41
BAB II KARAKTERISTIK KABUPATEN BANYUWANGI
2.1
Keadaan Geografi dan Demografi Kabupaten Banyuwangi Secara Geografis Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau
Jawa, daerahnya terbagi atas dataran tinggi yang berupa pegunungan dengan potensi alamnya berupa perkebunan, dataran sedang dengan potensi berupa produksi pertanian, dan dataran rendah yang berupa garis pantai dengan potensi penghasilan berupa Biota Laut. Berdasarkan garis teritorialnya Banyuwangi terletak di antara 7 43’ – 8 46’ Lintang Selatan dan 113 53’ – 114 38’ Bujur Timur.1 Secara administratif Banyuwangi berbatasan dengan kabupatenkabupaten lain, yakni sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso.2 Luas Banyuwangi sekitar 5.782, 50 Km2, dengan pembagian wilayah sebanyak 24 kecamatan, 28 kelurahan, dan 189 desa. Kecamatan-kecamatan tersebut yakni kecamatan Pesanggaran, Bangorejo, Purwoharjo, Tegaldlimo, Muncar, Cluring, Glagah, Banyuwangi, Giri, Wongsorejo, Songgon, Sempu, Kalipuro, Siliragung, Tegalsari, dan Licin. Selain itu, ada juga sebutan perkotaan Banyuwangi yang merupakan daerah pusat dari Kabupaten Banyuwangi, yang 1
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, Profil Perkembangan Kependudukan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013, (Banyuwangi : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, 2014), p. 7. 2 Ibid., p. 8.
41
42
mana terdiri dari empat kecamatan, yakni Banyuwangi, Giri, Glagah, dan Kalipuro. Jumlah kecamatan di Banyuwangi pernah mengalami perubahan. Tercatat pada tahun 1985 sampai dengan 1996 kabupaten Banyuwangi terdiri dari 19 kecamatan, sedangkan mulai tahun 1997 sampai 2005 berubah menjadi 21 kecamatan, dan barulah pada akhir tahun 2005 Kabupaten Banyuwangi memiliki 24 kecamatan dengan penambahan kecamatan baru yaitu Tegalsari, Siliragung dan Licin. Sejarah kabupaten Banyuwangi tidak terlepas dari sejarah kerajaan Blambangan yang pernah berkuasa di wilayah Banyuwangi dan sekitarnya pada tahun 1500-an. Kerajaan Blambangan pada waktu itu berada di bawah kerajaan Majapahit. Sejarah Blambangan yang paling terkenal adalah sejarah perlawanan orang-orang Blambangan terhadap Belanda yang terjadi pada tahun 1771.3 Peristiwa perang ini sering disebut sebagai perang Puputan Bayu yang mana pemimpin perangnya adalah pangeran Jagapati atau pangeran Rempeg.4 Perang inilah sebagai puncak dari perjuangan orang Blambangan melawan para penjajah dan sekaligus dianggap sebagai peristiwa paling heroik atau bersejarah bagi orang-orang Banyuwangi. Setelah peristiwa tersebut orang-orang Blambangan hanya tersisa sekitar 5.000 orang,5 dan mulai melarikan diri ke hutan-hutan atau 3
Hasan Ali, Sekilas tentang Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi, (Banyuwangi : Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2002), p. 3. Lihat Juga Decky Irman dalam Ufuk Kebudayaan Banyuwangi Sejumlah Tulisan, p. 101. 4 Pangeran ini dianggap sebagai keturunan wong Agung Wilis. Wong Agung Wilis dianggap sebagai pahlawan orang Blambangan, sekarang orang Banyuwangi. Nama ini sampai sekarang masih sangat terkenal dan dipercaya kehebatannya oleh orang Banyuwangi. Novi (2006, p. 66). 5 Novi Anoegrajekti, “Gandrung Banyuwangi : Pertarungan Pasar, Tradisi, dan Agama Memperebutkan Representasi Identitas Using”, Disertasi tidak diterbitkan. (Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), p. 40.
43
berpindah ke daerah lain. Alasan mereka saat itu adalah karena mereka tidak ingin berada di bawah kekuasaan penjajah. Selain itu, perang ini termasuk perang besar yang telah menghabiskan banyak dana Belanda, yakni sebesar delapan ton emas.6 Setelah serangan Belanda pada tanggal 11 Oktober 1772 dengan diambilnya benteng Bayu oleh Belanda, maka menjadi akhir usaha perebutan Blambangan oleh Belanda. Belanda yang berhasil menguasai Blambangan menunjuk pemimpin baru disana, yaitu Raden Wiroguno atau “Mas Alit”. Setelah itu, Mas Alit memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah baru (kemudian dipercaya menjadi Banyuwangi sekarang). Daerah itu berada di sebelah utara yakni dengan cara membabat hutan Tirtaganda atau kadang disebut hutan Tirtaarum. Maka berpindahlah ibukota kerajaan Belanda di Banyuwangi pada tanggal 24 Desember 1774.7 Pada tahun 1773 Belanda yang telah menjadikan wilayah Banyuwangi sebagai bagian dari keresidenan Besuki melantik “Mas Alit” sebagai Bupati pertama di Banyuwangi. Penamaan Banyuwangi sebenarnya juga berkaitan dengan cerita rakyat yang ada pada masyarakat Banyuwangi yakni cerita tentang Sidopekso dan Putri Sritanjung.8 Cerita rakyat ini sangat dipercaya di Banyuwangi dan sampai sekarang masih dipercaya bukti peninggalan dari peristiwa tersebut.
6
Selain itu, perang ini diakui Belanda sebagai peperangan yang paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyaj memakan korban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC atau Belanda di Indonesia (C. Lekkerkerker, 1923: 1506 dan 1067) dalam Hasan Ali, Sekilas tentang Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi, (Banyuwangi : Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2002), p. 9. 7 Suhailik, Memahamkan Sejarah Hari Jadi Kota Kabupaten Banyuwangi Dalam Kajian Ilmiah (Sebuah Kilas Balik) dalam “Ufuk Kebudayaan Banyuwangi Sejumlah Tulisan (2006), p. 111. 8 Dalam legenda ini diceritakan seorang Patih Kerajaan di (Banyuwangi sekarang) yang bernama Sidopekso yang membunuh istrinya sendiri (Sritanjung) karena
44
Mengenai jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2013 sebesar 1.627.130.9 Kecamatan terbesar jumlah penduduknya adalah kecamatan Muncar dengan jumlah Jumlah 126.713 jiwa. Jumlah penduduk di Banyuwangi ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya 2012 yakni 1.627.469. Penurunan ini kemungkinan besar diakibatkan oleh adanya migrasi keluar. Sebenarnya jumlah penduduk Banyuwangi selalu mengalami perubahan, yang mana salah satunya diakibatkan oleh adanya kelahiran, kematian, dan migrasi. Tercatat pada tahun 1985 penduduk Banyuwangi berjumlah 1.367.682. Pada tahun 1990-an penduduk di Banyuwangi berkisar antara 1.450.000-an, pada tahun 2000-an penduduk Banyuwangi naik menjadi rata-rata sekitar 1.500.000-an. Barulah pada tahun 2007 penduduk di Banyuwangi mencapai kisaran angka 1.600.000-an, tepatnya pada angka 1.676.468, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (2006) yakni sebesar 1.549.830. Di antara perubahan-perubahan jumlah penduduk yang terjadi dalam rentang waktu tersebut, kecamatan Muncar sering menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, misalnya pada tahun 1997 dengan jumlah penduduk mencapai 115.544 orang. Jumlah ini menggantikan dominasi kecamatan Genteng yang menjadi kecamatan dengan jumlah terbanyak dari tahun 1985 sampai 1996.
dihasut telah berani selingkuh dengan rajanya. Akan tetapi sebelum dibunuh istrinya bernadar : “Kalau darahnya nanti berbau amis maka ia benar berselingkuh apabila berbau harum maka tuduhan itu tidak benar”. Ketika dibunuh darahnya yang terjatuh di sungai tidak lah bau amis, bahkan air di sungai itu menjadi harum, semenjak itulah daerah itu dinamakan Banyuwangi (air yang harum). Bahkan legenda ini sempat dijadikan patokan untuk hari jadi Banyuwangi, meskipun mengenai tanggalnya masih tidak jelas dan harus dibuktikan lagi. 9 Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, op.cit., p. 8.
45
Pada tahun 2013 kepadatan penduduk Banyuwangi mencapai 281,38 jiwa/km2, dengan kepadatan tertinggi adalah kecamatan Banyuwangi, yakni sebesar 3.827,18 jiwa/km2. Kabupaten Banyuwangi tergolong rendah dalam hal pendidikan, tercatat terdapat 602,177 jiwa yang hanya mampu menamatkan tingkat SD, dengan jumlah kepala keluarga yang hanya mampu menamatkan SD sebesar 278,628 jiwa. Terdapat 31.778 kepala keluarga yang tidak bersekolah. Di Banyuwangi terdapat 1.422 sekolah baik SD sampai SMA atau MA (Madrasah Aliyah).10 Penduduk di Banyuwangi rata-rata bermata pencaharian sebagai petani, dengan jumlah sebesar 157,587 orang. Ini dihitung dari kepala keluarga yang terdapat di Banyuwangi. Jumlah ini memiliki presentase sebesar 28% dari jumlah keseluruhan kepala keluarga yang mencapai jumlah 571.339. Hal ini belum termasuk dengan buruh tani atau perkebunan yang mencapai jumlah 22,170 orang. Urutan kedua adalah wira swasta dengan jumlah 238,129 orang. Penduduk di Banyuwangi mayoritas adalah Islam dengan jumlah sebesar 1.568.721 orang. Jumlah ini mencapai 96,41% dari jumlah keseluruhan penduduk Banyuwangi. Wilayah yang memiliki jumlah penduduk Islam terbanyak adalah kecamatan Muncar dengan jumlah 123.272 orang atau 97,28% dari jumlah penduduknya. Akan tetapi, jika dilihat dari persentase maka kecamatan dengan jumlah penduduk Islam tertinggi adalah kecamatan Licin dengan persentase mencapai 99,65% dari jumlah penduduknya. Pemeluk agama kedua terbesar
10
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka 2013, (Banyuwangi : BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014), p. 53.
46
adalah Hindu yang mencapai jumlah 25.758 orang atau 1,58% dari jumlah keseluruhan penduduk Banyuwangi. Setelah itu disusul dengan Kristen (18,692 orang atau 1,14%), Katolik (5.494 orang atau 0,33%), Budha (4.504 orang atau 0,27%), Konghucu (3.880 orang atau 0,23%), dan terakhir penghayat kepercayaan sebesar 88 orang.11 Dari dulu penduduk di Banyuwangi mayoritas adalah Islam dengan persentase di atas 95%, seperti contoh pada tahun 1996 penduduk beragama Islam di Banyuwangi mencapai 95,90%. Jika dilihat dari data di atas dapat diakatakan bahwa masyarakat Banyuwangi dari dulu mayoritas beragama Islam, sehingga budaya Islam sangat erat dengan budaya sehari-hari masyarakat Banyuwangi. Ditambah lagi adanya pondok pesantren yang menyebar di hampir setiap kecamatan di Banyuwangi.
2.2
Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Banyuwangi Penduduk asli Banyuwangi sering disebut sebagai orang Using atau
orang Blambangan. Orang Using ini tersebar dihampir setiap wilayah di Banyuwangi, akan tetapi tidak semua daerah di Banyuwangi bermayoritas orang Using. Terdapat beberapa daerah di Banyuwangi yang mayoritas penduduknya adalah Using, yakni Kecamatan Singonjuruh, Kecamatan Glagah (Desa Bakungan, Kemiren, Karangasem, Olehsari, Cungking, Gontoran), Kecamatan Giri (Boyolangu), Kecamatan Kalipuro (Desa Kalipuro), Kecamatan Gambiran (Desa Gambiran), Kecamatan Rogojampi (Desa Mangir, Pancoran, dan Genitri), 11
pp. 23-24
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, op.cit.,
47
dan Kecamatan Srono (Desa Parijatah). Daerah-daerah inilah yang dianggap sebagai daerah yang bermayoritas berpenduduk Using.12 Meskipun begitu, orang Using banyak tersebar di berbagai daerah di Banyuwangi. Dengan jumlah yang tidak banyak dan bercampur dengan orang dari etnis-etnis lainnya yaitu Jawa, Madura, Bugis, Mandar, Arab dan Cina. Daerah-daerah dengan mayoritas penduduknya Using ini cenderung berada di derah barat dan utara Banyuwangi, hanya wilayah Kalipuro lah yang masuk dalam bagian timur daerah Banyuwangi. Hal ini dikarenakan orang Using kebanyakan mendiami daerah pertanian yang subur di Banyuwangi.13 Daerahdaerah ini yang kemudian dapat disebut mencirikan budaya keusingannya Banyuwangi. Pemakaian bahasa menjadi ciri utama yang membedakan orangorang dari daerah ini dengan daerah-daerah lainnya, selain bahasa yang digunakan sehari-hari berbeda, yakni bahasa Using, logat mereka pun berbeda dengan orang dari daerah lain. Logat ini sering disebut logat Banyuwangen. Selain itu, daerah inilah yang dianggap masih menjaga tradisi atau budaya Using dengan baik. Biasanya dari daerah-daerah ini budaya Using dapat dilihat, misalnya pertunjukan Gandrung, Jaranan, Mocoan ataupun Seblang, dan kebanyakan grup-grup kesenian di Banyuwangi berasal dari daerah tersebut. Penyebutan orang Using sebagai penduduk asli Banyuwangi tidak terlepas dari sejarah kerajaan Blambangan. Orang Using ini dianggap sebagai orang Blambangan kala itu, yakni ketika belum ditaklukan oleh Belanda (1773). Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa perang Puputan Bayu. Paska perang 12 13
Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 50. Ibid., p. 63.
48
tersebut orang-orang Blambangan yang tersisa sekitar 5.000 orang melarikan atau mengasingkan diri ke daerah pegunungan, dan enggan berinteraksi dengan orangorang baru yang dibawa oleh Belanda ke daerah Blambangan.14 Karena itulah mereka disebut sebagai orang Using, yang artinya dalam bahasa Using, “tidak”. Kata “Using” diberikan oleh orang-orang Jawa Kulon (yang merujuk pada daerah Jawa Tengah) ataupun para pendatang kepada orang-orang asli daerah Blambangan yang mana awalnya tidak mau berinteraksi dengan pendatang.15 Meskipun pada dasarnya mereka dianggap sebagai komunitas yang terbuka terhadap budaya baru atau orang baru. Hal ini bisa dibuktikan dengan budayabudaya yang mereka miliki banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Bali. Akan tetapi, sejarah mereka yang kerap tertindas, membuat mereka memiliki nilai-nilai “semangat” tersendiri yang mengakar kuat dalam budaya mereka sehari-hari.16 Tambahan pula rakyat Blambangan ini dianggap sebagai rakyat yang suka berperang, mereka adalah orang yang selalu berusaha membebaskan dirinya dari kekuasaan orang luar.17 Karena itu mereka memiliki jiwa atau semangat
14
Ibid., p. 66. Mereka tidak mau bercampur darah dengan kaum pendatang, dan memilih hidup menyendiri sebagai kelompok “suku terasing”. B. Soelarto dan S. Ilmi, “Kesenian Rakyat Gandrung dari Banyuwangi”, (Jakarta : Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), p. 3. 16 Orang Using pada waktu itu kerap menjadi target penguasaan kerajaankerajaan besar lainnya, seperti Demak, Mataram dan Mengwi. Hal inilah yang menjadi landasan nilai-nilai baru dalam kehidupan sehari-hari mereka. Novi Anoegrajekti (2006 : pp. 32 – 33). Berkaitan dengan ketangguhan dan keuletan orang Using, J. Scholte (1927) dalam Novi. A (2006 : 68) menyebut bahwa keturunan rakyat Blambangan sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang pesat dan berpegang teguh pada adat istiadat. B. Soelarto dan S. Ilmi (1987 : 2) menyatakan bahwa orang Using memiliki kesadaran dan sikap kulturil religis yang tinggi sebagai pewaris kekayaan sejarah nenek moyang mereka. 17 Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 68. 15
49
patriotik yang tinggi, yang pada akhirnya tercermin dalam budaya mereka, terutama terkait kesenian-kesenian mereka. Penggunaan bahasa Using menjadi ciri khas dari Banyuwangi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh DKB pada tahun 1990, terdapat 53% penduduk Banyuwangi menggunakan bahasa Using.18 Pemakaian terbesar terjadi pada ranah keluarga dan lingkungan tetangga sebesar 91,6%, dan yang kedua adalah pada ranah kesenian (85%). Seperti contoh kesenian Gandrung, lirik-lirik yang terdapat pada lagu atau gendhingnya menggunakan bahasa Using atau perkembangan musik Using di Banyuwangi. Di Banyuwangi musik atau lagu-lagu Using sangat lestari, tidak hanya golongan tua yang menyanyikannya, banyak anak muda yang mulai terjun dalam dunia musik Using, sehingga lagu-lagu Using di Banyuwangi sangat banyak, dan dapat dengan mudah ditemukan di warung-warung pinggir jalan ataupun di pertokoan modern sekalipun. Bahkan, lagu Using sudah menyebar ke daerah di luar Banyuwangi, seperti contoh Bondowoso, Situbondo ataupun Jember, dan beberapa stasiun radio di Banyuwangi sering menggunakan bahasa Using. Terdapat
perbedaan
mengenai
status
bahasa Using,
ada
yang
beranggapan bahwa bahasa Using sesungguhnya adalah bahawa Jawa berdialek Using atau Banyuwangi, ada juga yang menganggap bahasa Using sebagai bahasa tersendiri dengan logat yang dimilikinya.19 Apa yang menarik dari bahasa Using adalah tidak adanya tingkatan dalam berbahasa. Bila di Jawa dikenal istilah Ngoko – Kromo yang berkaitan dengan cara penggunaan bahasa, seperti dengan siapa dia 18 19
Ibid., p. 77 Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 75.
50
berbicara, pada keadaan apa dia berbicara, maka hal ini tidak terjadi pada bahasa Using. Ini mengakibatkan terjadinya proses interaksi atau komunikasi yang mengalir, karena memang tidak akan terjadi yang namanya “salah bicara” dalam berbahasa Using.20 Hal ini dapat menjadi salah satu ciri dari orang Banyuwangi, yaitu terbuka, tidak mengenal penggolongan kelas atau egaliter. Keterbukaan orang Using ini dapat dilihat dari karya-karya pantun yang mereka miliki, atau dalam bahasa Using disebut “Wangsalan”.21 Isi wangsalan ada yang bisa diartikan ke dalam bahasa Indonesia ada juga yang tidak, meskipun jika dipaksakan dapat diartikan ke Bahasa Indonesia akan tetapi terdapat perbedaan arti dan maknanya. Salah satu contoh wangsalan adalah sebagai berikut beserta artian bebasnya.22 “Tuku bawang ulih urang Wiji Merica dienggo rawon Sewu rewang magih kurang Mungsuh siji kaya sak ewon-ewon” Artian bebasnya : “Beli bawang dapat udang Biji merica dibuat rawon Seribu (banyak) teman masih kurang Musuh satu rasanya seperti beribu-ribu
20
Salah berbicara merupakan istilah yang kerap terjadi pada penggunaan bahasa Jawa, biasanya ini terjadi karena yang berbicara tidak paham apa posisi dirinya dan apa posisi lawan bicaranya. 21 Wangsalan adalah sejenis pantun, akan tetapi memiliki kebebasan dan nuansa atau kekhasan tersendiri. Wangsalan sendiri dibagi dalam empat jenis, yaitu wangsalan nasehat (nasihat), wangsalan dhemenan (rasa suka atau cinta-cintaan), wangsalan sindhiran (sindiran), dan wangsalan wadanan (ejekan) 22 Wangsalan Lambang Keakraban oleh Abdullah Fauzi. Milik sendiri tidak diterbitkan. Lihat juga Abdullah Fauzi, “Jejak Sastra Using”, dalam Ufuk Kebudayaan Banyuwangi Sejumlah Tulisan (2006), p. 81.
51
Wangsalan di atas adalah wangsalan nasehat. Apa yang ingin disampaikan adalah bahwa dalam hidup kita membutuhkan teman, sebanyakbanyaknya teman. Seberapa banyak teman, ketika kita memiliki satu musuh, maka akan terasa memiliki banyak musuh. Bila diartikan lebih lanjut yang dimaksudkan adalah bahwa musuh itu akan selalu datang dengan sendirinya. Ada juga wangsalan dhemenan (rayuan atau jatuh cinta), contoh : “Ampak-ampak ring tapsiun Lengo wangi botole biru Riko kapak duh awakisun Raina bengi sing bisa turu” Apa yang ingin disampaikan dalam wangsalan ini adalah seseorang yang bingung, seperti dimantrai atau diguna-guna (riko kapak duh awakisun : kamu apakan duh diri saya ini) sehingga siang malam tidak bisa tidur (raina bengi sing bisa turu). Ada juga wangsalan pendek yang merupakan sindiran. Seperti :23 “Kecipir merambat kawat Sing mampir sukur liwat” Artinya kurang lebih seperti ini : “Pohon kecipir merambat di kawat Tidak mampir hanya lewat” Wangsalan ini berupa sindiran untuk seseorang yang tidak mau mampir (meskipun sebentar), dan langsung lewat saja. Dalam masyarakat kampung atau desa, mampir (berkunjung sebentar) memiliki arti tersendiri. Jika seseorang tengah liwat atau pergi ke suatu tempat alangkah baiknya untuk “mampir” ke tetangga yang kebetulan berpapasan dengannya, karena “mampir” sendiri
23
Abdullah Fauzi, op.cit., p. 82.
52
dianggap sebagai bentuk dari rasa kepedulian atau persaudaraan, karena itu dianggap tidak baik ketika “mengacuhkan” tetangga dengan tidak “mampir”. Wangsalan ini adalah contoh dari keterbukaan orang Using, selain ramah juga suka untuk menjaga tali persaudaraan. Dalam berwangsalan tidak ada pengklasifikasian kata yang digunakan untuk lawan bicaranya, jadi semua orang dengan umur dan status sosialnya tidak menjadi bahan pertimbangan dalam berwangsalan. Bahasa yang digunakanpun tidak ada bedanya, sehingga komunikasi yang terjadi lebih mengalir dan terasa lebih akrab. Wangsalan ini sendiri sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari orang Using, meskipun di wilayah perkotaan penggunaan wangsalan ini sudah mulai jarang ditemui. Jika dilihat dari penggunaan bahasanya, dapat dikatakan orang Banyuwangi sangat menjunjung tinggi bahasa Using, mereka kerap menggunakan bahasa Using dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak semua orang Banyuwangi adalah orang Using. Akan tetapi, mereka yang bukan orang using tetap menjunjung budaya Using dan tidak menolak ketika dianggap atau disebut sebagai orang Using. Hal inilah yang menjadikan orang Banyuwangi sangat unik bila dibandingkan dengan daerah lain, meskipun terdiri dari banyak kelompok mereka tetap bersemangat menjaga atau menjunjung bahasa atau budaya Using. Terkait dengan keusingan, meskipun mayoritas penduduk Banyuwangi adalah beragama Islam, akan tetapi kepercayaan-kepercayaan leluhur masih tetap dipercaya, atau diyakini. Dalam prakteknya pun masih dilakukan. Seperti contoh ritual Seblang (ritual bersih Desa dengan pertunjukan tari Seblang), Petik Laut (upacara ucap syukur dan permohonan anugerah dari Tuhan untuk hasil laut yang
53
melimpah), dan Kebo-Keboan (Upacara keselamatan di daerah Alas Malang). Kesemuanya ini merupakan bentuk dari kepercayaan orang Banyuwangi sebelumnya, yaitu sebelum Islam mulai masuk di Banyuwangi. Dalam masyarakat Using dikenal beberapa leluhur yang sangat dekat dengan kepercayaannya, seperti Aji Anggring, Buyut Cili, Saridin, Mbah Jalil, Mbah Ketut, dan Sayu Sarinah. Tokoh-tokoh ini sangat dipercayai oleh orang Using, dan juga dihormati bahkan ditakuti, meskipun ini terjadi di beberapa desa atau daerah saja.24 Selain ritual tersebut terdapat juga salah satu tradisi atau ritual yang mencirikan kepercayaan mereka terhadap para leluhur. Tradisi tersebut adalah selametan. Sama dengan yang terdapat pada orang Jawa, selametan ini berfungsi sebagai sarana untuk meminta pertolongan, kemudahan atau hajat (keinginan) dari yang menyelenggarakan selametan. Selametan bagi orang Using berfungsi sebagai sarana untuk memohon kemudahan, sarana untuk menyelaraskan kehidupan saat ini agar damai, tentram, sejahtera, dan makmur. Hal ini memang sebuah indikasi bahwa orang Using masih mempercayai budaya atau kepercayaan Hindu yang pada waktu sebelum Islam menyebar sangat kuat di daerah pulau Jawa. Meskipun begitu, orang Using dikenal sangat taat dalam beragama, terutama Islam. Mereka sering melakukan tradisi yang berkaitan dengan agama Islam, seperti Muludan, yaitu sebuah tradisi mengarak atau pawai telur yang dihiasi sedemikian rupa sebagai acara untuk menyambut Maulid Nabi. Bahkan dalam selametan pun sangat terasa unsur Islamnya. Dalam selametan biasanya selalu dilakukan pengajian, bahkan setelah acara selametan selalu ditutup dengan ceramah 24
Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 82.
54
keislaman oleh seorang ulama, kyai, atau ustad, atau setidaknya pemuka agama di daerahnya. Selain dinamis dalam beragama, masyarakat Using dinamis pula dalam hal berkesenian. Hal ini dapat dilihat bagaimana masyarakat Using ataupun Banyuwangi sangat mengapresiasi terhadap kesenian-kesenian yang terdapat di Banyuwangi. Tidak hanya kesenian yang asli Using, melainkan kesenian-kesenian yang datang dari luar juga ikut diapresiasi, seperti misalnya Wayang Kulit, Wayang Wong atau Ludruk. Meskipun ketiga kesenian ini tidak mendapat apresiasi sebesar kesenian asli Using. Hal inilah yang membuat masyarakat Using dianggap sebagai masyarakat yang memiliki apresiasi tinggi terhadap kesenian. Daya apresiasi seni yang tinggi dari masyarakat Using diakibatkan oleh letak dan sejarahnya yang selalu berkaitan dengan budaya Jawa dan Bali, sehingga mereka menerima banyak pengaruh dari keduanya, ada juga yang menganggap hal ini tidak terlepas dari sifat keterbukaan yang dimiliki oleh masyarakat Using dalam menjalin hubungan dengan budaya luar, sehingga mampu mengadopsinya agar sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Di Banyuwangi terdapat 35 kesenian yang masih diapresiasi, keseniankesenian tersebut tidak hanya kesenian asli Banyuwangi melainkan juga kesenian hasil akluturasi dengan budaya luar.25 Kesenian-kesenian tersebut antara lain : Gandrung, Angklung, Kuntulan, Hadrah, Gedogan, Patrol, Barong, Janger, Jaranan, Mocoan, Campursari Jowoan, Wayang Kulit, Ludruk, Kendang Kempul dan Gambus. Dari beberapa kesenian di atas, kesenian yang paling populer di
25
Dariharto, op.cit., pp. 2-3
55
Banyuwangi adalah kesenian Gandrung dan Angklung. Orang Using tidak hanya tinggi daya apresiasinya, akan tetapi orang Using juga memiliki daya kreatifitas yang tinggi dalam berkesenian. Karya-karya yang diciptakan mengandung nilainilai yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dikarenakan mereka sering membuat karya-karya yang menggambarkan keadaan sosial pada masanya. Seperti contoh karya seniman angklung M. Arif yang berjudul “Arum Manis”.26 “……………… Pabrik tebu tanah Jawa sepirang-pirang Ngalor-ngidul tebu ring sawah-sawah Perandane gula pasir bisa larang Nyorot kopi nana gula gantine uyah” “Mulane ayo kanca bebarengan Dadi siji padha mbentuk persatuan Gotong royong kanggone wong seduluran Sapa kang tamak dikeplaki jakakehan” Artianya kurang lebih : “………….. Pabrik tebu di tanah Jawa sangat banyak Di mana-mana tebu ditanam di sawah-sawah Tetapi ternyata harga gula pasir begitu tinggi Menyeduh kopi tidak ada gula garam gantinya” “Karenanya mari kawab bersama-sama Jadi satu membentuk persatuan Gotong royong untuk membuat persaudaraan Siapa yang tamak (rakus) dipukuli banyak orang (bersama-sama) Selain kesenian Angklung yang sangat terkenal, ada pula kesenian Gandrung yang mana memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Banyuwangi. 26
M. Arif merupakan salah satu seniman Banyuwangi yang sangat terkenal sampai lingkup nasional pada zamannya (40an-60an). Ia bersama seniman-seniman Banyuwangi dan Indonesia kala itu menghiasi panggung sastra dan musik nasional. Ia juga salah satu seniman yang “tertangkap” pasca tragedi Gerakan 30 September 1965 (G 30 S), karena ia tergabung dalam organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dianggap kaki tangan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Karyanya yang sangat terkenal adalah gendhing “Genjer-Genjer” yang sempat menjadi lagu wajib Lekra.
56
Ketika berbicara tentang kesenian Banyuwangi, maka yang menjadi rujukan adalah kesenian Gandrung. Gandrung sebagai seni tradisional, sebagai seni hiburan ataupun sebagai bentuk identitas budaya Using sangat besar pengaruhnya dalam dunia seni Banyuwangi. Baik dalam bentuk tariannya, lagu-lagunya atau ornamen-ornamennya sangat mudah ditemui di Banyuwangi. Di Banyuwangi banyak tersebar patung-patung Gandrung, baik yang utuh berupa seorang penari Gandrung maupun hanya sebatas kepala Gandrung ataupun “omprok” atau tutup kepala yang digunakan oleh penari Gandrung. Selain itu, lagu-lagu atau gendhing yang dinyanyikan pada saat pertunjukan Gandrung menggunakan bahasa Using, hal ini semakin menguatkan kecirikhasan Banyuwangi. Maka tidak heran jika di Banyuwangi tidak hanya patung-patung Gandrung yang bertebaran, hampir disetiap sudut kota banyak terpampang gambar-gambar penari Gandrung.