BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Berbalas Pantun 2.1.1
Pengertian Pantun Pantun adalah puisi asli Indonesia. Hampir di semua daerah di Indonesia
terdapat tradisi berpantun. Pantun tepat untuk suasana tertentu, seperti halnya juga karya seni lainnya hanya tepat untuk suasana tertentu pula. Dalam upacara perkawinan banyak digunakan pantun untuk sambutan dan penggunaan pantun disini menimbulkan suasana akrab. Gadis dan jejaka yang berkenalan, bercintaan, atau menyatakan kasihnya juga dapat menggunakan pantun karena ungkapan secara langsung dianggap kurang tepat. Ungkapan langsung dalam pantun diberi antara oleh sampiran sehingga penerima ungkapan itu tidak merasa terkejut. Tanggapan orang yang diajak bicara pun jika bersifat kasar juga tidak begitu menyakitkan hati karena tanggapan itu diperantarai oleh sampiran. Pantun juga menunjukkan ikatan yang kuat dalam hal struktur kebahasaan atau tipografik atau struktur fisiknya. Struktur tematik atau struktur makna dikemukakan menurut aturan jenis pantun. Ikatan yang memberikan nilai keindahan dalam struktur kebahasaan itu, berupa :(1) jumlah suku kata setiap baris; (2) jumlah baris setiap bait; (3) jumlah bait setiap puisi dan (4) aturan dalam hal rima dan ritma. (Herman J. Walujo, 2006:8). Menurut Van Ophuysen pantun tercipta atau lahir karena keinginan untuk mengiaskan sesuatu dengan menggunaakan benda-benda alam.Hal ini sama
dengan ende-ende dalam bahasa batak yang merupakan suatu bentuk penggunaanbenda-benda alam sebagian lambang untuk menyampaikan suatu maksud tertentu. Kata pantun itu sendiri dijelaskan R.O.Winsted (dalam cenderawasih 11.blogspot.com, diakses tanggal 19 April 2013) sebagai kata pantun boleh jadi diambil dari bentuk karma bahasa jawa : pari yang sama dengan katapari dalam bahasa sanskrerta:pribahasanya yang artinya susunan atau aturan. Branstetter mencoba menguraikan kata pantun dari akar kata tun yang kemudian menjadi tuntun yang artinya menyusun atau teratur. Dalam bahasa tagalok menjadi kata tuntun yang artinya berbicara menurut aturan tertentu. Diantara pantun lado pantunlah yang merupakan milik Indonesia sejati,pantun digunakan dalam berbagai situasi kehidupan dalam gembira orang berpantun dalam kesedihan orang berpantun karena itu pula kita mengenal berbagai macam pantun (dalam cenderawasih 11.blogspot.com, diakses tanggal 19 April 2013). Dalam pengertian umum, pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat. Pantun adalah puisi asli Indonesia (Waluyo, 2006:9). Pantun juga terdapat dalam beberapa sastra daerah di Indonesia seperti “parika” dalam sastra jawa atau “paparikan” dalam sastra sunda. Menurut Surana (2010:31), pantun ialah bentuk puisi lama yang terdiri atas 4 larik sebait berima silang (a b a b). Larik I dan II disebut sampiran, yaitu bagian objektif. Biasanya berupa lukisan alam atau apa saja yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik III dan IV dinamakan isi, bagian subjektif. Sama halnya dengan karmina, setiap larik terdiri atas 4 perkataan. Jumlah suku kata setiap larik
antara 8-12. Namun, dalam buku Bahan Ajar Sastra Rakyat (2005:70) mengatakan bahwa: Pantun adalah puisi melayu tradisional yang paling popular dan sering dibincangkan. Pantun adalah ciptaan asli orang Melayu; bukan saduran atau penyesuaian dari puisi-puisi jawa, India, cina dan sebagainya. kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana (ecimuachpinky.blogspot.com, diakses tanggal 19 April 2013). Sedangkan dalam Kamus Istilah Sastra (2006:173) menjelaskan bahwa: Pantun adalah Puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasa terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b) tiap larik biasanya berjumlah empat kata; baris pertama dan baris kedua biasanya tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi; setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata; merupakan peribahasa sindiran; jawab pada tuduhan dan sebagainya. Lazimnya pantun sebait terdiri atas empat larik dengan berirama a-b-a-b. Setiap larik biasanya terdiri dari emapat kata atau delapan sampai dengan 12 suku kata dan dengan bahwa dua larik pertemuan selalu merupakan kiasan atau sampiran. Sementara isi atau maksud sesunggunya terdapat dalam larik ketiga dan keempat. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian, yaitu sampiran dan isi.Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikanbudaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut. Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan
sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Pantun juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial, pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermainmain dengan kata. Seringkali bercampur dengan bahasa-bahasa lain. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan. 2.1.2
Unsur-unsur Dan Syarat Pantun Unsur-unsur yang membangun sebuah pantun adalah sampiran dan isi.
Sampiran merupakan dua baris pantun yang memiliki saran bunyi untuk menuju isi. Hubungan antara sampiran dengan ini hanyalah hubungan dalam hal saran dan bunyi itu. Dua baris pantun yang menjadi sampiran saling berhubungan. Menurut Effendy (2008:28), syarat-syarat dalam pantun adalah: (a) Tiap bait terdiri dari empat baris; (b) Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata atau terdiri dari delapan atau sepuluh suku kata; (c) Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-a-b. dapat juga bersajak a-a-a-a; (d) Sajaknya dapat berupa sajak paruh atau sajak penuh; (e) Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir merupakan isi dari pantun itu. Hubungan antara sampiran dengan isi dalam sebuah pantun banyak diselidiki oleh para ahli. Penulis melihat bahwa antara sampiran dengan isi tidak terdapat hubungan makna atau isi, hanya terdapat saran bunyi. (Herman. J
Waluyo:2006:8) Sebait pantun terikat oleh beberapa syarat yaitu, bilangan baris tiap bait adalah empat bersajak ab ab, banyak suku kata tiap baris 8-12 suku kata, pantun umumnya mempunyai sajak akhir. tetapi juga bersajak awal atau bersajak tengah, dan dua baris pertama berupa sampiran dua baris terakhir berupa isi. 2.1.3
Ciri-ciri Pantun Abdul Rani (2006:23) mengatakan bahwa ciri-ciri pantun sebagai berikut:
(1) Terdiri atas empat baris; (2) Tiap baris terdiri atas 9 sampai 10 suku kata; (3) Dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya berisi maksud si pemantun. Bagian ini disebut isi pantun; (4) Pantun mementingkan rima akhir dan rumus rima itu disebut dengan abjad /ab-ab/. Maksudnya, bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan baris kedua sama dengan baris keempat. Lain halnya menurut Harun Mat Piah (2009: 123-124) membagi ciri-ciri pantun menjadi dua aspek, yaitu aspek luaran dan dalaman. Aspek luaran adalah dari segi struktur dan ciri-ciri visual yaitu: (1) Terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap rangkap terjadi dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan seperti 2,4,6,8 dan seterusnya. Rangkap yang paling umum adalah empat baris; (2) Setiap baris mengandung empat kata dasar, dengan jumlah suku kata antara 8 hingga 10; (3) Adanya klimaks yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan pada kuplet maksud; (4) Setiap stanza terbagi kepada dua unit yaitu pembayang dan maksud; (5) Mempunyai skema rima ujung yang tetap: a-b – a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a; (6) Setiap stanza pantun adalah satu keseluruhan mengandung sifat fikiran yang bulat dan lengkap.
Sedangkan menurut Sukmadinata (2009: 43), ciri-ciri pantun sebagai berikut: (1) Pantun tersusun atas empat baris dalam tiap baitnya; (2) Baris pertama dan baris kedua berupa sampiran; (3) Baris ketiga dan keempat merupakan isi/ maksud yang hendak disampaikan; (4) Jumlah suku kata dalam tiap baitnya ratarata berkisar delapan sampai dua belas. 2.2 Hakikat Berbalas Pantun 2.2.1 Konsep Mengajar Berbalas Pantun Menurut Oktaviani (2008:7) menyatakan lima pengertian berbalas pantun di antaranya (a) Sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai positif bagi anak; (2) Bermain tidak memiliki tujuan ekstrinsik namun motivasinya lebih bersifat intrinsik; (3) Bersifat spontan dan sukarela tidak ada unsur keterpaksaan dan bebas dipilih oleh anak; (4) Melibatkan peran aktif keikutsertaan anak; (5) Memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan bermain, seperti misalnya: kreativitas, pemecahan masalah, belajar bahasa, perkembangan sosial, dan sebagainya. Nenden Eka, (2008:2) menyatakan berbalas pantun diyakini sebagai sarana perkembangan potensi juga dapat dijadikan sebagai media terapi. Terapi berbalas pantun khususnya merupakan pendekatan yang sesuai untuk melakukan konseling dengan anak karena bermain adalah hal yang alami bagi anak. Melalui manipulasi mainan, anak dapat menunjukkan bagaimana perasaan mengenai dirinya, orangorang yang penting serta peristiwa dalam hidupnya secara lebih memadai daripada melalui kata-kata.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan mengajar berbalas pantun ialah merupakan suatu pembelajaran yang dilakukan secara sadar tentang peran di dalam kelas, suatu masalah diperagakan secara singkat sehingga siswa dapat mengenali karakter tokoh seperti apa yang siswa peragakan tersebut atau yang menjadi lawan mainnya memiliki atau kebagian peran seperti apa. Dengan demikian berbalas pantun memungkinkan anak mengatasi permasalahan dan merupakan suatu medium bagi guru untuk menganalisis permasalahanpermasalahan yang dihadapi anak dan cara-cara mereka mengatasinya. Berbalas Pantun adalah pemecahan masalah yang terjadi dalam konteks hubungan sosial dengan cara mendramakan masalah-masalah tersebut melalui sebuah peran. Dalam kegiatan bermain peran, siswa mengamati dan menganalisis interaksi antara pemeran sedangkan guru bimbingan merencanakan, menstruktur, memfasilitasi dan memonitor jalannya bermain peran tersebut kemudian membimbing untuk menindaklanjuti pembahasan tersebut. Berbalas Pantun menuntut kualitas tertentu pada siswa, yaitu siswa diharapkan mampu menghayati tokoh-tokoh (peran) atau posisi yang dikehendaki. “Keberhasilan siswa dalam mengahayati peran itu akan menentukan apakah proses pemahaman, penghargaan, dan identifikasi diri terhadap nilai berkembang (Hasan, 2006: 266). Berbalas Pantun merupakan pembelajaran yang dalam pelaksanaannya mengharuskan siswa untuk aktif dan kreatif. Dengan berbalas pantun siswa secara langsung memerankan tokoh hidup maupun benda mati namun tetap di bawah pengawasan guru sehingga dalam hal pembelajaran berpusat pada siswa.
Hal ini selaras dengan pengertian yang dikemukakan Mansyur (dalam Sagala, 2011:213) bahwa berbalas pantun adalah teknik mengajar yang dalam pelaksanaannya peserta didik mendapat tugas dari guru untuk mendramatiskan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari situasi sosial. Berpartisipasi secara langsung melalui kegiatan berbalas pantun, siswa akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari. Dalam suatu pembelajaran dimana siswa berperan aktif, yakni pembelajaran yang berpusat pada siswa akan memancing kretaivitas siswa dengan adanya aktivitas yang dilakukan melalui kegiatan berbalas pantun. Tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak meungkin terjadi. Muslich (2011:247). Berbalas pantun dapat memberikan kesenangan bagi siswa karena pada dasarnya model pembelajaran ini adalah permainan. Dengan bermain, siswa akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa (anak). Seperti yang diungkapkan oleh Muslich (2011:246) bahwa berbalas pantun adalah sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan sekaligus melibatkan unsur senang. Menurut Wahab, A.A (2009:109) mengemukakan bahwa “berbalas pantun adalah berakting sesuai dengan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu seperti menghidupkan kembali suasana historis misalnya mengungkapkan
kembali
perjuangan
para
pahlawan
kemerdekaan,
atau
mengungkapkan kemungkinan keadaan yang akan datang. Pendapat di atas didukung oleh Sanjaya (2009:70) berbalas pantun adalah pembelajaran sebagai
bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi persitiwa sejarah, mengkreasi peristiwa- peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang muncul pada masa mendatang. Sedangkan menurut Suyatno (2009:70) berbalas pantun adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berbalas pantun adalah pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan serta penkreasian peristiwa-peristiwa yang diimajinasikan dengan cara memerankan tokoh hidup atau mati. Pada masa sekarang ini berbalas pantun selalu dihubungkan dengan masalah pendidikan yang bertujuan merubah tingkah laku siswa, serta dapat memotivasi siswa supaya dapat berbuat sesuai dengan tujuan pendidikan. Seorang guru menurut profesinya merubah tingkah laku siswanya harus mengetahui beberapa tuntutan, sebagaimana dikemukakan oleh Winarno Surachmat (2012) yaitu : (a) Setiap guru harus menetapkan tujuan pengajaran yang akan dicapainya; (b)
Setiap
guru
memilih
dan
melaksanakan
pembelajaran
dengan
memperhitungkan kewajaran keberhasilan siswa; (c) Setiap guru memiliki keterampilan menghasilkan dan menggunakan alat - alat bantu pengajaran untuk memungkinkan tercapainya tujuan dengan sebaik-baiknya; (d) Setiap guru memiliki pengetahuan dan kemampuan praktis untuk menilai setiap hasil
pengajaran baik dari sudut siswa maupun dari kemampuan guru itu sendiri (http://www. Bpk penabur.or.id / kps-jkt/berita/200006/, diakses 29 Maret 2013). Jusuf Djajadisastra (2006:13) mendefinisikan berbalas pantun adalah “ suatu pembelajaran dimana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan memerankan peranan tertentu seperti yang terdapat dalam kehidupan masyarakatnya atau kejadian-kejadian sosial lainnya”. Adapun menurut oleh Roestiyah (2008:90): berbalas pantun adalah mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan sosial antar manusia. Berbalas pantun dalam aplikasinya melibatkan beberapa siswa untuk dapat memainkan perananya terhadap suatu tokoh, dan di dalam memainkan peranan siswa tidak perlu menghapal naskah, mempersiapkan diri, dan sebagainya. Pemain hanya berpegangan pada judul dan garis besar skenarionya, dan apa yang dikatakannya. Semua diserahkan kepada penghayatan siswa pada saat itu. Sehingga mereka dibawa ke dalam peristiwa seperti yang pernah terjadi, dan mereka belajar untuk memahami dan menghayati setiap kisah agar dapat mengaplikasikan kemudian. Pemahaman ini muncul apabila seseorang setelah beberapa kali memahami suatu masalah, untuk kemudian muncul adanya suatu kejelasan dimana terlihat adanya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lainnya, dipahami sangkut pautnya, serta dimengerti maknanya. Dengan demikian manusia akan belajar memahami dunia sekitarnya dengan jalan mengatur dan menyusun kembali pengetahuan-pengetahuannya menjadi suatu struktur yang berarti dan dapat dipahami.
Berdasarkan pada teori psikologi Gestalt di atas, maka pelaksanaan berbalas pantun dapat membuat siswa lebih dalam mengerti tentang suatu permasalahan sosial. Hal tersebut dikarenakan pemahaman yang dilakukan berulangkali sebelum diaplikasikan dalam dramatisasi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan berbalas pantun di sini menggambarkan suatu bentuk peristiwa aktif yang diperankan menggunakan garis besar skenario sehingga akan timbul penghayatan dan pemahaman siswa tentang peristiwa tersebut. Keberhasilan dalam pelaksanaan berbalas pantun dapat dicapai dengan mengajukan judul yang baik untuk diperankan oleh siswa. Hal ini agar siswa yang terlibat dalam peran bisa menghayati perannya dengan baik, sebelumnya guru mengemukakan garis besar dari skenario tersebut. Kemudian memilih kelompok siswa yang akan memerankan peran, serta mengatur situasi tempat bersama-sama dengan siswa yang terlibat peran tersebut. Siswa yang tidak ikut memerankan diminta supaya mendengarkan dan mengikuti dengan teliti semua pembicaraan, tindakan-tindakan serta keputusankeputusan yang dilakukan para pemain. Setelah pementasan selesai, guru mengatur diskusi untuk mengaplikasikan apa yang dilakukan oleh siswa tadi. Agar siswa memperoleh manfaat yang besar dari berbalas pantun ini, haruslah diupayakan agar mereka berperan secara wajar, dalam arti tidak dibuat-buat. Oleh karena itu, jalan cerita dalam isi pantun tidak tertentu menjadi ikatan yang ketat bagi siswa ketika harus memerankan perannya. Siswa diberi kesempatan untuk mengepresikan penghayatan mereka pada saat berbalas pantun dan melaksanakan diskusi.
Tujuan berbalas pantun adalah untuk melatih anak mendengarkan dan dapat menangkap peristiwa secara teliti Engkoswara (2010:20) mengungkapkan tujuan berbalas pantun adalah sebagai berikut: (1) Untuk melatih siswa mendengarkan dan menangkap cerita singkat dengan teliti; (2) Untuk memupuk dan melatih keberanian. Pada mulanya semua anak berani tampil kemuka kelas untuk melakukan dramatisasi masalah sedikit sekali yang mau dengan sukarela/tanpa ditunjuk tapi lambat laun anakanak berani sendiri; (3) Untuk memupuknya daya cipta dengan melihat cerita tadi anak-anak menyatakan pendapat masing-masing hal ini sangat baik untuk menggali kreativitas berpikir anak/siswa; (4) Untuk belajar menghargai dan menilai orang lain menyatakan pendapat; (5) Untuk mendalami masalah sosial. Adapun prinsip-prinsip penggunaan berbalas pantun adalah kelas harus memperhatikan terhadap masalah yang dikemukakan. Secara terperinci Ras Budi Eko Santoso (dalam (http://ras-eko.blogspot.com, diakses tanggal 1 April 2013) mengemukakan prinsip penggunaan berbalas pantun yaitu: (a) Harus diingat siswa belajar dari permainan dan tidak dari kata-kata yang dijelaskan oleh guru; (b) Agar perhatian siswa tetap terjaga persoalan yang dikemukakan hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak, baik minat maupun kemampuan siswa;(c) berbalas pantun hendaknya dipandang sebagai alat pelajaran dan bukan sebagai alat hiburan; (d) berbalas pantun dilakukan oleh sekelompok siswa; (e) Siswa harus terlibat langsung sesuai peranan masingmasing; (f) Penetuan topik yang dibicarakan bersama antar siswa dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan situasi tepat; (g) Petunjuk berbalas pantun
dapat terlebih dahulu disipakan secara terperinci; (h) Dalam berbalas pantun hendaknya dapat dicapai tujuan-tujuan yang menyangkut domein kognitif (penambahan pengetahuan tentang berbagai konsep dan pengertian); (i) berbalas pantun dimaksud untuk melatih keterampilan agar dapat menghadapi kenyataan dengan baik; (j) berbalas pantun harus dapat digambarkan yang lengkap dan proses yang berturut-turut yang diperkirakan terjadi dalam situasi yang sesungguhnya; (k) Dalam berbalas pantun
hendaknya dapat diusahakan
terintegrasi beberapa ilmu, serta terjadinya berbagai proses seperti sebab akibat, pemecahan masalah dan sebagainya. 2.2.2 Langkah-Langkah berbalas pantun Sanjaya (2009:159) menjabarkan langkah-langkah pembelajaran dengan berbalas pantun sebagai berikut : a. Persiapan terdiri atas kegiatan yaitu : (i) Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai; (ii) Guru memberikan gambar gambaran masalah dalam situasi yang akan dismulasikan; (iii) Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peranan yang harus dimainkan pemeran, serta waktu yang disediakan; (iv) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan simulasi. b. Pelaksanaan terdiri atas (i) Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran; (ii) Para siswa lainnya mengikuti dengan penuh perhatian; (iii) Guru hendaknya memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan; (iv) Simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncak. Hal ini dimaksudkan
untuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan. c. Penutup terdiri atas (i) Melakukan diskusi baik tentang jalannya simulasi maupun materi yang disimulasikan. Guru harus mendorong agar siswa dapat memberikan kritik dan tanggapan terhadap proses pelaksanaan simulasi; (ii) Merumuskan kesimpulan. Sudjana (2005:85) mengemukakanlam kegiatan 8 langkah dalam kegiatan berbalas pantun sebagai berikut : (a) Menetapkan masalah-masalah sosial yang menarik; (b) Menceritakan kepada kelas mengenai isi dari masalah-masalah dalam konteks dari cerita tersebut; (c) Menetapkan peserta didik yang bersedia untuk memainkan peran berlangsung; (d) Menjelaskan tugas peranan kepada mereka waktu berbalas pantun berlangsung; (e) Memberi kesempatan kepada mereka untuk berunding sebelum memainkan peranan; (f) Akhiri berbalas pantun apabila situasi pembicaraan mencapai ketegangan dengan diskusi kelas untuk bersamasama memecahkan masalah persoalan yang ada pada kegiatan tersebut; (h) Menilai berbalas pantun tersebut sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan langkah-langkah pembelajaran berbalas pantun, sebagai berikut : (1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran; (2) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok beranggotakan 3-4 siswa; (3) Guru menyiapkan skenario/naskah dengan tema cerita yang menarik; (4) Ketua kelompok membagi peran masing-masing sesuai yang terdapat dalam scenario. Guru pun dapat memegang salah satu peran apabila dirasakan memang perlu; (5) Tiap-tiap pemain menghapalkan dialog dalam skenario; (6) Guru
menunjuk salah satu kelompok yang sudah benar-benar siap untuk menampilkan naskah pementasan; (7) Demikian seterusnya sampai seluruh kelompok tampil; (8) Evaluasi, meliputi lafal,intonasi,ekspresi, penghayatan dan penampilan; (9) Kesimpulan. Beberapa pendapat di atas jelaslah menunjukkan bahwa penggunaan berbalas pantun pada dasarnya peserta didik akan mempunyai keterampilan tertentu yang berguna untuk kehidupan sehari-hari juga mengarah kepada kemajuan peningkatan kualitas proses pengajaran pada kualitas hasil belajar beserta aktivitas peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. 2.3 Hakekat Pembelajaran Bahasa Indonesia Di Sekolah dasar 2.3.1 Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang membelajarkan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar. Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Dengan kesimpulan tersebut, maka standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal siswa yang menggambarkan penugasan, pengetahuan, ketrampilan berbahasa, sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi siswa untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia dirumuskan karena, diharapkan mampu menjadikan: (1) siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesusastraan dan hasil intelektual bangsa
sendiri, (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya, (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dengan sumber belajar yang tersedia, dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (BSNP:2006). Bahasa Indonesia juga merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah dasar. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dihasilkan dari alat ucap (artikulasi) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional (melalui kesepakatan) yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Selain itu, bahasa juga merupakan percakapan atau alat komunikasi dengan sesama manusia. Sedangkan bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia dan digunakan sebagai bahasa nasional. Hal ini yang merupakan salah satu sebab mengapa bahasa Indonesia harus diajarkan pada semua jenjang pendidikan, terutama di SD karena merupakan dasar dari semua pembelajaran. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi ujaran yang di hasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat terbagi atas dua unsur utama yakni bentuk (arus ujaran) dan makna (isi).
Fungsi bahasa, yaitu sebagai (1) fungsi informasi, (2) fungsi ekspresi diri, (3) fungsi adaptasi, (4) fungsi kontrol sosial. Sedangkan fungsi khusus bahasa indonesia yaitu, sebagai alat menjalankan administrasi negara, alat pemersatu dan wadah penampung kebudayaan. Menurut Depdikbud (2006:11) “pada hakikatnya fungsi belajar Bahasa Indonesia bagi para siswa merupakan salah satu alat melancarkan komunikasi”. Jadi melalui bahasa siswa dapat saling berhubungan (berkomunikasi) saling berbagi penegalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan
intelektual.
Mata pelajaran
bahasa adalah
program
untuk
mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahsa Indonesia. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah dasar berdasarkan kurikulum 2006 (Depdiknas, 2006:9) yaitu “bahasa merupakan sarana untuk saling berkomunikasi, saling berbagai pengalaman, saling belajar dari yang lain, serta untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan kesusasteraan merupakan satana untuk menuju pemahaman tersebut.” Jadi, melalui bahasa serbagai sarana untuk saling berkomunikasi siswa dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya masing-masing. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pengertian pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah dasar, baik berdasarkan kurikulum 2004, maupun kurikulum 2006 menunjukkan bahasa sangat penting sebagai alat untuk berkomunikasi dan pengembangan potensi dasar yang dimiliki masing-
masing siswa, serta sesuai dengan arah tujuan yang dicantumkan dal;am program pembelajaran. 2.3.2
Tujuan Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang menjadi identitas
bangsa Indonesia. Untuk menjaga kelestarian dan kemurnian bahasa Indonesia maka diperlukan berbagai upaya. Contoh upaya untuk menjaga kemurnian bahasa Indonesia adalah dengan menuliskan kaidah-kaidah ejaan dan tulisan bahasa Indonesia dalam sebuah buku yang disebut dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). EYD dapat digunakan sebagai pedoman dalam kegiatan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan benar, baik komunikasi secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan upaya lain yang dapat digunakan untuk melestarikan bahasa Indonesia adalah dengan menanamkan bahasa Indonesia sejak dini. Penanaman bahasa Indonesia sejak dini adalah memberikan pelatihan dan pendidikan tentang bahasa Indonesia sejak anak masih kecil. Pelaksanaan pendidikan bahasa Indonesia pada anak dapat dilakukan melalui pendidikan informal, pendidikan formal, maupun pendidikan nonformal. Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga di rumah. Pendidikan ini dilakukan saat anak berada di rumah bersama dengan keluarganya. Sedangkan pendidikan formal dilaksanakan di dalam lembaga pendidikan resmi mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Dalam pendidikan formal ini gurulah yang berperan penting dalam menanamkan pengetahuan
akan
bahasa
Indonesia.
Sedangkan
pendidikan
nonformal
dilaksanakan di luar rumah dan sekolah, dapat melalui kursus, pelatihan-pelatihan, pondok pesantren dan lain sebagainya. Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi penting yang diajarkan di SD, karena bahasa Indonesia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh Akhadiah dkk. (2009:1) adalah agar siswa ”memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa sekolah dasar”. Dari penjelasan Akhadiah tersebut maka tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dapat dirumuskan menjadi empat bagian yaitu (1) Lulusan SD diharapkan mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar; (2) Lulusan SD diharapkan dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia; (3) Penggunaan bahasa harus sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa; (4) Pengajaran disesuaikan dengan tingkat pengalaman siswa SD. Butir (1) dan (2) menunjukkan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia SD yang mencakup tujuan pada ranah kognitif dan afektif. Butir (3) menyiratkan pen-dekatan komunikatif yang digunakan. Sedangkan butir (4) menyiratkan sampai di mana tingkat kesulitan materi pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan. Dari tujuan tersebut jelas tergambar bahwa fungsi pengajaran bahasa Indonesia di SD adalah sebagai wadah untuk mengembangakan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi bahasa itu, terutama sebagai alat ko-munikasi. Pembelajaran bahasa Indonesia di SD dapat memberikan
kemampuan dasar berbahasa yag diperlukan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah maupun untuk menyerap ilmu yang dipelajari lewat bahasa itu. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia juga dapat membentuk sikap berbahasa yang positif serta memberikan dasar untuk menikmati dan menghargai sastra Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia perlu diperhatikan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai luhur bangsa, serta pembinaan rasa persatuan nasional. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dalam BSNP (Rika Kusuma Dewi, 2009:18) sebagai berikut : 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulisan; 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagian bahasa persatuan dan bahasa negara; 3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakan dengan tepat dan kreatif; 4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperluas budi pekerti; 6. Menghargai dan membanggakan sastra sebagai hasanah budaya dan intelektual. Menurut Basiran (2006:6) bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah
“keterampilan
komunikasi
dalam
berbagai
konteks
komunikasi.
Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai dan mengekspresikan diri dengan bahasa”. Berdasarkan tujuan pembelajaran di atas bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di SD dijabarkan menjadi beberapa tujuan. Tujuan bagi siswa adalah untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya. Adapun tujuan bagi guru adalah untuk mengembangkan potensi bahasa siswa, serta lebih mandiri dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya. Tujuan bagi orang tua siswa adalah agar mereka dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program pembelajaran. Tujuan bagi sekolah adalah agar sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dan sumber belajar yang tersedia. Sedangkan tujuan bagi daerah adalah agar daerah dapat menentukan sendiri bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial. 2.4 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Penulis dalam melakukan Penelitian Tindakan Kelas ini dirmotivasi oleh beberapa penelitian terdahulu antara lain : Yulia Siska (2011) dalam judul skripsinya “Penerapan berbalas pantun Dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Anak Usia Dini ” Berdasarkan hasil penelitian tersebut yang dilaksakan di Taman Kanak-kanak Al-Kautsar Bandar lampung dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan berbicara anak di TK Al-Kautsar sebelum diterapkannya berbalas pantun, belum begitu optimal. Pelaksanaan pembelajaran
belum terprogram dengan baik, guru melaksanakan kegiatan rutin pembelajaran yang kurang bervariasi, seperti bercerita, bercakap-cakap dan Tanya jawab. Penerapan berbalas pantun cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak pembelajaran seperti ini belum pernah mereka gunakan dan sangat menarik, sehingga anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan keterampilan berbalas pantun anak melalui tokoh yang ia pilih untuk diperankan. Hasil penelitian diatas dengan yang saya lakukan tidak jauh berbeda karena memiliki kesamaan dalam model pembelajarannya yaitu berbalas pantun,akan tetapi perbedaannya adalah pada jenjang kelas penelitian yang dilakukan berbeda. Saya melakukan penelitian di kelas IV sedangkan Yulia Siska melakukan penelitian di Taman kanak-kanak. Wunarti (2013) dalam judul skripsinya “Penerapan pembelajaran berbalas pantun Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas III Sekolah Dasar Tunas Bangsa Pontionak”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru merencanakan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan materi berbalas pantun meningkat. Pada siklus I adalah 38,4 dengan rata-rata skor 3,84. Dan jumlah skor pada siklus II adalah 40 dengan ratarata skor 4,0. Maka, peningkatan kemampuan guru merencanakan pembelajaran adalah 0,16. Kemampuan guru melaksanakan pembelajaran meningkat. Pada siklus I adalah 28,46 dengan rata-rata skor 3,55. Pada siklus II adalah 31,94 dengan rata-rata skor 3,99. Maka peningkatan kemampuan guru melaksanakan pembelajaran adalah 0,44.
Hasil penelitian diatas dengan yang saya lakukan tidak jauh berbeda karena memiliki kesamaan dalam model pembelajarannya yaitu berbalas pantun,akan tetapi perbedaannya adalah pada jenjang kelas penelitian yang dilakukan berbeda. Saya melakukan penelitian di kelas IV sedangkan Wunarti melakukan penelitian di kelas III.