka untuk menyadarkan mereka sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak yang sama dengan golongan masyarakat lain. 51 Terhadap konsep bantuan hukum konstitusional, para pengamat dari kalangan ilmuwan sosial yang berorientasi ke bawah menganggap bahwa bentukbentuk bantuan hukum tersebut masih belum mampu menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Bentuk bantuan hukum konstitusional lebih merupakan konsekuensi dari cara golongan menengah dalam memandang permasalahan sosial di Indonesia. Pendidikan dan penerangan hukum dalam kerangka menciptakan proses penyadaran hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum tidak akan banyak merubah nasib golongan miskin tanpa
51
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 28, et seq.
Universitas Sumatera Utara
merubah pola hubungan yang mendasari suatu kehidupan sosial yang menimbulkan dan mempertahankan kemiskinan masyarakat. 52 Berdasarkan pada pemikiran bahwa ternyata konsep bantuan hukum yang sudah ada, baik konsep bantuan hukum yang tradisional maupun konstitusional, masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat miskin di Indonesia, maka timbul suatu pertanyaan bagi para ahli pada masa itu yang kemudian terdorong untuk mengembangkan suatu konsep hukum yang baru yang kiranya mampu mengatasi persoalan-persoalan struktural yang ada dalam masyarakat Indonesia sehubungan dengan pemberian bantuan hukum. Dari sinilah kemudian Lembaga Bantuan Hukum memperkenalkan konsep bantuan hukum struktural yang ternyata mendapatkan sambutan yang hangat dari kalangan di dalam maupun luar Lembaga Bantuan Hukum. Konsep bantuan hukum struktural merupakan suatu konsep kegiatan pemberian bantuan hukum yang bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju ke arah struktur yang lebih adil tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan, baik di lapangan ekonomi maupun lapangan politik. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan dan pengembangan hukum harus dilihat dari sudut bantuan hukum struktural yang dilaksanakan dalam konteks turut membangun masyarakat yang adil dan makmur. 53 Konsep bantuan hukum struktural pada dasarnya berangkat dari kaitan erat antara bantuan hukum dengan kemiskinan struktural. Menurut Adnan Buyung 52
Abdul Hakim G. Nusantara, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Op. cit.¸hlm. 26. 53 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
Nasution, bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural, akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karena itu, bantuan hukum bukanlah masalah yang sederhana karena ia merupakan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur poleksos yang sarat dengan penindasan. 54 Mulyana W. Kusumah mengatakan bahwa bantuan hukum struktural tidak hanya sekedar mencakup pengertian bantuan hukum secara gratis kepada mereka yang tidak mampu, melainkan lebih mendasar lagi, yaitu melaksanakan bentukbentuk pelayanan hukum bagi mayoritas rakyat miskin dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka, dalam arti luas, untuk memerdekakan diri dari suatu tata hubungan di sektor-sektor kepentingan mereka yang dalam kenyataan telah merugikan dan menindas. Atau dengan perkataan lain, sebagai pranata hukum, di samping pranata-pranata dan kekuatan-kekuatan makro-sosiologis lain dalam masyarakat, yang didayagunakan dan dihasilgunakan untuk mengubah pola hubungan politik, ekonomi, dan sosial, yang secara langsung atau tidak langsung mempertahankan ketidakadilan struktural terhadap mayoritas rakyat miskin tersebut. 55 Menurut T. Mulya Lubis, konsep bantuan hukum struktural yang kita miliki haruslah memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 1. Sifat bantuan hukum haruslah struktural. 54
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit. Mulyana W. Kusumah, “Beberapa Masalah Sekitar Bantuan Hukum Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Op. cit., hlm. 74. 55
Universitas Sumatera Utara
Artinya, bantuan hukum haruslah sepenuhnya memihak pada Pinggiran. Bantuan hukum struktural haruslah mengutamakan bantuan kepada kelompok walaupun tidak tertutup pada perorangan. Sebagai contoh, konflik antara buruh dengan majikan bisa saja terjadi antara seorang majikan dengan seorang buruh, akan tetapi implikasinya bisa struktural dalam arti bisa mengubah hubungan antara majikan dengan buruh secara keseluruhan. 2. Sistem hukum Indonesia harus diubah. Perubahan tersebut dalam artian aksi-aksi hukum kelompok atau aksi hukum struktural harus mulai dimungkinkan. Khususnya hukum acara kita harus secara konsekuen memberlakukan asas peradilan cepat, murah, sederhana, dan terbuka. Birokrasi di pengadilan harus segera dihapuskan dan dikembalikan pada rakyat. 3. Sifat bantuan hukum Indonesia haruslah menjadi pedesaan di samping tetap berurusan dengan kota. 4. Sifat bantuan hukum haruslah aktif. 5. Bantuan hukum harus mulai mendayagunakan pendekatan-pendekatan di luar hukum atau bukan hukum (extralegal approach). Pendekatan di luar hukum diperlukan mengingat dimensi konflik antara PusatPinggiran bersifat struktural, meliputi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pendekatan hukum semata dapat membuat hukum menjadi sempit dan bukan mustahil counter-productive. 6. Bantuan hukum harus mulai membuka diri terhadap organisasi sosial yang bukan hukum.
Universitas Sumatera Utara
7. Bantuan hukum haruslah menjadi suatu gerakan sosial yang bertujuan tidak saja pada konsientisasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya, tetapi justru harus menciptakan power resources untuk menghadapi Pusat yang menindas agar dapat efektif. 56 Dengan demikian, maka dengan bantuan hukum struktural, diinginkan adanya perubahan tatanan sosial dari tatanan yang tidak adil menjadi tatanan yang berkeadilan dimana sumber-sumber daya sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya dikembalikan kepada mayoritas rakyat. 57 Hal ini berarti perubahan struktural, perubahan pola hubungan sosial dalam artian suatu perubahan pada hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju ke pola hubungan yang lebih sejajar. 58 Menurut Johan Galtung, sebagaimana dikutip oleh T. Mulya Lubis, pada prinsipnya ada 2 perubahan struktural yang penting untuk dicapai, antara lain: 1. Perubahan yang ditujukan kepada vertical division of labor, yaitu pola hubungan vertikal yang menyuburkan hubungan masyarakat yang berkelas; 2. Perubahan yang ditujukan kepada feodal interaction structure, yaitu pola hubungan yang mengikat segelintir elite di puncak sementara lapisan rakyat terbesar di bawah terpecah-pecah. 59 Menurut T. Mulya Lubis, kedua pola hubungan yang dijelaskan oleh Johan Galtung itu mempunyai karakteristik yang sama, yaitu repressive and exploitative,
56
T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 55. Ibid, hlm. 153. 58 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 31. 59 T. Mulya Lubis, Loc. cit. 57
Universitas Sumatera Utara
baik pada tingkat makro maupun mikro. Pola hubungan itu terjadi di semua bidang kehidupan, sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Sebagai akibatnya, masyarakat miskin dan melarat yang mempunyai daya yang berada di bawah tidak didayagunakan. 60 Bantuan hukum struktural pada dasarnya sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila. Namun demikian, bantuan hukum struktural masih belum dapat mengatasi sepenuhnya beberapa masalah besar, umumnya yang terjadi di perkotaan. Mulyana W. Kusumah mengemukakan sebagai berikut. “Di wilayah perkotaan, misalnya, maka paling tidak dua masalah besar menganga dan menantang: Pertama, masalah urbanisasi yang semakin cepat di muka pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan jumlah penduduk yang lebih besar daripada kebutuhan sektor industri di kota-kota akan tenaga kerja. Akibatnya, luas daerah liar selalu bertambah lebih cepat daripada daerah modern. Di hadapan arus urbanisasi semacam ini, usaha modernisasi kota terus ketinggalan jauh sehingga dualisme terus hadir dan sering semakin menajam, terutama apabila penguasa mengarahkan paksaannya untuk menindak daerah liar demi terpeliharanya eksistensi daerah modern. “Permasalahan lain, adanya masalah-masalah hukum yang berpadu dengan konflik politik yang terjadi sebagai akibat persaingan untuk pelayanan-pelayanan, tanah, pekerjaan, dan lain-lain yang dapat dipertajam oleh kebinekaan penduduk kota, kelas, dan kasta, kelompok-kelompok etnis, rasial, dan suku yang hidup berdekatan dalam kota-kota dan bersaing demi sumber daya yang langka. “Sebagai demikian, gerakan bantuan hukum struktural di wilayah perkotaan –dan juga di pedesaan– menghadapi masalah yang tak hanya terletak di arena hubungan-hubungan hukum sebagai hasil bekerjanya komponen-komponen sistem hukum dan penegakan hukum yang represif dan selektif, melainkan juga pada upaya untuk
60
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mengubah pola hubungan poleksos yang sama sekali tidak menguntungkan mayoritas miskin, bahkan konflik-konflik spasial.” 61 Konsep bantuan hukum yang bersifat struktural, walaupun sampai saat ini masih tetap aktual dan berlaku, masih memerlukan perombakan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat dinamis. Sebagaimana yang dikatakan oleh T. Mulya Lubis, bantuan hukum saja tidaklah cukup. Malah bantuan hukum struktural pun tidaklah cukup. Ini barulah suatu kerja awal daari serangkaian pekerjaan yang harus dilakukan secara simultan di segala bidang. Yang penting yang harus diingat dan diperjuangkan di sini adalah agar kepada rakyat miskin mayoritas yang berada di Pinggiran harus dikembalikan hak-hak dasar mereka akan sumber-sumber daya politik, ekonomi, teknologi, informasi, dan sebagainya agar mereka bisa menentukan masyarakat bagaimana yang mereka kehendaki. 62
C. Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Bantuan Hukum Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, sebelum berkembangnya konsep bantuan hukum struktural, konsep bantuan hukum yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat miskin yang ada di Indonesia. Dengan demikian, ruang lingkup pemberian bantuan hukum yang tercakup ketika itu juga terbatas, yakni hanya pada kegiatan yuridis semata sebagaimana yang dianggap oleh beberapa praktisi dan teoritisi hukum di Indonesia.
61
Mulyana W. Kusumah, “Beberapa Masalah Sekitar Bantuan Hukum Struktural” oleh Mulyana W. Kusumah, sebagaimana dimuat dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Op. cit., hlm. 39. 62 T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 52.
Universitas Sumatera Utara
Soerjono Soekanto, sebagai contoh, mengemukakan bahwa pemberian bantuan hukum mencakup kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut. 1. Pemberian informasi hukum, misalnya, memberitahukan kepada seorang pegawai negeri tentang hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai pegawai negeri; 2. Pemberian nasihat hukum, misalnya, menjelaskan apa yang harus dilakukan seseorang yang akan membeli rumah atau tanah; 3. Pemberian jasa hukum, misalnya, membantu seseorang untuk menyusun surat gugatan; 4. Bimbingan, yaitu pemberian jasa secara kontinyu; 5. Memberikan jasa perantara, misalnya menghubungkan warga masyarakat dengan instansi-instansi tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum yang dihadapinya; 6. Menjadi kuasa warga masyarakat di dalam atau di luar pengadilan. 63 Seiring dengan berkembangnya konsep bantuan hukum struktural, ruang lingkup bantuan hukum yang berkembang dan dianggap tepat untuk mencapai keadilan dan persamaan di muka hukum adalah bantuan hukum dalam arti luas. Dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh LKBH Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum DKI Jaya bulan November 1978, ruang lingkup kegiatan bantuan hukum disepakati bukan sematamata terbatas pada pembelaan di dalam proses peradilan saja, akan tetapi juga mencakup pembelaan di luar pengadilan, konsultasi, penyuluhan dan pendidikan 63
Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 48.
Universitas Sumatera Utara
hukum, penelitian, rekomendasi dan penyebaran gagasan-gagasan, serta upayaupaya law reform. Akan halnya penerima bantuan hukum, kriterianya adalah meliputi perorangan, badan, atau kelompok-kelompok sosial yang tidak mampu. Bantuan hukum dalam pengertian demikian diungkapkan oleh Prof. Earl Johnson akan mencakup kegiatan-kegiatan, antara lain sebagai berikut. 1. Social rescue, dalam arti bantuan hukum yang mencakup partisipasi dalam usaha-usaha pelayanan sosial yang terkoordinir guna menyelamatkan unit-unti keluarga yang berpendapatan rendah dari kemiskinan; 2. Pengembangan ekonomi, yakni usaha-usaha guna menciptakan sarana-sarana yang dapat menambah penghasilan masyarakat berpendapatan rendah; 3. Pengorganisasian komunitas, yakni usaha-usaha dan pengarahan untuk mengorganisir masyarakat miskin menjadi kelompok-kelompok yang mampu bicara dalam bidang politik dan ekonomi; 4. Pembaharuan hukum, pengujian perundang-undangan, dan cara-cara serta usaha-usaha lain untuk melakukan pelbagai pembaharuan ataupun perubahan perundang-undangan. 64 Lebih jauh lagi, Seton Pollock memasukkan ke dalam ruang lingkup bantuan hukum ini bentuk-bentuk pelayanan hukum (legal services) yang diartikannya
sebagai
pelayanan
hukum
yang
dilakukan
dalam
rangka
pemberantasan kemiskinan dimana tujuan pokok dan konsep kemiskinan itu sendiri diperluas sehingga mencakup bentuk-bentuk hambatan sosial yang biasanya tidak dimasukkan dalam kategori kemiskinan (struktural). 64
Ibid, hlm. 50.
Universitas Sumatera Utara
Selain daripada ruang lingkup kegiatan pemberian bantuan hukum di atas, ruang lingkup pemberian bantuan hukum juga dapat ditinjau dari segi bidang tata hukum yang dapat diberikan bantuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, bidang-bidang tata hukum yang menjadi ruang lingkup dari bantuan hukum, antara lain Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Privat, Hukum Acara, dan Hukum Internasional. 65 Sedangkan berdasarkan Pasal 4 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, ditentukan bahwa bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara, baik litigasi maupun non-litigasi. Bantuan hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum. Mengenai pelayanan hukum bagi kaum miskin melalui suatu basis tergorganisir, menurut James L. Magavern mencakup tahap-tahap sebagai berikut. 1. Assignment of counsel to defendants accused of serious crimes; 2. Formation of small –scale legal clinics as private charitable operations, serving clients with private– law problems in such areas as domestic relations, a wage claims, and poverty disputes; 3. Staff representation of potential beneficiaries of social reform program in areas such as agrarian and industrial labour realtions;
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4. Government or other institutional sponsorship of general legal aid programs designed to enforce existing legal rights and to seek to inform, motivate, and defend the poor against the abusive exercise of both private power and official authority; and 5. Attempts through legal representation, to employ legal and political processes to organize the poor to create and give effect to new legal rights to the poor. 66 Dengan demikian, dalam pengertian bantuan hukum yang diperluas atau diredefinisikan ini terkandung sifat aktif dari bantuan hukum tersebut dan juga merupakan suatu bentuk bantuan hukum struktural. Berangkat dari ide bantuan hukum seperti itu, maka jelas sasaran perhatian utama kegiatan bantuan hukum adalah kelompok-kelompok miskin, baik ke kota (urban poor) maupun di desa (rural poor) dengan permasalahan-permasalahan dalam konteks struktural yang telah dibahas sebelumnya. Dalam artikel yang berjudul Legal Aid – Modern Themes and Variations, Cappelleti dan Gordley mengembangkan jenis bantuan hukum berikut ini. 67 1. Bantuan hukum yuridis-individual: bantuan hukum merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingankepentingan individual; 2. Bantuan hukum kesejahteraan: bantuan hukum merupakan hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh welfare state.
66
Mulyana W. Kusumah, “Arti Penting Bantuan Hukum Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Op. cit., hlm. 56, et seq. 67 Ibid, hlm. 59.
Universitas Sumatera Utara
Konsep tersebut berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh Schuyt, Groenendijk, dan Sloot, yang membedakan 5 (lima) jenis bantuan hukum, antara lain: 1. Bantuan hukum preventif: pemberian keterangan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara; 2. Bantuan hukum diagnostik: pemberian nasihat-nasihat hukum atau dikenal dengan konsultasi hukum. 3. Bantuan hukum pengendalian konflik: mengatasi secara aktif masalahmasalah hukum konkrit yang terjadi di masyarakat; 4. Bantuan hukum pembentukan hukum: untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar; 5. Bantuan hukum pembaruan hukum: untuk mengadakan pembaruan hukum, baik melalui hakim maupun pembentuk undang-undang (dalam arti materiil). 68 Kedua jenis konsep bantuan hukum tersebut berkembang sesuai kebutuhan dan tujuan masyarakat. Di Indonesia, YLBHI pada masa Orde Baru berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa itu, yaitu memerangi kemiskinan dan pelanggaran hak asasi manusia. Melalui pendekatan struktural, YLBHI memberikan penyuluhan dan menggerakkan masyarakat untuk menuntut keadilan, perbaikan hukum, dan penyelesaian perkara secara adil.
68
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Di era reformasi, konsep bantuan hukum responsif sebagaimana yang dikemukakan oleh Schuyt, Groenendijk, dan Sloot paling tepat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan masing-masing wilayah di Indonesia membutuhkan jenis bantuan hukum yang berbeda karena sifat majemuk masyarakatnya. 69
D. Fungsi dan Tujuan Bantuan Hukum Menurut Adnan Buyung Nasution, arti atau rasio dan tujuan program bantuan hukum adalah berbeda-beda dan berubah, bukan saja dari suatu negara ke negara lainnya, melainkan juga dari suatu zaman ke zaman lainnya. Suatu penelitian yang mendalam tentang sejarah pertumbuhan program bantuan hukum telah dilakukan oleh Dr. Mauro Cappelleti. Dari penelitian tersebut ternyata didapati bahwa pada tiap zaman arti dan tujuan pemberian bantuan hukum kepada si miskin erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik, dan filsafah hukum yang berlaku. Menurut Abdurrahman, pendapat Adnan Buyung Nasution tersebut menggambarkan bahwa banyak faktor yang turut berperan dalam menentukan apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari suatu program bantuan hukum itu sehingga untuk mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari suatu program bantuan hukum itu, kita perlu untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana cita-cita moral yang menguasai suatu masyarakat dan bagaimana kemauan politik yang dianut serta filsafat hukum yang melandasinya.
69
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah arti dan tujuan dari program bantuan hukum di negara berkembang, terutama di Indonesia; apakah ada hubungannya dengan pembangunan nasional; apa arti serta peranannya; dan apakah program bantuan hukum itu telah berorientasi kepada pembangunan, dan jika belum, bagaimana membuatnya jadi demikian. Dipertanyakan demikian karena gerakan bantuan hukum di negara berkembang umumnya didorong oleh kebutuhan domestik akan suatu strategi pembangunan hukum yang responsif. 70 Di negara berkembang, pembangunan hukum cenderung bersifat ortodoks, dimana lembaga-lembaga negara (beserta aparat birokrasinya) mendominasi arah perkembangan hukum sehingga diperlukan semacam strategi pembangunan yang bersifat responsif terhadap masyarakat. Suatu produk hukum yang lebih responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui strategi pembangunan hukum yang menempatkan hukum sebagai panglima keadilan. Jikalau demikian, maka orientasi gerakan bantuan hukum ini tidak lagi hanya menegakkan keadilan bagi si miskin menurut hukum yang berlaku, namun telah bergeser menjadi perwujudan negara hukum yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat si miskin dipandang sebagai subyek hukum yang mempunyai hak-hak yang sama dengan golongan masyarakat lainnya. 71 Menurut Dr. Cappelleti, arti dan tujuan dari program bantuan hukum di negara-negara berkembang sulit ditentukan dengan jelas. Meskipun demikian, 70 71
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 24. Mosgan Situmorang, dkk, Op. cit., hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan pendapat Barry Metzger, program bantuan hukum di negara berkembang pada umumnya mengambil arti dan tujuan yang sama seperti di Barat yang pada dasarnya terdiri dari dua tujuan, antara lain: 1. Bahwa bantuan hukum yang efektif merupakan syarat yang esensial untuk berjalannya fungsi maupun integritas pengadilan dengan baik; 2. Bahwa bantuan hukum merupakan tuntutan dari rasa perikemanusiaan. 72 Barry Metzger menambahkan beberapa tujuan lain dari program bantuan hukum di negara berkembang, antara lain: 1. Untuk membangun suatu kesatuan sistem hukum nasional; 2. Untuk melaksanakan yang lebih efektif daripada peraturan-peraturan kesejahteraan sosial untuk keuntungan si miskin; 3. Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar dari pejabatpejabat pemerintah atau birokrasi kepada masyarakat; 4. Untuk menumbuhkan rasa partisipasi masyarakat yang lebih luas ke dalam proses pemerintahan; 5. Untuk memperkuat profesi hukum. 73 Menurut Abdurrahman, masih ada kesamaan pemikiran antara Barat dengan Timur mengenai apa sebenarnya maksud dan tujuan serta fungsi dari bantuan hukum itu sekalipun mungkin bagi negara-negara yang sedang berkembang suatu program bantuan hukum mempunyai arti dan nilai tersendiri yang khas sifatnya. Hal ini harus mencakup dua aspek penting, yaitu bantuan 72
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, hlm. 26. 73 Abdurrahman, Op. cit., hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
hukum dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum dan bantuan hukum dalam kaitannya dengan perombakan struktur masyarakat, terutama sekali dalam hubungannya dengan peningkatan taraf hidup masyarakat miskin menuju kepada masyarakat yang berkecukupan. 74 Seorang corporate lawyer bernama Von Briezen yang mendirikan New York Legal Aid Society mengatakan, “Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied because it establishes and protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it antagonizes the tendency towards communism; it is the best agreement against the socialist who cries that the poor have rights which the rich are bound to respect.” Senada dengan pandangan tersebut, Frans Hendra Winata mengatakan bahwa sesungguhnya bantuan hukum dapat menjawab kecemburuan sosial orang miskin terhadap orang kaya melalui pembelaan nasib mereka dalam bidang hukum. Orang miskin menjadi puas dan secara tidak langsung menciptakan angkatan kerja yang lebih mampu dan produktif yang pada akhirnya mencegah kecenderungan bersimpati pada komunisme. Bantuan hukum juga sering dianggap sebagai katup pengaman (safety valve) untuk mencegah pergolakan sosial dan mengurangi jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. 75 Bantuan hukum dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum harus dilihat pada peranan apa yang dapat diberikan oleh suatu program bantuan hukum dalam turut serta menunjang dan mendukung pelaksanaan penegakan hukum, sedangkan dalam kaitannya dengan perombakan struktur masyarakat, suatu
74
Ibid. Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 114. 75
Universitas Sumatera Utara
program bantuan hukum akan dapat menimbulkan dampak langsung ataupun tidak langsung dengan sektor-sektor kehidupan sosial lainnya yang perlu untuk diperbaharui. Lawasia Conference III (1973) telah merumuskan adanya 3 fungsi dari bantuan hukum di negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, yaitu: 1. The service function: serving the poor to obtain legal redress on equal terms with other members of society; 2. The informative function: making the general public more aware of their legal rights; 3. The reform function: legal aid, if properly and responsibility conducted, can play a useful rule in the law reform process. Dari sini terlihat bahwa bantuan hukum mempunyai fungsi sebagai sarana dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan kemungkinan melakukan penuntutan apa yang menjadi haknya, memberikan beberapa informasi supaya timbul kesadaran hukum masyarakat, dan sebagai sarana untuk mengadakan pembaharuan. Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa bagi Indonesia, arti dan tujuan program bantuan hukum setidak-tidaknya sudah jelas sebagaimana dicantumkan dalam Anggaran Dasar Lembaga Bantuan Hukum. Berbeda dengan umumnya program bantuan hukum di Asia, Lembaga Bantuan Hukum berambisi untuk mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dengan tujuan menumbuhkan dan membina kesadaran akan hak-hak sebagai subyek hukum.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Bantuan Hukum juga berambisi untuk turut serta mengadakan pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum di segala bidang. Ketiga tujuan dari Lembaga Bantuan Hukum tersebut merupakan aspekaspek dari problem hukum yang besar yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, pembangunannya harus dilakukan secara serentak sebagai suatu kesatuan policy di dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan bantuan hukum di Indonesia. Menurut Abdurrahman, apa yang merupakan tujuan dari program bantuan hukum di Indonesia sebenarnya tidak begitu berbeda dari apa yang telah dirumuskan dalam Lawasia Conference, yaitu memberikan pelayanan kepada warga masyarakat yang memerlukannya, memberikan penerangan dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum, dan untuk pembaharuan hukum. 76 Di sisi lain, penelitian hukum yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, pada tahun 2011 yang kemudian dituangkan dalam laporan penelitian yang berjudul Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan
hukum Kepada Masyarakat, menyebutkan
tujuan
pemberian bantuan hukum, antara lain: 1. Aspek Kemanusiaan. Dalam aspek kemanusiaan, tujuan dari program bantuan hukum ini adalah untuk meringankan beban (biaya) hukum yang harus ditanggung oleh masyarakat tidak mampu di depan Pengadilan. Dengan demikian, ketika
76
Ibid, hlm. 26, et seq.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat golongan tidak mampu berhadapan dengan proses hukum di Pengadilan, mereka tetap memperoleh kesempatan untuk memperolah pembelaan dan perlindungan hukum. 2. Peningkatan Kesadaran Hukum. Dalam aspek kesadaran hukum, diharapkan bahwa program bantuan hukum ini akan memacu tingkat kesadaran hukum masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian, apresiasi masyarakat terhadap hukum akan tampil melalui sikap dan perbuatan yang mencerminkan hak dan kewajibannya secara hukum. 77
E. Pemberi Bantuan Hukum Dalam kehidupan selama ini di masyarakat, pemberi bantuan hukum yang dikenal oleh masyarakat ada beberapa. Berikut akan dibahas pemberi bantuan hukum satu persatu. 1. Advokat atau Pengacara Di Indonesia, sebagaimana telah dikemukakan dalam sub-bab mengenai sejarah bantuan hukum, profesi advokat telah tumbuh sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa itu, advokat disebut advocaat dalam Bahasa Belanda yang berarti seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) yang mana jasa tersebut diberikan baik di dalam maupun di luar ruang persidangan sehingga tugas utama seorang
77
Mosgan Situmorang, dkk, Op. cit., hlm. 21.
Universitas Sumatera Utara
advokat adalah memberikan pelayanan kepada klien/penerima jasa (dan/atau bantuan) hukum. 78 Ketentuan mengenai advocaat ketika itu diatur dalam R.O. Pasal 185-192. Setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), semua peraturan perundang-undangan yang diundangkan pada masa penjajahan masih tetap berlaku selama belum diundangkan yang baru. Pada masa itu, belum ada pengaturan yang baru mengenai profesi advokat sehingga ketentuan R.O. Pasal 185-192 masih tetap berlaku setelah Indonesia merdeka. Namun demikian, banyak pihak yang menyadari bahwa peraturanperaturan zaman kolonial, termasuk R.O., masih bersifat diskriminatif dan tidak memihak rakyat Indonesia serta sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku 79 sehingga disadari perlunya Rancangan Undang-Undang yang baru yang mengatur mengenai advokat. Berdasarkan pemikiran tersebut, pembentuk undang-undang kemudian membentuk UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi advokat berlandaskan pada ketentuan Undang-Undang tersebut sehingga seorang advokat harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang tersebut. Di samping Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003,
78
Sartono dan Bhekti Suryani, Prinsip-Prinsip Dasar Advokat, (Jakarta: Dunia Cerdas, 2013), hlm. 2. 79 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Universitas Sumatera Utara
seorang advokat juga tunduk pada Kode Etik Advokat yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 sendiri bersesuaian dengan ketentuan internasional mengenai profesi advokat, yakni Deklarasi Montreal yang dihasilkan dari The World Conference of The Independence of Justice yang diadakan di Montreal, Kanada, pada tanggal 5 sampai dengan 10 Juni 1983 yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam Deklarasi Montreal, disebutkan bahwa seorang advokat haruslah mempunyai kualifikasi dan otorisasi untuk berpraktek di pengadilan dalam memberikan nasihat hukum dan mewakili serta membela kliennya dalam persoalan hukum. Persyaratan akademis adalah mutlak sebagai bidang keahlian yang ditekuninya untuk kepentingan klien atau masyarakat. 80 Senada dengan ketentuan tersebut, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 mengatur bahwa salah satu persyaratan untuk dapat diangkat menjadi advokat adalah berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, yang mencakup lulusan Fakultas Hukum, Fakultas Syariah, Perguruan Tinggi Hukum Militer, atau Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. 81 Seorang advokat bertugas untuk memberikan jasa hukum kepada kliennya. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 menyebutkan bahwa jasa hukum yang diberikan advokat meliputi pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, serta melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum kliennya. Cakupan pemberian jasa 80
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Op. cit., hlm. 36. 81 Sartono dan Bhekti Suryani, Op. cit., hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
hukum oleh seorang advokat mencakup lingkup yang lebih luas dimana seorang advokat wajib memberikan bantuan hukum tidak hanya kepada kliennya, melainkan juga kepada masyarakat yang memerlukannya. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang tidak mampu, yang selanjutnya disebut sebagai pro bono publico atau prodeo. Adanya ketentuan yang mewajibkan seorang advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara cuma-cuma (pro bono publico/prodeo) mengandung makna bahwa seorang advokat bertanggung jawab untuk ikut mendorong hak atas keadilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin/tidak mampu dan buta hukum. Akan tetapi pemberian bantuan hukum ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah sikap belas kasihan dari seorang advokat, 82 melainkan sebagai sebuah gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia, terutama fakir miskin. 83 Profesi advokat merupakan profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile) dan karenanya dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai penegak hukum di pengadilan posisinya sejajar dengan jaksa dan hakim, yang mana advokat dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang, dan Kode Etik Advokat (Pasal 8 huruf a Kode Etik Advokat Tanggal 23 Mei 2002). Pengukuhan advokat sebagai profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile) tidak datang begitu saja. Sebaliknya hal itu didasarkan pada pengabdian 82
Ibid, hlm. 27. Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 46. 83
Universitas Sumatera Utara
diri serta kewajibannya dalam mengutamakan kepentingan masyarakat dan bukan semata-mata karena kepentingannya sendiri. Selain itu, advokat juga turut serta dalam menegakkan hak asasi manusia (HAM) 84 melalui pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico). Sebagai sebuah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), seorang advokat harus bertindak berdasarkan hati nurani serta hukum yang berlaku. Advokat juga harus mempunyai moralitas dan nilai-nilai yang patut dipegang teguh, seperti nilai kemanusiaan, keadilan, kepatutan dan kewajaran, kejujuran, kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas serta kehormatan profesinya, dan nilai pelayanan kepentingan publik. Advokat sebagai profesi yang mulia dan terhormat memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh pada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, serta keterbukaan. Pasal 5 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 menyebutkan bahwa profesi advokat merupakan profesi yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini dipertegas dalam Deklarasi Montreal yang menekankan pentingnya kebebasan profesi advokat sebagai berikut. “The legal profession is one of the institutions referred to in the preamble to this declaration. Its independence constitutes an essential guarantee for the promotion and protection of human rights.” 85 Kebebasan profesi advokat memiliki makna bahwa advokat tidak terikat pada suatu hierarki birokrasi, seperti jaksa, hakim, dan polisi. Hal ini 84 85
Ibid, hlm. 28. Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Loc.
cit.
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan agar seorang advokat mampu berpihak pada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik dalam rangka melindungi dan mengangkat harkat dan martabat manusia, yakni hak-hak asasi manusia. Kebebasan profesi advokat sebagaimana kebebasan profesi hakim perlu dijamin dalam undangundang maupun dalam praktek, yang sering disebut sebagai syarat mutlak terciptanya suatu peradilan yang mandiri (independent and impartial judiciary). Jaminan atas kebebasan profesi advokat dirumuskan dalam Deklarasi Montreal sebagai berikut. “There shall be a fair and equitable system of administration of justice which guarantees the independence of lawyers in the discharge of their profesional duties without any restrictions, influences, inducements, pressures, threats or interference, direct or indirect, from any quarter or for any reason.” Kebebasan profesi advokat menjadi sangat penting artinya bagi masyarakat yang memerlukan jasa hukum (legal services) dan pembelaan (litigation) dari seorang advokat sehingga seorang anggota masyarakat yang perlu dibela akan mendapat jasa hukum dari seorang advokat independen yang dapat membela semua kepentingan kliennya tanpa ragu-ragu. 86
2. Pokrol (Pengacara Praktek) Tugas dan kedudukan pokrol (pengacara praktek) diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965. Syarat-syarat menjadi pokrol diatur dalam Pasal 3 Peraturan tersebut, antara lain: a. Warganegara Indonesia;
86
Sartono dan Bhekti Suryani, Op. cit., hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
b. Lulus ujian yang diadakan oleh Kepala Pengadilan Negeri tentang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, pokok hukum perdata dan pidana; c. Sudah mencapai usia 21 tahun dan belum mencapai umur 60 tahun; d. Bukan pegawai negeri atau yang disamakan dengan pegawai negeri. Mereka yang ingin menjadi pokrol sebagai mata pencahariannya harus lulus terlebih dahulu dari ujian yang diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri yang bahannya telah disiapkan oleh Pengadilan Tinggi setempat. Permohonan dan pendaftaran ujian pokrol dilakukan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Mereka yang lulus ujian tersebut sebelum menjalankan pekerjaannya harus mendaftarkan diri di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang meliputi tempat kediamannya dan diambil sumpahnya dengan membayar biaya yang ditentukan. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa perbedaan antara advokat dan pokrol hanyalah tergantung pada pengangkatannya saja sedangkan tugas kewajibannya adalah sama. Tugas dan kewajiban pokrol sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 adalah untuk menegakkan hukum dengan jalan memberi nasihat, mewakili dan/atau membantu seseorang, sesuatu badan atau sesuatu pihak di luar maupun di dalam pengadilan. Perbedaan lain antara advokat dan pokrol dikemukakan oleh Daniel S. Lev sebagai berikut. “The only characteristic pokrol bambu share in common is that they do not have law degrees and they cannot call themselves advocates. Beyond this, they are a highly variegated group, disparate in origin, legal knowledge, and profesional style. Like advocates, their primary (but not exclusive) operational focus tends to be the court. They can be roughly classified in order of origin, expertise, and style as follows:
Universitas Sumatera Utara
a. The former court official or administrator. Because of his contacts and practical knowledge of judicial procedure, this kind of pokrol is particularly effective and often sought after by enterprising advocates offices. Many retired court clerks and some pensioned judges without full law degrees become pokrol; b. The ungraduated law student. The fact that a man once studied law may win him some clients and he gains experience with each case. Generally, however, he has neither the doctrinal knowledge of the advocate nor the practical knowledge of the former judicial administrator; c. The amateur (but often highly profesionalized) generalist. More than any other, it is this kind of practitioner who represents this genre of pokrol. He is likely to have begun his career in the inheritance case, say-because of a reputation for clevernessor claimed connections with the right circles. He often has extraordinary personality characteristics, in that he must be willing to face up to high officials. It is this that sometimes makes the pokrol a potential political leader or challenger to political authority in the villages. His awareness of national law occasionally lends him politically advantageous weapons to which other village leaders have little or no access. As an attorney, this kind of pokrol has probably read the procedural code but often does not understand it fully with the result that in court he may develop great nuisance value. Pokrol of this sort will be found drumming up cases in villages and it is not rare for litigants to end up having spent a great deal more sorts of trial work become quiet profesional in time and live entirely from law practice. Occasionally they develop a fine sence of their functions within the legal system, the kind of sence trained advocates are supposed to acquire in law school or apprenticeship. d. The amateur specialist. This breed became prevalent after the revolution though prototypes probably existed in the colony too. Amateur specialist work with the only one kind of issue, such as minor corruption case. Most of this type of pokrol were the school teachers; e. The influential or intimidating one-shotter. Litigants sometimes ask powerful relatives or friends –an army officer, a police official, a well known local figure– to represent them in court on the of ten correct assumption that a judge will be cowed or merely favorably impressed.” 87
87
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 221, et seq.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi utama dari pokrol adalah untuk membela di ruang persidangan. Walaupun pokrol ada banyak jenisnya, namun ada satu karakteristik yang samasama mereka miliki. Mereka lebih cenderung untuk beroperasi di kelompokkelompok masyarakat yang terendah dalam lapisan sosial masyakat sehingga mereka lebih dekat dengan masyarakat miskin. Apabila para advokat umumnya berasal dari kalangan elite yang strata sosialnya lebih tinggi dan menempuh pendidikan tinggi, umumnya pokrol malah berasal dari desa-desa kecil. Kebanyakan advokat menangani klien-klien besar sedangkan pokrol menangani sisanya. 88 Menurut M. Yahya Harahap, semua perbedaan tersebut berimplikasi pada tarif jasa hukum yang diberikan dimana tarif imbalan jasa pokrol jauh lebih rendah dibandingkan dengan advokat. 89 Namun demikian, seiring dengan bertambah banyaknya sarjana hukum di Indonesia, mulai banyak para ahli hukum yang mempertanyakan keberadaan pokrol. Misalnya, Prof. Subekti mengatakan bahwa sudah tiba waktunya untuk meniadakan ujian-ujian pokrol bagi orang yang bukan sarjana hukum dan menganjurkan agar profesi pengacara diisi oleh orang-orang yang berijazah sarjana hukum dengan mengajukan permohonan kepada Menteri. 90 Menindaklanjuti
pendapat-pendapat
tersebut,
maka
sewaktu
diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, ditentukan dalam Pasal 32 ayat 1 dan 2 bahwa advokat, penasihat hukum, pengacara praktek (pokrol) dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang tersebut mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana 88
Ibid. M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 350. 90 Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1977), hlm. 26. 89
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Khusus bagi pengangkatan sebagai pengacara praktek yang pada saat Undang-Undang tersebut mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Hal ini berarti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, maka istilah “pokrol” tidak lagi dipergunakan dan sebaliknya dipergunakan istilah “advokat”. Demikian pula dengan tata cara pengangkatan serta persyaratannya disesuaikan dengan tata cara pengangkatan dan persyaratan untuk menjadi advokat.
3. Fakultas Hukum Telah dikemukakan pula bahwa Fakultas-Fakultas Hukum di banyak Universitas di Indonesia, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran, turut berperan dalam sejarah pemberian bantuan hukum di Indonesia. Pelaksanaan bantuan hukum oleh Fakultas Hukum sebagai lembaga ilmiah pada dasarnya adalah dalam rangka perwujudan dari “ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah” dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: a. Melaksanakan pendidikan dan pengajaran, yang dalam hal ini secara khusus adalah pendidikan dan pengajaran ilmu hukum; b. Melaksanakan penelitian dan pengembangan, yang dalam hal ini adalah penelitian dan pengembangan terhadap berbagai masalah hukum;
Universitas Sumatera Utara
c. Melaksanakan pengabdian masyarakat, dalam hal ini adalah pengabdian dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat dalam berbagai persoalan yang berkenaan dengan hukum. Program bantuan hukum yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum secara resmi telah diakui dan didukung oleh Pemerintah sebagaimana terlihat dalam Surat Edaran Mahkamah Kehakiman RI cq. Direktorat Jenderal Pembinaan Badan-Badan Peradilan tanggal 12 Oktober 1974 Nomor 0466/Sek/DP/74 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia yang menyatakan bahwa program bantuan hukum yang diberikan oleh Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum adalah program pendidikan keterampilan yang sudah menjadi kebijaksanaan pemerintah. Pelaksanaan bantuan hukum tersebut diharuskan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain: a. Biro Bantuan Hukum yang diberikan dalam rangka suatu program pendidikan hukum yang dipersiapkan dengan baik; b. Bantuan hukum yang diberikan oleh mahasiswa hukum tingkat IV dan V yang turut dalam program bantuan hukum harus diselenggarakan di bawah pengawasan
dan
bimbingan
dosen/tenaga
pengajar
yang
telah
berpengalaman dalam soal pembelaan perkara/pengadilan; c. Biro hanya diperbolehkan membela orang yang kurang mampu tanpa memungut bayaran dan tidak bermaksud menyaingi pengacara yang profesinya membela perkara; d. Dianjurkan agar ada kerja sama yang baik antara Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum dengan para pengacara/advokat.
Universitas Sumatera Utara
Kita dapat melihat bahwa program bantuan hukum yang diberikan oleh Fakultas Hukum melibatkan mahasiswa dan staf pengajar di Fakultas Hukum tersebut. Menurut Abdurrahman, pemberian bantuan hukum oleh Fakultas Hukum merupakan hal yang cukup esensial dimana pengembangan kegiatan pengabdian masyarakat yang berbentuk bantuan hukum, konsultasi hukum, penerangan, penyuluhan, dan kuliah kerja praktek harus dimanfaatkan dalam proses pendidikan sebagai suatu tempat latihan. Oleh karenanya programnya harus direncanakan dalam rangka proses pendidikan guna mencapai hasil yang bermanfaat, baik dari aspek pengabdian masyarakat maupun sebagai tempat praktek mahasiswa. Oleh karena itu dalam proses pengembangannya, ditegaskan bahwa pengembangan kegiatan pengabdian masyarakat ditekankan dalam rangka proses belajar, misalnya dengan memberikan bantuan hukum. Kecuali untuk membantu warga masyarakat yang kurang mampu, maka program bantuan hukum ini juga ditujukan untuk memberikan penerangan dan penyuluhan hukum dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta latihan etika hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka menurut Prof. Mr. Ny. A. Abas Manoppo, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, mengemukakan ada 2 maksud dan tujuan dari didirikannya biro-biro/lembaga bantuan/konsultasi hukum pada tiap-tiap Fakultas Hukum, antara lain: a. Untuk melatih calon-calon sarjana hukum dalam menghadapi persoalan hukum dalam praktek sehari-hari;
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk memberi bantuan hukum kepada orang yang memerlukan bantuan hukum, akan tetapi oleh karena keadaan ekonominya mungkin sekali akan kehilangan hak kendatipun hukum telah menjamin haknya itu. 91 Oleh karena itu, menurut pendapat beliau, badan atau lembaga bantuan hukum yang bernaung di bawah Fakultas Hukum bertujuan sekaligus mendidik calon-calon sarjana hukum untuk memandang profesi hukum sebagai suatu profesi yang luhur dan harus hanya dapat dilaksanakan dengan pengetahuan, keterampilan, kejujuran, dan moral tinggi sambil melaksanakan salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berbakti kepada masyarakat. 92 Namun demikian, menurut Frans Hendra Winata, ada beberapa hal yang menjadi kekurangan daripada pemberian bantuan hukum oleh Biro-Biro Bantuan Hukum di Fakultas Hukum, antara lain: a. Konsentrasi advokat (lawyer) terpecah. Sebagaimana diketahui, yang bertindak sebagai lawyers atau para advokat pada biro bantuan hukum di perguruan tinggi adalah dosen-dosen yang mempunyai
tugas
pokok
sebagai
tenaga
pengajar
yang
harus
mempersiapkan diri dengan pengetahuan hukum secara komprehensif agar dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengajar dengan baik. Hal ini tentu sangat menyita pikiran dan tenaga mereka sehingga konsentrasi mereka pun terpecah antara menjadi pengajar yang berprestasi sehingga dapat berkarier di lingkungan akademik atau menjadi advokat idealis yang
91 92
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 252, et seq. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menolong masyarakat miskin sekaligus membina mahasiwanya untuk menjadi praktisi hukum yang andal di masa mendatang. b. Biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi bersifat non-profit oriented sedangkan tingkat penghasilan dosen tergolong rendah. c. Keterbatasan pendanaan. Seringkali Biro Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi Negeri tidak berkembang dengan baik karena jumlah dana yang dialokasikan oleh perguruan tinggi kepada Biro Bantuan Hukum tersebut tidak memadai untuk
mencukupi
kebutuhan-kebutuhan
pokok,
seperti
pengadaan
perpustakaan hukum yang representatif, pelatihan dan pendidikan tenagatenaga lawyer pada Biro Bantuan Hukum tentang masalah-masalah hukum aktual, dan hal-hal lain yang mungkin dibutuhkan untuk perkembangan Biro Bantuan Hukum tersebut. d. Profesionalitas tenaga advokat di Biro Bantuan Hukum. Adanya penerapan kurikulum pendidikan tinggi hukum yang kurang mendukung dan kurang mengarahkan advokat di Biro Bantuan Hukum semasa
mereka
masih
kuliah
utnuk
mengembangkan
kemampuan/kemahiran hukum sebagai praktisi hukum. Di samping itu, Biro Bantuan Hukum biasanya mempekerjakan dosen-dosen muda dan mahasiswa yang masih dalam proses belajar sebagai tenaga advokat sehingga mereka seringkali belum siap untuk mengatasi permasalahn hukum yang dihadapi oleh kliennya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, kurun waktu empat tahun tidak mungkin
Universitas Sumatera Utara
sanggup membuat seseorang menjadi siap pakai. Yang dapat dilakukan adalah membuat ia lebih siap untuk dimatangkan sehingga lebih siap pakai. Pekerjaan untuk menjadikan lulusan Fakultas Hukum siap pakai sebaiknya dilakukan oleh kantor atau dinas yang mempekerjakannya. 93 Hal ini tentunya menjadi bahan pertimbangan bersama bagi pihak Biro Bantuan Hukum yang berada di Fakultas-Fakultas Hukum serta Pemerintah untuk mencari jalan keluar guna memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada Biro-Biro Bantuan Hukum di Fakultas Hukum. Dengan demikian, akses untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat, terutama yang tidak mampu, dapat lebih terjamin.
4. Lembaga Bantuan Hukum Sebagaimana telah dikemukakan dalam sub-bab mengenai sejarah bantuan hukum, munculnya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia sebenarnya merupakan proyek dari Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang dibentuk dalam Kongres Nasional pada tanggal 26 Oktober 1970 dan kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970 dengan nama Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum, disingkat LBH, yang mulai aktif berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk dibentuk di seluruh Indonesia yang dimulai dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta (sebagaimana
93
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 51, et seq.
Universitas Sumatera Utara
dikukuhkan dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1.b.3/1/31/70 tanggal 14 November 1970) dan disusul di kota-kota lain. 94 Maksud dan tujuan dari didirikannya LBH dapat dilihat dari Anggaran Dasar LBH Jakarta (sebagai LBH yang pertama kali dibentuk), antara lain: a. Memberikan
bantuan
hukum
secara
cuma-cuma
(pro
bono
publico/prodeo) kepada masyarakat luas yang tidak mampu; b. Menumbuhkan, mengembangkan, serta meninggikan kesadaran hukum masyarakat pada umumnya, khususnya kesadaran akan hak-hak sebagai subyek hukum; c. Memajukan hukum dan pelaksanaan hukum sesuai dengan perkembangan zaman (modernisasi). Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, maka LBH melakukan upaya-upaya sebagai berikut: a. Menyelenggarakan pemberian bantuan hukum dan/atau pembelaan umum yang meliputi segala pekerjaan atau jasa advokat terhadap kliennya di dalam maupun di luar Pengadilan; b. Mengadakan ceramah, diskusi, penerangan, penerbitan buku dan brosur, dan lain sebagainya; c. Mengadakan kerja sama dengan lembaga-lembaga/badan-badan/instansi pemerintah maupun non-pemerintah; d. Menyediakan diri selaku wadah guna latihan praktek hukum bagi para mahasiswa Fakultas Hukum. 94
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 233.
Universitas Sumatera Utara
LBH dalam pengabdiannya kepada masyarakat mempunyai fungsi atau peranan sebagai berikut: a. Public service. Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomis dimana sebagian besar masyarakat Indonesia tergolong tidak mampu (onvermogen) atau kurang mampu (mindervermogen) untuk menggunakan dan membayar jasa advokat sehinnga LBH memberikan jasanya dengan cuma-cuma. b. Social education. Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial-kultural dimana LBH dengan suatu perencanaan yang matang dan sistematis serta metode kerja yang praktis harus memberikan penerangan-penerangan dan petunjuk-petunjuk untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar dan mengerti hak-hak dan kewajibannya menurut hukum sehingga dengan demikian menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat. c. Perbaikan tertib hukum. Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial-politis dimana peranan LBH tidak hanya terbatas pada perbaikan-perbaikan di bidang peradilan pada umumnya dan profesi pembelaan khususnya, akan tetapi juga dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan ombudsman selaku partisipasi masyarakat dalam bentuk kontrol dengan kritik-kritik dan saran-sarannya untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan ataupun mengoreksi tindakantindakan penguasa yang merugikan masyarakat. d. Pembaharuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Banyak sekali peraturan-peraturan hukum yang perlu diperbaharui karena tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, bahkan seirngkali menghambat atau bertentangan dengan keadaan. Dalam hal ini, LBH dapat mempelopori usul-usul perubahan undang-undang (law reform) ke arah pembaharuan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. e. Pembukaan lapangan pekerjaan (labour market). f. Practical training. LBH bekerjasama dengan Fakultas-Fakultas Hukum. Bagi FakultasFakultas Hukum, LBH dapat dijadikan tempat latihan praktek bagi para mahasiswa hukum dalam rangka mempersiapkan dirinya menjadi sarjana hukum dengan menguji teori-teori yang dipelajari dengan kenyataan sehingga mendapatkan pengalaman. Bagi LBH, kerja sama tersebut dapat turut membantu menjaga idealisme LBH di samping memperoleh sumbangan-sumbangan pikiran dan saran-saran berupa gagasan-gagasan ilmiah maupun sumber dan partisipasi tenaga mahasiswa dari fakultas untuk perkembangan dan kemajuan LBH. 95 Dalam perkembangannya, muncul LBH yang diprakarsai oleh pihak-pihak swasta. Memang kelompok LBH swasta ini bisa dikatakan baru muncul dan berkembang belakangan. Namun fungsinya pada dasarnya sama dengan LBH pemerintah. Anggotanya pada umumnya terdiri dari kelompok yang bergerak dalam profesi hukum sebagai pengacara. Konsep dan programnya jauh lebih luas daripada sekedar memberikan bantuan hukum secara formal di depan sidang 95
Ibid, hlm. 241.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan terhadap rakyat kecil yang miskin dan buta hukum. Konsep dan programnya dapat dikatakan meliputi dan ditujukan pada: a. Menitikberatkan bantuan dan nasihat hukum terhadap lapisan masyarakat kecil yang tidak berpunya; b. Memberi nasihat hukum di luar pengadilan terhadap buruh, tani, nelayan, dan pegawai negeri yang merasa haknya dilanggar; c. Mendampingi atau memberi bantuan hukum secara langsung di sidang pengadilan, baik yang meliputi perkara perdata dan pidana; d. Bantuan dan nasihat hukum yang mereka berikan dilakukan dengan cumacuma. 96 Menurut Frans Hendra Winata, kiprah LBH dalam peranannya sebagai pemberi bantuan hukum pro bono publico telah mendorong masyarakat kecil untuk mempercayai LBH. Hal ini disebabkan LBH mendapat dukungan yang kuat dari media massa sehingga kasus-kasus masyarakat kecil dengan cepat mendapatkan perhatian dari pemerintah. Di samping itu, para advokat yang bekerja di LBH biasanya berasal dari mahasiswa yang terkenal dengan idealismenya dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan pembelaan terhadap masyarakat kecil sehingga seluruh konsentrasi dan bahkan kehidupan mereka dipertaruhkan untuk pekerjaan mereka sebagai advokat rakyat kecil. Dengan tugas dan fungsi pro bono publico yang demikian, maka LBH memegang peranan yang penting dalam pemerataan keadilan sehingga baik orang kaya maupun orang miskin dapat memperoleh pembelaan yang sama dan 96
M. Yahya Harahap, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
perlakuan yang sama di hadapan hukum. LBH dapat dianggap sebagai alternatif untuk meredam keresahan sosial dan gejolak sosial akibat kesenjangan dalam masyarakat. Memang, LBH juga mempunyai keterbatasan. Namun setidaknya LBH dapat membela masyarakat yang mempunyai kasus-kasus hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tidak terbayangkan apabila LBH tidak pernah ada di Indonesia, masyarakat miskin pasti akan terlantar dan tidak memperoleh bantuan hukum dalam menyelesaikan permasalahnnya. 97
5. Organisasi Advokat Sejarah pembentukan organisasi advokat di Indonesia bertalian erat dengan
ketentuan
organisasi
advokat
internasional
(International
Bar
Association), selanjutnya disebut IBA, yang bermarkas di London yang berfungsi sebagai PBB-nya advokat yang telah mempunyai aturan tersendiri tentang profesi advokat dan organisasi advokat yang dikenal sebagai IBA Standards for the Independence of the Legal Profession yang selanjutnya dijadikan panutan oleh hampir semua asosiasi advokat atau bar associations di seluruh dunia untuk menghimpun, mempersatukan, dan menyeragamkan standar profesi advokat. IBA menekankan pentingnya kehadiran organisasi advokat di setiap yurisdiksi negara dalam IBA Standards dimana disebutkan sebagai berikut. “There shall be established in each jurisdiction one or more independent self governing associations of lawyers recognized in law whose council or other executive body shall be freely elected by all the members without interference of any kind by any other body or person. This shall be without prejudice to their right to form or 97
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 55, et seq.
Universitas Sumatera Utara
join in addition other professional associations of lawyers and jurists.” 98 Sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, belum ada wadah tunggal advokat di Indonesia. Yang
ada
adalah
beberapa
organisasi
advokat yang independen. Walaupun pernah ada beberapa kali usaha untuk menciptakan suatu wadah tunggal advokat, seperti yang pernah terjadi pada Musyawarah Nasional Advokat tanggal 10 November 1985 di Hotel Indonesia, Jakarta dimana disepakati pembentukan suatu wadah tunggal advokat yang disebut Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), namun kesepakatan tersebut tidak di-follow-up secara konsekuen oleh para pendirinya. Yang terjadi malah timbul perpecahan di dalam tubuh IKADIN sehingga mengakibatkan bermunculannya organisasi-organisasi advokat di luar IKADIN yang semuanya diakui oleh pemerintah. 99 Namun usaha untuk membentuk suatu wadah tunggal mencapai titik balik dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dimana disebutkan dalam Pasal 32 ayat 4 perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). Dengan lahirnya PERADI, maka organisasi-organisasi advokat yang ada di seluruh Indonesia, seperti IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM,
98
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Op. cit., hlm. 65. 99 Ibid, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
dan APSI seharusnya bergabung dan melebur menjadi satu dalam PERADI. Namun demikian, dalam prakteknya, organisasi-organisasi advokat di luar PERADI tersebut masih tetap ada keberadaannya sampai saat ini. Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, organisasi advokat yang ada di Indonesia seharusnya berbentuk wadah tunggal (single bar association). Namun dalam prakteknya, organisasi advokat yang ada di Indonesia berwujud multi bar association (beberapa organisasi advokat yang independen dalam satu negara). Meskipun demikian, sebenarnya IBA tidaklah menentukan apakah organisasi advokat yang ada di suatu negara harus berbentuk single bar, multi bar, atau integrated bar (federasi beberapa organisasi advokat). Ketiga bentuk organisasi advokat tersebut sama-sama diakui dan diperbolehkan sesuai ketentuan IBA. Akan tetapi, yang patut diperhatikan di sini adalah perlunya ditetapkan secara tegas apakah Indonesia menganut single bar association ataukah multi bar association. Apabila memang Indonesia menganut single bar sebagaimana yang tercermin dalam perintah Pasal 34 ayat 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, maka organisasi-organisasi advokat lainnya harus dileburkan menjadi satu dalam PERADI sebagai wadah tunggal organisasi advokat Indonesia. Dengan demikian, akan tercapai suatu kepastian hukum serta persatuan dan kesatuan advokatadvokat Indonesia. Fungsi daripada organsisasi advokat sendiri dibahas dalam seminar antara bar leaders (pemimpin asosiasi-asosiasi advokat) di Brussels, Belgia pada tahun 1988, dimana IBA untuk pertama kalinya membahas mengenai pengawasan seorang advokat, profesi advokat, dan etika advokat yang harus diselenggarakan
Universitas Sumatera Utara
oleh organisasi advokat sendiri secara profesional dalam rangka memberikan jasajasa (dan/atau bantuan) hukum kepada mereka yang membutuhkannya tanpa membedakan asal-usul, keturunan, warna kulit, strata sosial-ekonomi, agama, kepercayaan, kewarganegaraan, jenis kelamin, dan lain-lain. Peranan organisasi advokat sangat penting dalam mengawasi dan mendidik para anggotanya mengingat tanpa adanya pengawasan praktek advokat, seorang advokat dapat bertindak menyimpang dan merugikan masyarakat, terutama masyarakat kecil, serta tidak akan tercapai pengadilan yang bebas dan mandiri. Dengan adanya pengawasan praktek advokat oleh organisasi profesi advokat yang dapat bertindak sebagai bar association akan menjamin masyarakat pada umumnya, terutama masyarakat miskin, untuk memperoleh pembelaan, nasihat, konsultasi, dan bantuan hukum yang berkualitas oleh advokat yang jujur, etis, profesional, dan berintegritas tinggi. 100
F. Pendanaan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dalam pemberian bantuan hukum yang bersifat cuma-cuma kepada masyarakat yang kurang mampu, persoalan mengenai dana mempunyai pengaruh yang cukup penting dalam menentukan pengembangannya. Artinya, untuk berhasilnya pengembangan suatu program bantuan hukum, diperlukan sejumlah dana tertentu yang merupakan salah satu faktor penentu utama berhasil atau tidaknya suatu program bantuan hukum.
100
Ibid, hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, banyak terjadi perdebatan mengenai darimanakah dana untuk melaksanakan bantuan hukum diperoleh. Seringkali terjadi kesalahpahaman dimana banyak yang beranggapan bahwa segala sesuatunya dapat diserahkan begitu saja kepada Lembaga/Biro Bantuan Hukum yang ada dengan pemikiran bahwa Lembaga/Biro tersebut akan membantu orang yang termasuk dalam golongan tidak mampu. 101 Ketua DPC PERADIN DKI, Yan Apul Girsang, menceritakan bahwa pada masa lalu seringkali advokat-advokat menyisihkan sebagian dana yang diperoleh dari kliennya yang kaya untuk membela orang yang miskin secara gratis. 102 Selain itu,
berdasarkan
pertimbangan
implikasi
politis
dan
ekonomis
yang
diperhitungkan dalam pemberian dana bantuan hukum, para pengurus LBH ketika itu berpaling kepada penyandang dana di luar negeri untuk membiayai pemberian bantuan hukum cuma-cuma. 103 Hal ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa bantuan hukum sebenarnya merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara kepada rakyatnya, terutama fakir miskin, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul akibat pendanaan bantuan hukum dan persoalan pemberian bantuan hukum pada umumnya, maka
101
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 293. Ibid, hlm. 294. 103 Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Op. cit., hlm. 35. 102
Universitas Sumatera Utara
pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 ini, pengaturan mengenai pendanaan bantuan hukum diatur dalam Bab VII Tentang Pendanaan dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 18. Pasal 16 “(1) Pendanaan bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (2)
Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan bantuan hukum dapat berasal dari: a. hibah atau sumbangan; dan/atau b. sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.”
Pasal 17 “(1) Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (2) Pendanaan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.” Pasal 18 “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran dana bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada pemberi bantuan hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Untuk melaksanakan perintah Pasal 18 tersebut, pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Dalam
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 18 dan 19 bahwa pendanaan bantuan hukum dibebankan pada APBN dan APBD untuk daerah serta dari hibah atau bantuan lain yang tidak mengikat. Prosedur pendanaan pemberian bantuan hukum diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 29. Prosedur diawali dengan penetapan standar biaya Anggaran Bantuan Hukum yang diusulkan Menteri Hukum dan HAM kepada Menteri Keuangan. Apabila disetujui, selanjutnya pemberi bantuan hukum dapat mengajukan rencana Anggaran Bantuan Hukum kepada Menteri Hukum dan HAM pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran pelaksanaan bantuan hukum yang paling sedikit memuat: a. Identitas pemberi bantuan hukum; b. Sumber pendanaan pelaksanaan bantuan hukum, baik yang bersumber dari APBN maupun non-APBN; dan c. Rencana pelaksanaan bantuan hukum litigasi dan non-litigasi sesuai dengan misi dan tujuan pemberi bantuan hukum. Dalam hal pengajuan rencana Anggaran Bantuan Hukum dinyatakan memenuhi persyaratan, Menteri akan menetapkan Anggaran Bantuan Hukum yang dialokasikan untuk pemberi bantuan hukum. Menteri dan pemberi bantuan hukum menindaklanjuti penetapan Anggaran Bantuan Hukum dengan membuat perjanjian pelaksanaan bantuan hukum. Dalam hal ini, Menteri berwenang menetapkan perubahan alokasi Anggaran Bantuan Hukum kepada pemberi bantuan
hukum
apabila
berdasarkan
pertimbangan
tertentu
diperlukan
penyesuaian atas pagu anggaran pelaksanaan bantuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penetapan Anggaran Bantuan Hukum, diadakan pembedaan antara dana bagi bantuan hukum litigasi dan non-litigasi. Penyaluran dana bantuan hukum litigasi dilakukan setelah pemberi bantuan hukum menyelesaikan perkara pada setiap tahapan proses beracara dan pemberi bantuan hukum menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti pendukung. Sedangkan penyaluran dana bantuan hukum non-litigasi dilakukan setelah pemberi bantuan hukum menyelesaikan paling sedikit 1 (satu) kegiatan dalam paket kegiatan non-litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 3 dan menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti pendukung. 104 Selain pendanaan, hal yang juga penting untuk diperhatikan dan diketahui, terutama oleh masyarakat yang tidak mampu, adalah mengenai tata cara pengajuan permohonan dan pemberian bantuan hukum. Sebagaimana mengenai pendanaan, prosedur pemberian bantuan hukum juga diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 15. Untuk memperoleh bantuan hukum, pemohon bantuan hukum harus memenuhi syarat sebagai berikut. 1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit identitas pemohon bantuan hukum dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum; 104
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum: Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29.
Universitas Sumatera Utara
2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan 3. Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum kepada pemberi bantuan hukum. Dalam hal pemohon bantuan hukum tidak memiliki identitas, pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan hukum dalam memperoleh surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain dari instansi yang berwenang sesuai domisili pemberi bantuan hukum. Apabila pemohon bantuan hukum tidak memiliki surat keterangan miskin, maka pemohon bantuan hukum dapat melampirkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin. Apabila tetap tidak ada juga, maka pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan hukum dalam memperoleh persyaratan tersebut. Bagi pemohon bantuan hukum yang tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis dapat mengajukan permohonan secara lisan. Dalam hal permohonan bantuan hukum diajukan secara lisan, pemberi bantuan hukum menuangkan dalam bentuk tertulis yang kemudian ditandatangani atau dicap jempol oleh pemohon bantuan hukum. Pemberi bantuan hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan yang diajukan oleh pemohon bantuan hukum dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah menerima berkas permohonan bantuan hukum. Apabila permohonan bantuan hukum telah memenuhi persyaratan, pemberi bantuan hukum wajib
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan kesediaan atau penolakan secara tertulis atas permohonan tersebut dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan dinyatakan lengkap. Apabila pemberi bantuan hukum menyatakan kesediaannya, maka pemberi bantuan hukum memberikan bantuan hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari penerima bantuan hukum. Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, pemberi bantuan hukum wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan dinyatakan lengkap. Pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, masalah hukum pidana, dan masalah hukum tata usaha negara, baik secara litigasi maupun non-litigasi. Pemberian bantuan hukum secara litigasi dilakukan oleh advokat yang berstatus sebagai pengurus pemberi bantuan hukum dan/atau advokat yang direkrut oleh pemberi bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diberikan hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerima bantuan hukum tersebut tidak mencabut surat kuasa khusus. 105
105
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum: Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15.
Universitas Sumatera Utara