BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kepustakaan Yang Relevan Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya
selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga penulis tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan objek yang diteliti, untuk itu mempertahankan hasil suatu karya ilmiah secara objektif digunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik berupa buku-buku acuan yang relevan maupun dengan pemahaman-pemahaman teoritis dan pemaparan yang berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di lapangan. Ada beberapa buku yang dipakai dalam penelitian ini seperti buku karangan Chaer (2009) dengan judul “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia” dan Sudaryat (2009) dengan judul Makna dalam Wacana Prinsip-prinsip Semantik dan Pragmatik. Berkaitan dengan judul skripsi, “Relasi Makna Dalam Bahasa Melayu Desa Pantai Labu Baru, Kabupaten Deli Serdang”, terlebih dahulu penulis akan menguraikan beberapa defenisi para ilmuan tentang makna dan jenis makna; Keraf, (1982:128) mengatakan makna adalah hubungan antara tanda dengan lambang bunyi ujaran dengan hal atau benda yang dimaksudkan.
Universitas Sumatera Utara
Semantik merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna (arti, Inggris : meaning). Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika (American Philological Association) tahun 1894. Istilah semantique dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Yunani, diperkenalkan oleh Breal. Semantik muncul sebagai subdisiplin ilmu linguistik muncul pada abad ke-19. Breal, (1983), dalam sejumlah jurnal klasik membuat kerangka program sejumlah ilmu pengetahuan ”baru” dan memberikan sebuah nama yang sampai sekarang masih terkenal : ”Suatu studi yang mengundang pembaca untuk mengikuti kami adalah barang baru yang belum diberi nama. Ilmu baru itu mengenai batang tubuh dan bentuk kata-kata sebagaimana yang dikerjakan oleh para linguis hukum yang menguasai perubahan makna, pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan baru, lahir dan matinya bentuk ungkapan (idiom), telah ditinggalkan dalam gelap atau hanya secara kausal saja ditunjukkan, karena studi yang tidak kurang pentingnya dari fonetik dan morfologi ini perlu mempunyai nama, maka kami akan menyebutnya semantik, yaitu ilmu tentang makna”. Pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19 mempercepat minat terhadap semantik. Persoalan makna mendapat perhatian besar dalam buku Hermann Paul, sarjana bahasa terkenal, Prinzipien der Sprachgeschichte (Pokok-pokok Sejarah Bahasa) yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris (1880) dan diadaptasikan dalam bahasa itu (1889). Di Perancis juga ada dua buah buku
Universitas Sumatera Utara
penting yang banyak dibaca orang yang menyangkut masalah semantik, yaitu karya Arsens Darmesteter, La Vie des Mots etudies dans leurs significations (1887) dan sepuluh tahun kemudian karya Breal, Essai de Semantique (1897). Kedua buku ini boleh dikatakan merupakan karya klasik awal suatu ilmu pengetahuan baru ( S. Ullman., 1977). Semantik sebagai kajian makna, yaitu makna yang tersirat dalam kalimat juga menjadi objek pembahasan dalam semantik, dan makna yang muncul dalam pembicaraan tentang kata yang disebut makna kata. Pembicaraan tentang makna kata juga menjadi objek dalam semantik. Semantik merupakan kajian yang sangat luas tentang makna. Para ahli berpendapat bahwa semantik adalah studi tentang makna. Secara empiris sebelum seseorang berbicara dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang terjadi proses mental pada diri keduanya. Proses mental tersebut merupakan proses menyusun kode semantik, kode gramatikal dan kode fonologi pada pihak pembicara, dan proses memecahkan proses fonologis, gramatikal, dan kode semantik pada pihak pendengar lain, baik pada pembicara maupun pendengar terjadi proses pemaknaan, (Pateda, 1996:7). 2.2
Teori Yang Digunakan Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti
kebulatan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah
Universitas Sumatera Utara
teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian. Teori merupakan hal yang sangat perlu di dalam menganalisis suatu karya ilmiah yang diajukan sebagai objek penelitian, karena teori adalah landasan berpijak. Penelitian ini menggunakan teori Chaer, (2009) yang menguraikan tentang : Kata semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (tanda, lambang), semaino (menandai atau melambangkan). Makna adalah: unsur dari sebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala-gejala dalam ujaran. Ada beberapa kaidah umum yang berkenaan dengan studi semantik: 1. Hubungan antara sebuah kata atau leksem dengan rujukan atau acuannya bersifat arbiter. Dengan kata lain tidak hubungan wajib diantara keduanya. 2. Secara sinkronik makna sebuah kata atau leksem tidak berubah, secara diakronik ada kemungkinan berubah, maksudnya dalam jangka waktu terbatas makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relatif tidak terbatas ada kemungkinan bisa berubah. Namun, bukan berarti setiap kata akan berubah maknanya. 3. Bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda maknanya. 4. Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem semantik bahasa lain karena sistem semantik itu berkaitan erat dengan sistem
Universitas Sumatera Utara
budaya masyarakat pemakai bahasa itu. Sedangkan sistem budaya yang melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama. 5. Makna setiap kata dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan sikap anggota masyarakat yang bersangkutan 6. Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik dengan luasnya bentuk tersebut. 2.2.1 Teori-Teori Semantik Teori tentang makna dibedakan atas : 1. Teori Refrensial, teori ini dikemukakan oleh Ogden dan Richards (1923) Yang menggambarkannya dalam sebuah bentuk segitiga, yaitu segitiga makna. Menurut teori ini makna sebuah kata cendrung semantik leksikal dalam arti makna yang ditunjuk oleh kata itu, atau objek yang ditunjuk oleh objek itu. Dengan kata lain makna adalah objek yang ditunjuk oleh satu kata (ujaran) atau makna sebuah ujaran adalah referensi ujaran tersebut. Namun teori ini memiliki kelemahan karena tidak semua kata mempunyai referensi meskipun semua kata mempunyai makna. Makna (referensi, pikiran)
Lambang (meja)
Acuan (referen)
Universitas Sumatera Utara
2. Teori Behavioris, makna menurut teori ini adalah situasi bahasa ketika seseorang mengucapkan sesuatu beserta tanggapan yang muncul pada pihak pendengar terhadap ucapan tersebut. Salah seorang pelopornya yaitu Bloomfield. Menurut Bloomfield situasi bahasa merupakan gambaran S (stimulus) dan R (respons). S-R merupakan makna ujaran dan akhirnya menentukan makna dengan ciri-ciri situasi yang berulang dimana bahasa digunakan. 3. Teori Mentalis, menurut teori ini, makna merupakan gagasan, ide, konsep yang berhubungan dengan ujaran tersebut. dengan kata lain arti makna sebuah kata adalah konsep atau gagasan yang berhubungan dengan kata tersebut. Satu ciri utama dari teori ini ialah ucapan Glucksberg dan Danks, yakni : ”The set of possible meanings in any given word is the set of possible feelings, images, ideas, concepts, thoughts, and inferences that a person might produce when that word is heard and processed.” 4. Teori Pemakaian. Teori ini dikembangkan oleh filsuf Jerman yang bernama Wittgenstein (1830, 1858). Bagi Wittgenstein, bahasa merupakan suatu bentuk permainan yang diadakan dalam beberapa konteks dengan beberapa tujuan. Bahasapun mempunyai kaidah yang membolehkan beberapa gerakan, tetapi melarang gerakan yang lain. Wittgenstein memberi nasihat, ”Jangan menanyakan makna sebuah kata; tanyakanlah pemakaiannya”. Teori ini melihat makna dari
Universitas Sumatera Utara
segi ujaran digunakan oleh pemakai bahasa dengan kata lain makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakainya dalam masyarakat bahasa. 2.2.2 Jenis Makna Ada beberapa jenis makna, yaitu : 1. Makna Leksikal (lexical meaning) Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada kata tanpa konteks apapun. Makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil indera kita. contoh : ular, memiliki makna leksikal “sejenis binatang melata yang sangat berbisa”. Makna leksikal dikatakan juga makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, sebab makna sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut telah berada di dalam kalimat. Demikian ada kata-kata yang makna leksikalnya dapat dipahami jika kata-kata itu sudah dihubungkan dengan kata-kata yang lain. Kata-kata seperti ini termasuk kelompok tugas atau partikel, misalnya kata, dan, ini, ke, yang. 2. Makna Gramatikal (gramatical meaning) Makna gramatikal atau makna struktural adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat. Makna gramatikal ada jika terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi. 3. Makna Kontekstual (contextual meaning)
Universitas Sumatera Utara
Makna kontekstual adalah makna yang muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Konteks dapat berwujud banyak hal. Konteks yang dimaksud adalah konteks orangan, yaitu konteks yang memaksa pembicara untuk mencari kata-kata yang maknanya dipahami oleh lawan bicara sesuai dengan jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan dan latar belakang ekonomi. Misalnya, kata ‘relevan’ sulit bagi kita mengharapkan pemahaman kata itu bagi anak yang belum sekolah. Konteks situasi, yaitu konteks yang memaksa pembicara mencari kata yang maknanya berkaitan dengan situasi. Misalnya, situasi gembira maka kita mencari kata yang maknanya sesuai dengan situasi tersebut. Konteks tujuan, konteks formal, konteks suasana hati pembicara/pendengar, konteks waktu, konteks tempat, konteks kebahasan, dan lainnya. 4. Makna Denotatif (denotative meaning) dan Makna Konotatif (conotative meaning) Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Menurut Harimurti, (1982:32), makna denotatif merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan antara hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa yang didasarkan pada konvensi tertentu. Sedangkan makna konotatif adalah makna yang muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang dibaca. Dengan kata lain makna konotatif berhubungan dengan nilai rasa pemakai bahasa. 5. Makna Kognitif (cognitive meaning) atau Makna Referensial
Universitas Sumatera Utara
Makna kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya. Makna kognitif lebih banyak berhubungan dengan pemikiran kita tentang sesuatu. 6. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif Makna konseptual merupakan hal yang esensial di dalam suatu bahasa. Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Sebenarnya makna konseptual sama dengan makna denotatif. Sedangkan asosiasi adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata tersebut dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiasi termasuk juga dengan makna konotatif, karena kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata tersebut, (Leech, 1976). 2.2.3 Relasi Makna Relasi makna adalah bermacam-macam hubungan makna yang terdapat pada sebuah kata atau leksem. 1. Sinonim Secara semantik Verhar dalam Chaer, (2009:83) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih
Universitas Sumatera Utara
sama dengan makna ungkapan lain.hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Hubungan makna antar dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah, misalnya buruk bersinonim dengan kata jelek. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut.
buruk
jelek
Faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah : a. Faktor waktu, misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais, sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modren). b. Faktor tempat atau daerah, misalnya kata saya dan kata beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunkan pada pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku), sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum dimana saja. c. Faktor sosial, misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata bersinonim tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
d. Faktor bidang kegiatan, misalnya kata satawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Kata tasawuf hanya lazim
dalam agama
Islam. Kebatinan yang bukan Islam, dan mistik untuk semua agama. e. Faktor nuansa makna, misalnya kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan secara umum, melirik hanya digunakan untuk melihat dengan sudut mata, melotot digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar, meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi, kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit. 2. Antonim Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harafiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik dalam Chaer, (2009:89) mendefenisikan sebagai: ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Misalnya dengan kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga berantonim dengan kata bagus. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut :
buruk
bagus
Universitas Sumatera Utara
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa : tataran morfem, tataran kata, tataran frase dan tataran kalimat. Hanya barangkali mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, di mana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif dimana pro dan re berantonim. Dilihat dari hubungannya, antonim dapat dibedakan antara antonim yang gradula/gradasi atau relatif dan yang bersifat mutlak (Chaer, 1994:299). Antonim yang bersifat mutlak adalah kata-kata yang berlawanan dengan bentuk nagasinya, yaitu disisipi dengan kata negasi tidak bersinonim dengan yang lainnya. Hubungan antonim dikatakan bersifat mutlak karena negasi pasangan antonim yang di sebelah kiri bersinonim dengan pasangan antonim yang di sebelah kanan atau negasi pasangan antonim yang disebelah kanan bersinonim dengan pasangan antonim yang disebelah kiri. 3. Homonim Kata homonim berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harafiah homonim dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’.
Universitas Sumatera Utara
Secara semantik verhaar dalam Chaer, (2009:94) memberi defenisi homonim sebagai ungkapan yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya tidak sama. Relasi antara dua buah ujaran yang berhomonim biasanya berlaku dua arah. Contoh dalam bahasa Indonesia antara bulan yang bermakna benda yang ada di langit, dan bulan yang datang tiap 30 hari pada wanita yaitu menstruasi, kata pacar yang bermakna ’inai’ dan kata pacar yang bermakna ’kekasih’, antara kata bisa yang bermakna ’racun’ dan bisa yang bermakna ’sanggup’.Hubungan antara dua kata yang homonim bersifat dua arah, misalnya dalam kata bisa, artinya kalau kata bisa yang berarti ‘racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ juga berhomonim dengan kata bisa yang berarti ‘racun ular’, maka diagramnya menjadi sebagai berikut :
Bisa I
Bisa II
Berkaitan dengan homonim, ada yang disebut homofon dan homograf. Homofon merupakan homonim yang sama bunyinya tetapi beda tulisan dan maknanya, sedangkan homograf merupakan homofon yang sama tulisannya tetapi beda bunyi dan maknanya (Sudaryat, 2009 : 42). a. Homonim yang homograf
Universitas Sumatera Utara
Homonim yang homograf adalah homonim yang sama tulisannya, tetapi berbeda ucapan dan maknya. Misalnya : kata teras ‘bagian kayu yang keras’ dan kata teras ‘lantai rumah di depannya’. b. Homonim yang Homofon Homonim yang homofon adalah homonim yang sama bunyinya tetapi berbeda tulisan dan makna. Misalnya : kata bang yang berarti ‘saudara laki-laki lebih tua’, dengan kata bank yang berarti ‘tempat simpan pinjam uang’. c. Homonim yang homograf dan homofon Homonim yang homograf dan homofon yakni homonim murni yang sama bunyi dan tulisannya tetapi berbeda maknanya. Misalnya : kata buram yang berarti ‘rancangan, konsep’ ; dengan kata buram yang berarti ‘suram, tidak bening’. Dengan kata beruang yang berarti ‘nama binatang ; dengan kata beruang yang berarti ‘memiliki ruang’ ; dan dengan kata beruang yang berarti ‘memiliki ruang’. 4. Hiponimi Kata hiponimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti ‘di bawah’. Secara harafiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar dalam Chaer, (2009:98) menyatakan hiponim ialah ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan. Sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk banding, tengiri, teri, mujair, cakalang dan sebagainya. Kalau diskemakan menjadi : Ikan Tongkol
Bandeng
Tenggiri
teri
Mujair
Lele
5. Polisemi Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bias juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2009 : 101). Dalam bahasa Melayu juga ditemukan sejumlah yang memiliki ciri polisemi. Kata-kata yang berpolisemi kemungkinan akan menyebabkan ketaksaan di dalam kalimat tertentu. Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti. Misalnya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih dari satu. Dapat dilihat dari bagan berikut : Makna 1 Makna 2 Makna 3
Kepala
Makna 4 Makna 5
Universitas Sumatera Utara
Makna 6
6. Ambiguitas Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti (Chaer, 2009 : 104). Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang paling besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Ambiguitas berasal dari bahasa inggris ambiguity yang berarti suatu kontruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti. Hal ini mengakibatkan terjadinya lebih dari satu makna ini dapat terjadi saat pembicaraan lisan ataupun dalam keadaan tertulis. Ketaksaan adalah kegandaan makna sebuah kalimat yang lebih dari satu makna sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman, khususnya apabila konteks kalimatnya tidak begitu jelas. Ciri ketaksaan umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena pada bahasa tulis unsur supra segmental tak dapat dideskripsikan secara akurat (Chaer, 1994:307). Ketaksaan pada bahasa Melayu, terdiri dari ketaksaan leksikal dan ketaksaan struktural. Ketaksaan leksikal adalah ketaksaan yang disebabkan oleh kata polisemi yang terdapat di dalam kalimat. Kata polisemi itu memiliki beberapa makna, maka makna kalimat itupun bersifat taksa. Tetapi tidak semua kata polisemi dapat menyebabkan ketaksaan makna kalimat, sebab ketaksaan makna juga bergantung pada struktur kalimat yang dimasuki kata tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Konsep ini tidak salah melainkan kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi yang bermakna ganda. Perbedaannya kalau polisemi ialah kegandaan makna dalam kata sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Misalnya, frase buku sejarah baru, dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain, Orang malas lewat di sana dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau (2) yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas.
Universitas Sumatera Utara
7. Redundansi Redundansi adalah penggunaan unsur segmental yang berlebih-lebihan dalam suatu bentuk ujaran (Chaer, 1994:310). Redundansi secara umum dapat diartikan sebagai keterbuangan ruang, waktu, materi, energi, yang terjadi dalam sistem teknologi. Bila redundansi dalam istilah semantik sering sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu ujaran. Secara semantik, masalah redundansi sebenarnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuj berbeda maka makna pun akan berbeda. Oleh karena itu, redundansi kata-kata dikaji dengan netral dan tidak dianalisis dengan parameter preskriptif berupa vonis salah-benar, berlebihanekonomis. Misalnya kalimat Kami dijemput oleh ibu dari bandara, tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan kami dijemput ibu dari bandara.
Universitas Sumatera Utara