5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bunyi Bunyi adalah suatu efek yang dihasilkan pada organ pendengaran yang disebabkan oleh vibrasi udara atau media lainnya yang berasal dari suatu sumber bunyi. Vibrasi atau getaran media ini digambarkan sebagai suatu gelombang dengan frekuensi dan amplitudo tertentu tergantung nada dan intensitas bunyi. Gelombang ini merupakan pemampatan dan perenggangan media yang merambat menjauhi sumber bunyi. Dalam proses penghantaran bunyi, keberadaan media sangat penting. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi tidak dihantarkan di ruang hampa. Media perantara padat lebih cepat menghantarkan bunyi dibandingkan udara (Agarwal, 1992).
2.2 Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri atas daun telinga dan liang telinga. Telinga luar dan tengah menghantarkan suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar terdapat konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006).
5
6
Sepertiga bagian lateral dari liang telinga adalah tulang rawan. Mengandung kelenjar seruminosa dan kelenjar rambut. Bagian dua pertiga medial liang telinga meliputi tulang. Liang telinga berbentuk tuba yang terbuka pada satu ujung dan tertutup pada sisi lainnya, dikatakan sebagai resonator seperempat gelombang (Mills dkk., 2006). Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang terbagi atas kavum timpani dan air cell mastoid (Probst dkk., 2006). Telinga tengah terdiri dari membran timpani dan 3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes. Di dalam telinga tengah juga terdapat dua otot kecil yaitu m. tensor timpani yang melekat pada manubrium maleus dan m. stapedius yang melekat pada stapes. M. tensor timpani dipersarafi oleh n. trigeminus sedangkan m. stapedius dipersarafi oleh n. fasialis. Korda timpani adalah cabang n. fasialis yang berjalan menyeberangi rongga telinga tengah. Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan faring (Moller, 2006). Membran timpani berbentuk agak oval dan merupakan selaput tipis pada ujung liang telinga. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa dan bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak di atas manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau protimpanum yang berlokasi dekat rongga telinga tengah dan bagian tulang rawan yang membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).
7
Telinga dalam atau labirin terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari koklea dan vestibular seperti disajikan pada Gambar 2.1. Koklea atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang terisi cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ Corti yang mengandung sel rambut (Moller, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga (Ganong, 2009). Organ Corti adalah organ sensori yang terstruktur baik. Terdapat 1 baris sel rambut dalam dan 3 baris sel rambut luar pada bagian atas membran basilar dengan berbagai sel pendukung yang bervariasi. Sel rambut adalah sel reseptor sensori dari pendengaran dan keseimbangan serta sel yang paling penting dalam telinga dalam. Sel rambut memiliki mekanoreseptor khusus yang mengubah
8
stimulus mekanik yang berkaitan dengan pendengaran dan keseimbangan menjadi informasi neural yang diteruskan ke otak (Oghalai dan Brownell, 2004). Koklea pada manusia membentuk 2 ½ sampai 2 ¾ putaran dimana panjang keseluruhannya sekitar 3,1-3,3 cm dan tinggi sekitar 0,5 cm (Moller, 2006). Koklea adalah bagian telinga yang paling penting dan bisa dimengerti apa yang terjadi dalam koklea bisa mengakibatkan banyaknya kunci permasalahan pendengaran. Koklea terisi oleh cairan yang hampir tidak bertekanan dan juga memiliki dinding tulang yang kaku. Terbagi dua panjangnya oleh dua membran, yaitu membran Reissner dan membran basilar seperti disajikan pada Gambar 2.2 (Mills dkk., 2006).
Gambar 2.2 Potongan melintang koklea (Mills dkk., 2006). Energi akustik memasuki koklea melalui kerja seperti piston dari kaki stapes pada tingkap lonjong dan diteruskan langsung pada perilimfe dari skala vestibuli. Perilimfe dari skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe dari skala timpani
9
melalui sebuah bukaan kecil dari apeks koklea yang dikenal sebagai helikotrema (Mills dkk., 2006). Ketika tingkap lonjong bergerak dengan adanya suara, perbedaaan tekanan diaplikasikan menyeberangi membran basilar, yang mengakibatkan pergerakan membran basilar. Perbedaan tekanan dan pola pergerakan membran basilar memerlukan waktu untuk berkembang dan bervariasi tergantung panjangnya membran basilar. Pola yang muncul tidak tergantung pada ujung mana dari koklea yang distimulasi (Mills dkk., 2006). Telinga luar mendapat aliran darah cabang aurikulotemporal a. temporalis superfisial di bagian anterior dan di bagian posterior mendapat aliran darah oleh cabang aurikuloposterior a. karotis eksterna. Kavum timpani mendapat aliran darah oleh berbagai cabang a. karotis eksterna (a. meningea media, a. faringeal ascenden, a. maksilaris dan a. stilomastoid). Telinga dalam mendapat aliran darah oleh a. labirin yang berasal dari a. antero inferior cerebellar atau a. basilaris. Arteri labirin ini berjalan bersama n. vestibulokoklearis melalui kanalis auditorius internus, yang kemudian terbagi menjadi a. vestibularis dan a. koklearis (Probst dkk., 2006). Arteri labirin adalah end-artery dengan sedikit atau tanpa suplai darah kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat bahwa a. labirin yang berjalan di kanalis auditorius internus bukan arteri tunggal namun berupa beberapa arteriol kecil, hampir seperti pleksus arteri (Moller, 2006). Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang suara dan liang telinga meneruskan gelombang ini yang akan menggetarkan gendang telinga. Daun telinga juga membantu
10
lokalisasi suara dan lebih efisien dalam menyampaikan suara frekuensi tinggi dibanding frekuensi rendah. Gelombang suara yang mencapai gendang telinga akan berjalan sepanjang rantai pendengaran yang terdiri dari tulang inkus, maleus dan stapes. Gendang telinga dalam rantai pendengaran paling efisien dalam mentransmisikan suara antara 500 Hz dan 3000 Hz yang merupakan frekuensi yang paling penting untuk mengerti percakapan (Lee, 2003). Dalam penerimaan bunyi, proses transmisi dibedakan menjadi dua bagian sesuai organ penerima, yaitu transmisi aerodinamik dimana stimulus bunyi berpindah dari liang telinga ke membran timpani dan dari membran timpani ke tulang pendengaran. Transmisi yang ke dua adalah transmisi hidrodinamik yaitu stimulus bunyi berpindah dari foramen ovale ke telinga dalam melalui cairan perilimfe dan endolimfe (Mills dkk., 2006). Telinga tengah mentransformasikan energi akustik dari media udara ke media cairan. Hal ini merupakan sistem pencocokan impedans untuk memastikan energi tidak hilang. Dengan bergetarnya membran timpani, rantai pendengaran akan bergerak 1 rotasi aksis dari processus anterior maleus melewati processus inkus. Ketika energi suara mencapai tingkap lonjong, koklea mentransformasikan sinyal dari energi mekanik menjadi energi hidrolik dan akhirnya sel-sel rambut menjadi energi bioelektrik. Seiring dengan keluar dan masuknya footplate stapes dari tingkap lonjong, sebuah gelombang yang berjalan diciptakan dalam koklea melalui teori gelombang Bekessy (Lee, 2003). Sepanjang perjalanan gelombang melalui koklea, gelombang ini akan mengakibatkan pergerakan membran basilar dan membran tektorial. Perbedaan
11
gerakan ke dua membran mengakibatkan terlipatnya sel rambut stereosilia. Lipatan ini mendepolarisasi sel rambut yang akibatnya memulai impuls aferen saraf (Lee, 2003). Gelombang suara berjalan dari dasar ke apeks sepanjang membran basilar sampai gelombang mencapai maksimum. Perjalanan gelombang ini ditentukan oleh interaksi frekuensi suara dan membran basilar. Sel rambut luar mudah bergerak, bereaksi mekanik pada sinyal yang datang dengan memendek dan memanjang tergantung karakteristik frekuensi. Sel rambut luar adalah bagian dari umpan balik mekanisme aktif, menyesuaikan kekuatan fisik dari membran basilaris sehingga frekuensi yang diberikan secara maksimal menstimulasi sel rambut dalam (Lee, 2003). Neuron frekuensi tertentu mentransmisikan kode neural dari sel rambut ke sistem auditorius. Sekali impuls saraf terinisiasi, sinyal ini akan berjalan sepanjang jaras pendengaran dari sel ganglion spiral dalam koklea ke modiolus, di mana serat ini membentuk cabang koklea dari N. VIII. Lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran atau area 39-40 di lobus temporalis (Lee, 2003).
2.3 Epidemiologi Gangguan pendengaran tentunya dapat mengakibatkan penurunan fungsi komunikasi dan penurunan kualitas hidup bagi penderitanya. Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis. Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan berbagai macam
12
derajat, di mana 10 juta orang di antaranya mengalami ketulian akibat terpapar bunyi yang keras pada tempat kerjanya (Rabinowitz, 2000). Sebanyak 35 juta orang di Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja (Heggins, 1998). Penelitiannya terhadap 105 karyawan pabrik dengan intensitas bising antara 79 s/d 100 dB didapatkan bahwa sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran nilai ambang, sedangkan sebanyak 136 telinga telah mengalami pergeseran nilai ambang dengar, derajat ringan sebanyak 116 telinga (55,3%), derajat sedang 17 (8%) dan derajat berat 3 (1,4%) (Oetomo dan Suyitno, 1993). Sebanyak 32,2% dalam suatu penelitian terhadap karyawan pabrik gula menderita dugaan NIHL (Harnita, 1995). Penelitian di Singapura yang dilakukan terhadap 40 karyawan diskotik didapatkan 41,9% karyawannya menderita tuli akibat bising (Airlangga dan Nahrawi, 2007).
2.4 Definisi Bising Bising secara subjektif dapat didefinisikan sebagai bunyi yang mengganggu, tidak disenangi dan tidak diinginkan. Secara objektif bising adalah kumpulan getaran bunyi yang terdiri dari berbagai frekuensi dan amplitudo baik berifat periodik atau non periodik (Roestam, 2004). Dalam kesehatan kerja bising merupakan bunyi yang dapat menyebabkan penurunan pendengaran secara kuantitatif berupa peningkatan ambang dengar maupun secara kualitatif berupa penyempitan spektrum pendengaran di mana berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu (Alberti, 2003; Brasto, 2008).
13
Secara psikologik bising dapat menggangu seseorang namun tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Berbagai macam jenis musik yang memekakkan telinga tidak dirasakan menggangu oleh para penggemarnya, walaupun berakibat gangguan fungsi pendengaran, sebaliknya musik yang intensitasya rendah dapat dirasakan mengganggu bagi yang tidak menyukainya (Roestam 2004). Tabel 2.1. Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja 1999 (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Waktu Lama pajan/hari Intensitas (dB)
Jam
Menit
Detik
24
80
16
82
8
85
4
88
2
91
1
94
30
97
15
100
7,5
103
3,75
106
1,88
109
0,94
112
28,12
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
14
Bising dapat dibagi dalam beberapa macam. Bising kontinyu merupakan bising dengan spektrum luas dan menetap dengan batas amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode waktu 0,5 detik atau disebut steady wide band noise. Bising kontinyu dapat berspektrum sempit dan menetap atau disebut steady narow band noise. Bising terputus-putus atau intermiten noise adalah bising yang tidak berlangsung terus menerus namun terdapat periode relatif berkurang. Bising yang disebabkan pukulan yang kurang dari 0,1 detik sering disebut impact noise atau bila bising tersebut berulang disbut repeated impact noise. Bising yang berasal dari ledakan tunggal disebut explosive noise. Apabila berulang disebut repeated explosive noise. Bising ini dapat menimbulkan rasa kejut pada pendengarnya karena memliki perubahan tekanan bunyi melebihi 40 dB dalam waktu yang sangat cepat (Roestam, 2004). Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja 1999 maka batas waktu pajanan bising yang diperkenankan di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 2.1 (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
2.5 Pemangku dan Genta Pemangku atau Jro Mangku sering disebut sebagai Pinandita merupakan jabatan suci yang diberikan kepada seseorang untuk menjalankan tugas-tugas suci yang berkaitan dengan pelaksanaan Yadnya atau upacara keagamaan Hindu. Pemangku berasal dari kata ‘Pangku’ yang memiliki makna yang sama dengan menyangga atau memikul tanggung jawab melayani umat Hindu dalam pelaksanaan Yadnya atau upacara keagamaan Hindu (Suhardana, 2008).
15
Pemangku terdiri dari beberapa macam yaitu 1) Pemangku Widhi dimana pemangku ini bertugas di Pura Khayangan Tiga, Pura Dangkhayangan serta Pura Dadia berawal dari keturunan dan di sudi oleh masyarakat, 2) Pemangku Pinandita yang bertugas nganteb banten tingkat Dewa Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya, 3) Pemangku Balian yang dalam tugasnya mengobati masyarakat yang sakit, 4) Pemangku Tapakan yang tugasnya melayani Pura yang di emong, 5) Pemangku Sadeg yang tugasnya sebagai pengayah setelah upacara piodalan, 6) Pemangku Dalang yang tugasnya sebagai Dalang, pewayangan dan memohon pembersihan ‘Sudha Mala” dalam upacara ‘Sapuh Leger’ dan 7) Pemangku Tapini yang tugasnya sebagai tukang banten (Suhardana, 2008). Sudah menjadi tradisi atau kebiasaan bagi umat Hindu dalam menyelesaikan suatu upacara agama dengan skala yang cukup besar, umumnya meminta bantuan pemangku. Dengan bantuan pemangku yang diiringi mantra dan genta, upacara yang dilaksanakan dapat berlangsung dengan baik. Dalam pelaksanaan upacara, seorang pemangku selalu menggunakan genta di tangan kirinya setinggi epigastrium. Genta tersebut dibunyikan oleh pemangku sambil membaca mantra dalam mengiringi jalannya suatu upacara (Suhardana, 2008). Genta terbuat dari kuningan yang dicampur perunggu. Genta ini menghasilkan suara dentingan yang panjang serta bernada tinggi. Terdapat tiga macam cara membunyikan genta. Ketiga jenis bunyi genta itu dinamakan 1) Lembu Mangan Dukut. Dalam hal ini genta dibunyikan seperti suara keroncongan sapi ketika makan rumput. Setiap siklus, genta dibunyikan tiga kali dan seterusnya. Jenis ini dipergunakan pada waktu upacara Dewa Yadnya; 2) Bramara
16
Ngisep Sari. Disini genta dibunyikan seperti dengung suara kumbang ketika menghisap sari bunga. Setiap siklus, genta dibunyikan enam kali dan seterusnya. Jenis upacara ini dipergunakan pada waktu upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Rsi Yadnya; 3) Bima Kroda. Dalam hal ini genta dibunyikan seperti suara genta yang ribut, seperti Bima yang sedang mengamuk. Jenis ini dipergunakan pada waktu upacara Bhuta Yadnya. Berdasarkan hasil observasi intensitas bunyi genta didapatkan yaitu berkisar 100-103,7 dB (Suhardana, 2008).
2.6 Pengaruh Kebisingan Terhadap Kerusakan Telinga Dalam Efek suara atau bunyi dapat menimbulkan respon adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara atau peningkatan ambang dengar menetap yang dilakukan sebagai respon terhadap rangsangan auditori. Respon adaptasi terjadi apabila terdapat rangsangan bunyi pada telinga yang merupakan suatu fenomena fisiologis. Rangsangan bunyi dengan paparan sebesar 70 dB atau kurang akan terjadi pemulihan selama kurang dari setengah detik. Peningkatan ambang dengar sementara akan muncul bila terdapat rangsangan atau paparan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Umumnya pemulihan dapat berlangsung dalam hitungan menit atau jam. Secara umum dapat dibagi menjadi 2 yaitu reaksi lelah yang secara fisiologis dapat berlangsung lebih dari 2 menit dimana respon pemulihan lengkap terjadi selama kurang dari 16 jam dan kelelahan patologis atau peningkatan ambang dengar sementara berjalan lama dimana waktu pemulihan berlangsung lama dan pemulihan kadang tidak sempurna. Pada peningkatan ambang dengar menetap sering diakibatkan oleh adanya paparan bunyi yang
17
sangat tinggi dan berlangsung singkat atau paparan dengan instensitas yang cukup tinggi namun dengan waktu paparan yang berlangsung cukup lama (Alberti, 2003; Dobie, 2006). Bising dapat mengakibatkan kerusakan pada telinga dalam. Lesi dapat terjadi bervariasi dari disosiasi organ Corti, membrana rusak atau pecah, perubahan stereosilia dan organ subseluler. Bising juga berpengaruh terhadap sel ganglion saraf, membrana tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron dapat diketahui bahwa sel-sel sensori dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung pada intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkat kerusakan sel rambut. Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serat aferen (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Stimulasi bising pada tingkat intensitas sedang dapat mengakibatkan perubahan ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi dengan intensitas yang lebih keras dengan pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan kerusakan struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan di membran Reisner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya floppy silia yang sebagian masih reversibel.
18
Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur rootlet silia pada lamina retikularis (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Sepuluh milimeter dari foramen ovale terdapat sel rambut yang memiliki amplitudo paling besar dan menerima energi terbesar terhadap paparan bising, sehingga bagian tersebut akan mudah cedera akibat paparan bising yang disebut sebagai 4000 Hz receptors. Karena hubungannya dengan serabut saraf sering juga disebut 4000 Hz nerve fiber. Tempat ini merupakan lokus minoris pada organ Corti (Alberti, 2003).
2.7 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran Pemeriksaan telinga dan pendengaran dimulai dengan anamnesis yang mencakup riwayat gangguan pendengaran herediter, riwayat penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat-obat ototoksik. Pemeriksaan dilanjutkan dengan inspeksi yang menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya. Pemeriksaan otoskopi kemudian dilakukan untuk dapat menilai kondisi liang telinga dan membran timpani (Probst dkk., 2006). Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan nafas atas perlu dilakukan dengan seksama. Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus atau kuantitatif misalnya dengan audiometri, Oto Acoustic Emission atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau
19
ASSR (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Dalam penelitian ini, gangguan pendengaran dievaluasi dengan menggunakan audiometri nada murni.
2.7.1 Audiometri Nada Murni Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitivitas pendengaran dengan frekuensi yang dimulai dari 250 Hz sampai 8000 Hz. Pemeriksaan ini adalah dasar dari evaluasi pendengaran dan dilaksanakan dalam ruang kedap suara. Pemeriksaan audiometri digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius mulai dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004). Pada audiometri nada murni, ambang didapatkan baik melalui konduksi udara maupun konduksi tulang. Pada pengukuran konduksi udara, perbedaan stimulus nada murni yang berbeda-beda ditransmisikan melalui earphone. Sinyal melewati liang telinga masuk ke dalam kavum timpani melalui tulang pendengaran ke koklea dan kemudian menuju sistem auditorius pusat. Ambang konduksi udara menggambarkan mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pada pengukuran konduksi tulang, sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada prominentia mastoid. Nada murni secara langsung menstimulus koklea setelah melewati liang telinga dan telinga tengah. Hasil pemeriksaan audiometri berupa audiogram dalam bentuk grafik yang menggambarkan ambang pendengaran dalam frekuensi (Bess dan Humes, 2008). Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel atau dB. Secara klinis, batas normal untuk audiogram adalah 0-20 dB Hearing Level atau HL, dan 0-15 dB HL untuk anak-anak (Hall dan Lewis, 2003). Sedangkan derajat gangguan
20
pendengaran sesuai World Health Organization atau WHO (1991) adalah ambang ≤ 25 dB dikategorikan normal, ambang 26-40 dB dikategorikan gangguan pendengaran derajat ringan, ambang 41-60 dB mencerminkan gangguan pendengaran sedang, ambang 61-80 dB dikategorikan gangguan pendengaran berat, ≥ 81 dB dikategorikan gangguan pendengaran sangat berat. Frekuensi yang penting untuk mengerti percakapan adalah di antara 500-8000 Hz. Pada tuli konduksi, didapatkan hantaran tulang yang normal dan gangguan terdapat pada hantaran udara sedangkan pada tuli sensorineural tidak terdapat gap antara hantaran udara dan tulang (Hall dan Lewis, 2003).
2.8 Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising Diagnosis
gangguan
pendengaran
akibat
bising
dapat
ditegakkan
berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang berupa audiometri (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Pada anamnesis seseorang pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu cukup lama umumnya 5 tahun atau lebih (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Ketulian timbul secara bertahap yang biasanya terjadi dalam 510 tahun pertama paparan (Heggins, 1998). Tuli ini umumnya mengenai ke dua telinga (Probst dkk., 2006). Penting untuk ditanyakan adalah riwayat pajanan bising termasuk intensitas bising, lama paparan dalam sehari dan lama paparan dalam seminggu serta lama kerja dalam lingkungan bising tersebut. Perlu juga diperhatikan mengenai riwayat ketulian dalam keluarga, penggunaan zat atau obat yang bersifat ototoksik serta trauma kepala. Penderita tuli akibat bising biasanya
21
datang dengan keluhan utama kurang pendengaran. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila lebih berat lagi maka percakapan yang keraspun sulit dimengerti. Selain itu, penderita tuli akibat bising juga sering mengeluh tinitus nada tinggi yang hilang timbul. Bila terjadi paparan bising berulang, maka tinitus akan menetap. Tinitus menjadi lebih mengganggu pada saat suasana sunyi atau pada saat penderita akan tidur, sehingga penderita mengeluh sukar tidur dan sulit berkonsentrasi (Dobie, 2006; Soetirto dan Bashirudin, 2007). Pada pemeriksaan fisik telinga dan otoskopi tidak didapatkan adanya kelainan. Pada pemeriksaan tes penala didapatkan tes Rinne hasil positif, tes Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, tes Schwabach memendek pada telinga yang terkena. Kesan jenis ketuliannya adalah sensorineural. Pada pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan dengan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz didapatkan takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Berdasarkan Komisi Konservasi Pendengaran dan Bising dari The American College of Occupational Medicine atau ACOM maka definisi tuli akibat bising adalah sebagai gangguan pendengaran yang timbul secara perlahan sebagai akibat paparan bising yang berlangsung lama secara terus-menerus ataupun terputusputus dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Tuli saraf koklea; 2) Sebagian besar kasus bilateral dengan gambaran audiogram yang hampir serupa; 3) Hampir sebagian besar tidak menunjukkan gangguan pendengaran yang berat (pada frekuensi rendah sekitar 40 dB dan frekuensi tinggi 75 dB); 4) Bila paparan bising
22
hilang maka progresivitas kelainan terhenti pula; 5) Riwayat paparan sebelumnya tidak menyebabkan telinga menjadi lebih sensitif terhadap paparan yang didapat kemudian; 6) Kerusakan awal terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz dengan penurunan terbesar pada frekuensi 4000 Hz; 6) Gangguan pendengaran maksimal timbul setelah paparan berlangsung sekitar 10-15 tahun, setelah itu gambaran audiogram relatif menetap; 7) Kerusakan akibat paparan bising yang terus menerus lebih berat dibanding kerusakan akibat paparan bising yang terputus (Alberti, 2003; Dobie, 2006; Probst dkk., 2006).