BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1.
Pengertian Belajar Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan perilaku (Wina Sanjaya, 2009:112). Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari. Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat atau tidak dapat disaksikan. Hal itu hanya mungkin dapat disaksikan dari adanya gejala-gejala perubahan perilaku yang tampak. Menurut Gagne (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 10), belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut dari stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar. Sehingga belajar menurut Gagne adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Menurut Gagne belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi internal, dan hasil belajar. Hilgard (Wina Sanjaya, 2009: 112), menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Dengan demikian belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (Oemar Hamalik, 2005:27). Dari pengertian ini, maka belajar merupakan suatu 8
proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan. Menurut Mayer pengertian belajar sebagai perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan dan perilaku seseorang yang diakibatkan oleh pengalaman (Benny A Pribadi, 2009: 8). Pengalaman yang sengaja didesain untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang akan menyebabkan berlangsungnya proses belajar. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan beraksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungan dan dunia nyata. Melalui proses belajar seseorang akan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang lebih baik. 2. Matematika Istilah matematika berasal dari bahasa latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti “relating to learning”. Perkataan tersebut mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science) (Erman Suherman, 2003:15). Menurut James dan James (Erman Suherman, 2003: 16) mengemukakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Sedangkan, Johnson dan Rising (Erman Suherman, 2003: 17) mengatakan bahwa bahwa matematika adalah pola berpikir, 9
pola mengorganisasi, pembuktian yang logis. Matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika yang berkenaan dengan simbol mengenai ide, struktur, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya yang diatur menurut urutan yang logis. Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Matematika diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Menurut Erman Suherman (2003: 58), tujuan diberikannya matematika mulai dari sekolah dasar adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien, dengan kata lain memberikan penekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa. Tujuan yang lain adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan seharihari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
10
3. Pembelajaran Matematika Proses belajar mengajar dengan segala interaksi di dalamnya disebut pembelajaran. Menurut Patricia L. Smith dan Ragan mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan pengembangan dan penyampaian informasi dan kegiatan yang diciptakan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan spesifik (Benny A Pribadi, 2009: 9). Pembelajaran matematika bagi para siswa merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian-pengertian itu. Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan informasi misalnya melalui persamaan-persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya. NCTM (National Coucil of Teachers of Mathematics) merekomendasikan 4 (empat) prinsip pembelajaran matematika (Erman Suherman, 2003:298), yaitu : a. Matematika sebagai pemecahan masalah, b. Matematika sebagai penalaran, c. Matematika sebagai komunikasi, dan d. Matematika sebagai hubungan. Matematika perlu diberikan kepada peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, 11
kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (Depdiknas, 2006: 396) menyebutkan pemberian mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasi konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan/masalah. e. Memiliki sifat menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu: memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam pelajaran matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Tujuan pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah memberikan penekanan pada penataan latar dan pembentukan sikap siswa. Tujuan umum adalah memberikan penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam membantu mempelajari ilmu pengetahuan lainnya. Fungsi mata pelajaran matematika sebagai: alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan (Erman Suherman, 2003:56). Fungsi matematika yang selanjutnya adalah sebagai ilmu atau pengetahuan, dan tentunya pengajaran matematika di sekolah harus diwarnai oleh fungsi yang ketiga ini. Guru disadarkan akan perannya sebagai motivator dan pembimbing siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah.
12
4. Hasil Belajar Setelah suatu proses belajar berakhir, maka siswa memperoleh suatu hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 4). Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal atau puncak proses belajar. Hasil belajar, untuk sebagian adalah berkat tindak guru, suatu tujuan proses pengajaran. Pada bagian yang lain, merupakan peningkatan kemampuan mental siswa. Hasil belajar tersebut dapat dibedakan menjadi dampak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil yang dapat diukur, seperti tertuang dalam angka rapor, angka dalam ijasah, atau kemampuan meloncat setelah latihan. Dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain, suatu transfer belajar. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan (Oemar Hamalik, 2005: 27). Sedangkan hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, abilitas, dan keterampilan (Oemar Hamalik, 2005: 31). Merujuk pemikiran Gagne (Agus Suprijono, 2010: 5-6), hasil belajar berupa: a. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan. b. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, 13
kemampuan analisis-sintesis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas. c. Startegi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. d. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilainilai sebagai standar perilaku. Menurut Bloom (Agus Suprijono, 2010: 6-7), hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial,
14
dan intelektual. Sementara menurut Lindgren (Agus Suprijono, 2010: 7), hasil pembelajaran meliputi kecakapan, infomasi, pengertian, dan sikap. Tujuan pembelajaran (Nana Sudjana, 2004: 49-54) yang ingin dicapai dapat dikategorikan menjadi tiga bidang yakni bidang kognitif (penguasaan intelektual), bidang afektif (berhubungan dengan sikap dan nilai) serta bidang motorik (kemampuan/keterampilan bertindak/berperilaku). Ketiga aspek tersebut dipandang sebagai hasil belajar belajar siswa dalam pembelajaran. Berikut ini unsur-unsur yang terdapat dalam ketiga aspek hasil belajar tersebut: a. Hasil belajar bidang kognitif 1) Hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge) Cakupan dalam pengetahuan hafalan termasuk pula pengetahuan yang sifatnya faktual, disamping hal-hal yang perlu diingat kembali seperti batasan, peristilahan, pasal, hukum, bab, ayat, rumus, dan sebagainya. 2) Hasil belajar pemahaman (comprehention) Pemahaman memerlukan kemampuan menangkap makna atau arti dari suatu konsep. Untuk itu maka diperlukan adanya hubungan atau pertautan antara konsep dengan makna yang ada dalam konsep tersebut. 3) Hasil belajar penerapan (aplikasi) Aplikasi adalah kesanggupan menerapkan dan mengabstraksi suatu konsep, ide, rumus, hukum dalam situasi yang baru. Misalnya, memecahkan persoalan dengan menggunakan rumus tertentu, menerapkan suatu dalil atau hukum dalam suatu persoalan.
15
4) Hasil belajar analisis Analisis adalah kesanggupan memecahkan atau mengurai suatu integritas (kesatuan yang utuh) menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian yang mempunyai arti atau mempunyai tingkatan atau hirarki. 5) Hasil belajar sintesis Sintesis adalah lawan dari analisis. Bila pada analisis tekanan pada kesanggupan menguraikan suatu integritas menjadi bagian yang bermakna, pada sintesis adalah kesanggupan menyatukan unsur atau bagian menjadi satu integritas. 6) Hasil belajar evaluasi Evaluasi adalah kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan judgment yang dimilikinya dan kriteria yang dipakainya. Dalam tipe ini, tekanan pada pertimbangan sesuatu nilai mengenai baik tidaknya, tepat tidaknya dengan menggunakan kriteria tertentu. b. Hasil belajar bidang afektif Bidang afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam bernagai tingkah laku seperti atensi/perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar, dan lain-lain. Beberapa tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dan tipe hasil belajar dari yang sederhana sampai yang kompleks adalah sebagai berikut: 1) Receiving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang pada siswa. 16
2) Responding/jawaban, yakni reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. 3) Valuing/penilaian, yakni berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi. 4) Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. 5) Karakteristik nilai/internalisasi nilai, yakni keterpaduan dari semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. c. Hasil belajar bidang psikomotor Hasil belajar bidang psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu (seseorang) ada enam tingkatan yakni: 1) Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar). 2) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar. 3) Kemampuan perseptual termasuk di dalamnya membedakan visual, auditif, motoris, dan lain-lain. 4) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan. 5) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks. 6) Kemampuan yang berkenaan dengan non decursive komunikasi seperti gerakan ekspresif dan interpretatif. 17
Dari beberapa pendapat tersebut, jadi hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja, yakni kemampuan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Hasil belajar terdiri dari hasil belajar kognitif, hasil belajar afektif, dan hasil belajar psikomotorik yang tidak dilihat secara terpisah melainkan secara komprehensif. 5. Efektivitas Pembelajaran Proses belajar dan mengajar dalam pembelajaran baik siswa maupun guru bersama-sama menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Pelaksanaan proses belajar mengajar matematika akan bermakna jika materi yang diberikan guru kepada siswa dapat dimengerti. Perlu proses dan cara yang tepat agar pembelajaran yang diberikan dapat dimengerti oleh siswa, salah satunya menciptakan pembelajaran yang efektif. Proses pembelajaran akan efektif jika dalam pelaksanaannya sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun, suasana kelas yang kondusif dan penggunaan metode pembelajaran yang sesuai. Kriteria efektivitas menunjuk kepada sejauh mana suatu program dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Peterson (Slamet Soewandi, 2005: 44), mengatakan bahwa efektivitas pembelajaran lebih ditekankan pada hasil, yaitu banyaknya hasil belajar yang dapat dicapai, jangka waktu pencapaiannya dan jangka waktu bertahannya sesuatu.
18
Menurut Slameto (2003: 92) pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa belajar siswa efektif. Pembelajaran akan efektif jika waktu yang tersedia untuk kegiatan ceramah guru sedikit, sedangkan waktu terbanyak adalah untuk kegiatan intelektual dan untuk pemeriksaan pemahaman siswa. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang efektif diperlukan syarat-syarat antara lain: (a) guru harus banyak menggunakan metode dalam mengajar, (b) guru mempertimbangkan perbedaan individual, (c) guru selalu membuat perencanaan sebelum mengajar, (d) guru harus menciptakan suasana yang demokratis, (e) guru perlu memberikan masalah-masalah yang merangsang untuk berpikir, (f) semua pelajaran yang diberikan perlu diintegrasikan sehingga saling memiliki pengetahuan yang terintegrasi, (g) pelajaran yang diberikan di sekolah perlu dihubungkan dengan kehidupan nyata di masyarakat, serta (h) dalam interaksi belajar mengajar, guru harus banyak memberikan kebebasan pada siswa untuk dapat menyelidiki sendiri, mengamati sendiri, belajar sendiri, dan pemecahan masalah sendiri. Nana Sudjana (2002: 34-35) mengungkapkan bahwa suatu pembelajaran efektif dapat ditinjau dari segi proses dan hasilnya. Dari segi proses, suatu pembelajaran harus merupakan interaksi dinamis sehingga siswa sebagai subjek belajar mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya secara efektif. Dari segi hasil, pengajaran haruslah menekankan pada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa, baik secara kualitas maupun kuantitas. Keefektifan proses pengajaran dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu (1) perencanaan pengajaran; (2) adanya motivasi; (3) penggunaan media dan metode yang beragam; (4) adanya koreksi terhadap siswa secara mandiri; (5) tidak mengesampingkan perbedaan individual; 19
dan (6) suasana pembelajaran yang menyenangkan dan merangsang siswa untuk belajar. Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah kesesuaian antara hasil yang dicapai pada saat pembelajaran dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Efektivitas pembelajaran ditunjukan oleh tingkat pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Aspek keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian siswa pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Efektivitas
pembelajaran
matematika
dapat
dilakukan
dengan
cara
memberikan soal atau test pada siswa untuk mengukur kemampuan siswa dalam menguasai pelajaran matematika yang telah disampaikan guru. Nilai yang didapat kemudian dilihat apakah sudah mencapai KKM apa belum, setelah itu melihat berapa banyak siswa dalam suatu kelas yang telah mencapai KKM. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP Negeri 4 Yogyakarta secara individual, siswa dikatakan tuntas belajar matematika apabila telah mencapai nilai KKM yaitu 71, sedangkan secara klasikal dikatakan tuntas apabila 75% dari jumlah siswa telah mencapai nilai KKM. Jadi pembelajaran matematika di SMP Negeri 4 Yogyakarta dikatakan efektif jika ketuntasan belajar siswa secara klasikal minimal 75% dari jumlah siswa yang mencapai KKM. 6. Metode Pembelajaran Kooperatif Metode berasal dari Bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Metode berkaitan dengan cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Metode berfungsi sebagai alat untuk 20
mencapai tujuan. Pengetahuan tentang metode-metode mengajar sangat diperlukan oleh para pendidik, sebab berhasil atau tidaknya siswa belajar sangat bergantung pada tepat atau tidaknya metode mengajar yang digunakan oleh guru. Metode pembelajaran didefinisikan sebagai cara yang digunakan guru, yang dalam menjalankan fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran (Hamzah B Uno, 2008: 2). Metode pembelajaran lebih bersifat prosedural, yaitu berisi tahapan tertentu, sedangkan teknik adalah cara yang digunakan, yang bersifat implementatif. Dengan kata lain, metode yang dipilih oleh masing-masing guru sama, tetapi menggunakan teknik yang berbeda. Menurut Anita Lie, pembelajaran kooperatif didasarkan pada falsafat homo homini socius (Agus Suprijono, 2010: 56). Falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dialog interaktif (interaksi sosial) adalah kunci dari semua kehidupan sosial. Tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Dengan kata lain, kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, dan kehidupan bersama lainnya. Sementara menurut Slavin (2010: 4), pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompokkelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.
21
Dalam pembelajaran kooperatif, pengelompokan dilakukan berdasarkan heterogenitas yaitu memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang, agama, sosio-ekonomi,
etnik,
serta
kemampuan
akademis.
Beberapa
kelebihan
pengelompokan secara heterogen (Anita Lie, 2008: 41-43) adalah: memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung diantara anggota kelompok, meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, agama, etnik, dan gender, serta memudahkan pengelolaan kelas karena dalam setiap kelompok paling tidak ada satu siswa yang berkemampuan akademis tinggi sehingga secara tidak langsung menjadi asisten guru bagi teman-teman dalam kelompoknya. Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar kelompok. Ada unsur-unsur pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur metode pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Roger dan David Johnson dalam Anita Lie (2008: 31-35) mengemukakan bahwa ada lima unsur dasar pembelajaran kooperatif: a. positive interdependence (saling ketergantungan positif) Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada 2 pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
22
Beberapa cara membangun saling ketergantungan positif yaitu : 1) Menumbuhkan perasaan siswa bahwa dirinya terintegrasi dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota kelompok mencapai tujuan. 2) Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai tujuan. 3) Mengatur sedemikian rupa sehingga setiap siswa dalam kelompok hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas kelompok. 4) Setiap siswa ditugasi dengan tugas atau peran yang saling mendukung dan saling berhubungan, saling melengkapi dan saling terikat dengan siswa lain dalam kelompok. b. personal responsibility (tanggung jawab perseorangan) Tanggung jawab perorangan merupakan kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. c. face to face promotive interaction (interaksi promotif) Unsur ini penting untuk dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri – ciri interaksi promotif adalah : 1) Saling membantu secara efektif dan efisien 2) Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan 3) Memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien 4) Saling mengingatkan 5) Saling percaya 6) Saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama 23
d. interpersonal skill (komunikasi antaranggota) Dalam unsur ini berarti mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan peserta didik, maka hal yang perlu dilakukan yaitu : 1) Saling mengenal dan mempercayai 2) Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius 3) Saling menerima dan saling mendukung 4) Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. e. group processing (pemrosesan kelompok) Dalam hal ini pemrosesan berarti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok. Berikut
adalah
langkah-langkah
menurut Agus Suprijono (2009: 65):
24
metode
pembelajaran
kooperatif
Tabel 1. Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Kooperatif FASE-FASE
PERILAKU GURU
Fase 1: Present goals and seat
Menjelaskan tujuan pembelajaran dan
Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan peserta didik siap
mempersiapkan peserta didik
belajar.
Fase 2: Present information
Mempresentasikan informasi kepada
Menyajikan informasi
peserta didik secara verbal.
Fase 3: Organize students into learning Memberikan penjelasan kepada peserta teams
didik tentang tata cara pembentukan tim
Mengorganisir peserta didik ke dalam
belajar dan membantu kelompok
tim-tim belajar
melakukan transisi yang efisien.
Fase 4: Assist team work and study
Membantu tim-tim belajar selama
Membantu kerja tim dan belajar
peserta didik mengerjakan tugasnya.
Fase 5: Test on the material
Menguji pengetahuan peserta didik
Mengevaluasi
mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase 6: Provide recognition
Mempersiapkan cara untuk mengakui
Memberikan pengakuan atau
usaha dan hasil belajar individu maupun
penghargaan
kelompok.
Ada dua komponen pembelajaran kooperatif (Rusman, 2011: 206), yakni: (1) cooperative task atau tugas kerja sama dan (2) cooperative incentive structure atau struktur intensif kerja sama. Tugas kerja sama berkenaan dengan suatu hal yang menyebabkan anggota kelompok kerja sama dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan. Sedangkan struktur intensif kerja sama merupakan sesuatu hal yang membangkitkan motivasi siswa untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Dalam pembelajaran kooperatif adanya upaya peningkatan
25
hasil belajar siswa (student achievement) dampak penyerta, yaitu sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain. Menurut Wina Sanjaya (Rusman, 2011: 206), pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan dalam beberapa perspektif yaitu: a. perspektif motivasi artinya penghargaan yang diberikan kepada kelompok yang dalam kegiatannya saling membantu untuk memperjuangkan keberhasilan kelompok. b. perspektif sosial artinya melalui kooperatif setiap siswa akan saling membantu dalam belajar. Karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan. c. perspektif perkembangan kognitif artinya dengan adanya interaksi antara anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi siswa untuk berpikir mengolah berbagai informasi. Metode pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu metode pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama dan interdependensi peserta didik dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya. Struktur tugas berhubungan bagaimana tugas diorganisir. Struktur tujuan dan reward mengacu pada derajat kerja sama atau kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan maupun reward. 7. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan metode yang paling baik untuk permulaan bagi para guru 26
yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Siswa di kelas tertentu dibagi menjadi beberapa kelompok atau tim belajar, dengan wakil-wakil dari kedua gender, dari berbagai kelompok suku atau etnis, dan dengan hasil belajar rendah, sedang, dan tinggi. Anggota-anggota kelompok menggunakan worksheets atau alat belajar lain untuk menguasai berbagai materi akademis dan kemudian saling membantu untuk mempelajari berbagai materi melalui tutoring, saling memberikan kuis, atau melaksanakan diskusi tim. Siswa yang terlibat dalam pembelajaran STAD dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas 4-5 orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya, semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri-sendiri, saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling membantu. Skor kuis para siswa dibandingkan dengan skor pencapaian mereka sebelumnya, dan kepada masingmasing tim akan diberikan poin berdasarkan tingkat kemajuan yang diraih siswa dibandingkan hasil yang mereka capai sebelumnya. Poin ini kemudian dijumlahkan untuk memperoleh skor tim, dan tim yang berhasil memenuhi kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lainnya (Sharan, 2009: 5). Slavin (2000: 71-73) mengemukakan bahwa metode pembelajaran STAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu: a. Presentasi kelas Materi pokok dalam STAD adalah pengenalan awal dalam presentasi kelas. Presentasi kelas dapat dilakukan melalui pengajaran secara langsung atau 27
pengajaran diskusi dengan guru, tetapi dapat juga presentasi menggunakan audio visual. Presentasi kelas dalam STAD berbeda dengan pengajaran pada umumnya karena dalam STAD hanya ditekankan pada hal-hal pokok saja. Kemudian siswa harus mendalaminya melalui pembelajaran dalam kelompok. Dengan demikian, siswa dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam memperhatikan materi yang diberikan oleh guru dalam presentasi kelas karena hal tersebut juga akan membantu mereka dalam mengerjakan kuis yang nantinya juga akan mempengaruhi skor dari kelompok mereka. b. Kerja kelompok Tim atau kelompok terdiri dari empat atau lima orang siswa mempunyai karakteristik yang berbeda-beda atau heterogen, baik dalam penguasaan materi, jenis kelamin, maupun suku. Fungsi utama dari kelompok adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok telah menguasai materi yang diberikan dan juga untuk mempersiapkan anggota kelompok dalam menghadapi kuis, sehingga semua anggota kelompok dapat mengerjakan dengan baik. Setelah guru mempresentasikan materi, anggota kelompok secara bersama-sama mempelajari lembar kerja atau materi lain yang diberikan guru. Dalam hal ini, siswa mendiskusikan masalah atau kesulitan yang ada, membandingkan jawaban dari masing-masing anggota kelompok dan membetulkan kesalahan konsep dari anggota kelompok. Kelompok merupakan hal penting yang harus ditonjolkan dalam STAD. Dalam setiap langkah, titik beratnya adalah membuat anggota kelompok melakukan yang terbaik untuk kelompok, dan kelompok pun harus melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya. 28
c. Kuis Setelah satu sampai dua kali presentasi guru dan satu sampai dua kali praktik kelompok, para siswa menjalani kuis perseorangan. Siswa-siswa tidak diijinkan saling membantu selama kuis berlangsung. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap siswa secara perseorangan bertanggung jawab atas pengetahuan yang mereka peroleh. d. Skor kemajuan perseorangan Gagasan di balik skor kemajuan perseorangan adalah untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya. Tiap siswa dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada kelompoknya dalam sistem skor ini, tetapi tidak ada siswa yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha mereka yang terbaik. Tiap siswa diberikan skor awal yang diperoleh dari nilai kinerja siswa tersebut sebelumnya. Siswa selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk kelompok mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka. Tingkatan skor kemajuan (Slavin, 2010: 159), adalah sebagai berikut: Tabel 2. Skor Kemajuan Skor kuis
Skor kemajuan
Nilai kuis/tes terkini turun lebih dari 10 poin di bawah nilai awal
5
Nilai kuis/tes terkini turun 1- 10 poin di bawah nilai awal
10
Nilai kuis/tes terkini sama dengan nilai awal sampai dengan 10 poin di atas nilai awal
20
Nilai kuis/tes terkini lebih dari 10 poin di atas nilai awal
30
Nilai kuis/tes sempurna (terlepas dari skor awal)
30
29
e. Penghargaan kelompok Kelompok akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Skor kelompok siswa akan digunakan untuk menentukan tingkat pemahaman siswa. Cara-cara penentuan nilai penghargaan kepada kelompok dijelaskan sebagai berikut: 1) Menentukan nilai dasar (awal) masing-masing siswa. Nilai dasar (awal) dapat berupa nilai tes/kuis atau menggunakan nilai ulangan sebelumnya. 2) Menentukan nilai tes/kuis yang telah dilaksanakan setelah siswa bekerja dalam kelompok. 3) Menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai daasr (awal) masing-masing siswa. Adapun tiga macam tingkatan penghargaan yang diberikan, berdasarkan pada rata-rata skor tim sebagai berikut: Tabel 3. Kriteria Penghargaan Kelompok Kriteria (Rata-rata Tim)
Penghargaan
15
Kelompok Baik
20
Kelompok Hebat
25
Kelompok Super
8. Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI TAI adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Robert E. Slavin. TAI didesain khusus untuk pembelajaran matematika. Tipe ini mengkombinasikan
keunggulan
pembelajaran
30
kooperatif
dan
pembelajaran
individual yang dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab bersama. Dalam metode ini, diterapkan bimbingan antar teman yaitu siswa yang pandai bertanggung jawab terhadap siswa yang lemah. Disamping itu dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam kelompok kecil. Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya, sedangkan siswa yang lemah dapat terbantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Hal yang menjadi ciri utama TAI yaitu adanya tes penempatan atau placement test yang diselengggarakan sebelum memulai proses pembelajaran. Tes tersebut digunakan untuk melihat kemampuan invidual siswa yang kemudian dijadikan dasar dalam pembentukan kelompok agar kelompok terdiri dari anggota yang heterogen. Fokus pembelajaran TAI adalah pada konsep-konsep yang ada di balik algoritma yang dipelajari para siswa dalam kegiatan individual. Menurut Slavin (2008: 15), langkah-langkah pembelajaran dengan metode Teams Assisted Individualization ( TAI ) yaitu: a. Tes penempatan kelompok Tes penempatan kelompok dilaksanakan pada awal pelaksanaan metode TAI. Hasil dari tes penempatan digunakan sebgaai acuan dalam pembentukan kelompok. b. Belajar secara individu Siswa menyelesaikan tugas berupa soal-soal yang berkaitan dengan materi yang diajarkan pada LKS yang sudah disediakan oleh guru secara individu. 31
c. Belajar kelompok Siswa melakukan pengecekan jawaban dengan anggota kelompok dengan cara bertukar jawab. Siswa saling membantu jika ada yang mengalamai kesulitan dalam belajar. d. Tes Pada akhir pembelajaran, siswa mengerjakan tes/kuis secara individu. Tes mencakup topik yang telah dipelajari serta digunakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman individu terhadap materi yang dipelajari. Skor tes individu akan disumbangkan ke dalam skor kelompok. e. Perhitungan nilai kelompok dan pemberian penghargaan bagi kelompok Di setiap akhir minggu guru menghitung nilai kelompok. Skor ini berdasarkan pada nilai tes yang dikerjakan oleh setiap anggota kelompok. Kemudian nilai kelompok dikategorikan, selanjutnya pemberian penghargaan pada kelompok yang termasuk kriteria tinggi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan metode pembelajaran TAI merupakan metode pembelajaran yang menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran individual. Siswa dikelompokkan berdasarkan tes penempatan dan kemudian melanjutkannya dengan tingkat kemampuan mereka sendiri. Teman satu tim saling memeriksa hasil kerja siswa yang lain dan saling membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah. Siswa yang berkemampuan akademik tinggi membantu siswa yang mengalami masalah dalam memahami materi. Unit tes yang terakhir akan dilakukan tanpa bantuan teman satu tim. Tiap minggu guru menjumlah skor dari tiap unit yang telah diselesaikan semua anggota tim dan memberikan 32
sertifikat atau penghargaan tim untuk tim yang berhasil melampaui kriteria skor yang didasarkan pada angka tes terakhir. B. Penelitian yang Relevan Penelitian relevan yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Shinta Pebrasari dengan judul “Komparasi Prestasi Belajar Matematika Siswa Antara Kelas yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divison (STAD) dan Pembelajaran Ekspositori di Kelas VIII MtsN Wonosari”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel berasal dari populasi yang normal serta homogen. Setelah itu, dilakukan uji hipotesis menggunakan uji-t sehingga diperoleh hasil, yaitu: (1) pembelajaran materi SPLDV dengan menggunakan STAD serta pembelajaran menggunakan ekspositori efektif digunakan, (2) pembelajaran materi SPLDV menggunkan STAD lebih efektif digunakan dibandingkan dengan pembelajaran dengan ekspositori. Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Harjanti Ikaningsih dengan judul “Upaya Peningkatan Partisipasi dan Hasil Belajar Matematika Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Accelerated Instruction”. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa hasil belajar matematika
siswa
mengalami
peningkatan
setelah
menggunakan
model
pembelajaran kooperatif tipe TAI. Hal ini dapat ditunjukkan dari rata-rata skor tes siswa, yaitu rata-rata skor tes penempatan 43,38; tes pada akhir siklus I 68,11; dan tes pada akhir siklus II 75,59.
33
C. Kerangka Berpikir Keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: 1. Metode pembelajaran tidak sesuai dengan tujuan; 2. Adanya masalah-masalah dalam pelaksanaan sistem intruksional; 3. Rumusan tujuan-tujuan pembelajaran tidak realistis. Oleh karena itu, metode mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa, akan ditentukan oleh kerelevansian penggunaan suatu metode yang sesuai dengan tujuan. Itu berarti tujuan pembelajaran akan dapat dicapai dengan pengunaan metode yang tepat, sesuai dengan standar keberhasilan yang terpatri di dalam suatu metode. Salah satunya adalah kegiatan pembelajaran yang diterapkan. Penerapan metode pembelajaran yang sesuai dapat memberi kontribusi positif terhadap hasil belajar siswa. Semakin baik pembelajaran yang diterapkan menjamin kebutuhan belajar dan sesuai tingkat pendidikan serta karakteristik peserta didik, maka semakin baik pula pencapaian hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Metode pembelajaran kooperatif menyumbangkan ide bahwa siswa yang bekerja sama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya.
Pembelajaran kooperatif
dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting yaitu: hasil
34
akademik, toleransi dan penerimaan terhadap keanekaragaman dan pengembangan keterampilan sosial. STAD adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran STAD, siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat orang yang beragam kemampuan, jenis kelamin, dan sukunya. Guru memberikan suatu pelajaran dan siswa-siswa di dalam kelompok memastikan bahwa semua anggota kelompok itu bisa menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya semua siswa menjalani kuis perseorangan tentang materi tersebut, dan pada saat itu mereka tidak boleh saling membantu satu sama lain. Nilai-nilai hasil kuis siswa dibandingkan dengan nilai ratarata nilai mereka sendiri yang diperoleh sebelumnya, dan nilai-nilai itu diberi hadiah berdasarkan seberapa tinggi nilai itu melampaui nilai mereka sebelumnya. Pembelajaran STAD bisa memacu siswa agar saling mendorong dan membantu satu sama lain untuk menguasai materi yang telah diajarkan guru. TAI termasuk salah satu dari tipe pembelajaran kooperatif. TAI didesain khusus untuk pembelajaran matematika. Tahap-tahap TAI antara lain: tes penempatan, belajar kelompok dan pemberian penghargaan bagi kelompok. Dalam pembelajaran menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TAI para siswa bekerja dalam kelompok dan mengemban tanggung jawab mengelola dan memeriksa secara rutin, saling membantu satu sama lain dalam menghadapi masalah, dan saling memberi dorongan untuk maju. Fokus pengajarannya adalah pada konsep-konsep yang ada dibalik algoritma yang dipelajari para siswa dalam kegiatan individual. Metode pembelajaran kooperatif TAI dirancang untuk memperoleh manfaat yang sangat besar dari potensi sosialisasi yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif. 35
Berdasarkan kelebihan dan karakteristik yang dimiliki metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dan metode pembelajaran kooperatif tipe TAI, diduga metode pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih efektif ditinjau dari hasil belajar matematika siswa. Dengan demikian hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih baik daripada siswa yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut ini:
Hasil belajar matematika siswa dipengaruhi Metode Pembelajaran
Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI
diperoleh
Hasil Belajar (dibandingkan)
Diharapkan metode TAI lebih efektif daripada metode STAD ditinjau dari hasil belajar matematika siswa Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
36
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini: 1. Metode pembelajaran kooperatif tipe STAD efektif ditinjau dari hasil belajar matematika siswa pada materi keliling dan luas segi empat. 2. Metode pembelajaran kooperatif tipe TAI efektif ditinjau dari hasil belajar matematika siswa pada materi keliling dan luas segi empat. 3. Metode pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih efektif daripada metode pembelajaran kooperatif tipe STAD ditinjau dari hasil belajar matematika siswa pada materi keliling dan luas segi empat.
37