BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut disertai dengan manifestasi perdarahan bertendensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian, umumnya menyerang pada anak < 15 tahun, namun tidak tertutup kemungkinan menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
tanda-tanda perdarahan di kulit
(petechiae), lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Depkes RI, 2008). Demam dengue umumnya menyerang orang yang kekebalan tubuhnya sedang menurun. Sebenarnya saat seseorang terkena infeksi virus dengue, tubuh akan memproduksi kekebalan terhadap tipe virus dengue tersebut, kekebalan ini akan berlangsung seumur hidup. Demam dengue disebabkan oleh banyak strain atau tipe virus sehingga walaupun tubuh seseorang kebal terhadap salah satu tipe namun orang tersebut masih dapat menderita demam dengue dari tipe virus yang lain. Menurut WHO dikenal penyakit Demam Dengue (DD), yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, sakit pada sendi, tulang dan otot. Sedangkan DBD ditunjukkan oleh 4 (empat) manifestasi klinis yang utama, demam tinggi, fenomena perdarahan, sering
dengan hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah (World Health Organization (World Health Organization (WHO), 1998 : 1). 2.1.2 Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit demam berdarah dengue (DBD) mempunyai perjalanan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal karena banyak pasien yang meninggal akibat penanganannya terlambat (Widoyono, 2008 : 59). Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemik yang terdapat diperkotaan di Indonesia. Juga di negara-negara tetangga (ASEAN). DBD yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang asalnya dari Mesir ini kemungkinan hadir sebagai pendatang di Surabaya pada tahun 1968 bersama virusnya. Selama ini tidak ada obatnya dan belum ada vaksinnya. Oleh sebab itu, pengendalian nyamuk seperti misalnya kerja bakti menghilangkan breeding places tempat perindukan nyamuk merupakan satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya KLB (Achmadi, 2005 : 102). Dengue merupakan arbovirus paling penting, dengan 40-80 juta orang menjadi terinfeksi setiap tahun diseluruh dunia. 500.000 kasus dirawat di rumah sakit dengan komplikasi perdarahan (demam berdarah dengue/ dengue heamorrhagic fever, DHF) (Mandal dkk, 2008 : 272). Menurut riwayatnya, pada tahun 1779, David Bylon pernah melaporkan terjadinya letusan demam dengue (dengue fiver/ DF) di Batavia (sekarang Jakarta). Penyakit itu disebut demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun l87l - 1873 di Zanzibar
kemudian di pantai Arab dan terus menyebar ke Samudera Hindia (Suroso dan Umar, 2004 : 14). Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dimana terdapat 53 penderita DBD dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Sejak saat itu DBD menyebar ke beberapa provinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus yang bertambah setiap tahunnya. Setiap tahun kira-kira 18.000 orang harus dirawat inap karenanya dan 700-750 orang meninggal. Sejak tahun l968-1998 terjadi 4 kali kejadian luar biasa DBD yaitu pada tahun 1973, 1984, 1988, 1998. Pada tahun 1996 jumlah kasus DBD adalah 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang, sedangkan pada tahun 1998 jumlah kasus DBD adalah 72.133 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang. Peningkatan insiden DBD nampaknya terjadi setiap 5-10 tahun (Simon dan Kristina, 2004 dalam Fenny, 2007 : 6-7). 2.1.3 Etiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Demam berdarah dengue dikarenakan oleh virus dengue dari famili Flaviviridae dan genus Flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotipe ini menimbulkan gejala yang berbeda-beda jika menyerang manusia. Serotipe yang menyebabkan infeksi paling berat di Indonesia, yaitu DEN-3 (Satari dan Meiliasari, 2004 : 3). Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai penyebabnya demam berdarah hanya dapat
ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu penyakit ini termasuk dalam kelompok arthropod borne diseases (Satari dan Meiliasari, 2004 : 3). Penyakit ini bisa menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, sering menimbulkan kejadian luar biasa. Penyakit ini ditularkan oleh orang yang dalam darahnya terdapat virus dengue (Suroso dan Umar, 2004 : 15). Graham ialah sarjana pertama yang pada tahun 1903 dapat membuktikan secara positif peran nyamuk Aedes aegypti dalam transmisi dengue di Indonesia. Vektor DBD telah diselidiki, dan Aedes aegypti di daerah perkotaan diperkirakan sebagai vektor terpenting. Survei jentik yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM dan PLP) di 27 provinsi dalam kurun waktu 5 tahun (1992-1996) memperlihatkan rata-rata indeks premis 20%, suatu angka yang dianggap 5% lebih tinggi terhadap ambang risiko transmisi demam dengue (Soedarmo, 2004 : 6). Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi, biasanya antara garis lintang 35U dan 35S, kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm 10C. Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan pada ketinggian 1000 m. Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan sering hidup didalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes scutelalaris. Setiap spesies ini mempunyai
distribusi geografisnya masing-masing; namun, mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (World Health Organization (WHO),1998 : 11). Di Indonesia sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti. Demikian pula halnya di Kotamadya Surabaya spesies utama adalah Aedes aegypti (Soegijanto, 2004 : 99). Menurut
Soegijanto
(2004
:
100-102)
masa
pertumbuhan
dan
perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis (holometabola). a. Telur Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air. b. Larva Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang berbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum
menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Laeva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dan perut (abdomen). Pada bagian kepala terdapat sepasang mata mejemuk, sepasang antenna tanpa duri-duri dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersususn atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) dibagian ventral dan gigigigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan waktu istrahat membentuk sudut hampir tegal lurus dengan bidang permukaan air. c. Pupa Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh tersebut yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah, bila
dibandingkan dengan larva. Waktu istrahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukan air. d. Dewasa Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antenna yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, kerena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antenna tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose. Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah, Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan belang-belang putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya (Gandahusada, 2003 dalam Fenny, 2007 : 8). Nyamuk betina mengisap darah agar bisa memperoleh protein untuk mematangkan telurnya sampai dibuahi oleh nyamuk jantan. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang (Tapan, 2004 : 85). Kebiasaan mengisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari suatu individu ke individu yang lain. Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk bisa mengisap darah sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.
Nyamuk betina biasanya mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Nyamuk akan bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih, seperti tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari seperti : bak mandi, WC, tempayan, drum air, bak menara (tower air) yang tidak tertutup, sumur gali. Selain itu, wadah berisi air bersih atau air hujan: tempat minum burung, vas bunga, pot bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air walau dengan volume kecil, juga menjadi tempat kesukaannya (Gama dan Betty, 2010 : 2). Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi juga secara tidak disadari memberikan peluang bagi berkembangnya nyamuk ini. Banyak tempat perindukan yang dinilai cocok bagi nyamuk ini untuk bertelur. Tempat-tempat tersebut tercipta akibat perkembangan teknologi seperti : penampungan air pada AC, kulkas, dispenser, talang-talang air yang tidak lancar, bangunan-bangunan beton yang terbengkalai. Sampah-sampah modern seperti Styrofoam. Semuanya adalah produk modern yang merubah pola hidup manusia dan juga turut menyumbangkan jumlah populasi nyamuk (Nindito, 2004 dalam Feny, 2007 : 9).
a
Gambar 2.1 Siklus Nyamuk Aedes aegypti Sumber. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, 2010. Siklus hidup Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur – larva – pupa – nyamuk dewasa. Stadium telur, larva dan pupa hidup didalam air, sedangkan stadium nyamuk dewasa hidup diluar air (Widoyono, 2008 : 60). Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada didalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam 5-9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 14 hari. Siklus nyamuk Aedes aegypti secara lengkap dapat dilihat pada gambar 2.1. 2.1.4 Cara Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Sumber penularan penyakit DBD adalah orang yang di dalam darahnya terdapat virus dengue. Orang ini bisa menunjukkan gejala sakit, tetapi bisa juga tidak sakit, yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue.
Bila seseorang digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke lambung nyamuk, selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian virus itu berada dalam kelenjar liur nyamuk. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah penderita (Suroso dan Umar, 2004 : 16). Penularan penyakit terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), alat tusuknya yang disebut proboscis akan mencari kapiler darah. Setelah diperoleh, maka dikeluarkan liur yang mengandung zat anti pembekuan darah (anti koagulan), agar darah mudah di hisap melalui saluran proboscis yang sangat sempit. Bersama liurnya inilah virus dipindahkan kepada orang lain. 2.1.5 Manifestasi Klinik Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau simtomatik yang meliputi panas tidak jelas penyebabnya. Gambaran klinik demam berdarah dengue sering tergantung pada usia pasien (World Health Organization (WHO), 1998 : 17). Menurut Widoyono (2008 : 63) pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan demam dan manifestasi perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet. Gejala klinik : 1.
Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari
2.
Manifestasi perdarahan a. Uji torniquet positif b. Perdarahan spontan berbentuk peteki, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena.
3.
Hepatomegali
4.
Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin, dan anak gelisah. Menurut Depkes RI (2003), secara klinis ditemukan demam, suhu tubuh
pada umumnya antara 39˚C – 40˚C menetap antara 5-7 hari, pada fase awal demam terdapat ruam yang tampak di muka leher dan dada. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul petekia yang menyeluruh pada tangan dan kaki. Perdarahan pada kulit pada DBD terbanyak dilakukan uji tourniquet positif. World Health Organization
(WHO), 1997 dalam Soegijanto
: 28)
membagi derajat DBD dalam 4 (empat) tingkat, yaitu sebagai berikut: Derajat I
: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji tourniquet positif.
Derajat II
: Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau pendarahan lain.
Derajat III
: Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (≤ 20 mm Hg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
Derajat IV
: Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur
2.1.6 Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Penanggulangan penyakit DBD meliputi tindakan promotif, preventif, dan kuratif. Tindakan promotif dilaksanakan secara vertikal yaitu melalui edukasi dan informasi kepada masyarakat luas mengenai penyakit DBD dan cara
pencegahannya. Upaya ini melibatkan berbagai sektor untuk mendukung penyebarluasan informasi penyakit DBD. Tindakan preventif dilakukan seiring dengan tindakan promotif yaitu dengan melakukan berbagai kegiatan kebersihan lingkungan dengan fokus pembasmian tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Tindakan kuratif terus dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan tentang penatalaksanaan penyakit DBD. Mengingat bahwa pengobatan dan vaksinasinya yang efektif belum diketemukan maka pemberantasannya yang terbaik adalah menghilangkan sarang tempat berkembang-biaknya nyamuk Aedes aegypti. Lingkungan bersih sangat mendukung upaya ini (Wardhana, 2004 : 156). 1) Lingkungan. Metode lingkungan yaitu pengelolaan yang meliputi berbagai perubahan yang menyangkut upaya pencegahan atau mengurangi perkembangbiakan vektor sehingga mengurangi kontak antara vektor dengan manusia (Suroso dan Umar, 2004, :9). Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia dan perbaikan desain rumah. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) ini dilakukan dengan cara : a. Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu. b. Menutup dengan rapat tempat penampungun air, seperti tempayan, drum dan tempat air lain.
c. Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali. d. Mengubur barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi sarang nyamuk. e. Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan tanah. f. Membersihkan penampungan air pada AC, kulkas dan dispenser sekurang-kurangnya seminggu sekali. 2) Biologi. Yaitu berupa pengendalian dengan memanfaatkan musuh-musuh (predator) nyamuk yang ada di alam seperti dengan menempatkan pemangsa jentik di tempat-tempat yang tidak mungkin dilakukan pengurasan seperti berbagai ikan pemakan jentik (ikan cupang dan lainlain).
Pengendalian biologis
yang
lebih ekstrim
adalah dengan
menempatkan sejenis bakteri yang dapat membunuh jentik nyamuk, namun penggunaan bakteri ini masih kontroversial karena belum diketahui dampaknya bagi kesehatan dan kehidupan manusia (Nindito, 2004 dalam Feny, 2007 : 14). 3) Kimiawi. Yaitu berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun, bahan penghambat pertumbuhan, dan sebagai hormon. Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian vektor harus mempertimbangkan
kerentanan
terhadap
pestisida,
bisa
diterima
masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lain. Caranya adalah sebagai berikut :
a.
Pengasapan/fogging,
b.
Memberi bubuk abate pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong, vas bunga, kolam, dan lain-lain. Metode lingkungan yaitu pengelolaan yang meliputi berbagai perubahan yang menyangkut upaya pencegahan atau mengurangi perkembangbiakan vektor sehingga
mengurangi
kontak antara
vektor
dengan
manusia
(Soegijanto, 2004 : 106). 4) Terpadu. Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup rapat tempat penampungan air, menguras tempat penampungan air dan menimbun barang-barang bekas. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat anti nyamuk, memeriksa jentik berkala dan lain-lain sesuai dengan kondisi setempat 2.1.7 Pengobatan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Haus dan dehidrasi terjadi akibat demam tinggi, anoreksia dan munta; sehingga masukan cairan per oral harus diberikan. Penggantian larutan elektrolit atau jus buah lebih dipilih dari pada air saja. Larutan rehidrasi oral, seperti yang digunakan untuk pengobatan penyakit diare, dianjurkan.
Selama fase demam akut terdapat resiko kejang. Antipiretik dapat diberikan pada pasien dengan hiperpireksia, terutama bagi mereka yang mempunyai riwayat kejang demam. Salisilat harus dihindari karena dapat menyebabkan pendarahan dan asidosis, atau mencetuskan sindrom Reye atau seperti Reye. Parasetamol lebih dipilih untuk menurun demam tetapi harus digunakan dengan kewaspadaan, dengan dosis berikut : < 1 tahun 60 mg/dosis 1-3 tahun 60-120 mg/dosis 3-6 tahun 120 mg/dosis 6-12 tahun mg/dosis Dosis harus sesuai diberikan bila suhu tubuh lebih tinggi dari 390C, tetapi tidak lebih dari 6 dosis harus diberikan dalam periode 24 jam. Pasien harus diobservasi dengan ketat terhadap tanda-tanda syok. Periode kritis adalah transisi dari demam ke fase tidak demam, dimana biasanya terjadi setelah hari ketiga. 2.1.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Perilaku. Perilaku terdiri atas pengetahuan, sikap dan tindakan. a. Pengetahuan Menurut Notoatmondjo, pengetahuan yang tercakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu sebagai berikut : 1) Tahu (know) 2) Memahami (comprehension)
3) Aplikasi (aplication) 4) Analisis (analysis) 5) Sintesis (syntesis) 6) Evaluasi (evaluation) Pengetahuan itu sendiri di pengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan sebagai keluaran dari pendidikan (Huda, 2006 dalam Djafri, 2012). Pengetahuan yang dimiliki masyarakat tentang penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) akan mempengaruhi dirinya dalam bertindak untuk mencegah dan menghindari kejadian penyakit DBD, sehingga bisa terhidar dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti b. Sikap Menurut Notoadmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tindakan, yakni menerima yang diartikan bahwa
orang mau dan
mempertahankan stimulus yang diberikan (objek). Merespon yaitu
memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan. Sikap merupakan salah satu bentuk perhatian masyarakat terhadap kejadian DBD. Seperti halnya pengetahuan, sikap seseorang juga dapat mempengaruhi terjadinya penularan penyakit DBD. Semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD maka risiko terjadinya penularan penyakit DBD akan semakin bertambah. Dalam penelitian ini, sikap yang diteliti yaitu : 1. Kebiasaan Menggantung Pakaian Salah satu jenis tempat kesenangan nyamuk Aedes aegypti yaitu pakaian yang tergantung, vas bunga dan lain-lain. Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang memperhatikan kebersihan lingkungan seperti sering menggantung pakaian dan lain-lain akan menimbulkan risiko terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di dalam masyarakat. Menurut penelitian Widyana kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah mempunyai pengaruh terhadap kejadian DBD 4,8 kali daripada yang mempunyai kebiasaan tidak menggantung pakaian (Widyana dalam Dardjito dkk, 2008 : 133). Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M (Menutup, Menguras dan Menimbun) ditambahkan dengan cara tidak menggantungkan pakaian didalam kamar merupakan kegiatan yang
mesti dilakukan untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah dan dikurangi. c. Tindakan Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003). Pelaksanaan 3M plus (menutup rapat tempat penampungan air, menguras tempat penampungan air dan menimbun barang-barang bekas) di lingkungan rumah tangga dan penggunaan zat penolak nyamuk yang intensitasnya berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat, akan mempengaruhi angka kesakitan DBD. Ketiga faktor ini adalah merupakan wujud tindakan yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di daerah endemis DBD. Dalam penelitian ini, tindakan yang diteiliti adalah : 1. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk Metode perlindungan diri digunakan individu atau kelompok kecil pada masyarakat untuk melindungi diri mereka sendiri dari gigitan nyamuk dengan cara mencegah antara tubuh manusia dengan nyamuk, dimana peralatan kecil, mudah dibawa dan sederhana dalam penggunaannya. Salah satunya obat anti nyamuk.
Kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD. 2. Lingkungan. Meliputi : a. Perubahan suhu, kelembaban nisbi, dan curah hujan mengakibatkan nyamuk lebih sering bertelur sehingga vektor penular penyakit bertambah dan virus dengue berkembang lebih ganas. Siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasi akan cepat sekali naik. Keberadaan penampungan air artifisial/ kontainer seperti bak mandi, vas bunga, drum, kaleng bekas, dan lain-lain akan memperbanyak tempat bertelur nyamuk. Penelitian oleh Ririh dan Anny (2005) tentang “Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti di Daerah Endemis Surabaya” menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban, tipe kontainer, dan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti. b. Urbanisasi yang cepat dan perkembangan pembangunan daerah pedesaan dapat mempengaruhi bionomik vektor penyebab DBD. Keadaan itu tidak terlepas dari peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dapat menciptakan kepadatan rumah serta degradasi kualitas fungsi lingkungan, sebagai akibat pembangunan yang tidak berpihak pada lingkungan. Contohnya dapat menciptakan sanitasi lingkungan yang buruk seperti masih terdapatnya jentik nyamuk pada
tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari maupun bukan tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari. Dalam penelitian ini, lingkungan yang diteiliti adalah : 1.
Keberadaan Jentik Aedes aegypti Keberadaan jentik Aedes aegypti adalah terdapatnya jentik pada tempat penampungan air, baik tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari, maupun yang bukan tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari. Ada kemungkinan risiko terkena penyakit DBD pada lingkungan rumah yang jentiknya dengan lingkungan rumah yang tidak ada jentiknya (Sitorus, 2005 dalam Djafri, 2012 : 22). Keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu tempat merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penanggulangan penyakit DBD mengalami masalah yang cukup kompleks, karena penyakit ini belum ditemukan obatnya. Tetapi cara yang paling baik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan pemberantasan jentik nyamuk penularannya atau dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN – DBD).
2.2 Kerangka Berpikir 2.2.1 Kerangka Teori Faktor-Faktor Kerangka Teor Yang Mempengaruhi Penyakit DBD
Perilaku
Pengetahun
Suhu, Kelembaban, Curah hujan
Kebiasaan Menggantung Pakaian
Sikap
Tindakan
Lingkungan
Urbanisasi
Kepadatan Rumah
Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk
Sanitasi Lingkungan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Keberadaan TPA dan Yang Bukan TPA
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Gambar 2.2 Kerangka Teori
2.2.2 Kerangka Konsep Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Kebiasaan Menggantung Pakaian
Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk
Keterangan : : Variabel Independen : Variabel Dependen
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)