BAB II KAJIAN PUSTAKA
A KAJIAN TENTANG KESADARAN HUKUM 1
Kesadaran
a. Pengertian Kesadaran Hukum Sebelum mengkaji tentang kesadaran hukum berikut akan disajikan dengan singkat apa yang dimaksud dengan kesadaran. Secara harfiah kata “kesadaran” berasal dari kata “sadar”, yang berarti insyaf, merasa, tahu dan mengerti. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan AW. Widjaja (1984: 46) yang menyatakan bahwa “kita sadar jika kita tahu, mengerti, insyaf, dan yakin tentang kondisi tertentu”. Dengan kemudian, kesadaran adalah keinsyafan atau merasa mengerti atau memahami segala sesuatu. Berbicara mengenai kesadaran tidak akan terlepas dari masalah psikis. Adapun yang dimaksud psikis adalah totalitas segala peristiwa kejiwaan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Kedua alam tersebut tidak hanya saling mengisi akan tetapi saling berhubungan secara konvensatoris. Fungsi kedua alam tersebut
adalah untuk penyesuaian. Alam sadar berfungsi untuk penyesuaian
terhadap dunia luar, sedangkan alam tidak sadar berfungsi untuk penyesuaian terhadap dunia dalam atau diri sendiri. Kesadaran akan selalu terkait dengan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh setiap individu, maka
35
ia dapat mengendalikan diri atau menyesuaikan diri pada setiap kesempatan serta dapat menempatkan dirinya sebagai individu dan anggota masyarakat. Sebagai individu ia akan mengetahui dan memperhatikan dirinya sendiri, sedangkan sebagai anggota masyarakat, ia akan mengadakan kontak dengan orang lain sehingga timbul interaksi diantara mereka. Berkaitan dengan hal tersebut, Widjaya (1984:14) mengemukakan sebagai berikut: Sadar (kesadaran) itu adalah kesadaran kehendak dan kesadaran hukum. Sadar diartikan merasa, tahu, ingat keadaan sebenarnya dan ingat keadaan dirinya. Kesadaran diartikan sebagai keadaan tahu, mengerti dan merasa, misalnya tentang harga diri, kehendak hukum dan lainnya. Lebih lanjut, Widjaya (1984:14) mengemukakan dua sifat kesadaran, yaitu Pertama, kesadaran statis yaitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan berupa ketentuan-ketentuan dalam masyarakat, dan kedua kesadaran dinamis, yaitu kesadaran yang menitikberatkan pada kesadaran yang timbul dari dalam diri manusia yang timbul dari kesadaran moral, keinsyafan dari dalam diri sendiri yang merupakan sikap batin yang tumbuh dari rasa tanggung jawab. Konsekuensi logis dari sebuah kesadaran itu menurut Widjaya (1984:35) tidak hanya tergantung pada kelengkapan perundang-undangan saja melainkan juga terikat dengan kesadaran pribadi terhadap moral, etika dan lingkungan. Apabila tiap manusia memiliki kesadaran moral, maka masyarakat akan tertib dan aman. Kesadaran seseorang akan tampak terlihat dari sikap dan tingkah lakunya sebagai akibat adanya motivasi untuk bertindak. Manusia dalam kehidupannya dapat bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat ataupun sebaliknya. Manusia yang bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dapat disebut memiliki kesadaran moral, yaitu 36
adanya keinsyafan dalam diri manusia bahwa sebagai anggota masyarakat dapat melakukan kewajibannya. Berkaitan dengan hal tersebut Zubair (1995:51) menyatakan sebagai berikut: Kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula tindakannya akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilainilai yang benar-benar esensial dan fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya selalu direalisasikan sebagaimana yang seharusnya, kapan saja dan di mana saja. Kesadaran moral merupakan pangkal otonomi manusia yang timbul dari hati sanubari. Oleh karena itu tidak ada yang dapat secara mutlak mewajibkan suatu hal kepada manusia kecuali atas dasar kesadarannya, sehingga kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh serta penuh tanggung jawab. Suseno (1975:26) mengatakan bahwa : Kesadaran moral begitu tegas, orang yang mengalaminya bagaikan suatu suara yang dibicarakan dalam dirinya, dalam bahasa sehari-hari kesadaran akan kewajiban itu disebut suara batin. Jadi suara batin adalah suatu keinsyafan bahwa kewajiban itu di dalam batin melakukan sesuatu. Dengan demikian kesadaran moral yang timbul dan ada dalam diri manusia itu harus diyakini serta menjadi tatanan moral yang dapat dilaksanakan. Agar kehidupan manusia terjamin, maka setiap manusia harus memiliki kewajiban moral dalam masyarakat. Suseno (1975:25) menyatakan bahwa ”kewajiban moral merupakan kewajiban yang mengikat batin seseorang dan terlepas dari pendapat teman, masyarakat maupun atasan”. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesadaran adalah suatu proses kesiapan diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menanggapi hal tertentu dengan didasari atas pengertian, pemahaman, penghayatan dan pertimbangan-pertimbangan nalar dan moral 37
dengan disertai kebebasan sehingga ia dapat mempertanggungjawabkannya secara sadar. Kesadaran timbul dalam diri seseorang untuk mentaati suatu hukum atau aturan tertentu. Menurut suseno sebagaimana dikutif Achmad Charris Zubair (1995:54) kesadaran memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1) Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral itu ada, dan terjadi dalam setiap sanubari manusia, siapapun, dimanapun, dan kapanpun. 2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional, karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dinyatakan pula sebagai hal yang objektif dapat diuniversalisasikan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. 3) Kebebasan atas kesadarannya, seseorang bebas untuk mentaatinya, bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang pula nilai kemanusiaan itu sendiri. Berdasarkan tingkatannya, N.Y Bull (Djahiri, 1985:24) mengungkapkan bahwa kesadaran dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yang masing-masing tingkatan
menunjukan
derajat
kesadaran
seseorang.
Tingkatan-tingkatan
kesadaran itu antara lain: 1) Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya.
38
2) Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau bergantiganti. Ini pun kurang mantap sebab mudah berubah oleh keadaan dan situasi. 3) Kesadaran yang bersifat sosionomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai. 4) Kesadaran yang bersifat autonomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang terbaik karena didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seseorang. Berdasarkan keempat tingkatan kesadaran di atas, kesadaran yang bersifat anomous atau kesadaran yang paling rendah tingkatannya karena tidak jelas dasar dan alasan atau orientasinya. Sedangkan kesadaran yang bersifat autonomous adalah kesadaran yang paling diharapkan keberadaannya karena didasari oleh konsep atau kesadaran yang ada pada diri individu yaitu konsep pengetahuan dan pengalaman dalam proses kehidupannya. Dalam pandangan Bierstedt yang dikutif oleh Soerdjono Soekanto (1982:225), dasar-dasar kepatuhan hukum itu dapat dimulai dari indoctrination, habituation, utility, dan group identification. Keempat dasar kepatuhan hukum tersebut dijelaskan Soerdjono Soekanto (1982:225) sebagai berikut: Indoctrination, maksudnya bahwa masyarakat memenuhi kaidah-kaidah tersebut karena diindoktrinir untuk berbuat demikian. Habituation, artinya bahwa manusia sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Utility, yaitu salah satu faktor yang menyebabkan orang taat kepada kaidah adalah karena kegunaan daripada kaidah tersebut, dan Group identification, merupakan salah satu sebab 39
mengapa seseorang patuh pada kaidah, adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan daripada kelompokkelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok tadi. Seseorang terkadang mematuhi kaidah-kaidah kelompok lain, karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut.
b. Unsur-unsur dan Tingkat Kesadaran Menurut Kohlberg, yang dikutip oleh Achmad Kosasih Djahiri (1985:25) mengemukakan bahwa perbedaan tingkat kesadaran adalah sebagai berikut: 1) Patuh/sadar karena takut pada orang atau kekuasaan/paksaan (authority oriented). 2) Patuh karena ingin dipuji (good boy-nice girl). 3) Patuh karena kiprah umum/masyarakat (contact legality)d) Patuh atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban (law and order oriented). 4) Patuh karena dasar keuntungan atau kepentingan (utilities =hedonis). 5) Patuh karena hal tersebut memang memuaskan baginya. 6) Patuh karena dasar prinsip etis yang layak/universal (Universal Ethical Principle). Dan penjelasan di atas dapat dilihat berbagai macam alasan mengapa seseorang mematuhi suatu aturan. Sejalan dengan kesadaran hukum kepatuhan yang sesuai adalah kepatuhan atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk 40
ketertiban. Disamping itu kepatuhan yang didasarkan pada prinsip etis yang layak dianggap paling baik dibandingkan dengan kepatuhan yang didasarkan oleh hal lainnya, sebab walaupun tidak ada aturan yang tertulis tetapi apabila secara etis dianggap layak maka masyarakat akan mematuhinya.
2
Hukum
a. Pengertian Hukum Kalimat pertama yang dikemukakan oleh Kansil (1986:34) adalah apakah sebenarnya hukum itu? Menurut beliau dahulu biasanya orang menjawab dengan memberikan definisi yang indah-indah. Akan tetapi menurut Apeldooren tidak mungkin memberikan definisi tentang apa hukum itu karena sangat sulit untuk memberikan definisi yang dapat mencakup hukum secara keseluruhan. Sampai saat ini, belum ada kesepakatan yang pasti tentang rumusan anti hukum, atau sebagaimana dikemukakan oleh Darwis (2003: 6) “belum ada sebuah pengertian hukum yang dijadikan standar dalam memahami makna dan konsep hukum”. Untuk merumuskan pengertian hukum tidaklah mudah, karena hukum itu meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu pengertian tidak mungkin mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum. Selain itu, setiap orang atau ahli akan memberikan arti yang berlainan sesuai dengan sudut pandang masingmasing yang akan menonjolkan segi-segi tertentu dan hukum. Akan tetapi meskipun sulit untuk menjadikan definisi hukum sebagai pegangan yang mutlak, ada beberapa sarjana atau pakar hukum yang mengemukakan pengertian hukum.
41
Utrecht sebagaimana dikemukakan oleh Kansil (1986: 38) merumuskan pengertian hukum sebagai “himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati”. Sementara itu, Affandi (1981: 4) mengatakan bahwa “hukum adalah kumpulan peraturan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, apabila mengabaikan peraturan tersebut maka kepada si pelanggar harus dijatuhi hukuman”. Menurut Poespoprojo (1998:82), “hukum dalam arti yang sebenarnya adalah suatu aturan atau ukuran perbuatan-perbuatan dan menjuruskan perbuatanperbuatan tersebut ke arah tujuan masing-masing yang sebenarnya”. Dimana menurut beliau hukum itu dibagi menjadi hukum fisik, yang membebankan kepada keharusan fisik dan hukum moral, yang membebankan kepada keharusan moral. Berdasarkan ketiga pendapat di atas, diketahui bahwa hukum itu memuat aturan mengenai hal yang layak dan tidak layak untuk dilakukan menurut pendapat umum yang seharusnya ditaati dan dipatuhi. Hukum juga mengatur segala tingkah laku manusia dalam pergaulannya di masyarakat. Untuk melengkapi pengertian hukum yang dikemukakan di atas, di bawah ini terdapat pengertian hukum dan beberapa ahli sebagaimana dikutip oleh Kansil (1986:36-38): 1) Immanuel Kant, Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dan orang yang satu dapat menyesuaikan dengan diri dengan
42
kehendak bebas dan orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. 2) Leon Duguit, Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dan kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu. 3) E.M. Meyers, Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya. 4) S.M. Amin, Kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. 5) J.C.T. Simorangkir, Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu. 6) M.H. Tirtaatmidjaja, Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti
mengganti
kerugian,
jika
43
melanggar
aturan-atunan
itu
akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. Dari beberapa rumusan pengertian hukum di atas, beberapa persamaan, diantaranya: 1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. 2) Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib. 3) Peraturan itu bersifat memaksa. 4) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena hukum memiliki sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa seseorang untuk mentaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang yang tidak mentaatinya diberikan sanksi yang tegas.
b. Tujuan Hukum Menurut Kansil (1986: 41) “hukum lahir karena dibutuhkan untuk mengatur berbagai macam hubungan yang terjadi di antara anggota masyarakat”. Dengan timbulnya berbagai hubungan tersebut dibutuhkan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban tiap-tiap anggota masyarakat supaya dalam hubungan tersebut tidak terjadi konflik. Adanya aturan-aturan yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh dan mentaatinya, akan menyebabkan terjadinya keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Van Apeldorn (Kansil, 1986: 41) yang menyatakan bahwa “tujuan 44
hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai”. Pendapat ini diikuti oleh Soekanto (1985:213) yang mengatakan bahwa “tujuan hukum adalah mencapai perdamaian di dalam masyarakat”. Perdamaian berarti menunjukkan adanya keserasian tertentu antara ketertiban dan ketentraman. Ketertiban diperlukan untuk melindungi kepentingan umum, sedangkan ketentraman diperlukan untuk melindungi kepentingan pribadi dalam kehidupan bersama. Kedua nilai tersebut berpasangan dan harus diserasikan supaya tidak mengganggu masyarakat atau individu-individu yang menjadi bagiannya. Hukum membawa manusia ke arah suasana yang diliputi dengan keadilan dan ketenangan dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan manusia lainnya. Hukum
berusaha
menyelaraskan
kepentingan-kepentingan
individu
dan
kepentingan masyarakat sebaik mungkin. Dengan hukum dapat diusahakan tercapainya suatu keseimbangan yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat. Berkaitan dengan tujuan hukum, Mertokusumo (1986:57) membagi tujuan hukum ke dalam beberapa teori, yaitu teori etis, teori utilitas, dan teori campuran. Pertama, Menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil atau tidak. Kedua, teori utilitas mengemukakan bahwa hukum ingin menjamin kebahagian yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya, pada hakikatnya tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan keragaman atau kebahagian yang besar bagi orang banyak. Ketiga, Teori Campuran. Untuk menjelaskan teori ini, Mertokusumo (1986:57) mengemukakan beberapa pendapat sebagai berikut:
45
1) Mochtar Kusumaatmadja. Tujuan pokok pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di samping ketertiban tujuan hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. 2) Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. Tujuan hukum adalah kedamaian hidup antara pribadi yang meliputi ketertiban ekstem antar pribadi dan ketenangan pribadi. 3) Van Apeldorn. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai dan adil. 4) Soebekti. Hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagian kepada rakyatnya. 5) Soedikno Mertokusumo. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan ketertiban dan keseimbangan di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia terlindungi. Berdasarkan keterangan di atas, dapat dikemukakan bahwa hukum itu diperlukan dalam mengatur kehidupan masyarakat sehingga hak dan kewajiban manusia benar-benar terjamin. Dengan adanya hukum diharapkan dapat tercipta suatu masyarakat yang aman, tertib dan damai. Dalam tujuan hukum tersebut terkandung unsur-unsur untuk tercapainya keadilan, kebahagian, ketertiban, kedamaian dan menciptakan keseimbangan.
46
c. Fungsi hukum Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Hal tersebut ada hubungannya dengan fungsi hukum. Poerbacaraka dan Soekanto (1985: 68) menyatakan bahwa fungsi hukum itu adalah “memberikan kepastian dan kesebandingan bagi individu maupun masyarakat”. Dan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa antara tujuan dan fungsi hukum merupakan suatu rangkaian yang bertalian di antara keduanya. Hubungan antara tujuan hukum dan fungsi hukum terletak pada aspek pemberian kepastian hukum yang tertuju pada ketertiban dan pemberian kesebandingan hukum yang tertuju pada ketentraman atau ketenangan. Dengan kata lain, kehidupan bersama dapat tertib hanya jika ada kepastian dalam hubungan sesama manusia dan akan tercipta ketenangan jika dapat menerima apa yang sebanding dengan perilaku atau tindakannya. Menurut Ranidar Darwis (2003: 27), “hukum itu berfungsi sebagai sarana untuk kehidupan masyarakat, pemelihara ketertiban dan keamanan, penegak keadilan, sarana pengendali sosial, sarana rekayasa masyarakat (social engineering) dan sarana pendidikan masyarakat”. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Friedman (Taneko, 1993: 36) yang mengatakan bahwa “fungsi hukum itu meliputi pengawasan atau pengendalian sosial (social control), penyelesaian sengketa (dispute settlement), rekayasa sosial (social engineering, redistributive, atau inovation)”. 47
Kedua pendapat di atas pada intinya mengedepankan fungsi hukum sebagai sarana pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, Seminar Hukum Nasional IV pada tahun 1980, merumuskan fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan sebagai berikut: 1) Pengatur, penertib dan pengawas kehidupan masyarakat. 2) Penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi lemah. 3) Penegak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan. 4) Faktor penjamin keseimbangan dan keserasian dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat. 5) Faktor integrasi antara berbagai subsistem budaya bangsa. (Darwis, 2003: 28). Menurut Thomas Aquinas yang dikutip oleh Poespoprodjo (1998: 44) mengatakan bahwa “fungsi hukum bukanlah untuk membebankan ikatan yang tidak ada perlunya, melainkan untuk menjuruskan manusia ke tujuan terakhirnya tanpa menghancurkan kehendak mereka”. Hukum tidak berlawanan dengan kemerdekaan kehendak, tetapi berlawanan dengan ketidakteraturan atau keliaran. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum selain memiliki fungsi sebagai alat untuk menciptakan kedamaim di masyarakat juga memiliki kemampuan untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu proses pembaharuan dan pembangunan nasional. Dengan demikian hukum dapat mewujudkan terciptanya warga negara yang baik di masa depan.
48
3
Kesadaran Hukum Persoalan mengenai kesadaran hukum pada mulanya timbul sehubungan
dengan usaha untuk mencari dasar sahnya suatu peraturan hukum sebagai akibat dan berbagai masalah yang timbul dalam rangka penerapan suatu ketentuan hukum. Kemudian hal ini berkembang dan menimbulkan suatu problema dalam dasar sahnya suatu ketentuan hukum, apakah berdasar pada perintah pihak penguasa atau berdasar pada kesadaran dan masyarakat?. Menurut Soekanto (1985: 19) permasalahan tersebut timbul karena dalam kenyataan di masyarakat banyak sekali ketentuan-ketentuan hukum yang tidak ditaati oleh masyarakat. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Agar terjadi suatu keserasian yang profesional antara hukum yang diterapkan dengan kesadaran hukum dan masyarakat, maka peraturan itu sendiri harus rasional dan dilaksanakan dengan prosedur yang teratur dan wajar. Kesadaran hukum merupakan interdepedensi mental dan moral yang masingmasing tergantung pada egonya manusia. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Widjaya (1984: 18) mengemukakan sebagai berikut: Kesadaran hukum merupakan keadaan dimana tidak terdapatnya benturanbenturan hidup dalam masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan seimbang, serasi dan selaras. Kesadaran hukum diterima sebagai kesadaran bukan diterima sebagai paksaan, walaupun ada pengekangan dari luar diri manusia atau masyarakat sendiri dalam bentuk perundangundangan.
49
Selain itu, Purbacaraka dan Soekanto (1985:9) mengartikan kesadaran hukum sebagai “keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup yang menjadi landasan regel mating (keajegan) maupun beslissigen (keputusan) itu dapat dikatakan sebagai wadahnya jalinan hukum yang mengendap dalam sanubari manusia”. Kedua batasan di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa kesadaran hukum merupakan kepatuhan untuk melaksanakan ketentuan hukum yang tidak saja tergantung pada pengertian dan pengetahuan, tetapi lebih diutamakan terhadap sikap dan kepribadian untuk mewujudkan suatu bentuk perilaku yang sadar hukum. Pendapat lain dikemukakan oleh Paul Scholten (Mertokusumo, 1984:2) yang menjelaskan pengertian kesadaran hukum sebagai berikut: Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu, apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dan hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dengan tidak hukum, antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kesadaran hukum merupakan kesadaran yang terdapat dalam diri manusia terhadap hukum yang ada, yaitu yang akan diwujudkan dalam bentuk kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum. Melalui proses kejiwaan, manusia membedakan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dalam pandangan Soekanto (1982: 152), “kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada”. Sedangkan menurut
50
Salman (1993:39), kesadaran hukum dapat diartikan sebagai “persepsi individu atau masyarakat terhadap hukum”. Persepsi tersebut mungkin sama ataupun tidak dengan hukum yang berlaku, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis seperti hukum Islam dan hukum adat. Meskipun kedua hukum tersebut tidak memiliki bentuk formal (tertulis) dalam lingkup hukum nasional, akan tetapi hukum tersebut seringkali dijadikan dasar dalam menentukan suatu tindakan. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam keadaan masyarakat sendiri. Dalam hal ini terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat. a. Indikator Kesadaran Hukum Menurut Salman (1989:56), taraf kesadaran hukum tersebut dapat diklasifikasikan menjadi “kesadaran hukum yang tinggi, sedang dan rendah”. Berkaitan dengan hal tersebut, Soekanto (1982:140) mengemukakan bahwa “untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolok ukur, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum”. Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Indikator-indikator kesadaran hukum di atas dapat terungkapkan apabila seseorang mengadakan penelitian secara seksama terhadap gejala tersebut. Indikator-indikator tersebut sebenarnya merupakan petunjuk-petunjuk yang relatif nyata tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. 51
1) Pengetahuan Hukum Pengetahuan hukum menurut Salman (1993: 40) adalah “pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hukum yang dimaksud di sini adalah hukum yang tertulis dan tidak tertulis”. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Disamping itu, pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. Pengetahuan hukum atau ada juga yang menyebutnya dengan pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) dijelaskan oleh Kutchinky yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1977: 140) sebagai berikut “awareness of the very fate that a certain type of behavior is regulated by law”. Maksudnya adalah bahwa kesadaran tentang peraturan-peraturan hukum itu menyangkut pengetahuan terhadap seluruh jenis fakta perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sebagai indikator dan tingkat kesadaran hukum, pengetahuan hukum dapat ditelaah dan pertanyaan apakah seseorang telah mengetahui secara konseptual bahwa terdapat beberapa perbuatan di dalam masyarakat yang sudah diatur oleh hukum, baik dalam bentuk hukum tertulis seperti perundang-undangan, peraturan daerah, surat edaran dan intruksi para pejabat yang berwenang, ataupun berupa hukum tidak tertulis yaitu hukum adat atau tradisi dan adat kebiasaan. Dalam kaitan ini Soejono Soekanto (1982: 228), menyatakan “perilaku tersebut
52
menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun yang dibolehkan oleh hukum”. Orang sadar karena dia tahu, dengan demikian kesadaran hukum yang ditandai dengan adanya pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum itu tidak lain adalah kesadaran seseorang akan adanya peraturan-peraturan tertentu baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang harus dijadikan kaidah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian apabila seseorang mengetahui hukum maka ia akan mengetahui perbuatan mana yang merupakan perbuatan hukum dan mana yang bukan perbuatan hukum. Berkaitan dengan perbuatan hukum, Kansil (1986:121-122) menjelaskan sebagai berikut: Dalam peristiwa hukum suatu perbuatan itu merupakan perbuatan hukum apabila perbuatan itu oleh hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat suatu perbuatan tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dan yang melakukannya, maka perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan hukum. Lebih lanjut, Kansil (1986:122) menguraikan dua macam perbuatan hukum, yaitu: Pertama, perbuatan hukum yang bersegi satu yaitu tiap perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dan satu subjek hukum saja, contohnya perbuatan mengadakan surat wasiat. Kedua, perbuatan hukum yang bersegi dua yaitu tiap perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dan dua subjek hukum, dua pihak atau lebih sehingga merupakan suatu perjanjian.
53
Kansil (1986: 123) juga membedakan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum menjadi dua, yaitu: Pertama perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu. Jadi akibat yang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu diatur oleh hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan hukum. Contohnya memperhatikan orang yang menderita sakit. Kedua, perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh hukum, meskipun akibat itu memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut. Kesadaran hukum berhubungan dengan kemampuan penghayatan akan peraturan-peraturan hukum karena seseorang dianggap sudah mengerti hukum. Oleh karena itu supaya dapat mencapai tahap kemampuan menghayati ini maka mengerti tentang hukum harus dicapai. Salah satu cara agar mengerti hukum adalah melalui proses pendidikan, baik pendidikan persekolahan maupun luar sekolah. Menurut Ranidar Darwis (2003:7), “setelah mengerti hukum maka seseorang dimungkinkan dapat menghayati hukum tersebut dan pada akhirnya dapat menginternalisasi pada dirinya sendiri”. Dalam pandangan Soerjono Soekanto (1977: 224) dikemukakan sebagai berikut: Taraf pengetahuan tentang peraturan tidak berpengaruh terhadap pengetahuan isi peraturan, sikap hukum maupun pola prilaku hukum, oleh karena tidak menyangkut sistem nilai-nilai yang berlaku. Dengan demikian taraf yang rendah dan pengetahuan terhadap peraturan tidak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kesadaran hukum, akan tetapi taraf pengetahuan tinggi tentang peraturan akan lebih menyempurnakan taraf kesadaran hukum. 54
Dari pendapat tersebut, dapat dikemukakan bahwa seseorang dikatakan sadar hukum apabila perikelakuan seseorang tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, tanpa mesti mempertimbangkan apakah seseorang tersebut mengetahui secara eksplisit adanya peraturan atau tidak ada. Dengan demikian, kesadaran hukum seseorang tersebut tidak secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuannya, tetapi penilaian terhadap seseorang bahwa seseorang itu memiliki kesadaran hukum yang tinggi atau rendah lebih dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakini oleh si penilai bahwa perbuatan seseorang itu sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Penilaian terhadap kesadaran hukum seseorang dengan demikian memiliki tingkat subjektifitas penilaian yang sangat tinggi. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa penilaian terhadap kesadaran hukum individu melalui standar penilaian akan pengetahuan hukum positif yang dimiliki individu tersebut menjadi bersifat relatif, sebab si penilaiannya sendiri memiliki persepsi sendiri terhadap hukum yang dimaksud. Tidak heran kalau pada akhirnya pengaruh pengetahuan tentang peraturan hukum terhadap kesadaran hukum seseorang hanya menjadi penyempurna saja. Hal tersebut berbeda bila dibandingkan dengan pengetahuan hukum adat yang diperoleh dan pendidikan keluarga dan masyarakat yang nyata-nyata berpengaruh kuat pada penilaian bahwa seseorang memiliki tingkat kesadaran hukum tertentu. Parameter untuk mengukurnya adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, ketaatan individu terhadap norma kemasyarakatan lebih kuat dibandingkan dengan ketaatan individu terhadap 55
hukum positif. Menurut hemat penulis, kondisi demikian disebabkan karena hukum positif yang sengaja dibuat oleh lembaga resmi negara belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan dibutuhkan oleh masyarakat dalam mengatur kehidupannya. Oleh karena itu, pelaksanaan hukum positif akan bersifat temporer dan insidental. 2) Pemahaman Hukum Pemahaman hukum diartikan sebagai sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dan suatu hukum tertentu. Menurut Salman (1993: 41) “pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut”. Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal. Akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal yang ada kaitannya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pemahaman ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari. Kutchinky sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto (1977: 140) menjelaskan pemahaman hukum (law acquaintance) sebagai “.... the amount of information a person has about the content matter of a certain regulation”. Artinya bahwa pemahaman hukum adalah pengertian terhadap isi dan tujuan hukum dan suatu peraturan. Maksudnya bahwa kesadaran hukum seseorang itu ditentukan oleh seberapa banyak informasi yang dimiliki oleh seseorang tentang isi suatu peraturan hukum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia 56
tidak cukup hanya mengetahui bahwa hukum itu ada, tetapi manusia juga harus mengetahui manfaat dan mematuhi hukum yang berlaku. Berkaitan
dengan
hubungan
antara
pengetahuan
hukum
dengan
pengetahuan mengenai isi peraturan, menarik untuk disimak hasil penelitian Soerjono Soekanto (1977:175) sebagai berikut: .... terlihat bahwa isi peraturan bagi orang yang berjalan kaki sendirian diketahui oleh 68,08% responden pria, dan 76,10% responden wanita, sedangkan berjalan lebih dan satu orang tercatat 70,80% responden pria dan 73,40% responden wanita. Padahal apabila hal itu dihubungkan dengan pengetahuan tentang peraturan ternyata bahwa 100% responden pria maupun wanita tidak mengetahui adanya peraturan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan timbal balik maupun searah antara pengetahuan tentang peraturan dengan pengetahuan mengenai isi peraturan. Hasil penelitian Soerjono Soekanto di atas jika dihubungkan dengan pendapat dan B. Kutchinky menunjukan bahwa kesadaran hukum yang dipengaruhi oleh faktor seberapa besar pengetahuan mengenai isi peraturan menjadi bersifat independent dan pengetahuan akan adanya peraturan. Artinya tanpa mengetahui adanya peraturan hukum tertulispun perilaku seseorang dapat berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hukum tertulis tersebut. Hal ini terjadi karena prilaku seseorang yang sesuai dengan isi peraturan itu lebih dipengaruhi oleh proses internalisasi dan imitasi di samping faktor usia, tingkat studi dan lamanya tinggal di suatu daerah tertentu. Proses internalisasi dan imitasi tidak terjadi dalam waktu yang relatif singkat dan tergesa-gesa tetapi berlangsung sejak manusia menyadari akan keberadaannya di tegah-tengah masyarakat. Lamanya waktu terjadi karena proses
57
interaksi sosial dalam suatu komunitas masyarakat berjalan secara kontinu dan berpola. Menurut Soekanto (1977: 175-180), langkah yang dilakukan untuk menjaga harmonisitas dalam masyarakat adalah semua individu tersebut harus berpegang teguh pada norma yang berlaku dengan cara menginternalisasi dan mengimitasinya dan kehidupan masyarakat yang ia tempati tersebut. Norma inilah yang akan memberi ia petunjuk perbuatan mana yang harus dilakukan, perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan perbuatan mana yang boleh dilakukan. 3) Sikap Hukum Sikap hukum menurut Salman (1993:42) diartikan sebagai “suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati”. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. B. Kutchinky sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto (1977:140-141), menguraikan sikap hukum (legal attitude) sebagai berikut: 1) “...a dispotition to accept some legal norm or precept because it deserves respect as valid piece of law...” 2) “...a tendency to accept the legal norm or precept because it is appreciated as advantageous or useful...” Berdasarkan pendapat di atas maka ada dua alasan yang menyebabkan seseorang bersikap menerima suatu hukum yaitu: a) Suatu disposisi untuk menerima beberapa ajaran atau norma yang sah sebab aturan tersebut layak untuk dihormati sebagai hukum yang sah. 58
b) Suatu kecenderungan untuk menerima ajaran atau norma yang sah sebab norma
tersebut
dihargai
sebagai
sesuatu
yang
bermanfaat
atau
menguntungkan”. Menurut A. Podgoresky (1973) terdapat dua sikap hukum yang harus dibedakan, yaitu sikap fundametal dan sikap instrumetal. Menurut Soerjono Soekanto (1977: 224-245) seseorang yang bersikap fundamental akan bereaksi secara serta merta tanpa memperhitungkan untung ruginya bagi dirinya sendiri. Sebaliknya seorang instrumentalis akan memperhitungkan keburukan-keburukan dan kebaikan-kebaikan suatu kaidah hukum secara mantap. Dalam penjelasan selanjutnya, dikemukakan bahwa seseorang bersikap fundamentalis jelas lebih mantap karena didasarkan pada pemikiran yang mantap yang tidak didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi. Sedangkan orang yang bersikap instrumental kepatuhannya itu akan timbul apabila ada rasa takut pada sanksinya, karena ada pengawasnya atau karena kebanyakan orang mematuhinya. Sejalan dengan pendapat A. Podgoresky di atas, H.C. Kelman sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto (1977:230) mengemukakan bahwa pada dasamya kepatuhan hukum terjadi karena beberapa hal berikut: a) Compliance, yaitu suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukum yang mungkin dijatuhkan apabila tidak taat.
59
b) Identification, yang terjadi apabila kepatuhan hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar supaya keanggotaan kelompok tetap terjaga, serta ada hubungan baik dengan mereka yang memegang kekuasaan. c) Internalization, dimana seseorang mematuhi hukum karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat dilihat bahwa masyarakat seharusnya bersikap secara instrumental, dalam artian mematuhi hukum atas dasar pertimbangan kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan bila mematuhi atau tidak mematuhi suatu hukum yang berlaku. 4) Pola Prilaku Hukum Pola perilaku hukum (legal behavior) merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Menurut Salman (1993: 42), “seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dan pola perilaku hukum”. B. Kutchinky sebagaimana dikutip Soerdjono Soekanto (1977:141) mengemukakan bahwa legal behavior adalah “ …legally desire behavior”. Maksudnya bahwa perikelakuan hukum tersebut merupakan perilaku yang dikehendaki oleh hukum. Hasil penelitian Soerdjono Soekanto (1977:273) mengungkapkan bahwa “salah satu kriterium tingkat kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dan pola perikelakuannya, apakah sesuai dengan yang dihendaki hukum atau tidak”. Maksudnya adalah bahwa pola perikelakuan yang sesuai dengan peraturan merupakan kriterium pokok akan adanya kepatuhan hukum, oleh karena
60
perikelakuan demikian menunjukkan adanya persesuaian antara peraturan dengan nilai-nilai yang berlaku. Dalam membahas mengenai mengapa seseorang harus berprilaku sesuai dengan hukum, Achmad Roestandi (1992:22-23) mengemukakan bahwa paling tidak ada empat alasan, yaitu: a) Juridis, karena hukum itu dikeluarkan oleh penguasa. b) Sosiologis, karena sudah merupakan kebiasaan. c) Psikologis, karena takut akan sanksinya. d) Ekonomis, karena lebih menguntungkan mentaatinya dan pada tidak mentaatinya. Sementara itu, apabila dikaji secara filosofis, Achmad Roestandi (1992:2223) mengemukakan bahwa alasan orang menaati hukum didasarkan atas empat teori, yaitu: a) Teori Kedaulatan Tuhan, dasar mengikat dan hukum ialah karena hukum itu merupakan kehendak Tuhan. b) Teori Perjanjian Masyarakat, dasar mengikat daripada hukum ialah karena manusia secara tegas atau diam-diam telah berjanji akan mentaati hukum, yakni dalam pactum subjectionis. c) Teori Kedaulatan Negara dan Rechtspositivisme, hukum mengikat karena hukum merupakan kehendak negara. d) Teori Kedaulatan Hukum, hukum mengikat karena hukum itu bersumber dan sesuai dengan perasaan hukum manusia.
61
Azas the rule of law itu tidak hanya berlaku terhadap para warganegara, tetapi juga berlaku terhadap penguasa negara, bahkan berlaku kepada setiap orang yang ada di dalam negara tersebut, walapun mereka bukan warga negara. Kaitannya dengan bahasan perikelakuan hukum sebagaimana dikehendaki oleh negara hukum kiranya dapat ditelaah kembali pendapat A.W. Widjaya di atas bahwa kesadaran itu dapat bersifat statis dan dapat pula bersifat dinamis. Menurut pandangan penulis, kesadaran hukum yang ditandai dengan pengetahuan terhadap peraturan-peraturan hukum dan pengetahuan terhadap isi peraturan-peraturan hukum lebih bersifat statis. Maksudnya, seseorang baru akan menyadari akan adanya aturan yang mengatur antara satu orang dengan orang yang lainnya atau antar individu dengan negaranya apabila ada wujud tertulis dalam wujud kitab undang-undang atau sejenisnya. Sedangkan kesadaran yang ditunjukkan oleh sikap dan pola perilakuan hukum lebih bersifat dinamis. Hal tersebut karena pengetahuan masyarakat tentang peraturan hukum dan pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum itu sangat rendah sehingga perlu waktu lama untuk membangun kesadaran hukum masyarakat melalui dua indikator ini. Dalam konteks masyarakat Indonesia, sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude) dan pola-pola perikelakuan hukum (legal behavior) lebih bersifat dinamis, sebab secara moralitas penduduk Indonesia memiliki normanorma yang mengatur pola perikelakuan masyarakat itu sendiri dalam menjaga hubungan harmonis dengan yang lain. Artinya tanpa kehadiran hukum positif pun bagi masyarakat yang masih berpegang teguh pada norma kebiasaan, kesopanan, 62
kesusilaan, dan agama, rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat akan tetap terwujud sebab norma-norma tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat (the living law).
b. Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat Kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda. Menurut Kosasih Djahiri (1985:20-25), “kesadaran hukum yang paling tinggi ialah kesadaran hukum yang timbul dan hati nurani masyarakat tanpa ada paksaan atau intimidasi dan luar dirinya”. Kesadaran hukum seperti ini biasanya muncul karena masyarakat merasakah pentingnya sesuatu walaupun, sesuatu itu tidak diatur oleh hukum. Kohlberg sebagaimana dikutip oleh Achmad Kosasih Djahiri (1985:25) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan orang patuh terhadap hukum, yaitu Pertama patuh/sadar karena takut pada orang atau kekuasaan/paksaan (authority oriented). Kepatuhan terhadap hukum seperti ini biasanya muncul karena adanya initimidasi dan seseorang atau sepihak. Walaupun kurang pas, akan tetapi cara ini dapat dilakukan asalkan demi kebaikan bersama. Kedua, patuh karena ingin dipuji (good boy-nice girl), kepatuhan ini dapat disamakan dengan kepatuhan anak-anak kepada kakak atau orang tuanya karena ingin dipuji. Ketiga, patuh karena kiprah umum/masyarakat (contact legality), Keempat, patuh atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban (law and order oriented). Kelima, patuh karena dasar keuntungan atau kepentingan (utilities-hedonis).
63
Keenam, patuh karena hal tersebut memang memuaskan baginya, dan Ketujuh, patuh karena dasar prinsip etis yang layak universal (universal etnicat principle). Berkaitan dengan perilaku hukum, Soerjono Soekanto (1982:141) “mengemukakan bahwa perilaku hukum bisa dibentuk oleh kesadaran hukum, bisa dibentuk oleh pengetahuan hukum, bisa dibentuk oleh sikap hukum, tetapi yang jelas, bahwa perilaku itu mencerminkan sikap”. Dalam konteks masyarakat Indonesia, kesadaran hukum masyarakat dinilai masih rendah, selain disebabkan oleh keempat indikator tersebut juga ada faktor lain yaitu pelaksanaan hukum itu sendiri yang belum mencermmkan keadilan. Dewasa ini di Indonesia banyak masyarakat bertindak main hakim sendiri. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan terhadap “putusan pengadilan” yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pada akhimya masyarakat mengambil alih proses mencari keadilan sendiri. Ketidakpuasan masyarakat juga disebabkan karena faktor non yuridis seperti faktor politik lebih dominan daripada faktor hukum. Menurut aliran hukum murni apabila hukum sudah terkontaminasi oleh faktor non yuridis, yang akan terjadi adalah rendahnya kadar kesadaran hukum. Dengan demikian, lembaga yudikatif diharapkan netral dan kepentingan politik dalam pelaksanaan tugasnya. Pendapat lain mengemukakan bahwa untuk dapat melahirkan kesadaran hukum perlu diperkuat pengetahuan tentang hukum. Menurut Soerdjono (1982:148) “melalui pengetahuan hukum akan muncul kesadaran dan kepatuhan hukum”. Telah dikemukan sebelumnya bahwa setiap indikator kesadaran hukum menunjukan taraf kesadaran hukum. Apabila masyarakat hanya mengetahui 64
adanya suatu hukum, dapat dikatakan kesadaran hukum yang dimiliki masih rendah. Dalam hal ini perlu adanya pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap hukum yang berlaku, sehingga warga masyarakat akan memiliki suatu pengertian terhadap tujuan dan peraturan bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya serta negara sebagai wadah kehidupan individu dan masyarakat.
B KAJIAN TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA 1
Pengertian Pedagang Kaki Lima Istilah Pedagang Kaki Lima (PKL) telah lama dikenal dan dipakai dalam
percakapan-percakapan oleh berbagai kalangan dan banyak penelitian juga telah dilakukan mengenai PKL. Namun, sejauh ini belum ditemukan suatu pengertian yang baku tentang PKL itu, bahkan tidak dapat diketahui dengan pasti sejak kapan istilah itu muncul dalam percakapan. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya Pedagang Kaki Lima (PKL) didefinisikan sebagai orangorang yang melakukan penjualan barang dagangan dipinggir-pinggir jalan, diatas trotoar, dipusat-pusat keramaian kota, distasiun kereta api dan ditempat-tempat umum lainnya baik yang bersifat menetap maupun berdagang keliling dan tidak jarang mengganggu ketertiban umum. Secara umum PKL dimasukan kedalam kelompok sektor informal sehingga mudah untuk mempelajarinya. Ada kalangan yang memasukan PKL ini sebagai kelompok pengusaha kecil golongan ekonomi lemah namun oleh Hidayat dalam Predrik Bolang (2000: 21-24) pengelompokan ini sangat rancu karena golongan ekonomi lemah biasanya meliputi juga sektor usaha formal. 65
Konsep PKL menurut Chandrakirana dan sadoko dalam Rosita Aryani Yuniar (2002, 44-46) adalah sebagai berikut: Pedagang Gelar yaitu Pedagang Kaki Lima yang menghamparkan barangbarangnya diatas trotoar/lantai dengan suatu alas atau menjajakannya diatas peti-peti yang ditumpuk hingga berfungsi sebagai meja. Walaupun pada waktu berjualan mereka mangkal ditempat tertentu. PKL bersifat mobile dalam arti mudah memindahkan dagangannya kelokasi lain, mereka dapat menyesuaikan lokasi dan waktu berjualannya dengan kondisi keramaian suatu tempat, tetapi sering pula harus menghadapi penggusuran oleh aparat ketertiban atau petugas pasar karena tidak menempati lokasi yang tidak semestinya. Pedagang yang berjualan ditenda yaitu menggunakan meja ataupun rak dengan waktu berjualan yang dibatasi oleh petugas lokal seperti aparat pemerintah kota, petugas pasar, pengelola terminal bis, dan sebagainya. Diluar waktu berjualan yang diijinkan tenda digulung dan lokasi mereka dipakai untuk parkir lalu lintas, pejalan kaki ataupun kegiatan lainnya. 2
Ciri-Ciri Pedagang Kaki Lima Menurut Hidayat dalam Rosita Aryani Yuniar (2002: 44-46) ada beberapa
ciri-ciri dari PKL antara lain: a. Pedagang Kaki Lima pada umumnya modal kecil dan tidak mempunyai tempat usaha mantap, berdagang diemperan/depan toko, dipinggir jalan, ditrotoar diatas got, ditaman, diareal parkir dan tempat-tempat orang ramai. b. Jam berdagang tidak tentu, ada pagi, ada siang, sore dan malam hari, bahkan ada yang dari pagi sampai sore dengan berbagai macam jenis dagangan. c. Jenis dagangan beraneka ragam, ada jajanan (makan proses), tanaman hias, ikan hias, pakaian jadi/sepatu/tas, kerajinan, buah-buahan, dll.
66
d. Bentuk bangunan ada yang tertutup, terbuka, payung, gelaran, gerobak, pikulan, meja dan sebagainya, konstruksi bangunan darurat, semi permanen dan tanpa bangunan. Pada umumnya PKL menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, lalu lintas, ketertiban dan kebersihan. 3
Faktor-faktor Penyebab Menjadi PKL Dari sementara penelitian diperoleh kesimpulan bahwa:
a. Orang berdagang kaki lima karena sulitnya mencari lapangan kerja b. Pekerjaan ini dipandang relatif mudah dilakukan karena tidak membutuhkan modal yang besar, tidak membutuhkan biaya yang banyak untuk membangun tempat, tidak memerlukan ijin yang formal, kewajiban retribusi dianggap masih relatif murah dan terjangkau. c. Sebagian masyarakat masih membutuhkan karena alasan tertentu seperti harga di kaki lima cukup murah dan jaraknya dekat dengan pembeli, serta barang masih asli dan baru seperti hasil pertanian. d. Sarana perpasaran formal masih kurang mencukupi terutama diwilayah permukiman. e. Berusaha sebagai PKL dapat dianggap kerja sambilan dan latihan menjadi wiraswasta. 4
Penggolongan Pedagang Kaki Lima Pada umumnya PKL dibagi atas dua macam dilihat dari cara mereka
melakukan transaksi penjualan, yaitu : yang menetap dan yang berjualan dengan
67
berkeliling. Untuk sub kelompok yang menetap dibedakan lagi menjadi lima unit sesuai dengan jenis barang yang diperdagangkan : a. PKL makanan dan minuman b. PKL sayur dan buah-buahan c. PKL alat hiburan dan kerajinan tangan d. PKL alat tulis kantor e. PKL barang bekas atau loak Kelompok PKL yang berkeliling dibedakan atas : a. PKL makanan dan minuman b. PKL sayur dan buah c. PKL alat rumah tangga d. PKL bahan bakar (Hidayat dalam Predrik Bolang, 2000: 21-24) Kelompok PKL yang berkeliling ini sering menjadi sumber ketidak teraturan kota sehingga menjadi sasaran operasi aparat tibum kota. Untuk sedikitnya memberikan solusi bagi penanganan PKL keliling ini oleh Pemda Kodya Bandung telah ditetapkan lokasi-lokasi tertentu bagi kelompok PKL. Upaya lokalisasi PKL keliling ini disatu pihak telah memberikan keamanan dan ketertiban masyarakat, dipihak lain PKL pun tidak mesti kehilangan pekerjaan akibat tergusur oleh tindakan razia aparat Tibum Kota karena berjualan ditempattempat terlarang. 5
Peranan Pedagang Kaki Lima Dalam masyarakat perkotaan, PKL ini sangat penting dan strategis tidak
hanya karena kemampuannya menyerap tenaga kerja yang besar tetapi terutama 68
dapat menyediakan barang dan jasa dengan tingkat harga yang lebih rendah dari pada barang serupa yang ada disektor formal. Barang dan jasa yang ditawarkan oleh PKL ini tidak saja menjadi konsumsi bagi kalangan sektor informal saja tetapi dinikmati juga oleh sektor formal. Para karyawan baik swasta (formal) maupun pemerintah biasanya memanfaatkan jam istirahatnya untuk jajan di PKL dari pada harus menghabiskan jam istirahatnya untuk pergi pulang makan dirumah. Demikian pula hal yang sama dilakukan oleh para siswa pada berbagai tingkatan sekolah maupun mahasiswa melakukan jajan di PKL pada jam istirahatnya. Sebagaimana
disebutkan
terdahulu
bahwa
subsektor
perdagangan
merupakan subsektor yang lebih banyak menyerap angkatan kerja jika dibandingkan dengan subsektor informal lainnya. Jika demikian, secara umum peranan sektor informal tersebut lebih banyak dicerminkan oleh subsektor PKL. Menurut Hidayat dalam Predrik Bolang (2000: 21-24) potensi sektor informal (terutama PKL) dalam perekonomian nasional adalah : a. Kemampuannya menyediakan lapangan kerja karena tidak membutuhkan persyaratan seketat disektor formal. b. Kontribusi terhadap pendapatan nasional, mengacu pada laporan BPS (1990) bahwa jika separuh dari angkatan kerja Indonesia berada disektor informal dan sektor ini lebih didominasi oleh PKL jelas ini merupakan potensi pasar yang tidak kecil. Banyak produk sektor formal seperti rokok, deterjen, aneka makanan kecil, mainan anak-anak dan sebagainya diserap oleh PKL.
69
c.
Pendapatannya melebihi pendapatan sektor formal tertentu. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, kesempatan kerja yang ditawarkan oleh kegiatan-kegiatan ekonomi produktif dan jasa pada sektor usaha kecil dapat memberikan tingkat pendapatan yang memadai. Dalam beberapa kasus bahkan memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan dengan sektor modern besar. Hasil penelitian (PIS, 1992) menggambarkan bahwa pendapatan pemulung dan pedagang kaki lima di Jakarta lebih baik dari pada pendapatan buruh industri atau buruh direstoran dan perhotelan.
6
Sikap Pejabat Perkotaan Terhadap Pedagang Kaki Lima Pedagang Kaki Lima adalah satu pekerjaan yang paling nyata dan paling
penting di kebanyakan kota di negara-negara sedang berkembang pada umumnya. Begitu pentingnya dan khas dalam sektor informal, menyebabkan istilah sektor informal sering diidentikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PKL. Menurut Paul Bairoch (Rusli Ramli, 1992 : 31) bahwa PKL relatif hanya sedikit saja dipelajari, menyebabkan PKL hanya digambarkan sebagai perwujudan pengangguran tersembunyi atau setengah pengangguran yang luas, atau pun sebagai pekerjaan sektor tersier sederhana yang bertambah secara luar biasa di dunia ketiga. Bahkan pandangan yang lebih buruk terhadap PKL yang memandang sebagai parasit dan sumber pelaku ataupun benar-benar pelaku kejahatan yang bersama-sama dengan pengemis, pelacur dan pencuri yang tergolong dalam ’rakyat jelata’ atau semata-mata dianggap sebagai ’jenis pekerjaan yang sama sekali tidak relevan’ Maria A. Roggero, 1976 (Rusli Ramli,
70
1992: 31). Menurut Ray Bromley (Rusli Ramli, 1992: 32) bahwa PKL sebagai korban dari langkanya kesempatan kerja yang produktif dikota Walaupun pandangan terakhir yang positif bagi PKL, namun kenyataan yang masih sering atau bahkan masih terus berlangsung hingga kini adalah pandangan dari banyak pejabat kota ataupun elite lokal yang biasanya memandang PKL sebagai gangguan yang membuat kota menjadi kotor dan tidak rapi, menyebabkan kemacetan lalu lintas, pembuangan sampah disembarang tempat, gangguan para pejalan kaki, saingan pedagang toko yang tertib dan membayar pajak, serta penyebaran penyakit lewat kontak fisik dan penjualan makanan yang kotor dan basi. Sebagaimana pada kebanyakan kota di dunia, PKL secara ketat diatur oleh pejabat kota (Pemerintah Kota maupun Departemen Tenaga Kerja). Berbagai peraturan kota maupun peraturan polisi biasanya menyebutkan atau merinci soal tempat dan syarat berdagang. Para PKL tidak membayar pajak dalam melakukan profesi mereka atau untuk menempati tempat umum, tetapi mereka biasanya membayar sejumlah uang tertentu agar dapat berjualan, apakah pembayarannya setiap hari atau setiap kali ataupun setiap minggu atau bulan. Ada pula kota-kota di dunia yang pengaturan PKL dilakukan oleh pelbagai Departemen atau Instansi, sehingga sering terjadi tumpang tindih di dalam tugas pengaturan PKL ini. Hal semacam ini kadang-kadang sering menimbulkan keluhan tentang kekerasan petugas ketertiban kota, sedangkan beberapa pejabat lain menjalankan ’praktek perlindungan’ dengan menarik sejumlah uang pada pedagang setiap hari atau setiap minggu dengan menjanjikan kebebasan untuk 71
berdagang. Kasus-kasus seperti tindakan PKL yang mengadu ke Departemen Tenaga Kerja jika mereka ditertibkan oleh petugas Kantor Walikota, menyebabkan Departemen Tenaga Kerja dianggap sebagai dewa penyelamat. Walaupun sikap resmi terhadap pedagang-pedagang kaki lima cenderung negatif dan menekan, namun pejabat-pejabat itu dapat menerima kehadiran sejumlah besar PKL di kota. Keadaan ini yang menyebabkan pengawasan terhadap PKL biasanya dilakukan hanya sampai tingkat terbatas, sikap resmi yang lebih sesuai dengan kebijaksanaan dengan nama pembinaan sebagai pengganti penertiban. Dalam keadaan sehari-hari seolah-olah terjadi semacam keseimbangan antara penekanan/pengawasan resmi dan usaha pedagang-pedagang kaki lima untuk berdagang dipusat kota yang penuh sesak. Para PKL belajar mengenal kendaraan petugas kota maupun petugas kota yang berjalan kaki, disamping banyak pedagang yang membatasi barang dagangan mereka hanya pada barangbarang yang dapat dikumpulkan serta dibawa dalam waktu yang singkat. Bila kendaraan petugas kota mulai berkeliling, para PKL secara berantai memberi isyarat agar mereka menghindar ke tepi jalan atau gang agar tidak dapat dilalui oleh kendaraan petugas sehingga mereka terhindar dari pengejaran petugas kota. Bila kendaraan sudah menghilang, mereka segera kembali ke tempat dan menjajakan barang dagangannya seperti biasa. Keperluan membatasi barangbarang dagangannya agar bisa dibawa lari ketika ada isyarat atau peringatan maupun waktu yang dihabiskan untuk menghindar dari pandangan petugas kota dengan sendirinya akan mengurangi keuntungan yang diperoleh pedagang tersebut. Keadaan semacam ini dapat pula mendorong sebagian dari pedagang 72
tersebut untuk berpindah ke wilayah atau lokasi yang kurang gangguannya. Cara demikian akan membuat petugas kota sebagian tujuan tugas-tugas mereka tanpa harus menangkap atau menyita dagangan para pedagang yang membangkan. Penertiban-penertiban atau pengawasan sering pula melonggar pada saat-saat tertentu seperti pada masa pra pemilu karena secara politik adanya tekanantekanan dapat dianggap merugikan kelompok yang berkuasa, namun dapat pula penertiban semakin keras pada situasi tertentu seperti adanya pertemuanpertemuan internasional, pesta olah raga, ataupun kunjungan-kunjungan tamu asing. Mungkin ada berbagai pertanyaan mengapa para petugas kota tidak melarang saja PKL dan menggunakan kekuatan hukum serta ketertiban untuk melaksanakan larangan secara ketat. Kebijaksanaan demikian barangkali akan memperoleh dukungan dari sejumlah besar elite kota dan terutama pemilik toko yang besar seperti super market maupun para pejabat kota yang tidak menyediakan tempat bagi PKL dalam ideologi pembangunan yang mereka anut. Pertanyaan diatas tidak mungkin dapat dilaksankan, karena kebijaksanaan untuk membasmi PKL akan menemui perlawanan keras. PKL berhak memberi suara dalam pemilu dan PKL sangat penting bagi tokoh politikus yang populis. Banyak politikus dan tokoh-tokoh masyarakat memprotes setiap kali ada tekanan pada PKL dan mereka sering dibela pers umum. Sering kali dinyatakan bahwa PKL merupakan satu-satunya alternatif bagi banyak orang agar terhindar dari kemiskinan, pelacuran atau kriminalitas, dan akibat-akibat sosial pembasmian
73
perdagangan kaki lima akan sangat serius. Faktor penting adalah jalinan yang kuat antara PKL dan pelbagai bisnis besar maupun menengah. Pedagang-pedagang kaki lima mewakili sistem distribusi yang penting bagi banyak importir dan pengusaha, bahkan bagi beberapa perusahaan multinasional. Mereka amat penting untuk penjualan barang-barang murah yang sering dibeli dalam jumlah yang kecil misalnya: rokok dan surat kabar. Dalam hal seperti ini PKL menyediakan sistem distribusi dengan biaya rendah dan padat karya, jam kerja yang panjang disamping suatu sistem yang menganut banyak tanggung jawab atau ikatan batin bagi pengusaha dan penyalur. (Rulsi Ramli, 1992: 32-34). 7
Hubungan PKL dan Penyalur Bahan Dagangannya PKL pada umumnya sering digambarkan sebagai wiraswasta yang
independen dan dengan demikian bagian terbesar dari mereka adalah pekerja yang tidak digaji. Keberhasilannya sangat tergantung pada usahanya dan kemampuan menarik pembeli. Keadaan semacam ini memang tidak berlaku sepenuhnya dalam kalangan PKL, karena ada juga yang berada dalam salah satu kategori yang dapat kita katakan ”penjualan atau komisi” maupun kategori lainnya yang dapat disebut ”pekerjaan yang tergantung” sebagai suatu bentuk pekerjaan yang terletak ditengah-tengah antara buruh upahan diluar pabrik dan usaha sendiri yang sesungguhnya. PKL termasuk kategori ”Penjual atas komisi” adalah mereka yang terutama menjual barang-barang hasil beberapa perusahaan milik penyalur atau pengecer lain dengan mengenakan harga yang relatip tetap pada pembeli dan 74
menerima komisi (selisih yang tetap antara harga beli dan harga jual atas semua dagangan yang dijualnya). Contoh yang umum untuk penjual atas komisi adalah penjual koran dan majalah. Inilah sebabnya penjual koran dapat disebut pekerja bergaji tersembunyi dari perusahaan surat kabar bersangkutan meskipun perusahaan-perusahaan itu tidak mempunyai tanggung jawab hukum terhadap pekerja-pekerja ini. Hubungan antara perusahaan surat kabar dan PKL dibuat sedemikian rupa untuk mempertahankan citra sendiri bagi PKL dan untuk melindungi perusahaan surat kabar terhadap biaya distribusi yang lebih tinggi. Biaya ini akan lebih tinggi bila digunakan pekerja-pekerja yang bergaji, yang setidak-tidaknya harus berusia 15 tahun, dibayar berdasarkan upah minimum dan diberi pelbagai tunjangan (dibayar pada hari libur, diberi jaminan sosial dan sebagainya yang terperinci sebagi tanggung jawab majikan dalam undang-undang perburuhan). (Rusli Ramli, 1992: 35-36) Tidak kalah banyaknya dengan ”penjual komisi” adalah pedagang kaki lima yang merupakan ”pekerja yang tergantung”. PKL yang termasuk dalam kategori ini adalah para PKL yang tergantung pada pada pemberi perlengkapan dan barang dagangan agar dapat mencari nafkah. Contoh yang jelas untuk kategori PKL yang merupakan ”pekerja yang tergantung” adalah penjual makanan dengan gerobak dorong, dimana setiap hari mereka memperoleh pinjaman gerobak beserta barang dagangannya dengan ketentuan bahwa sore atau malam harinya menyetor sejumlah tertentu uang untuk para penyalurnya yang sering dikenal dengan juragan. 75
PKL yang tidak menggunakan atau tidak mungkin menggunakan sistem ”Penjual atas komisi” dan ”pekerjaan yang tergantung” adalah PKL yang kita namakan ”Pedagang yang mandiri, benar-benar usaha sendiri ”. Pedagang dalam kategori ini terutama memperdagangkan bahan-bahan makanan yang belum masak, makanan yang sudah masak baik yang dipersiapkan dirumah maupun di jalan, barang-barang baru yang tertentu buatan pabrik dan barang-barang loakan. Mereka membelinya dari pelbagai perantara dan seringkali bahkan tidak tahu nama perantara-perantara ini serta dapat juga mereka mengumpulkan barang dagangan itu sendiri. Dalam keadaan normal mereka tidak menggunakan kredit maupun menyusun perlengkapan dn mereka tidak berstandar pada siapapun atau perusahaan manapun untuk mengusahakan tempat kerja atau mendapatkan langganan. (Rusli Ramli, 1992: 36-38) 8
Hubungan PKL dengan Pembeli Hubungan antara PKL dengan pembeli adalah bersifat komersiil, dalam
pengertian bahwa pendekatan pada kegiatan usaha dagang terlepas dari hubungan yang bersifat pribadi atau hubungan tetangga. Barang-barang yang didagangkan oleh PKL ada yang sudah mempunyai harga pasti seperti sitem penjualan ditoko, tetapi ada juga barang dagangan yang belum mempunyai harga pasti yaitu dengan pola harga luncur. Dengan demikian dapat memungkinkan adanya sistem tawar-menawar harga antara pembeli dan penjual. Menurut Geertz (Rusli Ramli, 1992 : 38) pola harga luncur dan tawar menawar itu cenderung memusatkan seluruh perhatian pedagang masing-masing
76
transaksi dua orang dan tujuannya ialah selalu berusaha mendapatkan keuntungan dari jual beli yang sedang dilakukan. PKL selalu berusaha agar barang dagangannya terjual, untuk itu memilih tempat berjualan yang umum dan banyak didatangi para pangunjung seperti dipinggir jalan raya, emper-emper toko dan pasar-pasar. Walaupun tempat mereka harus mengalami pelbagai kesulitan di pinggir pasar yang panas dan berdebu serta tidak memperoleh jaminan apa-apa untuk tempat berjualan mereka seta dari waktu ke waktu dapat dipindahkan oleh petugas-petugas kota dari tempat jualannya, namun mereka terpaksa berada di situ, karena tempat itulah yang terbuka bagi mereka. Waktu yang dianggap paling sesuai untuk berjualan adalah antara jam 06.00 sampai jam 12.00 siang dan pada jam 18.00 sore sampai jam 20.00 malam, karena pada waktu-waktu itu terdapat pengunjung yang cukup banyak. Urutan waktu lainnya untuk berjualan antara jam 12.00 sampai 16.00, jam 16.00 sampai 18.00, serta jam 20.00-jam 24.00. Selain itu pada hari-hari tertentu mereka mendapat banyak pembeli pada malam minggu atau hari libur, waktu gajian dan hari-hari menjelang lebaran. Orang-orang yang berbelanja pada PKL hampir sebagian besar berasal dari golongan berpenghasilan rendah dan sedang, walaupun ada kalanya golongan atas mendapat pelayanan juga dari PKL seperti pedagang sayur dan buah-buahan ataupun penjual jasa.
77
Walaupun jam kerja mereka PKL sangat panjang, namun seperti halnya pekerjaan-pekerjaan lain dalam sektor informal, umumnya pendapatan mereka sangat rendah. (Rusli Ramli, 1992 : 38-39)
C PERDA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN, KEBERSIHAN DAN KEINDAHAN (PERDA K3) Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan peran serta masyarakat yang berkeadilan berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan pengembangan kehidupan sosial serta budaya, melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat guna mendukung Visi Kota Bandung sebagai kota jasa yang menjunjung tinggi kedisiplinan akan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Kota Bandung maka perlu dilakukan pengaturan. Pengaturan tersebut diaplikasikan melalui Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Perda ini merupakan penyempurnaan dari Perda sebelumnya yakni Perda Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Kota Bandung. Perda ini terdiri dari 8 Bab dan 49 pasal yang terdiri dari prosedur umum lengkap dengan larangan beserta sanksinya. Pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (Perda K3) ini efektif dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 1 November 2006. Disini kita dapat melihat terdapat 3 masalah pokok yang diatur dalam Perda K3 ini, antara lain: 78
1
Ketertiban Ketertiban yang dimaksud dalam Perda No. 11 Tahun 2005 adalah suatu
keadaan kehidupan yang serba teratur dan tertata dengan baik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang dinamis, aman, tentram lahir dan batin. Adapun bentuk-bentuk ketertiban yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Tertib Jalan, Fasilitas umum dan Jalur Hijau b. Tertib Lingkungan c. Tertib Sungai, Saluran Air dan Sumber Air d. Tertib Penghuni Bangunan e. Tertib Tuna Sosial dan Anak Jalanan 2
Kebersihan Kebersihan yang dimaksud dalam Perda No. 11 Tahun
2005 adalah
lingkungan kota yang bersih dari pencemaran udara, pencemaran air dan sampah. Kebersihan tersebut meliputi rumah atau bangunan masing-masing serta lingkungan sekitarnya, fasilitas umum dan fasilitas pribadi, kendaraan dinas dan kendaraan pribadi. 3
Keindahan Keindahan yang dimaksud dalam perda Nomor 11 Tahun 2005 adalah
keadaan lingkungan perkotaan yang nyaman, estetik dan profesional. Upaya untuk mewujudkan keindahan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah dan masyarakat meliputi penataan : a.
Bangunan dan halaman serta lingkungan sekitarnya 79
b.
Secara khusus bangunan yang bernilai sejarah
c.
Saluran drainase jalan, dan rio/brandgang
d.
Trotoar dan bahu jalan
e.
Perkerasan jalan dan jembatan
f.
Jalur hijau jalan yang terdiri dari bahu jalan, median jalan dan pulau jalan
g.
Taman lingkungan
h.
Lahan kosong dan kapling kosong
i.
Lampu penerangan jalan umum
j.
Elemen estetika kota seperti patung, tugu, prasasti, lampu hias, monumen, kolam hias, air mancur, reklame dan sebagainya
k.
Fasilitas umum dan fasilitas kota lainnya
l.
Ruang terbuka hijau Keindahan lingkungan yang nyaman, estetik dan propesional meliputi :
Ruang Terbuka Hijau (RTH), penataan pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau dan elemen estetika kota dan keseimbangan pembangunan. Selain itu Pemerintah Daerah
dan
masyarakat
berkewajiban
pemeliharaan RTH yang meliputi : a.
RTH Kawasan Lingkungan Pemukiman
b.
RTH Lingkungan Perindustrian
c.
RTH Perdagangan dan Perkantoran
d.
RTH Kawasan Jalur Hijau
e.
RTH Kawasan Sempadan Sungai
f.
RTH Kawasan Jalur Pengaman Utilitas 80
untuk
melakukan
penataan
dan
g.
RTH Lingkungan Pendidikan
h.
RTH Gerbang Kota
i.
RTH Lingkungan Kawasan Konversi Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa Perda Kota Bandung
Nomor 11 Tahun 2005 ini memuat aturan terkait dengan ketertiban, kebersihan dan keindahan agar warga Bandung menjadi lebih Bermartabat bukan sekedar slogan hampa, bukan pula basa-basi melainkan harus menjadi milik bersama. Bersih, makmur, taat (hukum) dan bersahabat adalah dambaan setiap orang khususnya penghuni kota Bandung, dan umumnya segenap lapisan masyarakat dimanapun berada. Perda ini adalah sebuah produk hukum dari DPRD Kota Bandung yang harus dilaksanakan dan diketahui oleh semua warga Kota Bandung.
D GAMBARAN UMUM PKL DI JALAN CIKUTRA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG Fenomena pedagang kaki lima di kota-kota besar bukan lagi hal aneh. Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota-kota lainnya memiliki bunga trotoar yang khas dan serupa yaitu PKL. Salah satu tempat strategis sebagai lahan usaha para pedagang untuk menjajakan dagangannya adalah di pasar-pasar yang ada dikota Bandung. Contohnya dijalan Cikutra terdapat 300 PKL yang berjualan dibadan jalan. Kondisi ini sangat mengganggu pemandangan bahkan kenyamanan masyarakat pada umumnya, terutama bagi pengguna jalan tiada hari tanpa kemacetan. 81
Setelah hampir satu setengah tahun (sejak Juli 2006) menempati tempat penampungan sementara, banyak Pedagang yang lebih memilih beralih menjadi PKL. Lokasi tempat penampungan yang tidak strategis dan sepi pembeli lagi-lagi menjadi alasan. Bahkan, sebelum mereka menempati tempat penampungan sementara pun, lokasi tersebut sudah penuh sesak oleh PKL. Dapat di lihat pada tabel dibawah ini Jumlah PKL di jalan Cikutra Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung pada tahun 2008. Tabel 2 PKL di Jalan Cikutra Kota Bandung No.
Pedagang Kaki Lima
Jumlah
1.
PKL yang melanggar Perda K3
283 orang
2.
PKL yang mematuhi Perda K3
17 orang
Sumber : Hasil wawancara dengan Ketua PKL Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa masih banyak Pedagang Kaki Lima yang melanggar Perda K3. Dari Jumlah PKL sebanyak 300 orang, yang mau direlokasi hanya sekitar 17 orang.
E ELEMEN – ELEMEN ESENSIAL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Dalam perjalanan yang panjang, pendekatan politik dan ideologi untuk pendidikan kewarganegaraan seharusnya mempertimbangkan gaya hidup yang sesuai untuk para warganya. Merrian (1966) mengatakan, secara spesifik hal ini ditujukan pada: Aspirasi agama, nilai – nilai, praktik; standar ekonomi dan nilai – nilai, perwujudan kebudayaan dan ketaatan; kekompakan kelompok dan nilai – 82
nilai; semua ini adalah bagian dari kehidupan politik yang mengkondisikan latar belakang, dan susunan proses pendidikan politiknya harus disesuaikan, jika hal ini berguna untuk mencapai kesuksesan (p.327). Kutipan ini memperlihatkan konsep dasar pendekatan sosialisasi politik dan ideologi yang telah bayak digunakan dalam memajukan negara. Tujuan ideal dari prestasi warga negara dalam kehidupan berpolitik dapat dicapai dengan memeliharanya secara berkelanjutan di kehidupan sehari – harinya: dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam praktik pendidikan, Bragan (1960) menyatakan: Pendidikan kewarganegaraan harus diubah dalam reformasi peran sosial, model teori baru yang meliputi teori, mendefinisikan kembali kebudayaan dan power, dan pemahaman yang lebih berwawasan tentang teori pendidikan dan praktiknya harus dikembangkan. Elemen – elemen teori ini menjadi berarti jika dipadukan dengan perkembangan ekonomi dan keadilan berpolitik baik di sekolah maupun di masyarakat luas (p.57). Berdasarkan pada kebutuhan perkembangan nasional pada negara berkembang dan menggerakkan relasi komunitas internasional, konsep – konsep dan susunan kurikulum pendidikan kewarganegaraan secara berkelanjutan dikembangkan. Ada kecenderungan dalam pendidikan kewarganegaraan untuk mengkombinasikan gagasan pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan hukum yang didefinisikan sebagai berikut: 1. Pendidikan kewarganegaraan – menekankan pada kurikulum dan metode – metode yang ditujukan untuk meningkatkan perilaku sosial yaitu membuat warga negara memiliki perilaku yang baik. 2. Pendidikan hukum – jenis pendidikan dewasa yang berhubungan dengan kepentingan publik beserta permasalahannya, dan disusun untuk membangun opini publik dengan informasi sosial (Good: 1993, p.99)
83
Mari kita lihat teori sebelumnya tentang hubungan antara pelajaran sosial dan pendidikan hukum atau kewarganegaraan untuk memiliki deskripsi yang jelas. Richard Gross (1967) mengatakan: Jantung program ini (pendidikan kewarganegaraan), harus dipusatkan pada pembelajaran sosial, tetapi pengalaman hukum ditempatkan dalam semua pembelajaran dan kelompok belajar siswa dan sekolah – sekolah, atau organisasi – organisasi juga merupakan hal yang penting (p.95). Hal ini rasional bahwa pendidikan kewarganegaraan dapat memasukan “pembelajaran sosial” dalam cakupan yang lebih luas, hal ini sangat sulit untuk didefinisikan gagasan pembelajaran sosial apa sebenarnya. Tetapi komite pembelajaran sosial dan komisi pembelajaran sosial mempunyai fokus pada definisinya bukan pada isinya tetapi pencapaian instruksional. Pada pendekatan kontemporer terdapat “area – area konflik” dan “area – area persetujuan” sesuai dengan pendapat Parker dan Jarolimek (1982) dalam mendefinisikan pembelajaran sosial. Perbedaan ini berasal dari area konflik antara “tiga tradisi pembelajaran sosial”. Hal ini dijelaskan berdasarkan apa yang digambarkan oleh Parker dan Jarolimek dalam bukunya berjudul The Nature of The Social Studies (Sifat – sifat Pembelajaran Sosial). Tradisi
pertama
adalah
“Pembelajaran
sosial
sebagai
Transmisi
Kewarganegaraan” yang paling tua dan banyak digunakan dalam pengajaran. Esensinya adalah keinginan untuk membentuk konsepsi para siswa baik dalam masyarakat dan warga negara yang ideal. Untuk pembentukan kewarganegaraan, nilai – nilai yang ada harus cukup untuk menerima dan menginternalisasikan norma – norma tertentu, keyakinan dan nilai, kepatuhan pada hukum, dan partisipasi dalam pengembangan kegiatan (pp.59-61). 84
Tradisi kedua adalah pembelajaran sosial menganggap kewarganegaraan sebagai ilmu sosial. Hal ini dikenalkan oleh para sejarawan dan Komite Asosiasi Sejarah Amerika sebelum tahun 1900; kemudian hal ini berkembang selama masa Pembelajaran Sosial tahun 1960; dan masih berkembang sampai sekarang berkat konsorsium ilmu sosial. Tujuan dari ilmu sosial ini adalah untuk mengajarkan cara–cara, teknik aktual yang digunakan oleh para sarjana dalam mendapatkan pengetahuan. Metode dan isi adalah masalah, asumsi, dan teknik digunakan oleh para pelajar. Pencapaian yang utama dari pembelajaran sosial sebagai ilmu sosial adalah kewarganegaraan, dengan asumsi bahwa ini akan berkembang ketika orang–orang mempelajari bagaimana melihat sekelilingnya dengan kacamata ilmu sosial. Tradisi yang ketiga dari kewarganegaraan adalah gagasan pembelajaran sosial sebagai Inquiry Refleksi. Hal ini berasal dari studi seorang psikolog dan filusuf William James beberapa tahun yang lalu: secara spesifik teori ini merupakan cara berpikir lama dan baru. Inquiry Refleksi merupakan tradisi pengajaran berdasarkan pada filosofi masa lalu untuk membuat kita mampu dalam mengidentifikasi teori dan praktik lama dan baru. Singkatnya, tujuan Inquiry Refleksi didefinisikan sebagai sebuah pendekatan yang rasional dan tenang dalam menyelesaikan
masalah.
Metode
Inquiry
Refleksi
adalah
memberikan
keterampilan inquiry; yaitu dengan membuat pilihan pada pengambilan keputusan yang tidak tergesa–gesa. Isinya terdiri dari seleksi permasalahan sosial yang diidentifikasi oleh para siswa (pp.63-66).
85