16
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Pola Asuh Orang Tua Tunggal 1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut kamus bahasa indonesia (2001:885) bahwa “Pola adalah sistem; cara kerja”. Asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil; membimbing (membantu, melatih) supaya dapat berdiri sendiri (kamus besar bahasa indonesia, 2001:73) sedangkan orang tua adalah ayah, ibu kandung; orang yang di anggap tua (cerdik, pandai, ahli). (kamus bahasa indonesia (2001:802). Secara umum pola asuh oarang tua merupakan suatu kecenderungan yang relatif menetap dari oarang tua dalam memberikan didikan, bimbingan serta perawatan terhadap anaknya. Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungan yang lebih luas. Namun dengan adanya perbedaan latar belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari orang tua maka terjadilah cara mendidik anak. Menurut Chabib Thoha (1996:109) yang mengemukakan bahwa “Pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak”. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama,
17
tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orang tua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orang tua dalam berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk watak, kepribadian, dan memberikan nilainilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap anak-anaknya tiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang berbeda berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri sehingga akan menghasilkan bermacam-macam pola asuh yang berbeda dari orang tua yang berbeda pula.
2. Jenis Pola Asuh Orang tua Pola asuh yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya di dalam kehidupan akan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan dimasa yang akan datang. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua berbeda dengan pola asuh yang di terapkan oleh orang tua yang lain. Pada umumnya pola asuh di klasifikasikan dalam bentuk otoriter, demokratis, permisif. Setiap pola asuh orang tua memiliki karakteristik tertentu yang akan menghasilkan beragam perilaku anak yang di tampilkan. Pola asuh demikian diantaranya di kemukakan oleh Agus Dariyo (2004:97) membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi empat, yaitu :
18
a. Pola Asuh Otoriter (parent oriented) Ciri-cri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. b. Pola Asuh Permisif (children centered) Sifat pola asuh ini, yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. c. Pola Asuh Demokratis Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. d. Pola Asuh Situsional Pada pola asuh ini orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tertentu. Tetapi kemungkinan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Menurut Hourlock dalam Chabib Thoha (1996 : 111-112) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua terhadap anaknya dikelompokan menjadi tiga, yaitu pola asuh otoriter, demokratis, permisif. Berikut ini dipaparkan bentuk-bentuk pola asuh orang tua diatas : a. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturanaturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan
19
meskipun sudah menginjak usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam suasana semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan tentang apa saja. b. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung pada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya. c. Pola Asuh Permisive Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluasluasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa yang telah dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan atau bimbingan.
Sedangkan menurut Tembong Prasetya (2003: 27-32) membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi empat, yaitu 1). Pola Asuh Outoriteriatif, 2). Pola Asuh
20
Otoriter, 3). Pola Asuh Pemanja dan 4). Pola Asuh Penelantar . berikut ini adalah penjabaran secara jelas mengenai bentuk-bentuk pola asuh : a. Pola pengasuhan autoritatif Pada umumnya pola pengasuhan ini hampir sama dengan bentuk pola asuh demokratis oleh Agoes Dariyo (2004) dan Chabib Thoha (1996) namun hal yang membedakan pola asuh ini yaitu adanya tambahan mengenai pemahaman bahwa masa depan anak harus dilandasi oleh tindakan-tindakan masa kini. Orang tua memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan dengan kepentingan dirinya, tidak ragu-ragu mengendalikan anak, berani menegur apabila anak berperilaku buruk. Orang tua juga mengarahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan yang akan mendasari anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang. b. Pola pengasuhan otoriter Pada pola pengasuhan ini, orang tua menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua. Kebanyakan anak-anak dari pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan cukup bertanggung jawab, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri. c. Pola pengasuhan penyabar atau pemanja Pola pengasuhan ini, orang tua tidak menmgadalikan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak, tidak pernah menegur atau tidak berani menegur anak. Anak-anak dengan pola pengasuhan ini cenderung lebih energik dan responsif dibandingkan anak-anak dengan pola pengasuhan
21
otoriter, namun mereka tampak kurang matang secara sosial (manja), impulsif, mementingkan diri sendiri dan kurang percaya diri (cengeng). d. Pola pengasuhan penelantar Pada pola pengasuhan ini, orang tua kurang atau bahkan sama sekali tidak mempedulikan perkembangan psikis anak. Anak dibiarkan berkembang sendiri, orang tua juga lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anak. Kepentingan perkembangan kepribadian anak terabaikan, banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri dengan berbagai macam alasan . Anak-anak terlantar ini merupakan anak-anak yang paling potensial terlibat penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan tindakantindakan kriminal lainnya. Hal tersebut dikarenakan orang tua sering mengabaikan keadaan anak dimana ia sering tidak peduli atau tidak tahu dimana anak-anaknya berada, dengan siapa anak-anak mereka bergaul, sedang apa anak tersebut. Dengan bentuk pola asuh penelantar tersebut anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tua, sehingga ia melakukan segala sesuatu atas apa yang diinginkannya. Dari beberapa uraian pendapat para ahli di atas mengenai bentuk pola asuh orang tua dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya terdapat empat pola asuh yang diterapkan orang tua yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh pemanja dan pola asuh bebas (permisif). Dari keempat bentuk pola asuh orang tua tersebut, ada kecenderungan bahwa pola asuh demokratis dinilai paling baik dibandingkan bentuk pola asuh yang lain. Namun demikian, dalam pola asuh demokratis ini bukan merupakan pola asuh yang sempurna, sebab bagaimanapun juga ada hal yang bersifat situsional seperti yang dikemukakan oleh Agus Dariyo
22
(2004:99)bahwa tidak ada orang tua dalam mengasuh anaknya hanya menggunakan satu pola asuh dalam mendidik dan mengasuh anaknya. Dengan demikian, ada kecenderungan bahwa tidak ada bentuk pola asuh yang murni diterapkan oleh orang tua tetapi orang tua dapat menggunakan ketiga bentuk pola asuh tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi saat itu. Syamsu Yusuf (2007: ) mengemukakan pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak yang diambil dari penelitian Baumrind yang bertujuan untuk mengetahui gaya perlakuan orang tua dan kontribusinya terhadap kompetensi sosial, emosi dan intelektual siswa. Pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak diantaranya Remaja yang mengalami pola asuh Otoriter akan memiliki profil perilaku anak yang mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan, yang tampak jelas adalah cenderung tidak bersahabat ; remaja yang mengalami pola asuh Demokratis lebih cenderung sangat bersahabat, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, mampu mengendalikan diri (self control), bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan dan arah masa depan dan berorentasi pada prestasi. Sedangkan pola asuh permisif akan cenderung membentuk anak yang bersikap impulsive dan agresif, suka membrontak, kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri, suka mengadopsi, tidak jelas arah hidupnya, berprestasi rendah. Senada dengan pendapat diatas, Parke (1990) mengungkapkan bahwa pola asuh orang tua memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku remaja dalam hal ini dapat dilihat dari tabel berikut :
23
Tabel 2.1 Karakteristik Pola Asuh Orang Tua dan Karakteristik Remaja yang dihasilkan No. 1.
Karakteristik Orang Tua Pola asuh Authoritative
2.
Perhatian, menunjukan rasa senang apabila remaja menunjukan perilaku yang diharapkan terlibat dalam kehidupan remaja mempertimbangkan permintaan atau pendapat remaja, menunjukan rasa tidak senang jika remaja melakukan perilaku yang buruk, menawarkan standarstandar alternatif, berkomunikasi dengan remaja, tidak mengalah pada paksaan rengekan remaja yang membawa dampak negative bagi remaja, tidak memanjakan remaja yang tidak patuh pada peraturan yang telah disepakati. Pola asuh Authoritarian
3.
Karakteristik Remaja Remaja yang bersemangat dan bersahabat Dapat mengontrol diri, memiliki kepercayaan diri yang baik, memiliki motivasi berprestasi, menunjukan keingin tahuan terhadap situasi yang baru, memiliki semangat yang besar, memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya,maupun bekerja sama dengan orang dewasa, dapat memahami perintah yang diberikan, dapat mengatasi stress dengan baik.
Remaja yang mudah tersinggung dan memiliki banyak konflik
Hanya sedikit menunjukan kehangatan, tidak mempertimbangkan pendapat remaja, memaksakan aturan secara keras, namun tidak mengkomunikasikan aturan tersebut, sering menunjukan perasaan marah dan rasa ketidaksukaan, dan menghukum anak yang tidak patuh dengan kekerasan. Pola Asuh permissiveindulgent
mudah tersinggung dan memiliki banyak konflik, tidak bahagia, tidak memiliki tujuan hidup, moody, penakut, mudah merasa jengkel, suka bermusuhan namun tidak secara terang-terangan, suka berbohongmudah mengalami stress serta terkadang memiliki sikap agresif dan pemurung.
Memprioritaskan kebebasan ekspresi dari keinginan remaja, tidak
Agresip, mendominasi, menguasai, gampang marah namun gampang pula mengembalikan amarahnya,
Remaja yang impulsive-agresif
24
4.
mengkomunikasikan peraturan dengan jelas kepada remaja dan tidak menghukum remaja ketika remaja melakukan pelanggaran peraturan, menerapkan disiplin secara tidak konsisten, menyembunyikan ketidaksabaran dan kemarahan, menyerah kepada rengekan remaja. Pola asuh permissiveindifferent
menunjukan sedikit motivasi berprestasi, hanya memiliki sedikit tujuan hidup, impulsive, kurang dapat mengontrol diri dan kurang memiliki kepercayaan diri.
Berorientasi pada diri sendiri, secara umum orang tua tidak bersifat responsive terhadap remaja, menelantarkan remaja, mencoba untuk meminimalisir usaha dan waktu untuk berinteraksi dengan remaja, hanya berorientasi pada kebutuhan fisik remajatanpa memperdulikan kesejahteraan remaja. (Porke 1990)
Agresif, memiliki self-esteem yang rendah, bersifat tidak dewasa, cenderung mengasingkan diri dari keluarga, kurang memiliki kemapuan dalam penyesuaian social dan akademik, impulsive, memiliki teman sebaya yang bermasalah nakal, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan seksualitas yang belum pada waktunya.
Anak yang diabaikan
Dalam penelitian ini penulis mengacu pada empat bentuk pola asuh orang tua yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. Adapun pengaruh ketempat bentuk pola asuh orang tua terhadap perilaku moral remaja adalah meliputi aktivitas pendidikan dalam keluarga, kecenderungan cara mendidik anak, cara mengasuh dan cara hidup orang tua yang berpengaruh secara langsung terhadap perilaku moral remaja.
25
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua antara lain : a. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. Pendidikan akan memberikan dampak bagi pola pikir dan pandangan orang tua terhadap mendidik anaknya. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh orang tua maka akan semakin memperluas dan melengkapi pola berpikirnya dalam mendidik anaknya. b. Lingkungan Pola asuh yang baik sulit berjalan efektif bila tidak didukung lingkungan. Namun, kelekatan anak orang tua dapat meminimalkan pengaruh negatif lingkungan. Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengaharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik. Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh pada anaknya.
26
d. Umur Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur semakin bertambah pengetahuan yang dimiliki, serta perilaku yang sesuai untuk mendidik anak
e. Tingkat sosial ekonomi Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan social ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang sesuai dengan perkembangan anak.
4. Pengertian Orang Tua Tunggal Menurut Sager, dkk (dalam Perlmutter & Hall,1985), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang tua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya. Menurut Hamner dan Turner (dalam Duval, dkk, 1985), bahwa suatu keluarga dianggap sebagai keluarga orang tua tunggal bila hanya ada satu orang tua yang tinggal bersama anak-anaknya dalam satu rumah. Ada beberapa sebab mengapa individu sampai menjadi orang tua tunggal, yaitu karena kematian suami atau istri, perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah, pengangkatan atau adopsi anak oleh wanita atau pria lajang (Perlmutter & Hall, 1985). Berdasarkan beberapa definisi dan penjelasan di atas, maka pengertian orang tua tunggal adalah wanita atau pria yang sudah pernah atau belum pernah
27
menikah dan membesarkan anak-anaknya sendirian tanpa disertai kehadiran dan tanggung jawab pasangannya. maka dapat disimpulkan pengertian orang tua tunggal wanita adalah seorang wanita yang suaminya sudah meninggal atau tinggal sendiri tanpa kehadiran pasangannya dan membesarkan anak-anaknya dengan sendirian. Sedangkan pengertian orang tua tunggal pria adalah seorang laki-laki yang istrinya meninggal maupun yang hidup sendiri karna perceraian dan membesarkan anaknya sendirian. Menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah, ada berbagai kesulitan dan masalah yang harus dihadapi oleh mereka yang menjadi orang tua tunggal, baik pria maupun wanita. Namun sering kali menjadi orang tua tunggal bagi seorang wanita adalah hal yang tersulit hal ini sejalan dengan pendapat Bell (1971:68), secara sosial maupun psikologis, peran sebagai janda memang lebih menyulitkan dari pada peran sebagai duda. Hal ini disebabkan: a. Perkawinan biasanya lebih penting bagi wanita dari pada pria, sehingga akhir dari suatu perkawinan dirasakan oleh wanita sebagai akhir dari peran dasarnya sebagai istri. b. Janda kurang memiliki keberanian, baik secara pribadi maupun sosial untuk menikah lagi, sehingga mereka cenderung tidak menikah lagi. c. Janda lebih mengalami kesulitan keuangan dari pada duda. d. Wanita secara sosial kurang agresif, dan mereka lebih membatasi kehidupan sosialnya dibandingkan pria. e. Lebih banyak janda dibandingkan duda, sehingga kesempatan untuk mengubah status melalui pernikahan kembali lebih sulit baagi janda dari pada duda. Menurut Mahmou’ddin (dalam Admin, 2007:79), wanita yang menjadi orang tua tunggal harus menghadapi kenyataan: a. Hilangnya teman hidup yang terdekat, terputusnya cinta dan ketentraman b. Hilangnya seseorang yang akan menjadi contoh dan ikutan bagi anakanak. c. Bertambah dan meningkatnya beban hidup dalam memenuhi kebutuhan biaya rumah tangga.
28
d. Bertambah dan meningkatnya tugas untuk memberikan pendidikan terhadap anak. e. Menerima tugas dan beban dalam rumah tangga yang disertai dengan pertanggungjawaban. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang wanita yang menjadi orang tua tunggal akan lebih berat menjalani hidup dibanding dengan laki-laki, secara sosial dan psikologis menjadi orang tua tunggal bagi wanita adalah hal yang paling berat karena ia harus dapat berperan menjadi seorang ibu dan juga seorang ayah sekaligus, dan harus menanggung predikat janda dari masyarakat yang masih dianggap negatif. 5. Sebab-sebab Orang Tua Tunggal Menurut Perlmutter & Hall (1999), ada beberapa sebab mengapa seseorang sampai menjadi orang tua tunggal, yaitu karena kematian suami atau istri, perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah, penganngkatan atau adopsi oleh wanita atau pria lajang. Banyak wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal ini menurut (Bell,1980), antara lain disebabkan wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang, umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua, dan lebih banyak duda yang menikah kembali, sehingga lebih banyak janda dari pada duda. Uraian di atas telah menunjukkan bahwa sebab-sebab orang tua tunggal karena kematian, perceraian, pranikah, dan pengadopsian anak.
29
B. Perilaku Moral Remaja 1. Pengertian Perilaku Sebelum menjelaskan lebih mengenai perilaku moral, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian “perilaku” dan “moral” itu sendiri. Keduanya memiliki pengertian yang berbeda, untuk lebih memahami pengertian tersebut penulis jelaskan sebagai berikut : Menurut kamus besar bahasa Indonersia (2001:859) perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Secara operasional menurut Soekidjo,N (,1993:58),memengungkapkan bahwa “perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar
subjek
tersebut”.
Sedangkan
menurut
Notoatmodjo
(2003:45),
mengemukakan bahwa “Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya”. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003:45) seperti yang dikutip oleh (http:syakira-blog.blogspot.com,) merumuskan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon yang dibedakan dengan adanya dua respon yaitu respondent respons dan operant respons. Respondent respons merupakan respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu dan menimbulkan rangsangan tetap, misalnya makanan yang lezat menimbulkan
30
air liur, sementara
operant
respons
adalah respon
yang timbul
dan
perkembangannya diikuti oleh perangsang tertentu dan diperkuat oleh respon yang telah dilakukan oleh organisme. Misalnya seorang anak belajar atau telah melakukan perbuat dan kemudian memperoleh hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik melakukan perbuatan tersebut. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua: a. Perilaku tertutup (covert behavior) Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. b. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Teori tersebut didukung oleh pendapat dari Tika Bisono, S.Psi seseorang ahli psikologi bahwa setiap manusia terdapat sisi positif dan negatifnya dari berbagai macam kepribadian seseorang, diantaranya (Gadis, 24 Oktober 1996 edisi XXX) yang dikutip oleh Meta Inmasari (2004: 35)
31
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
1. 2. 3. 4.
EKSTROVERT (Terbuka) Positifnya Terbuka Mudah terus terang Berani mengemukakan Pendapat Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi Asertif Mudah bergaul Tahu apa yang di inginkannya Memiliki banyak teman
Negatifnya Cenderung agresif Kurang bisa mengontrol diri Kurang peduli atau kurang menjaga perasaan orang Terkadang kalau kurang bias menempatkan diri cenderung sombong
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
INTROVERT (Tertutup) Positifnya Lebih tertutup dan menahan diri Pintar dalam menyimpan rahasia Cenderung menjadi pendengar yang baik Pemberi nasehat bagi teman-temannya Pemikirannya panjang Tidak emosional Sedikit bicara banyak kerja
Negatifnya 1. Tidak berani mengutarakan pendapat karna selalu memikirkan perasaan orang lain 2. Tidak maju-maju karena kurang berusaha untuk berkembang 3. Sering memendam emosi, sering melakukan tindakan diluar batas.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku timbul sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungan dimana dia tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, perilaku baru terjadi bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi. Sesuatu tersebut disebut rangsangan. Jadi suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi berupa perilaku tertentu. Hal ini berkaitan dengan kepribadian seseorang dilihat dari apakah ia tergolong
32
sebagai seseorang yang memiliki kepribadian tertutup ataukah ia memiliki kepribadian terbuka.
a. Pengertian Moral C, Asri Budiningsih (2004 :24) mengertikan moral yang di kutip dari pendapat Franz adalah sebagai berikut : “Bahwa moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan manusia.” Definisi lain dikemukakan oleh piaget, L. Kohlberg, B. Graham dan baebara Leers (ahmad kosasih Djahiri, 1989:24) yang mengatakan bahwa “Moral adalah segala sesuatu hal yang menyangkut, membatasi, dan menentukan secara harus dianut, dijalankan, karena hal tersebut dianut, diyakini, dilaksanakan atau diharapkan dalam kehidupan dimana kita berada. Moral ada didalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini, akan menjadi moralitas sendiri. “ Ahmad Kosasih Djahiri (1986 :76) mengatakan lebih lanjut mengenai moral mengikat seseorang karena: 1. 2. 3. 4.
Dianut orang atau kelompok atau masyarakat dimana kita berada Diyakini orang atau kelompok atau dimana kita berada Dilaksanakan orang atau kelompok dimana kita berada Merupakan nilai yang diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan kelompok atau masyarakat kehidupan kita.
Huky (Daroeso, 1986:22) mengemukakan: kita dapat memahami moral dengan tiga cara yaitu : 1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
33
2. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu. 3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu – individu di dalam pergaulan”. Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa moral memegang peran penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (ammoral). Dengan demikian moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara mau dan tahu dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi (person) manusia dan masyarakat. Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok.
34
b. Pengertian perilaku moral Perilaku moral atau tingkah laku yang bermoral berarti tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat. Elizabeth hurock yang di kutip oleh istiwidayanti, (1992:74) dalam hal ini berpendapat sebagai berikut : Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial… perilaku moral di kendalikan konsep-konsep moral peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok. Perilaku bermoral dibedakan dengan yang di artikan perilaku yang tidak bermoral atau perilaku amoral. Elizabeth hurock menjelaskan hal tersebut sebagai berikut : Perilaku tidak bermoral perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku demikian tidak disebabkan ketidak acuhan akan harapan sosial melainkan ketidak setujuan dengan standar sosial atau kuarang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Perilaku amoral atau nonmoral disebabkan ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Beberapa diantaranya perilaku salah anak kecil lebih bersifat bermoral. Maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan perilaku moral ialah tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
35
2. Tahap-tahap Perkembangan Moral Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek mental dan kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget mengemukakan adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu. Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau Realisme Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan – aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap kompeten untuk itu; Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau Independensi Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan perlunya memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30) menyimpulkan empat tahapan perkembangan moral yaitu: a. Anomi (without law), adalah anak belum memiliki perasaan moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan – peraturan yang ada. b. Heternomi (law imposed by others), adalah tahap moralitas terbentuk karena pengaruh luar (external morality). Pada heternomi peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan tersebut di atas. c. Sosionomi (law driving from society), adalah suatu kenyataan adanya kerjasama antar individu, menjadi individu sadar bahwa dirinya merupakan anggota kelompok. d. Autonomi (law driving from self), adalah tahapan perkembangan pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari individu bersumber pada diri individu sendiri, termasuk di dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut. Tahap perkembangan lainnya dikemukakan oleh Kohlberg terdiri dari tiga tingkatan perkembangan moral yang masing – masing tingkat memuat pula dua tahap perkembangan yaitu:
36
a. Tingkat prakonvesional Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya
sendiri.
Artinya,
pertimbangan
moral
didasarkan
pada
pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap. 1) Orientasi hukuman dan kepatuhan Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah tingkah laku yang tidak mengakibatkan hukuman. Dengan demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif. 2) Orientasi instrumental – relative Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas tingkah laku kita yang anggap baik. Dengan demikian tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi. b. Tingkat konvensional Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu – masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu harus sesuai dengan norma – norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai dua tahap sebagai lanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.
37
1) Keselarasan interpersonal Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah laku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan, hubungan itu tidak boleh dirusak. 2) Sistem sosial dan kata hati Pada tahap ini tingkah laku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem social yang mengatur tingkah laku individu. c. Tingkat postkonvensional Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap: 1) Kontrak social Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan pada kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat. kesadaran individu untuk bertingkah laku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip – prinsip sosial. Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar pemenuhan sistem nilai. 2) Prinsip etis yang universal aturan – aturan Pada tahap terakhir, tingkah laku manusia didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam tindakan
38
bukan hanya didasarkan sebagai kontrak social yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang kita benci atau tidak, orang yang kita suka atau tidak. Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alas an subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal.
3. Faktor yang berpengaruh dalam perkembangan moral Tingkah laku moral (yang bermoral) merupakan hasil belajar atau dipelajari, karena faktor-faktor menentukan yang mempengaruhinya pun berasal dari luar individu. Adapun peran faktor-faktor tersebut dikemukakan oleh Singgih Gunarsa (1988:38-43) yaitu a). Lingkungan Keluarga, b). Lingkungan Sekolah dan c). Lingkungan Pergaulan. Berikut ini adalah perjabaran faktor yang mempengaruhi tingkah laku moral. a. Lingkungan Keluarga Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Ketika seorang anak yang memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang taunya kemungkinan besar perkembangan moral anak tersebut terganggu sehingga anak tersebut tidak mampu mengembangkan super egonya sehingga mereka biasa melakukan hal-hal yang melanggar aturan atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. b. Lingkungan Sekolah
39
Disekolah anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan sosok guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik sehingga dapat memberikan contoh yang baik, selain dirumah sekolah adalah tempat anak mendapatkan pendidikan moral. c. Lingkungan Pergaulan Dalam pengembangan kepribadian, faktor lingkungan pergaulan juga turun mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya. Maka dari faktor-faktor di atas yang mempengaruhi perkembangan moral dapat disimpulkan anak mendapatkan pendidikan moral dimana saja, dan pendidikan moral pada umumnya, baik di dalam keluarga, sekolah maupun di lingkungan bergaul, sebagai bagian pendidikan nilai, dalam upaya untuk membantu anak mengenal, menyadari pentingnya, dan menghayati nilai – nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan tingkah lakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama – sama dalam suatu masyarakat.
40
C. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Tunggat dengan Perilaku Moral Remaja Perilaku moral remaja pada anak terbentuk berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Di dalam keluarga, orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri dan memiliki sikap disiplin. Meskipun dunia pendidikan juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri dan disiplin dalam hidup, keluarga tetap merupakan pilar dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri dan disiplin. Bila pendidikan orang tua yang pertama dan utama ini tidak berhasil maka akan dapat menimbulkan sikap dan perilaku yang kurang mandiri dan memiliki sikap disiplin pada anak. Maka dalam mendidik atau mengasuh anak untuk menjadikan anak yang memiliki perilaku moral yang baik tidaklah mudah, ada banyak hal yang harus dipersiapkan sedini mungkin oleh orang tua ketika mendidik atau mengasuh anak. Peran orang tua sangatlah besar dalam proses pembentun perilaku moral seseorang, orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Pola asuh Demokratis
Pola asuh Otoriter Perilaku Moral Remaja Pola asuh Memanjakan
Pola asuh Permisif
41
Pola asuh orang tua dalam mendidik dan membimbing anak sangat berpengaruh dalam perkembangan terutama ketika anak telah menginjak masa remaja. Ada berbagai macam cara orang tua dalam mengasuh dan membimbing anaknya, keanekaragaman tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan latar belakang, pengalaman, dan pendidikan orang tua. Mengingat masa remaja merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan kemandirian dan kedisiplinan maka pemahaman dan kesempatan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian dan kedisiplinan krusial. Menurut Jacquelin Marie T (2002) seorang staff pengajar Fakultas Psikologi UGM mengatakan bahwa anak tumbuh menjadi remaja, tingkat ketergantungan berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan aspek-aspek kepribadian dalam diri mereka. Perilaku moral menjadi sangat berbeda pada rentang usia tertentu. Perilaku moral sangat tergantung pada proses kematangan dan proses belajar ana dan kematangan anak dalam bersikap. Remaja tumbuh dan berkembang dalam lingkup sosial. Lingkup sosial, dasar perkembangan pribadi anak adalah keluarga. Dengan demikian, orang tua memiliki porsi terbesar untuk membawa anak mengenal kekuatan dan kelemahan diri untuk berkembang termasuk perkembangan perilaku moral remaja. Pola asuh orang tua menurut Gunarsa (2003: 82-84) terdiri dari pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter yaitu pola asuh yang menitikberatkan aturan-aturan
42
dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi, yang mengakibatkan anak cenderung untuk memiliki sikap yang acuh, pasif, takut, dan mudah cemas. Cara otoriter menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitas-aktivitasnya menjadi “tumpul” secara umum kepribadianya lemah demikian pula kepercayaan dirinya. Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis yang ditandai oleh sikap orang tua yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orang tua. Dengan cara demokratis ini pada anak tumbuh rasa tanggung jawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkahlaku dan selanjutnya memupuk kepercayaan dirinya. Ia mampu bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada pada dirinya untuk memperoleh kepuasan dan menyesuaikan diri dan kalau tingkah lakunya tidak berkenan bagi orang lain ia mampu menunda dan menghargai tuntutan pada lingkungannya. Baldwin (dalam Gerungan, 1998:189) mengatakan bahwa didikan demokratis akan membuat anak menjadi mandiri dan memiliki sikap disiplin dalam menjalankan hidupnya, serta tidak takut dan lebih bertujuan dalam hidupnya. Sedangkan bila anak di didik oleh orang tua secara permisive, orang tua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-batasan dari tingkah laku. Anak terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Pada umumnya keadaan seperti ini terdapat pada keluarga yang terlalu sibuk. Orang tua hanya bertindak sebagai “polisi” yang
43
mengawasi, menegur, dan mungkin memarahi. Orang tua tidak terbiasa bergaul dengan anak, hubungan tidak akrab dan merasa bahwa anak harus tahu sendiri. Pada anak tumbuh keakuan (egocentrisme) yang terlalu kuat dan kaku dan mudah menimbulkan kesulitan-kesulitan kalau harus mengahadapi larangan-larangan yang ada dalam lingkungan sosialnya. Pada pola asuh ini anak dibiarkan berbuat sesuka hati dengan sedikit kekangan dan memenuhi kehendak anak agar anak mereka senang sehingga menjadikan anak kurang memiliki perilaku moral yang baik.
D. PENELITIAN SEBELUMNYA YANG RELEVAN Terdapat beberapa hasil penelitian sebelumnya mengenai hubungan pola asuh dengan perilaku moral remaja 1. Hasil penelitian yunik imtiyas (2010) mengenai “hubungan Pola Asuh orang tua dengan kemandirian remaja terhadap remaja madya siswa kelas X SMAN 20 bandung tahun ajaran 2009/2010, menghasilkan temuan sebagai berikut : 1). Tipe pola asuh orang tua yang paling banyak yang dirasakan siswa adalah authoritative, 2). tingkat kemadirian siswa dalam katagori sedang, 3). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh authoritative dengan kemandirian siswa. 2.
Hasil penelitian Damayanti (2010) mengenai “ hubungan pola asuh orang tua dengan kontrol diri remaja awal di sekolah. Pada siswa laboratorium UPI“ menghasilkan temuan sebagi berikut : 1). Sebagian besar siswa merasa pola asuh authoritative dalam hubungan dengan orang tua, maka dalam hal ini siswa mendapatkan kehangatan dan bimbingan yang di berikan orang tua
44
menuntut remaja untuk mandiri dan disiplin. 2). kontrol diri siswa cukup tinggi dalam hal ini mampu mengontrol prilaku. 3). Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kontrol diri remaja bahwa hal ini menunjukan semakin baik pola asuh yang diterapkan semakin baik pula kontrol diri remaja. 3. Hanifa Lailunnafar pangestu (2010) mengenai “ hubungan pola asuh orang tua dengan agresivitas remaja awal di SMP Mutiara 4 Bandung” mengahasilkan temuan sebagai berikut : 1). Pola asuh remaja awal pada siswa kelas VIII SMP mutiara 4 Bandung sebagian besar memiliki pola asuh orang tua acuh tak acuh, 2). Agresivitas remaja awal di SMP Mutiara 4 Bandung dikatagorikan tinggi, 3). Tidak terdapat hubungan signifikan antara pola asuh orang tua dengan agresivitas siswa SMP Mutiara 4 Bandung.