BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsruktivisme Konstruktivisme adalah suatu posisi filosofis dan psikologis yang banyak berperan tentang belajar individu dan memahami yang dikonstruksi oleh individu tersebut (Jacob, 2001: 7). Pendekatan konstruktivisme memanifestasikan diri-sendiri dalam kelas dalam berbagai cara: (1) memilih materi pelajaran (misal, menggunakan materi yang siswa dapat memanipulasikan atau menggunakan interaksi
terhadap
lingkungannya),
(2)
memilih
aktivitas
(misal,
membolehkan observasi siswa, mengumpulkan data, menguji hipotesis), (3) kebiasaan proses kelas (misal, mengembangkan long term thematic project dalam menyatakan matematika, sains, membaca dan menulis) dalam (Jacob, 2001: 7). Dalam kelas konstruktivisme, siswa dituntut lebih aktif, lebih kreatif, logis, kritis, dan matematis. Guru hanya bertindak sebagai “fasilitator” dan “pelatih” daripada sebagai “sumber informasi primer.” Dengan demikian, siswa
aktif,
tidak
pasif
dalam
konstruktivisme adalah “dialogis”,
belajar
dan
berpikir.
Pendekatan
yaitu pengembangan daya nalar
(penalaran logis, kritis, dan matematis); sedangkan metoda konstruktivisme
9
10
adalah “rekonstruksi.” Orientasi konstruktivisme adalah bahwa ”setiap individu mampu mengembangkan dirinya sendiri” (Jacob, 2001: 7).
Para ahli konstruktivisme menyatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif (Cobb dalam Turmudi, 2001: 70). Para ahli konstruktivisme
yang
lain
menyatakan
bahwa
dari
perspektifnya
konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses ‘pengepakan’ pengetahuan secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berpikir konseptual. Didefinisikan oleh Cobb (Turmudi, 2001: 70) bahwa belajar matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif mengonstruksi pengetahuan matematika.
Perspektif konstruktivisme menekankan kontribusi pelajar tentang bagaimana, mengapa, dan untuk apa belajar. Kita menguji tiga aspek perspektif konstruktivisme ini, tetapi lebih terfokus pada ”konstruktivisme dialektis” (“Dialectical constructivism”) yang menyoroti pentingnya interaksi sosial dalam penguasaan pengetahuan. Hal ini merupakan perspektif yang diambil dalam memperhatikan elemen-elemen yang sangat dimungkinkan untuk mengembangkan suatu “kelas reflektif” di mana guru dan siswa berinteraksi dalam cara mengestimasi “konstruksi pengetahuan” dan “pertumbuhan metakognitif” (Jacob, 2001: 1).
11
Para ahli
konstruktivisme setuju bahwa belajar matematika
melibatkan manipulasi aktif dan pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak pemahaman bahwa matematika dipelajari dalam suatu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan inteligensinya dalam setting matematika. Lebih jauh lagi para ahli konstruktivisme merekomendasi untuk menyediakan lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar, dalam kaitannya dengan belajar, Cobb dalam Turmudi (2001: 70) menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi aktif dalam latihan matematika di kelas. Beberapa prinsip pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme di antaranya bahwa observasi dan mendengar aktivitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar, untuk kurikulum, untuk cara-cara di mana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat dievaluasi Steff dan Kieren dalam Turmudi dkk (2001: 71). Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivisme aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas menggunakan apa yang ‘biasa’ muncul dalam materi kurikulum kelas ‘biasa.’ Dalam kontruktivisme pembelajarannya senantiasa “problem centered approach” di mana guru dan siswa terkait dalam pembicaraan yang
12
memiliki makna matematika. Beberapa ciri itulah yang akan mendasari pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Pembelajaran beracuan konstruktivisme menekankan pada aktivitas siswa membangun (construct) pengetahuan untuk “penyesuaian” apa yang baru saja diketahui (atau diyakini). Terkadang penyesuaian atau adaptasi tidak dapat dengan mudah dilakukkan. Apabila siswa tidak dapat membaca asimilasi data baru dalam struktur mental yang ada, maka siswa membangun skema-skema atau hubungan-hubungan baru agar dapat mengakomodasi pengetahuan dalam benaknya. Untuk memperoleh pengalaman membangun pengetahuan baru dalam benaknya siswa harus aktif terlibat dalam menstruktur pengetahuan tersebut. Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan
pendekatan
konstruktivis
terjadi
sepanjang
proses
pembelajaran berlangsung. Dari awal sampai akhir guru memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu konsep matematis, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan matematika yang dibuat oleh siswa.
B. Pembelajaran Model Group Investigation
Pendekatan ini awalnya dikembangkan oleh Herbert Thelan sebagai usaha untuk menggabungkan satu bentuk strategi pengajaran dan dinamika proses demokrasi serta proses penemuan dalam Murdika (2007: 4). Dikemukakan pula oleh Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 41) bahwa Group Investigation
merupakan
group-process
model,
yaitu
pembelajaran
13
berkelompok dilakukan dalam suasana yang demokrasi dan yang terjadi negosiasi social dalam proses pembelajarannya. Model pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation merupakan model pembelajaran dalam kelompok kecil yang di dalamnya terjadi komunikasi, interaksi kooperatif, dan pertukaran intelektual sebagai usaha siswa untuk belajar menurut Slavin (Mudrika, 2007: 4). Model Group Investigation merupakan pendekatan untuk mendorong dan membimbing keterlibatan siswa dalam kelompok kecil secara lebih aktif dalam proses pembelajaran. Model Group Investigation sangat menekankan pentingnya komunikasi dan saling bertukar pengalaman, akan lebih memberikan banyak manfaat jika mereka menyelesaikan tugas secara sendirisendiri.
Dalam metode Group Investigation terdapat tiga konsep utama, yaitu: penelitian atau inquiry, pengetahuan atau knowledge, dan dinamika kelompok atau the dynamic of the learning group (Winaputra, 2001: 75). Penelitian di sini adalah proses dinamika siswa memberikan respons terhadap masalah dan memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan adalah pengalaman belajar yang diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dinamika kelompok menunjukkan suasana yang menggambarkan sekelompok saling berinteraksi yang melibatkan berbagai idea dan pendapat serta saling bertukar pengalaman melalui proses saling beragumentasi.
14
Slavin (1995) dalam Siti Maesaroh (2005: 28), mengemukakan hal penting untuk melakukan metode Group Investigation adalah: 1. Membutuhkan Kemampuan Kelompok. Di dalam mengerjakan setiap tugas, setiap anggota kelompok harus
mendapat
kesempatan
memberikan
kontribusi.
Dalam
menginvestigasi, siswa dapat mencari informasi dari berbagai informasi dari dalam maupun di luar kelas. Kemudian siswa mengumpulkan informasi yang diberikan dari setiap anggota untuk mengerjakan lembar kerja. 2. Rencana Kooperatif. Siswa bersama-sama menginvestigasi masalah mereka, sumber mana yang mereka butuhkan, siapa yang melakukan, apa dan bagaimana mereka akan mempresentasikan proyek mereka di dalam kelas. 3. Peran Guru. Guru menyediakan sumber dan fasilitator. Guru memutar di antara kelompok-kelompok memperhatikan siswa mengatur pekerjaan dan membantu siswa mengatur pekerjaannya dan membantu jika siswa menemukan kesulitan dalam interaksi kelompok. Para guru yang menggunakan metode Group Investigation umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen (Trianto, 2007: 59). Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk
15
diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan mempresentasikan laporannya di depan kelas. Slavin (Asthika, 2005: 24) mengemukakan tahapan-tahapan dalam menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation adalah sebagai berikut:
1) Tahap Pengelompokkan (Grouping) Yaitu tahap mengidentifikasi topik yang akan diselidiki serta membentuk kelompok investigasi, dengan anggota tiap kelompok 4 sampai 5 orang. Pada tahap ini: 1) siswa mengamati sumber, memilih topik, dan menentukan kategori-kategori topik permasalahan, 2) siswa bergabung pada kelompok-kelompok belajar berdasarkan topik yang mereka pilih atau menarik untuk diselidiki, 3) guru membatasi jumlah anggota masing-masing kelompok antara 4 sampai 5 orang berdasarkan keterampilan dan keheterogenan.
Setelah penyampaian topik bahasan yang akan diinvestigasi: (a) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih topik yang menarik untuk dipilih dan membentuk kelompok berdasarkan topik yang mereka pilih atau menarik untuk diselidiki, (b) guru membatasi anggota kelompok 4 sampai 5 orang dengan cara mengarahkan siswa dan memberikan suatu motivasi kepada siswa supaya bersedia membentuk kelompok baru dan memilih topik.
16
2) Tahap Perencanaan (Planning) Tahap
Planning
atau
tahap
perencanaan
tugas-tugas
pembelajaran. Pada tahap ini siswa bersama-sama merencanakan tentang: (1) Apa yang mereka pelajari? (2) Bagaimana mereka belajar? (3) Siapa dan melakukan apa? (4) Untuk tujuan apa mereka menyelidiki topik tersebut?
3) Tahap Penyelidikan (Investigation) Tahap Investigation, yaitu tahap pelaksanaan proyek investigasi siswa. Pada tahap ini, siswa melakukan kegiatan sebagai berikut: 1) siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat kesimpulan yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang diselidiki, 2) masing-masing anggota kelompok memberikan masukan pada setiap kegiatan kelompok, 3) siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi dan mempersatukan idea dan pendapat.
4) Tahap Pengorganisasian (Organizing) Yaitu tahap persiapan laporan akhir. Pada tahap ini kegiatan siswa sebagai berikut: 1) anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam praktiknya masing-masing, 2) anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana mempresentasikannya, 3) wakil dari masing-masing kelompok membentuk panitia diskusi kelas dalam presentasi investigasi.
17
5) Tahap Presentasi (Presenting) Tahap presenting yaitu tahap penyajian laporan akhir. Kegiatan pembelajaran di kelas pada tahap ini adalah sebagai berikut: (1) penyajian kelompok pada keseluruhan kelas dalam berbagai variasi bentuk penyajian, (2) kelompok yang tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif sebagai pendengar, (3) pendengar mengevaluasi, mengklarifikasi dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan terhadap topik yang disajikan. Misalnya: 1) siswa yang bertugas untuk mewakili kelompok menyajikan hasil atau simpulan dari penyelidikan yang telah dilaksanakan, 2) siswa yang tidak sebagai penyaji, mengajukan pertanyaan, saran tentang topik yang disajikan, 3) siswa mencatat topik yang disajikan oleh penyaji.
6) Tahap evaluasi (evaluating) Pada tahap evaluating proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai berikut: 1) siswa menggabungkan masukan-masukan tentang topiknya, pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan tentang pengalaman-pengalaman efektifnya, 2) guru dan siswa mengkolaborasi, mengevaluasi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan, 3) penilaian hasil belajar haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman siswa. Misalnya: 1) siswa merangkum dan mencatat setiap topik yang disajikan, 2) siswa menggabungkan tiap topik yang diselidiki dalam kelompoknya dan kelompok yang lain, 3) guru mengevaluasi dengan memberikan tes uraian pada akhir pembelajaran.
18
Dilihat
dari
langkah-langkahnya,
model
Group
Investigation
menawarkan agar dalam mengembangkan masalah moral dan sosial, siswa diorganisasikan dengan cara melakukan penelitian bersama atau “Cooperative Inquiry” terhadap masalah-masalah sosial dan moral, maupun masalah akademik (Annurrahman, 2002: 34). Menurut Killen pendekatan ini juga menuntut guru diajarkan keterampilan-keterampilan komunikasi dalam kelompoknya (Sutrisno, 2000: 19). Dalam model pembelajaran ini siswa dilibatkan dalam perencanaan baik dalam topik yang akan dipelajari dan caracara untuk memulai penyelidikan mereka. Hal ini memerlukan norma-norma dan struktur kelas yang lebih rumit bila dibandingkan dengan penggunaan pendekatan ini. Setiap metode pembelajaran memiliki tujuan yang sama, yaitu meningkatkan hasil belajar siswa. Begitupun dengan model pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation yang memiliki tujuan meningkatkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation sangat menekankan pentingnya komunikasi dan saling bertukar pengalaman, akan lebih memberikan banyak manfaat jika mereka menyelesaikan tugas secara sendiri-sendiri. Tujuan model Kooperatif tipe Group Investigation menurut Sopian (1998) adalah sebagai berikut:
19
1. Mendorong peserta didik berpartisipasi dalam pengembangan sosial melalui inkuiri ilmiah dalam kelas melalui kegiatan-kegiatan belajar kooperatif. 2. Menanamkan sikap-sikap demokrasi pada peserta didik terutama dalam usaha-usaha memecahkan masalah sosial, juga melalui kegiatan kooperatif . 3. Menanamkan sikap-sikap kooperatif dan mengembangkan konsen hubungan-hubungan sosial Model Group Investigation ini sangat menarik dan bermanfaat, serta komprehensif; ia memadukan tujuan penelitian akademik, integrasi social, dan pembelajaran proses sosial. Model ini bisa digunakan dalam semua subjek pelajaran, pada siswa semua umur, jika guru memang berkeinginan untuk menekankan proses formulasi dan pemecahan masalah dalam beberapa aspek ilmu pengetahuan dibandingkan memasukan informasi yang belum terstruktur dan belum ditetapkan oleh Joice, Weil, dan Calhoun (Bell, 1978: 322). Dampak instruksional dan pengiring dari model pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 53), dapat dilukiskan dalam Bagan 2.1 di bawah ini.
20
Dampak Intruksional
Terwujudnya proses efektivitas kelompok
Perkembanga n wawasan dan pengetahuan
Disiplin dalam inkuiri kolaboratif
Model Group Investigation
Kemerdekaa n sebagai pelajar
Penghargaan terhadap diri
Kehangatan antar individu
Dampak Pengiring
Bagan 2.1 Dalam Bagan 2.1 dapat dianggap sebagai suatu cara yang langsung mengena dan begitu efektif dalam pengajaran ilmu pengetahuan secara akademik serta menyentuh proses dan aspek-aspek sosial. Model ini juga memunculkan sebuah pengasuhan atau pengarahan satu sama lain dengan suasana kehangatan dan penuh kepercayaan, respons positif terhadap peraturan serta kebijakan yang dinegosiasikan, pembelajaran yang mandiri dan
21
tidak terikat, serta rasa peka terhadap hak orang lain dalam Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 55).
C. Pendekatan Kontekstual Mengajar dan belajar kontekstual (Contextual teaching dan learning) adalah suatu konsepsi (pendekatan) mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan konten materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupan mereka sebagai keluarga, warga kota, dan pekerja serta memotivasi siswa dengan mengajak bekerja keras yang membutuhkan belajar (Bern dan DeStefano, dalam Jacob, 2003: 1). Pendekatan
kontekstual
merupakan
konsep
belajar
yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi
22
daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai suatu kelompok yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran pendekatan
kontekstual
pembelajaran
yang
dapat
dikatakan
menunjukkan
kondisi
sebagai alamiah
suatu dari
pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran. Banyak
manfaat
yang
dapat
diambil
oleh
siswa
dalam
pembelajaran kontekstual yaitu terciptanya ruang kelas yang di dalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat yang pasif, dan mereka akan lebih bertanggung jawab dengan apa yang mereka pelajari. Pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. Siswa akan bekerja keras untuk mencapai tujuan pembelajaran, mereka menggunakan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya untuk membangun pengetahuan baru. Karakteristik Contextual Teaching and Learning (Jacob, 2003: 2) mencakup mengajar dan belajar yang: 1. Apakah berbasis masalah; 2. Mengembangkan regulasi-diri;
23
3. Terjadi dalam setting atau konteks ganda; 4. Fokus mengajar dan belajar dalam berbagai konteks kehidupan siswa; 5. Gunakan tim atau struktur kelompok interdependen sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing tim atau kelompok interdependen itu; dan 6. Melaksanakan asesmen otentik dan metode ganda untuk mengakses prestasi siswa.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual ini adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak mengelola kelas sebagai sebuah kelompok yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Selain itu guru juga memberikan kemudahan belajar kepada siswa, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar. Lingkungan belajar yang kondusif sangat diperlukan, maksudnya belajar dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa aktif bekerja dan berkarya guru mengarahkan.” Pengajaran harus berpusat pada “bagaimana cara” siswa menggunakan pengetahuan baru mereka sehingga strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan dengan hasilnya.
24
Guru bukanlah sebagai yang paling tahu, melainkan guru harus mendengarkan siswa-siswanya dalam berpendapat mengungkapkan idea atau gagasan yang dimiliki oleh siswa. Guru bukan lagi sebagai penentu kemajuan siswa-siswanya, tetapi guru sebagai seorang pendamping siswa dalam pencapaian kompetensi dasar. Menurut Zahorik (Mulyasa 2006: 219) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual yaitu (1) Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik; (2) Pembelajaran dimulai dari keseluruhan menuju bagianbagiannya secara khusus; (3) Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: menyusun konsep sementara, melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain, merevisi dan mengembangkan
konsep;
(4)
Pembelajaran
ditekankan
pada
upaya
mempraktikkan secara langsung apa-apa yang dipelajari; (5) Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari. Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual menurut Depdiknas dan menurut Rochmadiarti yaitu meliputi:
1. Konstruktivisme •
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
•
Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
25
2. Inquiry •
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
•
Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
3. Questioning (Bertanya) •
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
•
Bagi
siswa
yang
merupakan
bagian
penting
dalam
pembelajaran yang berbasis inquiry.
4. Learning Community (Masyarakat Belajar) •
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
•
Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
•
Tukar pengalaman.
•
Berbagi ide.
5. Modeling (Pemodelan) •
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
•
Mengerjakan
apa
mengerjakannya.
yang
guru
inginkan
agar
siswa
26
6. Reflection (Refleksi) •
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
•
Mencatat apa yang telah dipelajari.
•
Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok.
7. Authentic Assessment (Penilaian yang sebenarnya) •
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
•
Penilaian produk (kinerja).
•
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
Sebagaimana diutarakan sebelumnya bahwa esensi pendekatan kontekstual adalah membantu siswa menghubungkan antara materi yang dipelajarinya dengan konteks kehidupan/situasi dunia nyata mereka seharihari sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan anggota bangsa serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan pendekatan kontekstual, proses belajar mengajar akan lebih konkret, lebih realistik, lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna. Konsep ini memiliki implikasi bahwa pelaksanaan kontekstual tidak harus seragam dan dijamin adanya keberagaman/kemajemukan sesuai dengan kekhasan dan kebolehan konteks masing-masing siswa. Dengan demikian, tidak ada satu resep pelaksanaan kontekstual yang sama untuk diberlakukan ke seluruh sekolah. Oleh karena itu, guru hanya memiliki
27
kesadaran dan mulai berpikir bahwa pemahaman, penghayatan, dan penginternalisasian konteks ke dalam proses belajar dan mengajar sudah merupakan keharusan jika kontekstual merupakan pilihan pendekatan yang dianut (Jacob, 2003: 10).
Penjelasan pentahapan pelaksanaan kontekstual pada tingkat sekolah diuraikan seperlunya sebagai berikut:
1. Mengkaji materi pelajaran yang akan diajarkan kepada
siswa
yaitu dengan memilah-milah materi yang tekstual dan materi yang dapat dikaitkan dengan hal-hal nyata; 2. Mengkaji konteks kehidupan siswa sehari-hari (keluarga, tempat kerja, sosial, budaya, masyarakat, organisasi sosial, dsb) secara cermat sebagai salah satu upaya untuk memahami konteks kehidupan siswa sehari-hari; 3. Memilih materi pelajaran yang dapat dikaitkan dengan konteks kehidupan siswa; 4. Menyusun persiapan proses belajar dan mengajar yang telah memasukan konteks ke dalam materi yang akan diajarkan; 5. Melaksanakan
proses
belajar
mengajar
kontekstual
yaitu
mendorong siswa untuk selalu mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya; 6. Melakukan asesmen otentik terhadap apa yang telah dipelajari oleh siswa. Hasil asesmen otentik digunakan sebagai bahan
28
masukan
bagi
perbaikan/penyempurnaan
persiapan
dan
pelaksanaan proses belajar dan mengajar yang akan datang (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003) dalam (Jacob, 2003: 11).
D. Penalaran Induktif Fondasi dari matematika adalah penalaran. Menurut Ross (Rochmad, 2008: 16) menyatakan bahwa salah satu tujuan yang terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa tentang penalaran. Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui makna. Kebenaran suatu teori yang dikemukakan setiap ilmuan, matematisi, maupun para ahli lainnya merupakan hal yang sangat menentukan reputasi mereka. Untuk mendapatkan hal tersebut, mereka akan berusaha untuk mengaitkan suatu fakta atau data dengan fakta atau data yang lainnya melalui suatu proses penalaran yang sahih atau valid. Karenanya, penalaran merupakan kompetensi dasar yang sangat penting sehingga harus dipelajari para siswa di kelas. Di dalam mata pelajaran matematika maupun IPA, aplikasi penalaran tersebut sering ditemukan meskipun tidak secara formal tersebut sebagai belajar bernalar. Aspek penalaran merupakan salah satu bentuk penilaian matematika yang khusus digunakan untuk menilai kemampuan siswa dalam
29
mengemukakan argumen matematisnya. Artinya, dalam penilaian ini siswa harus mengeksplor secara terbuka hasil pemikiran/penalarannya dalam memecahkan masalah tertentu. Ada tiga tipe utama penalaran, yaitu: penalaran intuitif, penalaran induktif, dan penalaran deduktif menurut Baroody (Jacob, 2000: 1). Penalaran
Intuitif memerlukan suatu
pengetahuan siap atau memainkan suatu dugaan. Penalaran intuitif meliputi mendasarkan suatu konklusi pada penampilan atau apakah perasaan benar (suatu asumsi). Penalaran induktif meliputi pemahaman atau regularitas. Penalaran induktif dimulai dengan menguji contoh-contoh khusus dan berperan untuk menggambarkan suatu konklusi umum. Dengan kata lain, penalaran induktif memerlukan pengamatan contoh-contoh khusus dan tajam (yang menyebabkan) suatu pola dan aturan. Penalaran deduktif (dalam
kenyataan)
merupakan
suatu
persoalan
sederhana
dalam
menggambarkan suatu konklusi yang perlu diikuti dari apa yang kita ketahui. Deduksi atau induksi matematis memuat kegiatan yang melukiskan pandangan matematika sebagai produk dan sebagai proses. Pandangan matematika sebagai produk dalam penalaran induktif terlukis dalam pengertian
yang
terkandung
dalam
premis-premisnya.
Pandangan
matematika sebagai proses dalam penalaran induktif terlukis dalam kegiatan mengklasifikasi, mengamati, memformulasi, menyatakan sesuatu ke dalam bentuk simbol dan menginterpretasi. Pandangan matematika sebagai produk dalam penalaran deduktif sama halnya seperti pandangan
30
matematika sebagai produk dalam penalaran induktif. Pandangan matematika sebagai proses dalam penalaran deduktif terlukis dalam kegiatan menyimpulkan berdasarkan aturan logika. Berkaitan dengan penjelasan penalaran induktif di atas menurut Soekadijo (Yusefendi: 2010) menjelaskan bahwa penalaran induktif terdiri dari tiga jenis, yaitu: generalisasi, kausalitas, dan analogi. 1. Generalisasi Generalisasi adalah membuat perkiraan atau terkaan berdasarkan kepada pengetahuan (pengalaman) yang dikembangkan melalui contohcontoh khusus Ruseffendi (Yusefendi: 2010). Penalaran ini meliputi pengamatan terhadap contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang melandasinya. Jadi Generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual menuju kesimpulan umum. 2. Kausalitas Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat yang harus dan pasti antara segala kejadian, serta bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun. 3. Analogi
31
Analogi adalah membandingkan dua hal (situasi atau kondisi) yang berlainan berdasarkan keserupaannya, kemudian menarik kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut. Untuk selanjutnya penalaran yang dimaksudkan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada generalisasi dan analogi.
E. Penelitian yang Relevan
Pada bagian ini, akan diuraikan beberapa penelitian terdahulu dalam penerapan Model Group investigation
dalam meningkatkan
kompetensi matematis. Penelitian yang dilakukan oleh Maesaroh (2005: 28), terhadap siswa SMA menunjukkan bahwa pembelajaran dengan Model Group Investigation dapat meningkatkan kreativitas siswa. Selain itu, penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas X SMA kota Bandung yang dilakukan oleh Suci Rachmawati (2005), Model group Investigation dapat meningkatkan berpikir kritis siswa. Group Investigation menurut Suwangsih (2004: 25) merupakan salah satu model pembelajaran yang membangkitkan minat siswa belajar aktif, membiasakan siswa berpikir ilmiah, karena group investigation merupakan pengajaran pemecahan masalah pada masalah-masalah yang divergen.
32
Berdasarkan keberhasilan penelitian-penelitian tersebut, maka penulis bermaksud untuk menggunakan Model Group Investigation dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif yang selama ini kurang mendapat perhatian.