28
BAB II PENGATURAN BANTUAN HUKUM
A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia. Bantuan hukum menurut Mauro Cappelletti sebenarnya telah dilaksanakan pada masyarakat barat sejak jaman romawi, dimana saat itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium.52 Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridik, dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan, dan hingga awal abad ke-20 bantuan hukum ini lebih dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.53 1.
Bantuan Hukum Masa Penjajahan Pada masa pendudukan Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie54 yang
selanjutnya disebut VOC mengakui keberadaan hukum lokal dimana VOC pada umumnya tidak dapat mengesampingkan hukum adat kecuali yang berkenaan dengan
52 Sr. Mauro Cappelletti, Earl Johnson Jr. Dan James Gord Ley, Towards Equal Justice, A Comparative Study of Legal Aid in Modern Societies, (New York: Dobbes Ferry, 1976), hal. 6. 53 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009), hal. 11. 54 Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret1602 adalah persekutuan dagang asal Belandayang memiliki monopoli untuk aktivitasperdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. orang Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat Nusantara lebih mengenal Kompeni sebagai tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat Nusantara yang sama seperti tentara Belanda. VOC memiliki hak kedaulatan (soevereiniteit) berdasarkan Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk: memelihara angkatan perang, memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian, merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda, memerintah daerah-daerah tersebut, menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan memungut pajak. http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie, Selasa, 25 November 2014, 07.03 WIB.
Universitas Sumatera Utara
29
perdagangan, VOC memiliki tujuan peningkatan perekonomian Negara Belanda dengan mengesampingkan penghormatan terhadap hubungan ekonomi dan politik yang menggunakan hukum adat. Selama kebijakan etis sekitar tahun 1900, pembaharuan hukum mulai dilaksanakan di wilayah Indonesia yang menjadi jajahan dengan memperhalus aturan adat atau aturan lokal yang telah ada, hal ini diperlukan karena
Belanda
memperlakukan
masyarakat
pribumi
secara
lain
(vervreemdingsverbod pada 1870)55 tetapi tidak pernah selain sebagai pemantas saja dengan maksud seolah menentang adanya perbedaan-perbedaan unsur kemajemukan ekonomi, sosial, dan politik kolonial, biasanya kebijakan pihak penjajah justeru memperkokoh perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih halus. Kebijakan penjajah Belanda tersebut dilakukan dengan membuat lembaga-lembaga yang diperuntukkan untuk kolonial dan pribumi, namun lembaga yang mengurusi urusan pribumi tidak boleh lebih tinggi dari lembaga yang mengurus urusan pihak kolonial Belanda.56 Hal ini telah jelas mencerminkan ketidakadilan terhadap hak asasi manusia bagi penduduk asli Indonesia. Cerminan ketidakadilan juga terdapat di bidang peradilan dimana pihak belanda yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht57 untuk tingkat pertama, Raad van justitie58 untuk tingkat banding, dan Hooggerechtshof59 (Mahkamah 55 Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah yang tidak dapat dipindahtangankan oleh orang pribumi (orang Indonesia Asli) kepada orang yang bukan asli Indonesia atau orang asing dan semua perjanjian yang berkenaan dengan pemindahtanganan tersebut dianggap batal. 56 Frans Hendra Winarta, Suatu Hak Asasi..., Op. Cit., hal. 2. 57 Residentiegerecht adalah badan-badan pengadilan tingkat pertama untuk orang-orang Eropah atau yang dipersamakan dengan mereka. Pengadilan ini dibentuk di kota-kota keresidenan atau kabupaten di luar Batavia, Semarang dan Surabaya. Hakimnya adalah Residen. Perkara yang ditangani adalah perkara perdata atau pidana yang berkategori ringan atau sederhana. 58 Raad van Justitie adalah badan pengadilan bagi orang Eropah yang tertua (sejak jaman VOC). Pengadilan ini didirikan di kota-kota dagang besar untuk mengurus, memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata maupun pidana yang tidak termasuk wewenang pengadilan Residen. Hakim dan panitera di pengadilan ini adalah ahli-ahli hukum berpendidikan Belanda. Raad juga berkompetensi sebagai pengadilan tingkat banding bagi putusan Landraad. 59 Hoogerechtshof adalah badan pengadilan tertinggi dalam hierarki pengadilan Belanda. Pengadilan ini juga berkompetensi sebagai badan pengadilan kasasi untuk semua putusan Landraad dalam perkara perdata, dan badan pengadilan banding untuk putusan tingkat pertama yang dibuat oleh Raad van Justitie. Hoogerechtshof bertindak sebagai pengadlan tingkat pertama hanya dalam perkara gugatan perdata tergadap pemerintah atau terhadap Gubernur Jenderal.
Universitas Sumatera Utara
30
Agung) di Batavia (Jakarta). Aparatur pada Raad van justitie dan Hooggerechtshof adalah para ahli hukum yang terlatih yang semakin dipererat kaitannya dengan negara hukum (Rechtstaats) Negeri Belanda melalui pendidikan, budaya, pengetahuan umum, dan ilmu di bidang hukum. Selain badan pengadilan tersebut diluar pengadilan pemerintah Kolonial juga terdapat badan pengadilan swapraja yang ada di bawah dan dikelola oleh raja-raja, selain itu juga di beberapa tempat terdapat penyelesaian sengketa dengan mekanisme adat yang disebut Desa Rechtspraak (pengadilan desa).60 Adapun tujuan Belanda menerapkan peraturan-peraturan tersebut adalah untuk menjamin terhadap perlindungan perdagangan Belanda jika terjadi perselisihan dagang eksternal dan internal. Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa bantuan hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasar asas konkordansi61
dimana peraturan Firman Raja 16 Mei 1848 Nomor 1 juga
diberlakukan di Indonesia, antara lain susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Pengadilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie) atau RO62 dimana terdapat aturan mengenai Advokat dan Pengacara dalam BAB VI memuat Advokat merangkap sebagai pengacara dimana sifat dan pemberian jasa dan pekerjaan yang bersangkutan dengan jasa tersebut, saat itu Advokat hanya memberikan jasanya dalam proses perdata dan pidana. Seseorang yang dapat diangkat menjadi Advokat adalah mereka yang berkaula negara Belanda dan mempunyai ijazah Universitas di negeri Belanda atau ijazah Rechts Hogeschool (RHS) di Jakarta, biasanya Advokat di Indonesia masa pendudukan Belanda adalah mereka yang telah 60
A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 15. 61 Asas konkordansi atau asas keselarasan (concordantie begeinsel) adalah asas yang menyamakan hukum yang ada di Belanda dengan hukum yang ada di Indonesia. 62 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
31
bergelar Doktor Ilmu Hukum dan Meester in de Rechten. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie ini juga mengatur lebih rinci mengenai jarak tempat tinggal Advokat antara 3 sampai 5 paal63 dari tempat menjalankan prakteknya atau pengadilan tempat Advokat tersebut bersidang. Point utama yang terkait dengan Bantuan Hukum masa pendudukan Belanda terdapat dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie Pasal 190 memuat:64 “De Advocaten en procureurs, daartoe door de regterlijke collegien, voor welke zij hunne bediening uitoefenen aangewezen, zijn verplight om gratis den wel tegen half salaris hunnen bijstand te veerlenen aan hen, die verguning hebben bekomen onderscheidenlijk om kosteloos, den wel tegen verminderd tarief te procedeeren. Zij zijn mede gehouden om zijk gratis te belasten met de verdediging in strafzalken, wanneer hun dit door den regter wordt op ged ragen zij kunnen zich aan die verpligtingen niet onttrekken, dan om redenen door den president van het betrokkene colligie goedge keurd.” Terjemahan, para Advokat dan procurerbila ditunjuk oleh badan pengadilan, dimana ia diangkat, wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau separuh dari tarif biaya yangberlaku, guna menolong mereka yang telah mendapatkan ijin berproses tanpa biaya atau di bawah tarif yang berlaku. Mengenai besaran honorarium dan uang muka advokasi telah diatur dalam dasar tarip yang telah ditentukan. Advokat dalam menjalankan tugasnya diawasi oleh Majelis Hakim (Majelis Hakim ditambah dua orang Advokat). Dalam pengawasan tersebut mempertimbangkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Advokat, seorang Advokat dapat ditegur apabila mengabaikan kepentingan para kliennya, bertingkah laku tidak sepantasnya terhadap para pihak yang berperkara atau para
63 Paal adalah satuan ukuran jarak dimana 1 paal di jawa sama dengan 1.507 meter sedangkan 1 paal di sumatera sama dengan 1.852 meter, adapun perbedaan ukuran di jawa dan sumatera terkait dengan permainan jual-beli tanah perkebunan oleh VOC. 64 Abdurrahman, Op. Cit., hal. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
32
Advokatnya dan apabila mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban dan kehormatannya selaku Advokat dan pengacara atau juga apabila mereka ini menunjukkan sikap tidak hormat terhadap majelis hakim atau para anggotanya atau pejabat pengadilan lainnya, dan juga termasuk dalam menggunakan kata-kata yang tidak pada tempatnya terhadap Undang-Undang atau kekuasaan umum dan juga menurut keadaan. Sanksi yang dapat diberikan oleh Majelis Hakim berupa pemecatan sementara (schorsing) untuk jangka waktu setinggi-tingginya enam bulan atau dikenakan denda paling tinggi f. 200,-65 untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu, dengan memerintahkan pula untuk membayar ganti rugi seluruhnya atau sebagian yang ditimbulkan oleh kesalahannya atau kelalaiannya dalam memperhatikan para pihak yang berperkara. Sebagaimana Advokat yang menerima teguran oleh Majelis Hakim dapat mengajukan banding dengan surat permohonan dalam waktu empat belas hari setelah hari keputusan telah diucapkan kepada Hooggerechtshof atau Hof atau disingkat H.g.H. dan apabila tingkah laku negatif Advokat tesebut diulangi kembali atau terjadi kelampauan batas yang tidak semestinya maka H.g.H karena jabatannya atau berdasarkan usul dari Raden van Justitie atau disingkat sebagai R.v.J. (Pengadilan Tinggi) dapat mengusulkan kepada Gouvenieur Generaal atau disingkat G.G. (Menteri Kehakiman). Pemecatan dengan tidak mengurangi wewenang dari G.G. Untuk mengadakan pemecatan tanpa adanya usulan yang demikian. Tingkatan badan peradilan dengan kepentingan yang berbeda membuat proses peradilan saat itu tidak memberikan rasa keadilan kepada golongan pribumi, 65
F atau fl (Florijn atau Florin) adalah mata uang Belanda sejak abad ke-17 hingga 2002 yang kini digantikan dengan Euro. Satu Florijn sama dengan 2.20371 Gulden/Guilder Belanda (NLG) atau sama dengan 0.9999995238 Euro (1 Gulden=0.453780 Euro) atau setara dengan Rp.15060.084518384 (1Euro=15060.09169 IDR). Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1833, 1 Gulden setara 120 sen, dan pada 1854 1 Gulden setara 100 sen. http://id.m.wikipedia.org/wiki/Gulden_Belanda, http://www.geengeldgebrek.nl/wordpress/omrekenen-gulden-naar-euro/, http://www.bi.go.id/moneter/informasi-kurs/transaksi-bi/Default.aspx
Universitas Sumatera Utara
33
landgerech yang dibentuk pada 1914 secara umum dapat memproses semua golongan jika terjadi perkara hukum meskipun pengadilan ini hanya memeriksa pelanggaran pidana ringan saja dimana orang Belanda juga sebagai hakimnya. Pelaksanaan Bantuan Hukum yang diberlakukan menurut asas konkordansi tersebut hanya sekedar peraturan di Hindia, peraturan Bantuan Hukum tersebut hanya berlaku untuk golongan Eropah. Adanya ketidakadilan semakin dirasakan oleh penduduk asli Indonesia dengan adanya pengelompokan golongan-golongan masyarakat sebagaimana diatur dalam Indische Staatsregeling atau disingkat IS (Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda) yang mulai diberlakukan tahun 1926 dimana pada Pasal 163 ayat (1) memuat: a.
Eropah Yang termasuk golongan Eropah adalah orang Belanda, dan semua orang bukan Belanda yang asalnya dari Eropah, orang Jepang (berdasarkan perjanjian Nedherland dan Japan dalam Lapangan Perdagangan dan Perkapalan), orang-orang yang tidak termasuk orang Belanda atau Eropah lainnya, akan tetapi taat pada Hukum Keluarga yang pada garis besarnya sama dengan asas-asas hukum keluarga yang terdapat dalam BW/KUHS, orang-orang tesebut yang dimaksud adalah orang Amerika, Canada, Afrika Selatan, dan Australia, dan juga orang yang secara sah merupakan keturunan Belanda dan orang yang tidak berasal dari Belanda tetapi di negaranya menganut hukum kekeluargaan yang sifat dan coraknya sama dengan Belanda. Dalam perkembangannya muncul istilah Gelijkstelling66 diatur dalam Pasal 109 RR baru (amandemen Pasal 109 ayat 5 RR lama) yang akhirnya
66
Gelijkstelling adalah pembauran, dipersamakan menurut hukum, persamaan yang diberikan kepada Pribumi atau orang Timur Asing yang dengan syarat tertentu mendapat hak-hak yang sama seperti orang Eropah.
Universitas Sumatera Utara
34
menjadi Pasal 163 IS yang menyatakan lembaga Gelijkstelling diganti dengan Toepasselijkverklaring van de Bepalingen Europeanen.67 Pasal 109 RR baru mengatur bahwa orang Timur Asing dan orang Pribumi dapat dipersamakan dengan orang Eropah atas permintaannya sendiri. Ketentuan mengenai Gelijkstelling ini ditentukan dengan ordonasi dan kemudian dimuat dalam Staatblad. Orang yang dipersamakan menurut staatblad ini dikenal dengan istilah orang Eropah Staatsblad (Staatsblad Europeanen).68 Gelijkstelling dapat dilakukan oleh orang Timur Asing dan orang Pribumi dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu: 1) Sebelum tahun 1894: a) Beragama kristen, b) Fasih bercakap dan menulis dalam bahasa Belanda. c) Berpendidikan dan beradat-istiadat Belanda. d) Mempunyai kecakapan penuh (volkman geschiktheid) untuk bergaul dengan masyarakat Eropah. 2) Tahun 1894, Syarat-syarat yang tersebut diatas dirubah menjadi mempunyai kecakapan untuk bergaul dengan masyarakat Eropah, sedangkan agama yang dianut tidak lagi menjadi batasan atau dihilangkan. 3) Tahun 1913, syarat yang lebih diutamakan untuk mempermudah orang menjadi Gelijkstelling adalah kebutuhan hukum dari yang bersangkutan, dimana dengan tujuan bahwa orang tersebut bersedia tunduk dan menerima Personenrecht69 dan Familierecht European70.
67 Toepasselijkverklaring van de Bepalingen Europeanen merupakan memperlakukan ketentuan hak orang Eropah terhadap orang Indonesia dan Timur Asing. 68 Asis Safioedin, Beberapa Hal Tentang Burgerlyk Wetboek, (Bandung: Alumni, 1973), hal. 38. 69 Personenrecht atau hukum perorangan atau hukum pribadi. Personenrecht adalah semua kaidah hukum
Universitas Sumatera Utara
35
Personenrecht dan Familierecht atau tentang orang (van personen) diatur dalam Burgelijk Wetboek pada Buku I dimana menjelaskan hukum perorangan dan hukum keluarga yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subjek hukum, antara lain mengenai ketentuan timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan,
perkawinan,
keluarga,
perceraian
dan
hilangnya
keperdataan.71 b.
Bumi Putera Yang termasuk golongan Bumi Putera adalah semua orang asli dari Indonesia.
c.
Timur Asing Yang termasuk golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah dan/atau bukan orang Bumi Putera (Tionghoa, Arab, India, Pakistan, dan sebagainya).
Penggolongan sebagaimana disebutkan diatas berpengaruh besar terhadap bidang hukum dimana golongan Eropah menduduki tingkatan pertama dalam urutan, hal ini berarti adanya keistimewaan terhadap golongan Eropah yaitu kepentingankepentingan yang ada harus lebih diutamakan dari pada kepentingan golongan Bumi Putera dan Timur Asing. Pada masa kolonial di Indonesia sekitar tahun 1940-an, kitab Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan peradilan digunakan hanya satu kitab saja dimana yang mengatur mengenai siapa saja yang dapat membawa hak dan kedudukannya dalam hukum. Hukum perorangan terdiri dari: peraturan-peraturan manusia sebagai subjek hukum, kewenangan hukum, domestik dan catatansipil. Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya tersebut. 70 Familierecht atau hukum keluarga adalah semua kaidah hukum yang mengatur hubungan abadi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin dan akibatnya hukum keluarga sendiri dari: perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/istri, hubungan antara orang tua dan anak-anaknya, perwalian, pengampuan. 71 http://pringganugraha.wordpress.com/hukum-perdata/, Minggu, 7 September 2014, 19.21 WIB
Universitas Sumatera Utara
36
kitab undang-undang tersebut mengatur perkara perdata maupun perkara pidana yang juga didalamnya memuat acara-acara peradilan pangreh praja72 maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Kitab Undang-Undang yang diberlakukan bagi pribumi Indonesia ini disebut Herziene Inlandsch Reglement yang selanjutnya disebut HIR yang diberlakukan pada 1941. HIR yang diberlakukan di Indonesia ini telah banyak menghilangkan peraturan tentang bantuan hukum dimana tidak dimasukkannya verplichte procureur stelling.73 Bantuan
hukum
pada
masa
penjajahan
Jepang
pada
awalnya
masih
memberlakukan pengaturan kitab Undang-Undang bagi golongan-golongan tertentu, golongan Eropah dan Tionghoa menggunakan Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata dan Wetboek van Koophandel (WvK) atau kitab hukum dagang, sedangkan untuk golongan asli Indonesia menggunakan hukum adat, bagi orang-orang Jepang yang digunakan adalah Undang-Undang dan peraturan-peraturan negaranya sendiri dimana pengusutan, penuntutan dan pengadilannya dilakukan oleh opsir-opsir Jepang sendiri. Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHPidana dari masa penjajahan Belanda masih diberlakukan selain peraturan-peraturan pidana lainnya yang dibuat penjajah Jepang yang diantaranya adalah Osamu Gunrei Nomor 1 Tahun 1942 pada Pasal 3 72 Pangreh Praja adalah salah satu dari dua bentuk birokrasi pemerintahan di Hindia Belanda yang disebut jg sebagai Inlands Bestuur atau Inlandsch Bestuur adalah birokrasi pelaksana pemerintahan kolonial Belanda di daerah (birokrasi pada wilayah kekuasaan orang bumi putera) dan dapat juga merupakan kolaborasi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan bumi putera daerah setempat. 73 Verplichte procureur stelling adalah mewajibkan pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan Advokat atau pengacara. Sejarah hukum Indonesia terdapat aturan bagi golongan Eropah dan Timur Asing dalam Reglement op de Rechtsvordering disingkat Rv pada Pasal 106 memuat bahwa penggugat diwajibkan menunjuk pengacara, jika tidak menggunakan pengacara maka gugatan dianggap batal. Het Heziene Indonesisch Reglement disingkat HIR pada Pasal 118 juga disebutkan bahwa seseorang dapat mengajukan gugatan ke pengadilan baik sendiri maupun diwakili oleh kuasanya (tidak ada kewajiban berkebalikan dengan Rv), jadi di Indonesia asas Verplichte procureur stellingsampai saat ini tidak diberlakukan karena tidak diatur dalam hukum acara dimana dalam kasus hukum perdata tidak adanya kewajiban bagi penggugat untuk diwakili oleh Advokat atau pengacara pada saat berperkara di pengadilan. Pasal 54 KUHAP menjelaskan bahwa seseorang yang ingin beracara di pengadilan pidana untuk membela kepentingannya sendiri boleh dilakukan, namun lebih lanjut diatur pada Pasal 56 apabila dakwaan yang dikenakan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau 15 tahun atau lebih atau bagi yang tidak mampu yang diancam 5 tahun maka wajib memberikan penasihat hukum.
Universitas Sumatera Utara
37
yang dikeluarkan oleh Pembesar Bala Tentara Dai Nippon untuk Jawa dan Madura (mengenai hal ini boleh dikatakan sama saja untuk daerah luar Jawa dan Madura) yang memuat antara lain:74 “Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer.” Kemudian Undang-Undang Nomor Istimewa Tahun 1942 yang termasuk didalamnya memuat Osamu Gunrei Nomor 25 Tahun 1944 Tentang Gunsei Keizirei (Undang-Undang Kriminal Pemerintah Balatentara) yang berisi aturan-aturan yang diberlakukan pada semua orang yang melakukan tindak pidana di dalam maupun di luar wilayah hukum Gunzei Keizirei. Pada Pasal 47 Gunzei Keizirei kekuatan Undang-Undang ini berlaku surut, yang diatur dalam aturan umumnya adalah jenis-jenis pidana yang berbentuk kesengajaan, percobaan, konkursus, penyertaan, dan rechterlijk pardon75. Gunzei Keizirei juga telah mengatur tentang bandan hukum yang dapat diberikan sanksi jika melakukan perbuatan melawan hukum yang termuat dalam Pasal 26 Gunzei Keizirei. Osamu Seirei Nomor 24 Tahun 1944 tentang mengadili orang-orang Jepang (Nippon) baik dalam perkara perdata maupun pidana mulai dari pengusutan, penuntutan,
pemeriksaan,
dan
pengadilannya
adalah
menggunakan
aturan
Undang-Undang Jepang kecuali keadaan istimewa yaitu perkara yang tidak dapat diselesaikan menurut Undang-Undang Jepang tersebut. Perkara diperiksa dan diadili oleh Tiboo Hooin (Pengadilan Negeri), sedangkan hakim atau jaksa yang memeriksanya adalah hakim dan jaksa Jepang, namum putusan pengadilan terhadap perkara yang terjadi untuk orang-orang Jepang dijalankan oleh kantor atau pegawai
74
Ibid., hal. 39. Rechterlijk pardon adalah kemungkinan pembebasan seseorang dari hukuman jika ia sendiri yang memberitahukan kejahatan yang telah dilakukannya kepada yang berwajib. 75
Universitas Sumatera Utara
38
yang ditunjuk oleh Gunseikan (Pejabat Tinggi Pemerintah Balatentara). Pengusutan dan penuntutan di pengadilan masa penjajahan Jepang dilakukan oleh Kensatu Kyoku (Kejaksaan) yang kedudukannya tidak dibawah asisten Resident namun berada di bawah Saiko Kensatu Kyoku Tyo (dahulu disebut sebagai Procure General) dan sesudah dihapuskannya Saiko Hooin (Peradilan Agung) kemudian kedudukan Kensatu Kyoku berada di bawah Kootoo Kensatu Tyo. Adapun sebagai pengawas terhadap kinerja hakim dan peradilan dilakukan oleh Sihoobutyo (Kepala Departemen Kehakiman) yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: Syomuka (perkara umum), Minzika (perkara perdata), dan Keizika (perkara pidana). Pada intinya bahwa perubahan-perubahan yang dilakukan dalam periode pendudukan Jepang dilakukan dengan mengganti warna Belanda dengan warna Jepang, sembari disisi lain, menghilangkan hak-hak istimewa orang Belanda dan Eropah lainnya, Undang-Undang pendudukan Belanda masih dapat diberlakukan asalkan tidak bertentangan dengan militer Jepang. Pembaharuan yang dilakukan masa pendudukan Jepang di bidang peradilan di Indonesia antara lain:76 a.
Penghapusan dualisme atau pluralisme tata peradilan, sehingga hanya ada satu sistem saja untuk semua golongan penduduk (kecuali untuk orang Jepang, karena orang Jepang di Indonesia menggunakan aturan Jepang). Semua badan pengadilan (kecuali Residentiegerecht, yang khususnya untuk orang Belanda dan Eropah), dengan nama yang diganti dengan istilah Jepang;
b.
Unifikasi kejaksaan, fungsi officieren van justitie (yang bekerja dibawah arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Eropah) disatukan dengan fungsi jaksa untuk orang-orang pribumi ke dalam Kensatzu Kyoku, yang
76
Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, YLBHI, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
39
diorganisasi menurut tiga tingkat peradilan; c.
Penghapusan pembedaan polisi kota dan polisi pedesaan/lapangan;
d.
Pembentukan lembaga pendidikan hukum, khususnya untuk menghasilkan hakim dan jaksa;
e.
Pengisian secara serentak jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum oleh orang-orang pribumi.
2.
Bantuan Hukum Masa Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, arti dari pada bantuan hukum menjadi lebih luas.
Landasan yuridis bantuan hukum saat kemerdekaan tetap pada Herziene Inlandsch Reglement (HIR) pada Pasal 250 dimana pemberian bantuan hukum untuk terdakwa yang diancam hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Pelembagaan bantuan hukum di Indonesia dimulai sejak Zeyle Maker membentuk Biro Bantuan Hukum kepada rakyat yang tidak mampu di Rechts Hogeschool (RHS) Jakarta pada tahun 1940, pengelolaannya oleh Alwi St. Osman dan Elkana Tobing. Kemudian pada tahun 1953, Ting Swan Tiong mendirikan Sin Ming Hui atau dikenal dengan Tjandra Naya, suatu organisasi sosial dari pada orang-orang Indonesia keturunan Cina, yang memberi Bantuan Hukum dalam setiap perkara kepada anggotanya. Dengan demikian mengenai Bantuan Hukum untuk anggota Tjandra Naya tidak terbatas kepada perkara yang diancam hukuman mati saja, tetapi diberikan dalam segala macam perkara, meskipun ada batasan lain, yaitu bahwa bantuan hukum hanya diberikan kepada suatu golongan keturunan Cina saja.77 Pada Tahun 1962, Ting Swan Tiong mengusulkan kepada Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk mendirikan Biro Konsultasi Hukum dan mendapat respon positif pada 2 Mei 1963. Pada tahun 1968 Biro
77
Adnan Buyung Nasution, Op. Cit., hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
40
Konsultasi Hukum yang sudah dibentuk di FH UI dirubah menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan berubah lagi pada tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH).78 Pada tahun 1967, Mochtar Kusuma Atmadja mendirikan Biro Bantuan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung.79 Kemudian dilanjutkan dengan pendirian LBH di tahun 1971 yang dipelopori oleh Adnan Buyung Nasution dan terjadi perubahan di bawah suatu yayasan (YLBHI) pada tahun 1980. Pada tahun 1974, Bapak Ilyas, Arifin, Ruslan, Hotma mendirikan Biro Bantuan Hukum di Universitas Sumatera Utara dengan fungsi mengadakan penyuluhan hukum atau memberikan pengetahuan hukum kepada masyarakat dan membantu para mahasiswa untuk pelaksanaan kuliah kerja nyata. Berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud No. 0325/U/1994 yang menyebutkan bahwa di setiap Fakultas Hukum terdapat sistem Pendidikan dengan pendekatan terapan, Biro Bantuan Hukum USU berubah menjadi Unit Bantuan Hukum dengan ketua Alm. Syahmenan dan fungsinya juga berubah menjadi Unit Litigasi (UL), Unit Non Litigasi (UNL), Unit Bantuan Hukum (UBH).80 Kemerdekaan pada tahun 1950-an, terdapat peraturan mengenai notaris dan pengacara yang diatur dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 dimana dimuat tentang perihal pengawasan tertinggi oleh Mahkamah Agung terhadap para notaris dan pengacara, namun mengenai bagaimana saja cara atau kewajiban dalam pelaksanaan pengawasan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Pada tahun 1965, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 sudah tidak diberlakukan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 dimana pada Pasal 54 juga dimuat perihal pengawasan tertinggi oleh Mahkamah Agung yang dilakukan terhadap para notaris dan penasihat hukum (perubahan dari pengacara). Selanjutnya 78 79 80
Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, dkk., Op. Cit., hal. 903. Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op. Cit., hal. 463. Muhammad Hayat, wawancara oleh peneliti, Peradilan Semu USU, Jum’at, 21 November 10.20 WIB.
Universitas Sumatera Utara
41
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tidak diberlakukan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 namun Undang-Undang ini menghilangkan atau tidak memuat mengenai pengawasan tertinggi tersebut.81 Pada tahun 1970-an, pemerintah telah memperhatikan masalah Bantuan Hukum dimana dikeluarkannya beberapa peraturan yang memuat unsur Bantuan Hukum, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mengatur ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, dan tambahan Lembaran Negara Nomor 2951 yang oleh Oemar Senoadji berpendapat: “Ia mengandung prinsip-prinsip yang kelak memerlukan pelaksanaannya dalam perundang-undangan lain. Ia memberikan pengarahan untuk hukum acara, Hukum Acara Pidana khususnya kelak, sedang dalam pengarahan tersebut kadang-kadang ia sudah memberikan dasar-dasarnya yang kelak ia harus mendapat uitwerking,82 tidak dapat diubah lagi atau ia memerlukan sekedar sesuatu pelaksanaan belaka. Akan tetapi, bagaimanapun juga, pengarahan khususnya dalam hukum acara pidana yang akan datang telah menunjukkan gambarannya dikemudian hari, ia mengandung prinsip-prinsip yang sesuai dengan rule of the law dengan hubungannya dengan hukum acara pidana.”83 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 khususnya di dalam Bab VII diatur perihal Bantuan Hukum, yang mencakup Pasal 35 sampai dengan Pasal 38. Meskipun memuat hanya pokok-pokoknya saja, akan tetapi di dalam Pasal-Pasal tersebut bantuan hukum diakui eksistensinya secara juridis. Setiap orang yang tersangkut perkara hukum berhak memperoleh Bantuan Hukum, hal ini dianggap perlu karena setiap orang wajib dilindungi dan diberikan haknya dalam proses peradilan dan juga pencerminan seseorang tertuduh dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sesuai dengan perikemanusiaan, maka seorang tertuduh harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan selama belum terbukti 81
Soerjono Soekanto, op. Cit., hal. 86. Uirwerking adalah arti kata efek, dalam hal ini adalah aturan pelaksanaan atau peraturan turunan dari undang-undang, misalnya PP dan Permen. 83 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1973), hal. 247. 82
Universitas Sumatera Utara
42
kesalahannya harus dianggap tidak bersalah dan karena itu ia harus diperbolehkan mendapatkan Bantuan Hukum sejak ia ditangkap atau ditahan namun tetap sesuai peraturan (hukum acara pidana) dan tidak menyulitkan jalannya penyidikan (pemeriksaan). Penasihat dalam memberikan Bantuan Hukum diharapkan dapat bekerjasama dalam melancarkan penyelesaian perkara dengan mewujudkan kebenaran yang ada tanpa harus menutupi kasalahan tertuduh.84 Apabila hak tiap orang dalam Bantuan Hukum dan asas praduga tak bersalah sudah diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan, maka dapat dibayangkan bahwa akan diperlukan lebih banyak tenaga-tenaga Advokat atau pengacara dalam memenuhi kebutuhan Bantuan Hukum.85 Pada tahun 1978, dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1978 Tentang GBHN yang didalamnya memuat bahwa pembangunan di bidang hukum di Indonesia didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang untuk mencapai tujuan ketertiban dan kepastian hukum juga memperlancar pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang, oleh sebab itu pemerintah melakukan beberapa kegiatan, kegiatan tersebut diantaranya sebagai berikut: a.
Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat,
b.
Menertibkan badan-badan penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya masing-masing,
c.
Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum, 84
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 35 sampai 38. Suardi Tasrif, Pemberian Bantuan Hukum Oleh Fakultas Hukum dan Kepengacaraan, Pemberian Bantuan Hukum Oleh Fakultas Hukum Negeri, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1976), hal. 105. 85
Universitas Sumatera Utara
43
d.
Membina penyelenggaraan Bantuan Hukum untuk golongan masyarakat yang kurang mampu.
Selain itu peningkatan kesadaran hukum masyarakat penting untuk diupayakan agar masyarakat mengerti dan memahami hak dan kewajibannya dan juga perlu untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dengan memperhatikan penegakan hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945. Berkenaan tentang hak dan kewajiban masyarakat di bidang hukum maka dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan langkah-langkah untuk penyusunan perundang-undangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.86 Aturan yang dirumuskan dalam GBHN sifatnya belum menyelesaikan masalah yang dihadapi dimana belum terdapat peraturan pelaksanaan mengenai bantuan hukum tersebut, Adnan Buyung Nasution dalam bukunya keluaran tahun 1978 bependapat bahwa sejak lahirnya Undang-Undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru, hak bantuan hukum atau the right to counsel ini sudah mendapatkan pengakuan dan jaminan yang lebih pasti. Perbedaan pokok yang utama adalah bahwa hak bantuan hukum itu sudah diberikan “sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan” dan bukan lagi hanya di depan persidangan. Praktek peradilan yang terjadi, hak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum itu (the right of legal assistance atau the right to counsel dikenal sebagai hak bantuan hukum atau hak untuk mendapatkan penasihat) belum dapat berjalan dengan lancar, oleh karena pihak kepolisian dan kejaksaan umumnya masih menolak memberikan kesempatan tersebut. Alasan utama yang diberikan sekarang adalah 86
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
44
karena sampai sekarang belum ada peraturan-peraturan pelaksanaan (implementary regulation) yang mengatur lebih lanjut tentang cara-cara pelaksanaan hak bantuan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang tersebut. Alasan yuridis ini memang ada dasarnya, oleh karena dalam Undang-Undang yang bersangkutan disebutkan bahwa hak bantuan hukum tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Sayang sekali janji pemerintah tersebut sampai saat itu belum terpenuhi.87 Pemenuhan hak setiap orang dalam peradilan terhadap bantuan hukum dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum dan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.UM.08.10 Tahun 1981 Tentang Perubahan dan Perbaikan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980. Dasar pertimbangan diundangkannya peraturan tersebut adalah bahwa dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan, perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu, dan penyelenggaraan pemerataan bantuan hukum melalui Badan Peradilan Umum dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku dan untuk itu diperlukan petunjuk pelaksanaan Menteri Kehakiman.88 Pada sekitar tahun 2000, kegiatan bantuan hukum gratis bagi si miskin sempat mengalami kemandekan (stagnasi). Hal ii tidak dapat dipisahkan dengan adanya larangan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pada Pasal 3 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai Advokat yang menyebutkan bahwa untuk dapat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan, tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara, kemudian dipertegas dengan sanksi pada Pasal 31 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja 87 88
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1981), hal. 35. Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 93-94.
Universitas Sumatera Utara
45
menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UU No. 18 Thn. 2003), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima juta rupiah).89 Selanjutnya ketentuan Pasal 31 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dibatalkan sehubungan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No: 006/PUU-II/2004 Tanggal 13 Desember 2004. Pemerintah mulai berperan aktif dengan diundangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban hukum kepada orang atau kelompok orang miskin mulai dipehatikan dengan suatu program pelaksana yang diatur dalam turunan Undang-Undang Bantuan Hukum. Program Bantuan Hukum tidak dapat dilaksanakan secara pasif atau menunggu permohon Bantuan Hukum (service station), Program Bantuan Hukum harus aktif yaitu dalam arti pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum dengan memberikan pendidikan hukum secara nonlitigasi berupa penyuluhan hukum agar masyarakat mengerti dan memperjuangkan hak dan kewajiban hukumnya.90
B. Beberapa Peraturan yang Berkaitan Bantuan Hukum. Peraturan yang berkenaan dengan masalah bantuan hukum di Indonesia mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut saling berkaitan meskipun peraturan yang lama tidak diberlakukan lagi. Peraturan yang peneliti maksudkan disini adalah berupa pemberian bantuan hukum kepada massyarakat miskin atau pemberian bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Diantara peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum sebagai jaminan keadilan dalam 89 90
Mohammad Mahfud MD., dkk. Op. Cit., hal. 730. Dartimnov M. T. Harahap, Op. Cit.,
Universitas Sumatera Utara
46
melindungi hak-hak masyarakat miskin atau tidak mampu tersebut adalah: 7.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Lahirnya Undang-Undang tentang bantuan hukum telah dinantikan oleh sebagian besar Pemberi Bantuan Hukum di Indonesia, karena undang-undang tersebut dinilai sebagai kejelasan suatu aturan khusus tentang bantuan hukum yang berorientasi pada perubahan sosial dimana memperhatikan jaminan hak konstitusi setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dihadapan hukum dalam pemberian bantuan hukum bagi orang miskin, juga merupakan perlindungan hak dan kewajiban para pelaksana bantuan hukum. Undang-Undang Bantuan Hukum lahir atas pertimbangan Pasal 20 UUD 1945 yang menyatakan bahwa lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum merupakan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden atas RUU Bantuan Hukum, tiap anggota DPR berhak mengajukan usul terhadap RUU Bantuan Hukum Pasal 21 UUD 1945. Terhadap Undang-Undang Bantuan Hukum yang telah disahkan yang merupakan persetujuan dari DPR dan Presiden, berarti Negara harus lebih fokus bahwa kewenangan yang berkaitan dengan bantuan hukum harus menggunakan Undang-Undang Bantuan Hukum, bukan merupakan kewenangan Judikatif lagi seperti yang dijelaskan dalam Ketentuan Peralihan pada Bab X pada Pasal 22 sampai 23 bahwa penyelenggaraan dan anggaran bantuan hukum dari MA, Polri, Kejaksaan, dan instansi lainnya tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan persamaan kedudukan hukum dimana antara kaya dan miskin yang bermasalah hukum telah dilindungi dengan
Universitas Sumatera Utara
47
pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Pasal 28d ayat (1) UUD 1945 mengakui hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama pada tiap orang sebagaimana telah di isyaratkan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum pada Pasal 12 yang memuat Penerima Bantuan Hukum mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai aturan. Pasal 28h ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan yang dalam Undang-Undang Bantuan Hukum tersirat dalam aturan tentang permohonan Penerima Bantuan Hukum, dimana terdapat ketentuan Bab VI Pasal 14 sampai 15 Undang-Undang Bantuan Hukum dipermudah dalam aturan khusus pada Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 sampai Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 terhadap terhadap pemohon yang tidak dapat tulis baca dan tidak memiliki identitas kependudukan. Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah, dimana melalui Undang-Undang Bantuan Hukum pemerintah fokus terhadap masyarakat miskin dan buta hukum dalam menjamin perlindungan hukumnya. Pasal 28i ayat (5) UUD 1945 dalam menjamin perlindungan
hak
asasi
manusia
maka
dituangkan
dalam
peraturan
peundang-undangan mengenai bantuan hukum sebagaimana pada Bab III Pasal 6 sampai Pasal 7 menyatakan bantuan hukum diselenggarakan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan Ham melalui BPHN dan Kemenkumham yang bertugas menyusun kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum berupa penetapan standar, anggaran, laporan pelaksanaan guna dipertanggung jawabkan ke DPR.
Universitas Sumatera Utara
48
Menteri dalam melaksanakan tugas berwenang mengawasi dan memastikan terhadap segala pelaksanaan bantuan hukum dan melakukan verifikasi dan akreditasi sebagai kelayakan Pelaksana Bantuan Hukum. Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, ketentuan sebagaimana yang dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Bantuan Hukum. Secara garis besar dalam Undang-Undang Bantuan Hukum ini mengatur tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yang didalamnya adalah orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum. Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat sebagaimana Pasal 9 Undang-Undang Bantuan Hukum berhak melakukan rekrutmen terhadap Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa Fakultas Hukum dalam melakukan pelayanan bantuan hukum yang meliputi nonlitigasi yaitu berupa penyuluhan hukum, konsultasi hukum, program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum di luar pengadilan dan litigasi berupa beracara di sidang pengadilan yaitu termasuk mengeluarkan pendapat pernyataan
dalam
membela
perkara
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan. Mengenai masalah pemberian bantuan hukum oleh aktifis non Advokat yang dirasa kurang, guna menjaga kualitas Pelaksana Bantuan Hukum maka pemerintah telah mengeluarkan Permenkumham No. 22 Tahun 2013 pada Pasal 3-8 Standar Bantuan Hukum Litigasi, Pasal 9-25 tentang Standar Bantuan Hukum Nonlitigasi, Pasal 26-29 tentang Standar Pelaksana Bantuan Hukum, dan Pasal 30-48 mengenai Standar Pemberian Bantuan Hukum.
Universitas Sumatera Utara
49
Setelah Undang-Undang Bantuan Hukum diundangkan, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham pada 6 Februari 2013 mengundangkan Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2013 tersebut mengatur pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang dinilai masih banyak pengaturan yang belum jelas pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang ditakutkan pemberian bantuan hukum akan melaksanakan kewajibannya dengan tidak maksimal, hal menarik yang dibahas adalah mengenai standarisasi bantuan hukum yang didalamnya mengatur standar bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi, standar pelaksanaan bantuan hukum, standar pemberian bantuan hukum, dan standar pelaporan pengelolaan anggaran Pemberi Bantuan Hukum. Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 3 Tahun 2013 tersebut dibuat sebagai pelaksana ketentuan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang akreditasi dan verifikasi Bantuan Hukum. Peraturan menteri ini membahas tentang kedudukan kementerian dalam urusan bantuan hukum, baik sebagai tahapan maupun penentu verifikasi dan akreditasi Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi Kemasyarakatan sebagai Pemberi Bantuan Hukum. Menteri Hukum melaksanakan program bantuan hukum dengan membentuk panitia khusus verifikasi dan akreditasi dengan syarat tertentu yang bersifat ad hoc dan independent yang berkedudukan di Jakarta yang bertugas untuk menyeleksi, mengevaluasi dan menentukan kelayakan berupa penetapan sebagai (Pelaksana) Pemberi Bantuan Hukum yang telah dimohonkan oleh LBH atau
Universitas Sumatera Utara
50
Orkemas. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum adalah peraturan yang dibuat pemerintah guna keperluan pelaksanaan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 ini diundangkan pada 23 Mei 2013 yang secara garis besar memuat sebagian ketentuan-ketentuan yang telah dibahas dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Menteri sebagai penyelenggara bantuan hukum dalam tahun yang sama mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2013 ini diundangkan pada 20 Juni 2013 dimana pembuatannya bertujuan untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 17, Pasal 23 ayat (4), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013. PP No. 42 Tahun 2013 Pasal 17 tentang standar pemberian bantuan hukum ditetapkan dalam Permen No. 22 Tahun 2013 Pasal 1 sampai Pasal 36 menyatakan bahwa standar bantuan hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang ditetapkan oleh Menteri. Standar bantuan hukum pada Pasal 2 meliputi standar bantuan hukum litigasi, standar nonlitigasi, standar pelaksana bantuan hukum, standar pemberian bantuan hukum, standar pelaporan dan pengelolaan anggaran.
Universitas Sumatera Utara
51
Standar litigasi pada Pasal 3 Permen 22 Tahun 2013 dibedakan dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Pemberian Bantuan Hukum pada Pasal 4 dilakukan oleh Advokat berstatus sebagai pengurus atau yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum. Pada perkara pidana sesuai dengan Pasal 5 bahwa penerima adalah tersangka atau terdakwa, tahapan pemberian dimulai sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan atau upaya hukum. Pada perkara perdata Pasal 6 menjelaskan penerima adalah penggugat dan tergugat. Standar nonlitigasi pada Permen 22 Tahun 2013 Pasal 9 dimana pemberi dapat dilakukan oleh Advokat, paralegal, dosen dan mahasiswa FH. Nonlitigasi berupa pemberian penyuluhan, konsultasi, investigasi kasus, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan diluar pengadilan, drafting dokumen hukum. PP No. 42 Tahun 2013 Pasal 23 ayat (4) tentang tata cara pengajuan rencana anggaran bantuan hukum ditetapkan dalam Permen No. 22 Tahun 2013 Pasal 37 sampai 41 menyatakan bahwa Pemberi Bantuan Hukum mengajukan rencana anggaran Bantuan Hukum secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional yang selanjutnya disingkat BPHN. Pengajuan tersebut dengan menyerahkan formulir proposal pengajuan anggaran dengan memuat identitas Pemberi, nama, tujuan, deskripsi program, target pelaksanaan, output yang diharapkan, jadwal pelaksanaan, dan rincian biaya program. PP No. 42 Tahun 2013 Pasal 29 ayat (2) tentang tata cara pelaksanaan penyaluran anggaran bantuan hukum ditetapkan dalam Permen No. 22 Tahun 2013 Pasal 42 sampai 45 yang menjelaskan bahwa penyaluran anggaran dimulai dengan tahapan pengajuan dan persetujuan permohonan yang kemudian
Universitas Sumatera Utara
52
pencairan anggaran penanganan bantuan hukum. Permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah yang kemudian di sampaikan Kepala BPHN berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Penetapan jawaban atas permintaan pencairan anggaran disampaikan melalui pos, faksimile atau surat elektronik lainnya. PP No. 42 Tahun 2013 Pasal 31 ayat (3) tentang tata cara pelaporan pelaksanaan anggaran bantuan hukum ditetapkan dalam Permen No. 22 Tahun 2013 Pasal 46 sampai 51 yang menyatakan bahwa laporan wajib disampaikan kepada Menteri melalui Kepala BPHN dengan tembusan kepada Kepala Kemenkumham Wilayah secara triwulan, semesteran, dan tahunan per 15 Desember sebagai pertanggung jawaban pengelolaan anggaran baik dari negara maupun dari sumber lainnya yang sah. Laporan yang disampaikan berupa realisasi anggaran, posisi keuangan program bantuan hukum, laporan kinerja pelaksanaan, dan catatan atas laporan pengelolaan anggaran bantuan hukum. Laporan yang disampaikan dengan menggunakan pembukuan akuntansi berupa jurnal, buku besar, dan buku pengawas kredit anggaran. Laporan yang diserahkan
kemudian
diperiksa
oleh
Panitia
Pengawas
Daerah
yang
berkedudukan di Kemenkumham Wilayah, hasil pemeriksaan disampaikan kepada Menteri paling lama 10 hari sejak diterima. Mengenai Pemberi Bantuan Hukum diatur dalam Bab IV Pasal 8 sampai 11 Undang-Undang Bantuan Hukum yang menjelaskan Pelaksana Bantuan Hukum harus memenuhi syarat sebagaimana Pasal 8 ayat (2). Hak dan Kewajiban Pemberi Bantuan Hukum terdapat pada Pasal 9 dan 10 yang akan dibahas pada Bab III Tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
53
8.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi dalam penyelenggaraan peradilan secara adil. Bantuan hukum dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman terdapat pada Bab XI dalam Pasal 56 dan 57. Pasal 56 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara hukum berhak memperoleh jasa hukum secara cuma-cuma yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan. Penjabaran dari kalimat tersebut merupakan tentang hak-hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara untuk mendapatkan bantuan hukum dari Pemberi Bantuan Hukum, sesuai dengan sifat dan hakekat dari suatu negara hukum yang menempatkan supremasi hukum diatas segalanya yang berfungsi sebagai pelindung dan pengayom terhadap semua warga masyarakat disamping adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut diharapkan setiap orang akan benar-benar merasakan bahwa dalam keadaan apapun, hukum tersebut tidak memihak dan berlaku adil bagi setiap orang yang berperkara. Pengaturan mengenai setiap tahapan pemberian bantuan hukum memang wajib dimuat dalam Undang-Undang karena berhubungan dan merupakan hak asasi manusia itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
54
Pasal 56 ayat (2) menjelaskan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam hal ini adalah orang perorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu dan memerlukan jasa hukum untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum yang dihadapinya. Pengaturan mengenai kriteria seseorang yang secara ekonomis tidak mampu dan memerlukan jasa hukum harus diperjelas, tidak hanya karena seseorang memiliki jaminan kesehatan masyarakat atau dokumen lain yang menyatakan ia miskin lantas ia dapat langsung dikategorikan orang yang berhak mendapatkan bantuan hukum. Apabila seseorang secara ekonomis kekurangan namun ia memiliki harta warisan di daerah lain, ini akan menjadi permasalahan dimana ia dapat dikategorikan layak mendapat bantuan hukum. Pasal 57 ayat (1) menjelaskan bahwa pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum sebagai landasannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum jo. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Contenant On Civil And Political Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
9.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum. Kekuasaan
kehakiman
adalah
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Undang-Undang No. No. 2 Tahun 1986, dimana terjadi perubahan pertama
Universitas Sumatera Utara
55
Undang-Undang No. 8 Tahun 2004, dan perubahan kedua Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum perlu dilakukan karena sudah tidak sesuai
lagi
dengan
perkembangan
kebutuhan
hukum
masyarakat
dan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebutuhan hukum masyarakat dari sisi bantuan hukum sangat penting untuk mencapai peradilan yang merdeka dan adil, maka dari itu Undang-Undang peradilan umum mengatur dalam Pasal 68B yang menjelaskan bahwa bantuan hukum berhak diperoleh oleh siapa saja yang tersangkut perkara hukum, dan biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu ditanggung oleh negara. Undan-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Pasal 68B: C. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. D. Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. E. Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 68C menyebutkan pembentukan Pos Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi siapa saja yang tidak mampu yang sedang tersangkut perkara hukum sampai putusannya memperoleh kekuatan hukum tetap. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Pasal 68C: (1) Pada setiap Pengadilan Negeri dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma, kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
Universitas Sumatera Utara
56
(3) Bantuan Hukum dan Pos Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Wadah bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu atau orang miskin dalam membayar jasa Advokat yang sedang mengalami masalah hukum baik sebagai penggugat maupun tergugat di Pengadilan adalah Pos Bantuan Hukum yaitu dimana ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada Pemohon Batuan Hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat. Bantuan Jasa Advokat adalah jasa hukum secara cuma-cuma yang meliputi menjalankan kuasa yang meliputi mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum dalam perkara pidana atau perkara perdata, yang diberikan oleh Advokat berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri.91
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lembaga peradilan agama yang bersih dan berwibawa dalam menegakkan hukum memenuhi keadilan di masyarakat perlu diwujudkan dengan adanya suatu kekuasaan yang merdeka dalam penyelenggaraan peradilan agama. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 telah mengalami perubahan pertama menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, selanjutnya mengalami perubahan kedua menjadi Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama 91
Kelompok Kerja Paralegal, Working Paper: Kritisi RUndang-Undang Bantuan Hukum dari Aspek Paralegal dan Pemberdayaan Hukum (Legal Empowerment), Jakarta, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
57
yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bantuan hukum dalam Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama termuat dalam Pasal 60B yang menjelaskan bahwa bantuan hukum berhak diperoleh setiap orang yang tersangkut perkara hukum, bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu biayanya ditanggung oleh negara dengan syarat melampirkan bukti tidak mampu. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 60B: E. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. F.
Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
G. Pihak yang tidak mampu sebagimana yang dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan. Selanjutnya bantuan hukum juga termuat dalam Pasal 60C yang menjelaskan pos bantuan hukum dibentuk di tiap pengadilan agama untuk pelayanan bantuan hukum pada semua tingkat peradilan bagi pencari keadilan yang tidak mampu hingga memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 60C: (1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma pada setiap tingkat peradilan sampai putsan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Universitas Sumatera Utara
58
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lembaga peradilan tata usaha negara yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi keadilan masyarakat perlu diwujudkan dengan suatu kekuasaan yang merdeka dan berkeadilan dalam penyelenggaraan peradilan tata usaha negara. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 mengalami perubahan pertama menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, selanjutnya perubahan kedua menjadi Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara atas pertimbangan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Bantuan hukum dalam peradilan tata usaha negara termuat dalam Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 pada Pasal 57 yang menjelaskan hak untuk didampingi dan diwakili oleh kuasa. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 57: E. Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa. F.
Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan.
G. Surat Kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi. Kemudian masih mangacu pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dalam Pasal 60 yang menjelaskan bersengketa dengan cuma-cuma dengan syarat bukti tidak mampu. Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 60:
Universitas Sumatera Utara
59
1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa dengan cuma-cuma. 2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat keiaman pemohon. 3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara. Selanjutnya dalam Pasal 61 menjelaskan bahwa kewajiban pengadilan dalam menetapkan permohonan berperkara dengan cuma-cuma. Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 61: (1) Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. (2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama sampai terakhir. (3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama juga berlaku di tingkat banding dan kasasi. 12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia sangat diperlukan dalam menunjang kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar. Bantuan hukum cuma-cuma dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat terdapat pada Pasal 1 ayat (9) yang menjelaskan pengertian bantuan hukum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 1 ayat (9): Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu. Kemudian diatur pada Pasal 22 yang menjelaskan Advokat
Universitas Sumatera Utara
60
berkewajiban memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 22: 5.
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
6.
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bantuan hukum dalam KUHAP diatur dalam Bab VI pada Pasal 54 yang menjelaskan tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Pasal 54: Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Kemudian Pasal 56 menjelaskan tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi tidak mampu yang diancam pidana liama tahun atau lebih wajib mendapat penasihat hukum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Pasal 56: (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (2) Penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagimana yang
Universitas Sumatera Utara
61
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Adapun pengaturan lebih lanjut tentang prosedur bantuan hukum dibahas dalam Bab VII KUHAP dimana pada Pasal 69 dan 74 mengatur tentang hubungan hak penasihat hukum dengan kliennya.
C. Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Pemberian bantuan hukum diselenggarakan berdasarkan asas keadilan dimana menempatkan hak dan kewajiban setiap orang (miskin) secara proporsional bebas dari diskriminasi dalam menghadapi masalah hukum. Undang-Undang Bantuan Hukum sebagai pedoman penyelenggaraan bantuan hukum di seluruh wilayah Indonesia diharapkan mampu menjamin kepastian hukum secara adil dan merata dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Penerima Bantuan Hukum. Pendapat
tentang
adil
dan
merata,
maka
berhubungan
dengan
asas
kesebandingan oleh Kranenburg, Asas kesebandingan telah dijadikan prinsip dalam GBHN pada BAB II sub C point 4 yang menyebutkan bahwa azas adil dan merata, ialah bahwa hasil-hasil materiil dan spirituil yang dicapai dalam pembangunan harus dapat dinikmati merata oeh seluruh bangsa dan tiap-tiap warga negara berhak menikmati hasil-hasil pembangunanitu sesuai dengan nilai dharma bhakti yang diberikannya kepada Bangsa dan Negara.92 Bantuan hukum diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemberi Bantuan Hukum yang memenuhi syarat sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Pasal 1 ayat (3) adalah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan 92
Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
62
undang-undang ini. Pelaksanaan pemberian bantuan hukum dimulai dari pengajuan permohonan bantuan hukum oleh setiap orang miskin kepada Pelaksana Bantuan Hukum, permohonan bantuan hukum yang diajukan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Bantuan Hukum Pasal 14 dan Pasal 15. Dalam Pasal 14 dijelaskan bahwa orang atau kelompok orang miskin dapat mengajukan permohonan bantuan hukum secara tertulis yang memuat isi paling sedikit identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang sedang dihadapi beserta dokumen yang berkenaan dengan masalah yang dimohonkan, pemohon bantuan hukum tersebut dapat meminta formulir yang disediakan oleh lembaga atau organisasi Pelaksana Bantuan Hukum. Identitas diri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Bantuan Hukum Pasal 14 harus melampirkan fotokopi kartu tanda penduduk atau dokumen pengganti keterangan domisili yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa atau pejabat yang berwenang di tempat tinggal pemohon. Sebagai tujuan keadilan dalam masyarakat miskin di Indonesia yang masih terdapat banyak buta huruf dan buta hukum dimana terdapat orang yang tidak memiliki identitas kependudukan, untuk mengatasi hal tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum dalam Pasal 8 yang berbunyi dalam hal pemohon bantuan hukum tidak memiliki surat keterangan miskin maka pemohon bantuan hukum dapat melampirkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen penunjang lainnya yang membuktikan keterangan miskin. Selanjutnya dalam Pasal 9
Universitas Sumatera Utara
63
menyebutkan lurah, kepala desa atau pejabat setingkat sesuai dengan domisili Pemberi Bantuan Hukum wajib mengeluarkan surat keterangan miskin atau dokumen lain untuk keperluan penerimaan bantuan hukum. Masyarakat miskin yang dalam hal ini kebanyakan gelandangan dan tidak menutup kemungkinan masyarakat yang tempat tinggalnya terpencil dengan permasalahan tidak memiliki identitas, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 mewajibkan Pelaksana Bantuan Hukum yang dimohonkan bantuan hukum dapat membantu dalam memperoleh surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lainnya dari instansi yang berwenang sesuai dengan domisili Pemberi Bantuan Hukum yang diketahui oleh lurah atau kepala desa. Instansi yang ditunjuk wajib mengeluarkan surat keterangan alamat sementara atau dokumen penunjang lainnya untuk keperluan penerimaan bantuan hukum. Pengeluaran Surat keterangan alamat sementara oleh pejabat daerah yang berwenang akan banyak menimbulkan polemik, misalnya tentang seberapa kuat dasar hukum berlakunya surat keterangan alamat sementara tersebut. Pemerintah seharusnya lebih mempertajam tentang pemberlakuan penggunaan surat keterangan alamat sementara, ini dikhawatirkan akan menjadi suatu masalah urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa menuju kota dimana masalahnya Penerima Bantuan Hukum tersebut akan menjadikan surat keterangan alamat sementara tersebut sebagai landasan hukum status kependudukannya dikota. Keistimewaan selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 dalam Pasal 10 memberikan kemudahan kepada pemohon bantuan hukum yang buta huruf dengan mengajukan permohonan secara lisan dimana Pelaksana Bantuan Hukum membantu dengan menulis keterangan pemohon sebagai administrasi. Surat kuasa yang diberikan kepada pemohon buta hukum dan buta huruf tidak harus dengan tanda tangan, namun dapat berupa cap jempol oleh pemohon bantuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
64
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dokumen yang berkaitan dengan masalah hukum yang dimohonkan juga harus disertakan karena merupakan alat bukti yang digunakan
dalam setiap
mencerminkan
keadilan
proses
beracara
terhadap
guna terciptanya
pemohon
sesuai
advokasi
dengan
yang
peraturan
perundang-undangan. Dokumen tersebut diserahkan secara langsung oleh pemohon atau boleh dengan surat kuasa pemohon ke kantor Pelaksana Bantuan Hukum pada hari dan jam kerja. Setelah menerima dokumen permohonan, Pelaksana Bantuan Hukum wajib memeriksa dengan cara mendengarkan uraian dan menganalisis dokumen yang diajukan oleh pemohon. Setelah memeriksa dokumen, Pelaksana Bantuan Hukum harus menjelaskan tentang masalah hukum beserta resiko yang mungkin akan dihadapi pemohon bantuan hukum. Tahapan selanjutnya bila dokumen dinyatakan lengkap maka Pelaksana Bantuan Hukum dalam waktu tiga hari kerja harus memutuskan untuk menerima atau menolak permohonan bantuan hukum tersebut. Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak maka harus diberikan penjelasan dalam bentuk tertulis alasan penolakan pemberian bantuan hukum tersebut, alasan penolakan harus berdasarkan pertimbangan dalam kasus yang diajukan pemohon bantuan hukum tersebut, yaitu tidak sesuai dengan visi dan misi Pemberi Bantuan Hukum, persyaratan pemohon untuk menerima bantuan hukum sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya tidak terpenuhi, dalam perkara perdata kerugian materiil lebih sedikit dari pada biaya penyelesaian perkara misalnya kerugian pemohon perkara perdata kurang dari satu juta rupiah. Apabila alasan penolakan pemberian bantuan hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum tidak berdasar, maka pemohon bantuan hukum dapat mengajukan keberatan kepada Panitia Pengawas Daerah. Panitia Pengawas Daerah dalam hal bantuan hukum dibentuk oleh Menteri
Universitas Sumatera Utara
65
Hukum dan Hak Asasi Manusia yang terdiri atas wakil dari unsur Kantor Wilayah Kementerian dan biro hukum pemerintah daerah provinsi. Adapun penjelasan Panitia Pengawas Daerah akan dibahas lebih lanjut dalam Bab IV Huruf D nomor 4 yang membahas tentang pengawas bantuan hukum. Permohonan yang diterima oleh Pemberi Bantuan Hukum dapat memberikan bantuan hukumnya sesuai dengan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum. Pelaksanaan pemberian bantuan hukum wajib memberitahukan dasar hukum terhadap penangan kasus yang akan diselesaikan, jam pelayanan dalam pemberian bantuan hukum, personalia dan struktur organisasi, dan jenis layanan yang diberikan. Pemberi Bantuan Hukum haruslah mampu menjamin keadilan yang akan diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum lewat advokasinya dengan memperhatikan sumber daya manusia Pemberi Bantuan Hukum berupa petugas yang berkompeten dan profesional ditambah sarana pelayanan hukum yang layak untuk menghindari adanya rasa diskriminasi Penerima Bantuan Hukum.
D. Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Hukum Pidana. Undang-undang yang disahkan tentang bantuan hukum adalah suatu peraturan yang mengatur tertibnya pelaksanaan bantuan hukum dengan syarat-syarat pemberian bantuan hukum, hal ini karena terdapat banyak orang yang memiliki keahlian dalam bidang hukum dan ingin memberikan bantuan hukum. Bantuan hukum kepada tersangka diberikan atau dapat diminta sejak dalam penangkapan atau penahanan pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan meupun pada tingkat pemeriksaan pengadilan. Pada pemeriksaan tingkat penyidik, maka tersangka didampingi oleh penasihat hukum, yang boleh hadir dalam pemeriksaan ytang sedang berjalan, hanya bersikap pasif, artinya ia hanya
Universitas Sumatera Utara
66
mendengarkan dan melihat pemeriksaan, yang diatur dalam Pasal 69 hingga Pasal 74 dan Pasal 115 ayat (1), dan Pasal 156 KUHAP.93 Pemeriksaan tersangka di muka persidangan Pengadilan Negeri, maka penasihat hukum selama pemeriksaan terdakwa berjalan bersikap aktif, artinya kehadiran penasihat hukum dapat menggunakan hak-haknya seperti yang dimiliki oleh hakim dan jaksa, yakni hak bertanya jawab, termasuk cross examination94, hak mengajukan pembuktian: baik saksi yang mengentengkan (saksi a de charge) maupun surat-surat dan alat bukti lainnya, hak mengucapkan pembelaan (pledooi). Dalam hal demikian posisi penasihat hukum sebagai procurator dan sekaligus sebagai pleiter atau verdediger atau pembela.95 Pada pemeriksaan di persidangan yang dipakai ialah sistem acusatoir, dimana terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana antara mereka menurut peraturan hukum pidana yang berlaku.96 Pada acara pemeriksaan cepat, yakni acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Pada acara pemeriksaan ringan yang diancaman dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan
93
Martiman Prodjohamidjojo, Penasihat dan Organisasi Bantuan Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984),
hal. 19. 94
Cross examination (pemeriksaan silang) adalah pemeriksaan silang adalah interogasi saksi dipanggil oleh lawan. Hal ini didahului dengan pemeriksaan langsung (dikenal sebagai pemeriksaan-in-chief) dan dapat diikuti oleh redirect. Tujuan utama pemeriksaan silang yang untuk memperoleh fakta-fakta baik dari saksi, atau untuk mendakwa kredibilitas saksi bersaksi untuk mengurangi berat kesaksian yang tidak menguntungkan. Pemeriksaan silang sering menghasilkan bukti penting dalam uji coba, terutama jika saksi bertentangan kesaksian sebelumnya. Pemeriksaan silang dianggap sebagai komponen penting dari juri pengadilan karena dampak itu pada pendapat hakim dan juri. Beberapa pengacara praktek hukum pengadilan atau litigasi yang kompleks dan biasanya merujuk kasus tersebut kepada orang-orang yang memiliki waktu, sumber daya dan pengalaman untuk menangani sidang yang kompleks dan komitmen yang terlibat untuk menyelesaikan sidang berhasil. Beberapa pengacara mendapatkan praktek yang diperlukan untuk mengembangkan teknik yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang efektif saksi pemeriksaan silang. Terjemahan dari http://en.wikipedia.org/wiki/cross examination, Sabtu, 29 November 2014, 11.36 WIB. 95 Martiman Prodjohamidjojo, Penasihat dan Bantuan Hukum Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hal. 16. 96 Martiman Prodjohamidjojo, Kedudukan Tersangka dan Terdakwa dalam Pemeriksaan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
67
atau denda setidak-tidaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan.97 Pelaksana Bantuan Hukum pada awalnya memberikan penjelasan kepada tersangka selaku Penerima Bantuan Hukum tentang permasalahan hukum dan dasar peraturan yang akan diberlakukan. Menurut keterangan Penerima Bantuan Hukum atas
nama
FM
yang
diputus
Pengadilan
Negeri
Medan
Perkara
No.
502/Pid.B/2014/PN Medan, mengaku tidak mengetahui tentang prosedur beracara di pengadilan, pihak Penerima Bantuan Hukum merasa bersyukur telah dibantu negara dengan memberikan pengacara negara selaku pendamping (Pelaksana Bantuan Hukum). Ketika peneliti menanyakan prosedur apakah yang telah dijalani kepada pihak Penerima Bantuan Hukum hanya memberikan penjelasan bahwa tidak mengetahui dan mengikuti saja prosedur yang harus dijalani, pihak Penerima Bantuan Hukum pasrah akan keputusan yang diberikan oleh hakim pada sidang putusan di pengadilan.98 Pengakuan pihak Penerima Bantuan Hukum tersebut senada dengan Adnan Buyung Nasution yang menyatakan bahwa si miskin bahkan tidak menyadari dan tidak tahu bahwa mereka mempunyai hak dan kewajiban hukum, jangankan tahu untuk mencari upaya hukum bahkan mereka yang tahupun tidak mempunyai keberanian moral untuk mempergunakannya yang dipengaruhi oleh sikap mental dan nilai-nilai masyarakat.99 Hal ini menjadi pertanyaan bagi peneliti, apakah pelaksanaan pemberian bantuan hukum tersebut telah sesuai prosedur dan memberikan keadilan bagi Penerima Bantuan Hukum. Menurut Abdul Ghofur Anshori, tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip 97
Ibid., hal. 29. Opeh, wawancara oleh peneliti, Medan, 25 September 2014. 99 Adnan Buyung Nasution, The Extension of Legal Services to the Poor: The Role of the Lawyer in Developing Countries, makalah disampaikan pada Eight Conference of the Law of the World, World Peace through Law Center, 21-27 Agustus 1977, Manila Philipina. 98
Universitas Sumatera Utara
68
keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi.100
Pendapat tersebut berkaitan erat dengan
pelaksanaan pemberian bantuan hukum dimana harus menciptakan rasa keadilan. Menurut H. Zulfahmi sebagai Hakim yang juga menjabat selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan, selama ini praktek dalam menangani sidang perkara bantuan hukum dari pihak terdakwa tidak mengajukan eksepsi, terdakwa yang diancam sanksi pada perkara bantuan hukum tidak membantah akan tuduhan yang ditujukan.101 Hal tersebut menjadi tanda tanya oleh peneliti apakah pendamping dan terdakwa mengetahui akan hak-hak mereka dan apakah tahap-tahap acara pesidangan telah dilakukan sesuai prosedur. Tahapan persidangan umumnya dilaksanakan dalam 4 tahap dengan tata urutan persidangan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tata urutan persidangan di Pengadilan Negeri adalah:102 1.
Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali perkara tertentu ditutup untuk umum),
2.
Penuntut Umum diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan dalam keadaan bebas,
3.
Terdakwa ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima salinan surat dakwaan,
4.
Terdakwa ditanya apakah dalam keadaan sehat dan bersedia diperiksa di depan
100
Abdul Ghofur Anshori. Op. Cit., hal. 53. Zulfahmi, wawancara oleh peneliti, Medan, 5 September 2014. 102 http://katanewss.wordpress.com/2013/03/23/tata-urut-persidangan-pidana-di-pengadilan-negeri/, Jum’at, 17 Oktober 2014, 00.31 WIB. 101
Universitas Sumatera Utara
69
persidangan, 5.
Terdakwa ditanya apakah didampingi oleh penasihat hukum,
6.
Penuntut Umum membacakan surat dakwaan,
7.
Terdakwa ditanya apakah mengajukan eksepsi atas dakwaan yang dibacakan, jika mengajukan eksepsi maka sidang harus ditunda,
8.
Jaksa Penuntut Umum ditanya apakah mengajukan replik atas eksepsi terdakwa,
9.
Majelis Hakim membacakan putusan sela,
10. Apabila eksepsi ditolak maka dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara (pembuktian), 11. Penuntut umum mengajukan saksi-saksi (dimulai dari saksi selaku korban/ saksi korban adalah yang memberatkan), 12. Memeriksa saksi yang meringankan bila ada, 13. Pemeriksaan terhadap terdakwa, 14. Tuntutan (requisitoir), 15. Pembelaan (pledoi), 16. Replik oleh Penuntut Umum, 17. Duplik, 18. Putusan perkara oleh Majelis Hakim. Acara pemeriksaan di Pengadilan dapat dibedakan dalam acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat. Acara pemeriksaan biasa dapat dijelaskan prosedurnya sesuai dengan penjelasan tata urutan persidangan di Pengadilan Negeri diatas. Sedangkan acara pemeriksaan singkat atau acara sumier adalah jika JPU merasakan mudah dan sederhana dalam pemeriksaan perkaranya tentang pembuktian dan pelaksanaan hukum dan sekiranya akan dijatuhkan hukuman yang tidak lebih berat dari hukuman penjara selama satu tahun, maka JPU dapat
Universitas Sumatera Utara
70
langsung mengajukan ke depan persidangan, JPU disini tidak wajib membuat BAP namun hanya berupa lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan.103 Dasar pemikiran mengenai praktek persidangan di pengadilan yang telah diteliti perlu untuk dibahas pentingnya pengetahuan akan hak-hak tersangka atau terdakwa yang
perlu
diketahui
oleh
Pelaksana
Bantuan
Hukum
guna
memberikan
pendampingan. Clarence J. Dias berpendapat bahwa pelayanan hukum dapat dilakukan mencakup beberapa kegiatan, yang meliputi:104 1.
Pemberian Bantuan Hukum,
2.
Pemberian bantuan untuk menekan tuntutan agar suatu hak yang diakui oleh hukum, tapi selama ini tidak pernah diimplementasikan tetap di hormati.
3.
Usaha-usaha untuk meningkatkan kejujuran agar kebijaksanaan hukum yang menyangkut kepentingan orang miskin dapat diimplementasikan secara lebih positif dan simpatis,
4.
Usaha-usaha untuk meningkatkan kejujuran serta kelayakan prosedur di pengadilan dan di aparat-aparat lain yang menyelesaikan sengketa melalui usaha perdamaian.
5.
Usaha-usaha untuk memudahkan pertumbuhan dan perkembangan hak-hak di bidang yang belum dilaksanakan atau diatur dalam hukum secara tegas.
6.
Pemberian bantuan-bantuan yang diperlukan untuk menciptakan hubungan kontraktual badan-badan hukum atau ormas-ormas yang sengaja dirancang untuk memaksimalkan kesempatan dan kemanfaatan yang telah diberikan oleh hukum. 103
Martiman Prodjohamidjojo, Pemeriksaan di Persidangan Pengadilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983).
hal. 28. 104
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. Cit., hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
71
Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan pelayanan kepada Penerima Bantuan Hukum hendaknya mengerti terlebih dahulu mengenai hak-hak individu dalam proses hukum, hal ini karena seorang tersangka memiliki hak-hak hukum yang dijamin oleh UUD 1945, UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lainnya Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat, serta prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial) yang berlaku secara universal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:105 1.
Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi serta larangan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang. Hak-hak ini mendasari hak selanjutnya dalam proses hukum pidana. Pada prinsipnya, seseorang adalah individu yang bebas dan memiliki hak atas kemerdekaan secara pribadi namun dengan mengakui pembatasan hak-hak orang lain. Pembatasan kemerdekaan seseorang melalui penangkapan dan penahanan dalam proses pidana hanya dapat dilakukan dengan dasar alasan hukum yang jelas dimana ditemukannya bukti permulaan yang cukup dan adanya surat perintah dari instansi yang berwenang.
2.
Hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan penahanan. Setiap orang yang ditangkap atau ditahan berhak untuk diberitahukan alasan penangkapan dan penahanannya secara jelas menurut bahasa yang dimengertinya, alasan tersebut mengenai penangkapan, tuntutan apa yang diajukan dan juga diberitahukan mengenai hak-haknya dan diberi penjelasan bagaimana ia dapat menggunakan hak-haknya tersebut.
3.
Hak atas bantuan hukum. Setiap orang yang menghadapi masalah hukum berupa 105
Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op. Cit., hal.225
Universitas Sumatera Utara
72
tuduhan pidana berhak untuk didampingi oleh penasihat hukum atas pilihannya sendiri untuk melindungi hak-haknya dan untuk mendampinginya dalam pembelaan. Jika orang tersebut tidak dapat membayar jasa Advokat, maka harus diberikan baginya penasihat hukum yang berkualitas. Orang tersebut juga harus diberikan waktu yang layak dan fasilitas yang cukup untuk berkomunikasi dengan penasihat hukumnya. 4.
Hak untuk menguji penangkapan dan penahanan. Setiap orang yang mengalami penangkapan dan penahanan tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui alasannya melainkan juga berhak untuk menguji penangkapan atau penahanan terhadap dirinya.
5.
Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan ke depan sidang pengadilansampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde).
6.
Hak untuk diajukan dengan segera ke hadapan hakim dan persidangan dengan tidak menunda waktu yang telah ditentukan, hal ini karena setiap orang berhak untuk secepatnya mendapatkan kepastian hukum terhadap dirinya.
7.
Asas persamaan di muka hukum (equality before the law). Setiap orang tanpa terkecuali harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa membedakan status, latar belakang, agama, jenis kelamin, dan sebagainya dalam proses hukum.
8.
Larangan atas penyiksaan dalam proses peradilan. Tidak ada alasan apapun oleh aparat penegak hukum untuk dapat melakukan penyiksaan terhadap tersangka atau terdakwa untuk memperoleh keterangan dari yang bersangkutan. Penyiksaan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
9.
Hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka. Setiap pemeriksaan di persidangan
Universitas Sumatera Utara
73
harus adil dan dapat dilihat oleh publik (kecuali perkara asusila dan anak dibawah umur atau karena sifatnya tidak dapat dibuka untuk umum). 10. Hak untuk segera diberitahukan bentuk dan penyebab tuduhan pidana yang diberikan dalam bahasa yang dimengertinya. 11. Hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan. 12. Hak untuk membela dirinya sendiri atau melalui penasihat hukumnya. 13. Hak untuk memeriksa para saksi yang memberatkan. 14. Hak untuk mendapatkan penerjemah secara gratis (dalam hal orang tersebut tidak mengetahui tuduhan yang diberikan). 15. Larangan untuk memaksa seseorang memberikan keterangan yang akan memberatkan dirinya sendiri (self in crimination). Selanjutnya akan dibahas lebih rinci pada halaman 65-67. Menurut YLBHI dalam buku yang berjudul “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia” membahas tentang pentingnya hak-hak individu dalam proses hukum pidana. Sebelum membahas lebih lanjut, peneliti akan memaparkan hak-hak tersangka dalam proses hukum pidana diantaranya sebagai berikut:106 1.
Seseorang tersangka memiliki hak-hak tertentu tehadap proses penahanan yang diberikan, antara lain: a.
Menghubungi penasihat hukum atau bantuan hukum. Setiap orang yang menjadi tersangka atau terdakwa berhak didampingi oleh penasihat hukum, hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau lebih pada tiap tingkat
106
Ibid., hal. 235.
Universitas Sumatera Utara
74
pemeriksaan sebagaimana termuat dalam Pasal 54 KUHAP. Selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya sebagaimana termuat dalam Pasal 55 KUHAP. Bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diamcam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun penjara atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu membayar jasa penasihat (orang miskin) yang diancam pidana 5 tahun atau lebih, pejabat yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka sebagaimana yang termuat dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum diberikan kepada tersangka atau terdakwa secara cuma-cuma atau tanpa dipungut biaya sebagaimana termuat dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Apabika tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana dikenakan penahanan, maka dia berhak untuk menghubungi penasihat hukumnya, sebagaimana yang sudah dimuat di dalam Pasal 57 ayat (1). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum dalam Pasal ini diberikan oleh penasihat hukum atau Advokat Pasal 38 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Mengenai keterkaitannya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, memuat seseorang yang menghadapi masalah hukum, meliputi masalah hukum keperdataan, pidana dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. b.
Segera diperiksa penyidik setelah satu hari ditahan. Jangka waktu
Universitas Sumatera Utara
75
penangkapan paling lama 1 x 24 jam, setelah itu harus mendapat kejelasan apakah seseorang yang ditangkap tersebutstatusnya ditahan, wajib lapor, atau dilepaskan. Jika penangkapan melebihi batas waktu 1 x 24 jam, maka aparat yang bertugas melakukan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum. c.
Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapatkan bantuan hukum.
d.
Meminta atau mengajukan penangguhan penahanan. Setiap tersangka atau terdakwa berhak untuk mengajukan penangguhan penahanan oleh dirinya sendiri atau keluarganya. Penangguhan penahanan ini harus disertai dengan jaminan baik itu orang maupun barang dimana yang telah dimuat dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP berbunyi, atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. Penangguhann penahanan yang dikabulkan oleh pejabat yang berwenang maka diadakan perjanjian sesuai syarat yang ditentukan yaitu berupa uang atau orang. Jaminan yang berupa uang, maka nominal uang tersebut harus disebutkan secara jelas, besaran nominal uang ditentukan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 35 ayat (1) PP Nomor 22 Tahun 1983). Uang jaminan yang disepakati disetor oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya ke panitera pengadilan dengan formulir penyetoran yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Pejabat yang berwenang dapat mencabut penangguhan penahanan atas tersangka atau terdakwa jika
Universitas Sumatera Utara
76
melanggar syarat yang ditentukan, yaitu wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Adapun waktu penangguhan penehanan tersebut tidak termasuk masa tahanan, oleh karena itu tidak dipotongkan dalam hukuman yang akan dijatuhkan kemudian. e.
Menghubungi atau meminta kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan. Terhadap tersangka yang sakit dan diharuskan dirawat di luar rutan, maka ia berhak untuk dirawat dirumah sakit. Pasal 9 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.04UM.01.06/1983 Tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara menetapkan sebagai berikut: 1) Perawatan kesehatan bagi tahanan yang sakit keras, dapat dilakukan di rumah sakit di luar rumah tahanan negara setelah memperoleh surat ijin adri instansi yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dana atas nasehat dokter rumah tahanan negara. 2) Tahanan yang menderita sakit jiwa, dirawat di rumah sakit jiwa setempat yang terdekat, berdasarkan surat keterangan dokter rumah tahanan negara setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit jiwa serta mendapat ijin dari instansi yang menahan. 3) Dalam keadaan terpaksa terhadap tahanan dapat dilakukan pengobatan di rumah sakit diluar rumah tahanan negara dan melaporkan kepada instansi yang menahan untuk mengeluarkan ijinnya. 4) Pengawasan dan pengamanan tahanan yang dirawat dirumah sakit diluar rumah tahanan negara dilakukan oleh polri atas permintaan instansi yang menahan.
f.
Mendapatkan penangguhan penahanan atau perubahan status tahanan,
Universitas Sumatera Utara
77
g.
Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
h.
Mengirim surat atau menerima surat dari penasihat hukum dan sanak keluarga tanpa diperiksa oleh penyidik/ penuntut umum/ hakim/pejabat rumah tahanan negara.
2.
i.
Mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan kepada penyidik.
j.
Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
k.
Bebas dari tekanan seperti intimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.
Seseorang tersangka memiliki hak-hak tertentu tehadap pembuatan berita acara pemeriksaan pada tahap penyidikan. Point uatama dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya disebut BAP) tersangka adalah dengan adanya kerjasama tersangka dimana ia berhak memberikan keterangan secara bebas tanpa ada siksaan, tekanan, intimidasi dan ancaman. Tersangka berhak dan harus memberikan keterangan sesuai fakta dan tidak boleh disuruh dan dipaksa dalam memberikan keterangan yang tidak sebenarnya atau keterangan palsu yang memberatkan tersangka. Tersangka dalam pembuatan BAP berhak untuk menyampaikan keterangan yang dia mengerti dengan bahasa yang dia pahami mengenai apa yang disangkakan padanya pada proses pemeriksaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 51 huruf a KUHAP. Penyampaian sesuai dengan pemahamannya ini bertujuan untuk melindungi kepentingannya dalam usaha persiapan pembelaan, dengan begitu terdakwa akan memahami kondisi yang disangkakan terhadap dirinya. Tersangka berhak untuk didampingi oleh penasihat hukumnya tiap tahap penyidikan. Saat diperiksa oleh penyidik, tersangka berhak menolak untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan dimana pertanyaan tersebut isinya menjebak atau membahayakan tersangka, selain itu pertanyaan yang tidak sopan
Universitas Sumatera Utara
78
dan tidak ada hubungannya yang diajukan oleh penyidik berhak untuk tidak dijawab. Tersangka berhak untuk mengajukan saksi dan saksi ahli untuk memberikan keterangan yang meringankan tersangka ke dalam Berita Acara Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat BAP. BAP yang telah selesai dilaksanakan, dalam hal tersangka menolak memberi tanta tangan, maka penyidik membuat beriata acara yang menjelaskan alasan tersangka monolak tanda tangan. Untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak meminta turunan berita acara pemeriksaan sebagaimana termuat dalam Pasal 72 KUHP. 3.
Hak tersangka dalam pemeriksaan persidangan. Hak
tersangka
atau
terdakwa
dalam
proses
pemeriksaan
persidangan
dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yakni: a.
Hak pada permulaan persidangan, dimulai saat pembacaan dakwaan hingga hingga putusan sela,
b.
Hak pada acara pemeriksaan,
c.
Hak pada akhir persidangan, dimana mulainya tuntutan hingga pembacaan vonis hakim.
Sebelum dimulainya persidangan, penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa yang ia panggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Untuk kepentingan pembelaan, terdakwa atau kuasanya berhak untuk mendapatkan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan untuk dapat dipelajari. 4.
Hak untuk mengajukan keberatan atau eksepsi. Menurut pengakuan pihak Penerima Bantuan Hukum, proses yang telah dijalani
Universitas Sumatera Utara
79
oleh MR tergolong cepat dengan 3 tahapan acara di pengadilan, ini berarti terdakwa tidak melakukan eksepsi, dari hal ini penting untuk dibahas pemberitahuan tentang eksepsi terhadap Penerima Bantuan Hukum.107 Terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan atau eksepsi, keberatan atau eksepsi dari terdakwa atau penasihat hukumnya dapat menyangkut kewenangan mengadili atau mengenai kesahan surat dakwaan dengan tujuan agar pengadilan memutus dengan Putusan Sela sebagai berikut: a.
Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, yang lebih dikenal dengan istilah kewenangan mengadili atau kompetensi,
b.
Dakwaan tidak dapat diterima,
c.
Dakwaan harus dibatalkan.
Jika keberatan terdakwa diterima, maka pemeriksaan terhadap terdakwa tidak dilanjutkan dan sebaliknya, jika ditolak, pemeriksaan dilanjutkan dengan proses pembuktian. 5.
Hak dalam proses pembuktian, penuntutan, pembelaan dan putusan. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali seseorang apabila dengan sekurang-kurangnya memenuhi dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadidan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: a.
Keterangan saksi108,
107
Sumanto, wawancara oleh peneliti, Medan, 17 Oktober 2014. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu. 108
Universitas Sumatera Utara
80
b.
Keterangan ahli,109
c.
Surat,
d.
Petunjuk,
e.
Keterangan terdakwa.
Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pada hukum acara pidana, acara pembuktian diperlukan dalam rangka mencari kebenaran material, kebenaran yang sejati. Mencari kebenaran sejati ini sangat luas karena dalam KUHAP terdapat empat tahap dalam mencari kebenaran sejati yakni melalui: a.
Penyidikan,
b.
Penuntutan,
c.
Pemeriksaan di persidangan,
d.
Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dari hukum acara pidana secara keseluruhan. Pelaksanaan pemberian bantuan hukum juga tidak boleh mendapat sikap yang berbeda dari stakeholder sehubungan dengan proses pembuktian tersebut.110 Mengenai pembuktian, berkaitan dengan asas praduga tak bersalah untuk mewujudkan keadilan maka terdakwa dibebaskan dari kewajiban pembuktian. Kewajiban pembuktian benar tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana adalah merupakan kewajiban jaksa penuntut umum. Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau
109 Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 110 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
81
tidaknya terdakwa sampai dapat dibuktikan mengenai kesalahan terdakwa dan telah mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terdakwa dan penasihat hukumnya dengan perantara hakim ketua sidang berhak diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi. Setiap saksi harus bebas memberikan keterangan tanpa disertai ancaman baik psikis maupun fisik dalam bentuk apapun. Pertanyaan yang tidak berhubungan tidak harus dijawab oleh terdakwa dan saksi. Terdakwa berhak untuk mengajukan saksi atau seseorang yang
memiliki
keahlian
tertentu
yang
memberikan
keterangan
yang
menguntungkan bagi dirinya. Mengenai penuntutan, Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) akan mengajukan tuntutan (requisitor) dengan mencantumkan besarnya tuntutan sesuai dengan derajat kesalahan yang diperoleh dari hasil pembuktian. Dalam hal ini, terdakwa berhak memberikan pembelaan (pledoi) terhadap tuntutan JPU di siang pengadilan. Mengenai putusan, apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa berhak untuk diputus bebas. Jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak memenuhi unsur tindak pidana, maka terdakwa diputus bebas dari segala tuntutan hukum. Dalam hal putusan telah diucapkan, maka terdakwa berhak untuk: a.
Hak untuk segera menerima atau menolak putusan,
b.
Hak untuk mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, di dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang,
Universitas Sumatera Utara
82
c.
Hak untuk meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan,
d.
Hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam hal ia menolah putusan,
e.
Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.
Setiap orang yang melakukan tindak pidana wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada korban, ketika tindak pidana terjadi maka aparat penegak hukum wajib melakukan proses hukum. Proses hukum pidana dalam penyelidikan dan penyidikan dapat dirumuskan secara sekilas yaitu mulai dari terjadinya suatu tindak pidana, kemudian penyelidikan dilakukan untuk mengumpulkan bukti dan menetapkan siapa yang diduga bertanggung jawab atas akibat yang terjadi dengan syarat tersangka tersebut telah memenuhi unsur pidana terhadap bukti permulaan yang ditemukan, setelah itu masuk dalam penyidikan sampai pada penetapan tersangka, kemudian penyidik mengumpulkan keterangan dalam pemeriksaan saksi, meminta keterangan saksi ahli jika diperlukan atas bukti yang didapat, setelah itu dilakukan pemberkasan secara lengkap untuk kemudian dilimpahkan ke kejaksaan (penuntut umum). Pemberian bantuan hukum ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu pemberian bantuan hukum terhadap kepentingan tertuduh dan pemberian bantuan hukum kepada kepentingan pemeriksaan.111 1.
Pemberian bantuan hukum terhadap kepentingan tertuduh. Pemberian bantuan hukum kepada tertuduh ini adalah pemberian pelayanan
hukum untuk menjamin hak-hak dalam proses peradilan tidak terjadi diskriminasi, 111
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
83
meskipun tadak jarang seorang Pemberi Bantuan Hukum mengusahakan tidak hanya menolong namun juga membantu dan melindungi setiap orang yang memerlukan bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum kepada tertuduh ini seakan pembelaan yang muncul untuk membela seseorang yang terdesak, seorang yang lemah untuk menghadapi pihak yang kuat atau yang lebih kuat dari padanya, sehingga mampu menciptakan suatu keseimbangan (keadilan) terhadap hak-hak dan kepentingan tertuduh. Seorang Pemberi Bantuan Hukum kepada tertuduh (dalam perkara pidana) haruslah dapat membantu dan menolong tertuduh agar supaya jangan sampai dikenakan hukuman atau setidaknya mendapat sanksi ringan dan juga melindungi dari ketidak adilan dari setiap proses peradilan. Pelaksanaannya tidak jarang banyak pendapat masyarakat yang memandang bahwa Pemberi Bantuan Hukum kepada tertuduh ini seolah-olah membantu melindungi dan tidak jarang membenarkan perbuatan pidana yang dituduhkan kepada tertuduh dan kalau memungkinkan akan mengusahakan agar tertuduh dibebaskan sehingga berkesan menentang kebenaran. Istilah memutar balikkan fakta atau keadaan yang sebenarnya dalam usaha menolong tertuduh yang bersalah, sehingga tidak jarang bahwa Pemberi Bantuan Hukum kepada tertuduh ini di nilai negatif di kalangan umum masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, maka
Pemberi
Bantuan
Hukum
diharapkan
dilakukan
dengan
pemberian
nasihat-nasihat yang dipandang perlu, petunjuk-petunjuk tentang bagaimana seorang tertuduh harus bersikap pada setiap proses peradilan, dan melakukan tindakan hukum sebagaimana mestinya. Pemerintah dalam hal ini telah mengundangkan aturan standar pemberian bantuan hukum secara litigasi dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
Universitas Sumatera Utara
84
2.
Pemberian bantuan hukum terhadap kepentingan pemeriksaan. Para Pemberi Bantuan Hukum yang membantu dan mengawasi jalannya
pemeriksaan dapat melakukan pendekatan terhadap terdakwa guna mencari informasi fakta atau keadaan yang sebenarnya, fakta ini akan dapat menjadi argumen Pemberi Bantuan Hukum dalam membela kepentingan tertuduh di muka pengadilan. Jika argumen ini benar pada kenyataannya maka hal ini akan dapat mempengaruhi majelis hakim dalam menentukan putusan sesuai dengan keyakinanya. Menurut M. H. Tirtaamidjaja pemberian hak kepada tertuduh dapat diberikan dengan alasan karena hak setiap warga negara dalam pemeriksaan persidangan bahwa ia sebagai tertuduh diberi kesempatan untuk membela diri terhadap apa yang dituduhkan, kemudian lebih lanjut karena tertuduh biasanya dalam perkara bantuan hukum adalah kurangnya pengetahuan mengenai hukum sehingga tidak sanggup membela diri sendiri dan memerlukan bantuan hukum dari Pelaksana Bantuan Hukum guna melindungi hak-hak dan kepentingannya.112 Pendapat Julius Vargha dalam terjemahan buku “Die Veteidigung in Strafschen” menjelaskan tentang pentingnya pembela (dalam hal ini Pemberi Bantuan Hukum) dalam perkara pidana sebagai berikut:113 “Justeru karena seorang tersangka dalam proses pada umumnya lebih merasa adanya ancaman bahaya pada dirinya yang lebih besar, dari pada menganggap dirinya sebagai pelindung yang cakap terhadap posisinya maka ia harus didampingi oleh seorang pembela, yang dapat dianggap sebagai wakil proses, sehingga dalam menghadapi jaksa penuntut umum terlihat ada kesimbangan kekuatan dalam argumentasi hukum yang serasi.” Berbicara mengenai kedudukan Pemberi Bantuan Hukum dalam membela suatu proses pidana dapat menghubungkan dengan pendapat P. M. Trapman yang dimuat oleh Muljatno yang secara bebas menunjukkan perbedaan pandangan dan posisi dari 112 113
M. H.Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta: Pembangunna, 1960), hal. 45. R.M.M. Isnaini, Pembela Hukum, (Jakarta: Sangkakala Peradilan,1973), hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
85
para pihak dalam perkara pidana yaitu sebagai berikut:114 “Subjectieve beoordeling van een subjectieve positie. Objectieve beoordeling van een subjectieve positie. Subjectieve beoordeling van een objectieve positie. Objectieve beoordeling van een objectieve positie.” Terjemahan pendapat P. M. Trapman tersebut adalah bahwa dalam proses pidana, pendirian terdakwa adalah sebagai penilaian yang subjektif dari pada suatu keadaan yang subjektif. Pembela terdakwa pendiriannya adalah penilaian yang objektif dari pada keadaan yang subjektif. Penuntut umum mengambil sikap mengadakan penilaian subjektif dari keadaan objektif. Hakim mengadakan penilaian objektif dari keadaan yang objektif. Pendapat yang dikemukakan P. M. Trapman tersebut dapat diartikan adanya perbedaan dan penilaian posisi dari seorang pembela atau penasihat hukum dengan hubungannya dalam membela kepentingan terdakwa, jaksa dan hakim. Seorang terdakwa mengadakan penilaian subjektif dari posisinya yang subjektif yaitu melakukan penilaian tentang keadaannya dari kacamata pribadinya sendiri untuk membela kepentingan dirinya sendiri yang pada umumnya agar tidak mendapat sanksi atas perbuatan hukum yang dilakukannya dengan menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah.115 Sedangkan seorang pembela melakukan penilaian yang objektif dimana pembela melihat dan meneliti fakta secara umum untuk menentukan perbuatan hukum terdakwa tersebut apakah tergolong dalam tindak pidana atau tidak dari posisinya yang subjektif sama dengan terdakwa yaitu untuk kepentingan pribadinya. Dengan demikian ia harus memandang posisi terdakwa dengan pandangan yang layak dan wajar pada fakta kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ruang lingkup pemberian bantuan hukum menurut Undang-Undang No. 16 114 115
Muljatno, Hukum Acara Pidana II, (Yogjakarta: Gajah Mada, 1964), hal. 20. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
86
Tahun 2011 Pasal 4 ayat (2) terbatas pada permasalahan hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Meninjau pendapat tentang bagaimana Pemberi Bantuan Hukum ini dalam bersikap, apakah memperjuangkan kepentingan terdakwa dengan mengesampingkan kerugian dalam tindak pidana ataukah memperjuangkan kepentingan terdakwa dengan adil dimana pembelaan tersebut tidak menutup-nutupi kesalahan terdakwa selaku penerima bantuan hukium, untuk meninjau hal ini maka peneliti mengutip pendapat M. H. Tirtaamidjaja dimana beliau memuat sebagai berikut:116 “Ada satu pendapat yang berpendapat bahwa seluruh perhatian pembela itu hendaknya ditujukan kepada pembelaan kepentingan terdakwa, ia hendaknya memperjuangkan segala sesuatu yang menguntungkan si terdakwa, ia hendaknya menentang segala sesuatu yang memberatkan si terdakwa bahkan jika ia yakin akan kesalahan terdakwa hendaknya berusaha untuk melemahkan pembuktian akan kesalahan itu atau bila ia berpendirian bahwa kepentingann umum menghendaki penghukuman si terdakwa ia harus berusaha sekuatnya untuk menghindarkan penghukuman itu.” Pendapat lainnya yang dikemukakan beliau adalah diharapkan pembela dalam hal ini Pemberi Bantuan Hukum memandang pelayanan hukum yang diberikan bertujuan objektif sama seperti hakim dan jaksa penuntut umum dimana lebih mementingkan kepentingan umum, pendapat tersebut sebagai berikut:117 “Pembela hendaknya bertujuan sama seperti hakim dan penuntut umum, yaitu membela kepentingan umum, khususnya bagi si pembela ialah kepentingan umum bahwa orang yang bersalah juga harus dijatuhi hukuman. Menurut pendapat ini, pembela tersebut hendaknya tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan umum itu. Sebagai konsekuensi ialah berbeda dengan pendapat pertama si pembela hendaknya tidak memperjuangkan kepentingan si terdakwa bila ia yakin akan kesalahannya.” Pembela tidak hanya membela kepentingan kliennya tetapi juga membela kepentingan umum, demikian inilah yang menjadi tujuan dari Advokat seperti yang termuat dalam salah satu anggaran dasarnya yang isinya adalah untuk turut membenatu menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dalam Negara Kesatuan 116 117
M. H. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta: Pembangunna, 1960), hal. 45. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
87
Republik Indonesia melalui tugas Advokat dan memperjuangkan hak asasi manusia sesuai dengan asas rule of law dalam masyarakat merdeka. Hal ini berarti bahwa tugas pembela dalam hal ini Pelasnana Pemberi Bantuan Hukum diharapkan tidak hanya terbatas untuk mengusahakan bebasnya terdakwa seperti yang umumnya dilakukan dalam praktek, namun juga berkewajiban untuk membantu menegakkan keadilan secara umum dengan membantu alat-alat negara penegak hukum dengan memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Meskipun begitu, tidak berarti Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum yang berkewajiban memberi layanan bantuan hukum akan mengabaikan kepentingan dari terdakwa yang dibelanya bila dalam proses peradilan ada ketidakbenaran terhadap apa yang seharusnya dijalaninya.
Universitas Sumatera Utara