BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Pencemaran Udara Pencemaran udara merupakan masalah global. Sumber pencemaran udara
adalah terutama pembakaran bahan bakar fosil untuk mendapatkan energi industri dan transportasi. Pencemaran udara nampak secara visual pada udara kelabu yang menyelimuti kota-kota. Pencemaran udara oleh debu juga nampak jelas di dekat pabrik semen dan pabrik pembakar kapur (Setiono dkk, 1998). Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup R.I. No. Kep-03/Men.KLH/II/1991 Menyebutkan : “Pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Mulia, 2005). Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia kedalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material. Selain itu pencemaran udara dapat pula dikatakan sebagai perubahan atmosfer oleh karena masuknya bahan kontaminan alami atau buatan kedalam atmosfer tersebut (Parker dalam Mukono, 2000). Pencemaran udara ialah jika udara di atmosfer dicampuri dengan zat atau radiasi yang berpengaruh jelek terhadap organisme hidup (Satrawijaya, 2009).
10
11
Pengertian lain dari pencemaran udara adalah adanya bahan kontaminan di atmosfer karena ulah manusia (man made). Hal ini untuk membedakan dengan pencemaran udara alamiah (natural air pollution) dan pencemar udara di tempat kerja (occupational air pollution) (Mukono, 2000). Jenis-jenis partikel yang menimbulkan pencemaran udara adalah : a. Gas (partikel pencemar yang berupa gas yang biasanya bersifat toksik contoh: HCI, H2S) b. Uap (pencemar udara dalam fase cair/ padat pada suhu kamar) c. Embun/ Fog (pencemar udara dalam fase cair) d. Asap/ Smoke (pencemar udara dalam fase padat) e. Debu (partikel pencemar dalam ukuran 1-75 mikron yang tidak melayang tetapi sudah mengendap) (Anizar, 2009). 2.1.1 Klasifikasi Bahan Pencemar Udara Bahan pencemar udara atau polutan dapat dibagi menjadi dua bagian : 1. Polutan Primer Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber tertentu, dan dapat berupa : a.
Polutan gas terdiri dari: 1. Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksigenasi, dan karbon dioksida (CO atau CO2). 2. Senyawa sulfur yaitu sulfur oksida. 3. Senyawa nitrogen yaitu nitrogen oksida dan amoniak
12
4. Senyawa halogen yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida, hidrokarbon terklorinasi, dan bromine. b.
Partikel Partikel yang di atmosfer merupakan karakteristik yang spesifik, dapat berupa zat padat maupun suspense aerosol cair di atmosfer. Asap (smoke) seringkali dipakai untuk menunjukkan campuran bahan partikulat (particulate matter), uap (fames), gas, dank abut (mist). (Mukono, 2000). Dalam kaitannya dengan masalah pencemaran lingkungan maka partikel dapat berupa keadaan-keadaan berikut: 1. Aerosol, adalah istilah umum yang menyatakan adanya partikel yang terhambur dan melayang di udara. 2. Fog atau kabut, adalah aerosol yang berupa butiran air yang berada diudara. 3. Smoke atau asap, adalah aerosol yang berupa campuran antara butir padatan dan cairan yang terhambur melayang di udara. 4. Dust atau debu, adalah aerosol yang berupa butiran padat yang terhambur dan melayang di udara karena adanya hembusan angin. 5. Mist, artinya mirip dengan kabut, penyebabnya adalah butiranbutiran zat cair (bukan butiran air) yang terhambur dan melayang diudara. 6. Fume, adalah aerosol yang berasal dari kondensasi uap logam. 7. Plume, adalah asap yang keluar dari cerobong asap suatu industri.
13
8. Smog, adalah bentuk campuran antara smoke dan fog (Wardhana, 2004). Umumnya partikel yang dapat memasuki saluran pernapasan adalah partikel yang berukuran lebih kecil dari 10µm (mikrometer). Partikel dengan ukuran tersebut disebut juga PM10 (Mulia, 2005). 2.
Polutan Sekunder Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau lebih bahan
kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh adalah disosiasi NO2 yang menghasilkan NO dan O radikal. Proses kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : a. Konsentrasi relatif dari bahan reaktan b. Derajat fotoaktivasi c. Kondisi iklim d. Topografi lokal dan adanya embun (Mukono, 2000) Polutan sekunder ini mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yang tidak stabil. (Mukono, 2000). 2.1.2 Baku Mutu Kualitas Udara Baku mutu udara ambien mengatur batas kadar yang di perbolehkan bagi zat atau bahan pencemar yang terdapatdi udara namun tidak menimbulkan gangguan terhadap mahluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda (Mulia, 2005). Berikut ini tabel baku mutu kualitas udara ambient :
14
Tabel 1.1 Baku Mutu Kualitas Udara Ambien No
Parameter
Waktu
Baku
Metode
Pengukuran
Mutu
Analisis
Peralatan
0,01 1
SO2
24 jam
ppm
pararosanilin
spektrophotometer
NIDR
NIDR analyzer
Saltzman
spektrophotometer
20,00 2
CO
8 jam
ppm
0.05 3
NOx
24 jam
ppm
0.10 4
Ox
1 jam
ppm
Chemilumine scent
spektrophotometer
0.26 5
Debu
24 jam
mɡ/m3
Gravimetrik
High Volume Sampler
0.06 6
Pb
24 jam
7
H2S
30 menit
8
NH3
24 jam
9
HC
3 jam
mɡ/m3
Gravimetrik
Hi-vol, AAS
hgthiocyanat
spektrophotometer
Nessler
spektrophotometer
0,24
Flame-
Gas
ppm
ionization
Chromatography
0,03 ppm 2,00 ppm
Sumber : Kep-2/Men.KLH/I/1988 dalam Mulia, 2005
15
2.1.3 Dampak Pencemaran Udara oleh Debu Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut : 1. Gangguan estetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran 2. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori – pori tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis 3. Merubah iklim global, regional maupun internasional 4. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan social ekonomi di masyarakat 5. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan kanker paru – paru. Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada : Solubility (mudah larut), komposisi kimia, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu (Mukono dalam Mahdaniar, 2006). 1.2
Klasifikasi Debu Debu adalah partikel-partikel padat yang di sebabkan oleh kekuatan alami
atau faktor mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain- lain, yang berasal dari bahan- bahan organik dan anorganik. Misalnya batu kayu, arang batu, biji logam dan lain- lain. (Sumakmur dalam Utomo, 2005). Debu adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan (Pudjiastuti, 2002).
16
Debu adalah salah satu partikel yang berbahaya bagi manusia karena mempunyai kemampuan untuk merusak paru-paru (Suryanta, 2009). Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron (Pudjiastuti, 2002). 1.2.1 Macam-Macam Debu Berikut ini penjabaran macam-macam debu yang terbagi atas : 1. Debu organik Seperti debu kapas, debu daun-daunan. 2. Debu mineral Merupakan debu yang berasal dari senyawa kompleks seperti debu arang batu, debu silica, debu batu bara, debu kapur. 3. Debu metal Seperti debu timah hitam, debu arsen, debu cadmium. (Utomo, 2005). 1.2.2 Komposisi Kimia Debu Ada tiga golongan kompisisi kimia debu ditinjau dari sifatnya yaitu: 1. Inert dust Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan ataupun reaksi fibrosis pada paru-paru. Efeknya sangat sedikit sekali pada penghirupan normal. Reaksi pada jaringan paru-paru terhadap jenis debu ini adalah saluran nafas tetap utuh, tidak berbentuk jaringan parut (fibrosis) di paru reaksi jaringan potensial dapat pulih kembali dan tidak menyebabkan gangguan paru.
17
2. Profilferate dust Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut (fibrosis), yang dapat menyebabkan pergeseran pada jaringan alveoli, sehingga akan mengganggu kapasitas paru. Contoh debu ini adalah debu silika, debu abses, debu kapur, debu batu bara dan sejenisnya. 3. Debu asal / basa kuat Golongan debu ini tidak tahan dalam paru, namun dapat menimbulkan iritasi. Efek yang ditimbulkan berupa keracunan secara umum misalnya debu arsen dan efek alergi, khususnya golongan debu organik (Depkes RI dalam Utomo, 2005). 1.2.3 Sifat-Sifat Debu Sifat-sifat debu dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu : 1. Setting Rate, yaitu sifat debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya grafitasi bumi, namun karena relatifnya debu ini maka cenderung selalu berada di lingkungan. 2. Wetting, yaitu debu yang mempunyai sifat permukaan yang cenderung selalu basah yang selalu dilapisi lapisan air yang sangat tipis. 3. Flocculation, yaitu debu yang cenderung sering basah sehingga dapat saling menempeldan menggumpal. 4. Electrical, yaitu sifat debu yang mempunyai sifat listrik yang tetap yang dapat saling tarik-menarik antar partikel yang bermuatan listrik dan berlawanan. Sifat ini dapat mempercepat proses penggumpalan debu.
18
5. Optical properties, yaitu sifat debu yang dapat memencarkan sinar dalam gelap (Utomo, 2005). 1.2.4 Ambang Batas Debu Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernafasan.Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut: a. 5-10 mikron = akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas. b. 3-5 Mikron akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah. c. 1-3 mikron sampai dipermukaan alveoli. d. 0,5-0,1 mikron hinggap dipermukaan alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan vibrosis paru. e. 0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli (Sucipto, 2007). Menurut WHO (1996), ukuran debu partikel yang membahayakan adalah ukuran 0,1 – 5 atau 10 mikron. Depkes mengisyaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berkisar 0,1 sampai 10 mikron (dalam Sucipto, 2007). Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kadar Tertinggi Diperkenankan yang selanjutnya disingkat KTD adalah kadar bahan kimia di udara tempat kerja yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga kerja melakukan pekerjaan (Suma’mur dalam Lazim, 2012).
19
Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hingga dan tertimbunnya debu dalam paru-paru. Salah satu mekanisme itu adalah inertia atau kelembaban dari partikel-partikel debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernapasan yang tidak lurus, maka partikelpartikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya menumbuk selaput lendir dan singga di alveoli (Suma’mur, 1996). 1.2.5 Ukuran Partikel Debu Debu merupakan partikel padat yang mempunyai ukuran diameter 0,1 - 50 mikron atau lebih. Partikel debu yang dapat dilihat oleh mata adalah yang berukuran lebih dari 50 mikron. Sedang yang berukuran kurang dari 50 mikron hanya bisa dideteksi oleh mata biasa apabila terdapat pantulan cahaya yang kuat dari partikel debu tersebut. Untuk bisa melihat partikel debu yang berukuran kurang dari 10 mikron maka harus menggunakan suatu alat bantu seperti mikroskop (Sucipto, 2007). 1.2.6 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Jaringan Paru-Paru Secara anatomis saluran pernapasan/penghantar udara sampai mencapai paru-paru adalah, hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus (Utomo, 2005). Sistem pernapasan tersusun atas saluran pernapasan dan paru-paru sebagai tempat pertukaran udara pernapasan. Pernapasan merupakan proses untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang diperlukan dalam mengubah sumber energi
20
menjadi energi, serta membuang CO2 sebagai sisa metabolisme (Mulia, 2005).
Gambar 1.1 Anatomi Saluran Pernapasan Sumber : (Utomo, 2005). 1.3
Defenisi Batu Kapur Batu kapur adalah batuan sedimen berjenis khusus yang terbentuk dari
kerangka hewan-hewan kecil lautan. Batu kapur (gamping) dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, secara mekanik, atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari pengendapan cangkang/rumah kerang dan siput, foraminifera atau ganggang, atau berasal dari kerangka binatang koral/kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu muda, abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya.
21
Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah aragonit (CaCO3), yang merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit (CaCO3). Mineral lainnya yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur atau dolomit, tetapi dalam jumlah kecil adalah Siderit (FeCO3), ankarerit (Ca2MgFe(CO3)4), dan magnesit (MgCO3) (Sucipto, 2007). Penggunaan batu kapur sudah beragam diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas, dan lain-lain. Batuan kapur ini sangat penting artinya sebagai bahan dasar dalam industri. Batuan kapur mempunyai sifat yang istimewa, bila dipanasi akan berubah menjadi kapur yaitu kalsium oksida (CaO) dengan terjadi proses dekarbonisasi (pelepasan gas CO2). Dalam perdagangan dapat dijumpai bermacam-macam hasil pembakaran kapur ini antara lain : 1.
Kapur tohor atau Quick lime Yaitu hasil langsung dari pembakaran batuan kapur yang berbentuk oksida-oksida dari kalsium atau magnesium.
2.
Kapur padam atau kapur mati (hydrated lime/slake lime) atau kapur sirih Adalah bentuk-bentuk oksida dari magnesium atau kalsium yang dibuat dari kapur keras yang diberi air sehingga berreaksi dan mengeluarkan panas. Bahan ini biasanya digunakan juga dalam adonan untuk pemasangan bata bangunan.
22
3.
Kapur hydraulic Di
sini
CaO
dan
MgO
tergabung
secara
kimia
dengan
pengotoranpengotoran. Oksida-oksida kapur ini terhydrasi secara mudah dengan menambahkan air ataupun membiarkannya diudara terbuka, pada reaksi ini akan timbul panas. Kapur hydraulik yang dijual
sebagai
kapur
hydrat
mengandung
beberapa
kotoran
(impurities) yang terdiri dari silika, allumina, oksida besi dan lainnya sehingga kapur hydraulik murni mungkin hanya mengandung 10-35% kapur bebas ( Sucipto, 2007). 1.3.1 Komposisi Batu Kapur Komponen utama pembentuk batu kapur atau batu gamping adalah mineral kalsit (CaCO3), mineral dolomit (CaMg(CO3)2) dan arogonit (CaCO3). Gabungan dari tiga unsur ini membentuk warna putih dan bertekstur lembut. Bila ditemukan batu kapur berwarna kelabu menunjukkan batu kapur sudah tidak murni. Ketidakmurnian ini karena tercampur dengan unsur pasir, tanah liat, besi oksida, hidroksida dan material organic (Encarta dalam Utomo, 2005). Proses terbentuknya batu kapur terjadi selama berjuta-juta tahun yang lalu. Batu kapur terbentuk dari unsur karbonat zat kapur yang berasal dari organisme laut seperti kerang-kerangan dan tiram. Karbonat ini merupakan penyusun utama kulit kerang dan tiram. Pada saat organisme ini mati, kulit kerang dan tulang yang tertinggal akan didegradasikan menjadi unsure yang lebih kecil lagi oleh mikroorganisme mikroskopik seperti foraminifera. Hasil degradasi ini membentuk pasir karbonat atau lumpur karbonat. Karena pengendapan ini terjadi terus-
23
menerus dalam waktu yang lama dan adanya proses alam, maka endapan pasir dan lumpur karbonat akan mengeras, sehingga jadilah pegunungan batu kapur. Sehingga hamper sebagian besar pegunungan batu kapur berada dekat dengan laut (Encarta dalam Utomo, 2005). 1.3.2 Proses Penambangan Batu Kapur Proses penambangan batu kapur dimulai dengan proses stripping, yaitu bagian pengupasan lahan tambang, yaitu meliputi proses pembukaan lahan serta pemindahan tanah penutup. Kegiatan ini dikerjakan dengan cara manual dengan menggunakan cangkul, linggis dan sekop. Setelah terlihat batuan kapur proses selanjutnya adalah pengambilan batu kapur, pengumpulan batu kapur disekitar lokasi penambangan, kegiatan pengangkutan batu kapur dengan cara dipikul atau dengan alat pengangkut truk ke tempat tungku atau tobong pembakaran. Proses pembakaran pada tobong gamping menggunakan bahan bakar kayu selama 48 jam. Proses produksi tradisional penambangan batu kapur, memaksa pekerja berada dalam jarak radius yang sangat dekat dengan sumber pencemaran, berupa debu kapur (Utomo, 2005). Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja penambangan kapur dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.
Kelelahan
Kata kelelahan menunjukkan keadaaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Terdapat dua jenis kelelahan yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri
24
yang terdapat pada otot. Kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja, yang sebabnya adalah persyaratan atau psikis. Sebab-sebab kelelahan umum adalah monotoni, intensitas, dan lamanya kerja mental dan fisik, keadaan lingkungan (Suma’mur, 1996) Suatu daftar atau gejala-gejala atau perasaan yang ada hubungannya dengan kelelahan adalah : a) Perasaan berat di kepala b) Menjadi lelah seluruh badan c) Kaki merasa berat d) Menguap e) Merasa kacau pikiran f) Kaku dan canggung dalam gerakan g) Tidak dapat berkonsentrasi h) Merasa pernafasan tertekan i) Haus j) Merasa kurang sehat, dan lain-lain (Suma’mur, 1996) Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara yang ditunjukkan kepada keadaan umum dan lingkungan fisik di tempat kerja. Misalnya banyak hal yang dicapai dengan pengaturan jam kerja, pemberian kesempatan istirahat yang tepat, dan lain-lain (Suma’mur, 1996) 2.
Waktu Kerja
Waktu kerja bagi seseorang menentukan efisiensi dan produktifitasnya. Segi-segi terpenting bagi persoalan waktu kerja meliputi:
25
a.
Lamanya seseorang mampu kerja dengan baik.
b.
Hubungan di antara waktu bekerja dan istirahat.
c.
Waktu bekerja sehari menurut periode yang meliputi pagi, siang, sore, dan malam (Suma’mur, 1996).
Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam. Sisanya (16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tinggi,
bahkan
biasanya
terlihat
tidak disertai efisiensi yang
penurunan
produktifitas
serta
kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan (Suma’mur, 1996). 3.
Kecelakaan-kecelakaan dalam tambang
Penambangan penuh dengan bahaya-bahay kecelakaan baik jatuh, atau tertimpa benda-benda yang jatuh termasuk atap tambang atau dnding yang rubuh, maupun ledakan-ledakan. Jatuh terjadi oleh karena sebahagian terbesar dari pekerjaan dilakukan setelah naik atau turun lobang biasanya akibat sistem penyokong dinding
atau atap yang kurang baik
pemasangannya atau oleh karena tambang telah berumur tua. Ledakanledakan biasanya akibat meledaknya methan atau debu batu halus (Suma’mur, 1996).
26
1.3.3 Proses Pengolahan Batu Kapur Sebelum kapur mati (kalsium karbonat) menjadi kalsium oksida (kapur hidup), terlebih dahulu diawali dengan proses pengolahan batu kapur. (Sucipto. 2007) Proses pengolahan batu kapur terdiri dari beberapa tahap yaitu : 1.
Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini merupakan tahap awal sebelum batu kapur dibakar. Tahap persiapan ini meliputi : a.
Kegiatan Pengadaan batu kapur Kegiatan pengadaan batu kapur merupakan kegiatan penambangan
batu
kapur
di
pegunungan
kapur
dengan
menggunakan bahan peledak dan peralatan penambangan lainnya. Pemilik lahan penambangan batu kapur oleh masyarakat disebut animer , sedangkan orang yang memiliki tungku pembakaran batu kapur disebut penobong. Penobong mendapatkan batu kapur (bahan mentah) langsung dari animer melalui koperasi Sentra Kapur. b. Kegiatan Pengangkutan dan penimbunan batu kapur Kegiatan pengangkutan batu kapur merupakan kegiatan untuk mengangkut batu kapur dari area penambangan kelokasi pembakaran. Pengangkutan batu gamping menggunakan truk tua dengan kapasitas angkut 3 ton. Kegiatan penimbunan merupakan kegiatan menimbun atau menempatkan sementara batu gamping di sekitar lokasi pembakaran batu kapur sebelum dimasukkan
27
kedalam tobong/tungku pembakar. Setelah diturunkan dari truk maka batu kapur ditumpuk di dekat tangga menuju lobang pembakaran. 2.
Tahap Pembakaran Tahap pembakaran merupakan tahapan dimana batuan kapur dibakar
sampai menjadi kapur, kegiatan pembakaran ini diawali dengan kegiatan menyusun batu kapur kedalam tungku pembakaran (tobong). Tungku pembakaran yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu Tungku berbahan bakar minyak dengan pekerja di bagian pembakaran sebanya 6 orang, dan tungku dengan bahan bakar campuran kayu, oil suldge dan sebagainya, dengan jumlah pekerja 4 orang tiap tungku. Tenaga kerja ini bekerja selama 24 jam yang terbagi dalam 2 shift kerja. Tungku dengan bahan bakar minyak memerlukan waktu 5 jam untuk membakar batu menjadi kapur, sedangkan tungku dengan bahan bakar campuran memerlukan waktu 15 hari untuk membakar batu kapur. Pada kapur yang diperdagangkan kemurnian kapur keras berkisar antara 88-94% dan jumlah oksidanya (CaO dan MgO) sekitar 92-98%. 3.
Tahap Pemasaran Tahap pemasaran merupakan tahap kapur sudah dibakar dan siap
untuk dijual. Tahap ini meliputi : a.
Kegiatan penimbunan kapur Kegiatan ini merupakan kegiatan mengambil dan menata kapur yang sudah matang dari dalam tungku pembakar dan ditata
28
disekitar lokasi pembakaran atau langsung di angkut dengan truk untuk dipasarkan. b.
Kegiatan Penjualan kapur Merupakan kegiatan untuk menjual atau memasarkan kapur baik melalui perorangan maupun melalui koperasi. Kapur tersebut diangkut dengan truk keluar daerah atau perusahaan tergantung permintaan pasar (Sucipto, 2007).
1.3.4 Debu Batu Kapur Debu kapur merupakan salah satu partikel padat yang terbentuk karena kekuatan mekanis, akibat adanya proses penambangan (Sumakmur dalam Utomo 2005). Dilihat dari komposisinya atau materi debu kapur berasal dari golongan anorganik. Sedangkan bila dilihat dari sifat debu kapurnya termasuk profilferate dust, dimana golongan debu ini didalam paru akan membentuk jaringan parut (fibrosis), yang dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan alveoli, sehingga akan mengganggu kapasitas paru (Depkes RI dalam Utomo, 2005). Debu kapur dapat terjadi pada proses penambangan. Pada proses penggalian, pengangkutan, dan penumpukan batu gamping, terjadi perpecahan atau penghancuran yang dapat berakibat timbulnya debu. Debu kapur yang terbentuk ukurannya 1 sampai dengan 5 mikron (Utomo, 2005). Debu kapur yang dihasilkan akibat proses pemecahan batu kapur, pengisian ke dalam tanur, pembakaran, pembongkaran, pengecoran dengan air, pengadukan dan pengemasan batu kapur dapat menyebabkan pencemaran udara di lingkungan kerja dan bisa berbahaya bagi tenaga kerja. Untuk mengantisipasi efek
29
negatif paparan debu kapur di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan NAB zat kimia di udara tempat kerja menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga para pengusaha dapat mengendalikan lingkungan kerja perusahaannya dengan mengacu pada standar ini. Standar ini memuat tentang NAB rata – rata tertimbang waktu (time weighted average) zat kimia di udara tempat kerja, dimana terdapat tenaga kerja yang dapat terpapar zat kimia sehari – hari selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, serta cara untuk menentukan NAB campuran untuk udara tempat kerja yang mengandung lebih dari satu macam zat kimia. NAB adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari – hari untuk waktu tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek higiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan (Yulaekah, 2007). 1.4
Kapasitas Paru Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Kapasitas inspirasi Adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada
tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum (kirakira 3500 mL).
30
2. Kapasitas residu fungsional Adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 mL). 3. Kapasitas paru total Adalah volume maksimum di mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira 5800 mL). 4. Kapasitas vital paru Kapasitas vital paru sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume alun napas dan volume cadangan ekspirasi, dengan demikian jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan dikeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600 mL) (dalam Madina, 2007). 1.4.1 Fungsi Kapasitas Paru Kapasitas paru berfungsi untuk menampung respirasi. Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis tergantung pada lamanya seseorang bekerja pada lingkungan yang berdebu. Selain itu terdapat beberapa faktor yang dapat menurunkan fungsi kapasitas paru antara lain : 1. Jenis kelamin Kapasitas vital rata – rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter. 40 Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa kapasitas paru total (kapasitas inspirasi dan kapasitas residu fungsional), pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter.
31
2. Posisi tidur seseorang nilai kapasitas fungsi paru lebih rendah dibanding posisi berdiri. Pada posisi tegak, ventilasi persatuan volume paru di basis paru lebih besar dibandingkan di bagian apeks, hal tersebut terjadi karena pada awal inspirasi, tekanan intrapleura di bagian basis paru kurang negative dibandingkan bagian apeks, sehingga perbedaan tekanan intrapulmonal - intrapleura di bagian basis lebih kecil dan jaringan paru kurang terenggang. Keadaan tersebut menjadi prosentase volume paru maksimal posisi berdiri lebih besar nilainya. 3. Kekuatan otot - otot pernapasan. Di dalam pengukuran kapasitas fungsi paru merupakan indeks fungsi paru yang bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot - otot pernapasan, apabila nilai kapasitas normal tetapi nilai FEV1 menurun maka dapat mengakibatkan sakit, seperti pada penderita asma. 4. Ukuran dan bentuk anatomi tubuh Obesitas meningkatkan risiko komplikasi KRF (Kapasitas Residu Ekspirasi) dan VCE (Volume Cadangan Ekspirasi) menurun dengan semakin beratnya tubuh. Pada penderita obesitas VCE lebih kecil dari pada CV, mengakibatkan sumbatan saluran napas. 5. Proses penuaan atau bertambahnya umur Umur meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas. Terjadinya penurunan volume paru statis, arus puncak ekspirasi maksimal daya regang paru dan tekanan O2 paru. Aktivitas refleks saluran napas berkurang pada orang berumur, mengakibatkan kemampuan daya pembersih saluran napas berkurang.
32
6. Daya pengembangan paru (complience) Peningkatan volume dalam paru menghasilkan tekanan positif, sedangkan penurunan volume dalam paru menimbulkan tekanan negatif. Perbandingan antara perubahan volume paru dengan satuan perubahan tekanan saluran udara menggambarkan complience jaringan paru dan dinding dada. Complience paru sedikit lebih besar apabila diukur selama pengempisan paru dibandingkan diukur selama pengembangan paru (Yulaekah, 2007). 7. Alat Pelindung Pernafasan (masker) Alat pelindung diri adalah seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan. Alat ini digunakan seseorang dalam melakukan pekerjaannya, yang dimaksud untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan kerja. Alat pelindung diri ini tidaklah secara sempurna dapat melindungi tubuhnya tetapi akan dapat mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi (Sugeng dalam Budiono, 2007). Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengaman tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan. Namun kadang-kadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri. Alat pelindung diri haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif (Suma’mur, 1996). 8. Masa kerja Menurut Siti M (2006), masa kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja bekerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung mulai saat
33
bekerja sampai penelitian berlangsung (dalam Suma’mur, 1996). Menurut Umar Fahmi Ahmadi (1990), menyebutkan bahwa masa kerja dapat dikategorikan menjadi : a. Masa kerja baru ( < 5 tahun ) b. Masa kerja lama ( ≥ 5 tahun ) Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (dalam Yulaekah, 2007). 1.4.2 Pengukuran Kapasitas Paru Sering kali kita melihat orang yang memilki kecepatan pernapasan dan kedalaman pernapaan berbeda antara yang satu dengan lainnya. Alat untuk mengukur kapasitas paru menggunakan alat Spirometer. Spirometer adalah suatu piranti untuk mengukur volume udara yang diilhami dan yang berakhir oleh paruparu. Ini merupakan suatu ketepatan tekanan diferensial transducer untuk pengukuran laju alir pernapasan. Dalam pengukuran kapasitas paru dikenal beberapa istilah, seperti : 1. Vital Capasity (VC) / Kapasitas Vital Adalah volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang setelah mengisi paru-parunya secara maksimum. 2. Forced Vital Capasity (FVC) Adalah volume udara maksimum yang dapat dimasukkan dalam paru-paru, dan secara paksa serta cepat mengeluarkannya semaksimum mungkin.
34
3. Forced Expiratory Volume in First Second (FEV1) Adalah volume udara yang dikeluarkan pada detile pertama dimulai dengan hembusan nafas kuat pada pernafasan penuh (Yulaekah, 2007). Pengukuran Kapasitas paru, disebut : Normal, bila : FVC ≥ 70% dan FEV1 ≥ 80% Rasio FEV1 / FVC : 75-80% Tidak normal, bila : a. Restructive : FVC < 70% b. Obstructive : FEV1 < 80% c. Combination: FVC < 70% dan FEV1 < 80% (Yulaekah, 2007). Berikut penjabaran defenisi dari indikator pengukuran kapasitas paru : 1. Restriksi, yaitu penyempitan saluran paru - paru yang diakibatkan oleh bahan yang bersifat alergen seperti debu, spora jamur dan sebagainya yang mengganggu saluran pernapasan. Keadaan ini menunjukkan adanya penyakit paru atau dari luar yang menyebabkan kapasitas vital berkurang, khususnya kapasitas total paru. Dengan berkurangnya kapasitas vital maka proporsi FEV1 juga menurun, sebagai hasilnya FEVl/FVC (%) jadi menurun. 2. Obstruksi, yaitu penurunan kapasitas fungsi paru yang diakibatkan oleh penimbunan debu - debu sehingga menyebabkan penurunan kapasitas fungsi paru. Penurunan aliran udara mulai dari saluran napas bagian atas sampai bronkiolus berdiameter kurang dari 2 mm ditandai dengan
35
penurunan FEV1, FEVl/FVC, kecepatan aliran udara pada ekspirasi. Pemeriksaan FEV1 dan rasio FEV1/FVC merupakan pemeriksaan yang standar, sederhana, dapat diulang dan akurat untuk menilai obstruksi saluran napas. 3. Kombinasi obstruksi dan restriksi (Mixed), yaitu terjadi juga karena proses patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan aliran, yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEVl/FVC (%) merupakan suatu indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume paru merupakan suatu restriktif. Beberapa kerusakan dapat menghasilkan bentuk campuran. Atau adanya penyempitan saluran paru dan adanya penimbunan saluran paru oleh debu (gabungan antara restriktif dan obstruktif) (Yulaekah, 2007). Sebagian daripada volume statis daripada paru-paru dapat diukur dengan Spirometer yaitu: tidal volume dan kapasitas vital (vital capacity). Tidal volume adalah volume pernapasan normal yaitu dengan menghembuskan udara ekspirasi biasa ke dalam Spirometer setelah inspirasi biasa. Kapasitas vital adalah volume ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal (Siregar, 2004). Walaupun ekspirasi sudah maksimal, tetapi masih tetap ada udara yang tersisa dalam paru-paru disebut volume residu (residual volume). Volume udara dalam paru-paru setelah ekspirasi normal disebut kapasitas residu fungsional (Functional Residual capacity). Kedua volume paru-paru yang terakhir ini tidak dapat diukur dengan Spirometer. Volume ini dapat diukur dengan menggunakan tekhnik pengenceran gas (gas dilution) atau dengan Pletismograf.
36
Kapasitas paru-paru (Total Lung Capacity) adalah kapasitas vital + volume residu (Siregar, 2004). 2.4.3 Paparan Penyakit Akibat Kerja Berikut penilaian paparan penyakit akibat kerja terdiri dari : 1. Tujuan utama dari penilaian paparan yaitu : a.
Menentukan tingkat paparan pekerja terhadap agen-agen berbahaya
b.
Menilai perlunya langkah-langkah pengendalian
c.
Memastikan efisiensi langkah-langkah pengendalian yang dipakai.
2. Penilaian Bahaya-Bahaya Penilaian bahaya dalam lingkungan kerja terdiri dari : a.
Penentuan kadar agen berbahaya di tempat kerja meliputi beberapa pengukuran dan analisis berbeda adalah : 1. Pengukuran tingkat bahaya seperti bising dan radiasi 2. Pengukuran faktor-faktor lingkungan 3. Pengukuran kadar kontaminan dalam udara 4. Pengukuran sampel udara untuk analisis selanjutnya di laboratorium.
b.
Perbandingan hasil-hasil yang diperoleh dengan batas paparan yang telah diterima.
3.
Langkah-langkah penilaian paparan Langkah yang dapat dilakukan dalam melakukan penilaian paparan adalah:
37
a.
Mengidentifikasi bahaya-bahaya dengan mengamati secara cermat proses kerja, mesin, bahan mentah yang digunakan, produk sampingan, bahaya potensial, praktik kerja.
b.
Merancang
suatu
memprioritaskan
strategi
pengambilan
bahaya-bahaya
yang
sampel
paling
penting
dengan serta
mendapatkan sampel-sampel yang representatif. 4.
Batas paparan (exposure limits) Batasan paparan yang dapat dilakukan terbagi atas : a.
Konsentrasi paparan dilingkungan kerja tidak boleh melebihi nilai
ambang batas paparan yang telah ditetapkan oleh pihak berwenang yang berhak setelah dikonsultasikan dengan lembaga-lembaga ilmiah yang telah diakui kredibilitasnya dan dengan organisasi-organisasi pengusaha dan pekerja yang paling mewakili kepentingan pengusaha dan pekerja. b.
Tujuan penetapan nilai ambang batas paparan tersebut adalah
untuk melenyapkan atau mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh paparan yang terdapat di udara dan berakibat buruk bagi kesehatan pekerja, sejauh hal tersebut dimungkinkan. c. Sesuai denga peraturan perundang-undangan dan kebiasaan nasional, tingkat-tingkat paparan di lingkungan kerja wajib ditetapkan : 1.
Berdasarkan undang-undang.
2.
Berdasarkan persetujuan kolektif atau berdasarkan persetujuan lainnya yang di buat antara pengusaha dan pekerja.
38
3.
Melalui saluran-saluran lain atas persetujuan pihak berwenang yang berhak setelah dikonsultasikan dengan organisasi-organisasi pengusaha dan pekerja yang paling mewakili kepantingan pengusaha dan pekerja.
4.
Nilai ambang batas paparan harus secara berkala di kaji ulang, dengan
bertolak
ukur
pada
kemajuan
teknologi
dan
perkembangan ilmu kedokteran yang berkaitan dengan bahaya kesehatan yang timbul akibat terkena paparan, dan khususnya bertolak ukur pada hasil pemantauan paparan di tempat kerja (Anizar, 2009). 2.4.4 Upaya Pengendalian Penyakit akibat faktor pekerjaan bisa dihindarkan asal saja tenaga kerja mempunyai kemauan dan itikad yang baik untuk mencegahnya. Disini tenaga kerja mempunyai peranan yang penting dalam menghindarkan penyakit akibat kerja. Untuk penyakit akibat kerja yang disebabkan golongan debu, upaya pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : a.
Substitusi yaitu mengganti bahan yang memiliki bahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
b.
Ventilasi umum yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja agar kadar debu yang ada dalam ruangan kerja menjadi lebih rendah dari kadar nilai ambang batas (NAB).
c.
Isolasi yaitu menutup proses, bahan atau alat kerja yang merupakan sumber debu agar tidak tersebar ke ruangan lain.
39
d.
Memodifikasi proses yaitu mengubah proses atau cara kerja sedemikian rupa agar hamburan debu yang dihasilkan berkurang.
e.
Mengadakan pemantauan terhadap lingkungan kerja yaitu pemantauan terhadap lingkungan kerja agar dapat diketahui apakah kadar debu yang dihasilkan sudah melampaui nilai ambang batas yang diperkenankan
f.
Alat pelindung diri yaitu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja agar terlindungi dari resiko bahaya yang dihadapi. Misalnya masker, sarung tangan, kaca mata dan pakaian pelindung.
g.
Penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kerja secara intensif agar tenaga kerja tetap waspada dalam melaksanakan pekerjaannya (Sucipto, 2007).
40
2.5
Kerangka Teori
Faktor pencemaran udara : -
Bahan pencemar udara
-
Baku mutu kualitas udara
-
Dampak pencemaran udara oleh debu
Faktor partikel debu : -
Klasifikasi debu
-
Klasifikasi debu di penambangan batu kapur Kapasitas paru pekerja : -
Normal
-
Tidak normal
Penyakit akibat kerja
Faktor paparan debu : -
Kadar debu
Upaya
-
Lama paparan
-
Penggunaan APD (masker)
pengendalian
Faktor masa kerja : -
< 5 tahun
-
≥ 5 tahun
Gambar 1.2 Kerangka Teori
41
2.6
Kerangka Konsep Adapun Kerangka konsep yang nantinya akan di teliti yakni dapat
dijabarkan sebagai berikut: Paparan Debu : -
Kadar Debu
-
Lama Paparan
-
Penggunaan APD (Masker)
Kapasitas Paru Pekerja : -
Normal
-
Tidak Normal
Masa Kerja : -
< 5 Tahun
-
≥ 5 Tahun Gambar 1.3 Kerangka Konsep Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel dependent (Terikat) : Variabel Independent (Bebas)
2.7
Hipotesis
2.7.1 Hipotesis Penelitian 1. Ada Pengaruh antara paparan debu terhadap kapasitas paru pekerja tambang batu kapur di Kelurahan Buliide, Kecamatan Kota Barat. 2. Ada Pengaruh antara masa kerja terhadap kapasitas paru pekerja tambang batu kapur di Kelurahan Buliide, Kecamatan Kota Barat.
42
2.7.2 Hipotesis Statistik 1. H0 : p = 0 2. Ha : p ≠ 0 Kriteria Uji : H0 ditolak jika p value < critical value (α = 0,05) H0 diterima jika p value ≥ critical value (α = 0,05) (Sugiyono, 2009)