9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Model Cooperative Learning 2.1.1 Pengertian Model Cooperative Learning Cooperative learning merupakan belajar bersama-sama, saling membantu antara yang satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Isjoni (2007: 45) mengemukakan cooperative learning berasal dari kata cooperative artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok tim. Menurut Sanjaya dalam Rusman (2011: 203) mengemukakan cooperative learning merupakan kegiatan belajar siswa yang dilakukan dengan cara berkelompok. Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Terdapat unsur dasar cooperative learning yang membedakan dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prinsip dasar pokok sistem
10
cooperative learning dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas dengan lebih efektif. Dalam cooperative learning proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada siswa. Siswa dapat saling membelajarkan sesama siswa lain. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peerteaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru. Menurut Slavin (2010: 8) cooperative learning adalah suatu strategi pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-5 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dari kelompok, tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan pembelajaran
model yang
cooperative
diterapkan
guru
learning
adalah
model
kepada
siswa,
dengan
membentuk kelompok-kelompok kecil sehingga setiap siswa dalam kelompoknya
saling
bekerjasama
dalam
memecahkan
atau
menyelesaikan permasalahan terhadap materi yang diberikan guru.
2.1.2 Tipe-tipe Model Cooperative Learning Trianto (2009: 68-83) menyatakan terdapat enam tipe model cooperative learning, yaitu: a) Student Teams Achievement Division (STAD), merupakan salah satu tipe dari model cooperative learning dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang siswa secara heterogen. b) JIGSAW, merupakan tipe model cooperative learning yang terdiri dari kelompok pakar (expert group) dan kelompok awal (home teams), dimana setiap kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari bagian akademik dari semua bahan akademik yang diberikan guru.
11
c) Group Investigation (GI), merupakan tipe model cooperative learning yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Dalam model pembelajaran ini, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari dan bagaimana jalannya penyelidikan mereka. d) Number Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama merupakan tipe model cooperative learning yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. e) Teams Games Tournament (TGT) atau pertandingan permainan tim dikembangkan oleh David De Vries dan Keath Edward. Pada model ini siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memeroleh tambahan poin untuk skor tim mereka. f) Think Pair Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan tipe model cooperative learning yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Berdasarkan ke enam tipe model cooperative learning di atas, model cooperative learning tipe TPS merupakan salah satu model alternatif yang dapat digunakan, karena dapat memberi siswa lebih banyak waktu untuk berpikir, merespon dan saling membantu dengan siswa lainnya.
2.1.3 Cooperative Learning Tipe Think Pair Share 2.1.3.1 Think Pair Share (TPS) TPS merupakan suatu teknik sederhana dengan keuntungan besar yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat informasi dan siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. TPS adalah strategi diskusi kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dan kawan-kawannya dari Universitas Maryland tahun 1981. TPS mampu mengubah asumsi
12
bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselenggarakan dalam setting kelompok kelas secara keseluruhan (Trianto, 2009: 81). Menurut Kagan dalam Eggen, dkk. (2012: 134) TPS adalah strategi kerja kelompok yang meminta siswa individual
dalam
pasangan
belajar
untuk
pertama
menngerjakan tugas yang diberikan guru kemudian berbagi jawaban itu dengan pasangan. Pembelajaran TPS melatih siswa untuk berani berpendapat dan menghargai pendapat teman. Suprijono (2009: 91) mengungkapkan TPS terbentuk atas tiga kata yaitu thinking, pairing, dan sharing. Pada tahap thinking, pembelajaran diawali dengan guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan pleh siswa. Pada tahap pairing, guru meminta siswa berpasang-pasangan untuk berdiskusi. Hasil diskusi intersubjektif di tiap-tiap pasangan hasilnya dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas. Tahap ini disebut sharing. Dalam tahap ini diharapkan terjadi tanya jawab yang mendorong pada pengonstruksian pengetahuan secara integratif. Sejalan dengan itu, Trianto (2010: 81) mengemukakan TPS
merupakan
pembelajaran
dengan
sistem
kerja
kelompok yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Berdasarkan pengertian tersebut bahwa dengan TPS siswa diberi kesempatan untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian berdiskusi dengan temannya. Menurut Eggen, dkk. (2012: 134) terdapat tiga alasan TPS dapat efektif diterapkan dalam pembelajaran, yaitu: strategi ini mengundang respons dari semua orang di dalam kelas dan menempatkan semua siswa ke dalam peran-peran yang aktif secara kognitif karena setip anggota dari pasangan diharapkan untuk
13
berpartisipasi, dan strategi ini mudah direncanakan dan diterapkan. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan TPS adalah strategi kerja kelompok yang memberi siswa lebih banyak kesempatan untuk berpikir dan berpendapat secara individu untuk merespon pendapat
yang
lain
dan
saling
membantu
dalam
kelompoknya kemudian membagi pengetahuan kepada siswa lain.
2.1.3.2 Keunggulan dan Kelemahan Think Pair Share (TPS) Setiap model pembelajaran memiliki keunggulan dan kelemahan, begitu pula model cooperative learning tipe TPS. Menurut Ibrahim dalam http://www.sriudin.com keunggulan dan kelemahan model cooperative learning tipe TPS adalah: a)
Keunggulan: memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain; siswa secara langsung dapat memecahkan masalah, memahami suatu materi secara berkelompok dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya, membuat kesimpulan (diskusi) serta mempresentasikan di depan kelas sebagai salah satu langkah evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan; siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok terdiri dari 4-6 orang; memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaanpertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan. b) Kelemahan: metode cooperative learning tipe think pair share belum banyak diterapkan di sekolah
14
sehingga sejumlah siswa bingung dan kehilangan rasa percaya diri akibatnya antar siswa saling menggangu; peralihan dari seluruh kelas ke kelompok kecil dapat menyita waktu pengajaran yang berharga. Upaya meminimalisir kelemahan tersebut dengan cara guru harus membuat perencanaan yang seksama sehingga dapat meminimalkan jumlah waktu yang terbuang.
2.1.3.3 Ciri-ciri Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Ciri utama pembelajaran TPS adalah tiga langkah utamanya yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran yaitu: 1.
Think (berpikir secara individu) Pada tahap think, guru memberikan tugas dalam bentuk
LKS
yang
berkaitan
dengan
materi
pembelajaran kepada siswa, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan tugas tersebut secara mandiri. Guru menentukan
batasan
waktu
dengan
cara
mempertimbangkan pengetahuan dasar siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan, jenis dan bentuk pertanyaan yang diberikan, serta jadwal pembelajaran untuk setiap kali pertemuan. Kelebihan dalam tahap think adalah adanya “think time” atau waktu berpikir yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir mengenai jawaban mereka sendiri sebelum berdiskusi dengan pasangan.
15
2.
Pair (berpasangan) Pada tahap pair, guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan mengenai apa yang telah dipikirkan siswa secara individu. Interaksi selama tahap ini dapat menghasilkan jawaban bersama. Guru mengizinkan 2 atau 3 siswa untuk berpasangan. Setiap pasangan saling berdiskusi mengenai hasil jawaban mereka sebelumnya sehingga hasil akhir yang didapat menjadi lebih baik karena siswa mendapat tambahan informasi dan pemecahan masalah yang lain.
3.
Share (berbagi informasi dengan pasangan lain) Pada tahap akhir ini, guru meminta pasanganpasangan tersebut untuk berbagi hasil pemikiran dengan pasangan lain. Agar lebih efektif pada tahap ini guru berkeliling kelas. Kelebihan pada tahap ini semua kelompok
menjadi
lebih
memahami
pemecahan
masalah
yang
diberikan
mengenai berdasarkan
penjelasan kelompok lain (Trianto, 2009: 81-81).
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menyimpulkan dalam pembelajaran TPS terdapat tiga ciri khusus yang tidak boleh ditinggalkan yairu think (berpikir), pair (berpasangan) dan share (berbagi). Ketiga tahapan ini harus dilakukan secara berurutan dalam pembelajaran.
16
2.1.3.4 Langkah-langkah Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Suatu pembelajaran dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan apabila dalam pelaksanaannya sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan, begitu pula model cooperative learning tipe TPS. Tabel 2. Langkah-langkah Pembelajaran TPS LangkahKegiatan Pembelajaran langkah Tahap 1 Guru mengorganisasi siswa ke dalam 5 Pendahuluan kelompok secara heterogen dan setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa. Guru menyampaikan apersepsi. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai siswa. Guru menjelaskan aturan dan batasan waktu untuk tiap tahap dalam pembelajaran TPS. Tahap 2 Think
Guru memberikan Lembar kerja Siswa (LKS) kepada seluruh siswa. Masing-masing anggota kelompok memikirkan (think) dan mengerjakan LKS tersebut secara individu.
Tahap 3 Pair
Kelompok membentuk anggotanya secara berpasangan (pair) Masing-masing pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya masing-masing dan menentukan jawaban yang paling tepat.
Tahap 4 Share
Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok besarnya untuk berbagi (share) hasil diskusi dengan pasangannya kepada pasangan lain yang ada dalam kelompok besar tersebut. Setiap kelompok menuliskan hasil diskusi kelompoknya pada LKS. Masing-masing anggota kelompok mempresentasikan hasil diskusinya kepada kelompok lain di depan kelas.
Tahap 5 Pemberian penghargaan kepada kelompok Penghargaan yang aktif.
(Sumber: Modifikasi Yeni dalam http://fisikasma-online. blogspot.com).
17
Model cooperative learning tipe TPS memungkinkan semua siswa aktif dalam proses pembelajaran, karena dalam pembelajaran TPS siswa dikelompokkan dengan pasanganpasangan. Dengan demikian, siswa lebih termotivasi untuk belajar. Apabila jumlah siswa dalam suatu kelas ganjil atau ada
siswa
yang
tidak
masuk,
maka
guru
dapat
menggabungkan siswa yang tidak mempunyai pasangan tersebut kedalam pasangan yang memiliki prestasi belajar yang rendah, karena akan banyak masukan-masukan atau pendapat-pendapat
dalam
menyelesaikan
tugas
yang
diberikan guru (Prastuti dalam http//lib.uin.malang.ac.id).
2.2
Belajar 2.2.1 Pengertian Belajar Belajar diartikan seperti orang yang sedang membaca buku, atau siswa yang sedang duduk di kelas mendengar guru menjelaskan materi pelajaran dan lain sebagainya, itulah yang terlintas dipikiran kita ketika mendengar kata belajar dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ketika ditelaah lagi kata belajar memiliki makna yang lebih luas. Seperti yang diungkapkan oleh Gagne dalam Komalasari (2010: 2) belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis kinerja (performance). Perubahan yang terjadi melalui belajar tidak hanya mencakup
18
pengetahuan, tetapi juga keterampilan untuk hidup (life skill) bermasyarakat
meliputi
keterampilan
berpikir
(memecahkan
masalah) dan keterampilan sosial serta nilai dan sikap. Trianto (2010: 16) menyatakan belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah di pahami dengan sesuatu yang baru. Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan belajar adalah aktivitas individu baik fisik, mental dan emosional yang terjadi selama proses pembelajaran ataupun diluar proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh perubahan tingkah laku.
2.2.2 Aktivitas Belajar Aktivitas merupakan bagian yang sangat penting dalam proses belajar, sebab kegiatan pembelajaran tidak akan terjadi apabila tidak ada
aktivitas.
Seperti
yang
dikemukakan
Ahmad
dalam
http://id.shoong.com hal yang paling mendasar dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa. Keaktifan siswa akan mengakibatkan terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang mengarah pada peningkatan hasil belajar. Kunandar (2010: 277) menyatakan aktivitas adalah keterlibatan siswa dalam bersikap, pikiran, perbuatan dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses pembelajaran dan memperoleh manfaat.
19
Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan aktivitas belajar adalah kegiatan mengolah pengalaman dan atau praktik dengan cara mendengar, membaca, menulis, mendiskusikan, merefleksikan rangsangan dan memecahkan masalah. Menurut Hanafiah, dkk (2009: 23) proses aktivitas pembelajaran harus melibatkan seluruh aspek psikofisis siswa, baik jasmani maupun rohani sehingga akselerasi perubahan perilakunya dapat terjadi secara cepat, tepat, mudah dan benar baik. Hanafiah, dkk. (2009: 24) menyatakan aktivitas dalam belajar dapat memberikan nilai tambah (added value) bagi siswa, berupa hal-hal berikut: a)
Siswa memiliki kesadaran (awareness) untuk belajar sebagai wujud adanya motivasi internal (driving force) untuk belajar sejati. b) Siswa mencari pengalaman dan langsung mengalami sendiri, yang dapat memberikan dampak terhadap pembentukan pribadi yang integral. c) Siswa belajar dengan menurut minat dan kemampuannya. d) Menumbuhkembangkan sikap disiplin dan suasana belajar yang demokratis dikalangan siswa. e) Pembelajaran dilaksanakan secara konkret sehingga dapat menumbuhkembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan terjadinya verbalisme. f) Menumbuhkembangkan sikap kooperatif di kalangan siswa sehingga sekolah menjadi hidup, sejalan, dan serasi dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan belajar.
20
2.2.3 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar, seperti yang diungkapkan Kunandar (2010: 276) hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Sedangkan, Keller dalam Abdurahman (2003: 380) hasil belajar merupakan keluaran (outputs) dari suatu sistem pemrosesan berbagai masukan (inputs). Masukan dari sistem tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya perbuatan atau kinerja (performance). Hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkan oleh anak sedangkan usaha adalah perbuatan yang terarah pada penyelesaian tugas-tugas belajar. Ini berarti bahwa besarnya usaha adalah indikator dan adanya motivasi, sedangkan hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan oleh anak . Hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari siswa hasil belajar merupakan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 3). Hasil belajar dipengaruhi oleh dua faktor seperti yang dikemukakan oleh Kosasih dan Angkowo (2007: 50) yaitu faktor yang datang dari dalam diri siswa dan dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Menurut Bloom dalam Suprijono (2011: 6-7) hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor.
21
Kemampuan kognitif meliputi: (a) knowledge (pengetahuan, ingatan); (b) comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh); (c) application (menerapkan); (d) analysis (menguraikan, menentukan hubungan); (e) synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru); dan (f) evaluation (menilai). Kemampuan afektif meliputi: (a) receiving (sikap menerima); (b) responding (memberikan respons); (c) valuing (nilai); (d) organization (organisasi); (e) characterization (karakterisasi). Kemampuan psikomotor meliputi: (a) initiator; (b) pre-routine; dan (c) rountinized. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan hasil belajar merupakan perubahan yang terjadi pada diri siswa setelah melakukan belajar, tidak hanya pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri siswa melalui penilaian proses dan tes dalam proses pembelajaran.
2.3
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar 2.3.1 Pembelajaran Pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Gagne dalam Aisyah, dkk. (2007: 1.3) mengemukakan pembelajaran sebagai seperangkat acara peristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung terjadinya beberapa proses belajar yang sifatnya internal. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan guru agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada siswa. Komalasari (2010: 3) mengungkapkan pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis sehingga siswa dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Pertama pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem, pembelajaran
22
terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisasi antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran (remedial dan pengayaan). Kedua, pembelajaran dipandang sebagai suatu proses. Maka, pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan pembelajaran ialah suatu proses interaksi siswa dan guru yang direncanakan secara sistematis untuk mendukung terjadinya proses belajar.
2.3.2 Matematika Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan di sekolah dasar bukan hanya pelajaran yang menghimpun angka-angka tanpa makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005: 723) matematika ialah ilmu bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Suwangsih (2006: 3) mengungkapkan matematika berasal dari bahasa latin “mathematika” yang mulanya diambil dari Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge). Matematika berkenaan dengan ide (gagasan-gagasan), aturan-aturan, hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak (Hudoyo dalam Aisyah, dkk., 2007: 1.1). Hal utama dalam menanamkan pemahaman siswa belajar matematika
23
yaitu menanamkan pengetahuan konsep-konsep dan pengetahuan prosedural. Hubungan antara konseptual dan prosedural sangat penting. Pengetahuan konseptual mengacu pada pemahaman konsep, sedangkan pengetahuan prosedural mengancu pada keterampilan menyelesaikan soal-soal metematika. Johnson dalam Abdurahman (2003: 252) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berfikir. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan matematika ialah ilmu bilangan yang terdiri dari berbagai konsep-konsep yang saling berhubungan yang digunakan untuk penyelesaian masalah mengenai bilangan.
2.3.3 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Matematika SD, kompetensi yang harus dikuasai siswa setelah mempelajari mata pelajaran matematika antara lain penalaran (reasoning), pemecahan masalah (problem solving) dan komunikasi (communication). Aisyah, dkk (2007: 1.4) menyatakan pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan siswa melaksanakan kegiatan belajar matematika. Pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Pembelajaran matematika dimaksudkan sebagai proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas atau sekolah) yang memungkinkan kegiatan siswa belajar matematika di sekolah.
24
Teori pembelajaran matematika ditingkat sekolah dasar yang diungkapkan oleh Heruman (2008: 4-5) bahwa dalam proses pembelajaran diharapkan adanya penemuan kembali (reinvention) secara
informal
dalam
pembelajaran
di
kelas
dan
harus
menampakkan adanya keterkaitan antar konsep. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Aisyah, dkk (2007: 1.4) mengemukakan tujuan matematika sekolah khususnya di SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: a) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan kosep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. b) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan masnipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah. Merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. d) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. e) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Pembelajaran matematika di SD diarahkan untuk pembentukan kepribadian dan kemampuan berpikir siswa yang standar pada hakikat
matematika
(Aisyah,
dkk.
pembelajaran matematika terlihat
2007:
1.5).
Hasil-hasil
kemampuan berpikir
yang
matematis dalam diri siswa, yang bermuara pada kemampuan
25
menggunakan menyelesaikan
matematika
sebagai
masalah-masalah
bahasa
dan
alat
yang
dihadapi
dalam dalam
kehidupannya. Hasil lain dalam tujuan pembelajaran matematika yaitu terbentuknya kepribadian yang baik dan kokoh. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan pembelajaran matematika di SD merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terprogram oleh guru dalam menciptakan suasana belajar matematika sehingga terjadi proses berpikir dan penguasaan materi pelajaran pada siswa. Tujuan pembelajaran matematika di SD yaitu agar siswa memiliki kemampuan
memecahkan
masalah
yang
berkaitan
dengan
matematika untuk pembentukan kepribadian yang baik dan kokoh serta kemampuan berfikir berdasarkan hakikat matematika.
2.4
Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian pustaka di atas, hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah “Apabila dalam pembelajaran matematika menggunakan model cooperative learning tipe TPS dengan memperhatikan langkah-langkah yang tepat, maka dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat Tahun Pelajaran 2012/2013”.