BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, dan HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Experiential Marketing Menurut Pine dan Gilmore (1998) terdapat empat tingkatan dalam ilmu pemasaran (economic value) yang menawarkan dasar utama yang berbeda, dimana setiap tingkatan memiliki perbedaan dalam arti dan pengaruh masingmasing dalam menciptakan nilai ekonomi yang lebih baik. Tabel 2.1 Economic Distinctions Economic Offering
Commodities
Goods
Services
Experiences
Economy
Agrarian
Industrial
Service
Experience
Extract
Make
Deliver
Stage
Fungible
Tangible
Intangible
Memorable
Key Attribute
Natural
Standardized
Customized
Personal
Method of Supply
Scored in Bulk
Inventoried after production
Delivered and demand
Revealed over a duration
Seller
Trader
Manufacturer
Provider
Stager
Buyer
Market
User
Client
Quest
Factors of Demand
Characteristics
Features
Benefits
Sensations
Economic Function Nature of Offering
Pada tahap commodities tidak terdapat perbedaan antara produk satu dan lainnya. Harga tidak bisa ditentukan sendiri karena sangat tergantung pada suplai dan permintaan. Kondisi ini sering terjadi pada industri agrikultur, seperti pertanian, perkebunan dan perikanan. Tahap goods, dimana tahap ini sudah
11
12
memperlihatkan adanya perbedaan harga yang diakibatkan oleh diferensiasi produk yang dilakukan perusahaan. Tahap services, dimana pelanggan telah membeli produk atau jasa dalam satu paket lain, apakah itu layanan sebelum atau sesudah penjualan. Pelanggan pada tingkatan ekonomi ini sudah dapat mempertimbangkan kepuasan mereka. Tahap experiences, pada tahapan ini tujuannya bukan hanya untuk memuaskan orang, tetapi membuat mereka tertarik dan pelanggan mempunyai memori yang mengesankan, sehingga jika dilihat perbedaannya maka tahap commodities adalah fungible, goods adalah tangible, service adalah intangible, dan experiences adalah memorable (Pine dan Gilmore 1999:11) Schmitt (1999:3) melihat fenomena ini sebagai perubahan menuju era baru dimana akan terjadi perubahan akan prinsip-prinsip dan model traditional marketing yang selama ini dipakai oleh para pemasar dimana konsep traditional feature and benefit marketing akan berubah menjadi experiental marketing. Atas dasar itu kemudian dijelaskan konsep traditional marketing dan experiential marketing menurut Schmitt sebagai berikut: Tabel 2.2 Perubahan fokus traditional marketing dan experiential marketing Traditional Marketing Fokus pada Feature dan Benefit Kategori
dan
Kompetisi
Experiential Marketing Fokus pada Pengalaman Pelanggan produk Analisis pola konsumsi
didefinisikan secara sempit Customer
dilihat
sebagai
keputusan yang rasional
pengambil Mengenali aspek rasional dan emosional yang memicu konsumsi
13
Traditional Marketing
Experiential Marketing
Metode dan alat yang digunakan adalah Metode dan perangkat yang digunakan analisis, kuantitatif dan verbal Sumber
bersifat elektik
:Bernd, H Schmitt, Experiential Marketing, How To Get Customers To SENSE, FEEL, THINK, ACT, and RELATE, to Your Company and Brands, THE FREE PRESS, New Yord. 1999
2.1.1.1 Traditional Marketing Menurut Schmitt (1999:13), traditional marketing memiliki empat karakteristik, yaitu: 1. Focus on functional Features and Benefits Menurut kotler (Schmitt,1999:14) features adalah karakteristik yang mendukung fungsi utama dari produk. Features merupakan alat untuk menciptakan differensiasi dari sebuah penawaran, karena pelanggan diasumsikan memilih sebuah produk berdasarkan fiturnya. Sedangkan benefit muncul dari functional features. Benefit adalah karakteristik kegunaan yang pelanggan cari dari sebuah produk. Traditional marketing sebagian besar berfokus pada features dan benefit. Pemasar tradisional mengasumsikan bahwa pelanggan di segmen pasar apapun selalu menitikberatkan pada bobot features dari sebuah produk, nilai lebih dari features sebuah produk, dan memilih produk dengan manfaat yang paling tinggi 2. Product category and competition are narrowly defined Pemasar tradisional selalu mendefinisikan kategori dan kompetisi produk secara sempit, pemasar tradisional mendefinisikan kompetitor Mc Donalds adalah
14
Burger king dan Wendy’s (tidak dibanding kan dengan Pizza Hut atau Starbucks), Carrefour dengan Lottemart (bukan dengan Yogya atau Griya). 3. Customer are viewed as rational decision maker Menurut konsep traditional marketing, pelanggan dipandang sebagai pengambil keputusan yang rasional. Proses pengambilan keputusan diasumsikan ke dalam beberapa langkah sebagai berikut: a. Pengenalan kebutuhan. Kesenjangan persepsi antara pernyataan pemuas kebutuhan dengan keadaan yang sebenarnyalah yang mendorong customer untuk mengurangi kesenjangan tersebut. b. Pencarian informasi. Pelanggan selalu mencari informasi dari mana pun, catalog, membandingkan langsung dan sumber lainnya. c. Evaluasi berbagai alternatif. Pelanggan selalu membandingkan produk yang ada dari segi features dan benefit sehingga ada poin terbesar untuk memilih produk tersebut. d. Membeli dan mengkonsumsi. Pelanggan akan membeli alternatif terbaik dan menggunakannya, dan akan selalu mendapatkan tingkat kepuasan dengan membandingkan daya guna yang diharapkan dengan yang sebenarnya setelah memakai produk tersebut. Jika pelanggan puas maka dia akan membeli kembali produk tersebut suatu saat. 4. Methods and tool are analytical, quantitative, and verbal Metode yang sering digunakan dalam traditional marketing adalah sebagai berikut: a. Regression Model
15
b. Peta Positioning c. Conjoint Analysis 2.1.1.2 Experiential Marketing Ditengah situasi ketatnya persaingan dunia bisnis dewasa ini , strategi pemasaran modern perlu diterapkan oleh para pemasar agar mampu memperkuat komponen keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan titik pembeda (point of differentiation) yang sulit ditiru oleh para pesaingnya. Bukan saatnya lagi perusahaan mengandalkan feature and benefit, terlebih lagi hanya menganggap pembelian konsumen hanya bersifat transaksional semata yang didasarkan pada cost and benefit Para pemasar harus mampu mengemas produknya sehingga tidak hanya menawarkan benefit and cost namun mampu menawarkan pengalaman yang unik dengan memasukkan unsur-unsur yang dapat mengoptimalkan fungsi seluruh indera, hati, pikiran untuk memenuhi fantasi, perasaan dan kesenangan pelanggan. Strategi pemasaran ini dikenal dengan nama experiential marketing. Menurut
Smilansky
(2009:13)
Experiential
Marketing
adalah
“Experiential Marketing adalah proses untuk mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi konsumen, menyatukannya melalui komunikasi dua arah yang membawa merek kedalam kehidupan dan membawa nilai ke konsumen yang dituju”. Schmitt (1999:25) menjelaskan empat karakteristik dari experiential marketing, yaitu:
16
1. Focus on Customer Experience Experience muncul sebagai hasil dari menemukan, mengalami dan hidup dengan situasi tertentu. Hal tersebut yang akan memacu stimulasi perasaan, hati dan pikiran. Experience akan memberikan nilai secara emosional, kognitif, perilaku, dan hubungan yang menggantikan nilai fungsional. 2. Examining the Consumption Situation Dalam mengkonsumsi produk, pelanggan tidak dilihat secara parsial. Artinya bagaimana sebuah produk dapat memberikan experience saat konsumen mengkonsumsi produk tersebut. Dalam memandang kompetisi pun, konsep kategori produk semakin melebar. 3. Customers are Rational and Emotional Awards Pengalaman dalam hidup sering digunakan untuk memenuhi fantasi, perasaan, dan kesenangan. Banyak keputusan dibuat dengan menuruti kata hati dan tidak rasional. Dalam experiential marketing pelanggan merasa senang dengan keputusan pembelian yang telah dibuat. 4. Methods and Tools Are Eclectic Dalam experiential marketing, metode dan alat yang digunakan dalam riset selalu berubah-ubah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 2.1.2 Strategic Experiential Modules Schmitt dan Rogers (2008:116) mengenalkan kerangka dalam mengelola pengalaman pelanggan (experiential marketing) yang dibagi menjadi dua konsep yaitu Strategic Experiential Modules dan Experiential Providers.
17
Menurut Schmitt dan Rogers (2008:116) Strategic Experiential modules merupakan kerangka experiential marketing yang terdiri dari pengalaman melalui indera (sense), pengalaman afektif (feel), pengalaman kognitif kreatif (think), pengalaman fisik dan keseluruhan gaya hidup (act) serta pengalaman yang menimbulkan hubungan dengan kelompok referensi tertentu atau kultur tertentu (relate). Strategic Experiential Modules terdiri dari lima karakteristik, yaitu 1. Sense Sense bertujuan untuk menciptakan pengalaman yang berhubungan dengan panca indera melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan bau dari suatu produk tertentu. Terdapat tiga fungsi utama dari sense marketing, yakni untuk membedakan perusahaan dan produknya dari produk pesaing (differentiator), untuk memotivasi konsumen dalam rangka memilih produk tertentu dari perusahaan (motivator), dan untuk menambah nilai suatu produk (add value to product). (Schmitt dan Rogers, 2008:116). 2. Feel Feel mengacu pada perasaan dan emosi pelanggan dengan tujuan menciptakan pengalaman afektif (affective experiences) dari perasaan positif yang lemah dan berhubungan dengan merek (brand) hingga pada emosi kesenangan dan kebanggan yang kuat terhadap merek (Schmitt dan Rogers, 2008:117). Yang diperlukan agar feel dapat bekerja optimal adalah dengan memahami rangsangan yang dapat memicu emosi konsumen sehingga timbul niat untuk mencoba produk yang ditawarkan perusahaan.
18
3. Think Think digunakan dengan tujuan menciptakan pengalaman kognitif, pengalaman dalam memecahkan suatu masalah, serta merangsang konsumen untuk berpikir secara kreatif. Think menghubungkan pola pikir divergen (divergen thinking) dan pola pikir konvergen (convergent thinking) konsumen (Schmitt dan Rogers, 2008:117). Think biasanya digunakan pada produk dengan teknologi baru, akan tetapi tidak terbatas hanya pada produk dengan teknologi tinggi. Think juga selalu digunakan dalam desain produk, retailing dan dalam komunikasi di berbagai jenis industri (Schmitt, 1999: 67). 4. Act Act bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen (behavior), gaya hidup konsumen (lifestyle) dan interaksi konsumen dengan perusahaan (Schmitt dan Rogers, 2008:118). Act dapat memperkaya kehidupan konsumen dengan menambah pengalaman fisik konsumen, menunjukkan kepada konsumen cara-cara baru dalam melakukan sesuatu, pilihan gaya hidup alternatif yang menarik, dan interaksi-interaksi yang bisa dilakukan konsumen dengan perusahaan (Schmitt dan Rogers, 2008: 118). Tujuan pemasaran pada pengalaman fisik konsumen (bodily experience) tergantung pada penciptaan produk yang tepat, rangsangan dan atmosfer (Schmitt 1999: 161). Sedangkan gaya hidup menurut Kotler dan Keller (2010: 173), menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan interaksi dapat sebagai sumber experience adalah isu
19
kunci bagi service provider (people) (Schmitt, 1999: 169). Orang (people) mampu memberikan empati yang mendalam kepada konsumen sehingga berdampak langsung terhadap pembentukan pengalaman emosional konsumen (Schmitt, 1999:92). 5. Relate Relate tidak hanya mengacu pada sensasi individual, perasaan kognisi dan tindakan dengan menghubungkan individu dengan batasan konteks sosial dan budaya yang tercermin dari sebuah merek (Schmitt dan Rogers, 2008: 118). Relate terdiri dari aspek-aspek yaitu: sense, feel, think, dan act secara terpadu. Intinya, relate menghubungkan konsumen dengan perusahaan dalam suatu tingkat keakraban jangka panjang yang kuat dan harmonis. (Schmitt dan Rogers, 2008:118). 2.1.3 Experiential Providers Experiential providers adalah alat taktis yang digunakan pemasar untuk menciptakan experiential marketing. Menurut Schmitt dan Rogers (2008:120) experiential providers memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Communication Communication mencakup periklanan (advertising), magalogs, brosur, dan laporan berkala perusahaan (Schmitt dan Rogers, 2008:120) a. Advertising Periklanan merupakan salah satu alat terkuat dalam experiential providers yang dapat menciptakan seluruh tipe strategic experiential modules (Schmitt dan Rogers, 2008: 120).
20
b. Magalogs Magalogs merupakan gabungan dari magazine dan catalog. Magalogs secara spesifik menawarkan gabungan antara fitur dari catalog seperti penyebaran produk dan harga untuk memberikan memori gambar pada artikel mengenai gaya hidup dan citra (image) yang terbentuk di benak konsumen. Magalogs merupakan cara yang umum bagi para pengecer untuk membangun hubungan experiential antara pengecer dan pelanggan sasaran (Schmitt dan Rogers, 2008:122). 2. Visual/Verbal identity Menurut Schmitt dan Rogers(2008:123) identitas visual/verbal terdiri dari: a. Brand Names Menurut Schmitt & Rogers (2008:123) pemberian nama merek pada suatu produk/perusahaan
sangatlah
penting
karena
dapat
memberikan
pengalaman tertentu pada konsumen yang membaca/mendengarnya. Pemberian nama biasanya mengarah kepada identitas pemilik perusahaan, dan juga dapat berarti nilai fungsional maupun nilai emosional tertentu. b. Logos Menurut Schmitt dan Rogers (2008:123) Kreatifitas pada desain logo membantu suatu produk atau perusahaan dalam memberikan cirri khas maupun identitas yang ingin ditonjolkan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh bentuk maupun pemilihan warna yang tepat pada sebuah logo.
21
3. Product presence Tampilan produk di sini terdiri dari beberapa elemen yaitu desain produk, kemasan produk dan karakter merek Desain produk yang menarik akan memberikan pengalaman unik bagi konsumen yang melihatnya dan pada akhirnya akan mendorong niat beli terhadap produk tersebut (Schmitt dan Rogers, 2008: 124). Packaging (Kemasan) kini mendapatkan porsi perhatian konsumen yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Konsumen cenderung memperhatikan kemasan suatu produk ketimbang dari nilai fungsional produk tersebut dan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadapnya. Kemasan produk yang disajikan secara menarik dan rapih dengan proporsi ideal pada warna, ukuran, hasil cetakan, dan pesan komersial yang baik akan menimbulkan experience yang kuat bagi konsumen (Schmitt dan Rogers, 2008:124). 4.
Co-Branding Menurut Schmitt dan Rogers (2008:125) Co-branding terdiri dari event marketing, sponsorship, alliance & partnership, licensing, product placement in movies, and co-op campaigns and other types of cooperative arrangements. Media co-branding yang paling sering digunakan, yaitu event marketing, sponsorship dan product placement. a. Event marketing and sponsorship Tujuan utama dari event marketing adalah untuk merangsang emosi dan memori konsumen serta menghubungkannya dengan tempat tinggal, tempat kerja, bahkan tempat bermain mereka. Event marketing membutuhkan pemahaman kualitatif mengenai kelayakan suatu event sama
22
halnya seperti riset kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan frekuensi yang didapat. Selain dapat meningkatkan awareness terhadap merek dan produk perusahaan, pengadaan event marketing mampu menciptakan dampak yang signifikan terhadap penjualan produk perusahaan. b. Product placement Penempatan atau penggunaan produk, menjadi salah satu upaya cobranding. 5. Spatial environment Spatial environment mencakup gedung, lantai, pabrik, kawasan ritel dan umum, trade booths, dan corporate event (Schmitt dan Rogers, 2008:127). Spatial environments merupakan ekspresi komprehensif yang dapat menonjolkan budaya merek (brand culture) dari suatu perusahaan, dimana didalamnya tertian nilai-nilai dan sikap pemasar dibalik sebuah merek (Schmitt, 1999: 87). 6. Websites and electronic media Websites memiliki kemampuan interaktif bagi banyak perusahaan untuk menyediakan sebuah forum untuk menciptakan pengalaman bagi konsumen. Sayangnya banyak perusahaan masih menggunakan websites mereka terutama
sebagai
kesempatan
untuk
perangkat menghibur
informasi
posting
atau
membangun
pelanggannya melalui experiential marketing.
daripada
mengambil
hubungan
dengan
23
Dibeberapa industri, media elektronik sedang dalam proses untuk menggantikan pengalaman yang nyata dan dan menciptakan yang baru. Websites telah digunakan untuk melakukan transaksi tanpa pernah melihat atau berbicara dengan penjual yang nyata, websites juga telah digunakan sebagai ruang obrolan sebagai ganti berbicara tatap muka dan percakapan telepon (Schmitt dan Rogers 2008:128). 7. People People mencakup sales person, company representatives, service provider, and customer service, dan siapa saja yang dihubungkan dengan perusahaan atau merek tertentu. People dapat dikatakan sebagai alat experiential providers
terkuat
untuk
menghasilkan
customer
experience
dalam
experiential marketing. Hal tersebut disebabkan karena people mampu memberikan empati yang mendalam kepada konsumen, sehingga berdampak langsung terhadap pembentukan emotional experience konsumen (Schmitt dan Rogers, 2008:129) 2.1.4 Corporate Image Menurut Kotler dan Amstrong (2006:299) citra perusahaan merupakan seperangkat keyakinan ide dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu perusahaan. Katz dalam Soleh dan Elvinaro (2005:111) mengemukakan bahwa citra perusahaan adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Nguyen dan Leblanc (1998) mengungkapkan bahwa citra perusahaan
24
digambarkan sebagai kesan keseluruhan yang dibuat di benak masyarakat tentang organisasi. Hal ini terkait dengan nama bisnis, arsitektur, berbagai produk/jasa, tradisi, ideologi, dan untuk mengesankan komunikasi yang berkualitas oleh setiap karyawan berinteraksi dengan klien organisasi. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa citra perusahaan adalah suatu persepsi, keyakinan dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap perusahaan. Jose M. Pina (2004:8) mengemukakan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi pembentukan corporate image, yaitu: 1. Reputation, merupakan pendapat atau pandangan umum terhadap suatu organisasi atau perusahaan 2. Credibility, merupakan pernyataan dan sikap percaya terhadap perusahaan 3. Service quality, merupakan penilaian berkenaan dengan superioritas suatu jasa 4. Extension quality, merupakan kualitas yang diterima oleh konsumen setelah perusahaan melaksanakan perluasan 5. Fit, merupakan peluan untuk menggunakan secara bersama-sama pelayanan yang telah ada dengan pelayanan setelah perusahaan melaksanakan perluasan.
2.1.5 Dimensi Corporate Image Keller (2008:453) mengemukakan dimensi corporate image yang terdiri dari empat asosiasi penting, yaitu: 1. Common Product Attributes, Benefits, or Attitudes Seperti halnya merek individu, nama (merek) suatu perusahaan dapat menarik
25
pelanggan pada asosiasi yang tinggi mengenai atribut suatu produk, atau pendapat menyeluruh mengenai suatu merek, misalnya seperti asosiasi akan kualitas perusahaan yang baik, juga inovasi-inovasi pemasaran yang dilakukan perusahaan. 2. People and Relationship Asosiasi akan citra perusahaan dapat terlihat dari karakteristik karyawan dari perusahaan, seperti orientasi pelanggan akan pelayanan dari para karyawan. 3. Values and Programs Asosiasi mengenai citra perusahaan dapat terlihat dari nilai-nilai dan program-program dari perusahaan yang tidak selalu berhubungan dengan produk yang dijual, misalnya seperti bentuk kepedulian sosial perusahaan, juga perusahaan memberikan perhatian kepada lingkungan sekitar. 4. Corporate Credibility Asosiasi akan citra perusahaan dapat berupa pendapat atau pernyataan mengenai perusahaan, juga sikap percaya terhadap perusahaan yang kompeten dalam menjual produk dan menyampaikan jasanya, serta besarnya tingkat kesukaan juga ketertarikan bagi pelangga kepada perusahaan.
2.1.6 Strategi membentuk Corporate Image Siswanto
Sutojo
(2004:33)
membentuk Corporate image, yaitu: 1. Menentukan kelompok sasaran
mengemukakan
strategi-strategi
untuk
26
Citra perusahaan merupakan persepsi masyarakat terhadap jati diri perusahaan. Dengan menentukan kelompok sasaran, manajemen perusahaan dapat menyusun program pembangunan citra perusahaan secara lebih terarah. Perusahaan dapat membagi kelompok sasaran utama menjadi beberapa segmen. Segmentasi pasar yang biasa dilakukan oleh perusahaan adalah dibagi menjadi dua segmen, yaitu: a. Konsumen akhir produk yang mereka pasarkan (consumers market), pembagian consumers market didasarkan pada faktor geografis, demografis dan psikografis. b. Pembeli institusional (institusional atau industrial buyer), pembagian institusional buyer dapat didasarkan pada kriteria faktor demografis, pertimbangan faktor operasional, dan nilai pesanan. 2. Memperhatikan faktor penunjang keberhasilan Keberhasilan perusahaan membangun citra dipengaruhi oleh berbagai faktor, dibawah ini merupakan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan perusahaan dalam membangun citra: a. Citra perusahaan dibangun berdasarkan orientasi terhadap manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan kelompok sasaran. b. Citra perusahaan memberikan manfaat yang cukup realistis. c. Citra perusahaan yang ditonjolkan sesuai dengan kemampuan perusahaan. d. Citra perusahaan yang ditonjolkan mudah dimengerti kelompok sasaran.
27
e. Citra perusahaan yang ditonjolkan merupakan sarana bukan merupakan tujuan usaha. 3. Koordinasi dari dalam perusahaan Keberhasilan dalam membangun citra perusahaan adalah tanggung jawab bersama seluruh anggota perusahaan. Untuk menjamin tercapainya hasil yang optimal maka seluruh bagian perusahaan yang ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan citra perusahaan hendaknya diminta mengajukan pendapat mengenai manfaat-manfaat yang dapat dijanjikan kepada kelompok sasaran. Semua pendapat tersebut kemudian disaring sesuai dengan kemampuan teknis dan financial perusahaan. 4. Merger dan franchising sebagai sarana penunjang pembangunan citra perusahaan Perusahaan
dapat
meningkatkan
citra
perusahaan
sekaligus
mengembangkan usaha bisnisnya dengan jalan bergabung atau mengambil alih kepemilikan perusahaan nasional atau asing yang mempunyai image yang baik di kalangan kelompok sasaran. Cara yang kedua adalah dengan mengadakan perjanjian franchising dengan franchisor terkemuka. Perjanjian franchising merupakan sebuah perjanjian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan nasional atau internasional terkemuka, dengan memberi hak penggunaan paten mereka kepada perusahaan lain.
28
2.1.7 Manfaat Corporate Image Menurut Siswanto Sutojo (2004:3) manfaat dari corporate image yang baik meliputi: 1. Menciptakan kemampuan bersaing yang kuat dalam jangka menengah dan panjang 2. Menjadi perisai bagi perusahaan selama perusahaan berada pada masa krisis 3. Menjadi daya tarik bagi konsumen terhadap perusahaan 4. Meningkatkan efektivitas strategi pemasaran 5. Penghematan biaya operasional Selanjutnya Siswanto Sutojo (2005:329) juga mengemukakan bahwa keberhasilan perusahaan membangun citra dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu: 1. Citra dibangun berdasarkan orientasi terhadap manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan kelompok sasaran 2. Manfaat yang ditonjolkan cukup realistis 3. Citra yang ditonjolkan sesuai dengan kemampuan perusahaan 4. Citra yang ditonjolkan mudah dimengerti kelompok sasaran 5. Citra yang ditonjolkan merupakan sarana, bukan tujuan usaha.
2.1.8 Pengaruh Experiential Marketing terhadap Corporate Image Experiential marketing merupakan strategi untuk mengemas produk dan jasa sehingga mampu menawarkan pengalaman dan emosi yang menyentuh hati dan perasaan konsumen, sehingga akan meningkatkan kepuasan pelanggan dan pada akhirnya akan menciptakan pelanggan yang loyal.
29
Experiential marketing terdiri dari lima tipe SEMs (Strategic Experiences Modules), yaitu Sense, Feel, Think, Act, Relate. Kelima tipe ini disampaikan kepada pelanggan dengan menggunakan agen-agen penghantar yang dikenal dengan ExPro’s (Experience providers). Schmitt (1999:73) menyatakan bahwa pengalaman pelanggan dapat disampaikan melalui experience providers yang terdiri dari tujuh komponen, yaitu:communications, visual/verbal identity, product presence, co-Branding, spatial environments, web sites and electronic media, people. Menurut Schmitt (1999:34) experiential marketing dapat sangat berguna dalam berbagai situasi termasuk: 1. Untuk meningkatkan merek yang dalam tahap penurunan. 2. Untuk membedakan produk dari pesaing. 3. Untuk membentuk citra dan identitas untuk perusahaan. 4. Untuk meningkatkan inovasi. 5. Untuk mendorong pelanggan untuk mencoba dan membeli, dan menciptakan loyalitas. Bigham dalam jurnal Fransisca Andreani (2009) mengemukakan bahwa experiential marketing secara keseluruhan sangat efektif dalam mempengaruhi brand perception (persepsi atas sebuah merek) dan purchasing decision (keputusan pembelian) Smilansky (2009:255) mengungkapkan bahwa experiential marketing adalah pendekatan yang ideal untuk digunakan jika tujuannya adalah untuk mengubah citra merek atau perusahaan.
30
Ping Lin dan Tung (2008) mengemukakan bahwa Experiential Marketing menunjukkan kerangka umum dan berfokus pada perasaan psikologis konsumen secara keseluruhan terhadap perusahaan, fungsi dari produk, manfaat, kualitas dan citra. 2.1.9 Penelitian Terdahulu Judul The Study on three Relationship between Experience Marketing, Brand Image, Experience Value, Perceived Risk and Loyalty Case of Taiwan Leisure Farm Studi tentang Experiential Marketing untuk meningkatkan loyalitas nasabah (studi empiris pada PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Pandanaran, Semarang)
Penulis Kuan-Ying Chen, Chih-Hui Hsiao, Cin-Fa Tsai, Yuling Liao
Hasil penelitian Pertanian rekreasi dapat memberikan pengalaman yang baik dari sense, feel, think, think, related, dan act yang akan membantu untuk menciptakan citra merek positif dari pertanian rekreasi
Jenis Penelitian Jurnal
Shara Febiana
Skripsi
Analisis pengaruh manfaat fungsional experiential dan simbolis pada program Surabaya Heritage Track (SHT) terhadap citra HOUSE OF SAMPOERNA A Study of the correlations between consumption experience, customer satisfaction, brand image and behavior intention of motels in taiwan
Heni Wijiastuti
Temuan empiris mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan loyalitas nasabah di Bank Bukopin Kanca Semarang Pandanaran, manajemen perusahaan perlu memperhatikan faktor-faktor seperti keunggulan atribut layanan, nilai nasabah, citra perusahaan dan experiential marketing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh secara bersama-sama antara manfaat experiential dan manfaat simbolis terhadap citra House of Sampoerna
Fajar
Skripsi
Yungkun Chen, Dr Chia-you Chen, Tsuifang Hsieh
Feel experience, think experience, and relate experience memiliki hubungan positif terhadap brand image
Jurnal
Fransisca Andreani (2009) experiential marketing (sebuah pendekatan pemasaran)
Fransesca Andreani
Jurnal
An analysis on the effect of Supermarket Experiential Marketing Impacting Customer Loyalty
Shao Guirong, Liang Jian
Dengan menerapkan experiential marketing yang tepat sesuai yang diinginkan dan diharapkan oleh pelanggannya, maka akan mencipatakan keunggulan kompetitif produk tersebut Impelentasi dari experiential marketing supermarket berpengaruh positif kepada loyalitas pelanggan
Jurnal
31
Judul Pengaruh Experiential Marketing dan Psychological Branding terhadap loyalitas nasabah tahapan BCA Enhancing customer experience within the mobile telecommunications industry
Penulis Charles Bonar M.T Sirait
How experiential marketing can be used to build brands – a case study of two specialty stores
Rajesh Kumar Srivastava
Experiential marketing, customer satisfaction, behavioral intention: timezone game center Surabaya
Honantha, Christina Rahardja; Anandya, Dudi
2.2
Anaman, Michael
Hasil Penelitian Pelaksanaan dan strategi Experiential Marketing dan psychological branding berperan dalam menciptakan loyalitas pelanggan nasabah tahapan BCA Dimasukannya faktor emosional dalam memahami dan mengukur pengalaman pelanggan memiliki efek positif Studi ini mengkonfirmasikan bahwa experiential marketing dapat digunakan untuk membangun merek yang lebih baik
Jenis Penelitian Tesis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential marketing mempengaruhi kepuasan pelanggan di timezone game center Surabaya
Skripsi
Jurnal
Jurnal
Kerangka Pemikiran Menurut Pine dan Gilmore (1998) terdapat empat tingkatan dalam ilmu
pemasaran (economic value) yang menawarkan dasar utama yang berbeda, dimana setiap tingkatan memiliki perbedaan dalam arti dan pengaruh masingmasing dalam menciptakan nilai ekonomi yang lebih baik. Menurut Schmitt (1999:3) akan terjadi perubahan konsep dari Traditional marketing yang berfokus pada feature and benefits dimana pemasar menganggap konsumen berpikir melalui suatu proses pengambilan keputusan yang mana masing-masing karakteristik dari suatu produk atau jasa akan memberikan keuntungan yang jelas, dan karakteristik ini dievaluasi oleh pembeli yang potensial kepada konsep Experiential marketing yang berfokus pada pengalaman pelanggan. Schmitt (1999:22) mengungkapkan “experiential marketing merupakan strategi untuk mengemas produk dan jasa sehingga mampu menawarkan pengalaman dan emosi yang menyentuh hati dan perasaan konsumen, sehingga
32
akan meningkatkan kepuasan pelanggan dan pada akhirnya akan menciptakan pelanggan yang loyal” Shaz Smilansky (2009:13) mengungkapkan “experiential marketing is the process of identifying and satisfying customer needs and aspirations, profitably, engaging them through two way communications that bring brand personalities to life and adding value to the target audience”. (Experiential marketing adalah proses untuk mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan, menyatukannya melalui komunikasi dua arah yang membawa merek kedalam kehidupan dan membawa nilai ke konsumen yang dituju.) Schmitt dan Rogers (2008:116) membagi kerangka konsep Experiential marketing yang terdiri dari dua aspek yaitu Strategic Experiences Modules dan Experience Providers. Schmitt dan Rogers (2008:116) mengungkapkan bahwa SEMs (Strategic Experiences Modules) yang merupakan fondasi experiential marketing terdiri dari Sense, Feel, Think, Act, dan Relate. Sense bertujuan untuk menciptakan pengalaman yang berhubungan dengan panca indera melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan bau dari suatu produk tertentu. Terdapat tiga fungsi utama dari sense marketing, yakni untuk membedakan perusahaan dan produknya dari produk pesaing (differentiator), untuk memotivasi konsumen dalam rangka memilih produk tertentu dari perusahaan (motivator), dan untuk menambah nilai suatu produk (add value to product). (Schmitt dan Rogers, 2008:116). Feel mengacu pada perasaan dan emosi pelanggan dengan tujuan menciptakan pengalaman afektif (affective experiences) dari
33
perasaan positif yang lemah dan berhubungan dengan merek (brand) hingga pada emosi kesenangan dan kebanggan yang kuat terhadap merek (Schmitt dan Rogers, 2008:117).
Think digunakan dengan tujuan menciptakan pengalaman kognitif, pengalaman dalam memecahkan suatu masalah, serta merangsang konsumen untuk berpikir secara kreatif. Think menghubungkan pola pikir divergen (divergen thinking) dan pola pikir konvergen (convergent thinking) konsumen (Schmitt dan Rogers, 2008:117). Act bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen (behavior), gaya hidup konsumen (lifestyle) dan interaksi konsumen dengan perusahaan (Schmitt dan Rogers, 2008:118). Relate tidak hanya mengacu pada sensasi individual, perasaan kognisi dan tindakan dengan menghubungkan individu dengan batasan konteks sosial dan budaya yang tercermin dari sebuah merek (Schmitt dan Rogers, 2008: 118). Kelima tipe experience tersebut ini disampaikan kepada pelanggan dengan menggunakan agen-agen penghantar yang dikenal dengan ExPro’s (Experience providers). Schmitt (1999:73) menyatakan bahwa pengalaman pelanggan dapat disampaikan melalui experience providers yang terdiri dari tujuh komponen, yaitu:communications, visual/verbal identity, product presence, co-Branding, spatial environments, web sites and electronic media, people. Citra (Image) merupakan sekumpulan keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap sebuah objek (Kotler dan Keller, 2006:542). Konsep dari citra digunakan untuk menggambarkan karakteristik dari sebuah objek seperti perusahaan (Akin dan Demirel, 2011:130)
34
Menurut Kotler dan Amstrong (2006:299) citra perusahaan merupakan seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu perusahaan.
Sedangkan
Katz
dalam
Soleh
dan
Elvinaro
(2005:111)
mengemukakan bahwa citra perusahaan adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Keller (2008:453) mengemukakan bahwa dimensi corporate image terdiri atas common product attributes, benefits or attitudes, people and relationships, value and program, dan corporate credibility. Common product attributes, benefits or attitudes adalah asosiasi akan kualitas
perusahaan yang baik, juga inovasi-inovasi pemasaran yang dilakukan perusahaan. People and relationships adalah citra perusahaan yang dapat terlihat dari karakteristik karyawannya seperti pelayanan yang diberikan kepada pelanggan (Keller, 2008:457). Value and programs dapat terlihat dari nilai-nilai an program dari perusahaan yang tidak harus berhubungan dengan produk yang dijual. Corporate credibility adalah pendapat atau pernyataan mengenai perusahaan, juga sikap percaya terhadap perusahaan yang kompeten dalam menjual produk dan menyampaikan jasanya (Keller, 2008:457). Menurut Schmitt (1999:34) bahwa “Experiential marketing dapat sangat berguna dalam berbagai situasi termasuk untuk membentuk citra dan identitas untuk perusahaan. ”Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dikatakan experiential marketing dalam tugasnya berperan untuk membentuk brand image. Secara
sistematis kerangka pemikiran yang dapat digambarkan oleh penulis
adalah sebagai berikut:
35
Commodities
Experiential Marketing Goods Experiential Providers Experiential Modules
Services
Experiences
Experiential Marketing
Pine and Gilmore (1998)
Schmitt and Rogers (2008)
1.Sense 2.Feel 3.Think 4.Act 5.Relate
1.Communication 2.Visual/verbal Identity 3.Product Presence 4.Co Branding 5.Spatial Environment 6.Websites and Electronic Media 7.People
Corporate Image 1.Common product attributes, benefits, or attitudes 2.People and Relationships 3.Value and Programs 4.Corporate Credibility Keller (2008:453)
Schmitt and Rogers (2008:116-118) (2008:120-129) Keterangan :
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.1 KERANGKA PEMIKIRAN PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP CORPORATE IMAGE
36
Paradigma penelitian mengenai pengaruh experiential marketing terhadap Corporate image dapat dilihat pada gambar 2.2
Experiential Marketing Corporate Image 1.Sense
1. Communication
2.Feel
2. Visual Verbal Identity
3.Think
3. Product Presence
Attributes, Benefits, or
4.Act
4. Co Branding
Attitudes
5.Relate
5. Spatial Environment
2. People and Relationships
(Schmitt, 1999:71)
6. Websties And
3. Values and Programs
Electronic Media 7. People
1. Common Products
4. Corporate Credibility Keller (2008:453)
(Schmitt, 1999:71)
Gambar 2.2 Paradigma Penelitian
2.3
HIPOTESIS Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka penulis mengajukan
hipotesis sebagai berikut “Terdapat pengaruh dari Experiential Marketing yang terdiri dari sense, feel, think, act, dan relate terhadap corporate image”.