BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Definisi Budaya Konsep dan definisi budaya sudah banyak dirumuskan oleh para ahli. Barangkali dapatlah dikatakan bahwa definisi budaya dan kebudayaanlah yang paling banyak disusun oleh para sarjana jika dibandingkan dengan definisidefinisi (ilmu) lainnya yang pernah diformulakan oleh para pakar. Para sarjana acapkali mendefinisikan budaya itu menurut visi dan rumusan mereka sendirisendiri sehingga lahirlah konsep dan definisi tentang budaya dan kebudyaan dengan versi yang beraneka ragam. Konsep dan definis budaya sudah sangat banyak, sama banyaknya dengan para ahli yang telah pernah mendefinisikannya. Namun, meski demikian penulis merasa perlu untuk mencatumkan definisi yang sesuai agar fokus pikiran dalam penulisan karya ilmiah ini dapat lebih terarah sesuai dengan yang diharapkan. Seorang pakar bernama, J. Verkuyl (dalam Ismail, 2004: 9) menulis bahwa kata budaya, merupakan bahasa sansekerta budaya, yakni bentuk jamak dari budi yang berarti roh atau akan. Sedangkan perkataan kebudayaan menyatakan: segal sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia. Ketika menyinggung budaya, maka selalu diikuti dengan padanan kata imbuhannya yakni kebudayaan, karena keduanya secara substansi sama. Seorang pakar di Indonesia, yakni Koentjaraningrat (2000: 10), mempunyai pandangan yang serupa dengan pandangan Verkuyl. Bahwa kata budaya atau kebudayaan itu tidak lain berasal dari bahasa Sansekerta budhayah, yang merupakan bentuk jama
15
dari buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian. budaya atau kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Senada kedua pendapat tersebut, PJ. Zoetmulder dalam sebuah bukunya, Cultur, Oost en West, mengatakan bahwa kata kebudayaan itu adalah suatu perkembangan dari kata majemuk “budi daya” yang berarti kekuatan dari daya budi dan kekuatan dari daya akal. (dalam Ismail, 2004:10). Dalam hal ini, Faisal Ismail juga memberikan beberapa arti dari budaya dalam bahasa lain, diantaranya: Dalam bahasa Inggris, istilah budaya atau kebudayaan disebut culture. Kata culture ini sendiri berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengola atau mengerjakan,” terutama mengelola tanah atau bertani. Dari arti ini, berkembanglah arti culture sebagai segaa daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Instilah cuture (Inggris) telah di Indonesiakan menjadi kultur, yang pengertiannya sama dengan kebudayaan, atau bila ditulis secara singkat menjadi budaya. Istilah ini juga dalam bahasa Arab disebut juga dengan tsaqafah. Ki Hajar Dewantara (dalam Supartono, 2001: 34) mengungkapkan, kebudayaan berarti buah budi manusia yang berasal dari hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam kodrat (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Disamping itu, kebudayaan (Indonesia) dirumuskan di dalam UUD 1945, Pasal 32 yang berbunyi “pemerintah memajukan kebudayaan nasional indonesia,” dan didalam penjelasan UUD 1945, Pasal 32 dinyatakan:
15
“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budnya rakyat indonesia seluruhnya. Kebudayaan yang lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan didaerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan itu harus menuju ke arah kemajuan adab budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. (Mansoer Pateda, dkk, 2010: 6).
Dari definisi yang telah ada, dikatakan bahwa budaya merupakan segalah sesuautu yang diciptakan oleh akal budi manusia. Jadi, kebudayaan adalah khas manusia, bukan ciptaan binatang ataupun tanaman yang tidak mempunyai akal budi. Binatang memang mempunyai tingka laku tertentu sesuai dengan getaran instingnya atau bisikan naluri pembawaannya yang berguna untuk memelihara kelangsungan hidupnya. Makanya binatang tidak mempunyai budaya. Manusia (masyarakat) dan budaya tidak bisa dipisahkan karena keduanya merupakan jalinan yang saling erat berkait. Budaya atau kebudayaan tidak akan ada tanpa masyarakat (manusia) dan tidak ada satu kelompok manusia pun, betapa terasing dan bersahajanya hidup mereka yang tidak mempunyai budaya. Semua kelompok masyarakat (manusia) pasti memiliki kebudayaan, karena manusia merupakan subjek budaya. Yang berbeda hanyala tingkat dan taraf kebudayaan yang dipunyai oleh masing-masing kelompok manusia atau masyarakat. Mereka yang tinggal di pedalaman dan pesisir pasti berbeda budaya, di desa dan perkotaan juga berbeda. Nah perbedaan ini dapat dilihat dalam penelusuran tentang nilai budaya itu sendiri.
15
2.2 Nilai Budaya Manusia adalah mahluk sosial sekaligus mahluk budaya. Dalam hal ini sebagai mahluk sosial, manusia selalu memiliki dorongan untuk hidup dan berinteraksi dengan sesamanya. Manusia selalu membutuhkan manusia lain dalam memenuhi
kebutuhannya
baik
kebutuhan
sosial
dan
ekonomi
dalam
mengembangkan hidup maupun kebutuhan seksual dalam usaha mengembangkan keturunan. Dalam proses interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhannya itulah terjadi interaksi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Dan dalam interaksi itulah diperlukan patokan-patokan nilai dan norma yang mendasari dan mengatur hubungan antara sesama manusia tersebut. Dengan pengertian lain, tak ada interaksi yang harmonis pada individu dalam kelompok bila tak ada nilai dan norma yang mengaturnya. Sehingga benar apa yang diungkap Celcius (dalam Lasambu :24) mengungkapkan, dalam interaksi antar sesama individu dalam masyarakat berlaku prinsip “Ubi sosietes, ibi ius”, atau dimana ada masyarakat disana ada hukum. Hukum disini adalah norman-norma, atau nilai-nilai untuk mengatur antar hubungan sosial manusia. Bahkan dapat dikatakan, tiada hubungan sosial tanpa nilai-niai, dan tiada nilai-nilai tanpa hubungan sosial. Pengertian ini menekankan bahwa didalam hubungan sosial mutlak adanya nilai-nilai. Sedangkan nilai-nilai yang sudah mapan dalam kehidupan sosial masyarakat dikenal sebagai nilai-niai budaya masyarakat. Nilai ini dalam etika dikenal terutama nilai rohani yaitu yang baik, yang benar dan yang indah. Kesadaran tentang nilai ini, menjaga dan memelihara
15
supaya eksitensi manusia itu tetap berada pada tingkatan kemanusiaan. Dikatakan bahwa hati nurani adalah penjumlahan dari pengertian tentang nilai dalam pribadi manusia, sedangkan pribadi itu adalah penilaian yang tinggi. Meriyanti (2006:15) menyatakan bahwa nilai dapat disebut sebagai ukuran sikap dan perasaan atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik, buruk, benar, suka atau tidak suka terhadap suatu objek baik material maupun non material. Selanjutnya 4 (empat) ciri-ciri nilai sosial itu yakni: 1. Nilai merupakan kontruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi diantra anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial bukan secara biologi atau bawahan sejak lahir. Selalu untuk sedapat mungkin bersifat konfrom berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah. 2. Nilai dipelajari, nilai dicapai dan bukan bawaan lahir. Proses belajar dan pencpaian nilai-nilai itu dimulai sejak masa kekanak- kanakan dalam keluarga mlalui sosialisai. 3. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Nilai di setujui yang telah diterima secara sosial itu menjadi dasar bagi tindkan dan tingkah laku bagi secara pribadi atau goup dan masyarakat keseluruhan.. Nilai juga membantu masyarakat agar dpat berfungsi dengan baik tanpa suatu sistem nilai, masyarakat akan menjadi kacau. Oleh karena itu sistem nilai sosial di pandang penting oleh masyarakat khususnya untuk pemeliharaan kemakmuran dan kepusan sosial bersama. 4. Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak dimana terdapat konsensus sosial tentang harga relative dari objek dalam masyarakat nilai-nilai secara koseptual kerjanya merupakan suatu penyusuaiyan trehadap ekonomi yng berorientasi pada uang, (Meriyani, 2006: 15-17).
Disamping itu, nilai juga bisa katakan sebagai cita-cita kebenaran bahkan adalah kebenaran itu sendiri. Dalam istilah lain nilai itu sebagai suatu yang dianggap paling oleh seseorang untuk dirinya sendiri. Yang dianggap paling baik itu berada dalam setiap manifestasi sikap individu dalam setiap interaksi dengan individu manusia lain. Sehingga dengan demikian, nilai dapat menjadi pedoman bersikap dan berperilaku, dapat menjad motor penggerak atau menjadi motivasi dasar dari seluruh tindakan manusia, baik untuk mencapai pemenuhan lahir
15
maupun batin. Dalam hal ini nilai yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat itu dapat dikatakan sebagai nilai yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat. Dan nilai seperti itulah yang dimaksud dengan nilai budaya. Telah diketahui bahwa dalam posisi manapun sistem nilai budaya itu diletakkan dalam rangka kebudayaan suatu masyarakat, akan tetap berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakatnya. Menurut Abdul Syani (1995: 30), salah satu wujud kebudayaan sebagaimana yang telah diuraikan di atas yaitu wujud sistem sosial yang terdiri dari aktivitas manusia yang berintegrasi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Oleh karena itu, maka kehidupan masyarakat dan kebudayaan itu selalu berubah sebagai akibat dari perubahan sosial atau karena pengaruh dari dinamika sosial yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakatnya. Perubahan itu berkenaan dengan realitas manusia sebagai dinamika. Perubahan atau perkembangan kebudayaan manusia itu baik kuantitas maupun kualitasnya hanyalah menyangkut wujud dari isi pokoknya saja. Sistem nilai budaya yang telah dianutnya pada hakekekatnya sulit untuk berubah apalagi dalam waktu yang singkat. Perubahan atau perkembangan wujud dan isi kebudayaannya pun dapat terjadi sepanjang tidak menyimpang dari sistem nilai budaya tersebut.
15
Menurut Koentjaraningrat (2000: 25), sebagian dari adat istiadat dan wujud ideal dari kebudayaan, sitem nilai budaya seolah-olah berada diluar dan di atas dari para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi itu telah lama berakat dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Salah satu nilai budaya yang lahir dari hasil cipta dan karsa manusia adalah Gotong Royong. Dalam bahasa Bolaang Mongondow, yang dipakai masyarakat Desa Insil, Kecamatan Passi Timur, nilai budaya gotong royong ini dikenal dengan Mododuluan atau saling bahu-membahu, saling bantu membantu, dan lain sebagainya. 2.3. Mododuluan di Bolaang Mongondow Mododuluan atau saling bantu-membantu merupakan salah satu bentuk solidaritas khas masyarakat agraris tradisional. Masyarakat ini terkait satu sama lain berdasarkan relasi sosial yang disebut dengan kepercayaan. Dalam pelaksanaanya biasanya masyarakat menjalin sebuah kerja sama demi tujuan bersama. Dilihat secara aspek sosiologis yang ditimbulkan oleh pola ini adalah, menjadikan masyarakat yang saling hidup berinteraksi mempunyai jiwa persatuan dan kesatuan yang berlandaskan dengan kebersamaan. Hal ini lah yang menjadikan seluruh elemen masyarakat kuat dalam konsolidasi diseluruh elemen masyrakat.
15
Secara umum gotong royong menjadikan kehidupan berkelompok manusia Indonesia lebih berdaya dan sejahtera. Karena dengan gotong royong berbagai permasalahan kehidupan bersama bisa terpecahkan secara mudah dan murah, demikian halnya dengan kegiatan pembangunan masyarakat. Implementasi nilai gotong royong dalam kehidupan masyarakat terkandung makna kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kepedulian, dan mengacu kepada kepentingan bersama. Oleh karena itu ada aspek pemberdayaan dalam gotong royong (Rochmadi, 2012:1). Budaya gotong royong adalah cerminan perilaku yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Bilamana dilakukan kajian di seluruh wilayah Indonesia, maka akan ditemukan praktek gotong royong tersebut dengan berbagaimacam istilah dan bentuknya, baik sebagai nilai maupun sebagai perilaku. Abdurahmat Fathoni (2006: 67) memberikan gambaran cukup lugas tentang gotong royong ini; Gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan pada masa-masa sibuk dalam aktivitas yang memerlukan tenaga banyak, misalnya dalam rangka bercocok tanam. Untuk keperluan itu, dengan adat sopan santun yang sudah tetap, seorang petani meminta beberapa orang lain sedesanya, misalnya untuk membantu dalam mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru. Petani tuan rumah hanya harus menyediakan makan siang tiap hari untuk temannya yang datang membantu selama pekerjaan berlangsung. Kompensasi lain tidak ada, tetapi yang minta bantuan tadi, tiap saat bersedia apabila mereka memerlukan bantuannya.
15
Bagi masyarakat Bolaang Mongondow, gotong royong dikenal dengan kata Mododuluan atau Mokidulu. Secara harfiah, Mododuluan atau Mokidulu ini berasal dari kata Modulu yang berarti membantu atau menolong. Sedangkan Mododuluan berarti saling menolong atau saling membantu, sedangkan Mokidulu artinya meminta bantuan. Untuk kata mododuluan di daerah Bolaang Mongondow, sesuai dengan artinya saling membantu atau saling tolong menolong, menekankan adanya timbal balik. Jadi seseorang yang pernah meminta tolong harus bersedia juga untuk dimintai pertolongan suatu saat kelak. Bernard Ginupit (t.t, hal: 13) mengungkapkan, mododuluan atau gotong royong di Bolaang Mongondow, juga identik dengan pogugat (persaudaraan), yang terbagi dalam 3 jenis ya itu : 1.
2. 3.
Pototoluadi (kerabat, sanak famili) - gotong royong terjadi karena hubungan kekerabatan. Biasanya digunakan pada upacara pernikahan dan upacara – upacara lainnya. Tonggolipu (sekampung) -- gotong royong ini tampak pada acara kematian, pembangunan sekolah, rumah, dan tempat – tempat ibadah. Posad atau Mokidulu ( gotong royong bercocok tanam ).
Secara umum sistem Gotong Royong pada masyarakat Bolaang Mongondow dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.3.1 Pogogutat Bernar Ginupit menuliskan, bahwa pogugutat berasal dari kata utat yang berarti : saudara (kandung, sepupu). Pototolu adi’ asal kata : tolu adi’ (motolu adi’) yang berarti : ayah, ibu dan anak-anak (beranak). Contoh Pogugutat: bila ada keluarga yang hendak mengadakan pesta pernikahan anak, maka sesudah didapatkan kesepakatan tentang keluarga, bahkan seluruh kepada seluruh anggota
15
kasyarakat dalamsatu desa. Dua atau tiga hari sebelum pelaksanaan pernikahan, berdatanglah kaum keluarga, tetangga, warga desa,
dibawa kordinator
pemerintahan guhanga/ kepala adat, ketua rukun dan lain-lain. Membantu kelancaran pelaksanaan pesta. Kaum pria membawa bahan: bambu, atau rumbia, tali rotan, tali ijuk tiang pancang dan bahan-bahan yang lain untuk mendirikan bangsal. Ada yang membawa gerobak yang berisi kayu api, tempurung, sabut kelapa dan lain-lain untuk memasak. Pada saat mendekatai hari pernikahan, para remaja pemuda (pria dan wanita) dalam membantu meminjam alat-alat memasak, makan perlengkapan meja makan, menghiasi bangsal puadai dan lain-lain. Ada juga yang membantu persiapan di dapur, mengolola rempah-rempah dan lain-lain. Suasana diliputi kegembiraan tawa dan galak terdengar. Pada saat melaksanakan pesta nikah, para remaja pemuda itu membantu pelayanan kepada para tamu undangan kaum wanita, pada sore hari menjelang malam bedatangan membawa: beras, ayam, minyak kelapa, minyak tanah, rempah-rempah, gula putih, gula merah dan lain sebagainya keperluan dapur. Semua bahan-bahan yang dibawa baik kaum pria maupun wanita, adalah berupa sumbangan ikhlas tanpa menuntut imbalan karena rasa kekeluargaan yang besar dan tanpa menuntut imbalan karena rasa kekeluargaan yang besar dan rasa teloransi yang tinggi (unsur persatuan dan kesatuan demi kesejahteraan bersama).
15
2.3.2 Tongo Lipu Bernart
Ginupit
dalam
catatanya:
Kebudayaan
daerah
Bolaang
Mongondow, Tongo Lipu yang berarti : desa, kampung, rumah ibadah, jalan jembatan, rumah tempat tinggal dan lain-lain. Maka seluruh anggota masyarakat secara serentak mengajarkan dan menyelesaikan pekerjaan yang dimaksud tanpa ada paksaan tapi atas kesadaran sendiri. Kaum wanita datang membawa makanan dan minuman. Dalam kegiatan sepeti ini, bahan dan ramuan sudah disediakan terlebih dahulu seperti bahan bangunan dan lain-lain. Bila ada anggota masyarakat yang meninggal, maka para tetangga serempak berkumpul untuk membuat banggsal dan menyediakan tempat duduk dan membantu pekejaan sampai selesai. Dahulu ada keluarga yang bekunjung
waktu malam untuk menghibur mereka yang
berduka sambil mengadakan beberapa permainan seperti mondatu, maknotan, mokensi, monangki, dan lain-lain. Kegiatan itu diadakan sampai 7 atau 14 malam, selama tongguluan (tempat tidur berhias) masih belum dikeluarkan. Kini acaraacara posad atau mokidulu: posad berarti saling membantu. Umumnya posad ini sudah berbentuk organisasi dengan sejumlah anggota sesuai keperluan. Anggota posad mengerjakan sesuatu secara besama-sama dalam arti saling berbalasan. Bekerja membersikan kebun bersama-sama dengan ketentuan, setiap anggota kelompok akan akan mendapat giliran kebunya dibersihkan. Dalam posad biasanya ada sanksi yaitu, anggota yang tidak aktif akan dikeluarkan dari posad beberapa ketentuan sesuai kesepakatan, misalnya: setiap
15
anggota posad dalam melaksanakan pekerjaan ada yang membawa bekal sendiri, tapi ada juga
makanya disediakan oleh tuan rumah.
Agak berbeda dengan
mokidulu (minta bantua), seseorang minta bantuan tenaga dari sejumlah teman untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, ada secara sukarela, ada pula yang mengharapkan untuk dibalas. 2.4 Konsep Pergeseran Menurut Abdurahmat Fathoni (2005: 23-24), diantara konsep yang terpenting ada yang mengenai prose belajar kebudayaan oleh warga masyarakat yang bersangkutan, yaitu internalisasi, sosialisasi, dan akulturasi. Ada juga proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya yang sederhana, sehingga bentuk-bentuk yang lama semakin kompleks yaitu evolusi kebudayaan, kemudian ada proses penyebaran kebudayaan secara geografis, terbawah oleh perpindahan bangsa-bangsa dimuka bumi yaitu proses difusi, proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh suatu masyarakat yaitu proses akuluturasi dan asimilasi. Akhirnya proses pembaharuan atau inovasi yang sangat erat sangkut pautnya dengan penemuan baru dan invention. Terjadinya pergeseran pada nilai suatu budaya pasti akan mengarah pada proses perubahan kebudayaan itu sendiri. Dimana perubahan itu berarti suatu proses yang mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan keadaan sebelunya, perubahan ini bisa berupa kemunduran, bisa juga berupa kemajuan Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dalam arti luas maupun perubahan dalam arti yang sempit, ataupun perubahan
15
dalam arti cepat maupun lambat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa luasnya bidangbidang yang mungkin mengalami perubahan. Oleh karena itu perubahan dalam masyarakat berarti juga perubahan pada kebudayaan, maka tidak muda untuk mengemukakan batasannya secara ringkas dan terperinci karena bidang kajiannya cukup luas. Memang benar, eksistensi nilai budaya yang telah lama mengakar dalam diri masyakat yang berbudaya bisa saja dipertahankan. Namun dengan kondisi dan situasi sosial masyarakat saat ini yang sangat labil dan sering diterpa badai modernis maka kemungkinan terjadinya degradasi nilai budaya akan semakin terbuka. Sejalan dengan ini, William F. Ogburn (dalam Soerjono, 2002: 303) mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial itu bisa meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa pergesera nilai-nilai budaya dalam konteks sosial juga bukan hanya mempengaruhi hal-hal yang bersifat materil akan tetapi juga yang bersifat no materil. Tekait dengan perubahan atau pergeseran di masyarakat ini, Gillin dan Gillin (dalam Soerjono, 2002: 305) mengungkapkan, bahwa pergeseran atau peruabahan nilai-nilai sosial sebaga suatu variasi dan cara hidup yang telah diterima. Hal ini bisa karena dipengaruhi oleh faktor perubahan kondisi geografis,
15
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Sehingganya berdasarkan definisi yang sudah dikemukan tersebut, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa kebudayaan dari suatu masyarakat tidak akan bertahan lama atau selamanya oleh karena perkembangan dari suatu masyarakat tidak terlepas dari kondisi perkembangan suatu budaya disekitarnya. Perubahan-perubahan dalam nilai budaya ini akan terus ada selama pengaruh internal dan eksternal tidak pernah mati. Untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh mengenai beberapa konsep dan bentuk dari pergeseran nilai budaya ini, maka hal tersebut penulis uraikan secara spesifik pada paragraf selanjutnya. Sebagaimana diketahui bahwa terbentuknya sekumpulan manusia yang sering disebut masyarakat pada umumnya oleh adanya proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang sering disebut asimilasi dan akulturasi. Selain pencampuran maka perkembangan masyarakat juga sering diwarnai oleh proses sosial yang disebut dengan inovasi atau penemuan baru. Dalam kajian antropologi dan sosiologi pada umumnya konsep asimilasi, akuluturasi dan inovasi digunakan untuk mengidentifikasi keaslian budaya dari kelompok tertentu. Untuk lebih mengenal dan memahami konsep tersebut maka dibawah ini ketiga hal itu akan diuraikan secara terpisah berdasarkan pandangan para ahli.
15
2.4.1 Akulturasi Sosial Science Research Council (dalam Harsojo, 1999: 163) merumuskan bahwa akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil, jika kelompokkelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus, yang kemudian menimbulkan erubahan dalam pola kebudayaan yang original dan salah satu kelompok atau pada kedua-duanya. Koentjaraningrat (2000: 202) mendefinisikan akulturasi sebagai berikut: Istilah akulturasi atau accutulturation atau cultur contact mempunyai beberapa arti di antara para sarjana antropologi, tetapi semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Selanjutnya, Koentjaraningrat (2000: 205) mengemukakan setidaknya lima hal yang perlu diperhatikan dalam mengamati proses akulturasi dalam masyarakat diantaranya: 1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai jalan 2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing, 3. Saluran-salursan yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk kedalam kebudayaan lama, 4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsurunsur kebudayaan asing tadi, 5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing. Selanjutnya, Krober (dalam Harsojo, 1999: 164) mengatakan, bahwa akulturasi meliputi berbagai perubahan dalam kebudayaan yang disebabkan oleh
15
adanya pengaruh dari kebudayaan lain, yang akhirnya menghasilkan makin banyaknya persamaan pada kebudayaan itu. Pengaruh itu bisa bersifat timbal balik, atau pengaruh itu lebih kuat dari satu pihak saja. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa akulturasi merupakan proses pencampuran antara dua kebudayaan, yakni kebudayaan lokal dan kebudayaan asing tanpa menghilangkan identitas dari kebudayaan asing tersebut. 2.4.2 Asimilasi Harsojo (1999: 169) mengemukakan, bahwa asimilasi adalah suatu proses sosial yang telah lanjut dan ditandai oleh makin kurangnya perbedaan antara individu-individu dan antar kelompok-kelompok, dan makin eratnya persatuan aksi, sikap dan proses mental yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama. Jika individu telah terasimilasikan kepada satu kelompok tertentu, maka mereka akan kehilangan sifatnya yang khas, yang menempatkan mereka di luar kelompok, dan mereka mengidentifikasikan diri dengan anggota-anggota kelompok yang lain dan dengan kepentingan dan tujuan yang ditetapkan oleh kelompok-kelompok. Sedangkan Koentjaraningrat (2009: 209) mengemukakan bahwa: Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada: (a) Golongan-golonga manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, (b) Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu lama, sehingga (c), Kebudayaan-kebudayaan khas dari golongan-golongan tadi masingmasing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-unsurnya masingmasing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya, golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses 15
asimilasi adalah satu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Sehingganya, berdasarkan definisi-definisi para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa asimilasi adalah suatu kebudayaan baru yang mucul akibat terjadinya kontak, persentuhan, atau percampuran dua unsur kebudayaan yang berbeda, sehingga beberapa kebudayaan akibat percampuran tadi kehilangan sifat khasnya. 2.4.3 Inovasi dan Gempuran Modernisasi Koentjaraningrat (2009: 210) mengemukakan bahwa, “proses inovasi sangat erat kaitannya dengan penemuan baru dalam teknologi yang harus melalui tahap khusus yakni discovery dan invention”. Fathoni (2006: 33) mengungkapkan, inovasi adalah suatu proses pembaharuan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan tenaga kerja dan penggunaan tekhnologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi dan dibuatnya produk-produk baru. Dengan demikian, inovasi itu mengenai pembaharuan yang khusus, yaitu mengenai unsur teknologi dan ekonomi. Proses inovasi sudah tentu sangat erat sangkut pautnya dengan penemuan baru dalam teknologi. Suatu penemuan biasanya juga merupakan suatu proses sosial yang panjang melalui dua tahap khusus, yaitu discovery dan invention.
15
Suatu discovery adaah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat yang baru, suatu ide yang baru yang diciptakan oleh seseorang, atau beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Lahirnya berbagai inovasi atau pembaharuan ini, sejatinya tidak merupakan efek domino dari gempuran modernisasi. Dengan kondisi jaman yang sudah globalisasi, gempuran modernisasi ini tidak hanya berdampak bagi masyarakat perkotaan, namun terus merasuk masuk hingga ke sendi-sendi masyarakat pedesaan. Adanya kemajuan tehnologi, tidak bisa dinafikkan oleh masyarakat desa. Kemajuan tehnologi ini berimbas pada terjadi pergeseran beberapa nilai budaya yang sudah lama mengakar di tengah-tengah masyarakat. Mododuluan merupakan salah satu contoh nilai budaya di Bolaang Mongondow yang mengalami pergeseran akibat adanya inovasi dan gempuran tehnologi ini. Dahulu, misalnya, ketika seseorang membuka lahan untuk berkebun, maka dikerjakan dengan beramai-ramai oleh warga di daerah itu, mulai mencangkul, mokiparas (memangkas rumput), dan lain sebagainya itu dikerjakan secara bergotong-royong. Namun, saat ini akibat kemajuan teknologi, setelah adanya mesin pemangkas yang dinilai lebih cepat, yang punya kebun tidak lagi memanggil kerabat atau tentangganya untuk membantu dikebun, melainkan lebih senang menyewah. Dan menggantikan pekerjaan yang biasanya dikerjakan beramai-ramai itu dengan bantuan mesin.
15
15