BAB II STRATEGI COOPERATIVE LEARNING DAN PEMBELAJARAN MAHÃRAH QIRÃ’AH
A. Strategi Cooperative Learning 1. Pengertian Strategi Cooperative Learning Strategi cooperative learning adalah belajar kelompok. Kelompok di sini merupakan rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Cooperative learning merupakan strategi pembelajaran kelompok yang dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik, sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap
menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Cooperative learning dapat merealisasikan kebutuhan peserta didik dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran cooperative learning merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki banyak kelemahan. Cooperative learning merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan atau tim kecil (empat sampai enam peserta didik) dengan latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin,
21
22
ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Kemudian sistem penilaian dilakukan dengan dua cara, yaitu individu dan kelompok. Penilaian individu dilihat dari kontribusinya dalam tugas kelompok tim dan hasil atau unjuk kerja. Nilai akhir atau nilai final adalah gabungan dari keduanya. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan memupunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam inilah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung
jawab
individu
terhadap
kelompok
dan
keterampilan
model
pembelajaran
interpersonal dari setiap anggota kelompok.1 Menurut
Ibrahim,
tujuan
penerapan
cooperative learning ini mencakup tiga jenis tujuan penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Adapun tujuan pembelajaran cooperative learning ini dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Individual, yaitu keberhasilan seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri tidak dipengaruhi oleh orang lain. b) Kompetitif, yaitu keberhasilan seseorang dicapai karena kegagalan orang lain (ada ketergantungan positif).
1
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karekter, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 61-62
23
c) Kooperatif, yaitu keberhasilan seseorang karena keberhasilan orang lain, orang tidak dapat mencapai keberhasilan dengan sendirian.2 2. Sejarah Strategi Cooperative Learning Model pembeajaran cooperative learning dikembangkan dari teori belajar kontruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama, dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Dalam pembeajaran cooperative learning, pendidik berperan sebagai fasilator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan peserta didik sendiri. Pendidik tidak hanya memberikan pengetahuan pada peserta didik, tetapi harus membangun dalam pikirannya juga. Peserta didik mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan langsung dalam menerapkan ide-ide mereka. Hal ini merupakan merupakan kesempatan bagi peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka senidiri. Piaget dan Vygotsky mengemukakan adanya hakikat sosial dari sebuah proses belajar, juga mengemukakan tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota-anggotanya yang beragama sehingga terjadi perubahan konseptual. Selain aktivitas dan kreativitas yang diharapkan dalam sebuah proses pembelajaran, juga dituntut interaksi yang seimbang. Interaksi yang dimaksud adalah adanya 2
Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 267
24
interaksi atau komunikasi antara pendidik dengan peserta didik dan peserta didik dengan peserta didik, dengan harapan terjadi komunikasi multi arah dalam proses pembelajaran. Pandangan konstruktivisme Piaget dan Vygotsky dapat berjalan berdampingan dalam proses pembelajaran konstruktivisme. Piaget yang menekankan pada kegiatan internal individu terhadap objek yang dihadapi dan pengalaman yang dimiliki orang tersebut, sedangkan konstruktivisme Vygotsky menekankan pada interaksi sosial dan melakukan konstruksi pengetahuan dari dari lingkungan sosialnya. Berkaitan dengan karya Vygotsky dan penjelasan Piaget, para konstruktivis menekankan pentingnya interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar (cooperative learning), dan siswa diberikan kesempatan secara aktif untuk mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan kepada temannya. Hal itu akan membantunya untuk melihat sesuatu dengan jelas, bahkan melihat ketidaksesuaian pandangan mereka sendiri.3 3. Unsur-unsur Strategi Cooperative Learning Bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran cooperative learning. Untuk mencapai hasil maksimal, empat unsur dalam pembelajaran cooperative learning harus diterapkan. Empat unsur tersebut, antara lain:
3
Abdul Majid, Op. Cit., hlm. 173
25
a) Saling ketergantungan positif Dalam pembelajaran cooperative learning, guru menciptakan suasana yang mendorong anak-anak merasa saling membutuhkan satu sama lain. Hubungan saling membutuhkan inilah yang dimaksud sebagai saling ketergantungan positif. Keberhasilan kelompok sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Kegagalan satu anggota kelompok berarti kegagalan kelompok. Saling ketergantungan positif dapat
dicapai
melalui
saling
ketergantungan
tujuan,
saling
ketergantungan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, saling ketergantungan perang, dan saling ketergantungan hadir. Agar kelompok kerja dapat berjalan efektif, guru harus menyusun
tugas
sedemikian
rupa
sehingga
setiap
anggota
kelompoknya mesti menyelesaikan tugasnya sendiri. Penilaian yang dilakukan adalah penilaian individu dan penilaian kelompok. Dengan demikian, setiap anak (anggota kelompok) mempunyai kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangan nilai pada kelompoknya. b) Akuntabilitas individual Dalam pembelajaran cooperative learning, penilaian ditujukan untuk mengetahui hasil penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, meskipun model pembelajaran ini berwujud belajar kelompok. Hasil penilaian atas tiap anggota kelompok ini, kemudian dikomunikasikan kepada kelompok. Dengan demikian, setiap anggota kelompok mengetahui siapa anggota yang memerlukan bantuan dan
26
siapa yang dapat memberikan bantuan tersebut. Setiap anggota kelompok harus memberikan sumbangan demi tujuan kelompok karena nilai kelompok didasarkan atas nilai rata-rata anggota kelompok. Penilaian kelompok secara individual yang dimaksud dengan dengan akuntabilitas individual. c) Interaksi tatap muka Interaksi tatap muka memberi kesempatan kepada anggota kelompok belajar untuk berdialog dan berdiskusi, baik dengan guru maupun antar anak dalam kelompok tersebut. Kegiatan interaksi ini akan membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Interaksi ini memungkinkan anak-anak saling menjadi sumber belajar. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Dengan demikian, pencapaian hasil belajar pun bisa optimal. d) Keterampilan menjalin hubungan interpersonal Dalam keterampilan
pembelajaran sosial
yang
cooperative berguna
untuk
learning,
berbagai
menjalin
hubungan
interpersonal tidak hanya diasumsikan, tetapi juga diajarkan.4
4
Abiyu Mifzal, Strategi Pembelajaran untuk Anak Kurang Berprestasi, (Yogyakarta: Javalitera, 2012), hlm. 34-36
27
4. Langkah-langkah Strategi Cooperative Learning Adapun langkah-langkah pembelajaran cooperative learning, sebagai berikut5: Fase
Tingkah Laku Pendidik
Fase -1 Pendidik menyampaikan semua tujuan Menyampaikan tujuan dan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran memotivasi siswa tersebut dan memotivasi siswa belajar
5
Fase-2 Menyajikan informasi
Pendidik menyampaikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demontrasi atau lewat bahan bacaan
Fase-3 Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok kooperatif
Pendidik menjelaskan kepada peserta didik bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efesien
Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Pendidik membimbing kelompokkelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase-5 Evaluasi
Pendidik mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masingmasing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 67
28
Fase-6 Memberikan penghargaan
Pendidik mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
5. Macam-macam Strategi Cooperative Learning Walaupun prinsip dasar pembelajaran cooperative learning tidak berubah, terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Setidaknya terdapat empat pendekatan yang seharusnya merupakan bagian dari kumpulan strategi pendidik dalam menerapkan model pembelajaran cooperative learning diantaranya, sebagai berikut: a) Student Teams Achievement Division (STAD) Slavin
menyatakan
bahwa
pada
STAD
peserta
didik
ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4-5 orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Pendidik menyampaikan pelajaran, kemudian peserta didik bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Kemudian seluruh peserta didik diberikan tes tentang materi tersebut. Pada tes ini mereka tidak diperbolehkan saling membantu. Adapun persiapan-persiapan dalam model pembelajaran ini, sebagai berikut: 1) Perangkat pembelajaran 2) Membentuk kelompok kooperatif 3) Menentukan skor awal 4) Pengaturan tempat duduk
29
5) Kerja kelompok6 Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran ini, sama seperti langkah-langkah yang telah digambarkan di atas. b) Tim Ahli (Jigsaw) Pembelajaran tipe ini, diawali dengan pengenalan topik yang akan dibahas oleh pendidik. Pendidik bisa menuliskan topik yang akan dipelajari pada papan tulis, penayangan power point dan sebagainya. Pendidik menanyakan kepada peserta didik apa yang mereka ketahui tentang topik tersebut. Kegiatan sumbang saran ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata atau struktur kognitif peserta didik agar lebih siap menghadapi kegiatan pelajaran yang baru. Adapun langkahlangkah model pembelajaran ini, sebagai berikut: 1) Peserta didik dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok beranggotakan 5-6 orang). 2) Materi pelajaran diberikan kepada peserta didik dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub-bab. 3) Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajarinya. 4) Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya. 5) Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas mengajar teman-temannya.
6
Zaenal Mustakim, Op. Cit., hlm. 282
30
6) Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, para peserta didik dikenai tagihan berupa kuis individu.
c) Investivigasi Kelompok (Group Investigation) Dalam pembelajaran ini, pendidik membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5-6 orang yang heterogen. Kelompok
disini
dapat
dibentuk
dengan
mempertimbangkan
keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Setelah itu, peserta didik memilih topik untuk diselidiki dan melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih. Selanjutnya ia menyiapkan dan mempresentasikam laporannya kepada seluruh kelas. Adapun langkah-langkah model pembelajaran ini, sebagai berikut: 1) Memilih topik. 2) Perencaan kooperatif. 3) Implementasi. 4) Analisis dan sintesis. 5) Presentasi hasil final. 6) Evaluasi.
d) Think Pair Share (TPS) Strategi Think Pair Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi
adalah
jenis
pembelajaran
yang
dirancang
untuk
31
mempengaruhi pola interaksi siswa. Adapun langkah-langkah model pembelajaran ini, sebagai berikut: 1) Berpikir. 2) Berpasangan. 3) Berbagi.
e) Numberet Heads Together (NHT) Numberet Heads Together (NHT) atau jenis penomoran berpikir bersama adalah jenis pembelajaran yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi peserta didik dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Adapun langkah-langkah model pembelajaran ini, sebagai berikut: 1) Penomoran. 2) Mengajukan pertanyaan. 3) Berpikir bersama. 4) Menjawab.7
6. Kelebihan dan kekurangan Strategi Cooperative Learning Adapun kelebihan penerapan strategi pembelajaran cooperative learning di antaranya, sebagai berikut: a) Melalui strategi pembelajaran cooperative learning ini, materi yang dipelajari peserta didik tidak lagi tergantung sepenuhnya pada guru, 7
93
Agus Suprijono, Cooperative Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 89-
32
tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri (mandiri), menggali informasi dari berbagai sumber (rasa ingin tahu), dan belajar dari peserta didik yang lain. b) Melalui strategi pembelajaran cooperative learning ini, ide atau gagasan peserta didik dapat dikembangkan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain. c) Melalui strategi pembelajaran cooperative learning ini, dapat membantu peserta didik untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya, serta menerima segala perbedaan (toleransi), baik dalam satu kelompok maupun kelompok lain.8 d) Melalui strategi pembelajaran cooperative learning ini, dapat memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tinggi.9 e) Melalui strategi pembelajaran cooperative learning ini, dapat meningkatkan prestasi belajar dengan meningkatkan prestasi akademik, sehingga dapat membantu peserta didik memahami konsep-konsep yang sulit.10 Adapun kekurangan penerapan strategi pembelajaran cooperative learning di antaranya adalah sebagai berikut: a) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup memadai. b) Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. c) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
8
Suyadi, Op. Cit., hlm. 77 Miftahul Huda, Cooperative Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 66 10 Nunuk Suryani dan Leo Agung, Op.Cit., hlm. 83 9
33
B. Pembelajaran Mãharah Qirã’ah 1. Pengertian Pembelajaran Mãharah Qirã’ah Mãharah qirã’ah terdiri dari dua kata yaitu Mãharah dan Qirã’ah. Mãharah qirã’ah berasal dari bahasa Arab, Mãharah artinya keterampilan dan Qira’ah artinya membaca, juga disebut dengan pembelajaran menelaah. Keterampilan membaca (Mãharah Qira’ah) merupakan kemampuan mengenali dan memahami isi suatu yang tertulis (lambanglambang tertulis) dengan melafalkan atau mencernanya di dalam hati. 11 Membaca hakikatnya adalah proses komunikasi antara pembaca dengan penulis melalui teks yang ditulisnya, maka secara langsung didalamnya ada hubungan kognitif antara bahasa lisan dengan bahasa tulis.12 Kemahiran membaca mengandung dua aspek atau pengertian. Pertama, mengubah lambang tulis menjadi bunyi. Kedua, menangkap arti dari seluruh situasi yang dilambangkan dengan lambang-lambang tulis dan bunyi tersebut. Inti dari kemahiran membaca terletak pada aspek yang kedua. Ini tidak berarti bahwa kemahiran dalam aspek pertama tidak penting, sebab kemahiran dalam aspek pertama mendasari kemahiran yang kedua. Betapapun juga, keduanya merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh pengajaran bahasa.13Adapun tujuan pembelajaran mãharah qirã’ah, sebagai berikut: a) Membaca bahan pelajaran dengan makhraj dan intonasi yang baik dan benar. 11
Ulin Nuha, Metodologi Super Efektif Pembelajaran bahasa Arab, (Yogyakarta: DIVA Press, 2012), hlm. 108-109 12 Acep Hermawan, Op. Cit., hlm. 143 13 Ahmad Fuad Effendy, Op. Cit., hlm. 166
34
b) Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kandungan bahan qirã’ah.14 c) Memahami informasi yang dinyatakan dalam bentuk wacana tulis. d) Memahami isi teks dan makna bacaan.15 Adapun tujuan khusus dari pembelajaran keterampilan membaca ini, dibagi menjadi tiga tingkatan berbahasa, yaitu: Tingkat awal, meliputi; a) Mengenali lambang-lambang (symbol huruf), b) Mengenali kata dan kalimat, c) Menemukan ide pokok dan kata kunci, dan d) Menceritakan kembali isi bacaan pendek. Tingkat menengah, meliputi; a) Menemukan ide pokok dan ide penunjang, dan b) Menceritakan kembali berbagai jenis isi bacaan. Tingkat lanjut, meliputi; a) Menemukan ide pokok dan ide penunjang, b) Menafsirkan isi bacaan, c) Membuat inti sari bacaan, dan d) Menceritakan kembali berbagai jenis isi bacaan.16 14
Ahmad Muhtadi Anshori, Pengajaran bahasa Arab, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 10 15 Abdul Wahab Rosyidi, Media Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 69 16 Uswatun Khasanah, Tujuan pembelajaran kemahiran berbahasa, tersedia di http://pba2011.googlecode.com/files/utami-model-mode%20pengajaran%20jadil.docx. Di akses, 6 Oktober 2015
35
2. Tahapan Pembelajaran Mãharah Qirã’ah Dalam pembelajaran membaca, hendaknya perlu diperhatikan kemampuan masing-masing peserta didik. Berdasarkan hal tersebut, kiranya perlu dipetakan tingkatan-tingkatan pembelajaran membaca (qirã’ah). Maka kiranya tingkatan membaca tersebut dibagi dalam lima tingkatan. Hal ini mengacu pada kebutuhan bahan ajar sesuai dengan tingkatan dalam kelas, dan pastinya sesuai dengan kemampuan masingmasing peserta didik. Berikut adalah kelima tingkatan dalam pembelajaran membaca (qirã’ah): a) Tingkatan pertama; persiapan menuju qirã’ah. Titik awal pada peningkatan ini biasanya pada masa anak belum duduk di sekolah dasar. Target pembelajaran qirã’ah hanya berkutat pada informasi dan hal-hal yang berkenaan dengan anak tersebut seiring dengan pertumbuhannya demi menunjang persiapan menuju qirã’ah. Misalnya, pengembangan daya ingat terhadap bentuk (model), menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang baik pada diri anak tersebut, dan lain sebagainya. b) Tingkatan kedua; awal pembelajaran qirã’ah. Tingkatan ini biasanya diterapkan pada kelas satu ibtidaiyah yang mengajarkan dan menekankan pada pokok-pokok qirã’ah yang bersifat kemahiran dan kemampuan dasar. Seperti, kemampuan siswa untuk menulis namanya, mengetahui nama-nama huruf, mendeteksi pembacaan hubungan antara kata dengan gambar, perbedaan bentuk pengucapan huruf, perbedaan bentuk tiap huruf, dan lain sebagainya. c) Tingkatan ketiga; ekspansi dan eksplorasi (perluasan) dalam qirã’ah. d) Tingkatan keempat; memperkaya informasi serta meningkatkan kecakapan dan kompetensi membaca.
36
e) Tingkatan kelima; tingkat lanjutan menuju seorang pelajar yang berkarekter dan bercita rasa terhadap bacaan, serta gemar membaca.17
3. Macam-macam Mãharah Qirã’ah Berikut beberapa ragam dalam mãharah qirã’ah,
di antaranya
adalah sebagai berikut: a) Membaca mekanis dan membaca pemahaman Secara garis besarnya terdapat dua aspek penting dalam membaca, yaitu: 1. Keterampilan yang bersifat mekanis yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih rendah. Aspek ini mencakup: a) pengenalan bentuk huruf, b) pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan lain-lain), pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis), d) kecepatan membaca bertaraf lambat. 2. Keterampilan yang bersifat pemahaman yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi. Aspek ini mencakup: a) memahami
pengertian
sederhana
(leksikal,
gramatikal,
retorikal), b) memahami signifikansi atau makna, c) evaluasi (isi, dan bentuk), d) kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan. b) Membaca bersuara dan membaca diam 17
Ulin Nuha, Op. Cit., hlm 111-112
37
1. Membaca bersuara atau nyaring adalah peserta didik membaca teks secara nyaring di dalam kelas. Tujuan utama dari kegiatan membaca nyaring ini adalah pemahaman. 2. Membaca dalam hati dapat dilakukan dengan sempurna tanpa suara, desauan, dan gerakan lidah. Bahkan dalam membaca hati tidak ada getaran pita suara pada pangkal tenggorokan pembaca. Tujuan utama dari kegiatan membaca dalam hati ini adalah pemahaman. c) Membaca ekstensif dan membaca intensif 1. Membaca ekstensif berarti membaca secara luas, bertujuan untuk menambah dan memperluas wawasan dan informasi melalui pembacaan teks-teks di luar proses pembelajaran. Aspek ini mencakup: a) membaca survei, b) membaca sekilas, c) membaca dangkal. 2. Membaca intensif adalah studi skema, telaah teliti, dan penanganan terperinci yang dilaksanakan di dalam kelas terhadap suatu tugas yang pendek. Aspek ini mencakup: a) membaca telaah isi, b) membaca telaah bahasa. d) Membaca suplemen dan membaca model 1. Membaca suplemen biasanya digunakan untuk membaca cerita-cerita panjang dan pendek. Tujuan utama dari jenis membaca ini adalah untuk kesenangan para pembelajar serta
38
memantapkan apa yang telah mereka pelajari berupa kata-kata dan struktur-struktur pada qirã’ah mukatstsafah. 2. Membaca model merupakan kegiatan membaca yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk dijadikan sebagai contoh atau model bagi para pembelajar.18 4. Problematika Pembelajaran Mãharah Qira’ah Para pemula dalam belajar bahasa Arab sering kali menghadapi beberapa kesulitan dalam membaca Arab. Kesulitan-kesulitan tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor berikut: a) Bunyi atau pengucapan, yaitu pada contoh velar, bunyi uvular, dan bunyi mufakhamah saat membaca nyaring. b) Perbedaan arah tulisan, yaitu arah tulisan Arab dari kanan. Hal ini berbeda dengan kebiasaan kita, yang menulis tulisan Latin dari arah kiri ke kanan. c) Lambat dalam membaca. Kesulitan muncul pada siswa yang lambat dalam membaca teks Arab menjadikannya seakan-akan membaca huruf perhuruf, per suku kata, atau per kata. d) Membaca nyaring, yaitu orang yang biasa membaca nyaring akan sulit untuk membaca dalam hati. Ia masih terlihat berbisik atau disertai gerakan bibir. e) Pengulangan arah pandang, yaitu terlalu sering melakukan pengulangan dalam membaca, yang membuat lambat dalam membaca. f) Stagnasi pandangan, yaitu bagi yang pandangannya terpaku pada satu arah dalam beberapa saat menyebabkannya banyak waktu terbuang dan memperlambat dalam membaca. g) Sempitnya padangan.
18
Aziz Fakhrurrozi dan Erta Mahyudin, Pembelajaran bahasa Arab, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 299-302
39
h) Kosakata. Selain problem tersebut, ada beberapa faktor yang menjadi masalah dalam pembelajaran membaca yang terjadi pada peserta didik. Beberapa faktor tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:19
Faktor Faktor Kebahasaan: - Ucapan
Kesulitan 1. Sulit melafalkan kata demi kata dengan baik. 2. Sulit membaca dengan intonasi yang tepat. 3. Sulit menempatkan jeda kata dengan benar.
Faktor Non Kebahasaan - Kelancaran
4. Sulit memberikan penekanan pada kata-kata pokok. 1. Tidak bisa membaca dengan jelas. 2. Tersendat-sendat dalam membaca. 3. Ragu-ragu dalam membaca. 4. Gagap dalam membaca.
19
Fathul Mujib dan Nailur Rahmawati, Permainan Edukatif Pendukung Pembelajaran bahasa Arab (2), (Yogyakarta: DIVA Press, 2012), hlm. 65-66