BAB II KAJIAN TEORETIS A. Pengertian Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Jadi yang dimaksud perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain, berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). “Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung atau tidak langsung” (Sunaryo 2004). Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1983), ciri-ciri perilaku manusia yang membedakan dari makhluk lain adalah kepekaan sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan, tiap individu adalah unik. Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut : (1) kepekaan sosial, artinya kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan perilakunya sesuai pandangan dan harapan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang dalam hidupnya perlu kawan dan bekerja sama dengan orang lain. Perilaku manusia adalah situasional, artinya perilaku manusia akan berbeda pada situasi yang berbeda ; (2) kelangsungan perilaku, artinya antara perilaku yang satu ada kaitannya dengan perilaku yang lain, perilaku sekarang adalah kelanjutan dari perilaku yang lalu ; (3) orientasi pada tugas, artinya bahwa setiap perilaku manusia selalu memiliki orientasi pada suatu tugas tertentu ; (4) usaha dan perjuangan,
artinya usaha dan perjuangan pada manusia telah dipilih dan ditentukan sendiri, serta tidak akan memperjuangkan sesuatu yang memang tidak ingin diperjuangkan ; (5) tiap-tiap individu manusia adalah unik, artinya unik disini mengandung arti bahwa manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain, dan tidak ada dua manusia yang sama persis di dunia ini. Walaupun ia dilahirkan kembar. B. Perilaku Guru Guru merupakan faktor pendidikan yang menempati posisi utama dalam memegang peranan penting dalam keseluruhan proses pembelajaran di sekolah. Arti penting itu bertitik tolak dari tugas dan tanggung jawab guru yang dapat dikatakan berat dalam membina potensi anak didik, sehingga memiliki integritas kepribadian, ilmu, berbudi pekerti, beriman dan bertaqwa serta memiliki ketrampilan dalam kehidupannya sebagai individu dan masyarakat. Guru bukan hanya sebagai pengajar yang transfer of knowledge tetapi juga transfer of values, pembimbing yang dapat memotivasi dan membimbing siswa dalam belajar. Menurut Keputusan Menpan No.84/1993 guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat berwewenang untuk melaksanakan pendidikan dengan tugas utama mengajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk Taman Kanak-Kanak atau membimbing peserta didik pada pendidikan dasar dan Menengah. Guru bukan hanya sebagai pengajar, pelatih, pembimbing, tetapi juga sebagai cermin tempat siswa dapat berkaca. Dalam relasi interpersonal antar
guru dan siswa tercipta situasi yang memungkinkan siswa dapat belajar menerapkan yang menjadi contoh dan memberi contoh. Guru mampu menjadi orang yang mengerti siswa dengan segala problematikanya, guru juga harus mempunyai wibawa sehingga siswa segan terhadapnya. Hakikat guru pendidik adalah bahwa ia digugu dan ditiru (Zakiah Darajat, 2000:54). Fungsi kompetensi guru adalah memberikan bimbingan dan suri teladan, secara bersama-sama mengembangkan kreatifitas dan membangkitkan motif belajar serta dorongan untuk maju kepada siswa. Dalam Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab VI pasal 28 ayat 3 dinyatakan bahwa guru minimal memiliki empat kompetensi yaitu : (a) kompetensi pedagogik (b) kompetensi kepribadian (c) kompetensi profesional (d) kompetensi sosial. Untuk masing-masing kompetensi diuraikan secara ringkas sebagai berikut : 1. Kompetensi pedagogik adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa dalam kelas. Kompetensi pedagogik meliputi, kemampuan guru dalam menjelaskan materi, melaksanakan metode pembelajaran, memberikan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengelola kelas, dan melakukan evaluasi. 2. Kompetensi kepribadian adalah seperangkat kemampuan dan karakteristik personal yang mencerminkan realitas sikap dan perilaku guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi kepribadian ini melahirkan ciri-ciri guru diantaranya, sabar, tenang, tanggung
jawab, demokratis, ikhlas, cerdas, menghormati orang lain, stabil, ramah, tegas, berani, kreatif, inisiatif, dll. 3. Kompetensi profesional adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan terhadap
penguasaan
materi
pelajaran
secara
mendalam,
utuh
dan
komprehensif. Guru yang memiliki kompetensi profesional tidak cukup hanya memiliki penguasaan materi secara formal (dalam buku panduan) tetapi juga harus memiliki kemampuan terhadap materi ilmu lain yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan mata pelajaran tertentu. 4. Kompetensi sosial adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan yang terkait dengan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Artinya, guru harus dituntut memiliki keterampilan berinteraksi dengan masyarakat khususnya dalam
mengidentifikasi,
menganalisis,
dan
menyelesaikan
problem
masyarakat. Dalam realitas masyarakat, guru masih menjadi sosok elit masyarakat yang dianggap memiliki otoritas moral cukup besar, salah satu konsekuensi agar peran itu tetap melekat dalam diri guru, maka guru harus memiliki kemampuan hubungan dan komunikasi dengan orang lain.
Kompetensi guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka, berwibawa, bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup
ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.
1. Kompetensi Kepribadian Guru
Menurut Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang Standard Kualifikasi dan Kompetensi Guru, kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan perilaku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpencar dalam perilaku sehari-hari. Kompetensi ini meliputi : (1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, meliputi : (a) menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah asal, dan gender ; (b) bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan kebudayaan nasional Indonesia yang beragam ; (2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, meliputi : (a) berperilaku jujur, tegas, dan manusiawi ; (b) berperilaku yang mencerminkan ketakwaan dan akhlak mulia ; (c) berperilaku yang dapat diteladan oleh peserta didik dan anggota masyarakat di sekitarnya ; (3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, meliputi : (a) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil ; (b) menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa ; (4) Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, meliputi : (a) menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi ; (b) bangga
menjadi guru dan percaya pada diri sendiri ; (c) bekerja mandiri secara professional ; (5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru, meliputi : (a) memahami kode etik profesi guru : (b) menerapkan kode etik profesi guru ; (c) berperilaku sesuai dengan kode etik profesi guru.
Setiap subjek memiliki pribadi yang unik, masing-masing mempunyai ciri dan sifat bawaan serta latar belakang kehidupan. Banyak masalah yang dihadapi oleh siswa, banyak pula minat, kemampuan, motivasi, dan kebutuhan yang harus dipenuhi siswa. Di samping itu, siswa juga memiliki pengalaman dari hidupnya, walaupun dalam bentuk mini. Semuanya yang dimiliki siswa baik itu masalah psikologis siswa ataupun minat, kebutuhan, motivasi, dan kebutuhannya semuanya memerlukan bimbingan guru yang berkepribadian dapat bertindak sebagai pembimbing, penyuluh, dan dapat menolong siswa agar siswa mampu menolong dirinya sendiri.
Siswa mampu mengatasi
masalah yang dihadapi secara baik. Disinilah letak kompetensi kepribadian guru sebagai pembimbing sekaligus sebagai suri tauladan (Gumelar 2002:127). Menurut (Muhibbin Syah, 2007:127) guru adalah tenaga pendidik yang pekerjaan utamanya adalah mengajar, kegiatan mengajar yang dilakukan guru tidak hanya beroriantasi pada kecakapan-kecakapan berdimensi ranah cipta saja tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa dan karsa. Dalam suasana pendidikan dan pengajaran terjalin interaksi antara siswa dengan guru atau antara peserta didik dengan pendidik. Interaksi ini sesungguhnya merupakan interaksi dua kepribadian yaitu kepribadian siswa sebagai anak yang belum
dewasa dan sedang berkembang mencari bentuk kedewasaan dengan guru yang telah memiliki kepribadian dewasa. Guru adalah panutan yang harus digugu dan ditiru dan sebagai contoh pula bagi kehidupan dan pribadi siswanya. Kematangan kepribadian guru dalam membimbing siswa merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang perkembangan siswa dalam menemukan jati dirinya (Majid, 2005: 96). Dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya yaitu guru harus : Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani. Artinya bahwa guru harus menjadi contoh dan teladan, membangkitkan motif belajar siswa serta mendorong/memberikan motivasi dari belakang. Dalam arti seorang guru dituntut melalui sikap dan perbuatannya menjadikan dirinya pola panutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya. Dalam hal ini adalah siswa-siswi di sekolahnya. Sebagai seorang guru juga dituntut harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi kepada orang-orang yang dibimbingnya serta harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya, agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (dicontoh sikap dan
perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000: 225226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan. Surya (2003:138) menyebut
kompetensi kepribadian ini
sebagai
kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi meliputi : (1) Pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama; (2) Pengetahuan tentang budaya dan tradisi ; (3) Pengetahuan tentang inti demokrasi ; (4) Pengetahuan tentang estetika ; (5) Memiliki
apresiasi dan kesadaran sosial ; (6) Memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan ; (7) Setia terhadap harkat dan martabat manusia. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan perilaku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari. Hal ini dengan sendirinya berkaitan erat dengan falsafah hidup yang mengharapkan guru menjadi model manusia yang memiliki nilai-nilai luhur. Kompetensi kepribadian guru mencakup sikap (attitude), nilai-nilai (value) kepribadian (personality) sebagai elemen perilaku (behaviour) dalam kaitannya dengan performans yang ideal sesuai dengan bidang pekerjaan yang dilandasi oleh latar belakang pendidikan, peningkatan kemampuan dan pelatihan, serta legalitas kewenangan mengajar (Satori, 2007). 2. Kompetensi Sosial Guru Kemampuan guru untuk berkomunikasi dengan orang lain juga sangat penting karena tugasnya memang selalu berkaitan dengan orang lain seperti anak didik, guru lain, karyawan, orang tua murid, kepala sekolah, pemerintah dan masyarakat lainnya. Kemampuan ini sangat penting untuk dikembangkan karena dalam pengalaman, sering terjadi guru yang sungguh pandai, tetapi karena kemampuan komunikasi dengan siswa tidak baik, ia sulit membantu anak didik untuk bisa memberikan motivasi yang baik. Komunikasi yang baik akan membantu proses pembelajaran dan pendidikan terutama pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah. Kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang berkomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang
lain. Pada Permendiknas No. 16 tahun 2007, Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini meliputi : (1) Bersifat inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi, fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi, meliputi: (a) bersikap inklusif dan objektif terhadap peserta didik, teman sejawat dan lingkungan sekitar dalam melaksanakan pembelajaran ; (b) tidak bersikap diskriminatif terhadap peserta didik, teman sejawat, orang tua peserta didik dan lingkungan sekolah karena perbedaan agama, suku, jenis kelamin, latar belakang keluarga, dan status sosial-ekonomi, (2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, meliputi : (a) berkomunikasi dengan teman sejawat dan komunitas ilmiah lainnya secara santun, empatik dan efektif ; (b) berkomunikasi dengan orang tua peserta didik dan masyarakat secara santun, empatik, dan efektif tentang program pembelajaran dan kemajuan peserta didik ; (c) mengikutsertakan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik, (3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya, meliputi : (a) beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka meningkatkan efektivitas sebagai pendidik ; (b) melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk mengembangkan dan meningkatkan
kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan, (4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain, meliputi: (a) berkomunikasi dengan teman sejawat, profesi ilmiah, dan komunitas ilmiah lainnya melalui berbagai media dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran
;
(b)
mengkomunikasikan
hasil-hasil
inovasi
pembelajaran kepada komunitas profesi sendiri secara lisan dan tulisan maupun bentuk lain. Menurut Broke dan Stone (dalam Wijaya dan Rusyan, 1994:7) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. A. Perilaku Intrapersonal
Seorang siswa tengah meratapi hasil ujian yang baru saja dibagikan dengan melamun di bawah pohon di belakang sekolah, dia menggenggam erat kertas ujian miliknya sambil menengadah dia menangis tersedu menyesali kegagalannya. Sebagai manusia biasa contoh diatas hampir pernah dirasakan oleh setiap orang. Perilaku merenung, melamun, menimbang dan lain sejenisnya pun merupakan suatu bentuk
komunikasi walaupun hanya
dilakukan oleh satu orang pelaku. Perilaku tersebut dapat diistilahkan sebagai komunikasi intrapersonal. Menurut Mulyana (2007) komunikasi intrapersonal atau intrapribadi adalah komunikasi dengan diri sendiri, baik kita sadari atau tidak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa komunikasi ini merupakan landasan komunikasi antar pribadi dan komunikasi dalam konteks-konteks lainnya. Dengan kata lain komunikasi intrapersonal ini terjadi inheren dalam
komunikasi
dua-orang,
tiga-orang
dan
seterusnya,
karena
sebelum
berkomunikasi dengan orang lain kita biasanya berkomunikasi dengan diri sendiri (memproses makna pesan yang diterima dan yang akan diberikan), walaupun secara tidak disadari. Oleh karenanya, Mulyana menyatakan bahwa keberhasilan komunikasi kita dengan orang lain akan sangat bergantung pada kefektifan komunikasi kita dengan diri kita sendiri.
Komunikasi intrapersonal adalah (intrapersonal communication) adalah komunikasi yang terjadi dengan diri sendiri. Ini merupakan dialog internal dan bahkan dapat terjadi saat bersama dengan orang lain sekalipun. Sebagai contoh, ketika anda sedang bersama seseorang, apa yang anda pikirkan merupakan komunikasi intrapersonal. Para teoritikus komunikasi intrapersonal seringkali mempelajari peran kognisi dalam perilaku manusia. Penelitian dalam komunikasi intrapersonal berfokus pada kognisi, simbol dan niat yang dimiliki seseorang. Hingga saat ini, para peneliti dalam bidang ini telah mengamati sikap terhadap perilaku tertentu, proses bermimpi, berimajinasi, rasa malu terhadap diri sendiri. Komunikasi intrapersonal adalah jantung dari kegiatan komunikasi seseorang. Tanpa memahami diri sendiri, akan sulit untuk memahami orang lain (Richard West : 2008).
B. Perilaku Interpersonal Sebagai makhluk sosial kita merasa perlu berhubungan dengan orang lain. Kita memerlukan hubungan dan ikatan emosional dengan mereka. Kita memerlukan pengakuan mereka atas keberadaan dan kemampuan kita. Kita
membutuhkan persetujuan dan dukungan atas perilaku dan hidup kita. Dengan teman, kenalan, sahabat, kita saling berkomunikasi interpersonal. Komunikasi Interpersonal (interpersonal communication) merujuk pada komunikasi yang terjadi langsung antara dua orang. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal dan non verbal. Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu yaitu : a) perilaku spontan (spontaneous behaviour) adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif. Artinya perilaku itu terjadi begitu saja. Jika verbal, perilaku spontan bernada asal bunyi. Misalnya, “Hai”, “Aduh”, atau “Hore”. Perilaku spontan nonverbal, misalnya meletakkan telapak tangan pada dahi waktu kita sadar telah berbuat keliru atau lupa, melambaikan tangan pada waktu berpapasan dengan teman, atau menggebrak meja dalam diskusi ketika kita tidak setuju atas pendapat orang ; b) perilaku menurut kebiasaan (script behavior) adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu dan dimengerti orang. Misalnya ucapan “Selamat datang” kepada teman yang datang, “Apa kabar” pada waktu berjumpa dengan teman, atau “Selamat malam” pada waktu sebelum tidur. Dalam bentuk nonverbal, misalnya “berjabat tangan” dengan teman, “mencium tangan” orang tua ; c) perilaku sadar (contrived behavior) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan dirancang sebelumnya, dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi, urusan yang harus diselesaikan, dan situasi serta kondisi yang ada (Agus M. Hardjana, 2003).
Menurut Nana Syaodih (2006:39) bahwa guru mempunyai peranan ganda sebagai pengajar dan pendidik. Kedua peran tersebut bisa dilihat perbedaannya, tetapi tidak bisa dipisahkan. Tugas utama sebagai pendidik adalah membantu mendewasakan anak didik, dewasa secara psikologis, sosial dan moral. Dewasa secara psikologis berarti individu telah mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, juga telah mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mampu bersikap objektif. Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi peserta didik dan lingkungannya. Oleh sebab itu guru harus berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Berkaitan dengan perilaku guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari. Guru hendaknya menjadi model masyarakat, model manusia yang memiliki nilainilai luhur. Guru dianggap mampu mengaplikasikan sikap pribadi yang dijiwai oleh falsafah Pancasila yang mengagungkan budaya bangsanya yang rela berkorban bagi kelestarian bangsa dan negaranya. Dengan demikian pemahaman terhadap kompetensi kepribadian guru harus dimaknai sebagai sesuatu wujud sosok manusia yang utuh. C. Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari kata move yang artinya “bergerak “ . salah satu unsur dari motif (motive = alasan, atau sesuatu yang memotivasi). Motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, eksternal dan internal. Motivasi eksternal adalah motivasi yang berasal dari luar diri, yang dibagi menjadi dua
kelompok yaitu, motivasi eksternal positif dan motivasi eksternal negatif. Motivasi internal adalah motivasi yang dari dalam diri sendiri yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu motivasi internal positif dan motivasi internal negatif (Irianto, 2005:53).
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Berbeda dengan motivasi dalam pengertian yang berkembang di masyarakat yang seringkali disamakan dengan semangat, seperti contoh dalam percakapan "saya ingin anak saya memiliki motivasi yang tinggi". Statemen ini bisa diartikan orang tua tersebut menginginkan anaknya memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka, perlu dipahami bahwa ada perbedaan penggunaan istilah motivasi di masyarakat. Ada yang mengartikan motivasi sebagai sebuah alasan, dan ada juga yang mengartikan motivasi sama dengan semangat. Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan,
merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.
Menurut Siagian (dalam Engkoswara, 2011:209) mengartikan motivasi sebagai keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis, sedangkan menurut Usman (dalam Engkoswara, 2011:209) mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai tujuan. Menurut Nawawi bahwa kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/ kegiatan, yang berlangsung secara sadar (2001:351). Menurut Andrias Harefa (1999) “Motivasi adalah energi penggerak manusia yang dapat memicu, mengarahkan dan mengorganisir perilakunya. Ia berada di dalam diri setiap orang dan perlu dibebaskan dari berbagai belenggu keyakinan yang salah agar dapat dipergunakan dengan semestinya”.
D. Motivasi Belajar Siswa
Berbagai buku teks tentang human learning mengemukakan berbagai defenisi tentang belajar yang pada umumnya sepakat bahwa belajar merupakan
proses perubahan tingkah laku individu yang diperoleh melalui pengamatan ; melalui proses stimulus respon ; melalui pembiasaan ; melalui peniruan ; melalui pemahaman dan penghayatan ; melalui aktivitas individu meraih sesuatu yang dikehendakinya (Prayitno, 2009:203).
Para ahli sudah menjelaskan bagaimana cara meningkatkan motivasi, khususnya motivasi siswa dalam belajar, karena saat ini banyak sekali siswasiswa di sekolah yang kurang memiliki motivasi dalam belajar, mereka lebih suka pada hal-hal lain yang sifatnya malah dapat mengganggu belajar mereka.
Banyak hal yang dapat memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu, termasuk dalam hal belajar. Siswa yang rajin belajar biasanya di dorong oleh suatu motivasi yang kuat, baik motivasi internal maupun motivasi eksternal. Motivasi internal adalah motivasi yang lahir dari dalam diri orang itu sendiri, misalnya seorang siswa menjadi rajin karena didorong oleh keinginannya menjadi juara kelas dan hasratnya untuk menjadi yang terbaik. Dia digerakkan dan dimotivasi oleh dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa pengetahuan adalah bekal terbaik bagi kehidupannya, karena itulah dia pun menjadi rajin belajar. Sedang motivasi eksternal adalah motivasi yang datang dari luar orang itu. Misalnya siswa menjadi rajin belajar setelah dijanjikan akan dibelikan sepeda motor baru oleh orang tuanya jika bisa menjadi tiga besar di kelasnya. Karena dimotivasi oleh iming-iming tersebut, siswa pun jadi rajin belajar dengan harapan dapat menjadi tiga besar, meski bisa saja yang dia inginkan adalah sepeda motor itu. Motivasi eksternal bisa juga tumbuh karena pergaulan.
Misalnya seseorang yang biasa bergaul dengan orang yang rajin belajar biasanya juga akan ikut terpengaruh untuk rajin belajar. (Manis, 2010:3-4).
E. Perilaku Guru dalam Memotivasi Belajar Siswa
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000:15). Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi.
Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Bagi seorang siswa, setiap kata- kata yang diucapkan oleh seorang guru merupakan semangat tersendiri dalam kegiatan pembelajaran bahkan masa depan seorang siswa dan hal itu dapat menjadikan motivasi yang dapat merubah pandangan setiap siswa. Pada dasarnya, setiap siswa mempunyai
tujuan ketika ia duduk di bangku sekolah, mulai tujuan untuk memenuhi wajib belajar 9 tahun, memperoleh prestasi, hingga untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik. Mayoritas siswa akan mendengarkan kata- kata guru dan melihat bahkan cenderung meniru perilaku guru. Kata- kata guru akan lebih banyak diingat oleh siswa dan perilaku guru akan lebih mempengaruhi perilaku siswa. Ketika guru ditempatkan sebagai seorang motivator, guru sebaiknya mampu mengarahkan siswa supaya menjadi pribadi yang lebih baik melalui setiap tutur kata dan perilaku.