BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka mengenai variabel-variabel dan hal-hal yang terkait dengan penelitian selengkapnya akan di uraikan sebagai berikut.
2.1.1
Grand Theory of Marketing
Pemasaran atau marketing, adalah dunia yang menyentuh semua orang. Baik sebagai marketer yang memasarkan produk maupun sebagai konsumen yang mengkonsumsinya (Istijanto, 2007). American Marketing Association (AMA) dalam Istijanto (2007), menyebutkan bahwa, “marketing is an organizational function and a set of processes for creating, communicating, and delivering value to customers and for managing customer relationships in ways that benefit the organization and its stakeholders.” Dari definisi tersebut, dapat dicermati intisari dari pemasaran. Yang pertama, pemasaran adalah suatu fungsi yang dijalankan oleh perusahaan. Yang
14
15
kedua, fungsi pemasaran berkaitan dengan menciptakan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai kepada pelanggan serta mempertahankan pelanggan dengan menjalin hubungan yang baik dengan pelanggan. Sedangkan yang ketiga, pemasaran selalu berhubungan dengan customer atau pelanggan (Istijanto, 2007). Fungsi dari pemasaran diwujudkan dalam marketing mix atau bauran pemasaran yang terdiri dari 4P (Product, Place, Price dan Promotion), yang diuraikan sebagai berikut : a) Produk Adalah barang atau layanan yang ditawarkan oleh perusahaan kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan atau masalahnya. Produk mencakup banyak hal, mulai dari atribut atau ciri-ciri produk seperti kandungan, rasa, warna, model, kemasan, merek, varian baru, kualitas, manfaat dan sebagainya. b) Price (harga) Adalah pengorbanan yang dilakukan konsumen untuk mendapatkan suatu produk. Dari sisi financial, harga tidak lain adalah uang yang dikorbankan pelanggan untuk mendapatkan suatu produk. Pada dasarnya, harga bisa murah, sama, atau lebih mahal dibanding pesaing. c) Place (tempat) Adalah lokasi di mana konsumen bisa mendapatkan produk seperti toko, supermarket, agen, atau dari penjualan langsung. d) Promotion (promosi) Merupakan komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan konsumen. Promosi bisa ditujukan untuk memberitahukan, membujuk konsumen untuk
16
membeli, mempengaruhi konsumen supaya menyukai produk, menancapkan merek di benak konsumen dan sebagainya.
Definisi dan fungsi-fungsi pemasaran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Definisi dan Fungsi Marketing Sumber: Istijanto (2007)
Namun demikian, seperti yang telah diketahui, pemasaran tidak hanya dijalankan oleh satu perusahaan saja. Pemasaran juga dilakukan oleh perusahaanperusahaan lain. Dampaknya, perusahaan dengan produk-produk sejenis atau melayani pelanggan yang sama saling bersaing. Di sinilah fungsi pemasaran dibutuhkan untuk merancang strategi dan taktik pemasaran agar perusahaan tetap dapat unggul di dalam persaingan bisnis (Istijanto, 2007).
17
2.1.2
Konsep Service
Sebagai salah satu bentuk produk, service juga bisa didefinisikan secara berbeda. Gummesson dalam Tjiptono & Chandra (2005:10), mendefinisikan service sebagai “something which can be bought and sold but which you cannot drop on your feet”. Definisi ini menekankan bahwa service atau jasa bisa dipertukarkan namun seringkali sulit dialami atau dirasakan secara fisik. Mendukung pendapat tersebut, Kotler dalam Tjiptono & Chandra (2005:11) mendefinisikan service sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Definisi lainnya yang berorientasi pada aspek proses atau aktivitas dikemukakan oleh Gronroos, sebagaimana yang dikutip dalam Tjiptono dan Chandra (2005:11) bahwa service adalah proses atau aktivitas yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang biasanya (namun tidak harus selalu) terjadi pada interaksi antara pelanggan dan karyawan jasa dan atau sumber daya fisik atau barang dan atau sistem penyedia jasa, yang disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan. Lovelock, Patterson dan Walker seperti yang dikutip dalam Tjiptono & Chandra (2005:8) mengemukakan perspektif service sebagai sebuah sistem. Dalam perspektif ini, setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen utama, yaitu: a. Operasi Jasa (Service Operations),
18
Di mana masukan (input) diproses dan elemen-elemen jasa diciptakan. b. Penyampaian Jasa (Service Delivery), Di mana elemen-elemen produk jasa tersebut dirakit, dirampungkan dan disampaikan kepada pelanggan.
Sebagian dari sistem ini tampak (visible) atau diketahui pelanggan (sering disebut front office atau frontstage), sementara sebagian lainnya tidak tampak atau bahkan tidak diketahui keberadaannya oleh pelanggan (back office atau backstage) sebagaimana terlihat dalam gambar berikut.
Gambar 2.2 Jasa Sebagai Sistem Sumber : Lovelock, Patterson dan Walker dalam Tjiptono & Chandra (2005:8)
19
2.1.2.1 Karakteristik Service
Kebanyakan organisasi di sektor publik memberikan layanan atau jasa (service) pada pelanggannya. Menurut Zeithaml dan kawan-kawan dalam EUPAN (2008), karakteristik dari jasa adalah sebagai berikut; a. Intangibility Karakteristik yang membedakan dari layanan yang membuat mereka tidak dapat disentuh atau dirasakan dalam cara yang sama seperti barang fisik. b. Inseparability Karakteristik
yang
membedakan
dari
layanan,
yang
mencerminkan
interkoneksi antara penyedia layanan, pelanggan yang terlibat dalam menerima layanan, dan pelanggan lain yang berbagi pengalaman pelayanan. c. Heterogeneity Karakteristik yang membedakan dari layanan yang mencerminkan variasi dalam konsistensi dari satu layanan transaksi ke yang berikutnya. d. Perishability Karakteristik yang membedakan dari layanan dalam bahwa mereka tidak bisa diselamatkan, kapasitas yang tidak terpakai, mereka tidak dapat dipesan, dan tidak dapat di inventarisir.
Berdasarkan
wujudnya,
Davidoff
dalam
Sienny
Thio
mengkategorikan service menjadi dua yang di uraikan sebagai berikut :
(2001)
20
a. Visible Service Yaitu service yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh konsumen. Service ini disediakan oleh karyawan yang langsung bertatap muka dengan konsumen. Contohnya : karyawan di bagian front office, pelayan yang melayani di restoran, dan lain-lain. b. Invisible Service Yaitu service yang tidak dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh konsumen. Service ini menunjang visible sistem. Contohnya:
Karyawan di bagian
akuntansi, personalia, dan lain-lain.
Menurut Davidoff dalam Sienny Thio (2001), terdapat tiga karakteristik utama dari produk service yang membedakannya dengan produk ritel yaitu : a. Relative Intangibility of services Kenyataan bahwa konsumen tidak mendapatkan “sesuatu barang” sebagai hasil dari sebuah service. Hasil dari sebuah service lebih sering berupa pengalaman (experience) daripada kepemilikan (possession). Contohnya : Seorang penumpang kereta api membeli sebuah tiket, produk riilnya adalah transportasi dari satu kota ke kota lainnya dan ia memperoleh pengalaman dari perjalanannya entah itu makanannya ataupun pelayanan yang diberikan oleh perusahaan kereta api tersebut bukannya ia mendapat sesuatu barang. b. Simultaneity of Service Production and Consumption Adanya tenggang waktu antara produksi dan konsumsi dari produk service dan produk ritel. Tidak seperti perusahaan manufaktur mobil yang terdapat
21
tenggang waktu antara mobil itu diproduksi dan mobil itu dikonsumsi, service biasanya diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang sama oleh karena itu tidak ada inventory untuk service. Oleh karena itu produk service tersebut tidak dapat disimpan (unperishable). Contohnya : Bila kamar hotel tidak terjual pada hari ini maka tidak dapat dijual kembali pada hari berikutnya, tiket pesawat hari ini yang tidak terjual tidak dapat digunakan untuk hari berikutnya. c. Customer Participation Konsumen dari perusahaan service berpartisipasi dalam menciptakan suatu service. Service tidak mungkin tercipta tanpa adanya input dari konsumen. Jadi service tidak akan ada tanpa bantuan dari konsumen. Service melibatkan dua belah pihak yaitu konsumen dan penyedia jasa.
Sedangkan Kotler dalam Tjiptono & Chandra (2005:11) menyebutkan bahwa penawaran sebuah perusahaan kepada pasar sasarannya biasanya mencakup beberapa jenis service. Suatu penawaran dapat bervariasi dari kedua kutub ekstrim, yaitu murni berupa barang pada satu sisi dan service atau jasa murni pada sisi lainnya. Berdasarkan kriteria ini, maka penawaran sebuah perusahaan dapat dibedakan menjadi lima kategori, yakni: a. Produk fisik murni Pada kategori ini, penawaran semata-mata hanya berupa produk fisik tanpa ada jasa atau layanan yang menyertai produk tersebut. Contohnya adalah sepatu, pasta gigi, minuman ringan, tisu, dan sabun cuci.
22
b. Produk fisik dengan jasa pendukung Pada kategori ini, penawaran terdiri atas suatu produk fisik yang disertai dnegan satu atau beberapa jasa/layanan untuk meningkatkan daya tarik pada konsumen. Dalam kategori ini, jasa dapat pula didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan perusahaan bagi para pelanggan yang telah membeli produknya (Clemente dalam Tjiptono & Chandra (2005). c. Produk hybrid Penawaran pada kategori ini terdiri atas komponen barang dan jasa yang kurang lebih sama besar porsinya. Contohnya adalah restoran siap saji (fast food restaurant). d. Jasa utama yang didukung dengan barang dan jasa minor Penawaran pada kategori ini terdiri atas jasa pokok tertentu bersama-sama dengan jasa tambahan (pelengkap) dan atau barang-barang pendukung. Contohnya dapat dijumpai pada konteks jasa penerbangan. Selama menempuh penerbangan ke tempat tujuan, terdapat sejumlah unsur produk fisik yang terlibat, seperti makanan dan minuman, majalah atau surat kabar yang di sediakan, dan lain-lain. Jasa seperti ini memerlukan barang yang bersifat kapital intensif (dalam hal ini adalah pesawat) untuk realisasinya, namun penawaran utamanya tetap berupa jasa. e. Jasa murni Penawaran pada kategori ini hampir seluruhnya berupa jasa, contohnya adalah fisioterapi, konsultasi psikologi, babysitter, dan lain-lain.
23
Berdasarkan tingkat intensitas tenaga kerja dan tingkat interaksi serta customization, Fitzsimmons dan Fitzimmons (dalam Tjiptono &Chandra, 2005:18) mengklasifikasikan service (jasa) ke dalam 4 kuadran sebagai berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Service Berdasarkan Tingkat Intensitas Tenaga Kerja dan Tingkat Interaksi & Customization
Service Factory •
Penerbangan
•
Angkutan dengan truk
•
Hotel
•
Resor dan Rekreasi
Service Shop •
Rumah sakit
•
Reparasi mobil
•
Jasa reparasi lainnya
Mass Service
Professional Service
•
Penjualan eceran
•
Dokter
•
Penjualan grosir
•
Pengacara
•
Sekolah
•
Akuntan
•
Perbankan ritel
•
Arsitek
Sumber : Fitzsimmons dan Fitzimmons (dalam Tjiptono & Chandra, 2005:18)
2.1.3
Konsep Quality
24
Konsep kualitas (quality) seringkali dianggap sebagai ukuran relatif kesempurnaan atau kebaikan suatu produk atau jasa, yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian (conformance qualiy). Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah ukuran seberapa besar tingkat kesesuaian antara sebuah produk atau jasa dengan persyaratan atau spesifikasi kualitas yang ditetapkan sebelumnya (Tjiptono & Chandra, 2005:110). Berdasarkan perspektif TQM (Total Quality Management), kualitas dipandang secara komprehensif atau holistik, dimana bukan aspek hasil saja yang ditekankan, melainkan juga meliputi proses, lingkungan dan sumber daya manusia. Perspektif ini dijelaskan lebih rinci oleh Goetsch & Davis dalam Tjiptono & Chandra (2005:110), yang mendefinisikan kualitas sebagai kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, sumber daya manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
2.1.4
Definisi Service Quality
Kualitas pelayanan atau service quality sangat dibutuhkan terutama di industri rekreasi hiburan dan hospitality mengingat pelanggan mempunyai ekspektasi yang selalu ingin dipenuhi dan dipuaskan. Pelanggan selalu mengharapkan untuk mendapatkan service yang maksimal dari para penyedia jasa
25
dalam hal ingin diperlakukan secara professional, dan diperlakukan sebagai individu yang unik. Definisi service quality baik menurut penggalan kata maupun secara keseluruhan kata, menurut pandangan para ahli di uraikan sebagai berikut; Menurut Sienny Thio (2001), service adalah pengalaman yang tidak berwujud (intangible) yang diterima oleh pengunjung bersamaan dengan produk yang berwujud (tangible) dari suatu produk yang dibeli. Sedangkan kualitas (quality) adalah suatu ukuran yang mengukur kemampuan suatu bisnis hospitality dalam memenuhi kebutuhan konsumennya. Ini berarti dalam bisnis hospitality ditanamkan sikap yang berorientasi pada konsumen dengan mendengarkan “suara dari konsumen” (apa yang diinginkan konsumen). Produk service yang berkualitas merupakan hal yang dapat memuaskan konsumen. Sedangkan menurut Zeithaml dan Bitner (2000:19), definisi kualitas pelayanan (service quality) adalah sesuatu yang di harapkan secara spesial atas kualitas dan dikontrol atas kualitas yang spesial untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
2.1.4.1 Model SERVQUAL
Model service quality yang paling populer dan hingga kini banyak dijadikan acuan dalam riset manajemen dan pemasaran jasa adalah model
26
SERVQUAL (singkatan dari service quality) yang dikembangkan oleh tiga ahli yaitu Parasuraman, Zeithaml, dan Berry. Dalam Chin & Chen Wu (2009:192) disebutkan bahwa Parasuraman, Zeithaml dan Leonard L. Berry (disebut sebagai PZB), berasumsi bahwa service quality dapat di evaluasi dengan membandingkan ekspektasi pelanggan dan pengalaman kualitas yang nyata, yang mana perbedaan di antara dua hal tersebut dapat di gunakan untuk menilai apakah service quality tersebut baik atau buruk. Model konseptual SERVQUAL diilustrasikan sebagai berikut.
27
Gambar 2.3 Model konseptual SERVQUAL Sumber : Zeithaml dan kawan-kawan dalam Tjiptono & Chandra (2005:146)
Dalam gambar tersebut di ilustrasikan bahwa terdapat lima gap yang mungkin terjadi meliputi: a. GAP 1 Gap antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen (knowledge gap). Gap ini berarti bahwa pihak manajemen mempersepsikan ekspektasi pelanggan terhadap kualitas jasa secara tidak akurat. b. GAP 2 Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa (standards gap). Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas jasa tidak konsisten dengan persepsi manajemen terhadap ekspektasi kualitas. c. GAP 3 Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (delivery gap). Gap ini berarti spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja dalam proses produksi dan penyampaian jasa. d. GAP 4 Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal (communications gap). Gap ini berarti bahwa janji-janji yang disampaikan melalui aktivitas komunikasi pemasaran tidak konsisten dengan jasa yang disampaikan kepada para pelanggan.
28
e. GAP 5 Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap). Gap ini berarti bahwa jasa yang dipersepsikan tidak konsisten dengan jasa yang diharapkan.
2.1.4.2 Dimensi Service Quality
PZB, seperti yang dikutip dari Chin dan Wu (2009), mengembangkan skala pelayanan yang berkualitas (SERVQUAL) sebagai instrumen untuk mengevaluasi service quality. Mereka mendirikan model konseptual untuk service quality dan juga mengorganisir 10 komposisi kualitas layanan. Setelah analisis empiris dilakukan dan terdapat dua revisi, maka 10 komposisi dalam mengevaluasi service quality tersebut di kurangi menjadi 5 item pengukuran komposisi dan 22 item pengukuran. Yang termasuk dalam 5 dimensi pokok tersebut yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty, dengan penjelasan masing-masing sebagai berikut.
a. Bukti langsung (tangibles), Meliputi penampilan fisik penyedia jasa seperti gedung, tata letak peralatan, interior dan eksterior, serta penampilan fisik dari personel penyedia jasa. Karena suatu service tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium, dan tidak bisa
29
diraba, maka aspek tangible menjadi penting sebagai ukuran terhadap pelayanan (Irawan, 2002:58). Dikatakan bahwa tangible yang baik akan mempengaruhi persepsi pelanggan. Pada saat yang bersamaan aspek tangible ini juga merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi harapan pelanggan. Karena tangible yang baik, maka harapan responden menjadi lebih tinggi. Penting bagi perusahaan untuk mengetahui seberapa jauh aspek tangible dalam memberikan impresi yang positif terhadap kualitas pelayanan yang diberikan, namun juga tidak menyebabkan harapan pelanggan melambung terlalu tinggi.
b. Keandalan (reliability), Yakni kemampuan memberikan pelayanan yang akurat, memuaskan, tepat dan terpercaya sebagaimana dijanjikan. Dengan kata lain, keandalan berarti sejauh mana penyedia jasa mampu memberikan apa yang telah dijanjikannya kepada konsumen. Menurut Irawan (2002:61) terdapat 2 aspek dalam dimensi ini. Pertama adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan. Yang kedua adalah seberapa jauh suatu perusahaan mampu memberikan pelayanan yang akurat atau tidak error. Irawan (2002:63) menyebutkan terdapat 3 hal besar yang dapat dilakukan perusahaan dalam upaya meningkatkan tingkat reliability. a) Pembentukan budaya kerja “error free” atau “no mistake.” Top management perlu meyakinkan kepada semua bawahannya bahwa mereka perlu melakukan sesuatu benar 100%. Kesalahan 1%, tidak
30
hanya menyebabkan produktivitas turun 1% tetapi bisa lebih dari itu. Kesalahan 1% dapat menurunkan tingkat profitabilitas hingga 5-20%. b) Perusahaan perlu mempersiapkan infrastruktur yang memungkinkan perusahaan memberikan pelayanan “no mistake.” Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pelatihan secara terus menerus dan menekankan kerja teamwork. Dengan kerja teamwork, koordinasi antar bagian menjadi lebih baik. c) Diperlukan tes sebelum suatu layanan benar-benar diluncurkan. Sebelum meluncurkan suatu fitur atau layanan baru, diperlukan kesabaran untuk melakukan tes seberapa jauh tingkat reliability dalam layanan ini. Dengan melalui tahap ini, kemungkinan terjadinya kesalahan akan sangat lebih kecil.
c. Daya tanggap (responsiveness), Yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayan dengan cepat dan tanggap. Dimensi ini menekankan pada sikap dari penyedia jasa yang penuh perhatian, cepat, dan tepat dalam menghadapi permintaan, pertanyaan, keluhan, dan masalah konsumen. Irawan (2002:65) menyebutkan bahwa responsiveness adalah dimensi kualitas pelayanan yang paling dinamis. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Frontier, harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dipastikan akan berubah dengan kecenderungan naik dari waktu ke waktu.
31
d. Jaminan (assurance), Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Dimensi ini berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan front-line staf dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para pelanggannya. Irawan (2002:69) menyebutkan bahwa terdapat 4 aspek dari dimensi ini, yang akan dijelaskan sebagai berikut. a) Keramahan Keramahan merupakan salah satu aspek kualitas pelayanan yang paling mudah di ukur. Juga banyak manajer meyakini sebagai program kepuasan yang paling murah. Ramah seringkali di artikan banyak senyum dan bersikap sopan. b) Kompetensi Apabila pelanggan memberikan beberapa pertanyaan kepada frontliner staf namun tidak mendapatkan jawaban yang baik, maka pelanggan dapat kehilangan kepercayaannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk terus memberikan training kepada front-liner staf mengenai pengetahuan produk dan hal-hal lain yang sering menjadi pertanyaan pelanggan. c) Kredibilitas atau reputasi Keyakinan pelanggan banyak dipengaruhi oleh kredibilitas atau reputasi dari perusahaan. Perusahaan dengan reputasi yang baik tentunya akan membuat pelanggan merasa terjamin.
32
d) Keamanan Pelanggan menginginkan perasaan aman saat bertransaksi. Perasaan aman dapat muncul karena perusahaan jujur dalam bertransaksi.
e. Empati (emphaty), Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, sikap peduli , pengertian dan memberikan pengertian khusus terhadap pelanggan serta kemampuan penyedia jasa dalam memperlakukan konsumen sebagai individuindividu yang spesial. Irawan (2002:73) menyebutkan bahwa pelanggan dari kelompok menengah atas mempunyai harapan yang tinggi agar perusahaan penyedia jasa mengenal mereka secara pribadi. Sesuai dengan teori perkembangan kebutuhan manusia oleh Maslow, pada tingkat semakin tinggi, kebutuhan manusia tidak lagi sebatas hal-hal yang primer. Setelah kebutuhan fisik, keamanan dan sosial terpenuhi, maka dua kebutuhan lagi yang akan dikejar oleh manusia adalah kebutuhan ego dan aktualisasi. Pelanggan menginginkan ego seperti gengsinya dijaga dan status mereka di mata banyak orang dipertahankan dan ditingkatkan terus menerus oleh perusahaan penyedia jasa. Perusahaan harus mengetahui nama mereka, kebutuhan mereka secara spesifik dan bila perlu harus mengetahui apa yang menjadi hobi dan karakter personal lainnya. Apabila tidak, perusahaan akan kehilangan kesempatan untuk dapat memuaskan mereka dari aspek ini.
33
2.1.4.3 Keterkaitan Service Quality dalam Pengelolaan Theme Park
Terkait dengan pengelolaan theme park, Kao, Yi-Wen dalam Chin & Wu (2009) dalam penelitiannya menggali tingkat penekanan wisatawan terhadap kualitas layanan theme park dalam keterkaitan antara fitur wisatawan dan kualitas pelayanan theme park. Hasil dari penelitian tersebut, menyatakan bahwa produk theme park dan atribut dari layanan terintegrasi untuk mengembangkan variasi yang mempengaruhi bagaimana wisatawan menilai kualitas pelayanan. Hasil penelitian ini di dukung oleh Zhu, Reui-Tao dan Tsai, Wen-Kai dalam Chin & Wu (2009) yang juga melakukan studi untuk menjelajahi bagaimana layanan sebuah theme park dapat mempengaruhi nilai kognisi, kepuasan pelanggan dan juga citra perilaku.
2.1.5
Experiental Marketing
Berdasarkan teori psikologis individual pelanggan dan teori perilaku sosial, Schmitt (1999) menerbitkan penelitian yang berkaitan dengan model baru experiental marketing. Schmitt menekankan bahwa experiental marketing ditargetkan pada penciptaan jenis pengalaman (experience) yang berbeda bagi pelanggan, dimana target akhirnya adalah untuk menciptakan pengalaman (experience) bagi para pelanggan.
34
Schmitt menyatakan bahwa esensi dari konsep experiential marketing adalah pemasaran dan manajemen yang didorong oleh pengalaman (experience). Pernyataan Schmitt mengenai experiental marketing tersebut di dukung oleh banyak peneliti yang juga memberikan definisi mengenai experiental marketing sebagai berikut; Menurut Lee, Hsiao, dan Yang (2010:353) definisi dari experiental marketing berarti memori yang tidak terlupakan atau pengalaman yang berakar secara mendalam dalam pikiran seseorang. Berdasarkan definisi dari pengalaman (experience) tersebut, dalam lingkungan konsumsi secara modern, konsumen menekankan pada pengalaman mereka sendiri selama proses konsumsi. Hal ini memungkinkan konsumen untuk terlibat secara sentimental dan mengalami emosi yang mengesankan untuk meningkatkan pembelian konsumen dan meningkatkan nilai tambah dari suatu produk. Sedangkan menurut Andreani (2007:1), experiential marketing merupakan sebuah pendekatan untuk memberikan informasi yang lebih dari sekedar informasi mengenai sebuah produk atau jasa. Experiental marketing berfokus pada bagaimana memberikan nilai kepada pelanggan dan menciptakan merek yang berkaitan dengan pengalaman (experience) pelanggan, membangun kegiatan pemasaran yang diidentifikasi oleh pelanggan, dan menciptakan pengalaman spiritual yang lengkap bagi pelanggan. Schmitt juga menunjukkan bahwa experiental marketing dapat di terapkan untuk produk R&D, perbaikan hubungan dengan pelanggan, pembentukan komunitas virtual atau kerja sama merek.
35
2.1.5.1 Kunci Pokok Experiental Marketing
Schmitt seperti yang di kutip oleh Rini (2009), menyatakan bahwa tahap awal dari sebuah experiental marketing terfokus pada tiga kunci pokok yang di uraikan sebagai berikut : a. Pengalaman Pelanggan Pengalaman pelanggan melibatkan panca indera, hati, pikiran yang dapat menempatkan pembelian produk atau jasa di antara konteks yang lebih besar dalam kehidupan. b. Pola Konsumsi Analisis pola konsumsi dapat menimbulkan hubungan untuk menciptakan sinergi yang lebih besar. Produk dan jasa tidak lagi dievaluasi secara terpisah, tetapi dapat dievaluasi sebagai bagian dari keseluruhan pola penggunaan yang sesuai dengan kehidupan konsumen. Hal yang terpenting, pengalaman setelah pembelian diukur melalui kepuasan dan loyalitas. c. Keputusan Rasional dan Irasional Pengalaman dalam hidup sering digunakan untuk memenuhi fantasi, perasaan dan kesenangan. Banyak keputusan dibuat dengan menuruti kata hati dan tidak rasional. Experiential marketing mendorong pelanggan merasa senang dengan keputusan pembelian yang telah dibuat.
36
2.1.5.2 Strategic Experiential Modules (SEMs)
Schmitt sebagaimana yang dikutip dalam Andreani (2007) dan Rini (2009) menyatakan bahwa experiential marketing terdiri dari lima modul pengalaman strategis (strategic experiential modules). Yang merupakan dasar dari experiential marketing tersebut menyangkut beberapa pendekatan berikut ini: a. Sense Sense berkaitan dengan gaya (styles) dan simbol-simbol verbal dan visual yang mampu menciptakan keutuhan sebuah kesan. Schmitt menyatakan bahwa sense marketing berfokus pada lima indera, yaitu penglihatan (sight), pendengaran (sound), penciuman (smell), perasa (taste), dan peraba (touch). Sense ini, bagi konsumen, berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk yang lain,untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat.
Schmitt berpendapat terdapat tiga tujuan strategi panca indera (sense strategic objective), di antaranya sebagai berikut; a) Panca indera sebagai pendiferensiasi
37
Sebuah organisasi dapat menggunakan sense marketing untuk mendiferensiasikan produk organisasi dengan produk pesaing didalam pasar, memotivasi pelanggan untuk membeli produknya, dan mendistrisbusikan nilai kepada konsumen. b) Panca indera sebagai motivator Penerapan unsur sense dapat memotivasi pelanggan untuk mencoba produk dan membelinya. c) Panca indera sebagai penyedia nilai Panca indera juga dapat menyediakan nilai yang unik kepada konsumen.
b. Feel Perasaan di sini sangatlah berbeda dengan kesan sensorik karena hal ini berkaitan dengan suasana hati dan emosi jiwa seseorang. Ini bukan sekedar menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa yang mampu membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan.
Perasaan berhubungan
dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan. Feel campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan.
38
Sebaliknya, ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama (Schmitt, dalam Rini, 2009).
Schmitt berpendapat jika pemasar bermaksud untuk menggunakan tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat (affective experience) sebagai bagian dari strategi pemasaran, maka ada dua hal yang harus diperhatikan dan dipahami, yaitu; a) Suasana hati (moods), Moods merupakan affective yang tidak spesifik. Suasana hati dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang spesifik. Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih. b) Emosi (emotion), Lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, iri hati, dan cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi).
39
c. Think Dengan berpikir (think) dapat merangsang kemampuan intelektual dan kreativitas seseorang. Perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experiences, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif dan atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Iklan pikiran biasanya lebih bersifat tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan. Think terdiri atas pemikiran konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen (convergent thinking) dimaksudkan untuk menganalisa dan mengambil keputusan terhadap suatu masalah spesifik. Pemikiran divergen (divergent thinking) dimaksudkan untuk menciptakan sesuatu dengan mengikuti kehendak seseorang dan memiliki gaya yang bebas dan kuat yang penuh dengan bakat. Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah sebagai berikut : a) Menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun konseptual (surprise). Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif. Kejutan dihasilkan ketika pemasar memulai dari sebuah harapan. Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan, atau sesuatu yang sama sekali lain dari yang mereka
40
harapkan yang pada akhirnya dapat membuat pelanggan merasa senang. Dalam experiential marketing, unsur surprise menempati hal yang sangat penting karena dengan pengalaman-pengalaman yang mengejutkan dapat memberikan kesan emosional yang mendalam dan diharapkan dapat terus membekas di benak konsumen dalam waktu yang lama. b) Berusaha untuk memikat pelanggan (intrigue) Jika kejutan berangkat dari sebuah harapan, intrigue campaign mencoba membangkitkan rasa ingin tahu pelanggan, apa saja yang memikat pelanggan. Namun, daya pikat ini tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap pelanggan. Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan, dan pengalaman pelanggan tersebut. c) Memberikan sedikit provokasi (provocate). Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi, atau menciptakan sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif.
d. Act Act berkaitan dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup seseorang. Hal ini berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan mengekspresikan gaya hidupnya. Hal ini berkaitan dengan tindakan yang
41
berhubungan
dengan
keseluruhan
individu
(pikiran
dan
tubuh)
untuk
meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik.
e. Relate Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang dapat menciptakan identitas sosial. Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan self-improvement, status socio-economic, dan image. Relate campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama.
2.1.6
Definisi Customer
Definisi customer (pelanggan) memberikan pandangan mendalam yang penting untuk dipahami mengapa perusahaan harus menciptakan dan memelihara pelanggan dan bukan hanya menarik pembeli.
42
Customer berasal dari kata custom, yang di definisikan sebagai “membuat sesuatu menjadi kebiasaan atau biasa” dan “mempraktikkan kebiasaan.” Yang dimaksud pelanggan adalah seseorang yang menjadi terbiasa untuk membeli dari suatu organisasi. Kebiasaan itu terbentuk melalui pembelian dan interaksi yang sering selama periode waktu tertentu. Tanpa adanya track record hubungan yang kuat dan pembelian berulang, orang tersebut bukanlah pelanggan, ia adalah pembeli. Pelanggan yang sejati tumbuh seiring dengan waktu (Griffin, 2005:31)
2.1.7
Definisi Customer Attitude
Menurut pandangan para ahli, attitude atau sikap, merupakan bagian dari kajian psikologi. Dikatakan bahwa sikap adalah pola perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku terhadap orang, ide, atau obyek yang tetap dalam jangka waktu yang lama (Lefton dalam Prasetijo &Ihalauw, 2005:104). Schiffman & Kanuk dalam Prasetijo & Ihalauw (2005:104) mengatakan bahwa sikap adalah predisposisi yang dipelajari dalam merespons secara konsisten sesuatu obyek, dalam bentuk suka maupun tidak suka. Dalam Prasetijo & Ihalauw (2005:106) konsep sikap terkait dengan definisi para ahli digambarkan sebagai berikut.
43
Gambar 2.4 Konsep Sikap Sumber: Prasetijo & Ihalauw (2005:106)
Dari definisi para ahli, dapat disimpulkan bahwa para ahli setuju akan konsep sikap yang dijelaskan sebagai berikut : a. Obyek Dalam bersikap, ada obyek yang disikapi. Obyek disini memiliki arti yang luas seperti; issues, tindakan, perilaku, cara kerja, orang atau peristiwa. b. Sikap adalah Suatu Predisposisi yang Dipelajari (Learned Predisposition) Predisposisi disebut juga kecenderungan umum. Dalam sikap, ada kecenderungan umum yang dipelajari atau dibentuk dan karena itu sikap memiliki kualitas motivasional yang dapat mendorong konsumen pada suatu perilaku tertentu. Dalam terapan pemasaran, sikap yang relevan terhadap perilaku beli terbentuk dari pengalaman langsung menggunakan produk, dari informasi yang diperoleh dari orang lain atau dari media massa.
44
c. Sikap itu Konsisten Secara
relatif,
sikap
selalu
konsisten
dengan
perilaku
yang
diperlihatkannya. Kindra, Laroche dan Muller dalam Prasetijo & Ihalauw (2005:104) bahkan mengemukakan bahwa sikap itu resisten terhadap perubahan. Sekali sikap terbentuk, tak mudah untuk mengubahnya. Walaupun resisten terhadap perubahan, sikap dapat berubah, tetapi sulit. Untuk membentuk sikap positif terhadap suatu produk atau jasa diperlukan biaya promosi yang tidak sedikit, dan apabila sikap terhadap suatu produk (terutama sikap negatif) sudah terbentuk, sulit sekali untuk mengubahnya. d. Sikap Terjadi dalam Suatu Situasi Situasi yang dimaksud adalah peristiwa atau keadaan pada saat pengamatan. Situasi ini mempengaruhi hubungan antara sikap dan perilaku. Sikap seseorang dikondisikan juga oleh situasi yang saat itu sedang terjadi. e. Sikap itu Terarah, dan Mempunyai Intensitas Tertentu Dikatakan terarah karena sikap menyebabkan orang mempunyai pandangan negatif atau positif terhadap obyek sikap. Seberapa besar ketidaksukaannya terhadap obyek sikap dinyatakan oleh intensitas dari sikap itu sendiri.
2.1.7.1 Komponen Pembentuk Attitude
45
Sikap (attitude) terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang, yang seringkali disebut sebagai Three Component Attitude Model. Model ini dikembangkan oleh para ahli perilaku, khususnya ahli perilaku sosial. Dalam Prasetijo & Ihalauw (2005:106) model tersebut digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.5 Three Component Attitude Model Sumber: Prasetijo & Ihalauw (2005:108)
Prasetijo & Ihalauw (2005:106) menjelaskan ketiga komponen tersebut yaitu sebagai berikut: a. Cognitive component: Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang
46
dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. b. Affective component: Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruhpengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. c. Conative component: Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku. Hawkins dalam Prasetijo & Ihalauw (2005:108) menyatakan bahwa ketiga komponen tersebut cenderung untuk konsisten, dalam artian perubahan salah satu komponen akan selalu diikuti oleh perubahan komponen-komponen yang lain. Akan tetapi terdapat faktor-faktor yang bisa mengurangi konsistensi ketiga komponen tersebut, yaitu sebagai berikut: a) Sikap positif mensyaratkan kebutuhan dan motivasi sebelum sikap tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan. Jadi, seseorang dapat bersikap
47
positif terhadap suatu produk atau jasa, tetapi sikap ini tidak diwujudkan dalam tindakan karena ia sudah memiliki produk tersebut. b) Untuk memanifestasikan sikap positif ke dalam bentuk kepemilikan dibutuhkan kemampuan. Contohnya, walaupun seseorang memiliki sikap positif terhadap mobil Mercedez, karena ia tidak mampu, maka ia membeli mobil lain yang lebih murah. c) Pengukuran sikap biasanya dilakukan untuk obyek sikap tertentu. Padahal terkadang hal itu tidak mencerminkan sikap yang sebenarnya. Contohnya, seorang mahasiswa membeli tape player merek Tens. Pemasar menilai bahwa ia memiliki sikap positif terhadap Tens. Keadaan yang sebenarnya adalah ia tidak mau membeli tape player merek Sony yang lebih mahal karena ia ingin juga membeli play station dari sisa uangnya. d) Bila komponen kognitif dan afektif tidak kuat, dan apabila konsumen bisa mendapatkan informasi lain pada waktu berbelanja, maka sikap dapat mudah berubah. e) Sikap seringkali tidak berasal atau dimilik oleh konsumen secara individu, tetapi terbentuk dari pengaruh orang lain seperti teman dan keluarga. Jadi, perilaku beli mungkin dilakukan untuk kepentingan keluarga. Pemasar seringkali terkecoh bila mengukur sikap secara sempit yaitu untuk individu yang bersangkutan saja. f) Sikap terhadap merek sering diukur tanpa mempertimbangkan situasi. Dalam situasi yang serba mendesak, perilaku beli belum tentu sebagai manifestasi dari sikap positif terhadap produk. Demikian pula bila
48
seseorang tidak membeli suatu produk, belum tentu karena ia mempunyai sikap negatif terhadap produk tersebut. Ia tidak membeli disebabkan karena situasi yang kurang tepat. g) Bila seseorang bertanya pada orang lain tentang sikapnya terhadap suatu produk, belum tentu ia bisa mengekspresikan dengan baik komponen kognitif dan afektifnya.
2.1.7.2 Faktor yang Mempengaruhi Attitude
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap Prasetijo & Ihalauw (2005:118) terhadap obyek sikap antara lain sebagai berikut : a. Pengalaman Pengalaman langsung oleh konsumen dalam mencoba dan mengevaluasi produk dapat mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk tersebut. Dengan maksud ini pulalah perusahaan dalam upaya pemasarannya sering memberikan sampel cuma-cuma dan kupon diskon bahkan beberapa merek kopi, teh, madu dan berbagai daging goreng tepung ditawarkan pada calon konsumen di mall dan di depan pasar swalayan. Tujuanya adalah agar konsumen mengalami produk baru dan sesudah itu mengevaluasinya. Bila memuaskan, maka konsumen diharapkan akan membentuk sikap positif dan mungkin membeli produk tersebut apabila kelak mereka membutuhkannya. b. Kepribadian
49
Keluarga, menurut Kindra dalam Prasetijo & Ihalauw (2005:118) adalah faktor penting dalam pembentukan sikap seseorang. Dalam keluarga itulah, seseorang membentuk nilai-nilai dasar dan keyakinannya. Selain keluarga, kontak dengan teman dan orang-orang lain di sekitarnya, terutama orang-orang yang dikagumi, juga berpengaruh dalam pembentukan kepribadian dan sikap seseorang. Karenanya pemasar memilih orang yang terkenal atau yang dikagumi segmen sasarannya untuk mengubah sikap atau meyakinkan mereka agar tetap bersikap positif terhadap produknya. c. Informasi dari Media Massa Pengaruh media massa tidak boleh dianggap remeh. Perusahaan menggunakan berbagai macam media massa secara efektif untuk mempengaruhi sikap audience yang merupakan konsumen atau calon konsumen perusahaan itu. Sikap dapat terbentuk dari jenis media massa yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi tentang produk.
2.1.7.3 Fungsi Attitude
Daniel Katz dalam Prasetijo & Ihalauw (2005:111) membagi fungsi sikap dalam empat kategori sebagai berikut: a. Fungsi Utilitarian Melalui instrumen suka dan tidak suka, sikap memungkinkan seseorang memilih produk yang memberikan hasil positif atau kepuasan, dan menolak produk yang tidak memberikan hasil positif atau kepuasan. Jadi, jika
50
seseorang membutuhkan zat penghilang noda pada baju, lalu ia mendapatkan produk dengan merek C, dan setelah dikonsumsi, ternyata zat dengan merek C itu benar-benar menghilangkan noda, maka dia akan membentuk sikap positif terhadap merek C tersebut. b. Fungsi Ego Defensive Orang cenderung mengembangkan sikap tertentu untuk melindungi egonya dari abrasi psikologis. Abrasi psikologis bisa timbul dari lingkungan yang kecanduan kerja. Untuk melarikan diri dari lingkungan yang tidak menyenangkan ini, orang tersebut membuat rasionalisasi (dengan demikian menghindar dari anxiety dan citra diri yang negatif) dengan mengembangkan sikap positif terhadap “gaya hidup yang santai”. Perokok berat sering tidak mempercayai hubungan antara merokok dengan gangguan kesehatan, sebagai hasil dari rasionalisasi. Dalam kenyataan, produk-produk atau merek-merek yang mewah dibeli sebagai kompensasi psikologis untuk perasaan rendah diri dan rasa tidak aman. Produk seringkali berfungsi sebagai simbol atau isyarat tentang diri pemiliknya. c. Fungsi Value/ Expressive (mengekspresikan nilai-nilai yang di anut) Fungsi ini memungkinkan konsumen untuk mengekspresikan secara jelas citra dirinya dan juga nilai-nilai inti yang dianutnya. Misalnya, mobil BMW mendukung orang yang ingin mengekspresikan dirinya sebagai eksekutif yang sukses. d. Fungsi Knowledge / Organization
51
Karena terbatasnya kapasitas otak manusia dalam memproses informasi, maka orang cenderung untuk bergantung pada pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan informasi dari lingkungan. Jadi, orang tersebut menolak semua makanan yang mengandung gula karena dia tidak suka gula. Generalisasi ini berdasarkan pada sifat tidak suka. Contoh generalisasi yang disebut stereotyping, misalnya, bahwa wanita adalah pengurus rumah tangga. Maka, iklan-iklan untuk produk rumah tangga memakai aktris, bukan aktor. Orang sering juga menyederhanakan pemrosesan informasi, misalnya dengan menganggap semua losmen bercitra negatif dan hotel bercitra positif.
2.1.7.4 Pengukuran Attitude
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourable. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable
52
dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner. Berikut adalah pendekatan-pendekatan yang lazim digunakan dalam pengukuran sikap (Prasetijo & Ihalauw, 2005:113): a. Observations dan Inference (observasi dan menarik kesimpulan). Pengukuran ini bersifat tidak langsung. Apa yang dapat diobservasi adalah perilaku, bukan sikap. Kesimpulan tentang sikap seseorang terhadap suatu obyek disimpulkan dari perilakunya. b. Qualitative Research Method (metode penelitian kualitatif). Penelitian sikap dengan cara ini dilakukan dengan wawancara yang menggali lebih dalam pemikiran, dan keyakinan konsumen akan suatu obyek. Juga daoat dilakukan dengan cara focus group discussion. c. Self Report Attitude Scales (skala sikap yang dilaporkan sendiri oleh konsumen). Ada tiga macam cara yang sering digunakan, yaitu: a) Likert Scales Misalnya: sangat setuju, setuju, kurang setuju, dan seterusnya. b) Semantic Differential Scales
53
Misalnya:
c) Rank Order Scales Disebutkan beberapa merek, konsumen harus mengurutkan mulai yang dianggap paling baik sampai yang paling buruk.
2.1.8
Konsep Customer Intention
Behavioral Intention of Customer atau perilaku niat pelanggan terhadap produk dan jasa merupakan hasil dari proses kepuasan yang dirasakan pelanggan terhadap produk dan jasa yang telah di berikan oleh penyedia produk dan jasa. Kepuasan yang di rasakan pelanggan terhadap produk dan jasa yang telah di berikan dapat memberikan pengaruh perilaku niat pelanggan yang tinggi atau rendah tergantung seberapa besar kepuasan yang di rasakan pelanggan. Niat atau intention adalah maksud atau keinginan kuat di dalam hati untuk melakukan sesuatu (Wikipedia Ensiklopedi, 2011). Sedangkan definisi niat menurut Macmillan Dictionary (2011) yaitu suatu rencana dalam pikiran untuk melakukan sesuatu. Menurut Zeithaml, et al., perilaku niat adalah hasil dari proses kepuasan yang menekankan perilaku niat untuk memahami seorang pelanggan mengambil
54
keputusan untuk tetap tinggal dengan atau pindah dari perusahaan. Niat berkaitan dengan keinginan terhadap suatu hal yang biasanya diikuti oleh tingkah laku yang mendukung keinginan tersebut dan merupakan kecenderungan untuk melakukan tindakan atau perilaku atau sesuatu yang segera mendahului tingkah laku pembelian yang sebenarnya.
2.1.8.1 Elemen Customer Intention
Parasuraman (2006) mengidentifikasi lima dimensi niat perilaku positif cenderung ke arah loyal kepada perusahaan. Dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut: a. Propensity to switch, b. Willingness to pay more, c. External response to problem d. Internal response to problem.
Bloemer,
de
Ruyter,
dan
Wetzels
dalam
Japarianto
(2006:46)
menggunakan item yang sama dengan Parasuraman et al. Namun mereka menemukan dimensi yang berbeda untuk niat perilaku yaitu: a. repurchase intentions, b. word of mouth communication, c. price sensitivity
55
d. complaining behavior.
Mereka juga menemukan bahwa hubungan antara service quality dan intention memiliki perbedaan di tiap industri (Parasuraman, Zeithaml, danBerry, dalam Japarianto, 2006:46).
2.1.8.2 Pengukuran Customer Intention
Berdasarkan pembagian elemen yang telah disebutkan di atas, dan juga berdasarkan tinjauan dari berbagai literatur, perilaku niat pelanggan dapat dilihat dari beberapa pengukuran seperti niat pembelian kembali (repurchase intention), word of mouth, kesetiaan (loyality), perilaku komplain (complaint behavior), dan sensitivitas terhadap harga (price sensitivity). Definisi dari masing-masing pengukuran behavioral intention dalam penelitian Wahyuningsih (2005) tersebut di uraikan sebagai berikut:
a. Niat Pembelian Kembali (Repurchase Intention) Menurut Hellier dalam Wahyuningsih (2005), definisi repurchase intention yaitu “the individual’s judgement about buying again a designated service from the same company, taking into account his or her current situation and likely circumstances”.
56
Artinya yaitu penilaian individu mengenai pembelian kembali sebuah layanan dari perusahaan yang sama, dengan mempertimbangkan situasi saat ini, dan situasi yang mungkin terjadi. b. Word of Mouth Communication (WOM) Menurut Westbrook dalam Wahyuningsih (2005), definisi word of mouth communication yaitu “informal communications directed at other consumers about the ownership, usage, or characteristic of particular goods and services and/or their sellers”. Dapat di artikan bahwa word of mouth communication adalah suatu komunikasi informal yang diarahkan kepada konsumen lain tentang kepemilikan, penggunaan, atau karakteristik barang dan jasa tertentu, dan atau penjual mereka. WOM yang positif adalah niat pelanggan untuk merekomendasikan apa yang mereka alami terkait obyek baik produk ataupun jasa, kepada orang lain. c. Loyality Adalah bentuk kesetiaan pelanggan baik terhadap produk atau jasa tertentu ataupun terhadap perusahaan yang menawarkan produk atau jasa tersebut. Griffin (2003:113), memberikan pengertian loyalitas : “When a customer is loyal, he or she exhibits purchase behavior defined as non-random purchase expressed over time by some decision-making un\it.” d. Complaint Behavior Menurut Irawan (2002), komplain berasal dari bahasa latin “plangere” yang artinya adalah memukul dan pukulan ini ditujukan ke bagian dada. Setelah
57
proses evolusi yang panjang, saat ini komplain lebih di artikan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan atau sesuatu yang mengganggu. Namun demikian saat ini sudah banyak terjadi pergeseran dimana perusahaan justru mendorong pelanggan untuk melakukan komplain. Komplain tidak dianggap sebagai sesuatu yang negatif, melainkan memiliki sisi positif. Pelanggan yang tidak puas tetapi tidak melakukan komplain, akan besar kemungkinannya untuk melakukan switching, beralih pada perusahaan lainnya. e. Price Sensitivity Sensitivitas harga dapat didefinisikan sebagai kesadaran pelanggan untuk membandingkan harga dan jangkauan ketika mereka ingin melakukan transaksi. Pelanggan yang sensitif terhadap harga biasanya berkonsentrasi membeli produk dengan harga yang murah. Namun pelanggan yang sensitif terhadap harga ini tergantung juga pada kondisi pasar. (http://www.managementstudyguide.com/) Teori ini di dukung oleh penelitian yang di lakukan oleh Wahyuningsih (2005) yang meneliti mengenai hubungan antara customer value, satisfaction, dan behavioral intentions. Dua perilaku niat yang di bahas dalam penelitian tersebut dan juga paling banyak dibahas oleh pakar-pakar lain yaitu repurchase intention dan word of mouth communication. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua perilaku tersebut repurchase intention dan word of mouth communication sebagai pengukuran customer behavioral intention.
58
2.1.9
Amusement Park
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, taman hiburan atau yang dalam bahasa inggris-nya di sebut amusement park, merupakan tempat yang mempunyai berbagai jenis hiburan dan pertunjukan. Taman hiburan merupakan tempat dengan daya tarik yang terdiri atas wahana permainan seperti roller coaster dan balap air. Biasanya taman hiburan memiliki pilihan sejumlah jenis wahana permainan yang berbeda, bersama dengan toko, restoran, dan outlet hiburan lainnya. Taman hiburan dapat dinikmati oleh kaum tua maupun muda (Wikipedia, 2010). Taman hiburan (amusement park) adalah istilah yang di tujukan untuk kelompok atraksi hiburan dan wahana dan peristiwa lainnya di suatu lokasi untuk di nikmati sejumlah besar orang. Istilah amusement park lebih dari sebuah taman kota atau taman bermain yang sederhana, berdasarkan tinjauan literatur dikatakan bahwa amusement park biasanya menyediakan tempat untuk melayani anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Pada awalnya dalam sejarah, amusement park berkembang di Eropa dari pameran (fairs) dan taman permainan (pleasure garden) yang diciptakan untuk rekreasi masyarakat. Dalam Bahasa Inggris, garden berasal dari kata Guard yang berarti menjaga dan Eden yang berarti kesenangan, jadi bisa diartikan bahwa taman (garden) adalah sebuah tempat yang di gunakan untuk kesenangan yang di jaga keberadaannya. Pada zaman dahulu, taman hanya di miliki oleh para bangsawan, yang mana tidak semua orang dapat masuk ke dalamnya.
59
Dalam perkembangannya, berbeda dengan funfairs dan carnaval yang lokasinya berpindah-pindah dalam beberapa hari atau beberapa minggu pertahun, amusement park memiliki lokasi yang tetap dan tidak berpindah-pindah dalam jangka waktu yang panjang. Taman hiburan (amusement park) tertua di dunia adalah Bakken yang dibuka pada tahun 1583 di Klampenborg, utara Kopenhagen, Denmark. Di Amerika Serikat, munculnya pameran dunia dan eksposisi yang lain mempengaruhi perkembangan industri taman hiburan.
2.1.9.1 Konsep Theme Park
Dalam bahasa umum, taman bertema atau theme park sering digunakan sebagai sinonim untuk istilah amusement park. Namun demikian, theme park sebenarnya cukup berbeda dari amusement park. Theme Park sendiri sebenarnya adalah perkembangan dari sebuah amusement park. Di masa lalu, sebagian besar theme park terletak di Eropa dan Amerika Serikat. Setelah Disney World mendirikan theme park pertama di dunia yaitu Disney Land yang terletak di Anaheim, California, (dibangun dengan konsep encapsulating multiple theme park dalam satu amusement park), dengan mengubah taman hiburan tradisional menjadi taman dengan fasilitas rekreasi inovatif, satu persatu theme park telah didirikan di banyak negara lain. Menurut Manahampi (2008), hal yang melatar belakangi munculnya sebuah theme park adalah keinginan untuk hidup melampaui batas budaya, tempat
60
dan waktu telah membawa pada kombinasi yang tak terbatas, yang menjadi prinsip dasar theme park, yang menggambarkan adanya suatu pengakuan terhadap perbedaan dan keberanekaragaman atau pluralitas. Jika di kaji lebih dalam mengenai definisi theme park, menurut Dictionary.com Unabridged (2011), theme park di nyatakan sebagai sebuah taman hiburan (amusement park) di mana lansekap, bangunan, dan atraksinya di dasarkan pada satu atau lebih tema tertentu, seperti jungle wildlife, dongeng (fairy tale), atau pun Old West. Hal ini juga di dukung oleh definisi theme park berdasarkan Collins English Dictionary (2009) yang menyatakan bahwa theme park merupakan area yang di rencanakan sebagai daya tarik rekreasi di mana semua tampilan, bangunan, kegiatan, dan sebagainya, di dasarkan atau berhubungan dengan suatu objek tertentu. Wylson & Wylson P. dalam Chin & Wu (2009) menunjukkan bahwa theme park merujuk untuk pembangunan bangunan buatan dan fasilitas dengan menunjukkan dan meniru tema ilmiah, budaya, atau sejarah. Kemudian dengan mempertimbangkan fasilitas, Daneshku dalam Chin & Wu (2009) menyimpulkan bahwa theme park adalah pusat yang menyediakan fasilitas makanan, toko ritel, fasilitas perbankan, dan bahkan akomodasi hotel yang terpadu untuk layanan paket wisata yang menciptakan pengalaman. Menurut Fang, Bao Yi dalam Chin & Wu (2009), theme park di anggap sebagai tempat dimana para pengusaha mengelola zona spesifik dengan mekanisme manajemen dan fasilitas desain buatan serta hardware dan software
61
atau lansekap dengan meniru tema untuk memberikan wisatawan rekreasi dan hiburan, dan wisatawan harus membayar biaya tertentu untuk memuaskan fisikal tertentu dan tuntutan mental. Chen, Chin-Chuan dalam Chin & Wu (2009) mengasumsikan bahwa theme park secara artifisial memanipulasi suasana lingkungannya, yang merupakan tempat rekreasi dan hiburan memiliki tema dan atmosfer tertentu dengan meniru beberapa histori khusus atau tema lansekap atau menunjukkan sebuah dongeng atau legenda tertentu sebagai tema atau menggabungkan berbagai tema secara bersamaan. Kedua jenis tersebut di atas membuat pilihan destinasi sesuai dengan tuntutan konsumen yang akan datang sehingga taman mendapatkan kesempatan untuk menciptakan pasar baru. NAPHA (National Amusement Park History Association) dalam Chin & Wu (2009) mendefinisikan theme park sebagai taman hiburan dengan roller coaster, atraksi, pertunjukan dan bangunan yang merupakan pusat pertunjukan tema atau satu set tema. Yen, Ken-Yuan (2004) menyimpulkan bahwa sebuah theme park merupakan suasana lingkungan virtual dengan perwakilan tema yang menjadi tujuan pemasaran
di mana lingkungan seperti itu memiliki budaya,
pendidikan, hiburan dan kebudayaan lokal serta memberikan penekanan kepada pelanggan agar merasakan pengalaman unik dan segar dengan audio dan video dan juga stimulus kecepatan. Theme park merupakan sebuah tempat wisata dengan konsep yang relatif baru dan berupaya untuk menciptakan fantasi suasana tempat lain dan lain waktu.
62
Tema umumnya dikomunikasikan melalui rangsangan visual dan vokal, serta melibatkan indera lainnya seperti aroma dan sentuhan. Saat ini tema yang di gunakan oleh theme park, atraksi, hotel, restoran dan rekreasi, serta fasilitas wisata lainnya, sudah dapat tercermin melalui arsitektur, lansekap, kostum-kostum personilnya, wahana, pertunjukan, jasa makanan, merchandising, dan layanan lainnya yang dapat menciptakan pengalaman bagi para pengunjung (Milman, 2010). Selain itu untuk wahana, pertunjukan, outlet ritel, dan fasilitas pelayanan makanan, saat ini theme park telah menawarkan banyak layanan lainnya, termasuk fasilitas pemesanan on-line, hotel, kompleks, hiburan malam, dan jasa transportasi (‘Clave, 2007). Dapat di simpulkan bahwa saat ini theme park dan atraksi lebih terintegrasi dengan destinasi wisata serta fasilitas hiburan lainnya dan dampaknya theme park memberikan kontribusi ekonomi yang lebih. Industri theme park telah menghasilkan lingkaran sosial ekonomi yang luas, dan pengaruh politik, mulai dari perencanaan kota, pelestarian tempat bersejarah, bangunan arsitektur, desain pusat perbelanjaan, dan juga lansekap (Milman, 2010:339).
2.1.9.2 Kontribusi Theme Park dan Atraksi Dalam Keberlangsungan Destinasi Wisata
63
Seperti yang di ilustrasikan oleh Milman (2010:338), industri theme park telah berkembang pesat secara global dalam tiga dekade terakhir, dengan berbagai perkembangan mulai dari ukuran, kapasitas, produk, dan penawaran hiburan. Pada tahun 2008, lebih dari 186 juta orang mengunjungi theme park yang berada di 25 tingkat teratas di seluruh dunia Rubin dalam Milman (2010:339). Angka ini lebih tinggi dari jumlah wisatawan internasional yang mengunjungi Spanyol, Cina, Italia, dan Inggris pada tahun 2008 (World Tourism Organization, dalam Milman, 2010:339). Menurut PricewaterhouseCoopers dalam Milman (2010:339), baik destinasi maupun theme park regional, di proyeksikan akan mengalami pertumbuhan tahunan secara menyeluruh dalam periode 2008-2012. Theme park dan objek wisata juga dapat meningkatkan citra destinasi, meningkatkan pariwisata sehingga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat, dan menyediakan kesempatan pendidikan dan hiburan kepada publik. Theme park juga berkontribusi terhadap keberlanjutan destinasi dengan memberikan kesempatan pekerjaan bagi semua segmen pasar tenaga kerja (Milman, 2010). Industri theme park akan tumbuh secara global di berbagai daerah di dunia. Namun, Asia di perkirakan akan menunjukkan tingkat pertumbuhan tertinggi (PricewaterhouseCoopers, dalam Milman, 2010:339). Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan oleh Kawamura & Hara dalam Milman (2010) dan Henderson dalam Milman (2010), menyatakan bahwa perkembangan theme park dan atraksi, tidak selalu meraih kesuksesan melalui
64
proses yang mudah. Dalam banyak kasus, pengembangan theme park dan atraksi baru dapat menimbulkan permasalahan tak terduga dan tantangan bagi pemilik theme park dan destinasi. Para peneliti menyimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang menentukan keberhasilan kontribusi pembangunan dan pengelolaan theme park, yang meliputi jumlah pengunjung yang berkelanjutan, perlindungan hak cipta, kualitas wahana dan pertunjukan, pengurangan biaya tenaga kerja, penyediaan tambahan investasi modal, penggunaan modal eksternal tanpa membebani neraca keuangan (balance sheet), memaksimalkan penyerapan barang dan jasa publik, memperoleh dan mengembangkan real estate pada biaya serendah mungkin. Pemerintah daerah beranggapan bahwa theme park dapat menjadi daya tarik untuk mempercepat pembangunan pariwisata. Oleh karena itu pemerintah dapat mengalokasikan sejumlah besar dana masyarakat untuk theme park, dengan harapan akan berdampak positif bagi pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Kawamura & Hara dalam Milman (2010) menyimpulkan bahwa kesuksesan pembangunan theme park pasti akan berkontribusi terhadap keberlanjutan lokal. Selain itu, pemerintah daerah dan warga akan dapat menikmati efek eksternal keberhasilan theme park dengan meningkatnya pendapatan pajak dan peluang peningkatan upah. Sebaliknya, situasi theme park yang memburuk dapat memaksa pemerintah daerah untuk mempertimbangkan dukungan langsung mereka pada theme park. Serupa dengan studi Kawamura & Hara dalam Milman (2010),
65
Henderson dalam Milman (2010) juga memberikan temuan dan bahasan yang menarik tentang bagaimana mengembangkan atraksi pengunjung dan peran meraka dalam pembangunan destinasi secara berkelanjutan dengan referensi spesifik dua proyek di Singapura. Henderson menyimpulkan bahwa keberhasilan atraksi pengunjung baru tergantung pada sejumlah faktor, beberapa di antaranya di luar kendali industri stackholder, seperti ekonomi regional atau global, dan krisis politik.
2.2
Hubungan Antar Variabel Service Quality, Variabel Experiental Marketing, Variabel Customer Satisfaction dan Variabel Customer Attitude Serta Variabel Customer Intention
a) Service Quality dan Customer Attitude Sebagaimana yang dikutip dalam Suh & Padersen (2010:81), bahwa peneliti sebelumnya menggunakan variabel satisfaction dan attitude sebagai variabel mediasi yang menghubungkan service quality dan penggunaan aktual dari sebuah situs fantasi olahraga. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa service quality memberikan pengaruh langsung terhadap customer attitude yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara service quality dengan pembentukan customer
66
attitude yang positif. Semakin tinggi kualitas service akan mendorong customer attitude semakin meningkat.
b) Experiental Marketing dan Customer Attitude Sebagaimana yang dikutip dari Thakur (2005:24) yang menyatakan bahwa jika customer merasakan experience (pengalaman) yang positif dengan perusahaan, maka mereka akan memberikan attitude (sikap) yang positif terhadap perusahaan. Senada dengan pernyataan ini, Allen, Schewe dan Wijk dalam Thakur (2005:24) menyatakan bahwa jika customer memiliki pengalaman yang positif dengan perusahaan, maka mereka akan memiliki persepsi positif tentang perusahaan dimana akan meningkatkan kecenderungan customer untuk menunjukkan perilaku yang serupa.
c) Service Quality dan Customer Intention Bitner dalam Suh & Pedersen (2010) menyarankan bahwa terdapat efek langsung antara service quality dan behavioral intention. Sebuah studi oleh Levesque & McDougall dalam Thakur (2005:22) berpendapat bahwa service quality yang tidak memuaskan dapat menurunkan customer satisfaction dan relation share mereka pada perusahaan. hal ini juga akan mengurangi niat atau kesediaan mereka untuk merekomendasikan kepada teman mereka (word-of-mouth intention).
67
d) Experiental Marketing dan Customer Intention Penelitian yang dilakukan oleh Chan, Luo, Ching dan Liu (2008:1) mengenai Virtual Experiential Marketing pada Online Customer Intentions dan Loyalty menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara Visual Experiental Marketing dengan Customer Intention, dalam penelitian ini disebutkan niat yang dimaksud adalah niat pembelian (purchase intention).
e) Customer Attitude dan Customer Intention Dalam Chan, Luo, Ching dan Liu (2008:2) disebutkan mengenai landasan teori pendukung niat, theory of reasoned action (TRA), yang menyatakan bahwa perilaku niat (behavioral intention) terbentuk melalui sikap (attitude) terhadap perilaku dan norma subyektif menyebabkan perilaku memiliki peluang aktual. Azjen dalam Chan, Luo, Ching dan Liu (2008:2) menunjukkan bahwa pada umumnya, semakin kuat
niat
seseorang, semakin besar kemungkinan ia akan melakukan perilaku. Sikap terhadap perilaku mencerminkan minat seseorang dalam melakukan suatu perilaku tertentu, dan ditentukan melalui keyakinan perilaku. Keyakinan diperoleh melalui hasil evaluasi kognitif terkait dengan melakukan perilaku dan kekuatan asosiasi antara hasil dan perilaku. Proses evaluasi menghasilkan respon favorable atau unfavorable terhadap obyek, orang, suatu hal atau kejadian.
68
Thakur (2005:24) berpendapat bahwa intention, dipengaruhi oleh attitude (sikap) terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi atas kontrol perilaku. Jika customer memiliki pengetahuan yang baik mengenai perusahaan maka customer akan berpeluang memberikan sikap yang baik terhadap perusahaan, dan hal ini akan mempengaruhi perilaku niat customer. Sikap customer terhadap perusahaan ditentukan oleh beliefs (keyakinan) customer tersebut akan perusahaan.
2.3
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan dasar-dasar yang telah di uraikan sebelumnya, terkait dengan penelitian, maka peneliti menggambarkan rerangka pemikiran sebagai berikut:
69
Gambar 2.7 Bagan Kerangka Sumber : Peneliti (2011)
Model penelitian yang menggambarkan hubungan antar variabel di uraikan sebagai berikut :
Gambar 2.8 Bagan Hubungan antar Variabel Sumber : Peneliti (2011)
70
2.4 Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian berdasarkan tujuan penelitian T-1 dan T-2 yang akan diuraikan sebagai berikut:
•
Pengujian mengenai apakah service quality dan implementasi strategi experiental marketing yang telah dilakukan selama ini berpengaruh baik secara parsial maupun gabungan terhadap customer attitude
pada Dunia
Fantasi.
Hipotesis 1: Ho : Variabel Service Quality (X1) dan Experiental Marketing (X2) tidak memiliki kontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Customer Attitude (Y) pada Dunia Fantasi. Ha : Variabel Service Quality (X1) dan Experiental Marketing (X2) memiliki kontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Customer Attitude (Y) pada Dunia Fantasi
Hipotesis 2: Ho: Variabel Service Quality (X1) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Attitude (Y) pada Dunia Fantasi.
71
Ha: Variabel Service Quality (X1) berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Attitude (Y) pada Dunia Fantasi.
Hipotesis 3: Ho: Variabel Experiental Marketing (X2) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Attitude (Y) pada Dunia Fantasi. Ha: Variabel Experiental Marketing (X2) berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Attitude (Y) pada Dunia Fantasi.
•
Pengujian mengenai apakah service quality dan implementasi strategi experiental marketing yang telah dilakukan selama ini, serta customer attitude berpengaruh baik secara parsial maupun gabungan terhadap customer intention pada Dunia Fantasi
Hipotesis 4: Ho: Variabel Service Quality (X1), Experiental Marketing (X2) dan Customer Attitude (Y) tidak memiliki kontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi. Ha: Variabel Service Quality (X1), Experiental Marketing (X2) dan Customer Attitude (Y) memiliki kontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi.
72
Hipotesis 5: Ho: Variabel Service Quality (X1) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi. Ha: Variabel Service Quality (X1) berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi.
Hipotesis 6: Ho: Variabel Experiental Marketing (X2) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi. Ha: Variabel Experiental Marketing (X2) berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi.
Hipotesis 7: Ho: Variabel Customer Attitude (Y) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi. Ha: Variabel Customer Attitude (Y) berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Customer Intention (Z) pada Dunia Fantasi.