BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Status Gizi
2.1.1
Prinsip Gizi Pada Remaja Perempuan Pertumbuhan yang cepat (growth spurt) baik tinggi maupun berat badan
merupakan salah satu tanda periode adolensia. Kebutuhan zat gizi sangat berhubungan dengan besarnya tubuh hingga kebutuhan yang tinggi terdapat pada periode pertumbuhan yang cepat. Growth spurt pada anak perempuan sudah dimulai pada umur antara 10-12 tahun sedangkan pada laki-laki pada umur 12-14 tahun. Permulaan growth spurt pada setiap anak tidak selalu pada umur yang sama, terdapat perbedaan antara individual. Pengingkatan aktivitas fisik yang mengiringi pertumbuhan yang cepat ini sehigga kebutuhan zat gizi akan bertambah. Nafsu makan anak laki-laki sangat bertambah sehingga tidak akan menemukan kesukaran untuk memenuhi kebutuhannya. Anak perempuan biasanya lebih mementingkan penampilan, mereka enggan menjadi gemuk sehingga membatasi diri dengan memilih makanan yang tidak mengandung banyak energi dan tidak mau makan pagi. Mereka harus diyakinkan bahwa masukan zat gizi yang kurang dari yang dibutuhkan akan berakibat buruk baik bagi pertumbuhan maupun kesehatannya (Ambarwati, 2012). Usia reproduksi, tingkat aktivitas, dan status nutrisi mempengaruhi kebutuhan energi dan nutrisi pada remaja, sehingga dibutuhkan nutrisi yang sedikit lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya tersebut. Remaja
8
9
rentan mengalami defisiensi zat besi, karena kebutuhan remaja yang meningkat seiring pertumbuhannya, namun seorang remaja sering terlalu memperhatikan penambahan berat badannya. Remaja dengan berat badan kuarang dan anemia beresiko melahirkan bayi BBLR jika dibandingkan dengan wanita usia reproduksi yang aman untuk hamil (Ambarwati, 2012). Gizi atau makanan tidak saja diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan fisik dan mental serta kesehatan, tetapi diperlukan juga untuk fertilitas atau kesuburan seseorang agar mendapatkan keturunan yang selalu didambakan dalam kehidupan berkeluarga. 2.1.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
2.1.2.1 Jenis Kelamin Obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama pada saat remaja, hal ini disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal (Arisman, 2004). 2.1.2.2 Umur Obesitas yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka yang cepat. Anak yang obesitas cenderung menjadi obesitas pada saat remaja dan dewasa serta dapat berlanjut ke masa lansia (Arisman, 2004). Menurut Dietz, ada empat periode kritis terjadinya obesitas, yaitu: masa prenatal, masa bayi, masa adiposity rebound dan masa remaja. Obesitas yang terjadi pada masa remaja, 30% akan melanjut sampai dewasa menjadi obesitas persisten. Obesitas yang terjadi pada masa remaja ini perlu mendapatkan perhatian, sebab obesitas yang timbul pada waktu anak dan remaja bila kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit diatasi secara konvensional (diet dan olahraga). Selain itu, obesitas pada remaja tidak hanya menjadi masalah
10
kesehatan di kemudian hari, tetapi juga membawa masalah bagi kehidupan sosial dan emosi yang cukup berarti pada remaja (Virgianto dan Purwaningsih, 2006). Menurut Spear (Spear, 1996), masa remaja adalah masa terjadinya perubahan yang dramatik dalam kehidupan setiap manusia. Pertumbuhan yang relatif sama pada masa kanak-kanak secara tiba-tiba berubah dengan adanya suatu peningkatan kecepatan pertumbuhan. Lonjakan yang tiba-tiba ini berhubungan dengan perubahan hormonal, kognitif dan emosional yang menciptakan kebutuhan-kebutuhan khusus. 2.1.2.3 Tingkat Sosial Ekonomi Peningkatan pendapatan juga dapat mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Peningkatan kemakmuran di masyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya hidup dan pola makan dari pola makan tradisional ke pola makan makanan praktis dan siap saji yang dapat menimbulkan mutu gizi yang tidak seimbang. Pola makan praktis dan siap saji terutama terlihat di kota-kota besar di Indonesia, dan jika dikonsumsi secara tidak rasional akan menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan menimbulkan obesitas (Virgianto dan Purwaningsih, 2006). 2.1.2.4 Faktor Lingkungan Remaja belum sepenuhnya matang dan cepat sekali terpengaruh oleh lingkungan. Kesibukan menyebabkan mereka memilih makan di luar, atau menyantap kudapan (jajanan). Lebih jauh lagi kebiasaan ini dipengaruhi oleh keluarga, teman dan terutama iklan di televisi. Teman sebaya berpengaruh besar pada remaja dalam hal memilih jenis makanan. Ketidakpatuhan terhadap teman
11
dikhawatirkan dapat menyebabkan dirinya terkucil dan akan merusak kepercayaan dirinya (Arisman, 2004). 2.1.2.5 Faktor Genetik Genetik memegang peranan penting dalam mempengaruhi berat dan komposisi tubuh seseorang. Jika kedua orang tua mengalami obesitas, kemungkinan bahwa anak-anak mereka akan mengalami obesitas sangat tinggi (75-80%), jika salah satu orangtuanya mengalami obesitas kemungkinan tersebut hanya 40%, sedangkan jika tidak seorangpun dari orang tuanya mengalami obesitas, peluangnya relatif kecil (kurang dari 10%) (Hegarty, 1996; Whitney et al., 1990). 2.1.2.6
Metabolisme Basal Metabolisme basal adalah metabolisme yang dilakukan oleh organ-organ
tubuh dalam keadaan istirahat total (tidur). Kecepatan metabolisme basal setiap orang berbeda-beda, seseorang yang memiliki kecepatan metabolisme yang rendah cenderung lebih gemuk dibanding dengan orang yang kecepatan metabolismenya tinggi (Purwati, 2005). 2.1.2.7 Enzim Tubuh dan Hormon Enzim adipose tissue lipoprotein memiliki peranan penting dalam mempercepat proses peningkatan berat badan. Enzim ini berfungsi untuk mengontrol kecepatan pemecahan triglisida dalam darah menjadi asam-asam lemak dan kemudian disalurkan ke sel-sel tubuh untuk disimpan. Ketika seseorang membutuhkan bahan bakar untuk oksidasi, diperlukan sejumlah energi dan tubuh akan memilih glikogen atau lemak sebagai sumber energinya. Menurut
12
sejumlah penelitian, penggunaan glikogen akan menurunkan glukosa darah sehingga menyebabkan orang merasa lapar (Purwati, 2005). Insulin dapat menyebabkan kegemukan. Seseorang yang mengalami peningkatan insulin juga akan mengalami peningkatan penimbunanan lemak. Gangguan produksi hormon juga berhubungan dengan obesitas, misalnya hipotiroidism dan hipopituitorism. Orang yang seperti ini biasanya telah mengalami kegemukan sejak kecil. Obesitas yang berlanjut (menetap) sampai dewasa, terutama bila obesitas dimulai pada masa pra pubertas (Purwati, 2005). Berdasarkan penelitian longitudinal bahwa 25-50% atau paling banyak 74% anak obesitas akan mengalami obesitas pada masa dewasa (Subardja, 2005). 2.1.2.8 Status tinggal Status tinggal merupakan status bersama siapa remaja tinggal, baik bersama orang tua maupun tidak bersama orang tua (kos atau tinggal bersama keluarga lainnya). Ibu memegang peranan penting dalam menyediakan makanan yang bergizi bagi keluarga, sehingga memiliki pengaruh terhadap status gizi anak (Lazzeri et al., 2006; Rina dan Oktia, 2008). 2.1.2.9 Aktivitas Fisik Sebagian besar energi yang masuk melalui makanan pada anak remaja dan orang dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan banyak energi yang tersimpan sebagai lemak, sehingga orangorang yang kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi gemuk. Studi kasus yang dilakukan di SMU Semarang menunjukkan bahwa semakin tinggi aktivitas fisik remaja, semakin rendah kejadian obesitas. Hal ini menjelaskan bahwa tingkat
13
aktivitas fisik juga berkontribusi terhadap kejadian obesitas terutama kebiasaan duduk terus-menerus, menonton televisi, penggunaan komputer dan alat-alat berteknologi tinggi lainnya (Virgianto dan Purwaningsih, 2006). 2.1.2.10 Pola Makan Pola makan dengan kalori berlebih dan kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor yang dominan untuk terjadinya obesitas. Orang yang banyak makan akan memiliki gejala cenderung untuk menderita kegemukan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang serat merupakan faktor penunjang timbulnya masalah kegemukan. Berdasarkan hasil penelitian pada remaja di Yogyakarta dan Bantul terlihat bahwa semakin tinggi asupan energi dan lemak semakin tinggi kemungkinan terjadinya obesitas. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan kontribusi lemak terhadap total energi dengan terjadinya obesitas (Medawati et al., 2005). 2.1.3
Standar Status Gizi Status gizi merupakan hasil dari keseimbangan atau perwujudan dari
nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2014). Keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi menentukan seseorang tergolong dalam kriteria status gizi tertentu, dan merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam rentang waktu yang cukup lama (Sayogo, 2011). Status gizi baik memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang paling tinggi (Almatsier, 2009).
14
2.1.3.1 Gizi Seimbang (Balanced Nutrition) Gizi seimbang merupakan susunana makanan sehari-hari yang mengadung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Prinsip Gizi Seimbang (PGS) divisualisasikan sesuai dengan budaya dan pola makan setempat. Bentuk tumpeng dengan nampannya di Indonesia disebut sebagai Tumpeng Gizi Seimbang (TGS) yang dirancang untuk membantu memilih makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat, sesuai dengan berbagai kebutuhan menurut usia (bayi, balita, remaja, dewasa dan usia lanjut) dan sesuai keadaan kesehatan (hamil, menyusui, aktivitas fisik, sakit) (Irianto, 2014). Remaja merupakan kelompok umur yang rentan terhadap masalah gizi karena beberapa alasan, diantaranya: pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh (growth spurt) memerlukan energi lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olah raga, kecanduan alkohol dan obat-obatan meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi (Arisman, 2004). 2.1.3.2 Gizi Kurang (Undernutrition) Menurut Guthrie (1995), gizi kurang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi (energy intake) dengan kebutuhan gizi. Dalam hal ini terjadi ketidakseimbangan negatif, yaitu asupan lebih sedikit dari kebutuhan. Secara umum, kekurangan gizi menyebabkan beberapa gangguan dalam proses
15
pertumbuhan, mengurangi produktivitas kerja dan kemampuan berkonsentrasi, struktur dan fungsi otak, pertahanan tubuh, serta perilaku (Almatsier, 2009). 2.1.3.3 Gizi Lebih (Overnutrition) Ketidakseimbangan antara asupan energi (energy intake) dengan kebutuhan gizi memengaruhi status gizi seseorang. Ketidakseimbangan positif terjadi apabila asupan energi lebih besar dari pada kebutuhan sehingga mengakibatkan kelebihan berat badan atau gizi lebih (Guthrie, Helen A., 1995). Makanan dengan kepadatan energi yang tinggi (banyak mengandung lemak atau gula yang ditambahkan dan kurang mengandung serat) turut menyebabkan sebagian besar keseimbangan energi yang positif ini. Selanjutnya penurunan pengeluaran energi akan meningkatkan keseimbangan energy yang positif. Faktor penyebabnya adalah aktivitas fisik golongan masyarakat rendah, efek toksis yang membahayakan, kelebihan energi, kemajuan ekonomi, kurang gerak, kurang pengetahuan akan gizi seimbang, dan tekanan hidup (stress). Akibat dari kelebihan gizi di antaranya obesitas (energi disimpan dalam bentuk lemak), penyakit degenerative seperti hiperensi, diabetes, jantung koroner, hepatitis, dan penyakit empedu, serta usia harapan hidup semakin menurun (Irianto, 2014). 2.1.4
Pengukuran Status Gizi Penilaian status gizi dengan pengukuran langsung berupa: antropometri,
biokimia, klinis, dan biofisik; dan pengukuran tidak langsung berupa survei konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi.
16
2.1.3.1 Antropometri Penggunaan antropometri untuk menilai status gizi merupakan pengukuran yang paling sering dipakai. Antropometri dilakukan dengan mengukur beberapa parameter sebagai salah satu indikator status gizi diantaranya umur, tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit. Pada penelitian ini menggunakan pengukuran dengan antropometri untuk menghitung status gizi (Supariasa, 2014). Namun hanya ada empat parameter dalam pembahasan ini, yaitu: 1. Berat badan Antropometri paling sering digunakan adalah berat badan. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Berat badan dijadikan pilihan utama karena berbagai pertimbangan, antara lain: pengukuran atau standar yang paling baik, kemudahan dalam melihat perubahan dan dalam waktu yang relatif singkat yang disebabkan perubahan kesehatan dan pola konsumsi; dapat mengecek status gizi saat ini dan bila dilakukan secara berkala dapat memberikan gambaran pertumbuhan; berat badan juga merupakan ukuran antropometri yang sudah digunakan secara luas dan umum di Indonesia; keterampilan pengukur tidak banyak mempengaruhi ketelitian pengukuran. Faktor penting lainnya untuk penilaian status gizi adalah umur, maka perhitungan berat badan terhadap tinggi badan merupakan parameter yang tidak tergantung pada umur. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menimbang. Alat yang digunakan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan yaitu: mudah dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain dan mudah digunakan; harganya relatif murah
17
dan mudah diperoleh; skalanya mudah dibaca dan ketelitian penimbangan maksimum 0,1 kg (Supariasa, 2014). 2. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang. Selain itu, faktor umur dapat dikesampingkan dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac stick). Pengukuran tinggi badan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm (Supariasa, 2014). 3. Lingkar Lengan Atas (LILA) Pengukuran LILA merupakan suatu cara untuk mengetahui resiko Kekurangan Energi Protein (KEP) pada wanita usia subur (WUS). Pemantauan LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran LILA pada kelompok WUS adalah salah satu cara deteksi dini yang mudah untuk mengetahui resiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) (Supariasa, 2014). 4. Lingkar Perut (LP) LP lebih banyak digunakan secara klinis untuk menilai obesitas abdominal, dengan mengukur lemak yang terpusat di perut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan, LP merupakan prediktor terbaik untuk risiko penyakit degeneratif (Triwinarto et al., 2012). 2.1.3.2 Penilaian Status Gizi Pada Remaja Penilaian status gizi menggunakan bebercara apa parameter antropometri sebagai dasar. Kombinasi beberapa parameter disebut indeks antropometri.
18
Penilaian status gizi pada remaja dapat dilakukan secara antropometri dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), LILA, dan lingkar perut. a.
Indeks Massa Tubuh (IMT) IMT digunakan sebagai alat untuk memantau status gizi orang dewasa
yang berhubungan dengan kelebihan dan kekurangan berat badan (Supariasa, 2014). Perhitungan staus gizi remaja IMT/U dihitung dengan menggunakan software WHO Anthro Plus dengan indikator status gizi normal -2 SD hingga +2 SD. Status gizi kurang jika nilai IMT/U kurang dari -2 SD dan status gizi lebih jika IMT/U lebih dari +2 SD. b.
Lingkar Lengan Atas (LILA) Ambang batas LILA WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5
cm. apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau bagian merah pita LILA artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak (Supariasa, 2014). c.
Lingkar Perut Lingkar perut sebagai indeks distribusi lemak tubuh baik tersebar di
subkutan (perifer) dan sentral (visceral). Obesitas sentral jika lingkar perut lebih dari 90 cm pada laki-laki dan lebih dari 80 cm pada wanita (Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2009).
19
2.1.3.3 Pengukuran konsumsi Pengukuran konsumsi dengan survei konsumsi melalui: 1). metode kualitatif dilakukan dengan: metode dietary history, metode pendaftaran makanan (food list), metode frekuensi makanan (food frequency), dan metode telepon; 2). metode kuantitatif dengan: metode recall 24 jam, penimbangan makanan (food weighing), perkiraan makanan (estimated food records), metode inventaris (inventory method), metode food account, dan pencatatan (household food record); 3). metode kualitatif dan kuantitatif dengan metode riwayat makan (dietary history) dan metode recall 24 jam (Supariasa, 2014). Dalam penelitian ini menggunakan semi quantitative food frequency questionnaires (SQ-FFQ). Hasil pengukuran menggunakan SQ-FFQ akan dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) remaja. Semi Quantitative Food Frequency Questionnaires (SQ-FFQ) Data yang diperoleh berupa frekuensi konsumsi bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu (seperti hari, minggu, bulan atau tahun) (Supariasa, 2014). Metode SQ-FFQ ini memodifikasi frekuensi konsumsi pangan dengan cara menambahkan patokan ukuran rumah tangga (URT) dan berat pangan (gram). Berat pangan ditampilkan dalam porsi. Metode ini memudahkan peneliti untuk mendapatkan variasi, frekuensi, dan kuantitas pangan sehingga zat gizi dapat dikorelasikan dengan indeks masa tubuh, status penyakit, sosial ekonomi, kondisi atau kesehatan lingkungan dan perilaku seseorang atau masyarakat (Gibson, 2005; Widajanti, 2009).
20
2.2
Pola Aktivitas Fisik Aktivitas fisik menurut BPS merupakan pergerakan anggota tubuh yang
menyebabkan pembakaran kalori yang dilakukan minimal 30 menit berturut untuk memelihara kesehatan fisik dan mental serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap bugar dan sehat sepanjang hari (Badan Pusat Statistik, 2013). Saat beraktivitas, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk menghantarkan oksigen dan zat-zat gizi keseluruh tubuh dan digunakan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Seberapa banyak otot yang bergerak, seberapa lama dan seberapa berat pekerjaan yang dilakukan mempengaruhi jumlah energi yang dibutuhkan (Almatsier, 2009). Berikut beberapa aktivitas harian remaja selain sekolah: 2.2.1
Aktivitas Aktif
2.2.1.1 Olahraga Derajat kesehatan optimal dapat dipertahankan melalui aktivitas fisik seperti olahraga cukup dan dilakukan secara teratur. Olahraga dan aktivitas fisik, yang tidak berimbang dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi dapat menyebabkan berat badan tidak normal. Olahraga dan kegiatan fisik diharapkan selalu seimbang dengan asupan nutrisi dan masukan energi yang diperoleh dari makanan seharihari (Departemen Kesehatan RI, 1995). Olah raga yang baik harus dilakukan secara teratur, sedangkan macam dan takaran olahraga tergantung menurut usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan.
21
2.2.1.2 Ekstrakurikuler Ekstrakurikuler merupakan bagian dari aktivitas pendidikan di luar mata pelajaran yang diselenggarakan untuk membantu pengembangan siswa sesuai dengan potensi, bakat, kebutuhan, dan minat siswa melalui kegiatan yang dibuat oleh tenaga kependidikan dan pendidik yang berkewenang dan berkemampuan di sekolah (Kurniawan dan Karyono, 2010). 2.2.2
Aktivitas Pasif (Perilaku Sedentari) Anak-anak harus diberikan dukungan untuk beraktivitas di luar rumah
agar tidak menghabiskan sepanjang waktu sepulang sekolah melakukan kegiatan kurang gerak (sedentarian) seperti menonton televisi atau main komputer dan video game. Kegiatan sedentarian yang dilakukan lebih dari dua jam dapat menyebabkan obesitas pada anak (Dowshen, 2005). 2.2.2.1 Menonton Televisi dan Main Game Televisi juga memberikan dampak terhadap pemilihan makanan anak karena iklan-iklan menarik yang ditayangkan biasanya merupakan iklan makanan dengan kalori tinggi (Astrup, 2006). Berdasarkan penelitian di Semarang tahun 2012 pada remaja usia 18-20 tahun didapatkan hasil perilaku sedentari, 89,5% memiliki kebiasaan menonton televisi, 100% memiliki kebiasaan bekerja dengan komputer atau laptop, 26,7% memiliki kebiasaan bermain video game, 100,0% memiliki kebiasaan duduk-duduk, 48,8% remaja memiliki lama waktu tidur yang buruk (Cahyani, 2012). Penelitian yang dilakukan kepada alumni Harvard University, sepanjang tahun 1962-1978 terdapat 1413 orang meninggal, 45% disebabkan karena penyakit jantung dan 32% lainnya disebabkan kanker. Mereka
22
yang meninggal memiliki gaya hidup sedentari. Sedangkan yang memiliki kebiasaan berjalan/ berlari 20 mil/minggu memiliki kecenderungan hidup 2 tahun lebih lama dibandingkan yang berjalan/ berolahraga kurang dari 5 mil/minggu (Rosita, 2012). 2.2.2.2 Media Sosial Media yang banyak digunakan remaja saat ini salah satunya adalah internet dan social media. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang, dimana 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial (Kemenkominfo, 2013). Persentase aktivitas jejaring sosial Indonesia mencapai 79,72 persen, tertinggi di Asia, mengalahkan Filipina (78 persen), Malaysia (72 persen), China (67 persen) (Mohamad, 2013). Pengguna aktif berada pada rentan usia 18 hingga 29 tahun dan pengguna social media dan social sharing tertinggi adalah perempuan (Heni, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Nurmihasti pada tahun 2012, diketahui bahwa pelaku utama yang meramaikan pergerakan sosial media di Indonesia sebagian besar didominasi oleh usia remaja, khususnya mereka para peserta didik atau pelajar. Penelitian lain memaparkan bahwa pengguna situs jejaring sosial di Indonesia mayoritas adalah dari kalangan remaja usia sekolah, dengan peningkatan pengguna situs jejaring sosial Facebook pada 2009 sebanyak 700% dibanding pada tahun 2008. Penggunaan sosial media merupakan salah satu kegiatan sedentari. Kemajuan teknologi ini membuat remaja menghabiskan
23
banyak waktu untuk mengecek sosial media melalui gadget yang dimiliki baik laptop maupun smartphone (Isnainiyah, 2012). 2.2.3
Istirahat Anak usia sekolah sebaiknya diberikan jadwal waktu tidur untuk mereka
tepati karena waktu tidur yang kurang dapat menjadi pemicu terjadinya obesitas selain perilaku-perilaku negatif lainnya seperti terlalu mengantuk di sekolah sehingga tidak dapat menerima pelajaran dengan baik (Chaput dan Jean-Phillippe, 2007). Pola tidur dengan durasi kurang dari 7 jam dihubungkan dengan kenaikan indeks massa tubuh, baik pada anak-anak, remaja maupun pada orang dewasa pada penelitian- penelitan sebelumnya. Durasi waktu tidur yang pendek dikaitkan dengan penurunan leptin dan meningkatnya grelin. Perubahan hormon ini yang mungkin berkontribusi terhadap kenaikan indeks masaa tubuh (Taheri et al., 2004). Hasil penelitian (Papalia et al., 2010) menyatakan bahwa remaja yang obesitas tidur lebih sedikit dibanding remaja yang normal dan underweight. Durasi tidur ditemukan berhubungan dengan risiko overweight dan obesitas pada remaja Australia 10-15 tahun.
2.3
Pola Makan
2.3.1
Pola makan harian Orang Indonesia makan tiga kali sehari yaitu sarapan di pagi hari, makan
siang dan makan malam. Makanan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan khususnya di usia remaja. Konsumsi makanan yang kurang, baik secara jumlah maupun kualitas akan mengakibatkan terjadinya gangguan proses
24
metabolisme dalam tubuh, yang tentunya mengarah pada timbulnya suatu penyakit. Sehingga dalam hal mengkonsumsi makanan, yang perlu diperhatikan adalah kecukupannya agar didapatkan suatu fungsi tubuh yang optimal (Almatsier, 2009). Angka kecukupan gizi dihitung menggunakan hasil perhitungan nutrisurvey yang kemudian dibandingkan dengan AKG remaja perempuan. Cut off points tingkat kecukupan zat gizi (Jayanti et al., 2011): a. Kurang (<80%) b. Normal (80-120%). c. Lebih (≥ 120% AKG) 2.3.2
Aspek Sosio-Kultural Makanan Selain peran biologik yaitu untuk memenuhi rasa lapar, makanan
mempunyai peranan sosio-kultural. Den Hartog et. al (Almatsier, 2009) mengelompokkannya sebagai berikut : 2.3.2.1 Fungsi Kenikmatan (Gastronomik) Manusia makan untuk mendapatkan kenikmatan. Kesukaan makanan antar bangsa dan suku berbeda. Makanan di daerah tropik biasanya lebih berbumbu. Ini kemungkinan secara naluri penduduk negara tropik sejak dulu kala telah tahu bahwa pemberian bumbu banyak pada makanan dapat menghambat pembusukan. Secara umum, makanan yang disukai adalah makanan yang memenuhi selera yaitu dalam rasa, bau, dan tekstur (Almatsier, 2009).
25
2.3.2.2 Makanan Untuk Menunjukkan Jati Diri Makanan sering dianggap sebagai bagian penting untuk menyatakan jati diri seseorang atau sekelompok orang. Di Jepang misalnya, sushi merupakan makanan terhormat untuk disajikan kepada tamu-tamu. Di sebagian besar Sumatera, daging dianggap sebagai makanan berprestise (Almatsier, 2009). 2.3.2.3 Fungsi Religi Dan Magis Banyak symbol religi dan magis dikaitkan dengan makanan. Dalam agama Islam, kambing sering dikaitkan dengan upacara-upacara penting dalam kehidupan, seperti pada upacara akikoh dan khitan. Pada masyarakat Jawa di berbagai upacara selamatan dihidangkan nasi tumpeng atau nasi kuning (Almatsier, 2009). 2.3.2.4 Fungsi Komunikasi Makanan merupakan media penting dalam upaya manusia bersosialisasi. Dalam keluarga, kehangatan hubungan antar anggotanya terjadi saat makan bersama. Begitu pula di keluarga besar diupayakan pertemuan secara berkala dengan makan bersama untuk mempererat hubungan silaturahmi. Antar tetangga juga sering dilakukan tukar-menukar makanan. Dalam dunia bisnis, kesepakatan sering diperoleh dalam jamuan makanan (Almatsier, 2009). 2.3.2.5 Fungsi Status Ekonomi Makanan sering digunakan untuk prestise atau status ekonomi. Semua budaya memiliki makanan yang dianggap berprestise (Almatsier, 2009). Saat ini makanan dianggap sebagai gaya hidup. Remaja sering makan di tempat-tempat bergengsi dan mengunggah foto-foto makanannya di situs jejaring sosial.
26
2.3.2.6 Simbol Kekuasaan Melalui
makanan
seseorang
atau
sekelompok
masyarakat
dapat
menunjukkan kekuasaannya terhadap orang atau kelompok masyarakat lain. Majikan member makanan yang berbeda kepada bawahan atau pembantunya. Dalam keadaan berperang atau bermusuhan, suatu negara menetapkan embargo bahan pangan terhadap negara musuhnya (Almatsier, 2009). 2.3.3
Pola Makan Seimbang (Well Balanced Diet) Tumpeng Gizi Seimbang (TGS) menggambarkan empat prinsip gizi
seimbang yaitu beragam makanan sesuai kebutuhan, kebersihan makanan, aktivitas fisik, dan pemantauan berat badan ideal. TGS terdiri dari beberapa potongan tumpeng: satu potong besar, dua potong sedang, dua potong kecil, dan di puncak terdapat potongan terkecil. Luas potongan TGS menunjukkan porsi yang harus dikonsumsi per hari oleh setiap orang. TGS dialasi oleh air putih, karena air putih merupakan bagian terbesar dan zat gizi esensial untuk hidup sehat dan aktif (Irianto, 2014). Pesan-pesan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) diantaranya: 1). Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan, 2). Banyak makan sayuran dan cukup buahbuahan, 3). Biasakan mengkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi, 4). Biasakan mengkonsumsi anekaragam makanan pokok, 5). Batasi konsumsi pangan manis, asin, dan berlemak, 6). Biasakan sarapan, 7). Biasakan minum air putih yang cukup dan aman, 8). Biasakan membaca label pada klemasan pangan, 9). Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih mengalir, 10). Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal (Irianto, 2014).
27
Gambar 2.1 Tumpeng Gizi Seimbang (Irianto, 2014) Kebutuhan air putih dalam sehari minimal dua liter (delapan gelas). Potongan besar tumpeng selanjutnya merupakan golongan makanan pokok (sumber karbohidrat) yang dianjurkan dikonsumsi tiga hingga delapan porsi per hari. Selanjutnya, terdapat golongan sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral. Potongannya berbeda luas untuk menekankan pentingnya peran dan porsi setiap golongan. Ukuran potongan sayur dalam PGS sengaja dibuat lebih besar dari buah yang terletak di sebelahnya, ini berarti jumlah sayur yang harus dikonsumsi setiap hari sedikit lebih besar (3-4 porsi) daripada buah (2-3 porsi). Kemudian di lapisan ketiga ada golongan protein seperti daging, telur, ikan, susu, dan produk susu (yogurt, mentega, keju, dan lain-lain) dipotongan kanan dan dipotongan kiri kacang-kacangan serta hasil olahan seperti tahu, tempe, dan oncom. Puncak TGS makanan dalam potongan yang sangat kecil adalah minyak, gula dan garam yang dianjurkan dikonsumsi seperlunya. Pada bagian bawah tumpeng terdapat PGS lain yaitu pola hidup aktif dengan berolahraga, menjaga kebersihan, dan memantau berat badan (Irianto, 2014).
28
2.3.4
Pola Makan Remaja Dibandingkan segmen usia lain, diet yang tidak adekuat adalah masalah
yang paling umum dialami remaja putri. Gizi tidak adekuat akan menimbulkan masalah kesehatan yang akan mengikuti sepanjang kehidupan. Kekurangan gizi dalam masa remaja dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk emosi yang tidak stabil, keinginan untuk menjadi kurus yang tidak tepat, dan ketidakstabilan dalam gaya hidup dan lingkungan sosial secara umum. Beberapa perilaku spesifik yang umumnya dipercaya menyebabkan masalah gizi pada ramaja putrid adalah: (1). Kurang didampingi ketika mengkonsumsi makanan tertentu, (2). Kurangnya perhatian dalam memilih makanan di luar rumah, (3). Kurangnya waktu uantuk mengkonsumsi secara teratur, (4). Melewatkan waktu makan satu kali atau lebih setiap hari, (5). Mulai mengkonsumsi alcohol, (6). Pemilihan makanan selingan yang kurang tepat, (7). Perhatian terhadap makanan tertentu yang menyebabkan jerawat, (8). Takut mengalami obesitas, (9). Tidak mau minum susu (Irianto, 2014). Selain itu remaja juga memiliki kebiasaan makan cemilan diluar jam makan. Gaya hidup duduk lama sambil ngemil makanan tinggi kalori dan lemak dan rendah gizi serta nutrisi memicu kelebihan berat badan pada remaja (Hasdianah et al., 2014). 2.3.5
Makanan cepat saji (Fast food) Makanan cepat saji merupakan makanan yang tersedia dan siap untuk
dimakan dalam waktu cepat, seperti fried chiken, hamburger atau pizza. Makanan cepat saji umumnya mengandung kalori, sodium (Na), gula, dan kadar lemak yang tinggi tetapi rendah serat, asam akorbat, kalsium, vitamin A, dan folat. Makanan
29
cepat saji merupakan gaya hidup remaja (Khomsan, 2004). Mudahnya memperoleh makanan siap saji mempermudah tersedianya variasi makanan sesuai daya beli dan selera. Selain itu, cocok bagi mereka yang selalu sibuk karena pengolahan dan penyiapannya lebih cepat dan mudah (Restiani, 2012). Kehadiran makanan cepat saji dalam industri makanan Indonesia dapat mempengaruhi pola makan khususnya remaja di kota dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas.
Tempat makan makanan fast food menjadi
tempat bersantai. Makanan di restoran fast food menawarkan harga terjangkau bagi mereka, penyajiannya cepat dan jenis makanannya memenuhi selera remaja. Manajemen yang handal dan juga dilakukannya terobosan misalnya pelayanan yang praktis, desain interior restoran dibuat rapi, menarik dan bersih tanpa meninggalkan unsur kenyamanan, serta rasanya yang lezat membuat mereka yang sibuk dalam pekerjaanya memilih alternatif untuk mengkonsumsi jenis fast food, karena pelayanan lebih cepat dan juga mengandung gengsi bagi sebagian masyarakat. Bahkan banyak keluarga yang memilih makanan diluar dengan jajanan fast food di hari libur (Khomsan, 2004). Berdasarkan hasil penelitian, kentang goreng dan fried chicken merupakan makanan cepat saji yang banyak dimakan saat makan siang atau makan malam remaja di enam kota besar di Indonesia seperti di Denpasar, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan 1520% remaja di Jakarta mengonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan siang dan 1-6% lainnya mengonsumsi pizza dan spaghetti. Apabila makanan jenis ini dikonsumsi berlebih dan terus-menerus dapat menyebabkan gizi lebih
30
(Restiani, 2012). Dalam penelitian ini akan dilihat konsumsi fast food diantaranya: ayam goreng, kentang goreng, burger, pizza, spaghetti, hot dog, donat, mie instan dan soft drink, diantaranya : coca-cola, sprite, fanta, pepsi (Badjeber et al., 2009). 2.3.6
Pengontrolan Berat Badan Buruknya status gizi remaja diduga disebabkan berbagai praktik
penurunan berat badan yang dilakukan remaja demi mendapatkan tubuh ideal yang di tampilkan di berbagai media (Tucci dan Peters, 2008; Vonderen, 2012) dan tekanan teman sebaya (Ryde et al., 2011). Pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat pada remaja. Perilaku remaja banyak dipengaruhi oleh tekanan dari teman sebaya. Teman sebaya diakui dapat mempengaruhi seorang remaja dalam berperilaku. Kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup (Papalia et al., 2001). Penelitian sebelumnya mengenai gangguan makan dan perilaku penurunan berat badan yang tidak sehat pada remaja wanita di Australia di dapatkan hasil 33% remaja mengalami gangguan makan, 57% responden melakukan praktik penurunan berat badan yang tidak sehat, dan 12% mengalami disorientasi body image. Faktor yang mempengaruhi pola perilaku ini adalah tekanan teman sebaya, tekanan media dan persepsi bahwa penurunan berat badan yang tidak sehat tidak berbahaya bagi mereka (Ryde et al., 2011). Remaja memiliki pandangan tersendiri mengenai tubuhnya (body image) yang seringkali salah (Notoatmodjo, 2010). Hal itu sering menjadi penyebab masalah, karena remaja menerapkan pengaturan pembatasan makanan yang salah
31
untuk memelihara kelangsingan tubuhnya, sehingga kebutuhan gizi tidak terpenuhi dan mendorong terjadinya gangguan gizi (Kathlen dan Sylvia, 2008; Sayogo, 2011). Perilaku pengontrolan berat badan yang tidak sehat yang banyak dilakukan remaja berdasarkan beberapa penelitian diantaranya melewatkan jam makan untuk menurunkan berat badan (skipping meals), mengkonsumsi suplemen diet, sengaja memuntahkan makan untuk menurunkan berat badan (self-induced vomiting), puasa 24 jam atau lebih, metode diet khusus seperti OCD (Obsessive Corbuzier’s Diet), vegetarian, atau hanya makan satu jenis makanan tertentu (crush dieting). Dalam beberapa penelitian puasa merupakan perilaku yang paling banyak dilakukan, diikuti dengan makan satu jenis makanan, memuntahkan makanan dengan sengaja, diuretik/obat pencahar, pil penurun berat badan, dimana puasa dan melewatkan jam makan adalah perilaku yang paling banyak dilakukan (Ryde et al., 2011; Thøgersen-ntoumani et al., 2011; Yu, 2011). Melewatkan jam makan juga merupakan praktik pengontrolan berat badan yang banyak dilakukan remaja. Berdasarkan data BPS tahun 2013 didapatkan data masyarakat Bali yang berusia 10 tahun ke atas melewatkan sarapan pagi 23,2%, lebih tinggi jika dibandingkan angka nasional 14,33% (Badan Pusat Statistik, 2013). Penelitian lainnya di Amerika, 11% remaja melakukan pengontrolan berat badan yang ekstrim yaitu dengan memuntahkan makanan secara teratur untuk menurunkan berat badan (self-induced vomiting). Di Australia dari 606 remaja perempuan yang disurvey didapatkan 9% memuntahkan makanan, 6% menggunakan pil diet, 6% menggunakan diuretik/pencahar secara teratur untuk mengontrol berat badannya dan 11% dari responden melakukan paling tidak salah
32
satu praktik penurunan berat badan yang ekstrim, dan 0,4% tetap melakukan diet walaupun mereka sudah sangat kurus (underweight berdasarkan standar BMI) (Ryde et al., 2011; Thøgersen-ntoumani et al., 2011). Penelitian lain di Australia menyebutkan bahwa proporsi perempuan sangat signifikan yaitu 10-20% melakukan praktik penurunan berat badan yang tidak sehat yang menghambat intake nutrisi dan energi, termasuk menghindari daging (sumber zat besi, protein, dan zink), produk susu (sumber kalsium), makanan mengadung tepung (sumber energi dan serat), dan menggunakan suplemen diet atau mengganti makanan dengan makanan diet yang tidak mengandung gizi seimbang (Ryde et al., 2011).
2.4
Hubungan Pola Aktivitas dan Pola Makan dengan Status Gizi Faktor yang mempengaruhi status gizi diantaranya zat gizi dalam bahan
makanan, ada/tidak program pemberian makanan di luar keluarga, daya beli keluarga yang berhubungan dengan pendapatan, kebiasaan makan orang tua pemeliharaan kesehatan dan faktor lingkungan (Supariasa, 2014). Kesehatan mempengaruhi kebutuhan nutrisi seseorang. Ketika saat dibutuhkan asupan yang lebih baik seperti protein tinggi untuk mempercepat proses penyembuhan. Sedangkan menurut Ambarwati, status gizi secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Ketiga faktor ini mempengaruhi tingkat kebutuhan nutrisi yang selanjutnya mempengaruhi status gizi (Ambarwati, 2012). Semakin muda usia maka kebutuhan nutrisi semakin tinggi. Nutrisi dibutuhkan untuk proses tumbuh kembang. Sedangkan untuk pola aktivitas, semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka semakin banyak energi
33
yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga diperlukan asupan nutrisi yang lebih banyak (Irianto, 2014). Bagan Hubungan Pola Aktivitas dan Pola Makan dengan Status Gizi
Konsumsi makan
Umur
STATUS GIZI
Kesehatan
Tingkat kebutuhan nutrisi
Jenis kelamin
Aktivitas fisik
Gambar 2.2 Teori faktor yang mempengaruhi status gizi, modifikasi teori Call dan Levinson dan teori Ambarwati (Ambarwati, 2012; Supariasa, 2013).