8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Partisipasi Partisipasi yang berlaku pada masyarakat kita, masih belum diartikan secara universal. Para perencana pembangunan mengartikan partisipasi sebagai dukungan terhadap rencana atau proyek pembangunan yang direncanakan dan ditentukan oleh pemerintah. Ukuran partisipasi masyarakat diukur oleh berapa besar sumbangan yang diberikan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga yang diberikan kepada pemerintah. Partisipasi yang berlaku secara universal adalah kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Sedangkan menurut Isbandi (2007 : 27) Partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di sekolah, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk
8
9
menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Selanjutnya Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: (1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; (2) Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan
menerima
dan
kemampuan
untuk
menanggapi
proyek-proyek
pembangunan; (3) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri; (4) Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; (5) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial; (6) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka. Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi. Menurut Repository (2010) partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam perencanaan serta pelaksanaan dan juga ikut
10
memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan. Dari pengertian partisipasi di atas disimpulkan bahwa partisipasi adalah ikut sertanya seseorang atau sekolompok orang dalam pelaksanaan, serta memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang karena adanya dorongan atau sedikit paksaan dari orang lain. Ini dapat dilihat dari kata “ diikutsertakan” yang mengandung makna bahwa keterlibatan ini bukan datang dari diri sendiri tetapi karena adanya paksaan dari orang lain. Berbeda dengan pendapat di atas menurut Koentjaraningrat (dalam Rahmat, 2009:81) partisipasi merupakan frekuensi turut sertanya dalam aktivitasaktivitas bersama, dan menurut Canboys (2010) partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab
di
dalamnya.
Hal
senada
juga
diungkapkan
Ndraha
(dalam
Rahmat,2009:80) yang mengartikan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional seseorang atau sekolompok masyarakat di dalam situasi kelompok yang mendorong bersangkutan atas kehendak sendiri menurut kemampuan yang akan ada untuk mengambil bagian dalam usaha mencapai tujuan bersama dalam pertanggungjawaban. Dari pengertian partisipasi di atas dapat disimpulkan partisipasi adalah keikutsertaan atau keterlibatan seseorang atau sekolompok orang dalam memberikan sesuatu dalam bentuk apapun sebagai usaha mencapai tujuan
11
bersama atas kehendak sendiri atau dengan kata lain tanpa adanya dorongan atau paksaan dari pihak manapun. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan pendapat dari para ahli tentang arti parisipasi meskipun terdapat pula kesamaannya. Letak perbedaan yang menonjol yaitu pada kata dikutsertakan dan keikutsertaan. Diikutertakan berarti seseorang ikut serta bukan karena kemauannya secara penuh tetapi karena adanya dorongan atau ajakan atau sedikit paksaan dari orang lain, sedangkan keikutsertaan adalah timbul atas kehendak sendiri secara penuh. Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah: a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses-proyek pembangunan. b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna
12
membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masingmasing pihak. c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog. d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi. e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya. f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.
B. Bentuk dan Tipe Partisipasi Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi
13
sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usahausaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun
untuk
memperlancar
pelaksanaan
program
dan
juga
untuk
mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh
14
partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama. Sedangkan
partisipasi
representatif
dilakukan
dengan
cara
memberikan
kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia. Berdasarkan bentuk-bentuk partisipasi yang telah dianalisis, dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai tipe partisipasi yang diberikan masyarakat. Tipe partisipasi masyarakat pada dasarnya dapat kita sebut juga sebagai tingkatan partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat dibagi menjadi
7
(tujuh)
tipe
berdasarkan
karakteristiknya,
yaitu
partisipasi
pasif/manipulatif, partisipasi dengan cara memberikan informasi, partisipasi melalui konsultasi, partisipasi untuk insentif materil, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan self mobilization. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 2.1 : Tabel 2.1 Tipe Partisipasi No.
Tipologi
1. Partisipasi pasif/ manipulative
2. Partisipasi dengan cara memberikan informasi
Karakteristik (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; (b) Pengumuman sepihak oleh manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat; (c) Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dalam kuesioner atau sejenisnya; (b) Masyarakat tidak punya kesempatan untuk
15
(c) 3. Partisipasi melalui konsultasi
(a) (b)
(c) (d)
4. Partisipasi untuk insentif materil
(a)
(b) (c)
5. Partisipasi fungsional
(a)
(b)
(c)
6. Partisipasi interaktif
(a)
(b)
(c)
terlibat dan mempengaruhi proses penyelesaian; Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi; Orang luar mendengarkan dan membangun pandangan-pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan masyarakat; Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama; Para profesional tidak berkewajiban mengajukan pandangan - pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. Masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, demi mendapatkan makanan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; Masyarakat tidak dilibatkan dalam eksperimen atau proses pembelajarannya; Masyarakat tidak mempunyai andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang disediakan/diterima habis. Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek; Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati; Pada awalnya, kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu mandiri. Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; Partisipasi ini cenderung melibatkan metode inter-disiplin yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; Kelompok kelompok masyarakat
16
7. Self mobilization
mempunyai peran kontrol atas keputusankeputusan mereka, sehingga mereka mempunyai andil dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan. (a) Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; (b) Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan; (c) Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Pada dasarnya, tidak ada jaminan bahwa suatu program akan berkelanjutan melalui partisipasi semata. Keberhasilannya tergantung sampai pada tipe macam apa partisipasi masyarakat dalam proses penerapannya. Artinya, sampai sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap suatu program sehingga ia turut berpartisipasi.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Angell (dalam Ross, 1967: 130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:
17
1. Usia Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.
2. Jenis kelamin Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik.
3. Pendidikan Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.
4. Pekerjaan dan penghasilan Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan
18
penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang
untuk
berpartisipasi
dalam
kegiatan-kegiatan
masyarakat.
Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.
5. Lamanya tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut. Sedangkan menurut Holil (1980: 9-10), unsur-unsur dasar partisipasi sosial yang juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah: 1. Kepercayaan diri masyarakat; 2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat; 3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat; 4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas kekuatan sendiri; 5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui sebagai/menjadi milik masyarakat; 6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau sebagian kecil dari masyarakat;
19
7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha; 8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan; 9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhankebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat. Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Menurut Holil (1980: 10) ada 4 poin yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu: 1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya; 2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat; 3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi sosial; 4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.
20
D. Komite Sekolah Sebagai konsekuensi perluasan makna partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, maka perlu dibentuk suatu wadah untuk menampung dan menyalurkannya yang diberi nama Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Komite Sekolah merupakan suatu badan atau lembaga non profit dan non politis, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan. Ditinjau dari perspektif sejarah persekolahan pada tingkat SD, SLTP, dan SMU/SMK di Indonesia, masyarakat sekolah, khususnya orang tua siswa, telah memerankan sebagian fungsinya dalam membantu penyelenggaraan pendidikan. Sebelum tahun 1974 masyarakat orang tua siswa di lingkungan masing-masing sekolah telah membentuk Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG). Sesuai
dengan
perkembangan
tuntutan
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah semakin meningkat, maka POMG pada awal tahun 1974 dibubarkan dan dibentuk suatu badan yang dikenal dengan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pasang surut perkembangan penyelenggaraan pendidikan jalur dan jenis sekolah, tidak dapat dilepaskan dari
21
partisipasi masyarakat, khususnya orang tua peserta didik termasuk keberadaan BP3. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dan hasil pendidikan yang diberikan oleh sekolah, dan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional melalui upaya peningkatan mutu, pemerataan, dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, dan
tercapainya
demokratisasi pendidikan, perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat untuk bersinergi dalam suatu wadah yang lebih sekedar lembaga pengumpul dana pendidikan dari orang tua siswa. Kondisi nyata tersebut dalam memasuki era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) perlu dibenahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi kesepakatan, komitmen, kesadaran, dan kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan “Masyarakat Sekolah” yang memiliki loyalitas pada peningkatan mutu sekolah. Untuk terciptanya suatu masyarakat sekolah yang kompak dan sinergis, maka Komite Sekolah merupakan bentuk atau wujud kebersamaan yang dibangun melalui kesepakatan (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). Komite Sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama. Nama Komite Sekolah merupakan nama generik. Artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis
22
Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati. Dengan demikian, organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran, dan keanggotaannya sesuai dengan panduan ini atau melebur menjadi organisasi baru, yang bernama Komite Sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). Peleburan BP3 atau bentuk-bentuk organisasi lain yang ada di sekolah, kewenangannya akan berkembang sesuai kebutuhan dalam wadah Komite Sekolah. Komite Sekolah berkedudukan di satuan pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah. Satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis, dan jalur pendidikan, mempunyai penyebaran lokasi yang amat beragam. Ada sekolah tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks. Ada sekolah negeri dan ada sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan penyelenggara pendidikan. Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintah lainnya. Komite Sekolah dan sekolah memiliki kemandirian masing-masing, tetapi tetap sebagai mitra yang harus saling bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS). Dibentuknya Komite Sekolah dimaksudkan agar adanya suatu organisasi masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite Sekolah yang dibentuk dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demografis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat setempat. Oleh karena itu, Komite Sekolah yang dibangun harus merupakan
23
pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif. Artinya, Komite Sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada pengguna (client model), berbagai kewenangan (power sharing and advocacy model) dan kemitraan (partnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Adapun tujuan dibentuknya Komite Sekolah sebagai suatu organisasi masyarakat sekolah adalah sebagai berikut. 1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan. 2. Meningkatkan
tanggung
jawab
dan
peran
serta
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. 3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Keberadaan Komite Sekolah harus bertumpu pada landasan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian peran sesuai posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang dijalankan Komite Sekolah adalah sebagai berikut : a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
24
b. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. d. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan. Disamping itu pula
Departemen
Pendidikan
Nasional
(2005:24)
menegaskan Komite Sekolah memiliki fungsi sebagai berikut: a. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. b. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. c. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. d. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai: 1) Kebijakan dan program pendidikan; 2) Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS); 3) Kriteria kinerja satuan pendidikan; 4) Kriteria tenaga kependidikan; 5) Kriteria fasilitas pendidikan; dan 6) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
25
e. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. f. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. g. Melakukan
evaluasi
dan
pengawasan
terhadap
kebijakan,
program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. Komite Sekolah sesuai dengan peran dan fungsinya, melakukan partisipasi sebagai berikut : a. Komite Sekolah menyampaikan hasil kajian pelaksanaan program sekolah kepada stakeholder secara periodik, baik yang berupa keberhasilan maupun kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran program sekolah. b. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bantuan masyarakat baik berupa materi (dana, barang tak bergerak maupun bergerak), maupun non materi (tenaga, pikiran) kepada masyarakat dan pemerintah setempat. Keanggotaan Komite Sekolah berasal dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Di samping itu unsur Dewan Guru, Yayasan/Lembaga Penyelenggara Pendidikan, Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai anggota. Anggota Komite Sekolah dari unsur masyarakat dapat berasal dari komponenkomponen sebagai berikut: a.
Perwakilan orang tua/wali peserta didik berdasarkan jenjang kelas yang dipilih secara demokratis.
b.
Tokoh masyarakat (Ketua RT/RW/RK, Kepala Dusun, Ulama, Budayawan, Pemuka Adat).
26
c.
Anggota masyarakat yang mempunyai perhatian atau dijadikan figur dan mempunyai perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan.
d.
Pejabat pemerintah setempat (Kepala Desa/Lurah, Kepolisian, Koramil, Depnaker, Kadin, dan instansi lain).
e.
Dunia usaha/industri (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dan lain-lain).
f.
Pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan.
g.
Organisasi profesi tenaga pendidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain).
h.
Perwakilan siswa bagi tingkat SLTP/SMU/SMK yang dipilih secara demokratis berdasarkan jenjang kelas.
i.
Perwakilan forum alumni SD/SLTP/SMU/SMK yang telah dewasa dan mandiri.
j.
Anggota Komite Sekolah yang berasal dari unsur dewan guru, yayasan/ lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa sebanyakbanyaknya berjumlah tiga orang. Jumlah anggota Komite Sekolah sekurangkurangnya 9 (sembilan) orang dan jumlahnya harus gasal. Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa keanggotaan Komite Sekolah ditetapkan di dalam AD/ART. Pengurus Komite Sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang
sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan bidangbidang tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pengurus komite dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis. Khusus jabatan ketua komite bukan berasal dari kepala satuan pendidikan. Jika diperlukan dapat diangkat petugas khusus yang
27
menangani urusan administrasi Komite Sekolah dan bukan pegawai sekolah, berdasarkan kesepakatan rapat Komite Sekolah. Dari beberapa penjelasan tentang komite sekolah jelaslah bahwa Penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah sesuai dengan jenjang dan jenis, baik negeri maupun swasta, telah diatur melalui perundang-undangan serta perangkat peraturan yang mengikutinya. Selain itu setiap penyelenggaraan persekolahan dibina oleh instansi yang berwenang. Dengan demikian, kondisi tersebut berimplikasi terhadap tatanan dan hubungan baik vertikal maupun horizontal yang baku antara sekolah dengan instansi lain. Tata hubungan antara Komite Sekolah dengan satuan pendidikan, Dewan Pendidikan, dan institusi lain yang bertanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan dengan komite Sekolah pada satuan pendidikan lain bersifat koordinatif.
E. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Sesuai kompetensi yang dimiliki serta tujuan pendidikan, pendidikan dasar (SD dan SLTP) memang tidak mempersiapkan lulusannya untuk bekerja, melainkan untuk memberi bekal bagi pendidikan selanjutnya pada jenjang yang lebih tinggi. Tetapi kenyataannya banyak anak usia sekolah tidak dapat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sehingga pemerintah mengeluarkan Program Kebijakan Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) bidang pendidikan diantaranya adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Lahirnya program BOS
28
dilatar belakangi oleh adanya kekhawatiran bahwa peningkatan harga BBM, yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat, juga akan berdampak negatif terhadap akses masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan serta menghambat pencapaian wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Selain itu dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki keterampilan hidup (life skill) sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Pada saat ini, jutaan anak usia sekolah di negara kita masih belum mendapatkan kesempatan bersekolah. Salah satu solusi pemerintah melalui Kemendiknas, menyalurkan dana bantuan dan kemudahan melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Penerima BOS diutamakan bagi para siswa miskin putus sekolah, karena tidak mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah. Jika kemudian masih ada sisa dana BOS, maka akan digunakan mensubsidi siswa lain. Bagi sekolah yang tidak mempunyai siswa miskin, maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi seluruh siswa sehingga dapat mengurangi pungutan/sumbangan/iuran yang dibebankan kepada orang tua siswa, minimum senilai dana BOS yang diterima
29
sekolah. Diharapkan, tidak akan ada lagi tamatan SD/MI setara yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB, karena mahalnya biaya masuk sekolah. Kepala sekolah harus proaktif mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus namun berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah. Program BOS yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan dalam percepatan pencapaian program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Dana BOS terbukti memberikan bantuan kepada banyak sekolah di tanah air, terutama untuk jenjang pendidikan dasar (SD). Jenjang pendidikan dasar adalah bagian terpenting dalam dunia pendidikan sebab memberikan dasar-dasar atau landasan pembentukan watak dan intelektualitas sebuah bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi BOS. Program BOS ke depan harus memberikan kontribusi penting untuk peningkatan mutu pendidikan dasar dan menjadi pilar utama untuk mewujudkan pendidikan gratis di pendidikan dasar. Dengan adanya BOS, bukan saja sekolah yang terbantu, tapi juga para orang tua yang sebelumnya mengeluhkan tingginya biaya pendidikan. Namun di sisi lain, banyak pula sekolah yang semata-mata mengandalkan biaya operasional sekolah pada BOS. Karena itu, bila ada sekolah yang masih menuntut biaya untuk anak
didiknya,
banyak
orang
tua
yang
langsung
bereaksi.
Mereka
mempertanyakan dana BOS yang sudah dikucurkan oleh pemerintah. Mulai tahun 2007, pengelolaan program BOS Kemendiknas dan BOS Depag dipisahkan. Kemendiknas bertanggung jawab menyalurkan dana ke
30
sekolah SD/SDLB/SMPLB/SMPT, baik negeri maupun swasta yang berizin operasional dari Dinas Pendidikan. Sedangkan Departemen Agama, menyalurkan dana ke MI/Mts/Salafiyah/Sekolah keagamaan lainnya, dengan izin operasional dari Depag. Pemprov/Pemkab/Pemkot, berkewajiban menyediakan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) setiap tahun, sebagai sumber utama pembiayaan sekolah. Terutama bagi pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan Sekolah Gratis, maka harus memenuhi kekurangan biaya operasional sekolah dari sumber APBD.
Menambah
dana
untuk
Tim
Manajemen
BOS
di
Propinsi/Kabupaten/Kota. Juga memastikan BOS berjalan sesuai dengan panduan yang ditetapkan. Seperti melakukan pengawasan dan audit, terhadap setiap sekolah
penerima
BOS,
termasuk
menindaklanjuti
jika
ada
indikasi
penyimpangan. Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka Wajar 9 tahun yang bermutu. Dan secara khusus program BOS bertujuan untuk : 1. Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta. 2.
Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).
3. Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta. Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP, termasuk Sekolah Menengah Terbuka (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri
31
(TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia. Tapi, Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran dari program BOS ini. Adapun besarnya biaya satuan BOS tahun ajaran 2009/2010 yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan : SD/ MI/ SDLB/ Salafiyah/ sekolah agama non Islam setara SD sebesar Rp. 400.000,-/siswa/tahun untuk kota dan kabupaten sebesar Rp. 397.000,-. Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa Program BOS pada dasarnya merupakan paket bantuan yang diberikan untuk membantu sekolah agar dapat menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara maksimal sebagai usaha untuk membantu sekolah mengingat keterbatasan konstribusi masyarakat terhadap pengadaan dana untuk kelangsungan pendidikan di sekolah. Oleh karenanya melalui BOS diharapkan mampu meminimalisir berbagai kelemahan yang terkait dengan minimnya dana yang dimiliki sekolah. Penyusunan anggaran keuangan BOS atau sering disebut anggaran belanja sekolah BOS, biasanya dikembangkan dalam format – format yang meliputi : (1) Jumlah BOS, (2) Pengeluaran untuk kegiatan belajar mengajar, pengadaan dan pemeliharaan sarana prasarana, bahan-bahan dan alat pelajaran, honomarium dan kesejahteraan. Dalam penyusunan anggaran keuangan BOS ini harus melibatkan partisipasi aktif segenap warga sekolah, agar mereka memahami arah dan kebijakan pemanfaatan dana BOS melalui rencana anggaran yang dirumuskan bersama. Hal ini merupakan aktualisasi dari penyusunan RAPBS BOS.
32
Lipham (dalam Mulyasa 2003:198) mengungkapkan empat fase kegiatan pokok penyusunan anggaran termasuk anggaran keuangan BOS sebagai berikut : a. Perencanaan anggaran yaitu merupakan kegiatan mengidentifikasi tujuan, menentukan perioritas, menjabarkan tujuan kedalam penampilan operasional yang dapat diukur, menganalisis alternatif pencapaian tujuan dengan membuat rekomendasi alternatif pendekatan untuk mencapai sasaran. b. Mempersiapkan anggaran antara lain menyesuaikan kegiatan dengan mekanisme anggaran yang berlaku bentuknya, distribusi dan sasaran program pengajaran perlu dirumuskan dengan jelas. Melakukan inventarisasi kelengkapan peralatan, bahan-bahan yang telah tersedia. c. Mengelola pelaksanaan anggaran antara lain mempersiapkan pembukuan, melakukan pembelajaran dan membuat transaksi, membuat perhitungan, mengawasi pelaksanaan sesuai dengan prosedur kerja yang berlaku serta membuat laporan dan pertanggungjawaban keuangan. d. Menilai pelaksanaan anggaran antara lain menilai pelaksanaan roses belajar mengajar, menilai bagaimana pencapaian sasaran program serta membuat rekomendasi untuk perbaikan anggaran yang akan datang. Terkait dengan perencanaan keuangan sekolah terutama BOS memerlukan data yang akurat dan lengkap sehingga perencanaan kebutuhan untuk masa yang akan datang dapat diantisipasi dalam rancangan anggaran. Jika dikaji terdapat beberapa faktor yang turut mempengaruhi perencanaan keuangan sekolah antara lain laju pertumbuhan siswa serta peningkatan pendekatan belajar mengajar.
33
Terdapat beberapa hal yang diperhatikan dalam perencanaan keuangan sekolah atau anggaran belanja sekolah termasuk BOS adalah sebagai berikut : a. Anggaran belanja sekolah harus dapat mengganti beberapa peraturan dan prosedur yang tidak efektif sesuai dengan perkembangan kebutuhan pendidikan. b. Merevisi peraturan dan input lain yang relevan dengan merancang pengembangan sistem secara efektif. c. Memonitor dan menilai keluaran pendidikan secara terus menerus dan berkesinambungan sebagai bahan tahap berikutnya. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa perencanaan keuangan sekolah termasuk BOS dapat dikembangkan secara efektif jika didukung oleh beberapa sumber yang esensial yaitu : a) Sumber daya manusia yang kompoten dan mempunyai wawasan luas tentang dinamika sosial masyarakat, b) Tersedianya informasi yang akurat dan tepat waktu untuk menunjang pembuatan keputusan, c) Menggunakan manajemen dan teknologi yang tepat dalam perencanaan, d) Tersedianya dana yang memadai untuk menunjang pelaksanaan. Sementara itu secara khusus dalam penyusunan RAPBS BOS, komite sekolah yang perlu dilibatkan sehingga mereka memiliki konstribusi yang signifikan terhadap program pengembangan mutu di sekolah. Hal tersebut pada gilirannya akan menumbuhkan sikap yang tinggi untuk mengawasi pemanfaatan dana BOS.
34
Terdapat kecenderungan oleh Kepala Sekolah dalam penyusunan RAPBS maupun dalam pengelolaan dana BOS hampir komite sekolah tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan RAPBS, sedangkan komite sekolah hanya bersifat formalitas untuk membubuhkan tanda tangan terhadap RAPBS yang telah disusun oleh sekolah sehingga fungsi kontrol masih sangat lemah.
F. Partisipasi Komite Sekolah dalam Pengelolaan Dana BOS Komite sekolah dibentuk di setiap sekolah sebagai hasil dari SK Menteri No. 202, tahun 2006. Komite diharapkan bekerjasama dengan kepala sekolah sebagai partner untuk mengembangkan kualitas sekolah dengan menggunakan konsep manajemen berbasis sekolah dan masyarakat yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Selain itu Undang-undang pendidikan bulan Juni 2003 (pasal 56) memberikan kepada komite sekolah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan melalui: (i) nasihat; (ii) pengarahan; (iii) bantuan personalia, material, dan fasilitas; maupun (iv) pengawasan pendidikan. Sebagian besar anggota komite mempunyai minat menjadi anggota komite di sekolah anaknya. Anggota komite sekolah pada umumnya dipilih melalui musyawarah tidak melalui pemilihan. Beberapa orang anggota BP3 diangkat kembali menjadi anggota komite dan tugasnya diperluas. Banyak komite yang sudah mempunyai SK dari kepala sekolah. Pertemuan-pertemuan formal, dilakukan secara regular, tetapi tidak sering. Sering mereka diundang oleh kepala sekolah untuk mendiskusikan perencanaan, pelaksanaan dan pendanaan rencana pengembangan sekolah (RAPBS). Program-program yang dikembangkan dalam
35
pertemuan-pertemuan ini menunjukkan kecenderungan terfokus pada perbaikan fisik sekolah. Aktivitas peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya nampak tidak mengacu pada isu-isu penting belajar mengajar. Walaupun demikian, dampak positif perencanaan bersama pengembangan program dapat dilihat di banyak sekolah. Komite sekolah dengan semangat tinggi merinci perubahan-perubahan di sekolah di dalam 4 bidang peningkatan pembelajaran, guru dan kesejahterannya, fasilitas sekolah yang lebih baik, dan perbaikan lingkungan fisik. Walaupun demikian, ada kendala-kendala. Kendala yang paling menonjol adalah usaha sekolah untuk mendanai program yang berani, terutama karena perencanaan dilakukan lebih dulu, dan kemudian dicarikan pendanaannya. Dalam pengumpulan dana, suatu kegiatan yang memerlukan pemikiran dan tenaga dari komite, tidak dianggap sebagai tanda keefektifan komite. Banyak yang menganggap bahwa lingkungan kerja yang bagus dan anggota yang berkualitas sangat penting, sehingga komite dapat bekerja secara efektif bersama-sama dengan sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pada tahap pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) komite sekolah perlu dilibatkan secara aktif sebagai bentuk untuk merangsang partisipasi komite sekolah. Pada tahap ini perlu adanya pembagian pekerjaan dalam tugas – tugas tertentu dalam jabatan – jabatan serta menentukan fungsi pekerjaan yang harus dilaksanakan. Jika dalam waktu tertentu diperlukan pendelegasian wewenang maka hal tersebut perlu dilakukan secara baik sehingga memudahkan pelaksanaan kegiatan. Sementara itu penggerakkkan dilakukan
36
dengan cara menjelaskan tujuan pelaksanaan program BOS kepada setiap personil yang ada di sekolah. Dalam konteks ini perlu diusahakan agar setiap personil sekolah menyadari, memahami serta menerima dengan baik tujuan itu. Untuk lebih memperkuat hal tersebut kepala sekolah perlu menjelaskan kebijakan – kebijakan yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan. Untuk memudahkan dalam pencapaian tujuan tersebut maka perlu dijelaskan pula peranan yang diharapkan untuk dijalankan setiap personil sekolah. Dengan demikian mereka akan memahami dengan baik peran apa yang perlu mereka lakukan agar program yang dibiayai dan BOS dapat mencapai sasaran. Teknik lain yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan dana BOS yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada segenap personil sekolah (komite sekolah) untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana BOS secara konsepsional. Manullung (1996 : 20) mengartikan pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang dilakukan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud tercapai tujuan yang sudah digariskan semula. Liputo (1998 : 169) bahwa “pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan organisasi melihat apakah yang telah dilakukan sesuai dengan harapan jika tidak perbaikan perlu diadakan untuk penyesuaian”. Sutisna (2000 : 240-241) mengklasifikasi 4 tindakan yang harus dilakukan dalam kegiatan pengawasan yaitu : (1) ukuran suatu kriteria atau standar pengukuran / penilaian, (2) mengukur/menilai perbuatan (performance) yang sedang atau sudah dilakukan (3) membandingkan perbuatan dengan standar
37
yang ditetapkan dan menetapkan perbedaannya jika ada. (4) memperbaiki penyimpangan dari standar (jika ada) dengan tindakan pembetulan. Pendapat diatas menunjukkan bahwa kegiatan pengawasan mencakup 4 unsur utama yaitu : (1) penetapan standar pelaksanaan, (2) penentuan ukuranukuran pelaksanaan, (3) pengukuran pelaksanaan nyata dan membandingkan dengan standar yang telah ditetapkan dan (4) pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan jika ada penyimpangan. Pengawasan yang efektif terhadap pemanfaatan dana BOS memiliki ciri khas sebagai berikut yaitu (1) pengawasan harus merefleksikan sifat dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan artinya bahwa teknik pengawasan harus sesuai antara lain dengan penemuan informasi tentang siapa yang melakukan pengawasan dan kegiatan apa yang menjadi sasaran pengawasan tersebut, (2) pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi dari rencana, (3) pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titiktitik strategi tertentu. (4) objektivitas dalam melakukan pengawasan, (5) keluwesan dalam pengawasan artinya bahwa pelaksanaan pengawasan harus tetap bisa berlangsung meskipun organisasi menghadapi perubahan karena timbulnya keadaan yang tidak diduga sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan. Bila ada segi-segi tertentu dari rencana yang mengalami kegagalan atau perubahan, pengawasan harus segera melaporkan kegagalan atau perubahan tersebut, dengan demikian penyesuaian – penyesuaian yang diperlukan dapat dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan kepengawasan, (6) pengawasan harus memperhitungkan pola dasar organisasi dalam hal ini proses pengawasan jangan
38
sampai ada pihak yang merasa dilampaui baik yang menyangkut pelaksanaannya, temuannya maupun tindakan perbaikan yang diambil, (7) efisiensi pelaksanaan pengawasan artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan karena hanya dengan demikian efesiensi pengawasan dapat dilakukan, (8) pemahaman system pengawasan oleh semua piak yang terlibat, (9) pengawasan dilakukan untuk mencari apa yang tidak beres artinya baha pengawsan yang baik harus dapat menemukan siapa yang salah dan factor apa yang menyebabkan terjadinya kesalahan tersebut, (10) pengawasan harus bersikap membimbing artinya bahwa kegiatan pengawasan harus dapat memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan dikenakan kepada siapa saja yang melanggar disiplin. Namun pemberian sanksi ini harus didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan rasional serta sesuai dengan peraturan yang berlaku Siagian (2002 : 176-183). Dengan pengawasan yang intensif maka cenderung akan memberikan hasil yang optimal dalam setiap pekerjaan oleh karenanya kepengawasan pada setiap pekerjaan perlu dilakukan secara efektif untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi. Dalam konteks untuk mengawasi pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu melibatkan partisipasi komite sekolah. Hal ini perlu dilakukan agar setiap komite sekolah merasa berpartisipasi untuk melaksanakan program ini. Sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya pengawasan keuangan BOS dilaksanakan oleh petugas dari Bawasda dan Dinas Pendidikan serta segenap komponen masyarakat (komite sekolah) yang terkait. Pengawasan
39
manajemen keuangan BOS yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Bawasda tersebut dilakukan secara rutin satu tahun dua kali melalui pemeriksaan pembukuan keuangan sekolah. Pengawasan terhadap pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ini harus dilakukan secara kontinyu sehingga seluruh aktivitas yang terkait dengan pemanfaatan program ini dapat diawasi secara intensif. Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengawasan pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yaitu pengawasan harus merefleksikan sifat dari berbagai program yang dibiayai dengan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sejalan dengan hal tersebut pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi dari rencana. Objektivitas dan keluwesan pengawasan perlu diselaraskan untuk menghasilkan kegiatan pengawasan yang optimal artinya bahwa pemanfaatan Dana BOS harus siap menghadapi perubahan karena timbulnya keadaan yang tidak diduga sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan. Bila ada segi-segi tertentu dari rencana yang mengalami kegagalan atau perubahan, pengawas harus segera melaporkan kegagalan atau perubahan tersebut dengan demikian penyesuaianpenyesuaian yang diperlukan dapat dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan pun perlu memperhatikan tingkat efisiensi pelaksanaan artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pengawsan BOS harus bersifat membimbing artinya bahwa kegiatan pengawsan harus dapat memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan dikenakan kepada siapa saja yang melanggar disiplin. Namun pemberian sanksi
40
ini harus didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan rasional serta sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bentuk sanksi yang dapat diberikan antara lain teguran atau hukuman displin lainnya. Melalui strategi yang dikembangkan tersebut diatas diharapkan mampu meningkatkan pemanfaatan dana BOS. Kondisi ini pada gilirannya akan mengundang simpati komite sekolah untuk meningkatkan partisipasinya dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam partisipasi yaitu pemanfaatan dana BOS adalah kegiatan laporan dan evaluasi pertanggungjawaban dana BOS. Dalam konteks ini kegiatan laporan dan evaluasi pertanggungjawaban dana BOS perlu dilakukan scara rutin. Mulyasa (2003 ; 205) berpendapat bahwa evaluasi dan pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dicapai harus dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Auditing merupakan pembuktian dan penentuan bahwa apa yang dimaksud sesuai dengan yang dilaksanakan. Sedang apa
yang
dilaksanakan
sesuai
dengan
tugas.
Proses
ini
menyangkut
pertanggungjawaban penerimaan, penyimpanan dan pembayaran atau penyerahan dana kepada pihak – pihak yang berhak. Evaluasi adalah kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan. Evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan sekolah termasuk BOS dapat diidentifikasi ke dalam tiga hal yaitu pendekatan pengendalian penggunaan alokasi dana, bentuk pertanggungjawaban keuangan sekolah dan keterlibatan
41
pengawasan
pihak
eksternal
sekolah.
Bahasan
tentang
evaluasi
dan
pertanggungjawaban keuangan sekolah dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Evaluasi Dana BOS Dalam evaluasi keuangan Dana BOS perlu didasarkan pada kebutuhan dan kewenagan karena kebutuhan merupakan bagian dari pengawasan melekat. Dalam manajemen keuangan sekolah, kepala sekolah perlu melakukan pengendalian pengeluaran keungan selaras dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan. Artinya pimpinan bertanggungjawab terhadap masalah internal manajemen keuangan sebagai atasan langsung. Secara definitive penilaian merupakan usaha untuk membandingkan antara hasil – hasil nyata dengan target yang seharusnya dicapai. Siagian (2002 : 2006) mendefenisikan penilaian sebagai hasil – hasil yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Evaluasi keuangan sekolah (BOS) harus dilakukan melalui aliran masuk dan keluar uang yang dibutuhkan oleh Bendahara. Hal ini dilakukan mulai dari proses keputusan pengeluaran pos anggaran, pembelanjaan, perhitungan dan penyimpanan barang oleh petugas yang ditunjuk. Secara adminstrasi pembukuan setiap pengeluaran dan pemasukan setiap bulan ditanda tangani sebagai berita acara. Kepala Sekolah sebagai atasan langsung bertanggung jawab penuh atas pengendalian sedangkan pengawasan dari pihak berwenang melalui pemeriksaan yang dilaksanakan oleh instansi vertikal seperti petugas dari Dinas Pendidikan dan Bawasda. Pengawasan tersebut relative dilihat dari tugas rutinitas atas dasar kewenagan pengawasan pembiayaan yang masuk dan diserap di sekolah.
42
Prosedur pengendalian penggunaan alokasi anggaran sifatnya sangat normative administrative. Artinya pemenuhan pengendalian masih terbatas pada angka kuantitatif yang terdokumentasi. Dengan demikian aspek-aspek realitas penggunaan sulit diukur secara objektif. Persoalan tersebut sering terjadi di setiap sekolah. Hal tersebut dimana aliran uang dan barang teridentifikasi sesuai dengan peran dan fungsi. 2. Pertanggungjawaban Dana BOS Pertanggungjawaban
penerimaan
dan
penggunaan
Dana
BOS
Yang
Harus
dilaksanakan dalam bentuk laporan triwulan kepada : a. Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan b. Kepala Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA) c. Kepada segenap stakeholders pendidikan di sekolah. Pertanggungjawaban
yang
dikenal
dengan
Uang
Dipertanggungjawabkan (UYHD) dilaporkan setiap bulan kepada pihak yang ditetapkan sesuai dengan format dan ketetapan waktu. Khusus untuk keuangan komite sekolah bentuk partisipasinya sangat terbatas pada tingkat pengurusan dan tidak secara langsung kepada orang tua peserta didik. Untuk mengoptimalkan pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sekolah maka diperlukan beberapa faktor pendukung yaitu (1) komitmen yang tinggi untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana BOS, (2) adanya guru dan staf yang berkualitas serta memiliki jumlah mencukupi, (3) ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan serta (4) apresiasi masyarakat yang positif terhadap pendidikan, (5) adanya manajemen sekolah yang rapi dan berkualitas.
43
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ditunjukkan oleh beberapa aspek sebagai berikut : (1) keterbukaan pengelolaan dana. Dalam hal ini pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) harus diketahui oleh seluruh komite sekolah, Sirkulasi keuangan mulai dari kegiatan perencanaan dan evaluasi program semuanya harus diketahui oleh seluruh komite sekolah, (2) Partisipasi komite sekolah, Partisipasi komite sekolah dimaksudkan agar seluruh personil yang ada memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan program yang dibiayai dengan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Partisipasi komite sekolah dalam pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ini dapat dimulai dari kegiatan penyusunan proposal Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dalam hal ini kepala sekolah, wakil kepala sekolah, perwakilan guru, dan tokoh masyarakat/komite sekolah harus ikut berpartisipasi dalam penyusunan program pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Keikut sertaan ini akan berimplikasi pada diketahuinya seluruh program pengembangan mutu di sekolah oleh segenap pihak yang terkait sehingga menimbulkan antusiasme dalam membantu implementasi program ini. Dalam konteks yang bersamaan keikutsertaan komite sekolah memungkinkan terjadinya dialog yang dapat membantu memecahkan stagnasi yang dihadapi dalam pelaksanaan program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Melalui kegiatan ini pula maka seluruh potensi komite sekolah dapat diberdayakan secara optimal untuk mendukung program peningkatan mutu, (3) adanya kemandirian. Dalam pelaksanaan program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kemandirian terkait erat dengan usaha
44
sendiri untuk mengembangkan program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan menyusun rangkaian kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan program peningkatan mutu di sekolah, kemandirian ini merupakan hal yang sangat di tuntut agar sekolah dapat belajar dari pengalaman tersebut tanpa harus mencontoh strategi pengembangan mutu yang berlaku di sekolah yang lain, (4) Sustainabilitas, hal ini mengandung makna bahwa dalam pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu memiliki sikap sustainabilitas atau berkelanjutan. Sikap ini perlu dimiliki agar seluruh program yang telah dirancang untuk penigkatan mutu tidak berhenti hanya pada saat dana tersedia. Tetapi yang harus dilakukan bahwa keseluruhan program yang sudah dijalankan harus tetap ditindaklanjuti dengan program realitas yang lain sehingga ada kontinuitas program. Hal ini perlu dilakukan karena seringkali terjadi suatu kegiatan berjalan lancar selama masih ada “bantuan dari proyek” dan apabila bantuan dihentikan maka kegiatan tersebut akan mengalami banyak kendala sehingga akhirnya secara perlahan-lahan berhenti dan atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (tidak optimal pencapaian targetnya). Atas pendapat tersebut, maka keberlanjutan program sangat ditentukan oleh keberhasilan manajemen Kepala Sekolah yang diwujudkan dalam kinerja dewan guru yang ditopang oleh partisipasi komite sekolah baik dalam bentuk finansial maupun kontribusi lainnya. Berdasarkan urain secara keseluruhan jelas bahwa pemanfaatan dana BOS merupakan manifestasi dari kewajiban untuk secara optimal menyukseskan program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan melibatkan komite sekolah secara aktif dalam seluruh kegiatan melalui partisipasi yang tinggi, maka
45
seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat berkiprah untuk mendorong kearah peningkatan pendidikan secara optimal.