BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENUAAN (AGING) Aging adalah tahap kehidupan semua organisme hidup dan tidak dapat dihindari. Proses menua merupakan suatu proses akumulasi progresif di dalam sel dan jaringan yang mengalami perubahan patologis secara bertahap seiring berjalannya waktu (Harman, 2001). Aging tidak dapat dihindari dan terjadi dengan kecepatan yang berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan, dan gaya hidup. Penuaan dapat terjadi lebih cepat atau lambat tergantung kesehatan dari masing – masing individu (Fowler, 2003). Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua dan kemudian menjadi sakit. Penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolisasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). 2.1.1 Teori Penuaan Sejumlah studi maupun teori penuaan yang menjelaskan mengapa kita menjadi tua banyak bermunculan dan tidak sedikit perdebatan tentang masalah penuaan dan penyakit penuaan tersebut. Namun, tidak satupun teori yang dapat menjelaskan secara tuntas. Dengan kata lain, penelitian dan pendekatan terkait dengan penuaan sangat
bervariasi
sejalan
12
dengan perkembangan ilmu
13
pengetahuan, tetapi masih ada hal tersisa yang tidak dapat dijelaskan mengenai penyebab penuaan. Berikut beberapa teori penyebab penuaan yang telah mendapatkan perhatian diantara teori – teori yang sudah dipublikasikan sebelumnya: 2.1.1.1 Teori Wear and Tear Teori ini menerangkan bahwa tubuh manusia juga akan mengalami penuaan akibat kerusakan yang terakumulasi pada organ tubuh beserta sel-selnya karena penyalahgunaan dan pengunaan yang berlebihan untuk waktu yang lama sehingga tubuh menjadi lemah kemudian meninggal (Park et al., 2013). Paparan sinar ultraviolet, gaya hidup tidak sehat seperti halnya diet yang salah, mengkonsumsi makanan yang banyak lemak, gula, kafein, alkohol, nikotin maupun stress emosional sangat berkaitan dan dapat menentukan cepat lambatnya proses penuaan tersebut terjadi. Sistem pemeliharaan pola hidup yang baik pada masa muda dinilai berpengaruh pada perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011) Teori ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu memperlambat proses penuaan dengan cara merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011). 2.1.1.2 Teori Radikal Bebas Teori ini menunjukan bahwa akumulasi kerusakan sel oleh radikal bebas berujung pada penuaan. Radikal bebas adalah molekul-molekul atom yang terdiri
14
dari elektron yang mempunyai susunan tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak stabil. Agar menjadi stabil, elektron yang tidak mempunyai pasangan akan mencari elektron lain untuk dijadikan pasangan, maka radikal bebas ini akan menyerang molekul terdekatnya untuk mendapatkan elektron dan terjadilah reaksi berantai menyebabkan kehancuran molekul lain yang semakin lama merusak jaringan luas. Bila mengenai DNA terutama pada mitokondria didalam sel, radikal bebas tersebut akan menggangu metabolisme sel dan memicu terjadinya mutasi sel yang menimbulkan perilaku menyimpang dari sel. Kerusakan karena radikal bebas ini membuat tubuh menua dan memicu timbulnya berbagai macam penyakit keganasan yang berujung pada kematian. Molekul dalam tubuh yang diketahui dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Pada kulit, radikal bebas akan merusak kolagen dan elastin yang merupakan suatu protein pelindung kulit agar tetap fleksibel, elastis, lembab, dan halus. Jaringan kulit terutama pada daerah wajah yang paling sering mengalami kerusakan akibat radikal bebas, dimana akan terbentuk lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama dan terus menerus oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2003). 2.1.1.3 Teori Kerusakan DNA Berdasarkan teori kerusakan DNA, jika DNA dengan kerusakaan akibat radikal bebas tidak sepenuhnya diperbaiki, hal tersebut akan membuat ekspresi gen menurun hingga kematian sel. Kerusakan DNA yang terjadi dalam jangka waktu lama dan terakumulasi akan mengganggu fungsi jaringan sehingga merangsang proses penuaan.
15
Sebuah studi melaporkan bahwa tikus albino memiliki umur lebih pendek daripada manusia dan peningkatan kerusakan DNA otak karena proses penuaan juga mendukung hipotesis. Selain itu, telah diketahui bahwa kemampuan tubuh manusia untuk memperbaiki sel normal yang terganggu dan kerusakan DNA akibat penuaan berhubungan dengan usia manusia itu sendiri (Park, 2013). 2.1.1.4 Teori Program Genetik Menurut teori program genetik, proses penuaan telah terprogram sejak manusia itu terlahir sampai menjadi tua dan akhirnya meninggal. Teori ini didukung oleh fakta bahwa usia rata-rata manusia terus menerus meningkat dalam 100 tahun terakhir tanpa perubahan besar pada usia maksimum manusia. Teori ini berpendapat bahwa penuaan terjadi karena adanya perpanjangan sinyal genetik kehidupan dari telur yang dibuahi ke tahap dewasa. Orang-orang yang mendukung teori ini percaya bahwa gen penuaan mengontrol proses penuaan itu sendiri dengan memperlambat atau menghentikan jalur metabolisme biokimia. Gen penuaan ini diungkapkan pada periode waktu yang berbeda tergantung pada jenis sel. Selama pertumbuhan, banyak sel yang berkembang sementara banyak pula sel yang tidak perlu menghilang pada waktu yang sama (Troen, 2003; Hasty et al., 2002). 2.1.1.5 Teori Endokrin Teori endokrin mengasumsikan bahwa gangguan sistem kelenjar endokrinhipotalamus-hipofisis yang mengatur homeostatis dalam tubuh adalah penyebab utama penuaan dan selanjutnya memiliki banyak efek pada fungsi fisiologis dalam tubuh. Umumnya hormon endokrin berpartisipasi dalam mengendalikan
16
pertumbuhan, metabolisme, suhu, peradangan, dan stres. Teori ini didukung oleh beberapa penelitian pada hewan, yang menunjukan bahwa umur hewan dengan menopause, andropause, dan somatopause dapat diperpanjang dengan pemberian hormon yang sesuai. Sistem endokrin mengambil bagian dalam pengendalian fungsi organ tubuh dan manusia berperan penting pada terapi sulih hormon, maka proses penuaan dapat diperlambat atau bahkan dicegah (Tatar et al., 2003).
2.1.2 Gejala Klinis Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap (Pangkahila, 2011). Tahap Subklinik (usia 25 – 35 tahun) Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan, umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. Tahap Transisi (usia 35 – 45 tahun) Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini
17
menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas) Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis mulai nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila, 2011).
2.2 KULIT Kulit adalah salah satu organ terbesar dalam tubuh yang letaknya paling luar. Kulit merupakan organ yang berperan penting dalam melindungi tubuh dari patogen, serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Luas kulit orang dewasa sekitar 1,5-2 m² dengan berat kira-kira 15% berat badan (Wasitaatmadja, 2012).
18
2.2.1 Histologi Kulit Secara histologi kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu: lapisan epidermis, lapisan dermis, lapisan subkutan (lapisan hipodermis). Lapisan epidermis dan dermis dibatasi oleh dermoepidermal junction. Sedangkan lapisan dermis dan subkutan ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel yang membentuk jaringan lemak.
Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit (Krieg et al., 2011)
2.2.1.1 Lapisan Epidermis Lapisan epidermis adalah lapisan kulit yang dapat langsung kita sentuh. Secara histopatologi lapisan epidermis tersusun atas: Stratum korneum (lapisan tanduk), lapisan ini merupakan lapisan kulit paling luar, yang terdiri dari beberapa lapis sel gepng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
19
Stratum lusidum terdapat langsung dibawah stratum korneum, merupakan lapis sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut elidin. Stratum granulosum (lapisan keratohialin), merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya, butiran kasar tersebut terdiri dari keratohialin. Stratum spinosum (stratum malpighi), terdiri atas beberapa lapis sel berbentuk poligonal dengan bermacam ukuran akibat proses mitosis. Protoplasma jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti sel terletak ditengah. Semakin dekat ke permukaan kulit bentuk sel semakin gepeng. Diantara sel-sel terdapat sel langerhans dan jembatan antarsel yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin. Stratum basalis, terdiri atas sel-sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal dan pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan kulit paling dasar. Terdapat dua jenis sel pada lapisan ini, yaitu sel kolumnar dengan protoplasma basofilik, inti lonjong besar, dan sel melanosit dengan sitoplasma basofilik, inti gelap, mengandung melanosom.
2.2.1.2 Lapisan Dermis Lapisan ini jauh lebih tebal daripada lapisan epidermis. Dibentuk oleh jaringan elastik, fibrosa padat dengan elemen selular disebut matrik, berbagai kelenjar kulit, dan rambut. Lapisan dermis tersusun dari dua bagian yaitu:
20
Pars papilaris, bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. Pars retikularis, bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutan terdiri atas serabut kolagen, elastin, retikulin, dan pada dasar lapisan ini terdapat cairan asam hialuronat, kondroitin sulfat, dan sel-sel fibroblas. 2.2.1.2.1 Extracellular Matrix Extracellular Matrix (ECM) dermis memainkan peran penting dalam dukungan struktural, kekebalan, sirkulasi, dan persepsi sensorik. ECM membantu mengatur sel dalam jaringan dan mengkoordinasikan fungsi seluler mereka dengan mengaktifkan jalur sinyal intraselular yang mengontrol pertumbuhan sel, proliferasi, dan ekspresi gen. ECM mendukung epidermis dan sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I fibril, yang disintesis oleh fibroblas. Sebagai protein struktural yang paling melimpah di dermis, kolagen tipe I memberikan kekuatan dan ketahanan kulit (Fisher et al., 2008). Extracellular Matrix diperkuat oleh serat padat kolagen yang merupakan jaringan stabil dan padat, tertanam dalam cairan proteoglikan konsentrasi tinggi. Sebuah bukti menunjukkan bahwa interaksi antara sel-sel, seperti fibroblast dan ECM adalah penting untuk fungsi sel. Pada kulit muda yang sehat, fibroblas dermal melampirkan fibril kolagen melalui transmembran reseptor integrin. Keterlibatan integrin dengan ECM memicu pembentukan kompleks adhesi focal, yang merupakan pasangan ECM ke sitoskeleton aktin intraseluler. Mesin aktin cytoskeletal menghasilkan kekuatan mekanik yang menentukan bentuk sel, yang pada gilirannya sangat mempengaruhi fungsi fibroblast (Fisher et al., 2008).
21
Pada penuaan, fibril kolagen dermal menjalani enzyme-catalyzed cleavage. Proses degeneratif ini, mempengaruhi lingkungan mikro mekanik dermis dan mengganggu proses fibroblast ke ECM, sehingga kekuatan mekanik berkurang. Akibatnya, fibroblas kulit berusia memperlihatkan sitoplasma runtuh dan bentuk bulat, yang kontras dengan penyebaran bentuk fibroblast pada kulit muda. Jalur sinyal TGF-β dipengaruhi oleh kekuatan mekanik dan penting untuk fungsi fibroblast dermal. TGF-β merupakan sitokin multifungsi yang bertindak melalui reseptor kompleks yang terdiri dari tipe I, II, dan III reseptor TGF-β. TGF-β menginduksi faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF / CCN2), mengatur fungsi fibroblast, termasuk sintesis prokolagen tipe I dan protein ECM lainnya. Fibroblas pada penuaan, penurunan sinyal TGF-β-mediated dan CTGF / CCN2 menyebabkan penurunan produksi kolagen (Quan et al., 2013). Secara klinis, gangguan fungsi fibroblas dan penurunan sintesis kolagen, menyebabkan atrofi, kerutan, dan kerapuhan pada kulit menua. Penelitian menunjukkan bahwa fungsi fibroblast pada penuaan kulit bisa dirangsang dengan meningkatkan dukungan struktural ECM yaitu mengisi ruang dengan asam hialuronat, yang merupakan komponen dari matriks ekstraselular dalam semua jaringan. Asam hialuronat terdiri dari rantai disacharide dengan berat molekul mulai dari 500,000-6,000,000 yang membuat ikatan silang dengan butanadiol diglisidil eter (Quan et al., 2013). Extracellular Matrix terbuat dari: 1. Kolagen fibrin yaitu tendon dan kartilago. 2. Glikoprotein yaitu laminin dan fibronektin.
22
3. Proteoglikan, protein inti, >90% oligosakarida. 4. Hyaluronan yang merupakan polisakarida anionik. Extracellular Matrix berfungsi sebagai: 1. Lapisan dasar yang menghubungkan sel epitelial/sel endotel. 2. Jaringan ikat penghubung antar sel. 3. Sebagai signal ke sel-sel untuk bergerak dan/atau bertumbuh.
Gambar 2.2 Extracellular Matrix (Cummings, 2004)
2.2.1.2.2 Kolagen Kolagen adalah triple helical protein yang tersebar di seluruh tubuh dan mempunyai berbagai fungsi seperti pengikat jaringan, adesi sel, migrasi sel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), morfogenesis jaringan dan perbaikan jaringan. Kolagen adalah elemen yang membentuk matriks ekstraseluler jaringan, yang berguna untuk kekuatan tegang jaringan seperti tendon, tulang,
23
tulang rawan dan kulit. Kolagen juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan lokasinya, misalnya membran basalis pada glomerulus ginjal yang berfungsi untuk filtrasi molekul. Serabut
kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk
ikatan
yang
mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya usia menjadi stabil dan keras. Kolagen merupakan suatu protein fibrous, 70-80% berat dari dermis, komponen terpenting dari dermis. Fibril dan mikrofibril yang tersusun sejajar dan saling bersilangan merupakan komponen pembentuk struktur kolagen. Jenis kolagen terbanyak di kulit adalah kolagen tipe 1, kulit juga mengandung kolagen (III, V, VI), elastin, proteoglikan dan fibronektin. kolagen terdiri dari 3 polipeptida (rantai α) dengan konformasi poliprolin yang panjang seperti rantai helix dan kaku. Setiap rantai polipeptida memiliki pengulangan Gly-X-Y triplet dimana residu glycyl menempati setiap posisi ketiga dan posisi X dan Y ditempati oleh prolin dan 4-hidroksiprolin. Ketiga rantai α saling berikatan melalui ikatan rantai hidrogen (Kadler et al., 2007). Sintesis kolagen dirangsang oleh asam retinoat dan dihambat oleh IL-1, glukokortikoid, D-penicillamine, radiasi ultraviolet (Jain, 2012). Kolagen disintesis dari fibroblas dalam bentuk prekursor kolagen yaitu prokolagen. Sisa prolin dalam rantai prokolagen diubah menjadi hidroksiprolin oleh enzim prolyl hydroxylase, dan sisa lisin pada rantai prokolagen juga diubah menjadi hidroksisilin oleh enzim lysyl hydroxylase. Kedua reaksi ini memerlukan Fe, vitamin C, dan α-ketoglutarat (Baumann et al, 2009).
24
Gambar 2.3 Serat Kolagen (Myllyharju et al., 2001) Struktur kolagen terbagi menjadi beberapa tipe. Kolagen tipe I adalah kolagen dominan pada kulit manusia terdapat 85-90% total dermis kulit dan tendon. Kolagen ini memiliki dua rantai α (α1 dan α2). Kolagen tipe II banyak ditemukan pada vitreus humour dan kartilago. Kolagen tipe I dan tipe II berfungsi untuk kelenturan dermis. Kolagen tipe III hanya 10% terdapat pada dermis, selebihnya terdapat pada gastrointestinal, vaskuler dan fetal skin. Kolagen tipe III terdiri dari 3 rantai α, yaitu hidroksiprolin, glisin dan residu sistein. Kolagen tipe IV terdapat pada DEJ terutama pada lamina densa dan terdiri dari rantai α1 dan α2, heterotrimer dan homopolimer. Kolagen tipe V terdiri dari 4 rantai beda dan terletak pada ubiquitous. Kolagen tipe VI yang banyak terdapat pada aorta dan plasenta memiliki 3 rantai α, ujungnya merupakan bagian globuler. Kolagen tipe VI berfungsi untuk stabilisasi susunan serat kolagen. Kolagen tipe VII terletak sebagai anchoring fibril DEJ, yang terdiri dari satu rantai α dan memiliki ikatan disulfide dalam rantai. Kolagen tipe VIII terdiri dari dua rantai α, yang terdapat pada membrane descement kornea. Kolagen tipe IX-XII terdapat di kartilago, sedangkan kolagen tipe XV-XVI terdapat pada plasenta. Kolagen tipe XVII terdapat pada hemidesmosom DEJ (Jain, 2012).
25
Biosintesis Kolagen Pembentukan rantai pro α yang merupakan prekursor kolagen diawali dengan sintesis rantai prepro α, sebuah polipeptida yang mengandung sekuen signal amino terminal. Rantai prepro α dirubah menjadi rantai pro α pada retikulum endoplasma kasar (RER), kemudian akan terjadi proses hidroksilasi residu prolyl dan lysyl yang dimulai saat rantai pro α terbentuk, dengan bantuan enzim prolyl hydroxylase dan Lysil hydroxylase dan sebagai kofaktor adalah O2, Fe, αketoglutarat dan asam askorbat. Proses selanjutnya adalah glikosilasi. Kolagen adalah glikoprotein yang mengandung residu galaktosil dan glukosilgalaktosil, glikosilasi terjadi setelah sintesis hidroksilisin sampai dengan terbentuk tripel helix pada RER, proses ini terjadi dengan bantuan enzim galactosyl-transferase dan glucosyl-transferase, namun fungsi dari residu gula ini belum diketahui. Kemudian akan terjadi proses assembly dan sekresi dimana tiga rantai pro α berikatan menjadi prokolagen, kecepatan proses ini bervariasi tergantung dari jenis kolagen. Prokolagen akan di transfer ke aparatus golgi, di dalam aparatus golgi akan terbentuk vesikel sekretoris yang akan menyatu dengan membran plasma kemudian mengeluarkan prokolagen ke matrix ekstraselular. Di matrix ekstraselluler akan terjadi pemutusan rantai prokolagen oleh enzim procollagen N-proteinase dan procollagen C-proteinase lalu terbentuk struktur tripel helix yang disebut tropokolagen. Tropokolagen secara spontan bersatu satu sama lain membentuk serat kolagen, namun serat tunggal tidak dapat berfungsi sebagai elastisitas kulit, sehingga serat kolagen bersatu membentuk cross link dengan bantuan enzim
26
oxydase lysyl. Struktur cross link ini akan membentuk kolagen matur (Yaar dan Gilchrest, 2008).
Gambar 2.4 Biosintesis kolagen (Albert et al., 1994)
2.2.1.3 Lapisan Subkutan Lapisan subkutan terdiri dari jaringan ikat longgar dan sel lemak. Pada lapisan ini terdapat ujung saraf, pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Sel lemak merupakan sel bulat besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel berkelompok ini dipisahkan antara satu sama lainnya dengan trabekula yang berfibrosa. Ketebalan lemak pada lapisan hypodermis ini bervariasi. Area lengan atas memiliki lapisan lemak yang lebih tebal, sedang kelopak mata memiliki lapisan lemak yang tipis. Hal ini sudah ditentukan sesuai dengan fungsinya. Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus yaitu yang terletak
27
di bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).
2.2.2 Fungsi Kulit Kulit juga memiliki berbagai fungsi bagi tubuh antara lain adalah : a. Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian dalam tubuh dari gangguan yang bersifat fisik atau mekanik, gangguan kimiawi, radiasi sinar ultra violet, gangguan kuman maupun jamur. Hal ini dikarenakan kulit memiliki bantalan lemak yang tebal dan jaringan penunjangnya yang berperan terhadap gangguan yang bersifat fisik. Terdapatnya melanosit turut berperan dalam melindungi kulit dari pajanan sinar ultra violet. Keasaman kulit dengan pH 5-6,5 merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan jamur. b. Fungsi ekskresi Kelenjar-kelenjar kulit akan mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna dan sisa metabolisme dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5-6,5. c. Fungsi persepsi Fungsi persepsi ini disebabkan karena adanya ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. d. Fungsi pengaturan suhu tubuh Peranan kulit dalam pengaturan suhu tubuh terjadi dengan cara mengeluarkan keringat.
28
2.2.3 Penuaan Kulit Kulit manusia, seperti semua organ, akan mengalami kerusakan secara kumulatif yang mengakibatkan penurunan fungsi karena pertambahan usia. Faktor dari kulit itu sendiri yang memiliki peran dalam penuaan adalah aliran darah, ph kulit, ketebalan kulit, rambut, kepadatan pori, struktur protein kulit, GAG, air, dan lemak. Faktor dominan pada kerusakan kulit secara kumulatif adalah sinar UV yang akan menimbulkan photoaging pada kulit yang terpapar langsung dan berlangsung lama. Penuaan kulit pada orang dewasa akibat menurunnya kolagen akan menyebabkan peningkatan jumlah pigmen, kulit keriput, rapuh dan kendur karena fleksibilitas kulit menurun (Konda et al., 2012). Paparan lingkungan terutama merokok dan sinar UV juga mempengaruhi stres oksidatif karena keduanya meningkatkan spesies oksigen radikal bebas dan mengurangi aktivitas enzim antioksidan. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan mekanisme selular seperti: disfungsi mitokondria, kerusakan protein yang penting untuk mempertahankan homeostasis dan fungsi otot, stres retikulum endoplasma, apoptosis sel, senescense sel, dan sinyal selular yang abnormal. Efek penuaan pada fungsi kulit tidak hanya timbul pada orang tua, namun dapat dimulai sejak usia 30 atau bahkan usia lebih muda (Wu et al., 2014).
2.3 ULTRAVIOLET Penuaan dini pada kulit atau photoaging merupakan gejala penuaan yang terjadi akibat efek buruk kronis dari sinar ultraviolet yang terakumulasi. Sinar UV akan merusak fungsi kekebalan kulit dengan mengubah tingkat enzim antioksidan
29
yang berdampak pada jumlah sel langerhans di epidermis mengakibatkan kegagalan fungsi penghalang pelindung kulit dan hilangnya elastisitas. Perubahan ini, akan terus berlangsung seiring berjalannya usia dan cenderung menjadi suatu keganasan. Kemampuan radiasi sinar UV yang merupakan suatu energi elektromagnetik akan mempengaruhi biologi kulit tergantung dari penyerapan energi oleh molekul dalam kulit. Makromolekul termasuk asam nukleat, protein dan lipid mampu menyerap radiasi sinar UV. Radiasi ultra violet terbagi atas tiga golongan yaitu UVA (320-400nm), UVB (280-320nm) dan UVC (100-280nm). UVC biasanya tidak sampai ke permukaan bumi kecuali pada dataran tinggi sekali dimana UVC ini diserap oleh lapisan ozon pada atmosfer. Yang paling banyak berpengaruh kepada kesehatan kulit adalah UVB, karena panjang gelombangnya yang lebih pendek dan paling banyak menembus bumi. Energi yang diserap dapat langsung mengubah sifat kimia molekul, menyerap atau dapat ditransfer ke molekul lain. Misalnya, DNA dapat bermutasi dengan menyerap langsung sinar UV, dan energi dapat ditransfer ke molekul oksigen untuk membuat reactive oxygen spesies (ROS) (Fisher et al., 2004).
Gambar 2.5 Gambar sinar ultraviolet
30
2.3.1 Sinar Ultraviolet B Ultraviolet B (UVB) merupakan spektrum radiasi ultra violet dengan panjang gelombang 290-320 nm, dan merupakan sinar ultraviolet yang paling efektif menembus bumi dan mengakibatkan kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena ultraviolet B lebih sering berdampak pada kerusakan DNA sel yang merupakan kromofornya. Sinar UVB yang banyak terserap ke epidermis dan menembus ke papila dermis. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UVB ke epidermis berupa eritema. Pada pajanan berulang akan terjadi efek kumulatif dan terjadilah eritema. 2.3.1.1 Efek ultraviolet a. Eritema Eritema (sunburn) merupakan reaksi inflamasi akut pada kulit berkaitan dengan kemerahan yang timbul akibat setelah paparan yang berlebihan radiasi sinar ultraviolet. Eritema yang terbentuk tergantung pada panjang gelombang. Panjang gelombang dari ultraviolet yang paling efektif menyebabkan eritema yaitu 250-290 nm dan semakin berkurang efek eritemanya seiring dengan bertambahnya panjang gelombang. UVA dapat dibedakan menjadi dua kategori oleh karena memiliki perbedaan eritemogenik, yang di mana UVA2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan UVA1. Eritema yang diinduksi oleh UVB terjadi dalam waktu 3-5 jam dan maksimal pada 12-24 jam kemudian, dan berkurang dalam 72 jam. Intensitas kemerahan sangat tergantung dosis. Eritema ini dapat bertahan satu hari atau lebih, yang tergantung pada dosis dan tipe kulit. Meskipun reaksi
31
akhirnya adalah peningkatan kemerahan kulit, namun lama dan dosisnya yang mengakibatkan eritema akibat UVB dan UVA sangat berbeda, radiasi UVA sangat kurang efektif dalam mengakibatkan efek timbulnya kemerahan dibandingkan dengan UVB. Dosis terendah yang mengakibatkan kemerahan minimal yang dapat dilihat dengan jelas 24 jam setelah radiasi disebut minimal erythema dose (MED). Nilai MED ini bervariasi antara satu orang dengan lainnya tergantung fototipe kulit, warna kulit, dan lokasi anatomi (Rigel et al., 2004). Radiasi sinar ultraviolet B secara langsung juga memengaruhi keratinosit di epidermis untuk menghasilkan sitokin spesifik seperti interleukin-1 (IL-1) dan IL6 yang mengakibatkan inflamasi pada epidermis kulit. b.Pigmentasi Respon pigmentasi kulit yang mengikuti paparan sinar matahari terdiri dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan melanin baru. Respon kecoklatan pada kulit tergantung pada panjang gelombang radiasi. Eritema yang diinduksi UVB akan diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini kemungkinan terjadi akibat lokalisasi pigmen yang diinduksi oleh UVA terletak lebih basal. Melanisasi yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over epidermis dalam satu bulan (Rigel et al., 2004). c. Kerusakan DNA DNA seluler secara langsung menyerap UVB, dan penyerapan ini menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan akan merusak heliks DNA. Apabila kerusakan DNA ini tidak diperbaiki maka
32
akanmengakibatkan kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi, dan kematian sel. Radiasi UVA juga merusak DNA tetapi masih terhitung kurang jika dibandingkan dengan radiasi oleh UVB (Rigel et al., 2004). d. Penekanan sistem imun Paparan sinar ultraviolet dapat menekan sistem imunitas dan biasa disebut dengan photoimmunosuppresion. Photoimmunosuppresion berperan penting terhadap terjadinya kanker kulit, meningkatnya insiden penyakit infeksi dan virus, serta menurunnya efektifitas vaksin. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal suberitemal dari radiasi simulator sinar matahari (0,25 atau 0,5 MED) menekan induksi dari respon hipersensitifitas kontak terhadap dinitroklorobenzena hingga 50-80% (Rigel et al., 2004).
2.3.1.2 Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki satu elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil, dan mudah bereaksi dengan bahan kimia anorganik dan organik, selain itu radikal bebas memiliki kecenderungan untuk menarik elektron dan dapat merubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain (Mitchell, 2013). Bila dua senyawa radikal bertemu, elektron – elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi 3 kemungkinan, yaitu :
33
1. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas. 2. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas. 3. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007). Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh sehingga menyebabkan dinding sel menjadi rapuh. Senyawa radikal bebas juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker (Winarsi, 2007). Terdapat 3 tahap reaksi pembentukan radikal bebas, yaitu Tahap inisiasi yang merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas, tahap propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal, dan tahap terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah (Winarsi, 2007). Dua sumber radikal bebas adalah endogen dan eksogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma dan inti sel. Secara eksogen, radikal bebas berasal dari asap rokok, polutan, radiasi ultraviolet, obat – obatan dan pertisida (Winarsi, 2007).
34
Reactive Oxygen Species (ROS) adalah jenis oksigen yang diturunkan oleh radikal bebas. ROS memiliki gugus fungsional dengan atom oksigen bermuatan elektron lebih yang berperan pada cedera sel. ROS terbentuk secara terus menerus, baik memalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, sinar UV, asap rokok, dan lain – lain (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013). ROS dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Proses cascade dari asam arakidonat menjadi prostaglandin dan prostasiklin dipacu oleh enzim liposigenase dan siklooksigenase serta oksidase yang selanjutnya akan membentuk radikal anion superoksida atau hidroperoksida. Enzim sitokrom P 450-dependen oksidase, yang berperan dalam reaksi biotransformasi dan detoksifikasi senyawa intermediate metabolit dan xenobiotik juga akan menghasilkan senyawa peroksida atau ROS. Aktivasi makrofag dan netrofil yang merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme juga akan membentuk berbagai radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorid (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus maupun bakteri. Namun, di sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013). Dapat diyakini bahwa dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan ROS juga semangkin meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme seiring dengan bertambahnya usia. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semankin tinggi, seiring dengan
35
bertambahnya usia. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah ROS pada tubuh (Winarsi, 2007).
2.3.2 Photoaging Radiasi UV mengaktivasi reseptor permukaan sel yang mengakibatkan propagasi sinyal intraseluler dan sintesis faktor transkripsi, protein inti yang berikatan dengan DNA untuk meningkatkan atau menekan gen transkripsi. Salah satu faktor transkripsi yang secara cepat dan prominen terinduksi oleh radiasi UV adalah AP-1. AP-1 memengaruhi gen transkripsi kolagen pada fibroblas, menurunkan level prokolagen I dan III, selain itu AP-1 merangsang gen transkripsi yang mengkode matrix-degrading enzyme seperti metalloproteinase (Rigel et al., 2004; Gilchrest et al., 2006).
2.3.2.1 Mekanisme Photoaging UV secara tidak langsung berperan pada pembentukan ROS. UVB dapat mengakibatkan terbentuknya ROS dengan berinteraksi langsung dengan DNA melalui induksi kerusakan DNA, berupa cross-linking basa pirimidin yang berdekatan. Pembentukan ROS terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit setelah paparan UV, level hidrogen peroksida meningkat lebih dari dua kali lipat pada kulit. Pembentukan ROS oleh paparan berulang UVB melalui interaksi langsung dan tidak langsung. Interaksi langsung UVB berupa cross-linking basa pirimidin berdekatan, yang menyebabkan kerusakan langsung pada DNA dan ikatan dengan
36
asam amino aromatik. Hal ini mengakibatkan provokasi radikal bebas dan penurunan antioksidan kulit, dan merusak kemampuan kulit untuk melindungi diri dari radikal bebas. Interaksi tidak langsung UVB menyebabkan ROS melalui fotosensitisasi yang akan merubah elektron pada kromosfor, menjadi singlet elektron
sehingga
terjadi
produksi
radikal
bebas.
Fotosensitisasi
juga
memproduksi superoksida anion yang diikuti oleh dismutase ke hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida dengan bantuan kation logam (Fe dan Cu) akan menghasilkan gugus hidroksil yang bersifat radikal bebas. Hidrogen peroksida membentuk ikatan ROS lain dengan cepat seperti radikal hidroksil, hal ini menyebabkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, membran sel dan mengaktivasi jalur seluler (Taylor, 2005; Svobodova et al., 2006). Pendapat lain mengemukakan terbentuknya hidrogen peroksida setelah paparan UV jelas terlihat dari fotokimia terbentuknya ROS. Hidrogen peroksida kemudian dengan cepat membentuk ROS lain, seperti radikal hidroksil. Keratinosit menunjukan terbentuknya NADPH oksidase, yang mengkatalisasi reduksi molekul oksigen menjadi anion superoksid. Hidrogen peroksida dan anion superoksid kemudian mengakibatkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, dan membran sel dan mengaktivasi jalur seluler sehingga menyebabkan stress oksidatif yang merupakan penyebab photoaging (Fisher et al., 2002). Paparan sinar UV yang mengenai kulit menyebabkan timbulnya radikal bebas khususnya anion superoksida dan hidrogen peroksida. Melalui reaksi Haber-Weis dan Fenton akan membentuk radikal hidroksil. Senyawa ini dikenal sebagai Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menurunkan kadar antioksidan
37
enzimatis dan non enzimatis dalam kulit serta merusak membran sel dan DNA (Kregel dan Zhang, 2007). ROS memiliki peranan penting terhadap sinyal transduksi yang dimediasi oleh MAP-kinase yang kemudian menginduksi faktor transkripsi AP-1 pada fibroblas. Pajanan sinar UVB juga mengakibatkan penurunan ekspresi dari TGF-b2, anggota dari kelompok TGF-b. TGF-b berfungsi memacu pembentukan kolagen, sehingga penurunan dari TGF-b menyebabkan penurunan produksi kolagen. Penelitian menunjukan terjadi penurunan sintesis kolagen dalam 8 jam setelah paparan UV. ROS yang dihasilkan oleh radiasi sinar UV mengaktifkan jalur seluler yaitu reseptor sel epidermal growth factor (EGF), interleukin (IL)-1,
keratinocyte
growth factor dan tumor necrosis factor (TNF)-α yang terdapat pada sel keratinosit dan fibroblas. Pengaktifan reseptor dimediasi oleh enzim proteintyrosine phosphatase-K, yang berfungsi menginaktivasi reseptor EGF, akibatnya reseptor tersebut akan meningkat. AP-1 merupakan MMP promoter, yang akan mengontrol
transkripsi
matriks
metalloproteinase.
MMP-1
merupakan
metalloproteinase utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi kolagen. AP-1 terdiri dari 2 sub unit yaitu c-Fos yang selalu terekspresikan dan cJun yang diinduksi oleh UV. Ekspresi yang berlebihan dari komponen c-Jun ini dapat mengurangi ekspresi kolagen tipe 1 (Rabe et al., 2006). Aktivasi reseptor mengaktifkan MAP kinase dan C-Jun amino terminal kinase (JNK). Aktivasi dari kinase mengaktifkan transkripsi kompleks activator protein-1 (AP-1), membentuk C-Jun dan C-Fos. (Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007).
38
Peningkatan transkripsi AP-1 menginduksi jumlah kolagenase MMPs (MMP1), stromelisin I (MMP-3) yang memblokir transforming growth factor (TGF)-β, sitokin yang meningkatkan transkripsi kolagen, yang berakibat menurunkan produksi tipe prokolagen I. AP-1 juga menurunkan jumlah reseptor (TGF)-β yang dapat menghambat transkripsi kolagen. AP-1 bersifat antagonis asam retinoat yang memiliki efek stimulus terhadap sintesis kolagen (Fisher et al., 2002; Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007). Matrix
metaloproteinases
(MMPs)
adalah
suatu
zinc-dependent
endopeptidase, merupakan suatu enzim yang bertanggung jawab dalam degradasi jaringan ikat dermis. MMP-1, MMP-3 dan MMP-9 pada permulaannya dihasilkan di epidermis, tetapi enzim tersebut dapat berdifusi ke dalam dermis dan kemudian mendegradasi kolagen (Quan et al., 2009). Difusi ini juga dibantu oleh ikatan langsung MMP ke kolagen matriks ekstraseluler. MMP-1 (kolagenase) adalah enzim yang paling bertanggung jawab terhadap pemecahan serat kolagen. Faktor transkripsi AP-1 juga mempengaruhi ekspresi gen kolagen pada fibroblas dermis. Mekanisme molekular kerusakan kulit akibat paparan sinar UV dimulai dari aktivasi reseptor sitokin dan faktor pertumbuhan (growth factor) pada permukaan keratinosit di epidermis dan fibroblas di dermis oleh radikal bebas. Aktivasi reseptor ini akan menginduksi sinyal intraselular seperti mitogen-activated protein kinase (MAP kinase) yang selanjutnya mengaktivasi kompleks faktor transkripsi nukleus aktivator protein-1 (AP-1). Pada epidermis dan dermis, AP-1 menginduksi ekspresi matriks metaloproteinase (MMP) seperti MMP-1, MMP-3 dan MMP 9 yang dapat merusak kolagen dan protein inti lain yang menyusun
39
matriks ekstraselular dermis. Selain itu AP-1 dapat menekan ekspresi gen prokolagen fibroblas sehingga terjadi penurunan sintesis kolagen (Helfrich et al., 2009). Secara keseluruhan dampak sinar UV pada kulit menghasilkan kerusakan kolagen oleh karena meningkatnya kadar MMP-1, menurunnya sintesis kolagen karena tingginya kadar 8-OhdG, inflamasi dan stres oksidatif, serta penurunan kemampuan sel yang rusak untuk dieliminasi oleh proses apoptosis. Semua proses tersebut akan menimbulkan penuaan dini kulit (photoaging) (Fisher et al., 2002; Helfrichs et al., 2008).
Gambar 2.6 Mekanisme Photoaging (Rabe et al., 2006)
2.3.2.2 Perubahan Klinis Kulit pada Photoaging Penuaan merupakan proses yang kompleks dan dapat mengakibatkan sejumlah perubahan fungsional dan estetik pada kulit. Perubahan ini dipengaruhi
40
faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Proses menua kulit berlangsung secara lambat tetapi pasti, dimulai dari tampak adanya keriput pada wajah, lipatan kulit dan garis ekspresi lebih nampak serta penurunan kulit (kendur) terutama pada dagu. Kulit muka akan menjadi kering, tipis dan kasar serta penurunan elastisitas, tidak jarang disertai bercak-bercak hiperpigmentasi dan tumor jinak kulit sehingga akan sangat mempengaruhi penampilan seseorang (Kochevar et al., 2008).
2.3.2.3 Perubahan Histopatologi pada Kulit Photoaging Secara
histopatologis,
kulit
yang
telah
mengalami
photoaging
memperlihatkan hilangnya polaritas epidermal atau kekacauan proses maturasi sel keratinosit. Keratinosit menunjukkan gambaran atipik, terutama pada lapisan epidermis yang lebih dalam. Ketebalan epidermis yang terlindung dari matahari dapat berkurang seiring dengan bertambahnya usia, walaupun beberapa laporan memperlihatkan bahwa jumlahnya masih relatif konstan. Terjadi pula penipisan atau pendataran taut dermoepidermal yang dapat menyebabkan penampakan menyerupai atrofi seperti yang terlihat pada poikiloderma (Garmyn et al., 2004). Secara menyeluruh, jumlah sel-sel pada dermis yang mengalami photoaging akan meningkat. Fibroblas mengalami hiperplasia dan ditandai dengan banyak ditemukannya infiltrat radang. Inflamasi kronis yang terjadi pada kulit yang mengalami
photoaging
disebut
heliodermatitis.
Terjadi
pula
perubahan
mikrovaskuler dan serta penebalan dinding pembuluh darah akibat penumpukan basement membrane-like material. Fibroblas pada kulit yang telah mengalami photoaging akan semakin memanjang dan kolaps. Pada kulit yang mengalami
41
penuaan intrinsik akan memperlihatkan berkurangnya kolagen tipe I dan III, namun hal yang sama akan terjadi lebih cepat pada daerah yang terpapar sinar matahari (Fisher et al., 2001). Jumlah serat elastin akan semakin menurun seiring bertambahnya usia, namun pada kulit yang terpapar matahari, jumlah serat elastin meningkat secara proporsional. Elastin yang terakumulasi pada kulit abnormal akan menempati daerah yang seharusnya ditempati serat-serat kolagen. Suatu teori yang diajukan menyatakan bahwa peningkatan elastin yang abnormal merupakan akibat dari proses bifasik yang berawal dari hiperplasia jaringan elastik normal. Elastin menjadi abnormal dalam penampilannya karena efek peradangan kronis (Fisher et al., 2002; Chung et al., 2004). Pada kulit
yang mengalami photoaging, serat kolagen mengalami
disorganisasi. Penelitian mendapatkan bahwa pada kulit yang mengalami photoaging didapatkan penurunan jumlah precursor kolagen tipe I dan III dan crosslink (Pinnel, 2003; Gilchrest dan Krutmann, 2006). Penelitian oleh Wahyuningsih (2010) menunjukan bahwa pajanan sinar ultraviolet B dengan total dosis 840 mJ/cm2 selama 4 minggu akan mengakibatkan penurunan jumlah kolagen pada kulit mencit (Mus musculus).
42
Gambar 2.7 Perubahan Histopatologi pada Kulit Photoaging (Naylor, 2011)
2.3.2.4 Pencegahan dan Pengobatan Photoaging Pada prinsip penatalaksanaannya, photoaging lebih mengutamakan pada faktor pencegahan primer. Pencegahan dilakukan dengan menghindari paparan sinar matahari seperti penggunaan perlindungan fisik (topi, pakaian ataupun payung), serta penggunaan tabir surya dengan daya perlindungan yang memadai dan disesuaikan dengan kondisi kulit. Faktor pencegahan sekunder dalam hal ini dengan menggunakan asam retinoat, antioksidan, faktor pertumbuhan sitokin (Kullavanijaya dan Lim, 2005; Cunningham dan Maibah, 2005). Apabila sudah terjadi photoaging, maka setiap tindakan yang dilakukan untuk mengatasi atau mengkoreksi kelainan tersebut sudah merupakan tindakan pengobatan (Sterm, 2004; Kullavanijaya dan Lim, 2005; Cuninghan dan Maibah, 2005).
43
2.4 Bekicot (Achatina fulica) Pada tahun 1847, Benson seorang kolektor yang mengunjungi Mauritius membawa beberapa spesimen hidup di Calcuta. Disitu Achatina fulica berkembang baik dan tersebar luas tanpa ada musuhnya. Pada tahun 1900, Achatina fulica telah mencapai Cylon dan menjadi hama pertanian. Tahun 1911 sudah tersebar di Singapura dan selanjutnya ke Kalimantan. Di Sumatera dan Jawa, hewan ini telah merusak perkebunan karet. Pada tahun itu juga telah mencapai Taiwan, dan disambut hangat oleh orang-orang Jepang sebagai makanan yang menarik dan berkhasiat obat (Radiopoetro, 1995). Bekicot (Achatina fulica) adalah golongan binatang lunak yang biasa disebut Mollusca dan termasuk dalam subkelas Pulmonata dari kelas Gastropoda atau berkaki perut, hal ini karena bekicot bergerak menggunakan perutnya. Meskipun didalam subkelas ini sudah terdapat spesialisasi untuk hidup di daratan kering, tetapi masih menunjukkan banyak sifat pokok kelas Gastropoda sebagai keseluruhannya. Habitat bekicot terutama tempat-tempat yang memiliki kelembaban tinggi. Pada musim hujan populasi bekicot akan meningkat pesat, karena makin banyak tempat untuk menempel dengan kadar air yang tinggi. Aktifitas bekicot lebih banyak dilakukan pada malam hari seperti bergerak dan makan, sedangkan pada siang hari bekicot biasanya akan bersembunyi dibawah rumput, tanah atau kayu. Di Indonesia, dikenal ada dua jenis bekicot yaitu Achatina fulica dan Achatina fariegata. Ciri bekicot jenis Achatina fulica biasanya garis-garis pada tempurung atau cangkangnya tidak terlalu mencolok, sedangkan jenis Achatina
44
fariegata warna garis-garis pada cangkangnya tebal dan berbuku-buku. Saat ini diketahui ada tiga subspecies Achatina fulica, yaitu: Achatina fulica rodatzi, Achatina fulica sinistrosa, Achatina fulica umbilicata (Rohmad, 2012). Bekicot yang diternakkan umumnya jenis Achatina fulica, karena bekicot jenis ini banyak mengandung daging dan lendir. Daging bekicot jenis ini banyak digunakan sebagai bahan baku makanan yang disebut Escargot, sedangkan lendir bekicot sering digunakan untuk pengobatan luka ringan dengan meneteskan langsung lendir yang keluar melalui cangkang yang telah dipecahkan (Rohmad, 2012).
Gambar 2.8 Bekicot (Achatina fulica)
Klasifikasi ilmiah bekicot: Kerajaan : Animalia Devisi : Moluska Subdevisi : Avertebrata
45
Kelas : Gastropoda Subkelas : Pulmonata Ordo : Stylomatophora Family : Achatinidae Genus : Achatina Spesies : Achatina fulica (Ravikumara et al., 2007)
2.4.1 Anatomi bekicot Secara garis besar tubuh bekicot terdiri atas dua bagian yaitu cangkang bekicot dan badan bekicot.
Cangkang bekicot Berfungsi sebagai alat untuk melindungi tubuhnya yang lemah dari serangan musuh. Cangkang bekicot terbuat dari zat kapur yang tercampur dengan zat lain yang disebut conhiolin dengan perbandingan 99% bagian zat kapur, 2% bagian bahan organik. Tebal cangkang bekicot tergantung pada lapisan dalam cangkang yang terdiri dari beberapa lapis dan berfungsi untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada cangkang. Cangkang berbentuk lingkaran spiral dari dasar cangkang sampai ke ujung cangkang. Cangkang bekicot dewasa dapat mencapai ukuran panjang 7,5 – 11,5 cm diukur dari ujung cangkang sampai ke dasar. Warna cangkang umumnya coklat bergaris-garis samar, bentuk cangkang ramping dan runcing.
46
Badan bekicot Tidak seperti hewan lain yang mempunyai anggota badan lengkap dari kepala, badan, kaki, ekor, bekicot hanya mempunyai dua bagian tubuh yaitu kepala dan kaki (perut). Kepala bekicot terletak di ujung depan badan dan sangat mudah untuk diketahui. Pada kepala bekicot terdapat dua pasang tanduk. Sepasang tanduk yang besar berada di bagian atas, sedangkan sepasang lagi yang lebih kecil terletak di bawah tanduk yang besar. Pada ujung bagian atas tanduk besar terdapat mata hanya berupa bintik hitam. Sepasang tanduk kecil yang berada di bagian bawah berfungsi sebagai antena yang digunakan untuk mendeteksi adanya perubahan suhu, dan sebagai alat perasa. Kaki bekicot secara khusus memang tidak ada, akan tetapi seluruh bagian bawah perutnya berfungsi sebagai kaki. Pada bagian bawah perut yang berfungsi sebagai kaki terdapat banyak kelenjar yang dapat mengeluarkan lendir pada saat bekicot berjalan, hal itulah yang menyebabkan bekicot dapat merayap diatas permukaan benda yang sangat licin sekalipun. Lendir bekicot berwarna bening transparan, kadang sedikit keruh sampai kuning atau kecoklatan, dan apabila sudah mengering akan berwarna putih mengkilap. Berat badan bekicot rata-rata sekitar 35 – 100 gram.
Bekicot merupakan hewan hermaprodit yang berarti
dalam satu tubuh terdapat dua alat kelamin (alat kelamin jantan dan alat kelamin betina) dan setiap bekicot dapat bertelur (Sadhori, 1997).
47
Gambar 2.9 Bagian Tubuh Bekicot
2.4.2 Karakterisasi Lendir Bekicot Bekicot sangat berpotensi sebagai bahan obat karena kandungan protein, karbohidrat, vitamin, kalsium, dan fosfor yang tinggi. Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bekicot (Kompiang, 1979) Komposisi
Bekicot mentah
Bekicot rebus
Air
7,59
7,54
Protein
59,27
57,72
Lemak
3,62
4,6
Kalsium
6,4
7,83
Fosfor
0,85
0,95
Serat kasar
2,47
0,08
Kompiang (1982) merinci kandungan bekicot secara umum adalah protein serta asam amino esensial lengkap yang terkandung di daging bekicot dan
48
kalsium yang terkandung di cangkang. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa daging bekicot mengandung asam amino esensial yang tinggi. Sifat ini menguntungkan sekali mengingat asam amino esensial merupakan penentu dari protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Tabel 2.2 Komposisi Asam Amino Daging Bekicot (Kompiang, 1982) Asam amino
Kandungan /100gr daging bekicot
Asam amino esensial Isoleusin Leusin Lisin Metionin
2,64 4,62 4,35 1
Sistin Fenilalanin Tirosin Treonin Valin
0,6 2,62 2,44 2,76 3,07
Bukan asam amino esensial Arginin Histidin
4,88 1,43
Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin
3,31 5,98 8,16 3,82 2,79 2,96
Hipotesis terus bermunculan dan telah dilakukan karakterisasi terhadap lendir bekicot. Lendir bekicot dapat bekerja sebagai faktor antibakteri karena
49
terdapatnya protein Achasin dalam lendir tersebut (Berniyanti, 2007). Ditemukan juga Acharan sulfat merupakan bagian dari glikosaminoglikan yang memiliki struktur disakarida berulang utama Alpha-DN-acetylglucosaminyl 2-O-sulfoalpha-L-iduronic acid yang baru-baru ini dipelajari sebagai agen antitumor potensial (Lee et al, 2002). Achatina fulica merupakan spesies yang kaya akan sulfat polisakarida. Penelitian terbaru yang dilakukan Gesteira et al. (2011) telah mengidentifikasi karakterisasi
lendir
bekicot
yang
mengandung
glikosaminoglikan
dan
proteoglikan yang berperan penting dalam memelihara jaringan ikat penghubung antar sel dan menjaga kekuatan mekanik kulit sehingga kulit selalu kencang, kenyal dan lembab. Demikian pula, menurut Lee et al. (2002), lendir bekicot mengandung glikosaminoglikan (GAG) dan proteoglikan (PG) yang terlibat dalam fungsi struktural dan fisiologis kulit. Purnasari dkk. (2012) menyatakan kandungan dari lendir bekicot yang diduga paling berpengaruh terhadap proliferasi fibroblas adalah heparan sulfat yang bermanfaat dalam mempercepat proses penyembuhan luka dengan membantu proses pembekuan darah dan proliferasi sel fibroblast. Penelitian yang dilakukan laboratorium Lissia Colombia, menjelaskan bahwa ekstrak lendir bekicot 20-80% dapat mengatasi penuaan kulit dengan melembabkan dan mengencangkan kulit (Jasmine, 2011).
2.5 Glikosaminoglikan Proteoglikan
merupakan
protein
terkonjugasi
mengandung
glikan
(karbohidrat) yang merupakan bagian penting dari molekul. Protein penting untuk
50
biosintesis tetapi ikatan glikan sangat responsibel untuk biologikal dan properti fisik pada molekul. Rantai glikan seluruhnya mengandung N-Acetoglukosamin atau N-Asetilgalaktosamin dan ikatan ini disebut dengan “Glikosaminoglikan”. Glikosaminoglikan merupakan karbohidrat dengan struktur terdiri dari suatu amino
dan
gula
(glukosamin
dan
galaktosamin).
Proteoglikan
dan
glikosaminoglikan (mukopolisakarida) adalah kelompok polisakarida anionik linier, bersifat polionik dan merupakan molekul yang sangat hidrofilik. Bersamasama dengan kolagen membentuk bagian yang sama besar pada extracellular matrix (ECM). Rantai glikosaminoglikan merupakan penyusun residu gula esensial. Ada dua kelas utama GAG, yaitu: 1) glucosaminoglikan, termasuk heparin, heparan sulfat, asam hialuronik, dan keratan sulfat; dan 2) galactosaminoglikan, termasuk chondroitin dan dermatan sulfat (Kim et al., 1996).
2.5.1 Biosintesis Glikosaminoglikan Kondroitin sulfat dan heparan sulfat merupakan sulfat polisakarida yang bercabang kovalen melekat dengan residu serin dalam protein inti proteoglikan melalui ikatan tetrasakarida. Biosintesis glikosaminoglikan berlangsung di retikulum endoplasma dan apartus golgi, dimulai dengan penambahan residu Xyl ke residu serin tertentu dalam protein inti dengan xylosyl transferase (XYLT1, 2), diikuti dengan penambahan masing-masing dua residu Gal dan residu GlcA oleh galactosyltransferase-I (B4GALT7), galactosyltransferase-II (B3GALT6), dan glusuronosiltransferase-I (B3GAT3). Setelah itu, terjadi pengulangan kondroitin
51
disakarida
atau sulfat heparan yang dipolimerisasi dalam
aparatus Golgi .
kondroitin sulfat dipolimerisasi oleh Sintesis kondroitin sulfat (CHSY-1 ke -3), faktor
polimerisasi
kondroitin
(CHPF)
dan
kondroitin
sulfat
N-
acetylgalactosaminyltransferases(CSGalNAcT-1, -2), sedangkan sulfat heparan dipolimerisasi oleh anggota EXT (Ext1, EXT2, EXTL1, EXTL2, EXTL3). Selama ini glikosaminoglikan menggunakan ikatan tetrasaccharide, langkah inisiasi rantai menentukan panjang rantai chondroitin atau heparan. Jika residu GalNAc pertama ditambahkan ke tetrasaccharide linkage mungkin oleh CSGalNAcT-1 atau -2, rantai kondroitin memanjang dengan kompleks CHSY / CHPF. Jika residu GlcNAc adalah alternatif ditambahkan ke tetrasaccharide linkage mungkin dengan EXTL 2 atau 3, rantai heparan dipolimerisasi oleh Ext1 / EXT2 kompleks. Meskipun gen yang mengkode enzim-enzim biosintesis telah diidentifikasi, hampir tidak ada yang mengetahui tentang mekanisme pemilihan jenis glikosaminoglikan pada langkah inisiasi rantai (Nadanaka dan Kitagawa, 2008; Mikami dan Kitagawa, 2013; Mizumoto et al., 2013a.). Setelah polimerisasi pengulangan disakarida, glikosaminoglikan banyak dimodifikasi oleh C5 epimerization residu GlcA dan reaksi sulfasi. Sebagian besar residu GalNAc di kondroitin sulfat adalah 4-O-sulfat oleh chondroitin 4-Osulfotransferases (C4ST-1 ke -3) atau 6-O-sulfat oleh 6-O-sulfotransferases (C6ST-1 dan -2) . Selain itu, beberapa dari residu GlcA adalah C5-epimerized asam iduronic (idoa) oleh epimerase dermatan sulfat 1 dan 2 (DSE dan DSEL). Unit IdoAα1-3GalNAc yang dihasilkan oleh dermatan sulfat 4-O-sulfotransferase (D4ST), menghasilkan unit iA [IdoAα1-3GalNAc (4-SO4)]. Selanjutnya oleh
52
sulfat dan UST, menghasilkan unit iB [idoa (2 -SO4) α1-3GalNAc (4-SO4)]. Kondroitin sulfat dengan kandungan tinggi idoa sering disebut dermatan sulfat. Modifikasi heparan sulfat dimulai dengan reaksi N-sulfation oleh Ndeacetylase/N-sulfotransferase (NDST-1 ke -4), menghilangkan kelompok asetil dari beberapa residu GlcNAc dalam rantai heparan sulfat dan menggantikan mereka dengan kelompok sulfat. Kemudian, beberapa residu GlcA yang C5 epimerized untuk idoa oleh heparan sulfat glucuronyl C5-epimerase (HS C5-EP), diikuti oleh reaksi O-sulfasi. O-sulfation termasuk 2-O-sulfation residu GlcA / idoa oleh heparan sulfat 2-O-sulfotransferase (H2ST), 3-O-sulfation glukosamin (GlcN) unit heparan sulfat 3-O-sulfotransferases (H3ST-1 , -2, -3A, -3B, -4, -5, dan -6), dan 6-O-sulfation unit GlcN oleh heparan sulfat 6-O-sulfotransferases (H6ST-1 ke -3). N-sulfation unit GlcN oleh NDSTs menghasilkan substrat untuk enzim
modifikasi
berikutnya.
Dengan
demikian,
rantai
heparan
sulfat
menampilkan struktur domain yang sangat baik dimodifikasi NS-domain, buruk dimodifikasi NA-domain ditandai dengan membentang dari unit disakarida Nasetat, dan interspacing NA / NS-domain terdiri dari kedua unit disakarida Nasetat dan N-sulfated . (Nadanaka dan Kitagawa, 2008; Mikami dan Kitagawa, 2013; Mizumoto et al., 2013a.). Glikosaminoglikan yang telah selesai disekresi ke extracellular matrix (ECM) dermis, glikosaminoglikan akan terletak di extracellular matrix dan terikat dengan kolagen fibril sebagai pembentuk kolagen tipe 1 (Li et al., 2013).
53
Gambar 2.10 Biosintesis Glikosaminoglikan (Maeda, 2015)
2.5.2 Fungsi Glikosaminoglikan Asam hialuronat merupakan GAG sejati dan tersintesis secara intraselular tanpa protein inti. Asam hialuronat memiliki fungsi mengisi ruang, dan mengatur banyak fungsi fisiologis, termasuk proliferasi sel, adhesi, migrasi, diferensiasi, respon inflamasi, dan proses penyembuhan luka melalui reseptornya CD44 dan reseptor untuk HA-mediated motility (RHAMM) (Oh et al., 2011). Heparan sulphate-containing PGs (HSPGs) ditemukan di basal membran, kering seperti perlecan, kolagen XVIII, dan agrin yang berkontribusi dalam pembentukan gradien lokal berbagai sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan dengan mengikat heparan sulfat. Keluarga sydecan dan glypican, serta ekson v3 yang mengandung isoform CD44 (CD44v3), adalah anggota lain dari HSPGs yang dapat ditemukan di membran plasma dan mengatur adhesi sel, migrasi, dan berbagai sinyal selular (Oh et al., 2011).
54
Proteoglikan menghasilkan protein inti yang teridentifikasi diantara sel, menempel pada permukaan sel, terikat diantara ECM dan dilepaskan dalam bentuk terlarut. Protein inti pada setiap kelompok terdapat proteoglikan yang berbeda dan pada setiap kelompok bisa terdapat beberapa protein inti. Protein inti berfungsi untuk mengkode gen yang penting untuk biosintesis dan regulasi.
Gambar 2.11 Asam Hialuronat (Wiraguna, 2013)
Proteoglikan terdiri dari kovalen GAG sulfat yang terhubung dengan protein inti dan terletak pada lokasi berbeda, seperti permukaan sel, membran basal dan ECM. Proteoglikan interstitial yang ditemukan dalam ECM dapat diklasifikasikan menjadi large aggregated
proteoglycans (LAPs) dan small leucine rich
proteoglycans (SLRPs). LAPs terdiri dari protein inti besar, banyak mengandung GAG, dan biasanya membentuk agregat besar dengan asam hialuronik. LAPs, termasuk versican, aggrecan, brevican dan neurocan ditemukan dalam berbagai jaringan ikat pada ECM. SLRPs berkembang membentuk subfamili heterogen
55
proteoglikan, mampu mengikat berbagai protein, termasuk protein ECM terutama kolagen tipe 1. Fungsi proteoglikan sebagai lubrikan, penyerap, molekul penyaring, dan pertukaran ion. Proteoglikan utama kulit yaitu heparan sulfat dan dermatan sulfat yang keduanya berfungsi sebagai faktor pertumbuhan fibroblas, hepatosit, dan endotel vaskular. Faktor pertumbuhan ini dapat menginduksi penyembuhan luka, mempengaruhi proses perbaikan luka oleh keratinosit pertumbuhan fibroblas dan angiogenesis. Glikosaminoglikan
dan
proteoglikan
dianalisis
dengan
pemeriksaan
imunohistokimia, pewarnaan 4,6-diamidino-2-fenillindol (DAPI), diperiksa menggunakan scanning confocal inverted microscopedan gambar dianalisis dengan LSM Image Browser 3.2 software Zeiss Jerman (Gesteira et al., 2011). Pada proses penuaan, akan terjadi perubahan yang bermakna dalam komposisi GAG dikulit menyebabkan terjadinya penurunan asam hialuronat yang akan mengakibatkan penurunan turgor kulit. Defisiensi GAG juga diduga dapat menjadi faktor manifestasi patogenik bagi kulit, seperti Ehler-Danlos syndrome yang merupakan suatu penyakit herediter dimana mempengaruhi jaringan ikat kulit dengan gejala seperti mudah memar, hiperelastisitas, fragilitas kulit, bekas luka melebar, kulit kendur (Li et al., 2013).
2.5.3 Pengaruh Glikosaminoglikan Terhadap Kolagen Bahan aktif yang diaplikasikan pada permukaan kulit photoaging akan diserap ke lapisan stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid
56
yang mengelilingi sel korneosit dan difusi berlangsung di matriks lipid protein pada stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum bahan aktif akan menembus lapisan epidermis sehat di bawahnya sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis selanjutnya melalui celah folikel rambut dan juga kelenjar sebasea untuk kemudian berdifusi ke kapiler. Glikosaminoglikan yang heterogen berperan sebagai pemberi kode informasi spesifik dalam setiap proses yang terjadi di dalam extracellular matrix. Heparan sulfat yang merupakan glikosaminoglikan mengikat ligand ekstraselular dan membantu interaksi dengan reseptor di permukaan sel. Matriks proteoglikan sangat penting untuk respon sel terhadap extracellular growth factor. Proteoglikan, faktor pertumbuhan, dan reseptor spesifik harus ada pada setiap permukaan sel agar faktor pertumbuhan dapat mengaktifasi sel. Fibroblast growth factor (FGF) yang merupakan protein ekstraselular berfungsi sebagai sinyal untuk menstimulus pembelahan sel. FGF akan terikat dengan heparan sulfat pada sydecan, kemudian membawa ke reseptor FGF pada membran plasma yang akan memicu pembelahan sel. Proses ini sangat berpengaruh terhadap sintesis kolagen dermis (Ornitz dan Itoh, 2001). Sedangkan bagian kecil dari proteoglikan seperti decorin dan fibromodulin berikatan dengan serat kolagen
yang akan
mengintervensi Fibrillogenesis dengan mengatur ukuran dan diameter serat kolagen. Jaringan molekul yang sangat terorganisir ini menentukan ukuran, diameter dan jarak dari serat kolagen, serta menjaga kohesi dan ketahanan kolagen (Mitrovic, 2004).
57
2.6 Krim Menurut formularium nasional, krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Secara tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak (a/m) atau minyak dalam air (m/a) (Allisa et al., 2011). Basis krim menurut US Pharmacopeia (USP) dibagi menjadi empat kelompok besar menurut komposisi dan karakteristik fisik, yaitu: (Mahalingam, et al., 2008). 1. Basis hidrokarbon, terbuat dari materi lemak. Hidrokarbon merupakan bahan pelembut, pelindung serta bertahan dikulit dalam jangka waktu lama. Bahan dasar hidrokarbon sukar digabungkan dengan air, namun bahan tepung dapat digabungkan kedalam bahan dasar ini dengan bantuan cairan petrolatum. Bahan dasar hidrokarbon sulit dihapus dari kulit sulit karena sifat alamiahnya yang berminyak. Contoh bahan dasar hidrokarbon yaitu, Petrolatum USP, salep kuning USP dan salep putih USP. 2. Basis absorbsi, mengandung sedikit air. Basis absorbsi memiliki bahan pelembut yang relatif lebih sedikit daripada bahan dasar hidrokarbon. Bahan dasar absorpsi sulit untuk dihapus dari kulit karena sifat alamiahnya yang hidrofobik. Contoh bahan dasar absorbs yaitu hidrofilik petrolatum USP dan lanolin USP. 3. Basis salep tercuci air, pada dasarnya adalah larutan minyak dalam air. Basis salep tercuci air, berbeda dengan bahan dasar hidrokarbon dan absorpsi, sejumlah besar air dapat digabungkan kedalam bahan dasar tercuci air dengan bantuan agen pengemulsi yang sesuai. Basis ini mudah terhapus dari kulit karena sifat
58
alamiahnya yang hidrofilik. Contohnya adalah salep hidrofilik USP. 4. Basis larut dalam air, berbeda dengan basis salep lainnya, basis yang larut dalam air disebut sebagai greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Larutan air tidak efektif bila dicampurkan dengan basis ini karena sifat basis yang mudah melunak dengan penambahan air. Bahan padat dapat dengan mudah digabungkan kedalam bahan dasar ini. Basis larut dalam air dapat dihapus dengan sempurna dari kulit karena sifat larut dalam airnya.
2.7 Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Mamalia kecil menjadi pilihan untuk berbagai penelitian karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya membutuhkan sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan dapat diubah secara genetik, memiliki persamaan struktur organ dengan manusia, selain itu bulu pendek dan tidak tebal yang dimiliki oleh tikus Wistar memudahkan penelitian yang menggunakan jaringan kulit sebagai sampel penelitian. Hewan kecil biasanya mempunyai cara mempercepat penyembuhan dibandingkan manusia, dengan jangka waktu beberapa hari, sedangkan pada manusia dalam beberapa minggu atau bulan (Birke, 2014). Usia 2-3 bulan pada tikus ini memiliki persamaan dengan usia manusia dewasa dan belum mengalami penuaan intrinsik (Bhattacharya dan Thomas, 2004; Bartke, 2005). Pemilihan jenis kelamin jantan pada penelitian mempengaruhi penelitian agar tidak terpengaruhi siklus estrus dan kehamilan (hormonal). Syarat hewan yang digunakan untuk penelitian farmakologi harus terpenuhi
59
yaitu harus jelas fisiologinya, bebas dari penyakit, didapat dari Breeding Centre yang baik atau dibiakkan sendiri. Etika terhadap hewan percobaan juga harus diperhatikan berdasarkan pada hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian Kedokteran tahun 1986. Salah satu butir dalam etika tersebut disebutkan bahwa bila percobaan menimbulkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyeri atau penderitaan ringan dalam waktu singkat, harus dilakukan dengan premedikasi yang memadai dan dibawah anesthesia sesuai dengan praktik kedokteran hewan yang lazim. Kemudian pada butir yang lain disebutkan bahwa pada akhir percobaan, hewan yang akan menanggung nyeri hebat atau kronik penderitaan, rasa tidak enak, cacat yang tidak dapat disembuhkan, harus dibunuh dengan cara yang layak (Darmono, 2011). Persentase penggunaan hewan percobaan pada penelitian secara invivo adalah sebagai berikut: tikus (80%), mencit (11%), kelinci dan babi (4%), dan ayam (1%) (Birke, 2014). Bulu tikus yang tidak tebal mempunyai beberapa keuntungan dalam penelitian yang menggunakan model perlukaan pada epidermis. Pertama, epidermis yang tidak tertutup bulu tebal mengganggu pemisahan epidermis dari dermis; kedua, ukuran dari bulu tikus yang tidak tebal membuat model yang ideal untuk penilaian efek dari bahan farmakologi pada proses penyembuhan luka (Choi et al., 2001). Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan, dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi karena
60
hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan tikus lebih menguntungkan (Fatchiyah, 2013). Klasifikasi dari Tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar adalah (Keith, 2010) : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Species
: norvegicus
Tikus termasuk dalam genus Rattus dengan spesies Rattus rattus dan Rattus norvegicus. Tikus yang sering digunakan sebagai tikus laboratorium adalah Rattus norvegicus karena tubuhnya yang lebih besar dari pada Rattus rattus (Keith, 2010). Rattus norvegicus yang sering dipakai dalam penelitian adalah strain Wistar dan Spargue Dawley yang merupakan tikus albino. Tikus strain Wistar memiliki ciri – ciri kepala lebar, telinga panjang dan memiliki ekor panjang kurang dari panjang tubuhnya, sedangkan strain Sprague Dawley memiliki ekor untuk meningkatkan rasio panjang tubuh dibandingkan dengan tikus Wistar (Keith, 2010).