BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan (Aging) dan Anti Penuaan (Anti Aging) Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada umumnya menjadi tua dianggap sebagai hal yang wajar sehingga semua masalah yang muncul dianggap memang seharusnya dialami. Padahal terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses penuaan. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Lebih jauh lagi usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Usia harapan hidup yang lebih panjang disertai kualitas hidup yang optimal inilah konsep baru dari ilmu kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM). AAM ini didefinisikan sebagai bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuaan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan definisi AAM
tersebut, tampak bahwa terdapat paradigma yang baru. Yakni di antaranya manusia bukanlah orang terhukum yang terperangkap dalam takdir genetik dan penuaan dapat dianggap sama dengan penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). Dengan mengingat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses penuaan, dapatlah ditentukan faktor mana yang perlu dihindari atau diatasi sehingga proses penuaan dapat dicegah atau dihambat. Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup sehat meliputi berolahraga teratur, makanan sehat dan cukup, atasi stres; jangan merasa sehat dan normal hanya karena tidak ada keluhan serius; melakukan pemeriksaan kesehatan berkala yang diperlukan dan disesuaikan dengan kondisi; menggunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun. Namun, terdapat pula hambatan atau kesulitan melakukan upaya menghambat proses penuaan, antara lain karena lingkungan tidak sehat, pengetahuan rendah dan budaya yang tidak benar (Pangkahila, 2007).
2.2 Kulit Kulit adalah organ terbesar manusia. Penampilan kulit menjadi media komunikasi yang memberi informasi tentang individu tersebut seperti kesehatannya secara umum, etnis atau ras, gaya hidup dan usia.
Kualitas penampilan kulit
ditentukan oleh warna kulit, tektur dan bentuk (Fisher dkk., 2008). Kulit terdiri dari 3 lapisan berturut-turut dari luar ke dalam yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (subkutan). Epidermis terdiri dari 5 lapisan berturut-turut dari luar ke dalam yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum basalis. Epidermis adalah struktur yang dinamis dimana 95% tersusun oleh keratinosit yang terdiferensiasi. Sel-sel lain pada epidermis yaitu melanosit, sel Langerhans, dan sel Merkel. Melanosit adalah sel penghasil melanin, yaitu pigmen kulit. Sel Langerhans memiliki fungsi imunologis dan sel Merkel berperan pada persepsi sensoris (Edmondson dkk., 2003). Dermis terdiri dari 2 lapisan yaitu papillary dermis di bagian superfisial dan reticular dermis di bagian dalam. Di papillary dermis terdapat kolagen, elastin, fibrous dan ground substance (mukopolisakarida, asam hyaluronat, kondroitin sulfat), serta kaya akan mikrosirkulasi. Di reticular dermis terdapat kumpulan kolagen yang lebih kasar dengan serabut-serabut elastin yang tersebar (Khazanchi dkk., 2007).
2.3 Kolagen Kolagen adalah triple helical protein yang tersebar di seluruh tubuh dan mempunyai berbagai fungsi seperti pengikat jaringan, adesi sel, migrasi sel,
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), morfogenesis jaringan dan perbaikan jaringan. Kolagen adalah elemen yang membentuk matriks ekstraseluler jaringan, yang berguna untuk kekuatan tegang jaringan seperti tendon, tulang, tulang rawan dan kulit. Kolagen juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan lokasinya, misalnya membran basalis pada glomerulus ginjal yang berfungsi untuk filtrasi molekul (Kadler dkk., 2007). Kolagen terdiri dari 3 rantai polipeptida (α) dengan konformasi poliprolin yang panjang. Setiap rantai polipeptida memiliki pengulangan Gly-X-Y triplet dimana residu glycyl menempati setiap posisi ketiga dan posisi X dan Y ditempati oleh prolin dan 4-hidroksiprolin. Ketiga rantai α saling berikatan melalui ikatan rantai hidrogen. Ada 28 jenis kolagen pada vertebrata yang diberi nomor I-XXVIII. Kolagen dihasilkan oleh sel fibroblast.
Kolagen tipe I adalah jenis yang paling
banyak di jaringan ikat kulit. Selain itu, kulit juga mengandung kolagen (III, V, VI), elastin, proteoglikan dan fibronektin (Kadler dkk., 2007). Kolagen dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi genetik dan hormon, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi sinar ultraviolet, polusi, dan diet. Faktor ekstrinsik dapat memperberat kerusakan kolagen yang disebabkan oleh faktor intrinsik. Pengaruh faktor genetik tampak pada studi penuaan kulit pada berbagai etnis. Etnis dengan pigmentasi lebih gelap, seperti ras AfrikaAmerika, memiliki daya perlindungan yang lebih tinggi terhadap ultraviolet photodamaged daripada ras Kaukasia. Sinar ultraviolet memicu pembentukan radikal
bebas sehingga merusak kolagen kulit. Kulit ras Afrika-Amerika mengandung lipid interseluler lebih banyak daripada ras Kaukasia sehingga lebih resisten terhadap penuaan. Kerutan wajah pada ras Asia terjadi lebih lambat dan lebih ringan daripada ras Kaukasia (Farage dkk., 2008). Produksi kolagen dipengaruhi oleh hormonhormon. Estrogen dapat meningkatkan sintesis kolagen. Penurunan kolagen kulit tampak signifikan pada wanita menopause. Kolagen kulit orang dewasa berkurang 1% setiap tahun. Penurunan kolagen ini lebih tampak pada wanita daripada pria. Hormon seks wanita lebih dominan pada kolagen daripada hormon seks pria (Sator, 2006). Sinar ultraviolet mengaktifkan matriks metalloprotease, yaitu enzim yang mendegradasi kolagen. Akumulasi paparan sinar ultraviolet mengakibatkan penuaan kulit berupa kulit kendor dan kerutan wajah sebab akumulasi kerusakan kolagen. Sinar ultraviolet juga memicu pembentukan radikal bebas, yang dapat bereaksi dengan protein seperti kolagen sehingga terjadi kerusakan kolagen. Polusi seperti rokok merusak kulit termasuk kolagen. Rokok memicu pembentukan radikal bebas sehingga terjadi kerusakan kolagen. Rokok juga mengurangi aliran darah kapiler kulit sehingga terjadi penurunan oksigen dan nutrisi ke kulit, maka produksi kolagen juga berkurang. Diet yang memicu pembentukan radikal bebas juga dapat mempercepat penuaan sebab radikal bebas bereaksi dengan sel dan matriks ekstraseluler kulit termasuk kolagen (Farage dkk., 2008).
2.4 Penuaan Kulit Penuaan kulit adalah proses biologi kompleks yang merupakan konsekuensi dari faktor intrinsik (penuaan terprogram genetik) dan faktor ekstrinsik (lingkungan). Penuaan intrinsik atau disebut juga penuaan kronologis mengakibatkan perubahan di semua lapisan kulit. Epidermis mengalami perlambatan regenerasi. Pada kulit usia muda, epidermal turnover membutuhkan waktu 28 hari, tetapi pada usia tua membutuhkan waktu 40-60 hari. Perlambatan ini mengakibatkan penipisan epidermis sehingga kulit
tampak
translusen.
Perlambatan regenerasi epidermis
juga
mengganggu fungsi pertahanan dan perbaikan kulit. Korneosit berkumpul di permukaan kulit sehingga kulit tampak kasar dan bersisik. Pada histologi kulit tua akan tampak penipisan dermal-epidermal junction sehingga meningkatkan kerapuhan kulit dan penurunan transfer nutrisi pada epidermis dan dermis. Populasi melanosit di epidermis semakin berkurang dan melanosit yang ada akan mengalami penurunan aktivitas. Kulit tua mengalami perubahan diskromik seperti bintik-bintik pigmentasi, freckles dan lentigines. Kulit tua juga mudah terbakar sinar matahari sebab kulit menipis dan sedikit melanosit. Penuaan kulit juga mempengaruhi sel-sel Langerhans, Penurunan jumlah sel-sel Langerhans sampai 50% sehingga terjadi penurunan imunitas kulit dan peningkatan risiko kanker kulit (McCullough dan Kelly, 2006). Pada dermis terjadi penurunan jumlah sel fibroblast, produksi kolagen dan elastin sehingga kulit tua menunjukkan kerutan dan elastisitas kulit berkurang. Kulit tua mengalami kehilangan mikrovaskuler dermis dan penurunan suplai darah ke kulit sehingga terjadi atrofi kulit. Penurunan kelenjar sebasea sebagai penghasil minyak
mengakibatkan
kulit
kering.
Penurunan
jaringan
lemak
hypodermis
juga
mengakibatkan kerutan dan kekendoran kulit (McCullough dan Kelly, 2006). Penuaan ekstrinsik disebabkan oleh faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet, polusi, cuaca dan merokok. Penuaan ekstrinsik dapat memperberat penuaan intrinsik. Paparan akut sinar ultraviolet mengakibatkan inflamasi, sunburn, pigmentasi, hiperproliferasi epidermis dan supresi imunitas. Paparan kronis sinar ultraviolet mengakibatkan kerutan halus, kulit kasar, bintik-bintik hiperpigmentasi, dilatasi pembuluh darah dan kehilangan tonus kulit. Sinar ultraviolet B (panjang gelombang 290-320 nm) hanya mencapai epidermis, tetapi sinar ultraviolet A dapat mencapai dermis sebab panjang gelombang lebih besar. Sinar ultraviolet A terdiri dari sinar ultraviolet A1 (panjang gelombang 340-400 nm) dan sinar ultraviolet A2 (panjang gelombang 320-340 nm). Sinar ultraviolet A1 dengan panjang gelombang yang lebih besar daripada uultraviolet A2 lebih merusak sebab dapat mencapai lapisan kulit paling dalam (McCullough dan Kelly, 2006). Radikal bebas berperan pada penuaan kulit. Radikal bebas adalah molekul dengan elektron tidak berpasangan. Radikal bebas dapat bereaksi dengan DNA, protein dan lipid sehingga mengubah struktur berbagai senyawa tersebut. Perubahan komponen sel seperti DNA, protein maupun lipid mengakibatkan kerusakan sel yang dapat berakhir pada kematian sel. Akumulasi kerusakan oksidatif ini yang mengakibatkan penuaan kulit. Radikal bebas meliputi reactive oxygen species (ROS) yang terdiri dari superoksida, radikal hidroksil, hydrogen peroksida dan singlet oxygen. Sumber produksi ROS berasal dari mitokondria sebagai sumber utama dari
proses respirasi aerobik, proses fagositosis, sintesis prostaglandin, enzim sitokrom P450, reaksi nonenzimatik oksigen dan radiasi ionisasi. Radikal bebas dapat dinetralisir dengan senyawa antioksidan. Antioksidan enzimatik meliputi superoxide dismutase, catalase, glutathione peroxidase, glutathione transferase, peroxidase dan enzim antioksidan spesifik thiol. Antioksidan nonenzimatik meliputi asam askorbat, β-caroten dan α-tocopherol (Callaghan dan Wilhelm, 2008). Mitokondria sebagai organel sel untuk respirasi adalah produsen dan sasaran stres oksidatif. Paparan radikal bebas pada DNA mitokondria mengakibatkan akumulasi mutasi somatik sehingga terjadi gangguan pada polipeptida yang dikode DNA mitokondria, defek aktivitas transfer elektron dan fosforilasi oksidatif. Pada proses penuaan, enzim-enzim respirasi mitokondria mengalami penurunan aktivitas sehingga integritas mitokondria menurun. Penurunan fungsi mitokondria sel-sel kulit menyebabkan penuaan kulit (Callaghan dan Wilhelm, 2008). Sel diploid termasuk sel-sel kulit mempunyai keterbatasan proliferasi. Setelah mencapai jumlah pembelahan tertentu, sel mengalami penghentian replikasi, yang dikenal dengan batasan Hayflick. Pembatasan proliferasi sel disebabkan oleh pemendekan telomer. Telomer adalah urutan rantai DNA pada akhir rantai DNA. Enzim telomerase dihasilkan oleh sel normal untuk memperbaiki pemendekan telomer sehingga kematian sel dapat dicegah (Callaghan dan Wilhelm, 2008). Apoptosis adalah kematian sel terprogram dimana penuaan merupakan hasil peningkatan apoptosis. Apoptosis terjadi karena program genetik atau stres oksidatif.
Diet juga mempengaruhi penuaan. Penelitian restriksi kalori pada berbagai hewan dapat memperpanjang umur hidup. Restriksi kalori dapat menurunkan laju metabolisme sehingga produksi ROS berkurang. Sebaliknya, obesitas meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan proses penuaan. Penuaan dapat disebabkan faktor genetik. Penuaan berhubungan dengan perubahan gen seperti mutasi DNA. Perubahan ekspresi gen mengakibatkan kecacatan sel sehingga memicu kematian sel (Callaghan dan Wilhelm, 2008).
2.5 Dermal Filler Dermal filler adalah suatu senyawa yang dapat digunakan untuk mengganti kehilangan atau berkurangnya jaringan lunak bawah kulit, dengan cara dimasukkan ke dalam jaringan lunak bawah kulit secara suntikan (injeksi). Dermal filler ideal adalah harus mudah disuntikkan, memberikan hasil optimal, dapat bertahan dalam jangka waktu lama, tidak mengakibatkan reaksi alergi, tidak teratogenik, tidak karsinogenik, tidak migrasi dan mampu memuaskan pasien dan dokter (Gold, 2010). Dermal filler diklasifikasikan berdasarkan jangka waktunya dan jenis bahan (sumber). Berdasarkan jangka waktu bertahannya dibedakan menjadi sementara, semipermanen dan permanen. Filler sementara dapat bertahan hingga kurang dari 1 tahun, filler semipermanen 1-2 tahun, sedangkan filler permanen lebih dari 2 tahun. Berdasarkan
sumbernya
dibedakan
(Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008).
menjadi
manusia,
hewan
dan
sintetis
Yang termasuk filler sementara adalah hyaluronic acid. Hyaluronic acid adalah jenis filler yang populer di dunia dan juga di Indonesia. Hyaluronic acid filler telah digunakan sejak tahun 1989. Hyaluronic acid atau hyaluronan adalah glikosaminoglikan yang mengandung unit disakarida nonsulfat berulang dari asam glukuronat dan N-asetilglukosamin. Hyaluronic acid
filler berasal dari matriks
ekstraseluler jaringan hewan sehingga berisiko tinggi terjadi reaksi imunologis atau alergi. Hyaluronic acid filler bersifat sangat hidrofilik sehingga efek hidrasi dapat menghasilkan volume yang lebih besar ketika diimplantasi daripada volume filler yang sesungguhnya.
Efek hidrasi ini dapat memperberat edema jaringan yang
disebabkan penyuntikan filler. Hyaluronic acid filler yang dikembangkan sekarang berasal dari fermentasi bakteri Streptococcus equine. Meskipun memiliki konsentrasi hyaluronic acid yang lebih tinggi daripada hyaluronic acid hewani, filler jenis ini berisiko tinggi menyebabkan infeksi. Hyaluronic acid filler hanya mampu bertahan 1 tahun sebab mengalami biodegradasi. Untuk mempertahankan efek filler, dibutuhkan konsentrasi hyaluronic acid lebih tinggi atau dilakukan penambahan volume filler dengan sesi penyuntikan berikutnya (Gold, 2009).
Table 2.1 Filler sementara, indikasi, dan lokasi penempatan (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008) Produk
Deskripsi
Indikasi
Lokasi penempatan
Restylane
Hyaluronic acid Wrinkles
Mid-dermis
SubQ
Hyaluronic acid Volume filler
Subcutis
Touch
Hyaluronic acid Fire lines
Superficial dermis
Vital
Hyaluronic acid Hydration
Indradermal
Lipps
Hyaluronic acid Lip enhancement
Lips
Perlane
Hyaluronic acid Deep folds
Deep dermis
Esthelis
Hyaluronic acid
Soft
Hyaluronic acid Fire wrinkles and lines
Basic
Hyaluronic acid
Medium to deep wrinkle volume enhancement
Superficial dermis Superficial to middermis
Fortelis extra
Hyaluronic acid Folds and deep wrinkles
Deep dermis
IAL system
Hyaluronic acid Skin rejuvenation
Dermis
Revanesse
Hyaluronic acid Wrinkles
Mid-dermis
Table 2.2 Filler semipermanen, indikasi, dan lokasi penempatan (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008) Produk
Deskripsi
Indikasi
Lokasi penempatan
Sculptra
Poly-L-Lactic acid
Volume filler
Deep dermis, subcutis
Radiesse
Calcium hydroxylapatite
Volume enhancement
Deep dermis
Bioin blue
Polyvinyl alcohol
Volume enhancement
Hypodermis Deep dermis intramuscular subfascial
Table 2.3 Filler permanen, indikasi, dan lokasi penempatan (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008) Produk
Deskripsi
Indikasi
Lokasi penempatan
Aquamid
Polyacrylamide
Deep folds, wrinkle volume correction
Subcutis
Amazingel
Polyacrylamide
Deep folds, wrinkle volume correction
Subcutis
Volume enhancement for large defects
Subcutis
BioAlcamid Polyalkylimide
Filler digunakan terutama untuk peremajaan daerah wajah, tetapi juga dapat digunakan untuk daerah selain wajah dan pada kelainan kulit (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Indikasi filler untuk daerah wajah: 1.
Kerutan dan lipatan wajah
2.
Lip Augmentation
3.
Jaringan parut cekungan (depressed scars) – pasca bedah, trauma, pasca jerawat, cacar, dan penyakit lainnya
4.
Perbaikan facial contour
5.
Periocular melanoses dan sunken eyes
6.
Penyakit kulit – angular cheilitis, dermal atrophy, AIDS lipodystrophy
7.
Earring ptosis, atrophic earlobes
8.
Depresi hidung
Kontraindikasi filler dibedakan menjadi kontraindikasi absolut dan relatif (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Kontraindikasi absolut yaitu: 1.
Hipersensitivitas terhadap produk
2.
Harapan yang tidak realistis
Kontraindikasi relatif yaitu: 1.
Kecenderungan keloid
2.
Pasien dengan penyakit otoimun
Teknik penyuntikan filler tergantung pada indikasi, lokasi, bahan filler, ukuran jarum, dan pengalaman operator (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Teknik penyuntikan meliputi: 1. Linear threading technique 2. Serial puncture 3. Fanning 4. Cross-hatching 5. Depot 6. Cone Empat teknik yang pertama adalah teknik penyuntikan yang sering digunakan sedangkan 2 teknik berikutnya hanya digunakan pada situasi khusus. Untuk mendapatkan hasil yang baik, dibutuhkan manajemen yang baik sesudah penyuntikan filler. Pasien sebaiknya menghindari suhu terlalu dingin atau
panas selama 48 jam sesudah penyuntikan filler. Pemijatan daerah penyuntikan dan aktivitas fisik berat sebaiknya dihindari selama 6 jam. Pasien sebaiknya tidur dengan posisi kepala lebih tinggi selama 1 malam. Perawatan kulit rutin sebaiknya dilakukan sesudah 24 jam (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Filler dapat memberikan komplikasi. Filler sementara mempunyai komplikasi lebih sedikit dan ringan daripada filler semipermanen dan permanen. Komplikasi dapat berhubungan dengan teknik penyuntikan atau bahan filler. Komplikasi dapat timbul segera atau terlambat (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Komplikasi segera meliputi: 1.
Reaksi hipersensitivitas
2.
Hematoma dan ekimosis
3.
Infeksi – reaktivasi herpes simplex
4.
Pembengkakan nonhipersensitivitas
5.
Erupsi acneiform
6.
Erythema – sementara atau permanen
7.
Nekrosis kulit
8.
Embolisme (kebutaan)
9.
Tyndall effect
Komplikasi terlambat meliputi: 1.
Migrasi implan
2.
Telangiectasia
3.
Granuloma
4.
Lipoatrofi
5.
Jaringan parut hipertrofi
6.
Abses steril
Dermal filler berfungsi dalam peremajaan kulit dengan menginduksi pembentukan kolagen baru. Adanya massa di bawah kulit menimbulkan ketegangan mekanik akibat penambahan volume filler. Stimulus ketegangan ini memicu fibroblast untuk memproduksi kolagen baru. Injeksi dermal filler meningkatkan prokolagen I dan III, kolagen I dan III, connective tissue growth factor (CTGF), transforming growth factor-β1 (TGF- β1), TGF- β2, TGF- β3 (Wang dkk., 2007).
Gambar 2.1 Ketegangan mekanik (stretching) oleh injeksi dermal filler menginduksi produksi kolagen (Wang dkk., 2007) Keterangan: kolagen baru (garis merah)
2.6 Polyalkylimide ( Bio-AlcamidTM ) Bio-Alcamid (Polymekon, Italia) adalah senyawa polimer derivate acryl nonreabsorbable yang terdiri dari kelompok alkylimide-amide tanpa monomer bebas. Tidak adanya kandungan monomer bebas bermanfaat untuk mencegah risiko toksik, benjolan atau pembengkakan, dan perubahan pigmen kulit (Pacini dkk., 2002). BioAlcamid adalah translucent gel, biopolymer hidrofilik dengan komposisi 4% polyalkylimide dan 96% air steril (nonpirogen), yang bersifat nontoksik, nonkarsinogenik, nonalergenik, biokompatibilitas tinggi, stabil dan permanen secara fisik dan kimia, tidak larut air meskipun pada suhu tinggi, memiliki derajat elastisitas tinggi, lunak, pH 6,9, permeabel terhadap oksigen, tidak berintegrasi dengan jaringan sekitar, dan dapat membentuk kapsula pada lokasi subkutan (Claoue dan Rabineau, 2004; Ramires dkk., 2005). Ketika disuntikkan di bawah kulit, terbentuk kapsula fibrous 0,02 mm setelah 2-6 minggu penyuntikan. Kapsula terbentuk lengkap sesudah 45 hari dan polyalkylimide akan tetap berada di lokasinya. Bila diperlukan koreksi, kapsula bisa dipungsi dan polyalkylimide dapat dikeluarkan. Studi sediaan histologi dengan mikroskop cahaya tampak area implantasi dengan dikelilingi fibroblast dan matriks ekstraseluler pada daerah subkutan, tanpa tanda-tanda inflamasi (Formigli dkk., 2004). Studi dengan mikroskop elektron, tampak senyawa implantasi dikelilingi oleh fibroblast yang berisi fibril kolagen dan ground substance, tidak ada infiltrasi neutrofil atau monosit di sekeliling implan (Formigli dkk., 2004; Ellis dan Sardesai, 2008). Rumus kimia polyalkylimide (R-CO-NH-CO-R) membuat sifat fisikokimia
Bio-Alcamid lebih stabil sebab gugus imide yang mempunyai karakteristik berupa amide sekunder yang berikatan dengan 2 gugus karbonil (Ramires dkk., 2005). Indikasi penggunaan Bio-AlcamidTM terdiri dari untuk wajah dan badan. Indikasi untuk wajah meliputi penambahan volume pipi, rahang, dagu, hidung, bibir, lipoatrofi, kerutan wajah. Indikasi untuk badan meliputi perbaikan defek muskuler akibat trauma, betis postpoliomyelitis amyotrophy, pectus excavatum atau malformasi tulang lainnya, penambahan volume glutea, koreksi akibat liposculpture, jaringan parut cekungan dan atrofi subkutan pasca trauma. Kontraindikasi penggunaan BioAlcamid yaitu kerutan halus di sekitar mata atau mulut, jaringan parut jerawat, payudara, area terinfeksi, viral load positif pada pasien Human Immunodeficiency Virus+, sudah ada produk nonreabsorpsi di area yang akan disuntik (Claoue dan Rabineau, 2004). Bio-Alcamid telah digunakan sejak tahun 2000, pada 2000 penderita dengan berbagai kelainan sepeti pectus excavatum, trauma pascaoperasi, defek estetik (jaringan parut yang dalam, kerutan wajah, hipovolumetri bibir, pipi, dan dagu). Dermal filler merupakan pilihan terapi yang lebih baik untuk defek tersebut sebab termasuk tindakan noninvasiv dan prosedurnya mudah dilakukan. Polyalkylimide merupakan filler yang mendekati ideal. Filler ideal yaitu senyawa yang nontoksik, nonkarsinogenik, nonalergenik, nonimunogenik, nonpirogenik, nonmigrasi, inert, menyerupai jaringan tubuh, mampu bertahan lama, mudah diimplantasi dan tidak nyeri. Jenis filler yang lain seperti crosslink-stabilized collagen dan asam hyaluronat termasuk jenis filler sementara dan naturally-derived filler. Jenis filler ini memiliki
kerugian yaitu tidak mampu bertahan lama, alergenik, dan imunogenik (Ramires dkk., 2005). Berbagai uji tentang keamanan polyalkylimide sebagai filler telah dibuktikan pada studi uji toksisitas, uji mutagenesitas, uji iritasi kulit, uji sensitisasi, dan uji implantasi subkutan. Uji sitotoksisitas dan mutagenesitas secara in vitro membuktikan bahwa polyalkylimide bersifat nontoksik dan nonmutagenik. Uji iritasi kulit dengan implantasi subkutan 0,5 mL Bio-Alcamid (setara dengan dosis 7,14 mL pada manusia, faktor konversi = 0,07) pada punggung kelinci albino Selandia Baru yang dibandingkan kontrol NaCl 0,9%, membuktikan bahwa tidak ada iritasi kulit pada kelompok implantasi Bio-Alcamid. Uji sensitisasi juga membuktikan tidak ada reaksi sensitisasi pada kelompok Bio-Alcamid. Uji implantasi polyalkylimide untuk mengetahui reaksi inflamasi yaitu dengan injeksi subkutan Bio-Alcamid 0,1 mL pada mencit Swiss (setara dengan dosis 38,4615 mL pada manusia, faktor konversi = 0,0026) yang dibandingkan dengan kontrol 0,1 mL air nonpirogen, lalu dievaluasi pada hari ke-7, 14, dan 30. Reaksi jaringan secara makroskopik dan mikroskopik dengan pewarnaan hematoxylin-eosin dan pembesaran mikroskop 100 kali, menunjukkan edema, hiperemi ringan, infiltrasi leukosit, dan pembentukan jaringan granulasi tanpa reaksi giant cells pada hari ke-7; reaksi inflamasi menurun dan terbentuk kapsula jaringan ikat di sekeliling material implantasi pada hari ke-14; tidak ada inflamasi, nekrosis, atau granuloma pada hari ke-30 (Ramires dkk., 2005). Saat ini Bio-Alcamid telah digunakan di 20 negara dan telah mendapat sertifikat CE0123-market product. Bio-Alcamid dapat diinjeksikan sampai dengan
200 mL pada 1 sesi injeksi, Hasil studi melaporkan bahwa tidak ada migrasi, tidak ada dislokasi implant, tidak ada granuloma, tidak ada respons alergi, dan tidak ada intoleransi. Dua belas orang dari 2000 penderita mengalami komplikasi infeksi Staphiloccus (Pacini dkk., 2002; Treacy dan Goldberg, 2006). Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi dan mikroskop elektron tidak didapatkan granuloma inflamasi atau difusi polyalkylimide ke jaringan sekitar (Claoue dan Rabineau, 2004). Obat HIV memberikan efek samping sindroma lipodistrofi. Terapi filler adalah tindakan noninvasiv untuk mengatasi lipodistrofi. Penelitian pada 73 penderita HIV yang mendapat Bio-Alcamid, dengan pemantauan selama 3 tahun, menunjukkan bahwa Bio-Alcamid dapat memperbaiki defek, hasil secara estetik memuaskan menurut dokter dan penderita, tidak ada dislokasi implan, tidak ada migrasi, tidak ada granulasi, tidak ada alergi, dan tidak
ada intoleransi (Protopapa dkk., 2003).
Penelitian pada 11 penderita HIV positif dengan lipodistrofi wajah, berusia 31-73 tahun, yang mendapat injeksi subkutan polyalkylimide 15-30 mL di area buccal, malar, dan temporal, selama evaluasi 3 dan 18 bulan menunjukkan toleransi yang baik. Hanya 3 penderita yang mengalami pembengkakan dan memar ringan (Treacy dan Goldberg, 2006). Penelitian pada 13 penderita HIV dengan lipoatrofi wajah, yang mendapat injeksi subkutan Bio-Alcamid 5-13 mL, melaporkan bahwa penderita puas dengan hasil terapi Bio-Alcamid, hasil secara estetik baik, dan tidak ada komplikasi (Ramon dkk., 2007). Penelitian pada 34 penderita usia 21-50 tahun (rerata 43,6 tahun), di 57 area anatomi, waktu evaluasi 1-18 bulan, injeksi subkutan BioAlcamid 5-10 mL untuk lipoatrofi wajah, 50-100 mL untuk deformitas dinding dada
dan rekonstruksi payudara, memakai jarum 16-18G, menunjukkan bahwa BioAlcamid mudah diinjeksikan, mudah dibentuk, mudah dikoreksi, tidak migrasi, terlihat alami karena kandungan air yang tinggi dan struktur cross-linking imide, dapat disimpan pada suhu ruang, stabil secara fisik dan kimia, nontoksik, nonalergenik, nonreaktif, biokompatibilitas, dan nonbiodegradasi (Lahiri dan Waters, 2007). Studi tentang keamanan dan efikasi Bio-AlcamidTM pada koreksi lipoatrofi wajah akibat HIV menunjukkan bahwa pengamatan selama 96 minggu setelah terapi dengan Bio-AlcamidTM dapat memperbaiki fisik dan psikologis pasien (Antoniou dkk., 2009). Implantasi polyalkylimide menghasilkan reaksi radang akut benda asing tetapi reaksi ini dapat berhenti dengan sendirinya dalam waktu 2 bulan dan diikuti dengan pembentukan kapsula. Pemberian antiinflamasi dapat memperlambat pembentukan kapsula. Injeksi subkutan polyalkylimide 16 mL pada 31 penderita lipoatrofi wajah HIV positif, menimbulkan reaksi akut berupa pembengkakan, kemerahan, dan nyeri ringan yang bisa hilang dalam waktu 3 hari. Sesudah evaluasi selama 48 minggu pasca implantasi tidak didapatkan komplikasi, ada penurunan kecemasan dan depresi, dan ada peningkatan kualitas hidup menemukan
komplikasi
akibat
injeksi
(Loutfy dkk., 2007). Suatu penelitian polyalkylimide
meskipun
penelitian
sebelumnya melaporkan tidak ada reaksi imunologis. Injeksi Bio-Alcamid pada 25 penderita menimbulkan reaksi imunologis tipe lambat. Rerata periode laten untuk timbul gejala adalah 13,4 bulan. Penderita mengalami nodul inflamasi. Delapan penderita telah diinjeksi implan sebelumnya sehingga ini menjadi penyebab nodul
inflamasi. Setelah dilakukan terapi dan pemantauan selama jangka waktu rerata 21,3 bulan, 11 penderita bebas komplikasi sedangkan 10 penderita tetap mengalami komplikasi (Reig dkk., 2008). Penelitian retrospektif yang dilakukan di Belanda menemukan bahwa pada 3.196 penderita yang diterapi polyalkylimide, telah dilakukan 4.738 injeksi polyalkylimide dan terdapat 154 komplikasi (tingkat komplikasi penderita 4,8%, dan tingkat komplikasi terapi 3,3%). Komplikasi yang terjadi berupa inflamasi, akumulasi produk, penebalan dan pengerasan jaringan, migrasi. Komplikasi terjadi dalam beberapa tahun sesudah implantasi polyalkylimide. Inflamasi adalah komplikasi tersering, yang tidak berhubungan langsung dengan prosedur injeksi dan tidak terjadi dalam beberapa hari atau minggu, tetapi yang terjadi dalam beberapa tahun umumnya sesudah prosedur pembedahan, prosedur dental, atau infeksi pada area implantasi polyalkylimide. Migrasi terjadi terutama pada implantasi area pipi dan garis marionette sehingga berpindah ke area bawah mata. Migrasi ini disebabkan aktivitas otot wajah (Schelke dkk., 2009).
Table 2.4 Volume Bio-AlcamidTM yang disuntikkan berdasarkan lokasi (Claoue dan Rabineau, 2004) Nasolabial wrinkles Cheek bones Cheeks Chin HIV_ lipodystrophy Jaw profile Depressive scars Pectus excavatum Buttocks Lip line
1 to 3 mL each one 2 to 4 mL each one 2 to 4 mL each one 3 to 7 mL 10 to 24 mL 3 to 10 mL 0.5 to 20 mL or more for large scars linked to an accident 40 to 120 mL 100 to 500 mL each one 1 to 2 mL
Table 2.5 Sediaan Bio-Alcamid™ (Claoue dan Rabineau, 2004) BIO-ALCAMID LIPS BIO-ALCAMID FACE BIO-ALCAMID BODY
2 syringes containing 1 mL fluid 1 syringe containing 3 mL 2 syringes containing 5 mL