BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Jaringan Sosial Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan- hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157).Jaringan Sosial memiliki konsep menunjukkan suatu hubungan yang diikat oleh adanya kepercayaan dan kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada.Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. Secara normatif yang mempersatukan orang secara bersama adalah sekumpulan gagasan bersama, dan adanya kultur dan proses sosialisasi yang menanamkan norma dan nilai ke dalam diri aktor. Pakar teori Jaringan menentang hal tersebut karena menganggap seharusnya setiap orang memusatkan perhatian pada sebuah pola ikatan yang objektif yang menghubungkan anggota masyarakat.Teori jaringan juga menelaah objek struktur makro dan mikro yang artinya aktor bisa berupa individu, kelompok, perusahaan, atau masyarakat.Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas maupun skala kecil. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap individu mempunyai
akses
berbeda
terhadap
sumber
daya
yang
bernilai
(kekuasaan,kekayaan,informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur
25 Universitas Sumatera Utara
cenderung terstratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen yang lain. Maka dari itu membentuk sebuah kelompok menjadi upaya untuk mencapai sumber daya yang bernilai. Hubungan antar individu dalam kelompok bersifat ikatan kuat dan ikatan lemah. Granovetter mengemukakan ikatan kuat dan lemah dalam kelompok memiliki nilai tersendiri. Ikatan kuat dalam kelompok memungkinkan adanya motivasi lebih besar untuk saling membantu dan lebih cepat untuk saling memberikan bantuan.Sementara itu ikatan lemah dapat mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengintegrasikan dirinya dengan lebih baik ke dalam masyarakat lebih luas.Dapat diartikan bahwa ikatan kuat dan ikatan lemah dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang di bentuk oleh masyarakat. Salah satu contoh nya ikatan yang kuat didorong oleh faktor kesamaan sebagai suku tertentu maka masyarakat suku tersebut akan saling menolong dengan sesegera mungkin masyarakat yang sedang mengalami musibah namun tetap dalam satu suku yang sama. Contoh ikatan yang lemah misalnya sekelompok masyarakat minoritas yang tinggal di sebuah wilayah yang mayoritas dikuasai oleh satu suku saja namun kelompok tersebut bisa bergabung dengan suku mayoritas sehingga kelompok tersebut menjadi mudah terintegrasi dengan suku mayoritas di wilayah tersebut dan membangun jaringan sosial yang multikultural. Jaringan sosial memiliki sekumpulan prinsip logis yaitu: 1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang makin besar atau makin kecil.
26 Universitas Sumatera Utara
2. Ikatan antara individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas. 3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non acak. Di satu pihak, jaringan adalah transitif artinya bila ada ikatan antara A,B dan C, ada kemungkinan ada ikatana antara A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A,Bdan C. Dilain pihak, ada keterbatasan tentang berapa banyak hubungan yang dapat muncul dan seberapa kuatnya hubungan itu dapat terjadi. Akibatnya adalah juga kemungkinan terbentuknya kelompok-kelompok jaringan dengan batas tertentu, yang saling terpisah satu sama lain. 4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu. 5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur didalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tak merata. 6. Distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu kerjasama maupun kompetisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan bekerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya. 2.2Teori Jaringan Bambu Sejak berakhirnya Perang Dingin terdapat sebuah kawasan di dunia yang secara tidak terduga
berkembang dengan pesat dari segi pembangunan secara
global, dimana kawasan itu adalah Asia Tenggara. Di Asia Tenggara pelaku ekonomi meningkat dan didominasi oleh Orang Cina atau Tionghoa yang telah 27 Universitas Sumatera Utara
keluar dari negara mereka, Tiongkok, dan mereka sangat sukses mendirikan bisnis di kawasan Asia Tenggara.Itu semua merupakan hasil dari perubahan politik, ekonomi dan militer yang sangat cepat pada rakyat Tiongkok dan tidak mudah untuk mengabaikan kebesaran Tiongkok.Maka dari itu Tiongkok menjadi salah satu kekuatan dunia saat ini terutama di sector bidang ekonomi.Bangsa Cina tersebar di seluruh negara terutama di kawasan benua Asia. Mereka membentuk jaringan khusus untuk bisa menguasai perdagangan dunia dan bersaing dengan pengusaha dan
perusahaan
dari
barat
(Eropa dan Amerika) dan jaringan tersebut dinamakan jaringan bambu (Bamboo Net work).Jaringan Bambu terdiri atas himpunan besar keluarga Bangsa Cina yang berni aga di Malaysia, Vietnam, Indonesia,Singapura,
Thailand,
zona
pantai
Cina/Tiongkok dan Taiwan. Anggota jaringan bambu adalah pemain penting dalam transisi kebijakan Cina dari totaliter menjadi arah perdagangan dan pasar serta ekspansi ekonomi secara cepat.Para pengusaha etnis Cina sangat tangguh dalam urusan perdagangan di luar negara asal mereka sehingga perekonomian negara Tiongkok sendiri menjadi terangkat dan semakin maju.Hal ini mengukuhkan pebisnis Cina sebagai kompetitor yang patut di waspadai oleh para pebisnis dari barat seperti Eropa dan Amerika. Bisnis yang mereka ciptakan biasanya bekerja sama dengan keluarga sendiri sebab mereka lebih percaya kepada keluarga dalam urusan bisnis dan dapat saling tolong menolong jika urusan bisnis dipegang oleh keluarga atau kerabat dan segala urusan berkaitan dengan bisnis dianggap lebih mudah bekerja sama dengan sesama etnis Cina juga. Keluarga dibentuk untuk mempelajari dan memahami tentang pola berbisnis yang tepat maka banyak contoh perusahaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa diteruskan secara turun temurun
28 Universitas Sumatera Utara
kepada anak cucu mereka sendiri.Artinya ikatan kekerabatan dan rasa kesamaan sebagai etnis Cina dikalangan para pengusaha di Asia Tenggara dan seluruh dunia sangat kental.Perilaku atau kebiasaan demikian menimbulkan beragam fenomena, misalnya karena ikatan kekerabatan yang luar biasa erat menjadikan seseorang anggota keluarga yang tidak kompeten lebih dipercaya memegang pekerjaan atau bisnis dibandingkan dengan tenaga ahli yang memang sudah professional atau kompeten. Etnis Cina memang memiliki sifat yang turun temurun yang berkaitan dengan keberhasilan dalam bekerja atau berusaha yakni sifat berhemat, berwirausaha, dan ketekunan.Berhemat artinya disini adalah tidak menghambur-hamburkan harta untuk bersenang-senang, mereka justru sangat berhati-hati dalam menggunakan dan menikmati harta yang mereka miliki.Sifat berwirausaha maksudnya adalah wirausaha dianggap dapat menjadi sumber untuk memperoleh penghasilan bagi etnis Tionghoa dan berikutnya sifat ketekunan berarti setiap pekerjaan yang dilakukan harus dikerjakan dengan bersungguh-sungguh dan tidak boleh bermalasmalasan.Etnis Cina tak hanya belajar untuk berbisnis lewat keluarga atau turun temurun, mereka juga memperoleh ilmu berbisnis dengan menuntut ilmu di negaranegara barat kemudian menerapkan ilmu yang mereka peroleh ke dalam bisnisbisnis yang dijalankan oleh keluarga mereka. Dari sifat-sifat diatas maka dapat dilihat bahwa pebisnis Tionghoa atau Cina memang layak untuk sukses dan menguasai dunia usaha di seluruh dunia.Dalam menjalankan bisnisnya dapat kita lihat ciri-ciri khas orang Cina yang sudah diketahui oleh khalayak umum. Ciri khas dari sifat pebisnis etnis Cina dalam usaha bisnis yang dijalankan diantaranya, pengusaha Cina biasanya menghindari banyak
29 Universitas Sumatera Utara
publikasi dan lebih suka bekerja di belakang layar seperti memproduksi sarana untuk produsen menjalankan proses produksi, atau terjun ke usaha grosir, pembiayaan atau pengakutan tanpa memperlihatkan merk mereka ke khalayak umum. Disini terlihat bahwa pebisnis Cina cenderung menutup diri dari masyarakat umum dan hanya mau bekerja di balik layar bisnis-bisnis tanpa memperlihatkan identitas mereka secara terbuka. Ciri berikutnya yakni perusahaan keluarga etnis Cina sifatnya memiliki pengawasan yang ketat, kontrol terpusat dan melakukan transaksi dengan jalur yang aman bagi mereka agar proses birokrasi tidak merepotkan. Untuk urusan transaksi atau birokrasi, etnis Cina tidak mau repot mengurus hal-hal mengenai usaha mereka dengan bertele-tele karena mereka sangat menghargai waktu dan kesempatan. Jika birokrasi di permudah maka proses pelaksanaan kegiatan dalam berbisnis atau berdagang akan semakin cepat dan tidak membuang waktu yang percuma. Ciri ketiga adalah perusahaan para pebisnis Etnis Cina karena mereka lebih menekankan perusahaan yang memiliki jaringan luas daripada hanya memiliki satu perusahaan yang mendominasi pasar namun perkembangannya kurang signifikan dikemudian hari.Dalam menentukan kegiatan berbisnis, orang-orang Cina tentu sangat terperinci dan penuh dengan perhitungan yang matang. Apabila kesempatan membuka perusahaan lebih dari satu dilakukan mereka beranggapan bisa saja perusahaan tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga hanya dengan satu perusahaan saja , dikontrol dengan teliti akan jauh lebih memperoleh keuntungan uang banyak. Dan ciri yang terakhir adalah para pebisnis Etnis Cina di luar negeri memanfaatkan atau menggunakan gaya manajemen yang informal dan intuitif.
Dengan gaya usaha atau berdagang secara informal dan
intuitif akan mempermudah untuk menjalin kerjasama dengan para pebisnis Cina
30 Universitas Sumatera Utara
lainnya dan memperoleh kepercayaan para pebisnis lainnya. Dari ciri khas pebisnis Cina yang telah dijelaskan diatas memperlihatkan kinerja dan pola perilaku yang sangat umum dilakukan oleh etnis Cina dalam menjalankan bisnis, walaupun tidak semua orang Cina berwirausaha dan juga tidak semua menjadi sukses dalam menjalankan bisnis namun ikatan dalam jaringan sebagai sesama etnis Cina atau Tionghoa tetap ada dan dipertahankan dalam hubungan sosial.
2.3 ‘Masalah Cina’ di Indonesia Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak meninggalkan dan menyisakan polemik kehidupan sosial, politik, dan budaya bagi identitas etnis Tionghoa di Indonesia.Sejak masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda,
kebijakan-kebijakan
terhadap
etnis
Tionghoa
mulai
diberlakukan.Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa seringkali disikapi acuh tak acuh oleh masyarakat Pribumi dan Pemerintah, atau bahkan diekspresikan secara ekstrem, dengan sangat membenci atau justru menyenangi orang-orang etnis ini.Dalam kondisi-kondisi tertentu saja orang-orang etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan tersebut.Pendeknya, terdapat suatu sikap yang tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan Pemerintah, seperti tercermin pada kebijakan-kebijakan serta peraturan yang diberlakukan sejak zaman kolonial hingga kini.Melihat masalah Tionghoa sebagai
bagian
dari
kenyataan
kebhinekaan masyarakat
Indonesia
ini,
mengharuskan suatu pengetahuan dan pengertian yang lebih mendalam mengenai sejarah dan peranan golongan minoritas dalam masyarakat luas.Untuk itu kemudian muncul kesimpulan bahwa walaupun jumlah orang etnis Tionghoa 31 Universitas Sumatera Utara
di Indonesia relatif sedikit, mereka merupakan kelompok minoritas yang berarti. Dengan kata lain, meskipun dari segi ekonomi etnis Tionghoa lebih menonjol dari Pribumi, kemungkinan terjadinya benturan benturan diperbesar dengan adanya segi-segi sosial, budaya, dan politik, dan dasar-dasarnya terbentuk sejak pemerintahan kolonial Belanda dengan kebijakan ‘devide et impera’nya, yang secara sistematis memisahkan berbagai golongan penduduk dengan golongan lainnya termasuk golongan etnis Tionghoa. sejak zaman pemerintahan HindiaBelanda politik ‘pemisahan’ golongan antar etnis telah diberlakukan,termasuk etnis Tionghoa. Keterbatasan akses dan keterbatasan berdemokrasi untuk menempatkan sikap kebangsaan etnis Tionghoa di Indonesia semakin dikebiri oleh Negara, bahkan oleh masyarakatnya. Stereotip yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan ‘minoritas’, bahkan di Tanah Airnya sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan berakulturasi menjadi warga Negara Indonesia. Pembatasan-pembatasan tersebut menjadi awal mula terbentuknya ‘benteng’ antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi.Insecurity terhadap Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut sebagai penyebab eksklusif nya etnis Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan etnis lainnya.Eksklusifitas ini yang kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup dan kebiasaan, bahkan budaya bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu sendiri.Seperti misalnya ketika kita melihat banyak dari golongan etnis Tionghoa menengah keatas yang menjadi sangat eksklusif dibanding dengan orang-orang etnis Tionghoa lainnya.Misal, jika kita melihat orang-orang etnis Tionghoa yang tersebar di Ibukota Jakarta.Etnis Tionghoa tersebut kemudian menyebar, dan
32 Universitas Sumatera Utara
beraglomerasi pada daerah daerah tertentu yang menunjukkan identitas mereka masing-masing. Etnis Tionghoa peranakan, yang berasimilasi dengan orang Indonesia, dan kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang, bertempat tinggal di sekitaran Glodok dan jalan Gajah Mada, yang kemudian orang bilang sebagai ‘Cina Benteng’. Sebutan Cina Benteng muncul karena ada pembedaan latar belakang financial dengan orang Tionghoa ‘Totok’ lainnya, yang beraglomerasi di sekitaran daerah Kelapa Gading dan Pluit, Jakarta Utara.Orang-orang Tionghoa ini dikenal sebagai pengusaha, golongan menengah keatas, yang cukup menguasai pusat perekonomian dan bisnis, baik di Ibukota maupun di daerah-daerah.Etnis Tionghoa membangun in-group yang tanpa mereka sadari semakin menjauhkan etnis mereka dengan budaya demokrasi dengan masyarakat Indonesia yang pluralis. Insecurity juga disebut-sebut sebagai faktor yang dijadikan alasan pilihan anak-anak Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta, terlebih berbasis Yayasan. Perlu diingat bahwasanya pilihan tersebut merupakan hasil dari luka lama yang dirasakan pada pemerintahan masa Orde Baru, dimana kebijakan Soeharto yang mengimbau anak-anak berkebangsaan asing yang tinggal di Indonesia untuk masuk sekolah Negeri dan swasta yang mengajarkan kurikulum nasional. Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut berdampak pada mind-set dan rational-choice etnis Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat ‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan kebiasaan lama sekolah mereka. Dimana mereka dapat merasakan keamanan dan kelestarian budaya Tionghoa hanya dengan lingkungan yang berisikan orang-orang Tionghoa juga.
33 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat dipahami bahwasanya pemikiran tentang identitas Indonesia Tionghoa merupakan konsep yang sukar ditangkap dan melibatkan banyak penyebab yang saling berkaitan, terutama sejarah masa lampau etnis Tionghoa di Indonesia. Penyebab yang saling terkait ini dan dapat meliputi teritorialitas, afiliasi agama, pengaruh keluarga, sikap hubungan antara Pribumi dengan Tionghoa, kelas, patriarki, dan pencarian jodoh, semuanya memberi andil kepada corak sistem representasi yang mendasari pola interaksi dan identifikasi diantara orang Indonesia Tionghoa. Dan seiring berjalannya waktu, sejarah etnis Tionghoa dari zaman kolonial Belanda, Orde Baru, Reformasi sampai pada saat ini kemudian semakin mengalami proses pergeseran. Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas yang superior dan bahkan eksklusif.Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini memegang
kekuatan
pada
beberapa
sektor
vital
Negara,
seperti
perekonomian.Pribumi tidak lagi memandang mereka sebagai orang-orang minoritas yang tidak memiliki hak dan akses terhadap Negara dan lingkungan seperti perspektif terdahulu.Namun, justru keadaan berbalik.Kini kebanyakan etnis Tionghoa yang lebih memegang kendali daripada orang-orang Pribumi dan bahkan oleh Negara. Mereka seakan terpisah dari Negara dan masyarakat lainnya, membentuk suatu ‘komunitas’ atau in-groupatas dasar kultur subjektifnya,
dengan
kekuatan
finansial,
terlebih
di
dukung
dengan
perkembangan stereotip masyarakat akan kehidupan sosial etnis Tionghoa di Indonesia,
mereka
bertransformasi
menjadi
etnis
yang
superior
dan
eksklusif. Namun tanpa disadari, dengan kebudayaan dan life style etnis mereka
34 Universitas Sumatera Utara
sendiri lah yang memperkuat label dan disain ‘minoritas’ tersebut, sehingga “Tionghoa akan tetap Tionghoa”.
2.4 Etnis Cina Di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya Keberadaan etnis Cina di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke- 5. Hal itu di tunjukkan oleh kunjungan Fa-Hsien,1 seorang pendeta Budha ke Indonesia pada abad awal tarikh masehi (Kwartanada, 1996: 24; Djie, 1995: 20 dalam Siburian,2009). Dengan adanya fakta yang demikian, berarti etnis Cina sudah hadir kurang lebih 15 abad, jauh sebelum bangsa Belanda menjajah di Indonesia.Mencermati keberadaan etnis Cina yang sudah beberapa generasi tinggal di
bumi
Indonesia,
seharusnya
keberadaan
mereka
tidak
perlu
lagi
dipermasalahkan.Hanya karena kebetulan mereka itu etnis Cina, namun sudah banyak
di
antara
etnis
Cina
itu
tidak
lagi
mengetahui
letak
tanah
leluhurnya.Beberapa di antara mereka pun sudah banyak yang tidak mengerti bahasa leluhurnya. Berdasarkan fakta itu, proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara-bangsa juga melibatkan etnis Cina, sehingga dalam perkembangannya pun etnis Cina merupakan bagian integral dari perjalanan sejarah Indonesia. Proses pengakuan etnis Cina sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah dimulai sejak masa penjajahan dahulu, tampaknya keberadaan etnis Cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia belum berjalan mulus, atau etnis Cina belum diterima oleh etnis "asli" penghuni negeri ini secara optimal. Perlakuan terhadap etnis Cina sangat berbeda dengan perlakuan terhadap orang India ataupun orang Arab yang ada di Indonesia ini.Hal itu ditandai oleh kerusuhan demi kerusuhan yang sering terjadi
35 Universitas Sumatera Utara
mewarnai hubungan etnik di Indonesia ini, di mana etnis Cina tidak pernah luput dari sasaran.Adanya konflik antaretnis yang selalu membawa korban pada etnis Cina memberi indikasi bahwa hubungan antaretnis khususnya antara etnis Cina dengan etnis "asli" Indonesia tidak harmonis.Sering dianalogkan bahwa etnis Cina di Indonesia ibarat kerupuk yang ditaruh dalam kaleng yang selalu digoyang untuk menemukan posisinya yang tepat. Sepanjang posisi itu belum tepat, etnis Cina akan selalu digoyang. Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan etnis Cina sebagai etnis yang sejajar dengan etnis "asli" tentu ada yang melatarbelakanginya.Salah satunya adalah faktor kecemburuan sosial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnis Cina adalah "anak emas" sekaligus "anak tiri" bangsa Indonesia. Artinya, di satu sisi etnis Cina diperlakukan sangat istimewa oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnis Cina dipersulit dalam berbagai hal. Dalam hal ini, pemerintah selalu mendiskriminasikan etnis Cina-siapa pun dia itu-dengan berbagai aturan.Pendiskriminasian etnis Cina ini sebenarnya sudah berlangsung ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan kolonial Belanda. Secara resmi, pemerintahan Hindia Belanda (sejak permulaan abad ke-19) membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing (Cina, Arab dan lain lain), dan pribumi. Orang Cina pada waktu itu tampil sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Golongan Cina ini cukup makmur di bawah kekuasaan kolonial (Ong Hok Ham, dalam Siburian,2009). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, etnis Cina ini seperti "dianakemaskan" oleh Belanda.Kegiatan mereka di bidang perdagangan sangat dihargai. Hal itu disebabkan oleh semangat dagang dan usaha yang dimiliki oleh imigran Cina itu, termasuk kesediannya menerima tamu, kecenderungannya
36 Universitas Sumatera Utara
mengadakan jamuan makan dan ramah dalam pergaulan (Liem Twan Djie, dalam Siburian,2009). Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutip oleh LiemTwan Djie (dalam Siburian,2009) bahwa orang-orang Cina sangat gesit dan rajin serta mereka tidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan demi memperoleh uang. Ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, etnis Cina hanya diperbolehkan bergerak di bidang perdagangan. Tertutupnya akses etnis Cina berusaha di bidang lain disebabkan oleh hambatan-hambatan perundangundangan yang merintangi mereka. Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina digolongkan sebagai bangsa asing, didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tanggal 11 April 1942.Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi.Berbagai pungutan--baik resmi ataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingat status mereka sebagai minoritas yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI, yang berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk masuk sekolah/kuliah (Kwartanada, dalam Siburian,2009). Kendati etnis Cina sudah lama berdiam di bumi Indonesia, mereka masih "orang asing" bagi masyarakat pribumi.Keterasingan etnis Cina di mata pribumi adalah
akibat
kurang
bersosialisasinya
etnis
Cina
dengan
masyarakat
pribumi.Sebagian besar warga pribumi mengenal orang Cina hanya dipasar.Pasar dalam hal ini merupakan suatu fenomena yang menunjukkan adanya jual-beli antara pihak pembeli dan penjual, baik barang ataupun jasa.Dengan demikian, interaksi yang terjadi antara warga pribumi dan non-pribumi (etnis Cina) itu adalah kaitannya dengan perdagangan saja.Interaksi yang demikian tentu sangat terbatas, sebab yang
37 Universitas Sumatera Utara
terjadi adalah hubungan jual-beli semata. Interaksi yang hanya berlangsung dalam arena pasar atau jual beli saja tidak akan mampu untuk memahami satu sama lain secara mendalam. Oleh karena etnis Cina dikenal di pasar, maka mereka ini tak lebih dari sekedar "binatang ekonomi" (economic animal). Akibatnya adalah muncullah stereotype tentang Cina mindring, Cina Klontong atau Cina yang mata duitan (Kwartanada, dalam Siburian,2009). Tampilnya dominasi etnis Cina di sektor perdagangan khususnya di Indonesia dimaksudkan sebagai strategi untuk bertahan hidup sebagai etnis minoritas dan warga perantau.Sebab, etnis Cina tidak mempunyai lahan pertanian yang dapat memberi mereka jaminan hidup.Untuk hidup dari sector pertanian dibutuhkan lahan yang tidak sedikit.Berbeda dengan sektor perdagangan, lahan yang luas tidak begitu penting, tetapi yang terutama adalah lokasi yang strategis agar pembeli dapat dengan mudah menjangkaunya.Oleh karena itu, tidak jarang tempat etnis Cina berdagang hanya di atas tanah dengan luas 9 meter persegi.Tanah yang relatif sempit itu dapat memberi penghidupan kepada seluruh anggota keluarga.Selain itu adalah kebijakan pemerintah yang membatasi gerakan kelompok etnis Cina ini baik yang tertulis maupun tidak.Misalnya, bidang kemiliteran tertutup bagi orang Cina.Demikian juga akses untuk menjadi pegawai negeri sipil relatif kecil. Bahkan sesuatu yang tidak mudah bagi seorang etnis Cina WNI untuk bisa memasuki sekolah atau perguruan tinggi negeri, mengingat adanya konsensus tentang kuota etnis Cina yang dapat diterima dengan kisaran antara 5 - 10 % (Kwartanada, dalam Siburian,2009). Pembatasan itu terkait dengan Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan untuk anakanak Warga Negara Asing Cina di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40 %, dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid
38 Universitas Sumatera Utara
WNA Cina. Pemilihan kegiatan di sektor perdagangan ini dapat membuat etnis Cina unggul dan mendominasi kegiatan perekonomian di Indonesia.Dengan adanya dominasi seperti itu mengakibatkan kegiatan perekonomian Indonesia sangat tergantung kepada etnis Cina ini. Keunggulan dalam bidang perdagangan atau bisnis ini terletak pada sikap kewirausahaan serta sikap tanggap terhadap peluang komersial perantauan (Supriatma, dalam Siburian, 2009). Sikap kewirausahaan etnis Cina disemangati oleh ajaran konfusionisme (Sudiarji, dalam Siburian, 2009) dan nilai hopeng, hong sui, dan hokie. Hopeng adalah salah satu nilai penentu perilaku bisnis golongan Cina, yang berarti cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi bisnis. Bisnis tidak seluruhnya "rasional" sehingga hubungan dengan relasi sangat penting. Tanpa hubungan yang baik dengan relasi maka dipastikan sebuah usaha tidak akan berkembang. Hong sui adalah menyangkut kepercayaan, yaitu kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia. Hong suimemberi petunjuk tentang bidang-bidang atau wilayah yang sesuai dengan keberuntungan baik dalam hidup sehari-hari maupun dalam peruntungan perdagangan. Hokie adalah nilai yang menyangkut peruntungan dan nasib baik.Dalam hal ini, hokie lebih dipersepsikan bagaimana menyiasati nasib agar (selalu) mendapat nasib baik (Handoko, dalam Siburian, 2009).Kewirausahaan yang ditampilkan itu telah membuat etnis Cina mampu membangun jaringan yang luas dan potensial untuk mengembangkan bisnis.Jaringan bisnis etnis Cina tidak saja dalam bidang distribusi tetapi juga jaringan untuk masuk pada sumber-sumber permodalan.Hal ini dimungkinkan karena yang menjadi pemilik sumber-sumber permodalan itu adalah etnis Cina sendiri.Sementara bagi pribumi, mereka relatifsulit untuk memperoleh kucuran kredit, sebab orang Cina-lah yang memonopoli jaringan
39 Universitas Sumatera Utara
ke sumber-sumber perkreditan tersebut. Orang Cina akan senang berbisnis dengan sesamanya, sedangkan warga pribumi tidak mereka percayai. Ketimpangan dalam jaringan bisnis dan pemberian kredit itu mengakibatkan ekonomi etnis Cina jauh lebih maju ketimbang warga pribumi, karena usaha golongan Cina ini ditopang oleh permodalan yang cukup sehingga lebih mampu bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional.Menurut warga pribumi, perlakuan yang demikian merupakan bentuk ketidakadilan yang berakibat pada ketimpangan ekonomi yang berujung pada terciptanya kecemburuan, yang kemudian mengkristal menjadi sikap "anti Cina". Akibat
dari
ketimpangan
tersebut
menimbulkan
stratifikasi
di
bidang pendapatan.Etnis Cina dilihat dari status ekonomi berada pada tingkat yang lebih tinggi ketimbang warga pribumi.7 Status ekonomi yang berbeda tersebut terbawa pada kehidupan sosial yang terkotak-kotak.Dalam hal ini, etnis Cina hanya bergaul dengan sesamanya, demikian halnya dengan warga pribumi.Etnis Cina hidup dalam dunia atau lingkungan yang eksklusif.Hal ini ditunjukkan dengan tampilan pagar rumah yang cenderung tinggi-tinggi melebihi pagar warga pribumi yang
tinggal
di
memperlihatkan batasan pribumi. Sebenarnya
sebelahnya.Penampilan
yang
demikian
seakan
yang jelas antara warga etnis Cina dan warga
tujuan
membangun
pagar
yang
tinggi
itu
adalah
untuk mengantisipasi adanya pencurian ataupun perampokan.Akan tetapi kesan yang ditampilkan dengan penampilan pagar seperti itu merupakan penunjukan bahwa; "saya adalah orang Cina dan anda orang pribumi".Selain itu, pencuri yang diantisipasi oleh etnis Cina itu yang jelas adalah warga pribumi dan tidak mungkin dilakukan oleh etnis Cina sendiri. Artinya bahwa yang dijaga ataupun diantisipasi oleh pagar yang tinggi itu adalah warga "asli" dengan indikasi bahwa
40 Universitas Sumatera Utara
warga "asli" tidak bisa dipercaya. Kekurangpercayaan pada warga "asli" dan lingkungannya ini secara implisit sebenarnya membangun jarak antara etnis Cina dengan warga "asli" itu sendiri. Akibat selanjutnya mengakibatkan pembauran tidak terjadi.Kalaupun ada pembauran, hal itu tidak berjalan secara optimal. Sebab, secara logika sulit membangun komunitas untuk saling berbaur apabila satu sama lain sudah saling curiga atau saling tidak percaya. Akibatnya adalah orang Cina dilingkungan warga pribumi selalu menjadi "orang asing".Dari segi agama pun, mereka yang berasal dari etnis Cina berbeda dengan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, yaitu agama Islam.Agama yang dianut oleh etnis Cina di Indonesia juga bervariasi, seperti Protestan, Katolik, Budha dan sedikit saja yang beragama Islam.Selain itu, di antara mereka pun masih banyak yang menganut aliran kepercayaan yang berasal dari negeri Cina, yaitu Khonghucu. Selama pemerintahan Orde Baru, aliran Khonghucu tidak memperoleh status hukum sebagai sebuah agama, walaupun pada masa pemerintahan Orde Lama berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No.1/ 1965 mengakui bahwa Khonghucu merupakan salah satu dari enam agama resmi di Indonesia. Pengakuan itu semakin dipertegas lagi dengan Penpres No.5/1969. Oleh karena Khonghucu tidak diakui sebagai sebuah agama, maka kegiatan "keagamaan" Khonghucu dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi oleh para penganutnya. Padahal, oleh pemerintah Orde Baru, peraturan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Lama tersebut tidak pernah dinyatakan dicabut. Memasuki era reformasi ini tampaknya seluruh simbolsimbol yang berbauetnis Cina sudah dapat dipertontonkan kepada khayalak ramai.Pertunjukkan barongsai yang tidak mungkin dinikmati oleh masyarakat Indonesia selama rezim Orde Baru, kini secara bebas sudah dapat disaksikan oleh
41 Universitas Sumatera Utara
seluruh lapisan masyarakat, karena pemerintah tidak lagi melarangnya.Bahkan, hari perayaan tahun baru Imlek mulai tahun 2003 dinyatakan oleh Presiden Megawati sebagai hari libur nasional. Kecuali etnis Cina yang menganut agama Islam, tampaknya agama lain yang dianut oleh orang etnis Cina lain merupakan salah satu faktor yang membuat pembauran mereka dengan etnis "asli" menjadi tertutup. Sebab, di antara sesama etnis pribumi Indonesia sendiri tetapi berbeda latar belakang agama masih sering terjadi pergesekan,8 apalagi dengan etnis Cina yang berbeda secara sosiokultural. Sebenarnya mereka yang hidup secara eksklusif ini tidak seluruh etnis Cina. Sebab masih ada warga etnis Cina yang mampu memperlihatkan sikap pembauran yang tinggi.Akan tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak dan mereka ini dapat dikategorikan kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi.Kelompok yang bersedia membaurkan diri dengan warga "asli" ini adalah untuk mencari jaminan sosial (social security) dari warga "asli". Sebab, kelompok etnis Cina yang mampu secara ekonomi ini tampaknya kurang cocok berbaur dengan etnis Cina lain yang sukses secara ekonomi, akibat di antara mereka pun sebenarnya ada juga kesenjangan ekonomi.
2.5 Definisi Konsep Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah definisi abstrak mengenai gejala atau realita suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Moleong,1997). Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini antara lain:
42 Universitas Sumatera Utara
1. Jaringan Bambu Adalah sebuah istilah yang menggambarkan suatu jaringan yang dibentuk oleh para pengusaha atau pebisnis Cina yang tinggal di dalam dan di luar negara Tiongkok dan mereka saling bekerja sama dalam bidang ekonomi dan bisnis dalam menguasai dan memonopoli perdagangan dunia sehingga dapat bersaing penuh dengan pebisnis barat. Jaringan bambu juga merujuk pada perasaan ingin bekerja sama sebagai sesama etnis Cina dalam berbagai bidang kehidupan. Jaringan Bambu menekankan tentang pola hubungan yang erat antar sesama etnis Cina di seluruh dunia dan memiliki prinsip yang kuat tentang kepercayaan akan keluarga untuk menjalankan bisnis atau perdagangan mereka. Jaringan ini menunjukkan kekuatan besar yang dimiliki oleh para pebisnis Cina atas dasar rasa kesamaan dan kepercayaan sebagai satu etnis yang sama yakni etnis Cina atau Tonghoa.
2. Etnis Tionghoa Tionghoa-Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia yang asal usul mereka dari Tiongkok.Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka).Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Tionghoa di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin.Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
43 Universitas Sumatera Utara
3. Pendidikan Pendidikan berasal dari kata didik yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran,tuntunan,pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Maka Pendidikan memiliki definisi proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Pendidikan ada yang bersifat formal dan juga ada yang bersifat pendidikan non formal. Pendidikan
formal
biasanya
merupakan
pendidikan
tentang
berbagai
pengetahuan yang wajib di jalani oleh setiap orang berdasarkan jenjang usianya dan di berikan di sekolah terdiri dari Playgroup, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas bahkan hingga jenjang Pendidikan Tinggi di Perguruan Tinggi. Sementara pendidikan non formal biasanya merupakan pendidikan yang mengajarkan keahlian-keahlian tertentu atau sifatnya khusus seperti les atau kursus.
4. Pendidikan Tinggi Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.Syarat seseorang untuk memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi adalah sudah menyelesaikan tingkatan sekolah menengahnya.Pendidikan tinggi memberikan spesialisasi bidang ilmu bagi pengenyam pendidikan tersebut.
44 Universitas Sumatera Utara
5. Perguruan Tinggi Swasta Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi.Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen.Perguruan tinggi swasta di Indonesia, dikelola oleh masyarakat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan bukan dibentuk atau didirikan oleh pemerintah.Bimbingan dan pengawasan atas penyelenggaraan perguruan tinggi swasta pada mulanya dilakukan oleh Lembaga Perguruan Tinggi Swasta (disingkat LPTS) yang dibentuk oleh pemerintah.LPTS ini merupakan cikal bakal dari Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta(disingkat Kopertis).Intinya perguruan tinggi swasta berdiri sendiri atau mandiri di segala aspek nya tanpa ada campur tangan dari pemerintah.
6. Mahasiswa/i Etnis Tionghoa Mahasiswa/i Etnis Tionghoa merupakan peserta didik di perguruan tinggi swasta di Indonesia yang berasal dari Etnis Tionghoa (Cina) yang merupakan warga negara Indonesia.
45 Universitas Sumatera Utara