BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kebijakan Pendidikan 1. Pengertian Kebijakan Pendidikan Riant Nugroho (2008:35-36) mengatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Kebijakan pendidikan harus sejalan dengan kebijakan publik. Di dalam konteks kebijakan publik secara umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa di bidang pendidikan, sebagai satu dari tujuan bangsa secara keseluruhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen dalam Riant Nugroho (2008:36), kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
11
Margaret E. Goertz (Riant Nugroho, 2008:37) mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan. Isu ini menjadi penting dengan meningkatnya kritisi publik terhadap biaya pendidikan. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan negara di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari tujuan pembangunan secara keseluruhan (Tilaar & Riant Nugroho, 2008: 264). 2. Tahap Kebijakan Pendidikan Menurut Putt dan Springer dalam Syafaruddin (1989:81) ada tiga proses kebijakan, yaitu: formulasi, implementasi dan evaluasi. Ketiga proses tersebut diuraikan agar secara holistik makna kebijakan sebagai suatu proses menajemen dapat dipahami dengan baik. Tahap pertama dimulai dengan formulasi kebijakan. Formulasi atau pembuatan kebijakan dalam pemerintahan termasuk aktivitas politis. Dalam konteks ini, aktivitas politis dijelaskan sebagai pembuatan kebijakan yang divisualisasikan. Aktivitas politis itu berisi serangakaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut urutan waktu, penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Formulasi kebijakan mengandung beberapa isi penting yang dijadikan sebagai pedoman tindakan sesuai rencana yang mencakup kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis dan manfaat yang dihasilkan, pelaksanaan program serta sumber daya yang dikerahkan. (Syafaruddin, 2008:81).
12
Menurut Dwijowijoto dalam Syafaruddin (2008:86) tahap kedua adalah implementasi kebijakan, dimana pada prinsipnya adalah cara yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Menurut Putt dan Springer dalam Syafaruddin (2008:86) implementasi kebijakan adalah serangkaian aktivitas dan keputusan yang memudahkan pernyataan kebijakan dalam formulasi terwujud ke dalam praktik organisasi. Tahap ketiga dalam proses kebijakan adalah evaluasi. Evaluasi kebijakan dilaksanakan sebagai proses untuk mengetahui sejauh mana keefektivan kebijakan guna dipertanggungjawabkan kepada semua pihak terkait (stakeholders). Dengan kata lain, sejauh mana tujuan kebijakan tersebut telah tercapai. Di sisi lain, evaluasi dipergunakan untuk mengetahui kesenjangan antara harapan atau tujuan dengan kenyataan yang dicapai. Putt dan Springer dalam Syafaruddin (2008:88) menyatakan evaluasi adalah langkah menerima umpan balik yang utama dari proses kebijakan.
Jadi
evaluasi
kebijakan
memberikan
informasi
yang
membolehkan stakeholder mengetahui apa yang terjadi berikutnya dari maksud
kebijakan.
Evaluasi
juga
memberikan
paparan
aktivitas
implementasi kebijakan. Pada kompleksitas lebih besar evaluasi dimaksudkan untuk mengidentifikasi tingkat keberhasilan pelaksanaan yang sesuai sasaran. Evaluasi dapat memberikan pemahaman terhadap alasan keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan sasaran terhadap tindakan untuk memberdayakan pencapaian sasaran
13
kebijakan. Tujuan dari evaluasi kebijakan adalah mempelajari pencapaian sasaran dari pengalaman terdahulu, tanpa pengujian pelaksanaan dan hasil usaha, ada sedikit kemungkinan keberhasilan pelaksanaan program. Menurut Dunn dalam Syafaruddin (2008:89) evaluasi kebijakan dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (ratting), dan penilaian (assessment). Dengan demikian, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi kebijakan memberikan informasi yang benar dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Di sini evaluasi memberikan kontribusi pada klarifikasi dan kritik terhadap nilainilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Evaluasi kebijakan memberikan kontribusi pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya termasuk masalah dan rekomendasi. B. Kajian Budaya Sekolah 1. Pengertian Budaya Menurut Ary H. Gunawan (2000:16) kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah” yakni bentuk jamak dari “budhi” (akal). Jadi budaya ialah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Kata “budaya” juga berarti “budi dan daya” atau “daya dari budi”. Jadi budaya adalah segala daya dari budi, yakni cipta, rasa, dan karsa. Dalam bahasa Inggris, budaya adalah “culture” yang berasalah dari bahasa latin “colere” yang berarti “mengolah atau mengerjakan”, terutama
14
mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani atau bercocok tanam. Dari pengertian ini, kemudian kata “culture” dapat diartikan sebagai segala daya dan kegiatan menusia untuk mengolah dan merubah alam. (Koentjaraningrat dalam Ary H. Gunawan, 2000:16). Berikut ini adalah beberapa definisi dari kata budaya yang ungkapkan oleh beberapa pakar, yaitu: a. Menurut E.B. Taylor (Ary H. Gunawan, 2000:16) budaya adalah suatu keseluruhan
yang
kompleks
yang
mencakup
pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kecakapankecakapan serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang diperoleh atau dihasilkan manusia sebagai anggota masyarakat. b. Menurut Koentjaraningrat (Ary H.Gunawan, 2000:16) budaya ialah keseluruhan hasil kelakuan manusia yang teratur dari tata kelakuan yang harus diperoleh dari hasil belajar, dan tersusun dalam kehidupan masyarakat. c. Budaya adalah semua hasil karya dari cipta, rasa, dan karsa masyarakat. (Selo Soemardjan & Soelaiman Soemardi dalam Ary H. Gunawan, 2000:16). d. Daoed Joesoef (Ary H. Gunawan, 2000:110) mendefinisikan budaya sebagai sistem nilai dan gagasan vital. Nilai berkaitan dengan dua hal, pertama yaitu standar, dasar atau asas penilaian yang dipakai dalam kehidupan untuk menilai segala sesuatu yang dihadapkan kepada kita untuk kita putuskan. Kedua, benda atau hal yang bernilai itu sendiri.
15
Maksudnya adalah disebut benda karena kadang kala yang dianggap mempunyai nilai itu berwujud benda atau materi yang dapat dijamah, seperti candi sebagai suatu peninggalan budaya yang bersifat kerohanian, kemudian benteng yang bersifat kapahlawanan dan rumah adat yang bersifat kebudayaan. Juga termasuk sesuatu yang tidak berwujud atau tidak dapat dijamah, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, norma, sistem nilai dan sebagainya. e. Menurut Havighurst & Neugarten (Ary H. Gunawan, 2000:110) budaya dapat didefinisikan sebagai cara bertingkah laku manusia, meliputi etiket, bahasa, kebiasaan makan, kepercayaan agama, dan moral, pengetahuan, sikap serta nilai-nilai yang merupakan hasil karya manusia seperti bermacam-macam benda termasuk di dalamnya alatalat atau benda-benda hasil teknologi. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa budaya merupakan pola way of life (jalan hidup) suatu masyarakat. Tingkat martabat manusia sebagai mahluk budaya ditentukan oleh tingkat perkembangan budayanya, yaitu tingkat kemampuan manusia melepaskan diri dari ikatan instingnya, dan penguasaan manusia terhadap alam sekitar alat pengetahuan yang dimilikinya. f. Dijelaskan oleh Darji Darmodiharjo (Ary H. Gunawan, 2000:111) sebagai suatu sistem nilai, budaya mencakup aspek logika, etika, estetika, dan praktik. Logika berbicara tentang benar dan salah, etika membahas tentang baik dan buruk, estetika mengupas masalah indah
16
dan tidak indah, sedangkan praktika berbicara tentang berguna dan mudarat. Budaya disebut pula sebagai ide vital yang dihayati karena berisi pandangan hidup, nilai-nilai yang dipilih oleh individu dan masyarakat dalam mencapai tujuan hidupnya. Ditinjau dari segi pribadi, budaya merupakan pengetahuan, pilihan hidup, dan praktek komunikasi yang dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ditinjau dari segi masyarakat, budaya merupakan segenap perwujudan dan keseluruhan hasil logika, etika, dan estetika umat manusia dalam rangka perkembangan pribadi dan hubungan sesama, antara manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitarnya, manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam perkembangan menuju peradaban. Adapun wujud dari budaya ini berupa pengetahuan teknologi, nilainilai sosial, karya seni dan sebagainya. Menurut Ary H. Gunawan (2000:17) budaya dibagi menjadi dua jenis, yaitu: a. Budaya material (kebendaan) Budaya material (material culture) ialah wujud budaya yang berupa benda-benda konkret sebagai hasil karya menusia seperti rumah, mobil, candi, benda-benda hasil teknologi, dan sebagainya. b. Budaya non-material (rohaniah) Yakni wujud budaya yang tidak berupa benda-benda konkret, yang merupakan hasil cipta dan rasa manusia. Hasil cipta seperti filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni maupun yang
17
telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat (pure sciences an applied sciences). Hasil rasa manusia, berwujud nilai-nilai dan macam-macam norma kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah sosial dalam arti luas, mencakup agama (religi, bukan wahyu) ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. 2. Pengertian Budaya Sekolah Menurut Ajat Sudrajat (ed. Darmiyati Zuchdi, 2011:132) sebuah budaya mengasumsikan kehidupan yang berjalan natural, tidak lagi dirasakan sebagai beban. Karena itu, merancang budaya sekolah mesti memikirkan dan menyiapkan pula kehidupan seni dan olah raga serta ruang kebebasan kreasi anak. Dengan demikian, proses pendidikan dan beban kurikulum sekolah tidak dirasakan sebagai beban. Melainkan tantangan layaknya dalam sebuah permainan olah raga yang penuh semangat, tetapi tetap ada wasit ataupun peraturan baku. Pembangunan sekolah terberat justru terletak pada membangun budaya sekolah ini, karena selain membutuhkan dana yang tidak sedikit, juga membutuhkan daya tahan kesabaran, keuletan dan persistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan di sekolah yaitu kepala sekolah guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Willard Waller (Ajat Sudrajat, ed Darmiyati Zuchdi, 2011:133) menyatakan bahwa setiap sekolah mempunyai budayanya sendiri, yang
18
berupa serangkaian nilai, norma, dan kebiasaan, yang telah membentuk perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Short dan Greer (Ajat Sudrajat, ed Darmiyati Zuchdi, 2011:133-134) mendefinisikan budaya sekolah sebagai keyakinan, kebijakan, norma, dan kebiasaan dalam sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat, dan dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah. Menurut Ajat Sudrajat (ed Darmiyati Zuchdi, 2011:134) budaya sekolah merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya pada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya. Hampir semua sekolah memiliki serangkaian atau seperangkat keyakinan, nilai, norma dan kebiasaan yang menjadi ciri khasnya dan senantiasa disosialisasikan dan ditransmisikan melalui berbagai media. Dengan berjalannya waktu, proses tersebut telah membentuk suatu iklim budaya tertentu dalam lingkungan sekolah. Ikim tersebut secara langsung menggambarkan perasaan-perasaan, pengalamanpengalaman moral yang ada di sekolah. Budaya sekolah menunjukkan kompleksitas unsur keyakinan, nilai, norma, kebiasaan, bahasa dan tujuantujuan apapun yang lebih baik. Budaya sekolah berada pada unsur yang lebih dalam dari sekolah. Stolp dan Smith (Farida Hanum, 2008:12) membedakan budaya sekolah dan iklim sekolah. Iklim sekolah berada di permukaan dan berisi
19
persepsi warga sekolah terhadap aneka tata hubungan yang ada saat sekarang. Budaya sekolah merupakan hal-hal yang sifatnya historis dari berbagai tata hubungan yang ada dan hal-hal tersebut telah diinternalisasi oleh warga sekolah. Stolp dan Smith (Farida Hanum, 2008:12) membagi tiga lapisan budaya yaitu artifak di permukaan, nilai-nilai dan keyakinan di tengah, serta asumsi di dasar. Artifak adalah lapisan budaya sekolah yang segera dan paling mudah mudah diamati seperti aneka hal ritual sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-benda simbolik di sekolah, dan aneka ragam kebiasaan yang berlangsung di sekolah. Keberadaan budaya sekolah ini dengan cepat dapat dirasakan ketika orang mengadakan kontak dengan suatu sekolah. Menurut Farida Hanum (2008:12-13) lapisan budaya sekolah yang lebih dalam berupa nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang ada di sekolah. Sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan sekolah seperti ungkapan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam, dan berbagai penggambaran nilai dan keyakinan lainnya. Lapisan paling dalam budaya sekolah adalah asumsi-asumsi, yaitu simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang tidak dapat dikenali tetapi terus menerus berdampak terhadap perilaku warga sekolah. Menurut Deal & Peterson (Samsudi, 2008:7) budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah.
20
Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah
tersebut
di masyarakat
luas. Menurut Wanger
dalam
Muhammad Nur Wangid (2009:17-18) mengkonseptualisasikan budaya sekolah sebagai tempat terjadinya berbagai pengalaman baik di sekolah mapun di luar sekolah, sebagai suatu masyarakat, satu keluarga, dan satu tim dari anggota sekolah. Oleh karena itu, budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas. Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari murid-murid. Kehidupan di sekolah serta norma-norma yang berlaku di sana dapat disebut kebudayaan sekolah. Walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai suatu subculture. Sekolah bertugas untuk menyampaikan kebudayaan kepada generasi baru memperhatikan
masyarakat
dan karena itu harus selalu
dan kebudayaan umum. Akan tetapi di
sekolah itu sendiri timbul pola-pola kelakuan tertentu. Ini mungkin karena sekolah mempunyai kedudukan yang agak terpisah dari arus umum kebudayaan. Timbulnya sub kebudayaan sekolah juga terjadi oleh sebab sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam situasi serupa ini dapat berkembang pola kelakuan yang khas bagi anak-anak muda yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan, kegiatan-kegiatan serta upacara-upacara. Sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah ialah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak dengan
21
menyampaikan sejumlah pengetahuan, sikap, keterampilan yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan teknik kontrol tertentu yang berlaku
di
sekolah
itu.
Dalam
melaksanakan
kurikulum
dan
ekstrakurikulum berkembang sejumlah pola kelakuan yang khas bagi sekolah yang berbeda dengan yang terdapat pada kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Tiap kebudayaan mengandung bentuk kelakuan tertentu dari semua murid dan guru. Itulah yang menjadi norma bagi setiap murid dan guru. Norma ini nyata dalam kelakuan anak dan guru, dalam peraturan-peraturan sekolah, dalam tindakan dan hukuman terhadap pelanggaran, juga dalam berbagai kegiatan seperti upacara-upacara. (Nasution, 1999:65-66). Menurut Mada Sutapa (2010:101-102) budaya atau kultur sekolah merupakan kesepakatan bersama tentang nilai yang dianut bersama dalam kehidupan di sekolah dan mengikat semua warga dalam sekolah yang bersangkutan. Budaya sekolah juga merupakan sistem nilai dan keyakinan bersama yang dianut oleh semua pihak yang harus berinteraksi dalam rangka pencapaian tujuan. Budaya sekolah inilah yang berperan dalam menentukan berbagai sistem operasional yang membuahkan norma perilaku, menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, dan bentuk pengendalian dan pengawasan. Kriteria pengukuran budaya sekolah terlihat pada pola pemahaman dan penyesuaian perilaku setiap warga sekolah dengan cara berperilaku dalam sekolah tersebut. Semakin kuat budaya sekolah, maka semakin mantap
22
pula kesepakatan tersebut. Budaya sekolah harus melembaga, karena kultur tidak terbentuk begitu saja melainkan mencerminkan masa lalu sekolah saat didirikan. Kultur memerlukan institusionalisasi berupa upaya melestarikan kultur sekolah dengan proses sosialisasi agar para warga sekolah memahami kultur sekolah tempat mereka bergabung. 3. Model Budaya Sekolah dan Karakteristiknya Menurut Spahier dan King (Suparlan, 2009) dalam praktik lapangan, ada tiga model budaya sekolah, yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan, tetapi terkadang juga sering saling tumpang tindih. Ketiga model budaya sekolah tersebut yaitu: a. Budaya Sekolah Birokratis (bureaucratic school culture) Model budaya sekolah ini antara lain ditunjukkan adanya budaya yang menekankan adanya petunjuk dari atasan. Kebijakan sekolah mengikuti arah dari atasan, dan oleh karena itu para guru lebih banyak mengikuti arahan tersebut. Pendidikan juga kurang dapat berinteraksi dengan orang tua siswa dan masyarakat, karena semua harus mengikuti peraturan dan ketentuan dari atasan. b. Budaya Sekolah Racun (toxic school culture) Dalam model ini, peserta didik dipandang sebagai masalah daripada dipandang sebagai pihak yang harus dilayani. Bentuk-bentuk kekerasan guru terhadap siswa yang sering kita dengar akhir-akhir ini merupakan hasil dari budaya sekolah seperti ini. Sama dengan budaya sekolah yang birokratis, budaya sekolah racun ini malah jarang
23
memberikan kesempatan kapada pendidik untuk memberikan masukan terhadap upaya pemecahan masalah yang terjadi di sekolah. c. Budaya Sekolah Kolegial (collegial school culture) Berbeda dengan kedua budaya sekolah yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam model budaya sekolah ini sekolah sangat memberikan apresiasi dan rekognisi terhadap peran dan dukungan dari semua pihak. Kejujuran dan komunikasi antar warga sekolah dapat berlangsung secara efektif. Itulah sebabnya keterlibatan semua warga sekolah sangat dihargai dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Pendek kata, semua penyelenggaraan sekolah direncanakan, dan dilaksanakan secara demokratis serta dalam suasana penuh kolegial. Menurut Wagner dan Masden-Copas (Rahmani Abdi, 2007:21-22) setiap sekolah mempunyai keunikan budayanya masing-masing yang membedakannya dengan sekolah lain. Perbedaan ini menunjukkan adanya tinggi-rendah, baik-buruk, dan positif negatif dari budaya dalam sebuah sekolah. Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dilihat dari
karakteristik
budaya
sekolah.
Karakteristik
budaya
sekolah
merupakan landasan yang dapat digunakan sebagai acuan atau indikator untuk menentukan bagaimana budaya dalam sebuah sekolah. Adapun karakteristik budaya sekolah adalah sebagai berikut, yakni: a. Collegiality. Cara orang-orang dewasa memperlakukan orang lain, yakni respect and harmony vs. respect and discord.
24
b. Efficacy. Perasaan memiliki atau kapasitas mempengaruhi keputusan, yakni apakah orang-orang cenderung menerima atau pasrah terhadap masalah atau justru berusaha memecahkan masalah tersebut. c. High Expectation of Self and Other. Keunggulan diakui, kemajuan dirayakan, didukung dan diberikan. d. Experimentation and entrepreneurship. Ide ide baru melimpah dan penemuan terjadi. e. Trust and Confidence. Para partisipan percaya akan pemimpinpemimpin dan yang lainnya berdasarkan adanya kesesuaian antara pernyataan (creeds) dan perbuatan (deeds). f. Tangible Support. Upaya-upaya peningkatan substantif dengan penggunaan sumber daya yang tersedia oleh semua partisipan. g. Appreciation and Recognition of Improvement. Orang-orang merasa istimewa dan bertindak istimewa. h. Humor. Kepedulian diapresiasikan melalui candaan (kidding) dan gurauan (joking) yang penuh dengan perasaan. i. Shared Decision Making by All Participants. Seluruh partisipan yang menjalankan
keputusan
dilibatkan
dalam
membuat
dan
mengimplementasikan keputusan. j. Shard Vision. Seluruh partisipan memahami apa yang penting dan menghindari tugas-tugas yang sepele. k. Tradition. Sekolah memiliki perayaan-perayaan dan ritual-ritual yang identifiable, karena penting bagi komunitas sekolah.
25
l. Open and Honest Communnication. Informasi-informasi mengalir di seluruh organisasi baik formal maunpun informal. Setiap orang menerima informasi berdasarkan need-to-know. m. Methapors and Stories. Bukti perilaku dikomunikasikan dan dipengaruhi oleh perumpamaan (imagery) internal. 4. Implementasi Budaya Sekolah Menurut Ajat Sudrajat (ed. Darmiyati Zuchdi, 2011:144-146) proses yang efektif untuk membangun budaya sekolah adalah dengan melibatkan dan mengajak semua pihak dan pemangku kepentingan untuk bersama-sama memberikan komitmennya. Keyakinan utama dari pihak sekolah
harus
difokuskan
pada
usaha-usaha
menyemaikan
dan
menanamkan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang merupakan harapan setiap pemangku kepentingan tersebut. Untuk itu, pimpinan sekolah, para guru dan karyawan harus fokus pada usaha pengorganisasian yang mengarah pada harapan di atas dengan cara sebagai berikut: Pertama, mendefinisikan peran yang harus dimainkan oleh pimpinan sekolah, guru, dan komunitas sekolah melalui komunikasi yang terbuka dan kegiatan-kegiatan akademik yang dapat memberikan layanan terbaik terhadap harapan dan kebutuha komunitas sekolah tertentu (siswa). Kedua adalah dengan menyusun mekanisme komunikasi yang efektif, seperti misalnya
dengan melakukan pertemuan rutin (mingguan atau
bulanan) di antara pimpinan sekolah, guru, dan karyawan, pihak sekolah
26
dengan mitra seperti dengan perguruan atau orang tua murid dan pihak sekolah dengan pemerintah. Ketiga, dengan melakukan kajian bersama untuk mencapai keberhasilan sekolah, misalnya melalui pertemuan dengan sekolah-sekolah tertentu yang telah berhasil atau sekolah unggulan, atau dengan melakukan studi banding. Keempat, adalah dengan melakukan visualisasi visi dan misi sekolah, keyakinan, nilai, norma dan kebiasaankebiasaan yang diharapkan sekolah. Kelima, memberikan pelatihanpelatihan atau memberikan kesempatan kepada semua komponen sekolah untuk mengikuti berbagai pelatihan atau pengembangan diri, yang mendukung terwujudnya budaya sekolah yang diharapkan. Menurut Ajat Sudrajat (ed. Darmiyati Zuchdi, 2011:149-150) untuk membantu pelaksanaan program budaya sekolah yang berbasis pada karakter terpuji, pihak sekolah atau kepala sekolah hendaknya membentuk tim tersendiri. Tim ini bisa melibatkan atau terdiri dari unsur pimpinan sekolah, bimbingan dan konseling, guru dan perwakilan orang tua siswa. Tim ini bertugas untuk menentukan prioritas nilai, norma, kebiasaankebiasaan karakter tertentu yang akan dibudayakan dan ditanamkan di lingkungan sekolah. Tim ini juga bertugas untuk merencanakan dan menyusun program pelaksanaan pembudayaan dan penanaman karakter di lingkungan sekolah dalam rentang waktu tertentu. Tim ini secara periodik melakukan pertemuan untuk mengkoordinasikan dan melakukan evaluasi terhadap semua kegiatan dan perkembangan pelaksanaan program pembudayaan karakter di lingkungan sekolah.
27
Menurut Zamroni (2007:254-256) syarat dalam pengembangan budaya sekolah adalah keberadaan pemimpin atau sekelompok orang yang memiliki kesadaran, kemauan, dan komitmen untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru yang kemudian dirumuskan ke dalam visi, misi, dan tujuan sekolah yang dideskripsikan secara jelas. Mereka harus berani menjabarkan visi, misi, dan tujuan ke dalam langkah-langkah dan aksi yang konkrit, yang dikaitkan dengan pola dasar asumsi yang ada di sekolah. Manakala terdapat pola dasar asumsi yang tidak cocok atau relevan, berarti pola dasar ini harus diubah dangan pola dasar asumsi yang baru. Langkah-langkah pengembangan budaya sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Menetapkan kelompok yang bersama-sama memiliki kesadaran, kemauan, dan komitmen melakukan perubahan. b. Rumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah, berserta harap-harapannya. c. Siapkan sumber daya manusia dengan kemampuan, kesadaran dan kebersamaan yang berkaitan dengan visi dan misi tersebut, dan bentuk tim-tim task force sesuai dengan rancangan program dan kegiatan yang akan dilakukan. d. Memulai dengan langkah-langkah dan tindakan yang konkrit. Mengkaitkan tindakan yang konkrit dengan nilai dan asumsi dasar yang ada. Nilai-nilai dan asumsi dasar yang tidak cocok diubah. e. Siapkan dua strategi yang simultan strategi level individu dan level kelembagaan.
28
5. Pengembangan Budaya Sekolah Menurut S. Adjar Susilowati (2009:24-25) pengembangan budaya sekolah dilakukan dalam rangka membangun iklim akademik sekolah. Untuk melakukan pengembangan budaya sekolah diperlukan langkahlangkah. Secara singkat langkah-langkah itu adalah: (1) mengamati dan membaca budaya sekolah yang kini ada, melacak sejarahnya dan masalah yang
timbul
oleh
keberadaan
budaya
sekolah
tersebut,
(2)
mengembangkan sistem asesmen budaya sekolah sejalan dengan tujuan perbaikan sekolah yang diinginkan, (3) melakukan kegiatan asesmen sekolah guna mendiagnosis permasalahan yang ada dan tindakan budaya yang dapat dilakukan, (4) mengembangkan visi, strategi, dan misi sekolah, (5) melakukan redefinisi aneka peranan: kepemimpinan kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan aneka stakeholders, (6) mewaspadai perilaku lama yang negatif, nilai-nilai yang bersifat racun, dan koalisi mereka, (7) merancang pola pengembangan budaya sekolah dan membangun praktikpraktik baru dan artifak baru dikaitkan secara sadar dengan nilai-nilai lama yang relevan dan nilai-nilai baru yang diharapkan tumbuh, (8) melakukan pemantauan dan evaluasi secara dinamik, terhadap budaya sekolah dan dampaknya. Menurut S. Adjar Susilowati (2009:25) pengembangan budaya dalam lembaga pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Dalam hal ini, kepala sekolah memegang peranan sangat penting dan secara
29
manajerial pengembangan budaya sekolah ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah atas dukungan dan partisipasi seluruh warga sekolah dan masyarakat. Kepala sekolah sebagai pusat pengembangan budaya sekolah harus mampu menjadi teladan dalam berinteraksi di sekolah. Kepala sekolah juga sebagai figur yang memiliki komitmen tinggi terhadap tugas sekolah, jujur dalam kata dan perbuatan, selalu bermusyawarah dalam membuat kebijakan sekolah, ramah, dan menghargai pendapat orang lain. Selanjutnya kepala sekolah juga merupakan model bagi warga sekolahnya. Menurut Depdiknas dalam S. Adjar Susilowati (2009:25-26) kondisi yang mendukung pengembangan budaya sekolah meliputi: (1) pemilihan urgensi secara berkesinambungan, (2) pengembangan kerja tim dan kepemimpinan tim, (3) pembiasaan kesederhanaan internal sekolah, jangan bermewah-mewahan, gengsi, dan boros, (4) pengembangan jenjang sependek mungkin, (5) pengurangan sebanyak mungkin birokrasi. Perlu diingat
bahwa
birakrasi
menjadi
penghambat
berkembangnya
kepemimpinan, beradaptasinya organisasi dan perilaku menghadapi perubahan cepat, dan yang lebih penting lagi bahwa birokrasi menghambat keberdayaan dan kreatifitas. C. Iklim Sekolah 1. Pengertian Iklim Sekolah Menurut Tarma (2012:60-63)
iklim sekolah merupakan istilah
umum yang mengacu pada perasaan, atmosfir, sifat, ideologi, atau lingkungan pergaulan sekolah. Seperti halnya individu yang memiliki
30
kepribadian, sekolah juga demikian. Iklim sekolah dapat dipandang sebagai kepribadian suatu sekolah. Iklim sekolah merupakan bagian dari lingkungan sekolah yang berkaitan dengan dimensi sikap dan afektif dan sistem kepercayaan sekolah yang mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan psikologis siswa. Iklim sekolah tergambarkan dalam interaksi sosial di dalam dan di luar kelas, dan tergambarkan pula dari perilaku guru di ruang makan. Iklim sekolah menurut Sudaryat (2009:50) yakni suasana yang timbul dan mempengaruhi proses pembelajaran di suatu sekolah. Iklim sekolah (school climate) adalah suasana yang timbul dan mempengaruhi proses pembelajaran di suatu sekolah. Iklim sekolah yang diharapkan dari setiap sekolah yakni iklim sekolah yang kondusif. Iklim sekolah yang kondusif adalah situasi dan kondisi yang aman, nyaman, menyenangkan yang menjadi prasyarat bagi aktivitas belajar dan mengajar berlangsug efektif. Menurut Utomo dalam Sudaryat (2009:50) ciri-ciri iklim sekolah yang nyaman adalah: a. Hubungan antar orang (interpersonal) komunitas sekolah yang terbuka, saling menghargai dalam suasana kekeluargaan. b. Komunikasi antara kepala sekolah, guru, siswa, karyawan, komite sekolah terbuka dan lancar. c. Adanya suasana kekeluargaan yang ikhlas dan mengasihi. d. Adanya rasa memiliki sekolah dari seluruh warga sekolah.
31
e. Adanya kebanggaan (pride) dari semua warga sekolah terhadap sekolahnya. f. Adanya kepemimpinan yang dirasakan mengayomi tidak bossy dan otoriter. g. Suasana belajar di kelas tenang, sejuk, bersih, dan rapi. Menurut Scherman dalam Tarma (2009:61-62) Iklim sekolah dapat dipandang sebagai atmosfir sekolah, sikap dan interaksi kepala sekolah, pendidik dan peserta didik yang mempengaruhi persepsi, sikap perilaku terhadap orang lain dalam lingkungan sekolah. Iklim sekolah adalah karakteristik khas dalam bentuk perasaan, makna bersama, dan atmosfir yang dirasakan oleh kepala sekolah, guru, peserta didik, staf, dan orang tua siswa yang berinteraksi satu sama lain. 2. Pengaruh Iklim Sekolah Iklim sekolah berpengaruh pada kehidupan sekolah, iklim sekolah juga mempengaruhi hasil akademik (academic outcome) maupun hasil non-akademik (non-academic outcome). Berikut adalah pengaruh iklim sekolah: a. Hasil Akademik (academic outcome) Anderson dalam Tarma mengemukakan bahwa (2009:64) berdasarkan 40 penelitian antara tahun 1964 sampai dengan 1980 menemukan lebih dari setengah penelitian tersebut melaporkan pengaruh iklim sekolah terhadap prestasi siswa. Prestasi siswa yang tinggi dibantu dengan keterlibatan guru yang tinggi, norma kelompok yang positif, upaya
32
kooperatif dalam suatu kelompok atau tim, harapan tingkat tinggi yang ditetapkan oleh guru dan administrator, konsistensi dalam memberikan rewards dan punishment. b. Hasil Non-Akademik (non-academic outcome) Menurut Gallay dan Pong (Tarma, 2009:66) persepsi siswa terhadap pembuat kebijakan aturan di sekolah, dan perasaannya merasa didukung oleh guru-guru mereka atau oleh siswa yang lain berkorelasi terhadap perilaku merokok, aktivitas fisik, merasa sehat dan kualitas hidup. Bila siswa merasa tidak puas dan merasa iklim sekolah tidak mendukung, mereka cenderung merokok lebih banyak, laporan kualitas hidup yang lebih rendah dan merasa sedikit sehat atau lebih sedikit aktif secara fisik. D. Sekolah RSDBI (Rintisan Sekolah Dasar Bertaraf Internasional) 1. Sekolah Sebagai Pusat Budaya Secara historis-religius dikatakan bahwa pendidikan terjadi lebih dahulu dari kebudayaan. Kemudian disebutkan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Keduanya merupakan gejala dan faktor pelengkap yang penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia, bagaimanapun sederhananya, peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Pendidikan telah ada sepanjang peradaban manusia.
33
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. (Ary H. Gunawan, 2000:105-106). Goble, et al. (Ary H. Gunawan, 2000:113) dalam bukunya”the changing role of the teacher” mengatakan bahwa secara umum terdapat empat fungsi utama dalam sekolah tradisional, yaitu: 1. Custodial function, dimana orang tua pada umumnya menyerahkan anaknya ke sekolah untuk mendapatkan pengawasan yang aman selama beberapa jam sehari. Dengan demikian sekolah melaksanakan fungsi sesuai dengan harapan orang tua, dan selanjutnya sebagai wali yang baik, ia menanamkan dan memperkuat beberapa peraturan tingkah laku. 2. Indoctrination, dimana sebagian besar orang tua mengharapkan agar sekolah mampu mengajak anak-anak mereka berpikir seperti yang mereka lakukan dan tidak menentang keyakinan mereka. 3. Vocational function, dimana sekolah dapat menyiapkan tenaga kerja yang relevan dengan tuntutan pembangunan masyarakat. 4. Credential function, dimana hasil pendidikan dari sekolah dapat memberikan keuntungan sosial yang lebih baik. 2. Sekolah Nasional Berstandar Internasional Menurut Farida Hanum (2008:54-55) dalam penelitian yang berjudul Studi tentang Kultur Sekolah pada Sekolah Nasional Berstandar Internasional dan Sekolah Bermutu Kurang di Kota Yogyakarta dapat dijelaskan bahwa sekolah tersebut memiliki ciri-ciri lingkungan sekolah
34
yang luas, nyaman dan bersih. Sarana dan prasarana yang ada sangat memadai, begitu pula kegiatan mengajar dan ekstrakurikuler direncanakan dengan baik sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga membuat siswa bangga pada sekolah mereka. Adapun nilai-nilai utama (core value) yang dibudayakan sangat mendukung terhadap pengembangan budaya sekolah yang positif seperti motivasi berprestasi yaitu giat belajar, ingin tahu lebih banyak, gemar membaca, dan kerja sama. Selain itu, nilai kedisiplinan dan kebersihan sangat mewarnai kegiatan seluruh warga sekolah. Sehingga di setiap ruangan, halaman dan kelas terlihat rapi dan bersih. Kata-kata motivasi dan piala-piala yang jumlahnya cukup banyak dipajang untuk dilihat, agar terinternalisasi pada setiap pribadi siswa. Kepemimpinan kepala sekolah sangat mendukung pembudayaan nilai-nilai tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa di sekolah nasional berstandar internasional yang diteliti, terdapat budaya sekolah yang positif dan berpengaruh pada mutu sekolah tersebut. E. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Agus Hendri Setyo Budi mencoba untuk melihat bagaimana peran kultur sekolah kaitannya dengan kinerja siswa. Penelitian tersebut dilakukan di SDN Percobaan 2 Depok Sleman, dengan hasil penelitian berupa gambaran proses pembudayaan kinerja siswa di SDN Percobaan 2 Depok Sleman secara keseluruhan dapat dikatakan berada dalam kultur positif. Peranan kultur sekolah dalam mewujudkan kinerja siswa ditunjukkan dengan meningkatnya kedisiplinan dan
35
mematuhi tata tertib, tumbuhnya kesadaran siswa akan budaya gemar membaca, terciptanya suatu karakter siswa yang memiliki semangat yang kuat, jiwa besar, mampu berjuang, pantang menyerah, memiliki mental kuat. Pemberian penghargaan kepada siswa yang berprestasi banyak menghasilkan prestasi. 2. Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahmani Abdi (2007) yang dilakukan di SMA N 3 Tanjung Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Hasil penelitian, (1) karakteristik budaya sekolah di SMA N 3 tanjung, yang terdiri dari atmosfer sekolah, budaya kerjasama, budaya disiplin, budaya bersih belum mencapai budaya yang positif, (2) upaya-upaya yang dilakukan sekolah dalam pengembangan yang sudah dilakukan cenderung masih minim diakibatkan tidak adanya manajemen budaya sekolah yang baik, (3) pelaksanaan manajemen sekolah dalam pengembangan budaya sekolah tidak maksimal. Sedikit perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini lebih memfokuskan untuk melihat bagaimana gambaran artifak, budaya akademik, budaya non-akademik, nilai-nilai utama yang dominan dalam pengembangan perilaku dan kebiasaan individu di sekolah serta memperoleh gambaran faktor penghambat dan pendukung yang dihadapi sekolah dalam mengembangkan budaya sekolah. Penelitian ini mengambil objek penelitian sebuah Rintisan Sekolah Dasar Bertaraf Internasional.
36
F. Kerangka Berpikir Budaya sekolah bersifat dinamik, milik kolektif, merupakan hasil perjalanan sejarah sekolah, produk dari interaksi berbagai kekuatan yang masuk ke sekolah. Untuk itu sekolah perlu menyadari keberadaan aneka budaya sekolah dengan sifat positif dan negatif. Nilai-nilai dan keyakinan tidak akan hadir dalam waktu yang singkat. Untuk menciptakan budaya sekolah yang positif dibutuhkan adanya kesadaran dan motivasi terutama dari diri masing-masing warga sekolah. Guru sebagai ujung tombak di lapangan harus mampu memberikan motivasi dan inspirasi bagi siswa khususnya. Kebiasaan guru yang datang tepat waktu dan melaksanakan tugas mengajar dengan baik, sikap, dan cara berbicara yang baik saat berkomunikasi dengan siswa dan unsur sekolah lainnya, disiplin dalam melaksanakan tugas menjadi suatu kebiasaan, nilai, dan teladan yang harus senantiasa dijaga dalam kehidupan sekolah. Tujuannya agar kebiasaan-kebiasaan positif tersebut terpelihara dan mendarah daging dalam diri seluruh warga sekolah dan selanjutnya diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Budaya
sekolah
dibentuk
oleh
norma-norma,
nilai-nilai
dan
kepercayaan, serta asumsi-asumsi dasar anggota sekolah. Untuk mengetahui budaya sekolah tidaklah mudah, karena merupakan sesuatu yang abstrak. Budaya sekolah ini, secara sadar atau tidak ternyata sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Banyak anggota-anggota sekolah tidak menyadari bahwa budaya yang mereka jalankan juga berdampak pada motivasi dan prestasi siswa bahkan terhadap mereka sendiri, yaitu baik-
37
buruknya hubungan kerja. Budaya sekolah dapat diidentifikasikan melalui simbol-simbol atau artifak-artifak yang ada pada sebuah sekolah seperti ceritacerita, ikon-ikon, ritual-ritual, dan cara warga sekolah berperilaku. Bentukbentuk artifak ini dapat dikategorikan dalam artifak perilaku atau aktivitas dan artifak fisik atau material. Salah satu hal yang menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian tentang budaya sekolah, yakni ingin mengkaji lebih dalam tentang gambaran kebijakan pengembangan budaya sekolah serta budaya akademik dan budaya non-akademik pada siswa dan guru di rintisan sekolah dasar bertaraf internasional serta berbagai macam permasalahan yang menyertai pelaksanaan pengembangan budaya sekolah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran budaya sekolah pada rintisan sekolah dasar bertaraf internasional. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
berupa
sumbangan saran dan pemikiran bagi lembaga pendidikan dalam kebijakan yang berhubungan dengan budaya sekolah di rintisan sekolah dasar bertaraf internasional. Sebagai masukan dalam mencari alternatif jawaban dari masalah yang berkaitan dengan budaya sekolah bagi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.
38
Kebijakan Pendidikan
Usaha meningkatkan mutu sekolah
Budaya Sekolah
Artifak
Artifak dapat dilihat
Keyakinan
Artifak tidak dapat dilihat
Nilai
Asumsi
Aturan dan Norma
Implementasi Budaya Sekolah (RSDBI) di SD Negeri 4 Wates Bagan 1 Kerangka Berpikir G. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang telah di kemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran artifak yang dapat dilihat di SD Negeri 4 Wates? 2. Bagaimana gambaran budaya akademik yang ada di SD Negeri 4 Wates Kulon Progo? 3. Bagaimana gambaran budaya non-akademik yang ada di SD Negeri 4 Wates Kulon Progo? 4. Nilai-nilai utama apa saja yang berperan dalam pengembangan perilaku dan kebiasaan individu di sekolah? 5. Faktor pendukung dan penghambat apa saja yang dihadapi sekolah dalam mengembangan budaya positif sekolah?