BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Sistem Agribisnis Usaha agribisnis memiliki kecenderungan menuntut untuk dikembangkan menjadi usaha dengan orientasi bisnis atau keuntungan. Hal ini dapat di lakukan melalui aplikasi konsep pengembangan berdasarkan sistem agribisnis terpadu. Fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer (budi daya), pengolahan (agroindustri), dan pemasaran. Fungsi-fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem, dimana fungsi-fungsi di atas menjadi subsistem menjadi sistem agribisnis. Definisi agribisnis yang dikemuakan oleh Devis & Golberg dalam Kunarjo (2007) adalah suatu konsep dan wawasan yang sangat dalam tentang pertanian modern menghadapi millennium ketiga. Agribisnis yang merupakan suatu sistem, bila akan dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada didalamnya. Pengembangan agribisnis tidak akan efektif dan efisian bila hanya mengembagkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, pengembangan usaha budi daya pisang di suatu daerah sangat berhasil dalam meningkatkan produksi dan mutu produknya, tetapi tidak berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat secara nyata karena tidak disretai dengan pengembangan dan penyiapan sistem pemasarannya. Dengan demikian, produksi yang melimpah
8
hanya akan menjadi busuk dilahan atau di tong sampah dan produsennya merasa sangat kecewa. Contoh tersebut menjadi salah satu fenomena pengembangan agribisnis yang tidak terpadu dan sering terjadi di Indonesia. Di lain pihak, menurut Soehardjo (1997), persyaratan-persyaratan untuk memiliki wawasan agribisnis adalah seperti dipaparkan di bawah ini. 1.
Memandang agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa subsistem. Sistem tersebut akan berfugsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem. Pengembangan agribisnis harus mengembangkam semua subsistem di dalamnya karena tidak ada stau subsistem yang lebih penting dari subsistem lainnya.
2.
Setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan kebelakang dan kedepan.
3.
Agribisnis menunjukan lembaga penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/keuangan, pendidikan, penelitian, dan perhubungan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang professional, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian, sehingga sektor pertanian semakin erat terkait dengan sektor lainnya. Dengan demikian akan semakin besar sumbangan yang dapat diberikan sektor agribisnis terhadap ekonomi nasional. Di samping memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan,
9
dan pakaian), penghasilan devisa, pencipta lapangan kerja, dan sumber peningkatan pendapatan masyarakat. 4.
Agribsinis memberika pelaku dari berbagai pihak (BUMN, swasta, dan koperasi) dengan profesi sebagai penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir, dan lain-lain. Kualitas sumber daya manusia di atas sangat menentukan berfungsinya subsistem-subsistem dalam sistem agribisnis dan dalam memelihara kelancaran arus komoditas dari produsen ke konsumen. Pendekatan analisis mikro memandang agribisnis sebagai suatu unit
perusahaan yang bergerak baik dalam salah satu subsistem agribisnis maupun bergerak pada lebih dari satu subsistem agribisnis, baik hanya satu atau lebih subsistem dalam satu lini komoditas atau lebih dari satu lini komoditas. Di lain pihak, kerangka pendekatan analisis makro mengkaji agribisnis berdasarkan hubungannya dengan ekonomi nasional, yakni hubungannya dengan Produk Domestik Bruto (PDB), rasio biaya domestik, peningkatan pendapatan nasional, peningkatan kesempatan berusaha, pemerataan distribusi pendapatan, peningkatan ekspor, upaya subtitusi impor, inflasi, devaluasi, penurunan tingkat pengangguran serta hubungannya dengan komponen-komponen ekonomi makro lainya.
2.1.1.1 Fungsi Perbankan Menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2008, pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan
10
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Menurut Triandaru dan Budisantoso (2006 : 9), secara umum fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara spesifik fungsi dari bank adalah sebagai berikut : a. Agent of Trust Dasar utama kegiatan perbankan adalah trust atau kepercayaan, baik dalam hal menghimpun dana maupun menyalurkan dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi oleh unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya akan aman dan tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut dan juga percaya bahwa pada saat yang telah dijanjikan, masyarakat dapat menarik lagi simpanannya di bank. Pihak bank sendiri akan mampu menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi unsur kepercayaan. b. Agent of Development Kegiatan sektor moneter dan sektor riil dalam perekonomian tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut berinteraksi saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Tugas bank sebagai penghimpun dan
penyalur
dana
sangat
diperlukan
untuk
kelancaran
kegiatan
perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan
11
masyarakat melakukan investasi, distribusi dan juga konsumsi barang dan jasa mengingat semua kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan dengan penggunaan uang. c. Agent of Services Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa-jasa perbankan lain kepada masyarakat. Jasa-jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa-jasa bank ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, jasa penitipan uang atau barang berharga, jasa pemberian jaminan bank dan jasa penyelesaian tagihan. Ketiga fungsi bank di atas diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan lengkap mengenai fungsi bank dalam perekonomian. Dengan demikian bank tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga perantara keuangan atau financial intermediary institution.
2.1.1.2 Pengertian Kredit Pengertian kredit dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomer 10 Tahun 1998 tentang perbankan pasal 1 ayat 3 yang menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha bank adalah menyedikan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Menurut Triandaru dan Budisantoso (2006 : 113), kredit adalah pemberian fasilitas pinjaman (bukan berdasarkan prinsip syariah) kepada nasabah,
12
baik berupa fasilitas pinjaman tunai maupun pinjaman non tunai. Dari pengertian di atas dapat dijelaskan, pinjaman atau kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang, misalnya bank mempunyai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah penerima kredit (debitur), bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan, sehingga dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Ini berarti bahwa suatu lembaga kredit baru akan memberikan kredit kalau dia betul-betul yakin bahwa si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
2.1.1.3 Tujuan dan Fungsi Kredit Menurut Hadiwidjaja dan Rivai Wirasasmita (2004:6-7), pada dasarnya pemberian kredit dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, maka bank akan memberikan kredit kepada calon debitur bila bank merasa yakin bahwa calon debitur tersebut mampu dan mau mengembangkan kredit yang diterimanya. Dari kedua faktor tersebut tersimpan unsur keamanan dan unsur-unsur keuntungan dari suatu kredit.
13
Fungsi pokok kredit dewasa ini pada dasarnya ialah pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan produksi jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditunjukan untuk menaikan taraf hidup manusia. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Hadiwidjaja dan Rivai Wirasasmita (2004:8) mengemukakan fungsi pokok kredit yaitu: (1)
Kredit dapat memajukan arus tukar menukar barang-barang dan jasa-jasa
(2)
Kredit dapat mengaktifkan alat pembayaran yang antara golongan yang kuat dengan golongan yang lemah.
(3)
Kredit yang menciptakan alat pembayaran yang baru.
(4)
Kredit sebagai alat pengendali harga.
(5)
Kredit dapat mengaktifkan dan meningkatkan faedah-faedah atau kegunaan potensi-potensi ekonomi yang ada.
Sedangkan menurut Ruddy Tri Santoso (2000:34), mengatakan bahwa disamping tujuan di atas, fasilitas kredit memiliki fungsi secara luas antara lain: 1. Untuk meningkatkan daya guna uang. Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya dari uang jika hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh penerima kredit. 2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang. Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga suatu daerah yang kekurangan uang
14
dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya. 3. Untuk meningkatkan daya guna barang. Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh debitur untuk mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat. 4. Meningkatkan peredaran barang. Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang besar. 5. Sebagai alat stabilitas ekonomi. Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. 6. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha. Bagi penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, apalagi bagi nasabah yang modalnya pas-pasan. 7. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan. Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. 8. Untuk meningkatkan hubungan internasional. Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara penerima kredit dengan pemberi kredit. Pemberian
15
kredit oleh Negara lain akan meningkatkan kerjasama dalam bidang lainnya, sehingga dapat pula tercipta perdamaian dunia.
2.1.2 Penawaran Kredit Penawaran kredit dapat diartikan sebagai suatu usaha menyalurkan dana yang dihimpun oleh bank, sehingga tidak terjadi kelebihan dana yang menganggur (idle money) (Juda Agung, 2001). Dilihat dari sisi penawaran, dalam kasus penurunan kredit misalnya, penurunan jumlah kredit yang ditawarkan salah satunya oleh turunnya kemauan bank untuk memberikan pinjaman pada tingkat suku bunga yang berlaku. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan menurunnya keinginan untuk memberikan kredit dapat bersumber dari faktor internal bank maupun faktor eksternal. Faktor internal seperti rendahnya kualitas aset perbankan, tingginya non-performing loans dan anjloknya modal perbankan dan negatif interest margin akan menurunkan kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Ambruknya sejumlah bank dapat mengurangi nilai likuidasi dari semua institusi perbankan sehingga meningkatkan biaya kebangkrutan yang harus ditanggung oleh pemilik bank jika bank dilikuidasi (Shleifer and Vishny, 1992). Hal ini menyebabkan bank-bank yang tetap bertahan akan lebih bersikap konservatif dalam menjalankan usahanya. Dari sudut eksternal, terutama menurunnya tingkat kelayakan kredit dari debitur akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan. Dalam situasi tertentu ketika bank sulit membedakan creditworthiness dari debitur, bank akan
16
mengurangi volume kredit. Non-price credit rationing seperti ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk: beberapa debitur tetap mendapatkan kredit sedangkan debitur lainnya dengan tingkat kelayakan kredit yang sama mungkin terkena credit rationing; rationing terhadap kredit untuk sektor tertentu (misal kredit konsumsi) atau kelompok debitur tertentu (usaha kecil); atau sejumlah debitur yang kelihatannya layak memperoleh kredit juga ditolak karena bank tidak memiliki informasi yang lengkap tentang data keuangan calon debitur. Apapun penyebabnya, menurunnya kredit akibat faktor-faktor suplai dapat digambarkan dengan bergesernya kurva suplai (Gambar 2.1.).
Suku Bunga KreditS2 S1 S r2 r
D D D L2
L
Kuantitas Kredit
Sumber : Juda Agung, dkk (2001)
Gambar 2.1 Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Penawaran
Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran mendorong kenaikan suku bunga pinjaman (dari r ke r2), sehingga kuantitas kredit turun dari L ke L2 dan kurva penawaran kredit turun dari S ke S1. Namun demikian, keengganan
17
bank untuk menyalurkan kredit seringkali tidak diikuti dengan kenaikan suku bunga, melainkan dalam bentuk pengurangan kredit secara kuantitas (non-price credit rationing). Hal ini dapat dipahami sebagai akibat memburuknya risiko kredit dunia usaha dan karena persoalan informasi yang membuat bank tidak dapat membedakan kualitas debitur. Dalam penetapan kualitas debitur ini, bank perlu mengetahui mana debitur baik yang memiliki posisi keuangan baik dengan risiko yang rendah, dan mana debitur jelek yang memiliki posisi keuangan buruk dengan potensi resiko yang tinggi. Persoalan ini diperburuk ketika bank-bank mengalami pergantian manajemen dengan orang-orang yang baru. Karena hubungan antara bank dan nasabah kredit bersifat jangka panjang, pergantian manajemen bank menyebabkan mereka kurang memahami kondisi debitur kreditnya. Akibatnya, bank cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan tingkat suku bunga bukanlah pertimbangan utama dalam memberikan kredit, karena bank berpersepsi bahwa hanya nasabah yang kualitas rendah yang bersedia membayar tingkat suku bunga pinjaman yang tinggi. Non price credit rationing ini menggeser kurva suplai ke kiri dan menjadi vertikal; yang berarti bahwa kurva suplai kredit sama sekali menjadi tidak sensistif terhadap perubahan suku bunga (Gambar 2.1, kurva S2). Dalam praktek, terjadinya non-price credit rationing seringkali terjadi bersamaan dengan price rationing. Beberapa nasabah bank, seperti pengusaha kecil atau peminjam baru, terkena quantity rationing, sedangkan yang lain dikenai price rationing atau keduanya.
18
2.1.3 Kredit Modal Kerja Menurut Triandaru dan Budisantoso (2006 : 1187), Kredit Modal Kerja (KMK) adalah kredit yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja nasabah. Kriteria dari modal kerja yaitu kebutuhan modal yang habis dalam suatu siklus usaha, hal ini apabila dilihat dari neraca suatu perusahaan akan berupa uang Kas/Bank ditambah dengan piutang dagang ditambah dengan persediaan baik persediaan barang jadi, persediaan bahan dalam proses, persediaan bahan baku. Dan apabila yang dibicarakan modal kerja bersih maka perlu dikurangi lagi dengan current liability-nya. Kredit Modal Kerja diberikan oleh pihak, baik kepada debitur untuk pembiayaan berbagai kegiatan disektor perekonomian, antara lain sektor perdagangan, Industri, Perkebunan, koperasi dan lain-lain. Secara lebih spesifik bentuk Kredit Modal Kerja dapat terbagi dalam beberapa sektor yang antara lain adalah : 1. Sektor perdagangan terdiri dari : - Kredit Leveransir - Kredit ekspor - Kredit untuk pertokoan 2. Sektor industri antara lain : - Kredit Modal Kerja pabrik makanan - Kredit Modal Kerja tekstil - Kredit Modal Kerja minuman
19
3. Sektor perkebunan - Kredit pembelian pupuk - Kredit pembelian obat-obatanti hama, dll. Modal kerja menunjukkan sejumlah dana yang tertanam atau terikat pada aktiva lancar yang dibutuhkan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Istilah lain dari modal kerja adalah “gross working capital” (modal kerja kotor). Modal kerja bila dikurangi dengan kewajiban-kewajiban jangka pendek (utang lancar) sering disebut “net working capital” (modal kerja bersih). Besarnya modal kerja yang dibutuhkan dipengaruhi dua faktor, yaitu : Tingkat aktifasi penjualan dan perputaran modal kerja (siklus kerja). Kredit Modal Kerja (KMK) juga merupakan fasilitas kredit yang dipergunakan untuk membiayai sementara kegiatan operasional rutin (sehari-hari) perusahaan (misalnya perusahaan jasa transportasi, perhotelan, rumah makan dan sebagainya) baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Fasilitas KMK dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan yang merupakan satu kesatuan, misalnya dalam bentuk KMK ekspor, KMK impor maupun KMK lokal. KMKE (Kredit Modal Kerja Ekspor) adalah fasilitas KMK yang diberikan kepada eksportir/pemasok yang disediakan untuk membiayai kegiatan produksi, pengumpulan dan atau penyimpanan barang dalam rangka ekspor. KMKI (Kredit Modal Kerja Impor) adalah fasilitas KMK untuk membiayai seluruh atau sebagian kegiatan dalam rangka impor barang, khususnya yang berhubungan dengan L/C impor yang dibuka pada opening bank (bank pembuka L/C). KMKL (Kredit Modal Kerja Lokal) adalah fasilitas KMK yang diberikan kepada pemohon
20
sebagai tambahan modal kerja untuk membiayai kegiatan usahanya di luar ekspor dan impor atau fasilitas kredit yang diberikan kepada pengusaha atau perusahaan Kecil Pribumi dengan persyaratan atau prosedur khusus, guna pembiayaan modal yang hanya dipergunaka secara terus menerus untuk kelancaran usaha. Ditinjau dari jangka waktunya, Kredit Modal Kerja (KMK) terdiri atas 2 macam, yaitu: 1) KMK-Revolving Apabila kegiatan usaha debitor dapat diharapkan berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang dan pihak bank cukup mempercayai kemampuan dan kemauan nasabah, maka fasilitas KMK nasabah dapat diperpanjang setiap periodenya tanpa harus mengajukan permohonan kredit baru. 2) KMK-Einmaleg Apabila volume kegiatan usaha debitor sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu dan atau pihak bank kurang mempercayai kemampuan dan kemauan nasabah, maka pihak bank merasa lebih aman kalau memberikan KMK-Einmaleg.
2.1.4 Dana Pihak Ketiga Dana Pihak Ketiga (DPK) atau biasa disingkat dengan DPK adalah seluruh dana yang berhasil dihimpun sebuah bank yang bersumber dari masyarakat luas. Menurut UU Perbankan No. 10, Tahun 1998 dana yang dihimpun bank umum
21
dari masyarakat tersebut biasanya berbentuk simpanan giro, simpanan tabungan, dan simpanan deposito. Sumber dana ini merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan operasi bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank jika mampu membiayai operasinya dari sumber dana ini. Pencarian dana pihak ketiga ini relatif paling mudah jika dibandingkan dengan sumber lainnya dan pencarian dana dari sumber dana ini paling dominan, asal dapat memeberikan bunga dan fasilitas menarik lainnya. Menarik dana dari sumber ini tidak terlalu sulit, akan tetapi pencarian sumber dana ini relatif lebih mahal jika dibandingkan dari dana sendiri. Adapun sumber dana dari masyarakat luas (Dana Pihak Ketiga) dapat dilakukan dalam bentuk : a. Simpanan Giro (Demand Deposit) adalah sejumlah uang yang disimpan di bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, atau surat perintah memindah buku lainnya. Rekening giro sering disebut juga dengan rekening koran yang dapat digunakan untuk menatausahakan kredit yang diberikan dalam bentuk rekening giro. Jenis rekening giro dapat berupa : Rekening atas nama perorangan. Rekening atas nama suatu badan usaha atau lembaga. Rekening bersama atau gabungan. Sifat sumber dana ini dapat dikategorikan sebagai sumber dana yang sangat labil dan tidak memiliki jatuh tempo. Kelebihan sumber dana ini adalah biayanya relatif lebih murah karena bunganya relatif rendah
22
diantara sumber dana lain seperti tabungan dan deposito. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang dapat ditarik sewaktu-waktu maka semakin tidak produktif dana itu, sehingga bank memberikan harga yang relatif rendah. Bunga yang dibayarkan bank kepada pemegang rekening ini disebut sebagai “jasa giro”. Persentase jasa giro yang diberikan cukup bervariasi antara bank satu dengan bank lainnya, akan tetapi pada umumnya masih lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga deposito berjangka maupun tabungan. b. Simpanan Tabungan (Saving Deposit) adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau alat lainnya. Berbeda dengan simpanan giro yang dapat digunakan oleh para pengusaha atau para pedagang untuk melakukan transaksi, tabungan lebih ditujukan untuk maksud berjaga-jaga atau keamanan dana oleh masyarakat luas. Selain itu bila dibandingkan dengan giro atau deposito, peranan tabungan dalam komposisi sumber dana perbankan relatif lebih kecil. Tingkat fluktuasi dana tabungan ini dianggap sangat kecil dan tidak selabil dana yang bersumber dari giro. c. Simpanan
Deposito
(Time
Deposit)
merupakan
simpanan
yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian
antara
penyimpan
(pihak
ketiga)
dengan
bank
yang
bersangkutan. Berbeda dengan dua jenis simpanan sebelumnyadi mana simpanan deposito mengandung unsur jangka waktu (jatuh tempo) lebih
23
panjang dan tidak dapat ditarik setiap saat atau setiap hari. Dilihat dari sudut biaya dana, maka dana yang bersumber dari simpanan dalam bentuk deposito ini merupakan dana yang relatif mahal dibandingkan dengan sumber dana lainnya, misalnya giro atau tabungan. Sumber dana ini dapat dikategorikan sebagai sumber dana semi tetap. Berbeda dengan giro, dana deposito akan mengendap dibank karena para pemegangnya (deposan) tertarik dengan tingkat bunga yang ditawarkan oleh bank dan adanya keyakinan bahwa pada saat jatuh tempo bila dia (deposan) tidak ingin memperpanjang jangka waktu simpanannya, maka dananya dapat ditarik kembali. Terdapat tiga jenis deposito, yaitu deposito berjangka, sertifikat deposito, dan deposit on call. Kasmir (2003:45) menyatakan bahwa yang paling penting bagi bank adalah bagaimana memilih dan mengelola sumber dana yang tersedia. Bagi bank pengelolaan sumber daya dari masyakrakat luas, terutama dalam bentuk simpanan, giro, tabungan dan deposito adalah sangat penting dalam pengelolaan sumber dana dimulai dari perencanaan akan kebutuhan dana, kemudian pelaksanaan pencarian sumber dana dan pengendalian terhadap sumber-sumber dana bank yang tersedia. Dana-dana yang telah dihimpun semuanya disalurkan langsung dalam bentuk kredit, tetapi dikurangi terlabih dahulu oleh cadangan primer dan cadangan sekunder. Hal ini dilakukan untuk menjaga posisi likuiditas, sehingga hasilnya menunjukkan dana yang siap dipinjamkan (loanable funds) yang kemudian
24
disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk pinjaman atau biasa dikenal dengan istilah kredit. Menurut Dendawijaya (2005), ada hubungan positif antara dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan deposito terhadap penyaluran kredit. Disebabkan sumber dana terbesar yang paling diandalkan bank dan bisa mencapai 80-90% dari seluruh dana yang dikelola bank, kemudian dana inilah yang akan disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit.
2.1.5 Non Performing Loans (NPLs) Pengukuran kesehatan perbankan di Indonesia ini sekaligus merupakan indikasi kinerja bank. Oleh karena itu pengukuran kinerja perbankan dengan sendirinya
sebagai
upaya
untuk
mengetahui
tingkat
kesehatan
bank
(Dendawijaya, 2001:14). Selain itu, kinerja bank juga dilihat dengan ukuran tingkat kelancaran kredit yang telah diberikan bank kepada debitur atau disebut Non Performing Loan atau yang lebih dikenal dengan istilah NPL merupakan salah satu alat ukur tingkat kesehatan bank. NPL adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan. Non Performing Loan (NPL) menurut Adnan (2006:155), merupakan perbandingan antara kredit/pembiayaan bermasalah dengan kredit/pembiayaan yang disalurkan bank kepada nasabah. Bank Indonesia menetapkan tingkat NPL gross maksimal 5% sebagai angka toleransi bagi kesehatan suatu bank. Peraturan Bank Indonesia Nomor
25
5/7/PBI/2003 menetapkan kualitas pembiayaan bank menjadi lima golongan, yaitu: 1) Lancar, 2). Kurang lancar, 3). Dalam perhatian khusus, 4). Diragukan, dan 5). Macet. Pembiayaan yang termasuk golongan 2, 3, 4, dan 5 disebut NPL gross, sedangkan NPL netto adalah pembiayaan yang masuk pada golongan 3, 4, dan 5.Suatu kredit dikatakan bermasalah atau macet didasarkan pada kolektibilitas kreditnya. Kolektibilitas adalah keadaan pembayaran pokok atau angsuran dan bunga kredit oleh debitur serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana tersebut (Tangkilisan, 2003:15). Faktor-faktor
penyebab
kredit
bermasalah
menurut
Suhardjono
(2001:24), disebabkan dari sisi debitur, sisi bank maupun ekstern debitur dan bank. Sisi debitur memiliki kelemahan pada faktor keuangan, faktor manajemen, faktor operasional. Sisi Bank disebabkan kelemahan sejak awal dalam proses pemberian kredit, itikad tidak baik dan atau kekurangmampuan dari pegawai/pejabat bank, serta kelemahan dalam pembinaan dan pengawasan kredit. Dari sisi ekstern debitur dan bank adalah kelemahan disebabkan oleh force majeure, perubahan-perubahan lingkungan eksternal, perubahan peraturan pemerintah. Kredit macet atau bermasalah bagaimanapun juga akan berdampak negatif baik secara mikro (bagi bank dan nasabah) maupun secara makro (sistem perbankan dan perekonomian negara). Seperti diungkapkan oleh Mahmudin (2002:111) bahwa ada beberapa pihak yang terkena dampak dari kredit macet, yaitu:
26
1. Bank yang bersangkutan Yaitu akan mengancam tingkat likuiditas, solvabilitas, rentabilitas (profitabilitas), bonafiditas, tingkat kesehatan bank, serta modal bank. 2. Bankir dan karyawan bank Kredit macet memberikan dampak negatif yang cukup besar terhadap bankir dan karyawan bank. 3. Pemilik saham bank yang bersangkutan Yaitu menyebabkan perolehan deviden yang kecil, menjatuhkan nilai saham, serta mempengaruhi moral pemilik saham. 4. Nasabah sendiri Yaitu usaha dapat menjadi rugi, merusak citra dan nama baik, harus mengeluarkan biaya tambahan, hilangnya kepercayaan pihak luar dan relasi bisnis, serta hilangnya peluang yang seharusnya diperoleh. 5. Nasabah peminjam lainnya Bank seharusnya memberikan peluang yang sama terhadap siapapun yang mampu menjadi debiturnya. Adanya kredit macet membuat peluang tersebut menjadi kurang. 6. Nasabah pemilik dana atau penabung Yaitu hilangnya kepercayaan kepada bank yang bersangkutan sehingga para pemilik dana ikut resah dan ingin menarik dananya kembali. 7. Sistem perbankan dalam perekonomian negara
27
Yaitu dapat merusak kredibilitas bank nasional dimata internasional, menghambat kelancaran perkembangan ekonomi, kesinambungan usaha bank, serta timbulnya banking mindedness. 8. Pemerintah selalu otoritas moneter Yaitu dapat menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan yang pada gilirannya menghambat pembangunan dibidang moneter, dapat menimbulkan pembangunan di bidang moneter, dapat menimbulkan rush dan menggoncangkan pajak sebagai salah satu sumber penghasilan negara, serta mengganggu perluasan kesempatan kerja.
2.1.6 Return on Asset Umumnya masalah profitabilitas lebih penting dari masalah profit, karena profit yang besar belum merupakan ukuran bahwa bank telah bekerja dengan efisien. Efisiensi baru dapat diketahui jika profit dibandingkan dengan kekayaan atau modal yang digunakan untuk menghasilkan profit tersebut. Dengan demikian bank
hendaknya
tidak
hanya
memperhatikan
bagaimana
usaha
untuk
memperbesar profit tetapi yang lebih penting ialah usaha untuk mempertinggi profitabilitasnya, karena profitabilitas yang tinggi merupakan pencerminan efisiensi yang tinggi pula. Dengan uraian di atas, maka yang disebut profitabilitas adalah kemampuan menghasilkan laba (profit) selama periode tertentu dengan menggunakan aktiva atau modal, baik modal secara keseluruhan maupun modal sendiri (Van Horn
28
dan Wachowicz 1997:148-149). Kemampuan menghasilkan laba yang dimaksud dalam penelitian ini tentunya adalah kemampuan menghasilkan laba dengan menggunakan aset yang dimilikinya. Return on Assets (ROA), yaitu indikator kemampuan perbankan untuk memperoleh laba atas sejumlah aset yang dimiliki oleh bank. ROA (Return On Assets), rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba sebelum pajak) yang dihasilkan dari rata-rata total aset bank yang bersangkutan. Batasan minimum ROA yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah 1%. Apabila bank tersebut memiliki ROA lebih besar dari 1% maka bank tersebut dapat dikatakan produktif mengolah aktiva sehingga menghasilkan laba, dan bank tersebut dalam kondisi sehat. Standar terbaik untuk ROA adalah 1,5%.
2.1.7 Tingkat Suku Bunga Pinjaman Menurut Nopirin (1996) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa sekarang dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran. Suku bunga pinjaman (kredit) dikenakan pada masyarakat yang ingin meminjam dana pada bank. Suku bunga kredit ini sangat tergantung dari jenis
29
kredit yang diinginkan. Semakin tinggi bank mengenakan suku bunga kredit, minat masyarakat untuk meminjam kredit semakin berkurang, sebab mereka dihadapkan dengan jumlah pembayaran kredit ditambah bunga yang tinggi. Dan ini memberatkan masyarakat yang bersangkutan dalam meminjam kredit, dan melunasi kreditnya dimasa yang akan datang. Namun sebaliknya, apabila bank mengenakan suku bunga kredit (pinjaman) yang rendah maka minat masyarakat dalam meminjam kredit bertambah besar. Masyarakat melihat bahwa dengan menurunnya suku bunga kredit, maka mereka akan mengalami kemudahan dalam meminjam (memperoleh) kredit baik itu untuk keperluan usaha atau sebagainya. Dan mereka pun akan merasa yakin bahwa dengan menurunnya suku bunga kredit, mereka akan mampu melunasi pinjaman mereka ditambah bunga dimasa yang akan datang. Pembebanan besarnya suku bunga kredit dibedakan kepada jenis kreditnya (Kasmir, 2001:127). Pembebanan disini maksudnya metode perhitungan yang akan digunakan, sehingga mempengaruhi jumlah bunga yang akan dibayar. Jumlah bunga yang dibayar akan mempengaruhi jumlah angsuran perbulannya. Dimana jumlah angsuran terdiri dari hutang pokok pinjaman ditambah bunga. Metode pembebanan suku bunga kredit yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Sliding Rate Pembebanan bunga setiap bulan dihitung dari sisa pinjamannya, sehingga jumlah bunga yang dibayar nasabah setiap bulan menurun seiring dengan turunnya pokok pinjaman. Akan tetapi pembayaran pokok pinjaman setiap bulan sama. Cicilan nasabah (pokok pinjaman
30
ditambah bunga) otomatis dari bulan ke bulan semakin menurun. Jenis Sliding Rate ini biasanya diberikan kepada sektor-sektor produktif seperti pengusaha, tidak terkecuali pengusaha kecil. Ini dilakukan dengan maksud si nasabah merasa tidak terbebani terhadap pinjamannya. 2. Flat Rate Pembebanan bunga setiap bulan tetap dari jumlah pinjamannya, demikian pula pokok pinjaman setiap bulan juga dibayar sama, sehingga cicilan setiap bulan sama sampai kredit tersebut lunas. Jenis flat rate ini diberikan kepada kredit yang bersifat konsumtif seperti pembelian rumah tinggal, pembelian mobil pribadi, atau kredit konsumtif lainnya.
2.2
Tinjauan Penelitian Sebelumnya Luh Gede Meydianawathi melakukan penelitian dengan judul : Analisis
Perilaku Penawaran Kredit Perbankan Kepada Sektor UMKM di Indonesia Periode 2002-2006. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa variabel terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum secara parsial dan serempak kepada sektor UMKM di Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah ordinary least square, dilanjutkan dengan uji signifikansi secara parsial dan serempak melalui uji t dan uji F. Hasil penelitian dalam kurun waktu Januari 2002 - Pebruari 2006 memperoleh simpulan sebagai berikut. Pertama, pulihnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dengan adanya program penjaminan pemerintah telah mendorong kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK). Selain itu, program rekapitalisasi
31
perbankan mampu mengatasi permasalahan modal dan rentabilitas bank (yang tercermin dalam rasio CAR dan ROA) serta non performing loan (NPLs) yang berhasil ditekan telah meningkatkan kemampuan bank umum dalam menyalurkan kredit investasi dan modal kerja kepada sektor UMKM di Indonesia. Kedua, secara serempak variabel-variabel DPK, ROA, CAR, dan NPLs berpengaruh nyata dan signifikan terhadap penawaran kredit investasi dan kredit modal kerja bank umum kepada sektor UMKM di Indonesia. Ketiga, secara parsial variabel DPK, ROA, dan CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum kepada sektor UMKM di Indonesia. Sebaliknya, NPLs berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum kepada sektor ini.
2.3
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Kegiatan modal kerja usaha dapat berkembang salah satunya karena
dukungan
dari
lembaga
keuangan
bank,
yang
salah
satu
fungsinya
menumbuhkembangkan pergerakkan investasi usaha dalam bentuk penyaluran kredit. Pada dasarnya kredit ini adalah kepercayaan atau saling percaya dan mempercayai bahwa uang, barang dan jasa yang diberikan seseorang setelah jangka waktu tertentu akan dibayar kembali dan disertai beberapa syarat yang telah disepakati. Menurut Komaruddin (2004: 151) pengertian kredit yaitu penyediaan uang atau tagihan (yang disamakan dengan uang) berdasarkan persepakatan dengan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang dalam hal ini
32
peminjam berkewajiban melunasi kewajibannya setelah jangka waktu tertentu dengan (biasanya) sejumlah uang yang ditetapkan lebih dahulu. Fungsi pokok kredit dewasa ini pada dasarnya ialah pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat (to save the society) dalam rangka mendorong dan melancarkan produksi jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditunjukan untuk menaikan taraf hidup manusia. Hadiwidjaja dan Rivai Wirasasmita (1993:6-7). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keputusan bank umum untuk menyalurkan kredit kepada sektor ekonomi termasuk sektor agribisnis. Perilaku penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitor dan kondisi perbankan itu sendiri, seperti dana pihak ketiga, keuntungan, jumlah kredit macet (NPL) dan tingkat suku bunga. Untuk lebih jelasnya hubungan antara perilaku penawaran kredit dari bank umum terhadap sektor agribisnis dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Dana Pihak Ketiga atau biasa disingkat dengan DPK adalah seluruh dana yang berhasil dihimpun sebuah bank yang bersumber dari masyarakat luas (Kasmir, 2000). Dalam UU Perbankan No. 10, Tahun 1998 dana yang dihimpun bank umum dari masyarakat tersebut biasanya berbentuk simpanan giro (demand deposit), simpanan tabungan (saving deposit), dan simpanan deposito (time deposit). Suyatno (2001:29), yang mengatakan bahwa kenaikan dana pihak ketiga direspon oleh perbankan dengan meningkatkan aktivitas operasional bisnisnya. Naiknya DPK yang dapat dihimpun oleh bank umum akan mendorong bank umum meningkatkan
33
kreditnya guna memperoleh keuntungan. Dengan demikian, naiknya DPK memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran kredit modal kerja pada sektor agribisnis. 2. Return on Assets (ROA), adalah salah satu metode penilaian yang digunakan untuk mengukur tingkat rentabilitas sebuah bank, yaitu tingkat keuntungan yang dicapai oleh sebuah bank dengan seluruh dana yang ada di bank. ROA membandingkan laba terhadap total aset, yang dapat dicari dengan rumus berikut (Bank Indonesia, 2006), naiknya ROA berkorelasi positif terhadap penawaran kredit modal kerja pada sektor agribisnis. 3. Non Performing Loans (NPLs) pada sektor agribisis menunjukkan kemampuan kolektibilitas sebuah bank dalam mengumpulkan kembali kredit yang dikeluarkan oleh bank sampai lunas. Jika NPLs pada sektor agribisnis naik akan mengurangi minat perbankan untuk menyalurkan kredit investasinya pada sektor tersebut. NPLs mempunyai hubungan negatif terhadap penawaran kredit modal kerja pada sektor agribisnis 4. Tingkat suku bunga pinjaman yang tinggi akan meningkatkan perbankan dalam menyalurkan kreditnya. Hal ini sesuai dengan konsep dari hukum penawaran, tingginya suku bunga pinjaman berarti ekpektasi keuntungan juga semakin besar, sehingga akan direspon oleh perbankan dengan meningkatkan kreditnya.
34