BAB II KAJIAN TEORI 1.1. Pengertian Belajar Belajar merupakan proses seseorang untuk dapat berubah melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Hal ini didukung oleh Suryabrata, Masrun dan Martiana (dalam Ghufron dan Risnawita: 2012:4) mengemukakan bahwa pada dasarnya belajar merupakan sebuah proses untuk melakukan perubahan perilaku seseorang, baik lahiriah, maupun batiniah. Pendapat serupa oleh Alsa (dalam Ghufron dan Risnawita: 2012:4) bahwa belajar adalah tahapan perubahan perilaku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungan. Dalam proses belajar tersebut menurut bahasa Bloom (dalam Ghufron dan Risnawita: 2012:5) meliputi tiga komponen; kognitif, afektif, dan psikomotorik. a.
Aspek Kognitif Dalam aspek kognitif ini, potensi yang perlu dikembangkan adalah potensi
berfikir para peserta didik dengan melatih mereka untuk memahami secara benar, menganalisis secara tepat, mengevaluasi berbagai masalah yang ada disekitarnya dan lain sebagainya. Menurut Ghufron dan Risnawita (2012:5) mereka mengatakan, orang yang tidak menggunakan potensi berfikirnya tidak berbeda jauh dengan binatang. Aspek kognitif ini lebih mengarah kekemampuan intelektual seseorang agar mampu memahami sesuatu dengan benar, menganalisis dengan tepat, dan juga mampu mengevaluasi sesuatu yang ada disekitarnya.
6
7
b.
Aspek Afektif Pada aspek afektif, para peserta didik perlu dilatih untuk peka dengan
kondisi lingkungan sekitarnya, sehingga mereka bisa memahami nilai-nilai dan etika-etika dalam melakukan hubungan relasional dengan lingkungan sekitarnya. c.
Aspek Psikomotorik Untuk
aspek
psikomotorik,
peserta
didik
perlu
dilatih
untuk
mengimplementasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam aspek kognitif dan afektif dalam perilaku nyata dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai sebuah proses menuju perubahan menurut Ghufron dan Risnawita: (2012:6-7) belajar memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Sebuah proses atau aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri seseorang yang belajar; b. Perubahan yang terjadi selama proses belajar harus tampak setelah proses belajar; c. Perubahan tersebut berlaku relatif lama atau permanen; d. Menghasilkan inovasi baru; dan e. Perubahan tersebut terjadi karena usaha yang disengaja. 1.2. Teori Belajar a.
Teori Belajar Behavioristik Teori belajar behavioristik adalah teori yang menjelaskan bahwa belajar itu
terjadi jika ada interaksi antara mahluk hidup dengan lingkungan yang berupa pikiran, perasaan atau gerakan. Hal ini didukung oleh teori Thorndike dan Pavlop. Thorndike berpendapat bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan) dan respons (yang juga
8
bisa berbentuk pikiran, perasaan atau gerakan). Pavlop berpendapat bahwa belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan perangsang (stimulus) yang lebih kuat dengan perangsang yang lebih lemah. Proses belajat terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan. Menurut Ghufron dan Risnawita (2012:18) menyimpulkan bahwa teori belajar behavioristik menjelaskan mengenai cara belajar organisme yang terkait erat dengan faktor eksternal di luar diri individu. b.
Teori Belajar Kognitif Teori belajar kognitif adalah teori yg menyatakan belajar kognitif itu
merupakan proses belajar yang melalui tingkatan-tingkatan atau tahap-tahap perkembangan anak yang disesuaikan dengan usia. Sebagaimana dikatakan oleh Piaget (dalam Ghufron dan Risnawita: 2012:19), bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni: a. Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru kestruktur kognitif yang suda ada dalam benak siswa. b. Proses akomodasi adalah menyesuaikan struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. c. Proses equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Piaget pun mengatakan bahwa secara sistematis, tingkat perkembangan anak sebagai berikut: a. Tahap sensorik motorik (0-2 tahun) b. Tahap pra operasional (2-7 tahun) c. Tahap operasional kongkrit (7-11 tahun)
9
d. Tahap operasional formal. Pada tahap ini, anak telah mampu memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol dan gagasan dalam cara bepikir. Menurut Ausubel (dalam Ghufron dan Risnawita: 2012:24), belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bemakna. 1.3. Pembelajaran Pembelajaran merupalan proses interaksi antara guru, siswa dan lingkungan belajar. Dimana pembelajaran ini sangat bergantungan antara satu dan yang lainnya. Pembelajaran akan berlangsung jika siswa merespon guru saat memberikan pelajaran sedangkat lingkungan merupakan salah satu pendukung dalam pembelajaran berlangsung. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pembelajaran merupakan “…proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”, dalam (Wibowo: 2010:11). Menurut Wibowo (2010:12), proses belajar akan berlangsung lebih terarah, optimal dan sistematik bila disertai proses pembelajaran dibandingkan dengan proses belajar yang semata-mata hanya berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sosial masyarakat. Proses belajar yang disertai dengan proses pembelajaran memerlukan peran guru, bahan belajar, dan lingkungan yang kondusif yang sengaja diciptakan. Ciri-ciri pembelajaran menurut Max Darsono (dalam Mufadilah: 2012:1617), dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.
Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis. Artinya belajar dilakukan dalam keadaan sadar karena adanya kemauan dari
10
setiap individu untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang baru. Dan pembelajaran dilakukan secara terencana dan sistematis agar dapat mengoptimalkan kemampuan setiap individu dalam penerimaan materi ajar. 2.
Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar. Disini pendidik berperan penting, apabila pembelajaran tidak inovatifdan kreatif maka pembelajaran tidak menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa.
3.
Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang bagi siswa. Dalam pembelajaran selalu ada dua komponen yang salingketergantungan yaitu pendidik dan peserta didik. Seorang pendidik harusmampu menyediakan bahan ajar yang menarik dan menantang bagi siswa supaya terjadi pembelajaran yang inovatif.
4.
Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan menarik. Artinya dengan menggunakan alat bantu mengajar akan mempermudah proses pembelajaran dan penyampaian materi ajar, apalagi dengan perkembangan zaman sekarang teknologi sangat canggih. Sehingga siswa bisa tertarik dengan alat bantu belajar.
5.
Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman danmenyenangkan bagi siswa. Dengan model pembelajaran yang inovatif dan kreatif sehingga menciptakan suasana belajar yang kondusif, dapat menumbuhkan rasa aman dan nyaman pada diri siswa. Hal ini berdampak positif pada prestasi siswa.
6.
Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran, baik secara fisik maupun psikologis.
11
1.4. Hakikat Pembelajaran Menurut Darsono (dalam Mufadillah:2011:19-20) hakikat pembelajran terbagi atas dua yaitu pembelajaran secara umum dan pembelajaran secara khusus. a. Pembelajaran Secara Umum Sesuai dengan pengertian belajar secara umum, yaitu bahwa belajar merupakan suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Maka pengertian pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. b. Pembelajaran Secara Khusus 1). Behavioristik Pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Agarterjadi hubungan stimulus dan respon (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan, dan setiap latihan yang berhasil harus diberi hadiah dan atau reinforcemens (penguatan). 2). Kognitif Pembelajaran adalah cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir agar dapat mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari. Hal ini sesuai dengan pengertian belajar menurut aliran kognitif yang menekankan pada kemampuan kognisi (mengenal) pada individu yang belajar. 3). Gestalt Pembelajaran menurut Gestalt adalah usaha guru untu kmemberikan materi pelajaran sedemikian rupa sehingga siswa lebih mudah mengorganisirnya (mengaturnya) menjadi suatu gestalt (pola bermakna). Bantuan guru diperlukan untuk mengaktualkan potensi mengorganisir yang terdapat dalam diri siswa.
12
4). Humanistik Pembelajaran adalah memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih bahan pelajaran dan cara mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya. 2. 4. Efektivitas Pembelajaran Menurut Slavin (2011:4) pengajaran efektif bukanlah masalah yang sederhana berupa orang yang mempunyi pengetahuan lebih banyak memindahkan pengetahuan itu pada orang lain. Sebaliknya, pengajaran yang efektif menuntut penggunaan banyak strategi. Menurut Slavin (2011:275) pelaksanaan pelajaran yang efektif adalah inti keahlian guru. Sebagaimnana dikatakan Chris Kyriachou, (2011:15) Pembelajaran efektif pada hakikatnya terkait dengan bagaimana seorang pengajar bisa berhasil mewujudkan pembelajaran yang dikehendakinya melalui aktivitas pendidikan tertentu. Jadi, Efektivitas pembelajaran merupakan tingkat keberhasilan pengajar dalam memeprtahankan minat belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam mengagas kualitas dan tugas pembelajaran efektif, yang menjadi persoalan adalah bagaimana secara efektif menata aspek-aspek pembelajaran dan membangun pengalaman belajar yang sedemikian rupa sehingga: a. Membangkitkan dan mempertahankan perhatian yang diajar, b. Memunculkan dan menjaga motivasi dan upaya mental yang diajar, dan c. Mengembangkan
tipe
pembelajaran
yang
diinginkan,
Kyriachou,
(2011:172). Menurut Kyriachou (2011:172) dalam mengamati pengajaran efektif, dibuat perbedaan pokok antara kualitas umum pembelajaran efektif dan komponen tugas
13
yang tercakup. Dimana kualitas mengacu pada aspek luas pembelajaran yang dipandang penting dalam menentukan efektivitasnya, sedangkan tugas mengacu pada aktivitas dan praktik yang tercakup dalam pembelajaran. Slavin (dalam Bito: 2009:46-47) menyatakan bahwa keefektifan pembelajaran terdiri dari empat indikator, yaitu: a.
Quality of instruction (kualitas pembelajaran), yaitu seberapa besar informasi yang disampaikn sedemikian hingga siswa dapat mempelajarinya dengan mudah. Kualitas pembelajaran sebagian besar merupakan produk dari kualitas kurikulum dan pembelajaran itu sendiri.
b.
Appropriate levels of instruction (kesesuaian tingkat pembelajaran), yaitu sejauh mana guru memastikan tingkat kesiapan siswa untuk mempelajari informasi baru dimana siswa harus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang berkaitan dengan informasi tersebut. Dengan kata lain, materi pembelajaran yang diberikan tidak terlalu sulit atau tidak terlalu mudah.
c.
Incentive (insentif), yaitu seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar dan mempelajari materi yang disajikan.
d.
Time (waktu), yaitu lamanya waktu yang diberikan kepada siswa untuk mempelajari materi yang disajikan. Pembelajaran akan efektif jika siswa dapat menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan waktu yang ditentukan. Sedangkan menurut Kemp (dalam Bito: 2009:47) mengemukakan bahwa
cara mengukur keefektifan pembelajaran diawali dengan mengajukan pertanyaan: apa yang telah dicapai siswa? Untuk menjawab ini dapat dilihat dari berapa jumlah siswa yang berhasil mencapai tujuan belajar dalam waktu tertentu. Mengukur keefektifan suatu pembelajaran dilihat dari seberapa besar jumlah siswa
14
yang berhasil mencapai tujun belajar dalam waktu tertentu, hal ini sangat bergantung pada kemampuan guru menjelaskan atau kemampun guru untuk mentransfer sutu ilmu pengetahuan kesiswa dan kemampuan siswa dalm menerima suatu ilmu pengetahuan dalam waktu tertentu. Kemampaun siswa dalm menerima materi pelajaran seringkali bergantung pada minat siswa itu untuk menerima pelajaran, sehingga minat beljar itu juga berpengaruh pada keefektifan pembelajaran seperti yang dikemukakan oleh Diamond (dalam Bito: 2009: 47-48) berpendapat bahwa keefektifan juga dapat diukur dengan melihat minat siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Sedangkan Suherman (dalam Bito: 2009: 48) menyatakan bahwa minat mempengaruhi proses hasil belajar siswa. Hal ini memberikan gambaran bahwa minat siswa dalam menerima pelajaran sangat berpengaruh pada proses pembelajaran yang efektif. Selain itu, Eggen dan Kauchak (dalam Bito: 2009:48) mengatakan bahwa efektivitas pebelajaran ditandai dengan keaktifan siswa dalam pembelajaran, khususnya dalam pengorganisasian dan penemuan informasi. Dalam mengefektifkan pembelajaran, siswa dituntut untuk berpern aktif dalam proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, semakin aktif siswa dalam pembelajaran, semakin efektif pula pembelajaran yang dilaksanakan. Dari beberapa pendapat, Bito (2009:48-49) menyimpulkan bahwa keefektifan pembelajaran didasarkan atas empat indikator yaitu: (a) ketercapaian keefektifan kemampuan guru mengelola pembelajaran, (b) ketercapaian keefektifan aktivitas siswa, yaitu pencapaian waktu ideal yang digunakan siswa untuk
melakukan
setiap
kegiatan
termuat
dalam
rencana
pelaksanaan
pembelajaran dengan toleransi 5%, (c) respon siswa terhadap pembelajaran yang
15
positif terdapat rata-rata persentase jawaban (respon) siswa untuk kategori senang, baru dan berminat lebih besar atau sama dengan 80%, dan (d) ketercapaian ketuntasan belajar (seorang siswa dinyatakan tuntas belajar bila memiliki daya serap paling sedikit 65% dari nilai total 100, sedangkan ketuntasan klasikal tercapai bila paling sedikit 80% siswa di kelas telah tuntas belajar).