BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian atau Kajian Terdahulu Batik Tegal sudah pernah diteliti oleh beberapa peneliti dengan sudut pandang yang berbeda. Penelitian Desi R.M dalam tesisnya berjudul “Mengkaji Makna Simbolik Dan Nilai Estetik Batik Beras Mawur” (Tesis, 2013). Penelitian tersebut membahas tentang arti pola hias serta keindahan motif beras mawur. Krismawan A.S dalam penelitiannya berjudul “Tinjauan Motif, Warna, Dan Nilai Estetik Batik Tegal Produksi Kelompok Usaha Bersama Sidomulyo Di Pasangan Talang Tegal” (Tesis, 2012), membahas tentang tinjauan motif, warna, dan nilai estetik motif batik Tegal produksi ciri khas kelompok usaha Sidomulyo. Jurnal batik pada tanggal 10 Februari 2014, artikel M. Budi Mulyaman berjudul “Era Baru Batik Tegal” yang membahas tentang perkembangan batik Tegal dengan motif baru. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang mengangkat tema“Kajian Estetika Corak Batik Tegal di Kelurahan Bandung, Kecamatan Tegal Selatan” merupakan bentuk pengkajian baru pada penelitian tulisan sebelumnya, sehingga apa yang belum dibahas sebelumnya akan tersampaikan dalam penelitian ini.
6
7
B. Batik 1. Pengertian Batik Kata “batik” berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: yaitu “amba”, yang mempunyai arti “menulis” dan “titik” yang mempunyai arti “titik”, di mana dalam pembuatan
kain batik sebagian prosesnya dilakukan
dengan menulis dan
sebagian dari tulisan tersebut berupa titik. Titik berarti juga tetes. Seperti diketahui bahwa dalam membuat kain batik dilakukan pula penetesan lilin di atas kain putih (Lisbijanto, 2013:6). a. Menurut Nian Djumena, berdasarkan sudut daerah pembatikan batik dibedakan menjadi 2 kelompok besar yakni: 1) Batik Vorstenlanden Batik Vorstenlanden adalah batik dari Solo dan Yogya. Batik yang berasal dari keraton dan batik yang mendapat pengaruh sangat kuat dari keraton, baik ragam hias maupun warnanya. Berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya, batik Vorstenlanden memiliki ciri khas antara lain, ragam hias bersifat simbolis berlatar kebudayaan Hindu-Jawa, warna cenderung kewarna coklat sogan, indigo, hitam dan putih. Warna dominan kain batik klasik Jawa pada awalnya dapat ditemukan sebagai berikut : warna coklat (Dragem Sogan) adalah simbolis dari warna tanah lempung yang subur, dapat membangkitkan rasa kerendahan hati, kesederhanaan dan “membumi”, selain kehangatan bagi pemakainya. Warna biru tua (Wulung), pakaian dengan warna ini memberikan efek rasa ketenangan, kepercayaan, kelembutan pekerti, keikhlasan, dan rasa kesetiaan. Warna biru tua biasanya ditemukan pada motif batik klasik Yogyakarta, misalnya pada motif Modang.
8
Warna putih melambangkan arah timur, muncul pada motif gagrak Yogyakarta dan menunjukkan kesan inocent (rasa tidak bersalah), kesucian, ketentraman hati dan keberanian serta sifat pemaaf pemakainya. Menurut H.Santoso Doellah, Batik Keraton sebagai wastra batik tradisional, terutama yang tumbuh dan berkembang di Keraton-Keraton Jawa (termasuk Keraton Cirebon dan Sumenep). Tata susun ragam hias dan pewarnaannya merupakan paduan yang menganggumkan antra matra seni, adad, pandangan hidup dan kepribadian lingkungan yang melahirkan karya seni ini, yaitu lingkungan Keraton. Pola-pola batik Keraton mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa yang pada zaman Pajajaran dan Majapahit berpengaruh sangat besar dalam seluruh tata kehidupan dan kepercayaan masyarakat Jawa. Pengaruh Hindu-Jawa tercermin dengan jelas pada batik-batik Kerton berpola Semen. Meskipun susunan ragam hias batik Keraton memeiliki aturan yang baku, namun berkat kebebasan dalam menyusun serta memilih ragam hias utama, isen-isen dan ragam hias pengisi, maka batik motif Semen memiliki banyak sekali ragamnya (Kusrianto, 2013:36). Ragam hias batik yang ada hubungannya dengan kedudukan sosial umpamanya, adalah ragam hias Parang Rusak Barong, Sawat, dan Kawung. Aturan atau tata cara pemakaian batik, antara lain menyangkut, kedudukan sosial si pemakai dan pada kesempatan atau peristiwa mana kain batik ini dipakai atau dipergunakan tergantung dari makna atau arti dan harapan ragam hias tersebut. Struktur batik merupakan struktur atau prinsip dasar penyusunan batik. Struktur batik terdiri dari unsur pola atau motif batik yang disusun berdasarkan pola yang sudah baku.
9
Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif batik disebut juga corak batik atau pola batik. Menurut unsurunsurnya, maka motif batik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu: ornamen motif batik dan isen motif batik (Susanto, 1980:212). Menurut Sewan Susanto, motif batik berdasarkan unsur-unsurnya dibedakan menjadi 2 yaitu: 1)
Ornamen Motif Batik, dibedakan lagi atas ornamen utama dan
ornamen pengisi bidang atau ornamen tambahan. Ornamen utama adalah suatu ragam hias menentukn dari pada motif tersebut, dan pada umumnya ornamenornamen utama itu masing-masing mempunyai arti, sehingga susunan ornamenornamen itu dalam suatu motif membuat jiwa atau arti pada motif itu sendiri. Ornamen tambahan tidak mempunyai arti dalam pembentukan motif dan berfungsi sebagai pengisi bidang. 2)
Isen motif adalah berupa titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan
garis yang berfungsi untuk mengisi ornamen-ornamen motif atau mengisi bidang diantara ornamen-ornamen tersebut. Bentuk-bentuk isen yaitu cecek-cecek, cecek pitu, sisik melik, cecek sawut, cecek sawut daun (bentuk megar), herangan, sisik, gringsing, sawut, galaran, rambutan atau rawan, siarapan, cacah gori. Tetapi sering dapati bahwa pada suatu motif, tidak dapat dibedakan mana yang ornamen utama dan mana ornamen tambahan sehingga hanya mempunyai susunan yang indah saja dan tidak mempunyai jiwa yang mendalam. Ornamen pengisi ialah ornamen-ornamen yang berfungsi sebagai pengisi bidang untuk memperindah motif secara keseluruhan. Ornamen pengisi ini bentuknya lebih kecil dan lebih sederhana, sedang yang digambarkan dapat
10
berbagai macam, bentuk burung, bentuk binatang sederhana atau tumbuhan, seperti kuncup, daun, bunga atau lung-lungan. Dalam satu motif, ornamen pengisi itu dapat hanya satu macam ornamen pengisi, dapat pula diisi dengan beberapa macam ornamen pengisi (Susanto, 1980:212). Bila pengendalian hidupnya salah akan masuk di dunia bawah atau lembah kesengsaraan dan apabila pengendalian hidupnya dapat mencapai kebenaran maka, ia akan masuk dunia atas atau kemuliaan abadi. Maka motif tersebut secara keseluruhan adalah menggambarkan bahwa hidup itu adalah tidak gampang menjadi sengsara atau mulia adalah tergantung dari perbuatan dan pengendalian hidup dari manusia itu sendiri. Demikian sebagai gambaran bahwa motif-motif batik yang klasik pada umumnya mempunyai dua macam keindahan yaitu: Keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan yang harmoni dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan atau panca indera. Keindahan jiwa, atau keindahan filosofis, yaitu rasa indah yang diperoleh karena susunan arti lambang ornamen-ornamennya yang membuat gambaran sesuai dengan paham yang dimengertinya (Susanto, 1990:212). Mengenai ornamen utama dan isen yang merupakan unsur motif batik, masing-masing ditinjau tersendiri pada bagian lain, pada bagian ini akan ditinjau lebih lanjut mengenai susunan motif yang merupakan rangkaian dari unsur-unsur motif dan pengertian serta jiwanya yang terkandung didalamnya.
11
2) Batik Pesisiran Batik pesisiran adalah semua batik yang pembuatannya dikerjakan diluar Solo dan Yogya. Karena dibuat didaerah pesisir yang sarat pengaruh dari luar, batik pesisiran mempunyai ragam hias dan warna mengandung unsur-unsur budaya dari luar. Berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya, batik Pesisiran memiliki ciri khas antara lain, ragam hias bersifat naturalistis dan pengaruh berbagai kebudayaan asing terlihat kuat, warna beraneka ragam (Djoemena, 1990:8). Berdasarkan motifnya batik pesisir terdiri dari: a) Batik India atau Batik Sembagi Merupakan batik yang menerapkan ragam hias wastra India, yaitu kain patola dan chinz atau sembagi, serta mulai dibuat oleh pedagang-pedagang Arab dan Cina pada awal abad ke-19 dikawasan utara pulau Jawa (Doellah, 2002:154). b) Batik Belanda Merupakan jenis batik yang tumbuh dan berkembang antara tahun 1840 sampai dengan tahun 1840 sampai dengan tahun 1940, hampir semua sarung, pada mulanya hanya dibuat bagi masyarakat Belanda dan Indo-Belanda, dan kebanyakan dibuat di daerah pesisir (Pekalongan) (Doellah, 2002:164). c) Batik Cina Merupakan pengaruh budaya Cina pada kehidupan di bumi Nusantara yang telah berlangsung lebih dari seribu tahun yang lalu, masuk melalui arus perpindahan penduduk dan perdagangan orang-orang Cina yang berasal dari Cina Selatan. Batik Cina adalah jenis batik yang dibuat oleh orang-orang Cina atau peranakan, yang menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos Cina,
12
seperti naga, singa, burung phoenix (burung hong), kura-kura, kilin (anjing berkepala singa), dewa dan dewi, ragam hias yang berasal dari keramik Cina kuna, serta ragam hias berbentuk mega dengan warna merah atau merah dan biru (Doellah, 2002:182). d) Batik Djawa Hokokai Batik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan batik di Pekalongan selama masa penjajahan Jepang di tahun 1942-1945, dengan pola hias dan warna yang dipengaruhi oleh budaya Jepang dan latar yang menampakkan pola batik keraton. Batik Djawa Hokokai berformat “pagi-sore”, yaitu ditata dengan dua pola dan dua nuansa warna berbeda dalam satu kain (Doellah, 2002:202). Pada batik pesisir dari berbagai daerah, warna dan tatawarna biru putih (kelengan), merah putih (bang-bangan), merah biru (bang-biru), merah-putih-hijau (bang-biru-ijo) hampir selalu ada, tentu saja dengan perbedaan nuansa warna menurut selera daerah yang bersangkutan. Dilihat dari segi ragam hias, warna dan tatacara serta gayanya, batik pesisir yang menonjol dan yang sampai sekarang masih digemari, antara lain batik dari daerah Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Garut, Madura dan Jambi. b. Menurut Kartika (2007:137), berdasarkan Polanya, batik dibedakan menjadi 2 antara lain, yaitu : 1. Batik Pola Klasik yaitu pengrajin batik secara utuh masih mengacu pada batik klasik dengan teknik pembatikan menggunakan pewarna sintetis. 2. Batik Pola Kreasi yaitu pembuatan batik tidak ideal lagi secara utuh (tidak sepenuhnya) mengacu pada batik klasik, teknik pewarnaan maupun pembatikan bebas (cap atau printing) dan menggunakan pewarna sintetis.
13
c. Batik berdasarkan motif batik yang beredar dipasaran, dibedakan menjadi 2 yaitu: a) Motif yang bersifat klasik: Merupakan motif batik yang sudah ada sejak dahulu kala, sido luhur, sido mukti, sido karno, srikaton, bokor kencana, pringgodani, kembang asem dan wirasat. Ditambah dengan yang bermotif garis yaitu : kawung, parikesit, parang kusuma, gringsing, pamor, udan liris rujak sente, parang rusak, tirta tirja dan jlamprang. b) Motif yang bersifat moderen : Batik modern sudah tidak lagi menggunakan patokan dari batik klasik, tetapi cenderung mengikuti selera merancangnya dan disesuaikan dengan si pemakai (Lisbijanto, 2003:46). Ciri-ciri batik moderen yaitu mempunyai ragam hias bebas biasanya binatang, tumbuhan, rangkaian bunga, buah dan sebagainya, motif atau corak batik tidak mempunyai arti simbolik tertentu, warna yang digunakan bebas, tidak terikat pada pakem seperti biru, merah dan ungu, biasanya motif batik modern memiliki ciri daerah asal (Lisbijanto, 2003:48). Motif-motif batik yang tergolong motif-motif moderen, keindahan visual dan dan keindahan jiwa tidak menonjol atau tidak ada sama sekali dan yang ada hanya merupakan keindahan yang pertama. Sehingga sering terjadi bahwa pemberian nama motif batik tidak sesuai dengan ragam yang ada dalam motif tersebut (Susanto, 1990:213).
14
d. Menurut Sewan Susanto (1990:215) , berdasarkan pada pembagian bidang letak susunan motif, maka motif batik dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu: a) Golongan Motif Geometris Merupakan motif-motif yang tersusun atas unsur-unsur bentuk geometris, seperti lingkaran, segiempat, segitiga, dan sebagainya. Persamaan ciri-ciri motif golongan geometris yaitu motif banji, motif ganggong, motif ceplokan, motif seperti anyaman, motif parang dan lereng. b) Golongan Non-Geometris Merupakan motif-motif yang tersusun dari ornamen-ornamen tumbuhan dan tidak dapat dimasukkan geometris, terbagi 4 macam, antara lain: motif semen, buketan, dinamis, dan pinggiran. Dalam susunan tidak teratur meskipun dalam bidang luas akan terjadi berulang kembali susunan motif tersebut. e. Batik berdasarkan teknik pembuatan dibedakan menjadi 3 macam, antara lain:
a) Batik tulis Batik tulis adalah kain batik yang menggunakan teknik tulis dalam membentuk motif atau corak batik dengan menggunakan tangan dan alat bantu canting. Kain batik tulis mempunyai ciri khas yang tidak sama dengan setiap kain batik. Motif batik di corek pada kain dengan detail menggunakan media malam. Proses pembuatannya menghabiskan waktu sekitar 2 hingga 3 bulan(Lisbijanto, 2003:10).
15
b) Batik cap
Batik cap adalah kain yang cara pembuatan corak dan motifnya dengan menggunakan cap atau semacam stempel yang terbuat dari tembaga. Dalam hal ini proses pembuatannya tidak serumit dan selama batik tulis. Cap tersebut menggantikan fungsi canting dalam membatik. Cetakan motif tersebut dicelupkan ke dalam lilin atau malam kemudian diletakkan pada kain. Proses pembuatan batik dengan metode cap relatif cepat sekitar 2 hingga 3 hari. Namun, kain batik cap ini kurang mempunyai nilai seni, karena hasil dari proses terlinat sama dan kurang menarik bagi yang memahami batik (Lisbijanto, 2003:11).
c) Batik lukis
Batik lukis adalah kain batik yang proses pembuatannya dengan cara dilukis pada kain putih, dalam melukis juga menggunakan bahan malam yang kemudian diberi warna sesuai dengan kehendak seniman tersebut. Motif dan corak batik lukis tidak terpaku dengan desain pada umumnya tetapi sesuai dengan keinginan pelukis tersebut. Batik lukis merupakan pengembangan motif batik tulis dan batik cap. Pembuatan batik dengan metode lukis memakan waktu lama walaupun tidak seperti batik tulis karena motif dilukis langsung di media kain yang akan dibuat menjadi batik (Lisbijanto, 2003:12).
2. Batik Pesisir Batik pesisiran adalah batik yang berkembang dikawasan pantai utara Jawa seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Pekalongan. Kemunculannya dengan membawa ciri yang sangat kuat membuat para pengamat batik di zaman
16
pendudukan Belanda dengan tegas mengelompokkan batik Jawa menjadi dua, yaitu batik Vorstenlanden dan batik Pesisiran. Pengertian tersebut dianalisis oleh pemikiran Belanda pada akhir abad 19 (Kusrianto, 2013:208). Mulai tahun 1980-an antropolog Rens-Heringa meneliti batik dari pesisir utara Jawa, begitu pula Harmen C.Veldhuisen, seorang sosiolog dan kolektor batik. Keduanya berasal dari Belanda. Mereka tidak sependapat dengan Rouffaer yang menyatakan batik pesisir yang berwarna-warni mestinya berkembang kemudian. Dalam Five Centuries of Indonesian Textiles, Rens Heringa mengemukakan bahwa penelitian lebih baru mengungkapkan:”.... perkembangan gaya batik berwarna cerah dari pesisir utara Jawa, secara historis tidak dapat dipertanggungjawabkan bila dikaitkan dengan kematian perdagangan cina dari Gujarat dan Partai Koromandel pada akhir abad XVIII atau awal abad XIX”. Batik pesisir diperkirakan sudah mulai berkembang sejak abad XV (Ishwara, 2013:24). Malaka merupakan tempat pertemuan para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Mereka membawa barang dagangan dari tempat asal untuk dijual di Malaka dan membeli barang dari pedagang lain untuk keperluan pembeli di tempat asal. Barang-barang yang diperdagangkan di Malaka antara lain bahan makanan (beras), bahan pakaian (wol, katun, sutera), bahan pewarna pakaian (indigo), perak, tembaga, cermin, porselin, dan sebagainya. Kawasan Indonesia banyak ditawarkan rempah-rempah, seperti pala, merica, cengkih, beras, teh, malam tawon, kapur barus, kemenyan, kayu gaharu, cendana dan sebagainya. Ketika mengunjungi Jawa, Tomes Pires (Armando Cortesao, 1944) mencatat beberapa komoditas, seperti emas bermutu, tembaga,
17
bermacam ternak, ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, beras yang putih, dan”.... For merchandise they have countless Javanese cloths, which they take to Malacca to sell”. Dalam catatan lain, ketika mengunjungi pesisir sunda (Kelapa), Tomes Pires (Armando Cortesao, 1944) mencatat barang dagangan yang dibutuhkan dari Malaka sebagai berikut: “They buy white sinabaffs, both large and small, syinhaves, pachauelezez, balachos, atobalachos (these are white cloths). They buy kling cloths, enraladosof large and small, ladrilho which are then marketable, and they buy much. They buy pachak, catechu, and seeds from Cambay, turias, tiricandies, caydes in quantities. A great dial is used, there and bought for gold. Areca, rosewater, and thing like that are bought in Sunda”. Yang menarik dari catatan Tomes Pires adalah istilah Javanese cloth dan Kling cloth. Menurut Mattiebelle Gittinger(1982), istilah Kling cloth adalah pengertian umum untuk jenis kain (panjang) dari India, yang diperdagangkan untuk pasar Asia Tenggara. Ini terjadi pada saat kata Portugis menguasai Malaka tahun 1511. Istilah ini merujuk pada kata Kalinga, nama suatu tempat di India. Kain panjang dari India berukuran sekitar 27cm x 11cm, dibuat dengan teknik lukisan atau cetak rintang warna dan menyerupai batik. Batik yang jumlah ragamnya tak terhitung ini dibuat oleh pengrajin batik pesisiran yang telah memeluk agama Islam. Batik-batik itu dipasarkan tidak hanya Malaka, tetapi juga tempat-tempat lain diseluruh pelosok Indonesia. Penyebaran batik dilakukan oleh para pedagang muslim pesisir utara pulau Jawa. Mereka melakukan hal itu sambil menawarkan komoditas lain yang diangkut dengan kapal ke pasar manca.
18
Produksi batik pesisir tumbuh dengan pesat sekitar tahun 1870-an, didukung oleh kemajuan transportasi dengan adanya kereta api dan kapal uap. Pedagang dan penghasil batik berusaha memenuhi selera konsumen yang beragam yang senantiasa menuntut inovasi baru. Akibatnya, batik yang dibuat di sepanjang pesisir terutama di daerah Pekalongan, coraknya sangat dinamis (Ishwara, 2013:27). Fenomena kemunculan batik pesisiran adalah suatu “pemberontakan” terhadap bentuk batik klasik yang telah lama ada. Motif batik pesisiran dianggap “nyeleh”, tidak mirip batik yang telah akrab dalam kehidupan orang Jawa, terutama dalam tampilan warna dan motifnya (Kusrianto, 2013:208). Batik pesisiran adalah batik nonklasik, nama lain batik moderen. Batik pesisiran tidak mengenal pengkhususan pengguna sebagaimana batik Keraton. Batik pesisiran yang merupakan budaya silang berbagai bangsa yang pernah berinteraksi dengan penduduk didaerah pesisir utara pulau Jawa mampu menembus batas-batas bangsa, mengabaikan batas-batas kasta maupun strata sosial. Dengan demikian, batik pesisiran cenderung lebih luwes, tidak kaku, dan bernuansa lebih ceria (Kusrianto, 2013:209). Batik pesisir terbagi menjadi delapan model, batik pesisir tradisional yang merah biru, batik hasil pengembangan pengusaha keturunan, khususnya Cina dan Indo Eropa, batik yang dipengaruhi kuat oleh Belanda, batik yang mencerminkan kekuasaan kolonial, batik hasil modifikasi pengusaha Cina yang ditujukan untuk kebutuhan kalangan Cina, kain panjang, batik hasil pengembangan dari model batik merah biru, kain adat.
19
Ragam hias batik pesisir utara Jawa, pada kenyataannya, lebih merupakan gabungan ragam hias daripada satu jenis ragam hias. Kelompok ragam hias yang cukup dominan adalah ragam hias flora menyusul geometris, dan fauna (Hasanudin, 2001:148). 3.
Cara Pembuatan Raport Pembagian motif-motif menurut rapor-rapor tertentu sebagai gambar dasar
dari suatu motif akan mempunyai beberapa keuntungan antara lain; jika seseorang menghendaki suatu motif dan disuruh membuat oleh tukang perencana gambar (desainer) maka contoh gambar tidak perlu seluruhnya, tetapi cukup sebagiam sebagai rapor gambar. Jika motif batik diajarkan pada suatu lembaga pendidikan sebagai suatu mata pelajaran maka cara memberikan contoh-contoh motif kepada para pengikut seluruh motif digambar lengkap (akan menghabiskan waktu dan tenaga) tetapi cukup diberikan contoh gambar sebagian saja, bila sautu contoh gambar perlu dikirim ketempat yang jauh, maka cukup mengirimkan rapor gambar pada tiap-tiap motif sehingga akan menjadi lebh praktis (Susanto, 1980:216) Cara menggambarkan motif batik menurut pembagian raport motif 4.1 Pola Tubruk Bila gambar rapor ABCD, disusun kekanan dan kekiri menurut arah horisontal dan kedepan dan kebelakang menurut arah horisontal dan kedepan dan kebelakang menurut arah vertikal akan terbentuk suatu motif dari dasar rapor ABCD.
20
A
D
B
C
Gambar 1. Pola Tubruk Sumber : Sewan Susanto, 1980:216
ABCD = ±
1langkah semua arah. Artinya rapor ABCD harus
disusun kearah horisontal dan vertikal dan bergeser satu langkah. Sistim susunan disebut “Tubruk” 4.2 Pola Tubruk Miring Bila Rapor segi empat WXYZ disusun ke arah garis miring kekanan dan kekiri maka akan tersusun suatu suatu motif dengan dasar rapor WXYZ.
Gambar 2. Pola Tubruk Miring Sumber : Sewan susanto, 1980:216
21
WXYZ = ±
1langkah. Sistim susunan disebut “Tubruk” miring.
Artinya rapor WXYZ harus disusun kearah garis miring yang miring kearah kanan maupun kearah kiri bergeser satu langkah. 4.3 Pola Parang Bila rapor motif belah ketupat OPQR disusun kearah garis miring maka akan terbentuk motif OPQR tersebut.
Gambar 3. Pola Parang Sumber : Sewan Susanto, 1980:216
OPQR = ±
1langkah
Artinya untuk memperoleh motif, rapor OPQR harus disusun kearah garis miring yang miring kekanan saja atau kekiri saja dan bergeser satu langkah. Sistim susunsn disebut “Parang” atau sisi miring. 3.4 Pola Pembagian Sarung dan pembagian kepala kain Kepala kain adalah bagian dari sehelai kain batik yang berwajah lain, baik dalam corak maupun warna. Kepala kain terdapat hanya pada kain sarun dan sering pula pada kain sarung dan sering pula pada kain panjang pesisir. Kain
22
panjang Solo-Yogya atau “Vorstenlanden tidak mempunyai kepala kain. Panjang sehelai kain sarung ±2m yang dapat dibagi atas badan, kepala kain dan sisi yang terdiri dari hiasan pinggir. Kepala kain terdiri dari hiasan pinggir, papan dan tumpal, yang merupakan bagian penting dari sehelai kain sarung. Ini dapat dilihat dari segi pengerjaannya dan coraknya yang kaya, rumit dan semarak. Lebar kepala kain sarung ±0,7m (±1/3 dari panjang kain tersebut) dan berada ditengah-tengah atau salah satu ujung umumnya disebelah kain dalam pemakaiannya (Nian, 1990:30).
Gambar 4. Pola Pembagian Sarung dan Kepala kain Sumber : Nian Djemuna, 1990:30
4.
Estetika Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang
filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni (Kartika, 2004:5).
23
Estetika dari kata Yunani aesthesis atau pengamatan adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan alam dan keindahan seni), diselidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan, dan sebagainya. Estetika dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika
deskriptif
menggambarkan
gejala-gejala
pengalaman
keindahan,
sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman. Misalnya ditanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri) (Surajiyo, 2012:101). Pengalaman estetika bukanlah sesuatu yang mudah muncul atau mudah diperoleh, karena untuk semua itu memerlukan pemusatan atau perhatian yang sungguh-sungguh. Pengalaman estetika dari seseorang adalah persoalan psikologis yang kini banyak pula dibahas didalam estetika. Pada dasarnya pengalaman estetik merupakan hasil suatu interaksi antara karya seni dan penghayatnya. Interaksi tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung dan dalam kondisi penangkapan nilai-nilai estetik yang terkandung didalam karya seni yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional (Dharsono, 2012:83).
24
C. Teori dan Kerangka Pikir 1. Estetika Teori Estetika yang digunakan sebagai landasan dalam pengkajian yang membahas tentang kajian corak batik Tegal yang diungkapkan oleh Dharsono Sony Kartika, Estetika merupakan bentuk apreasiasi dalam menghadapi dan menghargai atau menafsirkan makna yang terkandung di dalam karya seni. a. Unsur-unsur Rupa (unsur desain) 1) Unsur Garis Unsur garis merupakan dua titik yang dihubungkan. Garis bukan hanya sebagai garis tetapi juga sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis atau lebih tepat disebut goresan. Goresan atau garis yang dibuat seorang seniman akan memberikan pesan psikologis yang berbeda pada setiap garis yang dihadirkan. Garis mempunyai peranan sebagai garis, yang kehadirannya untuk memberi tanda dari bentuk logis, seperti yang terdapat pada ilmu-ilmu eksakta. Garis berperan sebagai lambang, informasi yang sudah merupakan pola baku dari kehidupan sehari-hari, seperti pola pada lambang yang terdapat pada logo, tanda pada peraturan lalu lintas, dan lambang-lambang lainnya. Garis memiliki peranan sifat formal dan non formal, misalnya garis geometris yang bersifat formal, beraturan, dan resmi. Garis non geometris bersifat tak resmi dan luwes, lemah gemulai, lembut, acak-acakan, yang semuanya tergantung oleh sipembuat garis. Dalam bidang seni dan desain, garis merupakan unsur yang memiliki peranan paling besar dan terpenting, karena garis memiliki peran ganda, yaitu
25
sebagai goresan nyata yang dapat menghasilkan nilai tersendiri, dan sebagai garis semu yang dapat membantu membentuk keindahan suatu karya seni. Semua jenis garis tersebut memiliki karakter-karakter tertentu. Garis nyata maupun garis semu mempunyai potensi sendiri-sendiri (Sanyoto, 2009:91). Berdasarkan karakter, garis dibedakan menjadi 2 yaitu: a) Garis horizontal Garis horizontal atau garis mendatar air mengasosiasikan cakrawala laut mendatar, pohon tumbang, orang tidur atau mati, dan benda-benda lain yang panjang mendatar, mengesankan keadaan istirahat. Garis horizontal memberi karakter tenang, damai, pasif, kaku. Garis ini melambangkan ketenangan, kedamaian, dan kemantapan. b) Garis vertikal Garis vertikal atau garis tegak mengasosiasikan benda-benda yang berdiri tegak lurus seperti batang pohon, orang berdiri, tugu, dan lain-lain. Garis vertikal mengesankan tak bergerak sesuatu yang melesat menusuk langit, mengesankan keadaan agung, jujur, tegas, cerah, cita-cita atau pengharapan. Garis vertikal memberikan karakter seimbang (stabil), megah, kuat tetapi statis dan kaku. Garis melambangkan kestabilan atau keseimbangan, kemegahan, kekuatan, kekokohan, kejujuran, dan kemashuran. c) Garis diagonal Garis diagonal atau garis miring kekanan atau kekiri mengasosiasikan orang lari, kuda meloncat, pohon doyong, dan lain-lain yang mengesankan objek
26
dalam keadaan tak seimbang dan menimbulkan gerakan akan jatuh. Garis diagonal memberikan karakter gerakan (movement), gerak lari atau meluncur, dinamis, tak seimbang, gerak gesit, lincah, kenes, dan menggetarkan. Garis diagonal melambangkan kedinamisan, kegesitan kelincahan dan kekenesan. d) Garis lengkung Garis lengkung meliputi lengkung mengapung, lengkung kubah, lengkung busur; memberi kualitas mengapung seperti pelampung, mengasosiasikan gumpalan asap, buih sabun, balon, dan semacamnya; mengesankan gaya mengapung (bouyancy), ringan dan dinamis. Garis ini memberi karakter ringan, dinamis, kuat; dan melambangkan kemegahan, kekuatan, dan kedinamisan. e) Garis lengkung S Garis lengkung S atau garis lemah gemulai (grace) merupakan garis lengkung majemuk atau lengkung ganda. Garis ini dibuat dengan gerakan melengkung ke atas bersambung melengkung kebawah atau melengkung kekanan bersambung melambung ke kiri, yang merupakan gerakan indah sehingga garis ini sering disebut “line of beauty”. Garis ini merupakan garis terindah dari semua garis; memberikan asosiasi gerakan ombak, pohon/padi tertiup angin, gerakan lincah bocah/anak binatang, dan semacamnya. Garis lengkung S memberi indah, dinamis, luwes, melambangkan keindahan, kedinamisan, dan keluwesan. f) Garis zig-zag Garis zig-zag merupakan garis lurus patah-patah bersudut runcing yang dibuat dengan gerakan naik turun secara spontan merupakan gabungan dari garis-
27
garis vertikal dan diagonal memberi sugesti semangat dan gairah. Garis zig-zag memberi karakter gairah (excited), semangat, bahaya, dan kengerian. Karena dibuat dengan tikungan-tikungan tajam dan mendadak maka mengesankan nervous, kalau irama musik seperti rock, metal, dan semacamnya. Garis ini melambangkan gerak semangat, kegairahan, dan bahaya (Sanyoto, 2012:96). 2) Unsur Shape (Bangun) Shape adalah suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya teksture. Fungsi shape dalam karya seni yaitu simbol perasaan seniman di dalam menggambarkan objek hasil subject matter. Shape mengalami perubahan dalam penampilannya (transformasi) yang sesuai dengan gaya dan cara mengungkapkan secara pribadi seniman. Shape bisa berupa wujud alam (figur) dan tidak menyerupai wujud alam (non figur). Perubahan wujud atau bentuk antara lain: stilasi, distorsi, transformasi dan deformasi. Stilasi merupakan cara penggambaran untuk mencapai bentuk keindahan dengan cara menggayakan objek dan atau benda yang digambar. Distorsi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter. Transformasi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara memindahkan (trans=pindah) wujud atau figur dari objek lain ke objek yang digambar. Deformasi merupakan penggambaran bentuk yang menekankan pada interpretasi karakter.
28
3) Unsur Texture (rasa permukaan bahan) Texture (tekstur) adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, sebagai usaha memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang pada perwajahan bentuk pada karya seni rupa secara nyata atau semu. 4) Unsur Warna Warna sebagai salah satu elemen atau medium seni rupa merupakan unsur susun yang sangat penting, baik di bidang seni murni maupun seni terapan. Warna mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia antara lain; warna sebagai warna, warna sebagai sebagai representasi alam, warna sebagai lambang/simbol dan warna sebagai simbol ekspresi. Warna sebagai warna yaitu warna memberi tanda pada suatu benda atau barang, membedakan ciri benda satu dengan lainnya, tanpa maksud tertentu dan tidak memberikan potensi apapun. Warna sebagai representasi warna yaitu penggambaran sifat objek secara nyata, atau penggambaran dari suatu objek alam sesuai dengan apa yang dilihatnya. Warna sebagai tanda/lambang/simbol merupakan lambang atau melambangkan sesuatu yang merupakan tradisi atau pola umum (Kartika, 2004:108). 5) Intensity/Chroma Intensity/Chroma diartikan sebagai gejala kekuatan/intensitas warna (jernih atau suramnya warna). Warna yang mempunyai intensity penuh atau tinggi adalah warna yang sangat menyolok dan menimbulkan efek yang brilian,
29
sedangkan warna yang intensity nya rendah adalah warna-warna yang lebih berkesan lembut. 6) Ruang dan Waktu Ruang dalam unsur rupa merupakan wujud tiga matra yang mempunyai: panjang, lebar, dan tinggi (punya volume). Ruang dalam seni rupa dibagi atas dua macam yaitu ruang nyata dan ruang semu. Ruang semu, artinya indera penglihatan menangkap bentuk dan ruang sebagai gambaran sesungguhnya yang tampak. Ruang nyata adalah bentuk dan ruang yang benar-benar dapat dibuktikan dengan indera peraba. b. Prinsip Desain Penyusunan atau komposisi dari unsur-unsur estetik merupakan prinsip unsur dalam desain. Hal-hal yang menjadi perhatian prinsip-prinsip komposisi saat menyusun karya seni antara lain: harmoni, kontras, unity, balance, simplicity, aksentuasi, dan proporsi. 1) Harmoni (Selaras) Harmoni atau selaras merupakan paduan unsur-unsur yang berbeda dekat. Yaitu unsur-unsur estetika dipadu secara berdampingan maka akan timbul kombinasi tertentu dan timbul keserasian (harmoni). Dapat menimbulkan laras dan desain yang halus umumnya berwatak laras, akan tetapi harmoni bukan berarti syarat untuk semua komposisi/susunan yang baik, sering kali penggunaan susunan harmonis banyak disukai pada masyarakat konservatif.
30
2) Kontras Kontras merupakan paduan unsur-unsur yang berbeda tajam. Kontras memiliki sifat merangsang minat, menghidupkan desain, kontras juga merupakan unsur komposisi dalam pencapaian bentuk. 3) Irama (Repetisi) Repetisi atau pengulangan merupakan unsur-unsur pendukung karya seni yang memiliki selisih antara dua wujud terletak pada ruang dan waktu. Repetisi memiliki sifat terukur dengan interval ruang adalah bagian penting di dalam desain visual. 4) Gradasi (Harmonis menuju kontras) Gradasi merupakan satu sistem paduan dari laras menuju ke kontras, dengan meningkatkan masa dari unsur yang dihadirkan. Gradasi merupakan penggambaran susunan monoton menuju dinamika yang menarik. c.
Azas Desain 1) Azas kesatuan (Unity)
Kesatuan adalah kohensi, konsistensi, atau keutuhan yang merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi diantara hubungan unsur pendukung karya, sehingga secara keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara utuh.
31
Keutuhan yang dihasilkan oleh dominan dan dominan dapat dihasilkan oleh ulang. Penekanan dominan adalah jenis yang paling sederhana dan paling mudah menciptakan keutuhan estetik. 2) Keseimbangan (Balance) Keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dari menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna, tekstur, dan kehadiran semua unsur dipertimbangakan dan memperhatikan keseimbangan. Ada dua macam keseimbangan yang diperhatikan dalam penyusunan bentuk yaitu keseimbangan formal dan keimbangan nonformal. 3) Keseimbangan formal (Formal balance) Keseimbangan formal adalah keseimbangan pada dua pihak berlawanan dari satu poros. Bentuk keseimbngan formal yaitu bentuk simetris secara eksak atau ulangan berbalik pada sebelah menyebelah. Keseimbangan formal bersifat statis dan tenang, tetapi tidak menampakkan kesan membosankan. 4) Keseimbangan informal (Informal balance) Keseimbangan informal adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari susunan yang menggunakan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan asimetris. Keseimbangan informal lebih rumit akan tetapi lebih menarik perhatian karena memiliki kesan dinamika yang memberi kemungkinan variasi yang lebih banyak. Yaitu mempunyai keunikan yang didasarkan atas perhitungan kesan
32
bobot visual dari unsur-unsur yang dihadirkan ataupun ukuran bentuk yang dominan, selain itu mempertimbangkan karakter pada masing-masing unsur. 5) Kesederhanaan (Simplicity) Kesederhanaan dalam desain, pada dasarnya adalah kesederhanaan selektif dan kecermatan pengelompokkan unsur-unsur artistik dalam desain. Aspek kesederhanaan yaitu kesederhanaan unsur arrtinya unsur-unsur dalam desain atau komposisi hendaklah sederhana, sebab unsur yang terlalu rumit sering menjadi bentuk yang mencolok dan penyendiri, asing atau terlepas sehingga sulit diikat dalam kesatuan keseluruhan. Kesatuan struktur artinya suatu komposisi yang baik dapat dicapai melalui penerapan struktur yang sederhana, dalam artinya sesuai dengan pola, fungsi atau efek yang dikehendaki. Kesederhanaan teknik artinya sesuatu komposisi jika mungkin dapat dicapai dengan teknik yang sederhana. 6) Aksentual (Emphasisi) Desain yang baik mempunyai titik berat untuk menarik perhatian (Center of interest). Ada berbagai cara untuk menarik perhatian pada titik berat tersebut, yaitu melalui perulangan ukuran serta kontras antara tekstur, warna, garis, ruang, bentuk atau motif. Aksentuasi melalui perulangan, misalnya kain bermotif (kain bergambar) dengan berbagai warna, hijau, dan biru, didekatkan pada kain polos berwarna hijau, maka warna hijau dalam kain bermotif akan nampak lebih menonjol. Aksentuasi melalui ukuran, suatu unsur bentuk yang lebih besar akan tampak menarik perhatian karena besarnya. Aksentuasi melalui susunan: tata letak dari unsur visual dengan benda-benda lain yang diatur sedemikian rupa sehingga
33
mengerahkan pandangan orang ke tempat atau objek yang menjadi pusat perhatian. 7) Proporsi Proporsi dan skala mengacu pada hubungan antara bagian dari suatu desain dan hubungan antara bagian dengan keseluruhan. Proposi tergantung pada tipe dan besarnya bidang, warna, garis, dan tekstur dalam beberapa area(Kartika, 2007:69-87).
34
2. Kerangka Pikir
Letak geografis pesisir utara Pulau Jawa
Sejarah masuknya batik Tegal pengaruh pedalaman (Sunan Amangkurat I)
Budaya masyarakat setempat
Kebutuhan pasar
Batik Tegal
Batik Tegal Gaya Pedalaman
Batik Tegal Gaya Pesisir
Batik Tegal Gaya Kontemporer
Estetika
Struktur
Prinsip Desain
Unsur Desain
Bagan 1. Kerangka Pikir
Azaz Desain
35
Uraian dari kerangka pikir menyangkut penelitian tentang batik Tegal dilatarbelakangi oleh 4 faktor yaitu pertama budaya masyarakat. Budaya merupakan sesuatu yang berkenaan dengan hasil karya. Kota Tegal memiliki bermacam-macam kebudayaan salah satunya adalah batik yang merupakan warisan budaya Indonesia. Budaya batik yang di wariskan orangtua pengrajin batik Tegal perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Faktor kedua yaitu wilayah kota Tegal terletak di pesisir pantai Utara pulau Jawa. Kota Tegal salah satu daerah yang merupakan tempat singgahnya para pedagang dari luar negeri menawarkan barang dagangannya. Negara-negara yang mempengaruhi corak batik Tegal yaitu negara Belanda, Cina, Jepang dan India. Corak batik Tegal dipengaruhi oleh motif-motifnya seperti motif buketan dari Belanda, motif naga dari Cina dan warna-warna cerah. Kegiatan perdagangan juga berperan dalam perkembangan proses pembatikan di kota Tegal. Hal tersebut memicu pengrajin batik di kota Tegal meningkatkan kreatifitas dan menciptakan karya seni batik yang dapat di terima oleh masyarakat. Faktor ketiga yaitu masuknya pembatik keraton yang dibawa Sunan Amangkurat I yang singgah dan berdagang di pesisir Utara Pulau Jawa, dari sini batik Tegal terpengaruh oleh batik keraton yang cenderung warna batik yaitu sogan. Faktor keempat yaitu adanya pengaruh dari kebutuhan pasar dengan motif batik Tegal saat ini. Batik Tegal terus berkembang mengikuti zaman yang dipengaruhi oleh permintaan pasar, yaitu konsumen batik baik dari kalangan orangtua juga oleh kalangan muda.